Senin, 14 Desember 2009

Warsiyah, Benih untuk Perubahan Iklim

WARSIYAH

Lahir : Indramayu, 27 Juni 1957
Pendidikan : Lulusan Sekolah Dasar
Istri : Amna
Anak : Ikhwan (38), Kadir (36), Khumaiyah (35), Nasuka (33) dan Taningsih (29)
Aktivitas : Koordinator Sains Petani pada Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia
(IPPHTI) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

Pemahamam Warsiyah (52) tentang istilah perubahan iklim, baru muncul akhir-akhir ini. Namun sebagai seorang petani yang sudah puluhan tahun bergumul dengan lumpur sawah, ia merasakan perubahan di sawah sejak lama. Beruntung ia bisa mengantisipasi kerugian akibat perubahan iklim dengan kembali pada benih-benih padi lokal yang selama ini ditinggalkan.


Oleh IDHA SARASWATI WAHYU SEJATI

Di daerah asalnya, yakni di Desa Kalensari, Widasari, Indramayu, Jawa Barat, penanda perubahan itu antara lain tampak dari hawa di sawah yang semakin panas, tanaman sampai layu karena tak tahan hawa panas , pasokan air ke sawah juga tak lagi selancar dulu.
Petani memang menjadi salah satu pihak yang paling merasakan dampak negatif perubahan iklim, Patokan musim tak lagi berlaku seiring dengan perubahan kondisi lahan. Perubahan ini membuat petani salah memprediksi sehingga jerih payah mereka sia-sia.
Belajar dari pengalaman, Warsiyah mengerti perubahan kondisi menuntut perubahan perlakuan. Benih padi yang sebelumnya cocok di sawah, kelak tidak akan lagi sesuai, sebab sejumlah lahan sawah yang dulu cukup pasokan air, kini mulai mengering.
"Kalau benih pabrik itu kan dibuatnya secara nasional, jadi kalau kondisi tanah di daerah berubah, benih itu belum tentu akan sesuai dengan kondisi tanah di daerah," kata Warsiyah, saat ditemui awal oktober lalu dalam sebuah pelatihan pemuliaan tanaman di Yogyakarta.
Namun kesimpulan semacam itu justru membuat Warsiyah lega. Ia merasa siap menghadapi perubahan itu karena telah memiliki cadangan benih padi yang tak biasa dalam jumlah besar.
Sejak lama ia telah menjadi kolektor benih-benih padi lokal yang kini jumlahnya semakin langka akibat kebijakan penyeragaman benih padi secara nasional. Ia juga sudah menyilangkan padi dari benih-benih itu hingga menghasilkan ratusan jenis padi baru.

Pemulia

Sebelum mendapat ilmu tentang teknik pemuliaan tanaman, Warsiyah yang menjadi petani sejak belasan tahun juga menanam buatan pabrik di sawahnya. Kebiasaan semacam itu sudah berlangsung sejak awal 1980-an, yakni ketika petani di desanya mulai diajak beralih dari benih padi lokal ke varietas baru yang berumur lebih pendek dan menghasilkan lebih banyak beras.
Meski begitu, petani mengenal benih pabrik sebagai benih yang kurang tahan serangan hama.
Kebiasaan Warsiyah mengonsumsi benih pabrik berubah setelah dirinya mengikuti pelatihan yang diadakan Yayasan Farmers Initiative for Ecological Livehood and Democracy (FIELD) Indonesia pada tahun 2002. Waktu itu ia bersama sejumlah petani Indramayu diajak mengkaji padi hibrida yang ternyata keturunannya tidak bisa ditanam ulang oleh petani.
"Itukan bahaya, petani tidak bisa seperti orang dulu, yang mengambil benih dari lahan sendiri untuk ditanam sendiri," ungkapnya.
Selain mengkaji padi hibrida, dari pelatihan itu Warsiyah yang lulusan sekolah dasar juga mendapat teori sekaligus praktek pemuliaan tanaman. Berbekal ilmu barunya, Warsiyah mencoba menyilangkan padi sendiri. Untuk menunjang percobaannya, ia mulai mengumpulkan benih-benih padi lokal di sekitar Indramayu seperti, Grundil, jalawara, cengkong, glewang, warong serta jambon.
Saat berada di Yogyakarta, ia membawa sebagian koleksinya. Dikemas dalam wadah bohlam lampu pijar, banih-banih itu ada yang berwarna putih, merah dan hitam, ia juga membawa benih ketan lokal. Benih lokal dianggap penting karena terbukti cocok beradaptasi dengan lingkungan setempat.
Benih-benih itu ternyata masih disimpan oleh petani desa dan bisa ditebus dengan harga mulai dari Rp.10.000 per malai. Sampai sekarang ia mengaku sudah mengoleksi sekitar 30 jenis benih padi dan ketan lokal. Benih-benih itu sering ditukar dengan benih milik petani lain di desanya yang telah ikut menjadi pemulia, "Jadi kalau ada tetangga yang punya varietas lain, kami bisa saling pinjam," ujarnya.
Dengan benih-benih itu, ia membuat ratusan kombinasi penyilangan. Tujuan utamanya adalah mencari varietas unggulan yang bisa bertahan hidup meski pasokan air kurang, tahan serangan hama, produktivitas tinggi dan umur panen pendek. Dalam kasus perubahan iklim, petani akan memerlukan benih padi yang bisa bertahan dalam lahan minim air.
Menurut dia, mencari varietas unggul seperti orang jawa mencari jodoh. Bobot, bibit dan bebet benih sangat diperhitungkan. Seorang pemulia mesti memahami karakteristik tanaman. Ada padi yang tahan hama dan produktivitasnya tinggi, tapi rasanya tidak enak, ada juga padi yang rasanya enak tapi produktivitasnya rendah.
Dengan mengenali kelebihan dan kelemahan setiap jenis padi, jalan menuju penemuan varietas unggulan akan semakin terbuka. "Tinggal nanti bagaimana hasil persilangannya, kalau untuk lahan yang airnya kurang, varietas padi yang biasa ditanam di ladang seperti padi gogo bisa jadi indukan," tuturnya.
Warsiyah menyilangkan jenis-jenis padi itu dan kemudian menanam hasilnya dalam lahan seluas 5.000 meter persegi, akibatnya bulir padi yang ia hasilkan saat panen tidak seragam, baik dari bentuk, sifat maupun rasa, untunglah hasil panen itu tetap diterima pedagang, sehingga ia bisa mendapat pemasukan.
Tahun ini Warsiyah sudah menghasilkan 104 varietas padi baru, namun hingga lebih dari lima tahun menjadi pemulia, varietas unggul yang diidam-idamkannya belum juga muncul.

