Kamis, 30 Desember 2010

Mbok Temu : Tetap Energik di Usia Tua


MBOK TEMU

Usia : 65 tahun
Pencapaian : Penari Gandrung dan pemilik Sanggar Kesenian Gandrung Sopo Ngiro

"Saya mau menari gandrung sampai kaki, tangan, dan badan ini sudah tidak bisa digerakkan lagi," tutur Mbok Temu, perempuan berusia 65 tahun, warga Dusun Kedaleman, Desa Kemirien, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

OLEH KHAERUL ANWAR

Ucapan itu menggambarkan sikap, pandangan, dan pilihan Mbok Temu sebagai penari gandrung profesional. Sikap ini dia tunjukkan sebab penari gandrung seangkatannya banyak yang memilih pensiun. Ia juga melatih, menularkan ilmunya kepada kaum muda yang ingin belajar tarian gandrung. tarian yang menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi.
Ia bertekad tetap aktif memenuhi undangan ngibing. "Saya sedang menunggu jemputan, ngegandrung," ujarnya pada suatu sore menjelang magrib, mempertegas konsistensinya pada kesenian gandrung. Selama November 2010, misalnya, Mbok Temu "ngamen" di tiga lokasi dan sanggup begadang mulai pukul 09.00 hingga 04.00.
Ia memang penari gandrung profesional. Profesional yang dia maksud adalah menggelar tari gandrung yang meliputi tahapan Topengan (tarian menggambarkan gerak-gerik ksatria), Jejer (tari pembuka), Ngrepen/Repenan (penari duduk bersama tamu dan mengajaknya menari), Paju/Maju (mengatur pergiliran tamu yang ingin menari dengan penari gandrung), dan Seblang-seblangan (tarian penutup di akhir pagelaran).
Mbok Temu tampil sebagai penari gandrung terop memenuhi keinginan pengundang, tanpa meninggalkan gandrung profesional yang sudah memiliki pakem. Cintanya pada gandrung telah memberi kebahagiaan dan kepuasan bagi Mbok Temu. Lewat kesenian inipula, pada periode 1970-1980 ia mencapai popularitas sebagai salah satu primadona penari gandrung.
Ia ngamen dari desa ke desa, para pengundang antre menunggu jadual kesediaannya untuk tampil. Tak heran bila masyarakat saat itu lebih mengenal Mbok Temu ketimbang bupati atau pejabat eksekutif dan legislatif.
Kelebihan Mbok Temu tak hanya pada kemampuannya menari, tetapi juga suaranya yang nyaring dan bening dalam melantunkan syair kesenian gandrung. Untuk bisa melahirkan suara yang bening, ia menjalani terapi gurah dengan memasukkan ke hidungnya ramuan berbahan daun cabai, bawang putih, dan kunyit yang ditumbuk halus, lalu diberi sedikit air. Konon ramuan itu bisa menghilangkan lendir di tenggorokan. "Rasanya pedih sekali, air mata sampai keluar," katanya.
Rumah di atas tanah seluas 6 meter x 12 meter yang dia tempati bersama anak angkatnya membuktikan penari ini mampu meraih sukses. Melatih remaja putri menjadi penari gandrung atau menerima mereka yang nyantrik atas kemauan sendiri adalah bentuk totalitas Mbok Temu pada gandrung.
Mbok Temu adalah salah seorang dari 20 seniman di Kabupaten Banyuwangi yang mengantongi kartu Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ia berhak mendapat layanan kesehatan pada 16 rumah sakit di provinsi itu.

Bertani

Bulan Muharam, Ramadhan, dan Zulkaidah adalah masa sepi tanggapan, karena masyarakat menganggap pantang mengadadkan acara sukaria pada bulan-bulan itu. Jadilah Mbok Temu mengisi hari-harinya dengan bertani di sawah peninggalan orangtuanya seluas 0,25 hektar dan membuat busana kelengkapan menari yang berhiaskan manik-manik dan dijual seharga Rp.40.000. Selebihnya perempuan yang semula bernama Misti ini beternak ayam yang dipelihara di belakang rumahnya. "Bulan ini ada 20 ekor yang terjual, dengan harga rata-rata Rp.30.000 per ekor," katanya.
Di luar bulan "terlarang" untuk pentas itu, Mbok Temu memenuhi padatnya jadual undangan, bahkan pengundang harus antre untuk itu. "Saya senang, banggalah, apalagi ditonton orang banyak," katanya. Namun, disisi lain, ia memendam sakit hati menyusul kesan "miring" yang menimpa penari gandrung, seperti gemar kawin-cerai atau gampang "diajak". Gemerlapnya hiasan pakaian penari gandrung dan gerakan pinggulnya yang terkesaan erotis membuat pemaju (lelaki yang menjadi lawan menarinya) terpesona.
"Jika ada pemaju yang ketahuan ingin mencium, harus kita hindari dengan langkah pendek sambil memutar atau menangkis dengan tangan," kata Mbok Temu.

Sakit-sakitan

Berbagai konsekuensi agaknya sudah dipertimbangkannya, terlebih ada pengalaman batin yang melatarbelakangi proses persinggungannya sebagai penari gandrung. "Sewaktu usia saya belum genap lima tahun, saya sering sakit. Setelahberobat padaorang 'pintar', nama saya diganti dari Misti menjadi Temu. Dukun itu bilang kepada ibu, agar nanti setelah sembuh saya menjadi penari gandrung,"
Menginjak usia 15 tahun, Mbok Temu resmi menjadi penari gandrung. Belakangan orangtuanya, pasangan Mustari-Supiah, yang semula tak setuju karena kakeknya seorang tokoh agama, berbalik mendukung. Mustari malahmembuatkan omprok (mahkota) dari kertas bekas pembungkus semen.
Tahun 1970-1980-an adalah masa sibuk Mbok Temu. Undangan untuk tampil datang silih berganti. Selain dia diminta pentas di Banyuwangi, permintaan juga datang dari jakarta, Surabaya, Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Bali.
"kalau saya main jam 21.00, berarti berangkat dari rumah menjelang magrib. Kami membawa obor karena saat itu belum ada listrik," cerita Mbok Temu. Pembagian hasil pentas adalah 40 persen untuk gandrung, 60 persen untuk yogo atau penabuh kendang, ketuk, kenong, biola, dan kluncing (alatmusik berbentuk triangle).
Pembagian hasil yang teratur, ditambah kecenderungan masyarakat yang melihat gandrung sebagai hiburan dewasa, membuat Mbok Temu yang juga pemilik Sanggar Kesenian Gandrung Sopo Ngiro ini bertahan sebagai penari dalam usianya yang kian sepuh.
(SYAMSUL HADI/NASRU ALAM AZIZ)

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 31 DESEMBER 2010

Selasa, 28 Desember 2010

Suratani : Inovasi untuk Industri Gerabah


SURATANI

Lahir : Palembang, 10 Oktober 1958
Alamat : Kampung Ajun RT 10 RW 2 Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat
Istri : Hamidah
Anak :
- Deni (28)
- Helani (26)
- Saiful Anwar (24)
- Hendrik (22)
- Tinov Pahlawan (20)
- Kusniawan (18)
- Jalaludin (16)
- Risa Maulidah (9)
Pendidikan : SD di Talang Subur, Palembang

Sempat frustasi dan "menghilang" karena karyanya dijiplak secara massal, Suratani (52) kembali ke kampung halaman. Bersama perajin lain di Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, dia berkarya kembali dan memberi warna pada industri gerabah yang telah hidup turun temurun.