Membagi ilmu

Meski punya obsesi menemukan varietas unggulan, Warsiyah tidak lantas menyendiri dengan bunga-bunga padi. Ilmu yang ia peroleh dari pelatihan dan praktik langsung di sawah tidak dimanfaatkan sendiri, Ia aktif membagikan ilmu dan pengetahuannya ke sejumlah kelompok petani di Indramayu serta daerah lain di Indonesia. Selain petani, dosen dan mahasiswa, rombongan petani dari negara lain juga kerap datang ke tempatnya untuk melakukan studi banding.
Pengalaman bergelut dengan bunga padi juga membuat dia pandai menyilangkan jenis tanaman lain, terutama sayuran. Ilmu itupun telah ia bagi setiap kali menjadi pemateri pelatihan di sejumlah tempat. Berdasarkan pengalamannya sendiri, ia percaya bahwa petani bisa diajak berubah.
Bagi Warsiyah, menjadi petani pemulia berarti memilih menjadi pemain. Dengan menjadi pemulia, petani lebih aktif sehingga bisa mengurangi ketergantungan kepada pihak lain. Kemandirian itulah yang dibutuhkan petani untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi di lingkungan mereka.

Dikutip dari KOMPAS, Selasa, 1 Desember 2009




Susi dan Mimpi Hijaukan Pulau Sabu

SUSILAWATI CICILIA LAURENTIA
Lahir : Wirosari, Kabupaten Purwodadi, Jawa Tengah, 4 September 1958
Pendidikan : - S-1 Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang
- S-2 Teknik Hidrologi dan Lingkungan Universitas Delft, Belanda
- S-3 Teknik sipil Universitas Katolik Parahyangan
Pekerjaan :
- Biarawati
- Dosen Unika Widya Mandira, Kupang
- Pernah mengajar di Politeknik Undip dan Unika Soegijapranata, Semarang

Oleh YULVIANUS HARJONO

Ketika dilangsungkan sidang promosi doktor di Kampus Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Agustus lalu, Guru besar Unpar, Robertus Wahyudi Triweko, berkata kepada Susilawati ,"ketika kembali ke Kupang, anda akan menjadi orang yang langka. Menjadi elite diantara ahli-ahli SDA (sumber daya manusia) Indonesia,"
Tidak banyak elite ilmu pengetahuan di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini, Data dari Forum Akademia NTT menunjukkan, hingga akhir 2008 tercatat hanya 93 doktor yang pernah dan masih berdomisili di NTT, namun, hanya satu atau dua diantaranya yang berlatar belakang bidang keteknikan (engineering).
Dosen di Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang ini menaruh perhatian besar pada persoalan kekeringan yang kerap terjadi di kawasan terpencil Pulau Sabu dan Raijua, NTT.
Disertasinya, Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian pada pulau kecil di Kawasan Kering Indonesia, dalam sidang promosi doktor di Unpar ditujukan untuk membantu mengatasi kekeringan yang menjadi momok bagi warga Sabu dan Raijua.
Sebagai seorang Biarawati, tidaklah mudah bagi suster ini untuk meraih pencapaian seperti sekarang. Dari 116 biarawati dan pernah berkarya di Ordo PI, Susi adalah orang kedua yang bergelar doktor, namun ia satu-satunya yang memiliki latar belakang keilmuan dibidang teknik.
Latar belakang yang unik dan tidak biasa di kalangan biarawati inilah yang membuat dia terus mengalami pergumulan batin yang hebat. Pada 1981, ketika masih kuliah di Universitas Diponegoro (Undip), ia masuk ke PI untuk memenuhi "panggilan " hidupnya. Niatnya ini sempat ditolak keras oleh orangtuannya
Hal inipun berimbas pada statusnya yang mengambang di PI saat itu."Pada tahun 1983, saya diterima mengajar di Politeknik Undip. Status di PI masih tidak jelas, tetapi juga tidak dikeluarkan. Namun, dua tahun berikutnya saya pun memilih berhenti mengajar dan Full di biara," ucap wanita yang biasa disapa Suster Susi ini.
Pada 1994, Susi kembali kedunia akademis, mengajar di Unika Soegijapranata, Semarang, atas tawaran langsung dari Paulus Wiryono T SJ yang ketika itu menjabat Rektor (sekarang Rektor Unika Sanata Dharma, Yogyakarta). Disini ia mendapat beasiswa S-2 ke Universitas Delft, Belanda.
"Awalnya tidak dibolehkan oleh provinsial (PI), tapi akhirnyanya diizinkan juga setelah provinsial diyakinkan oleh beberapa pihak," ucapnya. Tahun 1996 iapun berangkat ke Belanda. Pada tahun 1998 ia kembali ke Indonesia, yaitu Timor Timur, untuk mengerjakan tesisnya di bidang hidroteknik.

Timor Timur

Di kawasan pengungsi Weberek, Timor Timur, ia mencoba mengembangkan sistem irigasi untuk lahan tidur yang banyak terdapat disana. Belum sempat terealisasi, disana terjadi insiden mencekam, yaitu bentrokan antara TNI dan gerilyawan Falentil yang membuat ia terpaksa harus pergi dari wilayah itu.
Sejak 2002 Susi memilih pindah bertugas di Kupang, setelah mengetahui Ordo PI membuka cabang baru disana. Di daerah ini ia menyadari bahwa potensinya sebagai biarawati sekaligus ilmuwan bisa difungsikan maksimal.
Untuk mengasah ilmu hidrotekniknya, selain ke Belanda, dia juga berkunjung ke Malang Jawa Timur dan Bandung Jawa Barat, Sejak 2006 ia kerap bolakbalik Kupang-Sabu dan Raijua untuk mengembangkan risetnya, bersamaan dengan mengambil program doktor di Unpar.
Saat berkeliling di Pulau Sabu, ia terenyuh melihat kondisi masyarakat setempat yang kebutuhan pangannya bergantung kepada daerah lain. Karena tanah yang tandus dan ekstremnya kondisi cuaca, dimana kekeringan bisa terjadi disepanjang tahun, tanaman pangan yang banyak membutuhkan air seperti padi dan jagung sangat sulit tumbuh disana.
"Yang ada hanyalah pohon lontar dan beberapa palawija seperti sorgum dan kacang hijau, tetapi tidak jarang warga gagal panen karena kekeringan," ucap biarawati yang lebih memilih berpakaian kasual saat berada diluar biara ini.
Kondisi wilayah yang sulit dijangkau kian memperberat kondisi ekonomi warga setempat. Dari Kupang ke Sabu butuh waktu perjalanan 15 jam dengan feri, itupun hanya ada seminggu sekali. Jika sedang musim angin barat dan timur praktis tidak ada transportasi umum karena ombak sangat besar dan berbahaya.
Menyadari beratnya kondisi ekonomi di pulau kecil itu, Susi bertekad mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk meneliti sistem pengelolaan terhadap air hujan untuk pertanian.
Ia mengembangkan konsep pemanfaatan model pengelolaan air hujan untuk pertanian yang terintegrasi dengan sistem prasarana, operasional dan pemeliharaan, kelembagaan, serta pemberdayaan masyarakat dengan sistem informasi manajemen terpadu. Dia meyakini, hanya dengan integrasi ini kekeringan di pulau kecil itu bisa diatasi secara teknis.
Konsep ini sekaligus merupakan penyempurnaan sistem embung (waduk kecil) yang dikembangkan pemerintah daerah setempat selama 20 tahun terakhir. "beberapa embung tidak lagi berfungsi karena penuh dengan sedimen, sementara yang lainnya kosong karena dimensinya tidak sesuai dengan daerah tangkapan hujan." paparnya.