OLEH MUKHAMAD KURNIAWAN

Kiprah Suratani tergolong fenomenal pada tahun 1985. Karyanya mendadak terkenal setelah memenangi sejumlah lomba desain dan kerajinan di tingkat regional maupun nasional. Corak tembaga dan bentuk yang dinilai tak lazim ketika itu menjadi kekuatan karyanya.
Karya Suratani pun diikutkan pada beberapa pameran yang digelar pemerintah maupun swasta. Dalam hitungan hari, pembeli berdatangan, termasuk pembeli dari luar negeri. Mereka memburu keramik Suratani untuk dikoleksi atau dijual lagi.
Akhir tahun 1985, Suratani mengekspor karyanya untuk pertama kali ke Singapura. Perlahan tapi pasti, usahanya berkembang. Dua tahun berikutnya, ribuan produk Suratani dikirim ke Malaysia, Selandia Baru, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.
Menurut Kepala Litbang Keramik Kabupetan Purwakarta Ahmad Nizar, ekspor karya Suratani menjadi tonggak bersejarah bagi industri rakyat yang hampir satu abad itu. Sebab, sejak dirintis Dasjan, Sarkum, Wasja, dan Suhara tahun 1904, belum ada karya perajin Plered menembus pasar luar negeri.
Tingginya permintaan corak Suratani mendorong perajin lain memproduksi keramik dengan corak serupa. Peniruan pun meluas oleh ratusan unit usaha dengan ribuan tenaga kerja di Plered.
Awalnya, produksi keramik bercorak tembaga skala massal terasa menguntungkan. Suratani, yang sebenarnya terusik dengan penjiplakan karyanya, merasa mampu berdamai dengan situasi. namun, secara perlahan pasar tergerogoti karena mutu produk yang tak terjaga. Pembeli kabur. Perang harga dan bentuk persaingan tak sehat lain pun terjadi.
"Guci yang di luar negeri laku dijual Rp.125.000 diobral perajin disini Rp.50.000. Sekilas produknya mirip, tetapi mutu bahan baku dan finishing jauh beda. banyak pembeli tak tahu itu dan mereka tertipu," kata Suratani.
Puncak penurunan ekspor terjadi tahun 1994. Usaha Suratani dan beberapa perajin merugi. Merasa kesal dengan situasi, Suratani memilih meninggalkan kampung halaan dan berkarya di luar daerah. Sempat merintis usaha pembuatan keramik di Palembang, Lampung, dan sejumlah kota/kabupaten, dia akhirnya kembali ke Plered tahun 2008.

Memompa diri

Orangtua Suratani, Samani (alm)-ratmi, pindah ke Purwakarta saat usia Suratani remaja. Keterbatasan ekonomi memaksa Suratani dan beberapa saudara kandungnya putus sekolah. Setelah lulus SD di Palembang tahun 1970, Suratani tak bersekolah lagi.
Sadar akan keterbatasan itu, Suratani muda bertekad memanfaatkan peluang untuk mengembangkan diri. tahun 1979, sebuah tawaran mengikuti pendidikan di Balai Penelitian Keramik (BPK) diiyakannya tanpa pikir panjang. Bersama tujuh pemuda lain asal Plered, Suratani menjalani pendidikan BPK di Bandung hingga 1982.
Merasa perlu menambah pengalaman, Suratani mengelana ke Jakarta dan bergabung dengan seniman-seniman di Pasar Seni Ancol. "Saya berinteraksi dengan seniman lukis, kriya, tari, dan lainnya. Semua memberi warna pada karya saya," ujarnya. tahun 1985, Suratani kembali ke Plered dengan harapan bisa mengaplikasikan ilmu dan pengalamannya.
Sentuhan Suratani nyatanya berbeda. Usahanya mengampelas guci yang kehitaman karena hangus dalam proses pembakaran justru mendapati corak tembaga. Suratani menilai corak itu artistik. Beberapa diantaranya ia sertakan dalam lomba kerajinan yang digelar Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) daerh dan pusat, juga Dewan Kerajinan Dunia (World Craft Council) tahun 1985. Disemua ajang itu karya Suratani menyabet gelar.
Dia tak pernah pelit membagi pengetahuan dan "resep" karyanya. Suratani berbagi trik agar perajin lain ikut menikmati keuntungan dari membanjirnya permintaan.
Akan tetapi , persaingan justru kian tak sehat dan merusak pasar keramik Plered seiring membeludaknya produk serupa dengan kualitas yang beragam. Selepas tahun 1990, satu persatu unit usaha merugi. Suratani akhirnya memilih pergi dari daerahnya.

Bank desain

Dalam perantauannya, Suratani tetap berkarya. Dia membuka usaha serupa di Talang Subur, Palembang, kemudian di Natar, Lampung. Usaha pembuatan gerabah dan keramik hias di dua daerah itu terus berkembang dan menghidupi puluhan perajin dan keluarganya.
Setelah 14 tahun berkelana, Suratani kembali ke Plered. Keberadaan koperasi perajin dan cluster industri yang menjamin penghargaan atas karya serta mengontrol pemasaran dan persaingan antar unit usaha memotivasinya kembali. Kantor Litbang Keramik Purwakarta turut "membujuk" Suratani kembali berkarya.
Kekhasan produk Suratani menjadi unsur pemerkaya produk asal Plered, juga membedakannya dari sentra gerabah lain di Indonesia, seperti Kasongan (Yogyakarta) dan Lombok. Corak bernilai seni dengan teknik pembuatan keramik murni menjadi ciri khas karyanya.
Untuk melindungi hak cipta, Suratani mengusulkan adanya bank desain. Ide itu sejalan dengan program koperasi perajin dan cluster industri gerabah di Plered. Setiap perajin berhak mencatatkan desain keramik, corak finishing, berikut bahan bakunya. Suratani sendiri telah mencatatkan 12 karya berkode "SR" 1-12 dalam bank desain itu.
Lima karya Suratani, yakni SR 5-9, dan sejumlah karya perajin Plered lain ambil bagian dalam pameran produk ekspor di Jakarta, Oktober 2010. Semuanya diminati. Kantor Litbang Keramik mencatat 24 negara meminati karya itu dan sebagian di antaranya telah memesan, seperti dari Australia, Amerika Serikat, dan Inggris.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 29 DESEMBER 2010

Senin, 27 Desember 2010

Melly Kiong: Perkuat Pendidikan di Rumah

MELLY KIONG

Lahir : Singkawang, Kalimantan Barat, 17 Juli 1969
Suami : Tatang Wijaya (42)
Anak :
- Julian (13)
- Matthew (9)
Pendidikan : SMA Permai Jakarta
Pengalaman kerja :
- PT Polygon Mas, 1988-1994
- Polychemic Asia Pasifik, 1994-2009
Karya buku :
- Siapa Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik? (2008)
- Cra Kreatif Mendidik anak ala Melly Kiong (2009)

Melly Kiong merasa "tersesat" ketika berkecimpung semakin dalam di dunia pendidikan. Melly yang semula karyawan perusahaan swasta selama 21 tahun itu, tahun lalu memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Kini ia dikenal sebagai penulis buku-buku pengasuhan dan pendidikan anak di rumah, serta pembicara tentang strategi orang tua mendidik anak dengan cara sederhana untuk menstimulasi anak sejak dini.

OLEH ESTER LINCE NAPITUPULU
Ketika Melly melihat banyak orang tua memiliki persoalan sama dalam mengasuh anak, keputusan menjadi seseorang untuk berbagi pengalamansemakin mantap dalam diri ibu dua anak ini. Ia ingin mengajak para orangtua untuk kembali memperkuat pendidikan dalam keluarga dan terlibat mendukung sekolah tempat anak-anak mereka belajar.
Perjalanan Melly sebagai penulis buku dan pembicara tentang pengasuhan anak dalam keluarga berawal dari sekolah anak sulungnya, Julian, pada 2008. Guru di tempat anaknya yang saat itu berekolah di SD Tiara Kasih Jakarta menghukum Julian. Ketika mendengar cerita anaknya, ia tak marah kepada guru itu. Ia justru membuat surat berisi ucapan terima kasih kepada sang guru.
Dalam benak Melly, sang guru sudah memberikan pendidikan moral pada Julian untuk bertanggung jawab. "Guru itu tercengang ketika saya mengirimkan surat ucapan terima kasih. Dia bertanya apa masih ada orangtua murid yang seperti ini," ceritanya.
Guru itu lalu bercerita, menjadi guru sekarang ini serba salah. Jangankan menghukum anak, mau berbicara kepada anak didik saja mesti berhati-hati karena bisa dikira melakukan kekerasan dan dapat dilaporkan orangtua siswa ke polisi.
"Saya sedih mendengar cerita para guru itu. Saya bertanya dalam hati, apa yang bisa saya haraapkan dari seorang pendidik kalau mereka justru takut bertindak tegas meski tujuannya mendidik anak. Saya jadi ingin membantu guru," ujarnya.
Melly lalu menulis artikel mengenai peranan guru yang dikebiri orangtua murid. Tak lama kemudian, Kepala SD Tiara Kasih meminta dia membuat seminar yang bisa mengajak orangtua untuk bersama-sama mendidik anak-anak di sekolah itu.
Ia menuturkan, awalnya hampir semua sekolah yang dia datangi para orangtuanya tak peduli. "Saya mencoba mengajak orangtua ber empati pada anak. Di situlah, para orangtua tersadar betapa mereka telah menjadi orangtua yang egois, terlalu sibuk, enggak perhatian," ujarnya.
Ia membukakan pemahaman orangtua bahwa anak yang egois itu karena orangtua yang melahirkan mereka egois. Kesadaran seperti ini membuat banyak orangtua menangis, lalu berkomitmen memperbaiki cara mengasuh dan mendidik anak dengan kasih sayang.