Sentuhan teknologi

Sistem embung yang telah dikembangkan ini juga tidak mendapat dukungan memadai dari masyarakat pengguna, sebab pendekatan pengelolaannya masih bersifat top-down. Dengan kata lain, pengelolaan pemanfaatan air hujan di pulau Sabu-Raijua selama ini dinilainya masih jauh dari sentuhan teknologi, dan yang lebih buruk, pendekatannyapun elitis.
Untuk, itu dalam aplikasi studinya ia memanfaatkan kearifan-kearifan lokal yang telah lebih dahulu tumbuh, misalnya pembuatan jebakan-jebakan air atau cekdam-cekdam kecil berantai serta sumur-sumur gali yang telah digunakan di Desa Daieko yang terletak diujung barat pulau Sabu. Dengan alat berbasiskan data dan sistem informasi yang dikembangkannya dapat ditentukan secara tepat teknis dan posisikeberadaan jebakan-jebakan air. Prasarana semacam ini relatif lebih murah ketimbang membangun embung-embung yang hasilnya belum tentu juga efektif.
Meskipun fisiknya melemah karena harus berjuang melawan penyakit mastitis tuberkulosis, Susi bertekad mewujudkan mimpinya menghijaukan Pulau Sabu-Raijua.

Dikutip dari KOMPAS, Senin 14 Desember 2009.

Jumat, 11 Desember 2009

Pesona Batik Lurik Lina Berlina

LINA BERLINA
Lahir : Bandung, 12 Oktober 1959
Anak : Stephanie Soraya Reichi (15)
Coelina Tiffanie Reichi (13)
Pendidikan : Pendidikan Design Mode Bandung
Pengalaman di Indonesia : 1989-1992, menggelar berbagai pameran busana karyanya di Indonesia
Pengalaman di Eropa : 1992-2002, pameran busana bersama Konsulat Jenderal Republik
Indonesia di Berlin
2004, Holmes places executive club model department, L'Oreal, KBRI Berlin.
2005, Quarter 205 Berlin, dalam rangka "2nd innovation stage Gesundeit und Lebenskuntst" bersama Label Fashion Cafes dan Aptheke Q205
2006, Malam dana untuk anak cacat dan korban gempa bumi bekerjasama dengan KJRI Frankfurt, Starbucks house coffee Friedrichstr 61 Berlin Mitte
2007, Peragaan di KBRI Paris, Perancis, peragaan di Import Shop Berlin, Gedung Pameran ICC Berlin
2009, Peragaan di Gedung Messe Leipzig, peragaan di gedung Rotes Rathaus Berlin dalam rangka The Asia Pacific Weeks

Oleh NELI TRIANA
Gelar budaya Indonesia ini diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jerman sebagai bentuk partisipasi, sekaligus promosi wisata dalam rangkaian acara The Asia Pasific Weeks 2009, tanggal 7-18 Oktober di Berlin.
Lebih dari 300 penonton, orang-orang Indonesia yang bermukim di Berlin maupun warga lokal penikmat seni budaya nusantara terkagum-kagum dengan suguhan musik keroncong dan tari-tarian. Belum lagi reda rasa kagumitu, tiba-tiba ada pemandangan yang tak biasa muncul di panggung, sosok wajah remaja perempuan berwajah indo terlihat cantik dibalut busana batik yang dipadukan dengan kain lurik, sebuah tas tangan dari bahan kain lurik ringan ditenteng si gadis.
Memang ini bukan peragaan busana batik dan kebaya biasa, kali ini Lina Berlina, sang perancang, sengaja mendesain batik dan lurik menjadi busana modis dan modern tanpa meninggalkan keagungan nilai tradisionilnya.
Ada sederet model yang memamerkan karya Lina, Kemben dari lurik dilapis kebaya bordir transparan dengan bawahan celana berbahan kulit ketat indah melekat ditubuh para model. Tas lurik, bahkan caping bambu berlapis kain batik, makin membuat tampilan mereka makin memesona.
Untuk busana pria, bahan lurik tetap menjadi primadona. Kemeja lurik lengan panjang membungkus ketat badan tegap peragawan, dipadu dengan celana ketat, kreasi lurik Lina terkesan tetapi ringan dan modis. Sebagian besar penonton tidadk menyangka bakal melihat busana tradisional dalam wujud kreasi yang cukup berani itu.
Siapa sebenarnya Lina Berlina? Perempuan yang berusia tepat setengah abad pada Oktober lalu itu telah lama malang melintang di dunia mode. Walaupun asli Bandung, Jawa Barat, selama lebih dari separuh usianya, Lina aktif berkreasi di tanah air, sepanjang 1980-an hingga awal 1990-an ia bekerjasama dengan sederet model ternama Indonesia seperti Keke Harun, Soraya Haque dan Okky Asokawati.
"Pada 1992, sesuatu mengubah hidup saya, waktu itu atas undangan KBRI, saya menggelar fashion show di Berlin, lalu Juli 1993, saya memutuskan hijrah ke Berlin. Sudah takdir Lina Berlina tinggal di Berlin," ujarnya tersenyum.
Pindah ke Berlin, merupakan keputusan berat bagi Lina. Ia harus meninggalkan Berlina Fashion Studio di Indonesia yang kala itu cukup berkembang. Namun jiwa seni dan kreativitas memang tidak dapat dibendung. Sebagai ibu rumah tangga, Lina mencoba tetap aktif mendesain pakaian. Diapun mendapat kepercayaan mengisi acara-acara peragaan busana bekerjasama dengan KBRI. Kecakapannya bergaul dan membangun jaringan membuat dia memiliki banyak teman di Eropa.
"Akhirnya saya putuskan berkarier sebagai desainer Indonesia di Jerman," katanya.
Lurik dan Kulit kayu
Dunia mode memang tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan Lina, semenjak remajaia tergila-gila dengan mode. Darah seni itu diyakininya mengalir dari almrhumah ibunya yang senang melukis. Lina muda lebih dulu belajar merancang secara otodidak sebelum memutuskan masuk sekolah mode di Pendidikan Design Mode Bandung.
"Saya baru fokus menekuni batik lagi setelah batik resmi mendapat pengakuan internasional. Dulu kan sempat ada rebutan batik antara Indonesia dan Malaysia. Selama itu terjadi saya tidak berani memakai batik untuk rancangan saya di luar negeri, khawatir bermasalah. Hukum dan Hak Paten sangat menentukan disini (Eropa)," katanya.
Namun, kecintaan terhadap hasil karya Indonesia tak menghalanginya bersiasat menghasilkan karya unik dan menarik perhatian publik. Pilihannya kali ini jatuh ke lurik karena bahannya mempunyai garis-garis klasik dan orisinal katun. Semakin lama dipakai dan sering dicuci, lurik semakin enak dipakai.
"Saya prihatin dengan lurik karena kalah dengan batik cap. Belakangan ini mencari lurik susah, karena sedikit yang menggunakannya. Untuk itu saya bertekad mengoptimalkan potensi lurik karena dengan keunikan dan kekhasannya, lurik harus dilestarikan," tambah Lina.
Yang menambah semangat Lina, Lurik dengan garis-garis dan warna coklat hitam khasnya amat disukai orang eropa. Dia memutuskan mengangkat dengan penampilan baru, yaitu menyatukan antara desain tradisional dan modern dalam harmoni. Lurik makin unik saat Lina memadukannya dengan kulit kayu, kulit sapi juga denganbatik.
"Produk saya itu seperti iklan berjalan diantara teman-teman eropa saya. Yang jelas peragaan busana selalu digelar minimal satu kali setahun. Karya saya pun gampang dicari di Dom Aquaree Alexander Plazt," jelas Lina.
Meski sedang dalam proses, ditargetkan akhir tahun ini hingga awal 2010, karya-karya Lina segera akan dipampang di Hotel Hilton dan Shan Rahim Khan Casa am Gendarmenmark, Berlin.
Dukungan diakui Lina memang muncul dari banyak pihak, KBRI, Pemerintah Indonesia, Pemerintah Kota Berlin, Pengusaha lokal dan pencinta seni setempat ada di pihaknya. Shan Rahimkhan Star, Penata rambut terkenal di Berlin yang pernah menata rambut Tony Blair dan istri, juga artis-artis Hollywood saat berkunjung ke Berlin, merupakan salah satu pendukung setia Lina. Sentuhan-sentuhan profesional inilah yang membantunya sukses disetiap pergelaran busana, termasuk saat dia memamerkan karyanya di Paris, Perancis.

Dikutip dari KOMPAS, Jumat, 11 Desember 2009

dengan

Kamis, 10 Desember 2009

Sarni, berbuat untuk contoh

SARNI
Lahir : Magetan, 19 Juni 1953
Pendidikan : SD Negeri Bulugunung, Plaosan Magetan
Alamat : Dusun Claket, Bulugunung, Plaosan, Magetan
Istri : Kasi
Anak : 2 orang
Penghargaan : 1. Kalpataru bagi Pengabdi Lingkungan (5 Juni 1998)
2. Tanda Kehormatan Karya Satya Lencana Pembangunan ( 5 November 2009)