Pengalaman pribadi

Bagi Melly, rumah seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman buat anak. Jangan karena kesibukan orangtua, anak-anak terlantar. Dia teringat masa kecilnya yang sulit karena sang ayah meninggal dunia. Ibunya tak siap menghadapi perubahan hidup drastis dan tak sanggup menghidupi ketujuh anaknya. Jadilah Melly dan sebagian saudaranya hidup dengan sang bunda di Singkawang, Kalimantan Barat, sedangkan yang lain terpaksa hidup bersama keluarga lain di Jakarta.
Sang ibu yang harus membanting tulang tak punya banyak waktu untuk memperhatikan anak-anak. Melly kecil merasa terabaikan.
Kondisi itu justru memicu Melly membuktikan bahwa ibu yang bekerja bisa mendidik dan mengasuh anaknya, terutama untuk membentuk mereka menjadi sosok yang berkarakter dan bermental juang.
Pendidikan di rumah itu sangat berarti bagi anak. Apalagi pendidikan di sekolah umumnya mengutamakan pengembanagan kemampuan kognitif. Peran orangtua di rumah bisa memperkuat pendidikan karakter atau moral yang membekali anak-anak dalam kehidupannya.
Cara-cara sederhana yang dia terapkan kepada anaknya sering dijadikan contoh kenalannya. Melly lalu mencoba menulis buku soal pengasuhan anak pada 2008.

Mental Juang

Melly merasa punya misi baru dalam hidupnya setelah menerbitkan buku pertama. Dia ingin memberikan pendidikan moral bagi sebanyakmungkin anak, dan membuat mereka bermental juang lewat pengasuhan yang benar dalam keluarga. Ia berkaca pada hidupnya sendiri yang hanya tamat SMA. Namun, dia dihargai di tempat kerja sehingga memiliki posisi bagus karena bermental juang untuk mencapai yang terbaik.
Ketika Melly harus berhubungan dengan para pelamar kerja, ia miris melihat kenyataan sulitnya menemukan orang-orang yang tangguh dan mau berjuang dari bawah.
Kenyataan itu semakin memantapkan hati Melly. Dia harus mengajak orangtua untuk memperkokoh kembali pendidikan di rumah.
Setelah berhenti bekerja, ia mendirikan Rumah Moral. Lembaga yang dia bentuk ini tak menjadi pemberi dana tanpa misi pendidikan. Misalnya, ketika ada sekolah yang banyak muridnya kesulitan transportasi, ia berpikir untuk memberi bantuan sepeda. Demikian juga saat sekolah lain butuh ring basket, ia mengajarkan para siswa mencari cara mengumpulkan uang.
Ia masih punya impian untuk membangun center of hope bagi anak-anak down syndrome (DS). Dana yang dibutuhkan sekitar Rp. 6 Miliar. Maka, dia libatkan anak-anak DS dalam program membuat 2 juta pin sebagai upaya untuk menggalang dana.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 28 DESEMBER 2010

Yansen Mardiyana: Mengantar Satwa Merapi Pulang

Saat Gunung Merapi meletus, satwa yang tinggal di lereng gunung itu berusaha menyelamatkan diri. Mereka mencari makanan sampai ke desa-desa yang ditinggalkan penghuninya untuk mengungsi.
Sebelum mereka turun lebih jauh menuju kawasan berpenghuni padat dan berpeluang dilukai manusia, Yansen Mardiyana bersiap mengantar mereka pulang
.

YANSEN MARDIYANA

Lahir : Klaten, Jawa Tengah, 25 Januari 1974
Istri : Richa Maria (29)
Pendidikan terakhir : D-3 jurusan Teknik Sipil Universitas Pancasila Jakarta, lulus 1997
Kegiatan :
- Relawan organisasi Core Aid, 2006
- Relawan organisasi Caritas, 2006
- Pendiri organisasi Young Rich Care, 2009-kini
- Anggota Jalin Merapi III, 2010-kini

OLEH HERPIN DEWANTO
Sebagian besar satwa yang terlihat turun gunung itu antara lain monyet dan elang jawa. Bahkan di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, muncul informasi adanya harimau yang berkeliaran di desa. Namun, informasi itu belum terbukti karena harimau tersebut belum diketahui keberadaannya.
Yansen, petugas lapangan organisasi radio komunitas Jalin Merapi III, mulai memerhatikan keberadaan satwa itu saat turut mengevakuasi warga di Desa Sidorejo, awal November lalu. "Saya melihat anjing dan kucing tetap bertahan di desa," katanya.
Lalu Yansen mulai mengumpulkan sisa-sisa makanan dari posko pengungsian. Pada pagi hari, pria yang aktif menjadi relawan kemanusiaan sejak tahun 2006 ini pergi ke desa-desa yang sepi karena ditinggal penghuninya mengungsi. Sisa-sisa makanan dia letakkan di beberapa perempatan jalan agar anjing dan kucing di tempat itu tak kelaparan.
Ketika melakukan rutinitas itu, ia melihat sekelompok monyet berkeliarandi rumah-rumah warga. Kawanan monyet itu memiliki habitat di sekitar obyek wisata alam Deles Indah, Desa Sidorejo, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari puncak Merapi. Artinya, kawanan monyet itu sudah pergi lebih lima kilometer dari habitat aslinya.
Hari berikutnya, ia mulai mengumpulkan lebih banyak makanan untuk diberikan kepada kawanan monyet itu. Makanan berupa biskuit dia ambil dari kelebihan sisa logistik para pengungsi. Melihat upaya Yansen, anggota Jalin Merapi lainnya turut membantu mengumpulkan biskuit.
"Monyet-monyet itu tak bisa kembali ke habitat asli mereka, maka perlu teknik khusus untuk itu," kata Yansen.
Makanan lalu dia letakkan di tempat monyet-monyet itu terlihat. Hari berikutnya, makanan dia letakkan di tempat yang lebih tinggi, lebih mendekati Gunung Merapi.
Kegiatan itu dilakukan Yansen terus-menerus secara bertahap sampai kondisi Gunung Merapi kembali normal. Kini, dia tak sendiri lagi karena beberapa warga lokal dan polisi ikut membantu.
Bagi Yansen, mengembalikan satwa ke habitatnya penting guna menghindari konflik antara manusia dan satwa. Ketika kelaparan karena habitat aslinya rusak, satwa itu mencari makanan di rumah penduduk. Mereka mengobrak-abrik isi rumah. Jika pemilik rumah kembali dari pengungsian, mereka bisa mengira rumahnya habis dijarah, atau jika pemilik rumah menangkap basah satwa yang masuk ke rumah, kemungkinan besar satwa itu akan diperlakukan kasar, terutama jika satwa itu buas. "padahal, satwa itu penting untuk menjaga ekosistem di lereng Merapi dan harus dilindungi," tegasnya.

Kawasan berbahaya

Upaya yang dilakukan Yansen berisiko karena dia harus masuk zona bahaya yang dekat Gunung Merapi dengan status Awas. Tak jarang dia berada di kawasan berbahaya saat Merapi bergejolak, seperti pada selasa (30/11) pagi.
Sekitar pukul 10.00, Yansen bersama seorang warga lokal dan seorang polisi hendak memberikan makan kawanan monyet. Makanan itu akan disebarkan di salah satu bukit di kawasan wisata Deles Indah. Monyet-monyet itu sudah bergerak naik dan bersembunyi di sekitar Sungai Lumbang di bawah bukit itu.
Rute perjalanan ke lokasi tersebut tampak sepi dan hanya beberapa warga lokal yang tengah kembali ke rumah. Ada dua pos yang dijaga personil TNI dan Polri dalam rute tersebut. Tempat tujuan mereka memang belum boleh dimasuki masyarakat umum, hanya warga dan petugas yang boleh mengaksesnya.
Setelah 15 menit perjalanan, Yansen tiba di bukit itu. Cuaca mendung dan udara terasa dingin. Gunung Merapi tak tampak karena tertutup kabut tebal.
"Kondisi ini justru berbahaya. Kalau Merapi erupsi, kami tidak bisa melihatnya, tahu-tahu awan panas sudah menyambar," katanya.
Bukit itu tampak sepi. Yansen keluar dari mobil dengan membawa tas besar berisi biskuit. Sambil menyusuri bukit, ia berusaha memanggil kawanan monyet itu. Beberapa potong biskuit dilemparkannya kearah pepohonan.
Tak lama kemudian, muncul puluhan monyet mendekat kearah Yansen. Mereka langsung melahap biskuit itu. "Lihat, sekarang perut mereka sudah agak besar. Waktu saya temui pertama kali, monyet-monyet itu kurus dan agresif," ceritanya.
Tiba-tiba radio komunikasi yang dibawa Yansen mengeluarkan bunyi bernada tinggi dan putus-putus. "Waduh, ini tandanya ada erupsi,.
Selama memberi makan monyet, Yansen tak berani meninggalkan radio tersebut. Radio itu berfungsi untuk berkomunikasi dengan anggota Jalin Merapi yang tersebar di sepanjang sabuk Merapi, sekaligus memancarkan sinyal dari seismograf yang terpasang di atas gunung.
Mendengar tanda bahaya itu, Yansen dan rombongan langsung melaju menjauhi Gunung Merapi. Selama perjalanan ke arah pos Desa Dompol, Kecamatan Kemalang, Klaten, dia terus memantau radio tersebut.
"Untung kita segera pulang, Merapi benar-benar mengeluarkan awan panas ke arah barat (Sleman, DI Yogyakarta)," katanya.
Dengan risiko yang relatif tinggi, Yansen mengakui masih banyak titik-titik kawasan yang belum tersentuh. Jika ingin ke lokasi itu, ia membutuhkan peralatan tambahan berupa satu unit radio, masker dengan filter, dan kendaraan untuk medan berat.
Keterbatasan inilah yang membuat Yansen berharap pemerhati satwa lain tergerak untuk ikut membantu. Dengan keterbatasan itu pula dia hanya mampu menangani kawanan monyet, sedangkan satwa lainnya, seperti elang jawa dan harimau, perlu penanganan khusus.
Setelah memberi makan kawanan monyet itu, Yansen kembali bersiaga di Pos Dompol untuk menemani sekitar 500 pengungsi yang tinggal di depan pos itu. Bagi dia, menangani bencana itu harus fleksibel karena tak hanya manusia yang menjadi korban, satwa pun menderita.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 27 DESEMBER 2010

Minggu, 26 Desember 2010

Asep Samudra Hijaukan Pesisir Cianjur

DATA DIRI
Nama : Asep Samudra
Tempat, tanggal lahir : Cidaun, Cianjur, 5 Mei 1970
Pendidikan :
- Sekolah Dsar Negeri Sindangbarang, lulus tahun 1982
- Sekolah Menengah Pertama Negeri Sindangbarang, lulus tahun 1985
- Sekolah Menengah Atas Wahid Hasyim, Surabaya, lulus tahun 1988
- Kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan bandung, sampai semester VI
Istri : Neneng Solihat (35)
Anak :
- Raka Faisal Akbar (16)
- Reki Hediana Muslim (10)
Pekerjaan : Wiraswasta dan Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Ketika ratusan bangunan di Teluk Palabuhanratu dan pesisir selatan Sukabumi rusak akibat hantaman gelombang besar, Mei 2007, permukiman penduduk di pesisir selatan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tetap aman kendati gelombang yang sama besarnya juga menghantam wilayah itu
.

Oleh AGUSTINUS HANDOKO

Gumuk pasir yangterbentuk di sempadan pantai telah menyelamatkan penduduk dari dampak hantaman gelombang besar.
Kendati telah menyelamatkan penduduk, gumuk pasir yang membentang sepanjang 63,1 kilometer dari Kecamatan Cidaun disebelah timur dan Kecamatan Bojongterong di barat tetap dibiarkan terlantar.
Ancaman pengikisan gumuk oleh aliran sungai dan gerusan air laut tak ada yang memedulikan. Gumuk pasir itu hanya ditumbuhi semak belukar dan tanaman perdu.
Melihat keadaan tersebut, Asep Samudra (39) tergerak untuk menanami gumuk pasir dan sempadan pantai di pesisir selatan Cianjur. Juli 2008, Asep memulai menanami gumuk pasir dan sempadan pantai itu, mulai dari Kecamatan Sindangbarang yang berada di tengah-tengah garis pantai menuju kearah Cidaun.
"Awalnya banyak orang yang berpikir saya kurang kerjaan sehingga mencari-cari pekerjaan. Untuk apa menanami lahan pantai, buang-buang uang saja," katanya.
Namun, Asep tak patah arang oleh cibiran orang terkait upayanya menanami gumuk pasir tersebut. Dia terus menanami lahan terlantar itu sampai sepanjang 15 kilometer daritempatnya semula.
Jarak anatar pohon 5 meter hingga 10 meter. Di ruas tertentu, penanaman dilakukan hingga dua baris karena lebarnya gumuk pasir. Jumlah pohon yang sudah ditanam tak kurang dari 2.000 batang, yang dibeli Asep dari pusat pembibitan.

Menjaga gumuk

Ketika ditanya berapa uang yang sudah dikeluarkannya untuk penanaman kawasan pesisir itu, Asep enggan mengungkapkannya. "Tak perlu disebutkan nilai uangnya. Saya hanya ingin melihat pesisir selatan Cianjur hijau yang berarti sekaligus menjaga gumuk pasir yang telah menyelamatkan kami," ujar Asep yang adalah warga asli Cidaun.
Asep kemudian berbagi pengalaman kenapa dia memilih pohon ketapang untuk menghijaukan pantai. "Dulu pernah ada gerakan reboisasi oleh pemerintah denganmenggunakan tanaman bakau, tetapi gagal karena lahannya kering. Ternyata bakau hanya cocok untuk rawa pantai," kata Asep.
Belajar dari kegagalan reboisasi pemerintah itu, Asep kemudian mulai mencari tahu apa tanaman yang paling cocok untuk gumuk pasir yang berkarakter lahan kering.
Dia kemudian menemukan pohon-pohon ketapang yang tumbuh kokoh di suatu kawasan pantai di Jabar. Dari hasil penelitiannya, pohon ketapang memang yang paling cocok di lahan pasir kering. Pohon ketapang bisa tumbuh rimbun dan memiliki perakaran sangat kuat sehingga mampu menahan erosi di muara sungai dan abrasi di sempadan pantai.
"Saya tidak pernah berpikir muluk-muluk, hanya punya keinginan untuk menyelamatkan gumuk pasir dan membuat pesisir selatan teduh. Siapa tahu, potensi keindahan panorama akan dilirik setelah pesisir teduh. Ini yang saya pikir bisa saya lakukan untuk generasi setelah setelah saya," ungkap Asep.
Berselang tiga bulan sejak memulai penanaman, pohon ketapang di Sindangbarang sudah setinggi orang dewasa. Keberadaan tanaman berdaun lebar itu juga makin menonjol dibandingkan dengan belukar dan tumbuhan perdu lainnya.

Pasir besi

Hal itu cukup memberi jawaban bagi banyak orang yang mmencibir usaha Asep. Sebagian warga pesisir mulai bersimpati dengan gerakan yang dipelopori oleh Asep. Apalagi, pada saat yang bersamaan sebagian warga sedang dihinggapi demam penggalian pasir besi di lahan pantai.
Mereka menampung pasir besi yang terbawa ombak meskipun tidak menggali gumuk pasir. namun, jika tak diawasi, bisa-bisa gumuk pasir juga menjadi sasaran. Untuk itu, Asep yang mulai mendapat dukungan dari nelayan dan banyak warga itu juga mendekati para penambang untuk memberi penjelasan soal pentingnya menjaga lingkungan.
"Mereka mengerti dan bahkan bersedia menyisihkan Rp.1.000 per meter kubik pasir besi yang mereka peroleh untuk mendukung gerakan penanaman lahan pantai. Sempadan pantai yang sudah ditanami menjadi tanggung jawab para penambang. Jika pohon sampai mati, mereka bersedia tiak melakukan penambangan selama tiga bulan ," kata Asep.
Selama ini, para penambang memang belum memperoleh hasil kajian yang menyatakan bahwa kegiatan para penambang itu bisa merusak lingkungan. "Kalau memang sudah ada kajian, mereka bersedia berhenti," kata Asep.
Setelah berhasil menggulirkan gerkan penghijauan pesisir selatan Cianjur, Asep berani memasang target untuk bisa mengajak lebih banyak orang lagi sehingga pesisir pantai selatan Cianjur sepanjang 63,1 kilometer seluruhnya bisa dihijaukan.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 16 FEBRUARI 2009

Rabu, 22 Desember 2010

Ratnawati Sutedjo: Mendampingi Tunarungu Berkarya

"Produk ini adalah karya terbaik dari mereka yang berkebutuhan khusus sebagai bukti bahwa hidup mereka sangat berarti...." Tulisan itu terbaca pada produk dari para tunarungu yang dihimpun Ratnawati Sutedjo dalam yayasan Precious One.