Oleh : A. PONCO ANGGORO

"Ojo ngomong tok (jangan ngomong saja), tunjukkan dengan perbuatan. Dengan begitu orang akan mengikuti."
Inilah prinsip Sarni saat menjaga kelestarian Telaga Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, dan sumber air di lereng Gunung Lawu sejak 29 tahun silam.
Prinsip itu tanpa dinyana mampu menggerakkan warga yang tinggal disekitar Telaga Sarangan lebih peduli akan kelestarian lingkungannya.
Bukan itu saja, Sarni pun menerima dua kali penghargaan dibidang lingkungan. Pertama penghargaan Kalpataru Bidang Pengabdi Lingkungan yang diserahkan oleh Presiden BJ. Habibie (1998), Kedua, Sarni menerima tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang diserahkan oleh Wakil Presiden Boediono sebagai penghargaan atas konsistensinya menjaga lingkungan hidup setelah menerima Kalpataru sebelas tahun silam.
"Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, saya yang hanya lulusan sekolah dasar bisa ketemu pejabat-pejabat penting di Indonesia," tuturnya.
Kiprah Sarni sebagai pelestari lingkungan disekitar Telaga Sarangan dan sumber-sumber air yang airnya masuk ke telaga tujuan wisata utama di Kabupaten Magetan itu dimulai tahun 1980. Saat itu dia menjadi tenaga harian di Dinas Pengairan Magetan.
Tugasnya berat. Untuk menuju Sarangan, dia harus berjalan kaki 8 kilometer dari rumahnya di Dusun Claket, Desa Bulugunung, Kecamatan Plaosan, Magetan. Saat itu belum ada angkutan umum atau kendaraan bermotor lainnya.
Setelah di Sarangan, dia harus berjalan kaki lagi sejauh 2,5 kilometer menyusuri saluran air dari sumber-sumber air di lereng Gunung Lawu ke sarangan. Tugasnya menjaga kondisi saluran air.
Pekerjaannya ini masih dilakoninya meskipun pada tahun 1985, Sarni telah diangkat menjadi penjaga pintu air di Telaga Sarangan, bahkan sampai pensiun sebagai penjaga pintu air pada Juli 2009.
Tugas itu membuatnya sering berinteraksi dengan warga di sekitar Telaga Sarangan. Maklum saja karena mayoritas warga bekerja sebagai petani membutuhkan pasokan air dari telaga Sarangan untuk mengairi tanamannya.
Sebaliknya Sarni sangat membutuhkan warga saat longsor menutup saluran air menuju ke Sarangan. "Longsor ini sering terjadi setiapkali musim hujan, tidak mungkin saya sendiri membersihkan longsoran itu," ujarnya.
Dari seringnya interaksi itulah dia memulai mengajak dan menyadarkan warga akan pentingnya menjaga kelestarian Telaga Sarangan.
Mereka bekerjasama membersihkan saluran air peninggalan Belanda yang posisinya berada di bawah tanah, Ada dua titik saluran yang seperti ini, masing-masing memiliki panjang 30 meter dan 20 meter, tinggi saluran ini sekitar 2 meter.
Saat itu tidak ada satupun orang yang berani masuk karena gelap, padahal pembersihan kedua titik saluran air ini penting untuk mengembalikan volume air yang masuk ke telaga yang kala itu berkurang banyak.
"Saya lalu masuk sendiri kesaluran itu dan memasang sepuluh lampu didalamnya, saya sambungkan lampu-lampu itu dengan tiang listrik terdekat agar bisa menyala," katanya. Setelah kondisi saluran terang dan terlihat saluran tertutup oleh bebatuan, sampah kayu dan pasir, barulah warga mau membantu Sarni membersihkannya.
Sisihkan uang panen
Selanjutnya, dia mulai menyadarkan warga akan pentingnya membenahi saluran air menuju areal pertanian warga. Saluran air yang sebelumnya hanya terbuat dari tanah membuat air sering merembes keluar saluran. Volume air yang sampai ke pertanian pun tidak cukup memenuhi kebutuhan.
"Setiap panen, mereka mau menyisihkan uang untuk membangun saluran agar disemen. Butuh waktu lima tahun untuk melapisi seluruh saluran dengan semen," katanya. Saluran ini panjangnya sekitar 2 kilometer sampai dengan 3 kilometer.
Begitu pula pemasangan selang dan paralon dari sumber air ke permukiman warga di Desa Sarangan dan Ngancar. "Warga juga mau menyisihkan uangnya agar pasokan air bersih kedesanya lancar," ujarnya.
Kemudian, tahun 2007, dia juga memotivasi warga agar membatasi penggunaan air dengan menggunakan sprinkler. Dengan penggunaan alat ini, air untuk mengairi 1 hektar tanaman sayuran, mayoritas tanaman yang ditanam di sekitar Sarangan, cukup 600 liter, padahal jika menggunakan saluran irigasi, air yang terpakai seringkali berlebihan hingga sampai 1.000 liter untuk setiap 1 hektarnya.
Tidak hanya itu, dia mengajak warga untuk menanm bibit pohon di sekitar Telaga Sarangan dan empat sumber air besar yang memasok air ke telaga, tak lain untuk menjaga lingkungan tetap lestari sehingga air yang begitu penting untuk penghidupan warga itupun tetap lestari.
Bibit-bibit pohon ini dibuat Sarni sendiri memanfaatkan botol air kemadan plastik yang sering ditemukannya di saluran air ataupun di sekitar telaga. "Saya sengaja memungut botol-botol bekas itu untuk dijadikan tempat bagi bibit pohon," ujarnya.
Cara membuat bibit-bibit pohon memanfaatkan botol kemasan plastik ini lalu ditularkan Sarni kepada Warga lainnya sehingga sekarang banyak warga yang menjual bibit pohon untuk menambah penghasilan mereka.
Selain memungut sampah plastik, sampah-sampah non plastik yang sering dipungutnya di saluran air dan sekitar telaga pun diolah. Sampah-sampah ini diolahnya menjadi pupuk kompos dicampur dengan kotoran ternak. Sama seperti cara pembuatan bibit pohon, Sarni menularkan cara pembuatan pupuk ini kepada warga lainnya.
"Tanah menjadi lebih subur dan produksi tanaman warga meningkat setelah menggunakan pupuk tersebut," katanya.
Seluruh upaya ini bisa berhasil setelah dirinya sendiri ikut menerapkannya. Tanpa itu, dia yakin tidak akan bisa mengubah warga. "Kalau tidak ada contoh, orang lain tidak akan mau mengikutinya," ujarnya.
Sekarang setelah dia pensiun dari pekerjaannya dan memperoleh sejumlah penghargaan atas apa yang dilakukannya, dia tidak berhenti untuk mengajak warga menjaga lingkungannya dan tentunya membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Saat ini, dia sedang berupaya mengolah kotoran ternak di desanya menjadi biogas. Mengubah kotoran ternak menjadi biogas ini diketahuinya saat dia menghadiri peringatan Hari Lingkungan Hidup di Malang beberapa tahun lalu.