RATNAWATI SUTEDJO

Lahir : Semarang, jawa Tengah, 9 Pebruari 1974
Pendidikan : Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida), Jakarta
Aktivitas : Pengelola Precious One, The Silent Art, dan Dancing with Heart

OLEH FRANS SARTONO

Suatu siang di ruang kerja Precious One, jalan Gunung Sahari XI, Jakarta Pusat, sejumlah orang sibuk bekerja. Mereka membuat barang kerajinan. Ada yang menjahit, memasang payet, dan merangkai aksesori.
Karya mereka berupa tas, tempat tisu, dompet, sarung bantal, tutup galon air, boneka jari, dan aneka hiasan dinding. Semua pekerja tersebut adalah orang-orang berkebutuhan khusus, para tunarungu.
Yunita (26), seorang tunarungu yang bekerja di Precious One, tengah hamil lima bulan. Ia telah bergabung dengan Precious-One selama lebih dari dua tahun. Ia datang ke tempat kerja dari rumahnya di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, diantar dengan sepeda motor oleh suami yang sedang terkena pemutusan hubungan kerja.
"Saya senang bisa bekerja di sini. Saya bisa mencari uang untuk masa depan," kata Yunita, dengan intonasi datar. "Kami di sini banyak teman dan bisa saling membantu," ujar Yunita, lulusan Sekolah Luar Biasa Tunarungu Santi Rama, Jakarta.
Ulfa (27), tunarungu lainnya di Precious-One, juga bisa membantu ekonomi keluarga. Begitulah Yunita, Ulfa, juga mereka yang berkebutuhan khusus mendapat tempat untuk beraktualisasi diri dalam bentuk kerja di bawah Precious-One atau P-One yang berada di bawah yayasan sosial Karya Insan Sejahtera.
P-One meltih dan menciptakan lapangan kerja bagi para tunarungu untuk bisa menghasilkan karya. Mereka juga memberi kesempatan kepada para pemilik bidang usaha lain guna memberi kesempatan bagi orang-orang berkebutuhan khusus untuk bekerja.
"Dengan bekerja, mereka bisa menemukan rasa berharga dalam hidup," kata Ratnawati Sutedjo, pengelola P-One, yang dengan sabar dan setia mendampingi orang-orang berkebutuhan khusus. "Mereka dilahirkan sebagai pribadi yang berharga. Kami menerima mereka untuk memunculkan rasa bahwa mereka berarti lewat bekerja," kata perempuan kelahiran Semarang Jawa Tengah itu. Ada sekitar 30 orang yang bergabung dengan P-One. Hasil karya mereka dipajang di tempat kerja yang sekaligus menjadi ruang pajang. Direncanakan P-One akan pindah ke bilangan Sunter Garden, jakarta Utara, menjelang akhir tahun ini.
Sebagian hasil karya daari mereka yang berkebutuhan khusus itu juga dijual di sejumlah toko di Jakarta. Ada beberapa perusahaan yang sering memesan hiasan dinding bertuliskan semacam slogan perusahaan. Sejumlah sekolah juga memesan alat peraga.

Beri kesempatan

Gagasan memberi ruang kerja bagi orang-orang berkebutuhan khusus muncul ketika Ratna tengah tak berdaya fisiknya pada tahun 2000. Saat itu ia sakit, dan selama dua bulan harus istirahat total. Ratna yang sebelumnya sibuk sebagai seorang sekretaris itu tiba-tiba harus berdiam diri tanpa aktivitas. Dalam ketakberdayaan fisik itu dia merenung.
"Saat itu saya merasa hidup saya tidak berarti. Saya yang punya anggota tubuh lengkap, tetapi tidak bisa apa-apa. Bagaimana dengan orang-orang yang cacat, mereka dengan kebutuhan khusus?"
Dari perenungan itu Ratna berjanji dalam hati, jika diberi kesembuhan, dia akan bekerja bagi orang-orang berkebutuhan khusus. Setelah pulih dari sakit, ia mulai belajar bahasa isyarat dari Ny Baron Sastradinata selama dua tahun.
"Saya sedih sekali. Tuhan menghadirkan dia, tetapi masyarakat menolak dan tidak memberinya kesempatan. Itu yang mendorong saya untuk melakukan sesuatu,"
Suatu ketika dia melihat contoh kain jok di sebuah toko. Ratna yang hobby membuat kerjinan tangan itu membayangkan contoh kain jok itu bisa dibuat aneka barang kerajinan. Pemilik toko memberikan satu dus contoh kain jok itu secara cuma-cuma kepada Ratna. Dalam hati Ratna mengatakan, kain itu harus menjadi sesuatu.
Pada saat yang hampir bersamaan, ia mengenal seorang perempuan tunarungu berusia 20-an tahun yang belum mendapat pekerjaan. "Saya ajak dia. Kamu mau enggak ikut, saya ajari bikin sesuatu," kata Ratna dengan bahasa isyarat.
Ratna lalu mengajarinya membuat dompet sampai jepit rambut. Rupanya orang berkebutuhan khusus itu cepat belajar. Hasilnya pun layak jual. "Murid" pertama Ratna itu lalu mengajak teman-teman senasib. Dari yang semula hanya seorang tunarungu, kini Ratna menghimpun 30 tunarungu dalam P-One.

Jangan berkeluh kesah

"Precious-One itu lahir dari sini. Precious itu berharga. One itu seorang, satu pribadi. Siapapun kita, dalam keadaan apapun kita, semua berharga di mata Tuhan," kata Ratna, tentang awal berdirinya Precious-One pada tahun 2004.
Kini P-One telah berkembang dengan tambahan dua divisi, yaitu The Silent Art dan Dancing with Heart. Lewat wadah The Silent Art, orang membatik, orang berkebutuhan khusus akan dilatih membatik

Senin, 20 Desember 2010

Juliman Messakh: Menjaga Pantai Oebelo

Jika hutan bakau sepanjang sekitar tiga kilometer yang memagari garis pantai Oebelo Kecil, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, tidak ditanami, maka desa yang dihuni 300 keluarga itu sudah hilang tergerus abrasi laut Teluk Kupang.

JULIMAN MESSAKH

Lahir : Oebelo Kecil, Kupang, Nusa Tenggara timur, 15 April 1936
Istri : Ribka Messakh
Anak : Yehezkiel, Tinus, Halena, Mince, Debora
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Pekerjaan : Nelayan, Pencinta lingkungan, Petani

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Juliman Messakh, warga yang lahir dan besar di desa itu, adalah orang yang terpanggil untuk mengatasi abrasi dengan memelopori menanam bakau. Dia mengajak putrinya Halena Messakh, dan suami Halena, Zeth Keleing, untuk memulai kegiatan mengatasi abrasi pantai dengan mencari anakan bakau pada tahun 2002. Ia juga mencoba mengajak sejumlah warga desa untuk menanam bakau, tetapi ditolak karena warga tidak diberi upah.
"Membudidayakan bakau sepanjang tiga kilometer di Pantai Oebelo kecil sampai Oebelo Besar tidak mudah . Orang sekitar sini tidak peduli terhadap lingkungan," kata Juliman Messakh di Oebelo Kecil, Kupang, awal Desember lalu.
Pada awal kegiatannya, Juliman Messakh membeli ribuan polybag dan mencari biji bakau sampai ke Pantai Oeteta sejauh sekitar 25 kilometer dari desanya dengan perahu motor . Ia lalu mengisi polybag itu dengan tanah yang bagus, mengingat tanah di desanya umumnya berpasir. Semua itu dikerjakan dengan dana pribadi, hasil Juliman berjualan ikan. Ia juga mencari nafkah sebagai nelayan.
Tidak hanya itu. Messakh pun rajin mencari potongan ranting, pelepah lontar, dan membuat tali dari tulang daun lontar untuk memagari anakanbakau yang disemai di kebunnya. Proses pemagaran itu berlanjut sampai bakau siap dipindahkan dari pembibitan ke pantai yang hendak ditanami.
Jika anakan tidak dipagari, kambing-kambing milik penduduk setempat akan memakan daun dan batang bakau. Juliman harus menjaga anakan bakau yang ditanamnya tersebut.
Jika tanaman bakau jauh dari jangkauan air laut, Juliman rajin menyirami. Meskipun semua itu dilakukan secara manual, Juliman tidak pernah menyerah. Dengan keterbatasan tenaga dan sarana pendukung yang ada, ia tekun bekerja sampai larut malam.
"Saya khawatir abrasi yang terus menggerus desa ini. Tahun 1960-an, Desa Oebelo Kecil masih berada sekitar 700-800 meter dari bibir pantai. Sekarang, jarak air laut dengan permukiman hanya 100 meter. saya tahu persis karena saya yang pertama menetap di pantai ini sebelum warga lain datang bergabung," ujarnya.