Dikutip dari KOMPAS, Senin 7 Desember 2009


Selasa, 08 Desember 2009

Temu, Benteng Terakhir Gerabah Manggung

TEMU (70)
Lahir Karanganyar Jawa Tengah, 1939
Suami : Karto Tukiman (80)
Anak : -Tukiyem (50)
- Semi (45)
-Tumi (43)
- Pardi (41)
Cucu : 12
Buyut : 5

oleh SRI REJEKI

Dusun Daleman dahulu dikenal sebagai sentra gerabah. Menyusuri dusun ini sekitar 20 tahun yang lalu masih tampak pemandangan perempuan-perempuan di depan rumah tengah menekuni papan putar dihadapannya. Dengan tangan telanjang mereka membentuk sebongkah tanah liat basah bercampur pasir.
Tanah itu ditinju kecil dengan kepalan tangan lalu dibentuk dan diusap-usap agar halus permukaannya dan menghasilkan ketebalan yang diinginkan, dahulu sebagian dari mereka juga menggunakan alat bantu tatap dan sulo.
Namun kini hanya Temu yang mau menekuni pembuatan gerabah di dusun yang terletak di Desa Cangakan Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, itu. Sejak usia 10 tahun hingga kini bercucu 12 orang dia setia membuat gentong, kuali, wajan (penggorengan), lemper (tempat sambal) dan pengaron (panci penanak nasi)
Barang-barang gerabah untuk keperluan rumah tangga itu membuat Temu, akrab dipanggil Mbah Karto, karena bersuamikan Karto Tukiman, mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga sekolah menengah atas, menikahkan mereka dan tentu saja memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
"Hasilnya bisa untuk menghidupi keluarga, membeli beras, menyekolahkan anak, sampai membantu ongkos sunatan keponakan" kata Temu tentang penghasilannya dari gerabah.
Setiap minggu Temu masih mampu meraup penghasilan sekitar Rp.200.000,- Penghasilannya sebulan cukup bersaing dengan pendapatan buruh pabrik sebesar Rp.600.00 - Rp.700.00,- Namun, para perempuan setempat terutama yang berusia muda lebih suka pergi ke kota menjadi buruh pabrik.
"Pekerjaan seperti ini Rekasa dan kotor" kata Temu tentang pembuatan gerabah yang butuh banyak tenaga dan berlepotan lumpur. Kemungkinan itulah penyebab perempuan-perempuan muda setempat tak tertarik menekuni gerabah.
Bahkan Temu pun tak memiliki generasi penerus. Dua anak perempuannya Tukiyem dan Semi yang sempat membantu membuat gerabah, setelah menikah memilih bertani dan berdagang.
Adapun para lelaki di dusun itu sejak dulu memang tidak akrab dengan pembuatan gerabah, peran mereka lebih pada menjual gerabah yang sudah jadi ke pasar.
"Ayah saya dulu masih sering menjual gerabah buatan ibu dengan cara dipikul dan berjalan kaki ke pasar-pasar di Solo, Karangpandan sampai Tawangmangu, disini ibu-ibu membuat gerabah dan bapak-bapak yang bertugas menguangkan gerabah buatan istrinya, ini mereka lakukan di luar musim tanam dan panen" kata Pardi, anak bungsu Karto dan Temu.
Menjadi rujukan
Gerabah pernah menjadi andalan perempuan setempat untuk menafkahi keluarga, kebanyakan warga dusun Daleman bekerja sebagai buruh tani, hanya satu dua orang yang memiliki lahan pertanian pribadi.
Namun setelah munculnya berbagai produk dari plastik seperti gentong plastik, perlahan tapi pasti menggusur gerabah. Tahun 1990-an jumlah pengrajin gerabah menyusut. Terlebih gerabah tak pernah "tersentuh" pemerintah daerah setempat untuk peningkatan nilai ekonominya, seperti yang terjadi di Bayat (Klaten), Jawa Tengah) atau Kasongan (Bantul, Yogyakarta).
Sejak dulu produksi yang dikenal sebagai gerabah manggung ini hanya seputar gentong, kuali, wajan dan kebutuhan sehari-hari, Harga jualnyapun tidak bisa terlalu tinggi, contohnya, sebuah gentong setinggi 50 cm hanya dihargai Rp.10.000, Harga gentong ukuran duakali lipatnya adalah Rp.20.000, pengaron Rp.4.000, kuali Rp.2.000 dan lemper Rp.1.250. Tak ada gerabah yang diarahkan untuk keperluan artistik atau dekorasi.