Nyaris kehilangan rumah

Tahun 2000, ketika puncak musim hujan tiba, fondasi rumah Juliman yang terletak 100 meter dari bibir pantai tergenang air laut. demikian pula kandang ternak sapi dan kambing miliknya.
Akar pohon kelapa yang ditanam Juliman di sepanjang pantai pun sebagian sudah tergantung karena terkikis gelombang. Rimbunan pohon kelapa yang tadinya menjadi tempat berteduh para nelayan Oebelo Kecil mulai terancam abrasi.
Kala itu Juliman mulai khawatir.Jika pohon bakau terus ditebang dan tidak dibudidayakan, seluruh kawasan pantai Oebelo Kecil, termasuk rumahnya, akan hancur. Ia terpikir, bakau merupakan pelindung pantai dari abrasi laut yang paling tepat.
Dengan segala daya yang dimilikinya, Juliman dibantu putri dan menantunya menanam anakan bakau sejakpertengahan tahun 2000. Setelah hampir 10 tahun, wilayah garis pantai sepanjang hampir 3 kilometer mulai ditumbuhi hutanbakau. Desa itu pun kini bebas dari ancaman abrasi.
Daerah itu kemudian menjadi tempat pembelajaran sejumlah mahasiswa dan dosen terkait budidaya bakau. Belajar dari Juliman, kini beberapa pantai di pesisir Kabupaten Kupang dan Kota Kupang mulai ditanami bakau oleh mahasiswa, LSM, dan dinas kehutanan setempat.
"Mereka memesan anakan bakau dari sini. Sering mereka pesan sampai 30.000 batang dalam polybag. Tetapi, untuk mengadakan anakan sejumlah itu dalam waktu 2-3 pekan, saya minta bantuan warga desa. Mereka harus dibayar per anakan senilai Rp.1.000. Yang membayar tenaga mereka pihak pemesan. Untuk saya, berapa pun diberikan saya terima saja," katanya.
Tahun 2004, juliman diundang salah satu LSM di Denpasar, Bali, mengikuti pelatihan tentang budidaya mangrove. Pulang dari pelatihan, ia membawa ratusan biji bakau dan puluhan anakan bakau yang dia ambil dari salah satu pantai di Bali.
Ia menilai, bakau di kawasan pantai di bali lebih cantik karena berdaun lebar, tangkai daunnya berwarna merah, dan batangnya lebih besar. Adapun daun bakau di Pantai Oebelo lebih kecil, tulang daun berwarna hijau, dan akar bakau cepat mengering bila tanah pijakan bakau terkikis air laut.
Kini, bakau hasil budidaya dari Bali mulai diminati para pencinta lingkungan dari beberapa kabupaten di NTT. Mereka bersedia membeli anakan bakau itu dengan harga Rp.5.000,- per batang, namun Juliman menolak dengan alasan bakau jenis itu belum banyak berkembang biak di Oebelo.
Juliman mendapat bantuan dana perangsang Rp.2 juta dari Dinas Kehutanan Provinsi NTT tahun anggaran 2002, digunakan untuk membeli polybag, kayu, pagar, dan tali.
"Saya memang butuh uang untuk usaha ini, tetapi selama kawasan pantai Oebelo dan sekitarnya masih tandus dan kering, saya tidak tertarik untuk bisnis anakan bakau. Saya berharap perjuangan ini dapat diteruskan para remaja Kabupaten dan Kota Kupang. Jika kita mengabaikan bakau sebagai pelindung dan penahan abrasi pantai, suatu ketika wilayah sepanjang pantai Kupang ini akan terkikis habis," kata Juliman Messakh.

Disadur dari KOMPAS, SELASA, 21 DESEMBER 2010

Minggu, 19 Desember 2010

Djohan Effendi, Merayakan Perbedaan

Ikut merasa sakit dengan mereka yang tidak punya kebebasan, Djohan Effendi-1 Oktober 2009 genap 70 tahun- lebih dari 40 tahun menjadi penggiat dialog antar agama, "Agama itu bukan penjara," tegasnya.

Oleh ST SULARTO

BIODATA

Nama : Djohan Effendi
Lahir : Kandangan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939
Istri : Solichah (65)
Anak : Winda Artensia, Yorna Febrina, Rayvan Adigordha
Pendidikan :
- Tamat PGA di Banjarmasin
- Lulusan terbaik Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta (1962)
- Tugas belajar di PHIN Yogyakarta
Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan harian Ahmad Wahib, refleksi pembaruan kelompok diskusi
Djohan effendi tidak sedang bicara politik atau membangun citra. Dia bicara hal yang substansial tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak eksistensial manusia. Bukan basa-basi, melainkan aktif mempraktekan teologi toleransi dengan tujuan memperkuat fondasi dan wawasan kebangsaan. baginya, Indonesia dengan berbagai keragaman dan perbedaan merupakan berkah yang perlu disyukuri dan dikembangkan.
Terbentang panjang rekam jejaknya. Sejak tahun 1967, bersama Achmad Wahib dan Dawam Rahardjo, Djohan mengembangkan teologi toleransi dalam diskusi kelompok Limited Group di Yogyakarta. "Inisiatif kegiatan digagas Wahib. Nama Limited Group berasal dari Dawam," kata Djohan merendah.
Bersama Mukti Ali, dosen mereka di IAIN Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga), yogyakarta, awalnya kegiatan ini hanya melibatkan empat orang, lama-lama bergabung pula sejumlah tokoh agama lain, seperti Dick Hartoko SJ, JWM Bakker SJ, dan Purbowinoto. Buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, refleksi pembaruan kelompok diskusi mingguan itu, sempat menghebohkan. Kontroversi merebak menyangkut gugatan anak-anak muda terhadap berbagai hal yang tabu dalam Islam.
Kegiatan Limited Group ibarat, pembuka kunci pembaruan. "Padahal sebelumnya istilah pembaruan di kalangan Islam masih tabu," Otokritik yang mereka lakukan ibarat bola salju menggelindingkan pembaruan dalam Islam.
Memang, inklinasi merayakan perbedaan Djohan terbentuk semakin liat di Yogyakarta, semasa kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (1963-1970). Dia memperoleh lahan subur yang dipupuk oleh kehadiran Mukti Ali, yang waktu itu masih sebagai dosen.
Lingkungan intelektual yang terbiasa diskusi bebas membentuk intelektualitas Djohan yang dari sono-nya pluralis dan moderat. Limited Group menyemarakkan diskursus keislaman.
Menurut Djohan, para pendiri negara ini sudah menaruh fondasi visi kebangsaan Indonesia. Pancasila merupakan warisan amat berharga, bekal mengembangkan visi kebangsaan. Mereka pun merumuskan teologi yang diterima semua kalangan. Kaum muslim rela menghapuskan tujuh kata dalam klausul Piagam Jakarta dan menghentikan hasrat mendirikan negara Islam. Kebebasan beragama merupakan pertaruhan kelestarian Indonesia yang dibangun atas kemajemukan. Indonesia merupakan melting pot yang menyatukan berbagai unsur agama.
Kedudukan sebagai pejabat Departemen Agama dan penulis pidato-pidato Soeharto yang berkaitan dengan masalah keagamaan, membuka ruang bagi kesempatan mewujudkan ide-ide kemajemukan dalam keputusan politis, termasuk meletakan dasar-dasar toleransi dan kehidupan umat beragama.
Ketika Mukti Ali sebagai Menteri Agama-Djohan begitu lulus IAIN tahun 1970 ditarik ke Departemen Agama dan kemudian staf pribadi menteri-hidup subur upaya dialog antar agama.
Pada masa itu berkembang berbagai bentuk terobosan, mulai dari dialog antaragama, dialog antarumat beragama, sampai dialog karya sebagai awal dari dialog iman.
Dalam pidato penganugerahan gelar ahli peneliti utama (profesor riset) tahun 1992, Djohan menyinggung keberadaan kelompok minoritas seperti Konghucu. Pernyataan ini diminta agar dicoret. "Saya tak mau. Dalam pidato, kalimat itu saya ucapkan,"