Dikawasan tetngganya , Dusun Manggung, masih ada beberapa perajin seusia Temu, namun mereka tidak rutin berproduksi. Gerabah buatan Temu juga dikenal paling halus dan awet, jadi gerabah buatannya dihargai lebih tinggi, seperti wajan buatan Temu dihargai Rp.3.000, sedangkan produk perajin lain Rp.1.000, perbuah.
Temu pun selalu dijadikan rujukan oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar jika ada orang yang hendak mempelajari teknik pembuatan gerabah Manggung.
Tiga tahun lalu misalnya, sekitar 20 Mahasiswa Universitas Negeri Sebelas Maret Solo belajar teknik pembuatan gerabah kepada Temu selama sebulan, demikian pula enam tahun yang lalu, 40 orang Jepang datang kerumahnya, mereka mengamati pembuatan gerabahnya.
Pesanan
Gerabah buatan Temu seluruhnya merupakan pesanan, seperti gentong wadah cendol untuk keperluan hajatan atau berdagang, padasan atau wadah air untuk berwudhu, lemper atau wadah sambal pesanan para pedagang pecel lele, atau pot bunga, kadangkala konsumen membawa gambar gerabah pesanan kepadanya.
Temu mencampur sendiri adonan bakal gerabah berupa tanah liat, pasir dan air. Tanah liat ia beli dari lingkungan sekitar seharga Rp.35.000, untuk satu bak mobil pickup dan bisa untuk membuat 10 gentong, setelah dicampur menjadi satu ia menyisir kerikil-kerikil yang masih terdapat dalam adonan dengan seutas kawat tipis, kerikil dapat membuat gerabah merekah saat dikeringkan.
Adonan kembali diolah dengan cara menginjak-injaknya dengan kaki, setelah itu mulai diputar diatas perabot untuk dibentuk piringan dasarnya, sekitar 20 menit bagian dasar gerabah dikeringkan agar kokoh, selang tiga jam kemudian baru dilanjutkan kembali membentuk bangunan gerabah. Dalam sehari, kira-kira Temu mampu menyelesaikan 10 gentong.
Dia belajar membuat gerabah dari mendiang neneknya, Mbah Reso. Bakat dan rasa cintanya kepada gerabah membuat perempuan yang tak pernah merasakan bangku sekolah ini mengembangkan sendiri kemampuannya
"Hati saya ada digerabah, dari gerabah saya bisa menghidupi keluarga, saya tidak pernah mencoba (pekerjaan) lain, seperti bertani," kata Temu.
Sayang tidak dijumpai cerita lisan atau tertulis tentang asalusul gerabah manggung. Tanah di wilayah manggung dan Daleman tergolong tanah liat yang cocok dibuat gerabah, Diperkirakan tradisi pembuatan gerabah telah berlangsung selama beberapa generasi.
Menurut Pardi, pembuatan gerabah kemungkinan berasal dari Manggung, lantas menyebar ke Daleman, "Bertemunya Tatap dan Sulo yang bunyinya seperti orang bertepuk tangan itu membuat mereka yang lewat merasa ditepuktangani sehingga muncul nama manggung, seperti orang yang pentas diatas panggung dan diberi tepuktangan," ceritanya.
Sekitar dua pertiga perempuan di Dusun Daleman dan Manggung yang dihuni 300-an kepala keluarga itu dhulu terlibat pembuatan gerabah, kini hanya Temu dan tujuh perempuan seusianya yang masih menekuni gerabah. Merekalah benteng terakhir gerabah manggung yang berada diambang kepunahan.

dikutip dari Kompas, Selasa, 8 Desember 2009.

Jumat, 04 Desember 2009

Assalamualaikum Wr.Wb, salam sejahtera bagi kita semua.
Berawal dari rasa kagum terhadap sosok para tokoh yang ditampilkan oleh Koran Kompas dan keinginan untuk menuangkannya didalam suatu "tempat" agar lebih banyak orang yang bisa membacanya dan berharap bisa menjadi pencerahan atau panutan, maka kami memberanikan diri untuk membuat blog ini murni mengutip dari Koran Kompas.
Salut kepada Koran Kompas dan pihak-pihak terkait yang telah menampilkan sosok-sosok tersebut, selamat membaca.