Bukan penjara

"
Pada setiap agama mengandung kebenaran ," kata Djohan Effendi di kantornya Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Cempaka Putih, Jakarta. Agama bukanlah penjara, tetapi sarana evolusi diri mencapai pencerahan tanpa batas. Adanya berbagai agama adalah anugerah. Itulah pencarian spiritual yang tulus. Sebuah penziarahan bersama. Djohan merasa sedih ketika terjadi pertikaian yang berlatar belakang agama di Indonesia. Agama tak bisa dilihat hitam putih. Semua dikembalikan kepada humanisme dengan kemanusiaan yang mempersatukan.
Mengutip pernyataan salah satu temannya, teolog Ktolik, Hans kung, Djohan berkata, mempelajari bermacam-macam agama berarti memperoleh perdamaian. Dalam setiap agama ditemukan perdamaian. Tak salah kalau dia kemudian terlibat dalam berbagai lembaga yang mempertemukan agama-agama, seperti di Majelis Budhayana Indonesia, DIAN/Interfidei, Madia, dan ICRP-lembaga yang dia bersama-sama ikut dirikan-kantor yang kini menjadi salah satu terminal kegiatan Djohan sehari-hari.
Begitu lulus sarjana tahun 1970, bersama Mukti Ali, ia lagi-lagi memperoleh lahan subur mengembangkan dialog agama. Setelah lima tahun sebagai staf pribadi Menteri Agama, Djohan dikaryakan di Sekretariat Negara. Karier sebagai penulis pidato Soeharto selesai ketika Djohan mendampingi KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, tahun 1984, kunjungan yang memperoleh banyak tentangan di Indonesia.
Ketika Malik Fadjar sebagai Menteri Agama, Djohan diangkat sebagai Kepala Litbang Departemen Agama. Dia berkantor selama 24 jam. "Rumah" nya berupa kamar istirahat, satu pintu masuk dengan ruang tamunya di Lantai II Kantor Balitbang Departemen Agama, Jalan MH Thamrin. Setiap tiga bulan sekali pergi ke Geelong, di Victoria, Australia, sebabselain istri dan ketiga anaknya tinggal disana, Djohan tengah menempuh kandidatdoktor di Universitas Deakin, Geelong. Dia memperoleh gelar doktor (2005) dengan disertasi tentang pemikiran progresif kalangan muda NU, kiai muda NU, dan wanita NU.
Tidak selantang Gus Dur atau Nurcholis Madjid (Cak Nur), inklusivitas Djohan Effendi termasuk liberal yang rajin mengkampanyekan dialog antaragama, membangun jaringan di antara mereka, serta punya perhatian besar kepada kelompok minoritas.
Dalam rangka perayaan 70 tahun usianya, terbit dua buku: Sang Pelintas Batas. Biografi Djohan Effendi yang ditulis Ahmad Gaus AF serta Merayakan Kebebasan Beragama-bunga rampai tulisan koleganya tentang persoalan yang selama ini digeluti Djohan Effendi. Peluncuran kedua buku itu akan dilaksanakan 6 Oktober.
Persisnya ulang tahun tanggal 1 Oktober, mengapa baru 5 Oktober (diskusi terbatas) dan 6 Oktober dirayakan? "Habis Lebaran. Teman-teman masih mudik, belum kumpul semua," sergah Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Pengurus Yayasan ICRP.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 1 OKTOBER 2009

Kamis, 16 Desember 2010

Komang Surata : Penemu Inang Primer Cendana

KOMANG SURATA
Lahir : Karangasem, Bali, 18 September 1962
Istri : Ni Wayan Korniasih (43)
Anak :
- Ni Putu Ratna K (19), mahasiswa Farmasi Universitas Surabaya
- I Made Mahandita (18), mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang
- Ni Komang Pramasista (13), Siswa kelas II SMP Negeri 2 Kupang
Pendidikan :
- S-1 Institut Pertanian Bogor, 1985
- S-2 Fakultas Kehutanan Universtias Gadjah Mada, 2007
Pekerjaan : Peneliti Utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Cendana atau "Santalum album Linn" adalah tumbuhan bersifat semiparasit. Oleh karena itu, dalam siklus hidupnya, cendana membutuhkan pohon inang. Krokot atau "Althernantera sp" adalah jenis tumbuhan lokal yang paling sesuai sebagai inang primer ketika anakan cendana sedang dalam persemaian.


Oleh FRANS SARONG

Penggunaan krokot sebagai inang cendana yang kini dipraktikkan di banyak tempat di dunia adalah hasil temuan Komang Surata, peneliti utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Nusa Tenggara Timur.
"Saya menikmati menjadi peneliti, tetapi kebahagiaan terasa memuncak ketika hasil penelitian saya diakui dan dimanfaatkan secara luas hingga dunia internasional," kata Komang Surata di Kupang, lepas siang kamis (25/11) itu.
Dalam siklus kehidupan cendana, sejk persemaian hingga dipanen paa usia 30 tahun, membutuhkan tiga tahapan inang dari jenis pohon berbeda.
Setelah krokot pada masa persemaian, pertumbuhan cendana membutuhkan inang sekunder dari jenis pohon turi atau gala gala (Sebasnia grandiflora) atau akasia (Acacia villosa) untuk jangka menengah. Selanjutnya, inang johar (Casuarina junghunniana) dibutuhkan untuk pendampingan jangka panjang. Pohon inang itu dibutuhkan guna membantu penyerapan unsur hara dari tanah.
"Penggunaan inang gala gala atau turi sebenarnya hasil temuan saya juga, tetapi yang monumental itu temuan inang krokot karena sekarang menjadi pilihan utama sebagai inang primer dalam pembudidayaan cendana secara internasional," kata Komang Surata yang menjadi peneliti sejak 1987, dua tahun setelah dia menyelesaikan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hampir punah

Cendana adalah jenis pohon endemik NTT. Oleh karena aromanya yang harum, cendana te;ah mencuatkan kawasaan NTT sejak abad ke-4. Pada abad ke-7, cendana asal NTT dilaporkan berhasil menembus pasaran India dan China.
Mulai abad ke-14, para pedagang dari kedua negara tersebut sampai berkunjung langsung ke NTT untuk membeli cendana dan madu. Hingga 1990-an, cendana menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah NTT.
Namun, akhir 1990-an, hampir mustahil menemukan pohon cendana di kawasan hutan. Tegakkan tersisa hanya bisa dijumpai di kebun dan pekarangan penduduk, itu pun amat jarang. Salah satu penyebab utama kehancuran cendana di Timor dan pulau lain di NTT adalah regulasi yang tidak berpihak kepada masyarakat.
Sejak zaman Belanda hingga Indonesia merdeka, cendana, baik yang tumbuh di kawasan hutan, di kebun, maupun pekarangan penduduk, di klaim menjadi milik pemerintah. Masyarakat diwajibkan menjaga dan merawat cendana, tetapi hanya pemerintah yang berhak memanfaatkannya. Masyarakat yang melalaikan ketentuan itu akan dikenai sanksi. Akibatnya, cendana dianggap masyarakat sebagai pembawa petaka.
Kesadaran nyaris punahnya cendana membuat pemerintah mengubah kebijakan dengan payung Peraturan Daerah No 2/1999 yang berpihak kepada masyarakat.
Gubernur NTT Frans Lebu Raya sejak awal kepemimpinannya pada 2008 mencanagkan pembudidayaan cendana guna mengembalikan NTT sebagai "provinsi cendana". Tekad itu sekaligus mencuatkan nama krokot karena dibutuhkan sebagai inang saat persemaian bibit cendana.
Sebelumnya, persemaian cendana menggunakan inang tanaman cabai (Capsicum annum), sebagaimana direkomendasikan peneliti IPB, Jufriansah, pada 1970-an.
Sejak bertugas di Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Komang Surata mencatat sejumlah kelemahan pohon cabai sebagai inang primer cendana. Diantaranya, pohon cabai sulit hidup ketik dipindahkan dari tempat tumbuh awalnya. Kelemahan lain, sulit mendapatkan benih cabai dalam jumlah banyak, terancam mati jika tajuk pohonnya dipangkas, serta tak mampu bertahan hidup di antara rerumputan lain.
Surata lalu berinisiatif melakukan penelitian sejak 1988. Ia melakukan berbagai uji coba guna mendaptkan inang primer pengganti. Dua tahun kemudian ia menemukan krokot sebagai inang primer pengganti tanaman cabai.
"Uji coba itu melibatkan 18 jenis tumbuhan sebagai calon inang, termasuk cabai. hasil akhirnya menunjukkan, krokot paling cocok sebagai inang primer," katanya.

Keunggulan krokot

Krokot memiliki sejumlah keunggulan. Menurut Surata, krokot sangat membantu pertumbuhan cendana selama masa persemaian. Krokot juga tidak menimbulkan kompetisi, tajuknya kecil, sistem perakaran sukulen atau lunak, mudah tumbuh setelah dipangkas, berumur panjang, relatif mudah didapat, serta tahan hidup dalam kekeringan.
Hasil temuan inang krokot itu dipublikasikan dalam jurnal ilmiah internasional, Sandalwood Newsletter, di Australia pada 1992. Setelah publikasi, pemanfaatan krokot sebbagai inang primer cendana meluas di dunia internasional, antara lain di Australia bagian barat serta di sejumlah negara Pasifik, seperti Fiji, Kaledonia, Solomon, dan Vanuatu.
Kini, Surata sedang menekuni model budidaya cendana melalui regenerasi tunas, yakni memotong beberapa jaringan akar di sekitar kaki pohon cendana dewasa. Jika pemotongan dilakukan secara benar dan tepat waktu, yakni dengan memerhatikan perkembangan akar diikuti pengaturan iklim mikro, bagian akar yang terputus dari induknya akan bertunas sebagai anakan baru.
"Mimpi kami kedepan dalam budidaya cendana di NTT adalah pohon cendana punya anakan alam dari tunas akarnya sendiri, sebelum pohon induk ditebang setelah mencapai usia panen 30 tahun. Proses regenerasi anakan cendana bisa dilakukan secara variatif mengikuti siklus tebangan," kata Surata, ilmuwan asal Karangasem, Bali, tersebut.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 17 DESEMBER 2010

Selasa, 07 Desember 2010

Eman Bata Dede, Mengangkat Gawi Menjadi Lagu Pop Daerah

Sukaria, dukacita, sejarah leluhur, ataupun sejarah tanah kelahiran, bagi masyarakat Lio Ende di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, biasanya diungkapkan lewat Gawi.
Ini adalah tarian dan nyanyian yang dilakukan masyarakat secara kolosal dalam sebuah upacara adat.


EMANUEL BD PUTERA

Lahir : Jopu, 9 Juni 1965
Pendidikan terakhir : SMA
Profesi : Pemusik, penyanyi, dan produser
Istri : Anastasia Moi (35)
Anak : Agustina Salsa B Bata; Irene Elsa B Bata

OLEH KHAERUL ANWAR DAN SAMUEL OKTORA

Kini Gawi, bukan sekadar ritual adat, melainkan sudah menjadi lagu pop yang bisa dinikmati masyarakat lewat rekaman pita kaset dan video compact disc (VCD).
Eman Bata Dede adalah orang yang mewujudkan hal itu.
Awalnya, Eman Bata Dede, warga Kelurahan Onekore, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, ini sempat merasa khawatir karena saat menyampaikan idenya, banyak pihak yang menolak. Itu bisa dimaklumi karena sebagian orang menganggap hal itu sebagai tabu.
Penyebabnya, Gawi bukan sekedar tarian dan nyanyian biasa, melainkan sebuah ritual sakral. Gawi adalah bagian dari upacara adat. Gawi bisamenjadi ungkapan rasa syukur sebagai ungkapan sukacita masyarakat adat bersama para roh leluhur.Jika Gawi ditarik ke ranah hiburan duniawi, ketika itu, seseorang dipercaya bisa tidak berumur panjang.
Tanpa bermaksud menyepelekan kepercayaan tersebut, Eman, panggilannya bersikukuh untuk mewujudkan niatnya, dia meyakini, upayanya itu justru melestarikan Gawi agar tidak tergerus kemajuan zaman.
"Sekarang, album Gawi semakin banyak beredar," kata lelaki berusia 45 tahun itu.

Merantau
Gagasan Eman untuk membawa Gawi ke ranah pop muncul saat ia merantau ke Jakarta pada 1984, selepas lulus dari SMA. Ketika dia menyanyikan syair Gawi dalam sebuah acara di Jakarta, para undangan yang kebanyakan warga Ende yang tinggal di Ibu Kota merasa dibawa bernostalgia pada masa kecil mereka di kampung. Hadirin pun ikut bernyanyi, bahkan banyak yang sampai mencucurkan air mata.
Eman semula bermaksud merantau ke Jakarta untuk menjajal kemungkian meniti karier sebagai penyanyi. Namun, cita-cita dia untuk menembus dunia hiburan di Ibu Kota tidak kesampaian. Setelah tujuh tahun berada di Jakarta, Eman kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halaman pada 1991.
Pada 1995, untuk pertama kalinya Eman meluncurkan album lagu Gawi. Isinya, antara lain, lagu "Du'a Lulu Wula More Ngga'e Wena Tana" (puji Tuhan di surga dan bumi). Lagu rohani tersebut berisi "ratapan" tentang kebesaran Illahi.
Tanpa dia duga, lagu itu ternyata meledak di pasaran lokal, di Ende. Album rekaman Eman tersebut bahkan sampai dimiliki banyak warga Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Sidney, Australia.

Pejabat perut buncit
Realitas sosial tidak luput dari pengamatan Eman dan menjadi ilham karya-karyanya. Lagu "Moke Nae Nia" (mabukmoke, minuman khas Ende), misalnya, menggambarkan kebiasaan dari sebagian masyarakat dalam mengkonsumsi minuman keras. Kebiasaan itu telah membuat mereka sampai melupakan istri dan anak-anak serta lalai menyelenggarakan tradisi adat leluhur.
Kondisi topograpi wilayah Ende yang memerlukan infrastruktur jalan guna membuka isolasi antar desa dan antar kota juga digambarkan oleh Eman lewat nyanyian berjudul "Bupati Amamara" (bupati yang kami hormati).
Eman bercerita, dia terinspirasi untuk melahirkan lagu "Bupati Amamara" karena melihat bagaimana warga selalu meminta kepada pemerintah agar dibuatkan jalan. Permintaan itu biasanya diajukan masyarakat apabila ada pejabt yang mengunjungi desa atau kampung mereka.
Kondisi banyak jalan di Ende yang jelek, bahkan rusak berat, mengakibatkan kendaraan-kendaraan tidak bisa melintas di daerah-daerah tertentu.
Kondisi tersebut telah membuat masyarakat harus memikul hasil bumi, seperti kakao dan kemiri, sampai berkilo-kilometer jauhnya. Lagu "Bupati Amamara" itu belakangan ini acapkali diputar masyarakat sebagai sindiran ketika bupati melakukan kunjungan lapangan.
Maraknya pejabat yang korupsi atau tersangkut penyalahgunaan dana bagi korban bencana alam pun tidak luput dari pengamatan Eman. Untuk itu, dia menggambarkannya lewat lagu "Ame Tuka Keje" (bapak perut buncit).
Dalam lagu tersebut Eman menggambarkan sosok pejabat yang berperut buncit lantaran dia suka sekali mengambil uang rakyat.

Mencipta dan mengaransemen
Sebanyak 14 album yang telah diproduksi Eman. Disini dia mencipta sekaligus mengaransemen lagu-lagunya. Syair lagunya yang sederhana, mudah dicerna, dan berbasis problem lokal membuat lagu-lagu Eman mengena di hati rakyat kecil.
Selain membuat lagu-lagu pop daerah, Eman juga membuat album rohani versi Gawi yang pada yang pada 2000 meledak di pasaran. Album rohani tersebut mencapai 15.000 buah untuk pita kaset. Kaset album rohani Eman itu dijual seharga Rp.15.000 per buah, sedangkan versi VCD nya di banderol dengan harga Rp.15.000 per keping.
Lagu-lagu Eman bisa dikatakan laris manis di daerah. Namun, seperti dialami kebanyakan pencipta lagu, karyanya tidak lepas dari pembajakan. Pada 2005, Eman sampai harus menempuh jalur hukum di Pengadilan Negeri Ende.
Dalam sidang itu terungkap kalau proses pembajakan dilakukan di Ujung Pandang (sekarang Makassar, Sulawesi Selatan), lalu hasilnya dijual di Flores," ungkap Eman.
Sejak kasus itu diangkat ke pengadilan, tidak terdengar lagi adanya kasus bajak membajak karya cipta seniman di Ende.
Kini, anak sulung dari enam bersaudara pasangan Thomas Bata dan Theresia Masi itu membuka "pintu" seluas-luasnya bagi generasi muda untuk merekam lagu pop daerah di studio miliknya. Sedikitnya 10 artis lokal sudah diorbitkan dan masuk dapur rekaman milik Eman.
Sekarang, karya-karya Eman terbukti telah membuahkan hasil. Selain Gawi sebagai lagu pop daerah semakin memasyarakat, Gawi sebagai ritual pun tetap terjaga. Bahkan, Eman pun turut membantu memudahkan pelaksanaan upacara itu.
Kalau dulu, Gawi sangat melelahkan karena orang harus menari dan menyanyi dari malam hingga pagi harinya, maka sekarang ini, hal itu tidak perlu lagi. Setelah ada album rekaman lagu Gawi, masyarakat tinggal menari.
Selain itu, masuknya Gawi ke ranah pop telah membuat semakin banyak generasi muda yang mau mengenal dan memahami Gawi.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 8 DESEMBER 2010