Minggu, 31 Januari 2010

Suweta dan Emy, Penyelamat Gerabah

Pertengahan Januari lalu, belasan wisatawan asal Belanda berkeliling Banjar Binoh Kaja, Denpasar, Bali. Mereka ingin bernostalgia, kembali kemasa lalu, ya nostalgia melihat kerajinan gerabah tradisional yang masih tersisa dan dipertahankan oleh Pemerintah Kota Denpasar serta menjadi agenda wisata. Kerajinan ini unik karena melibatkan para perempuan berusia lanjut alias lansia.

I WAYAN SUWETA
Lahir : Denpasar, 11 Maret 1969
Pendidikan : - STM Negeri Denpasar (sekarang SMK 1 Denpasar)
- Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai Denpasar (sedang berjalan)
Kegiatan : - Ketua Koperasi Emyta
- Ketua Kelompok Perajin Gerabah (khusus lansia)
- Kepala Dusun Binoh Kaja (2003 - 2007)

EMY KUSNIASIH
Lahir : Malang, 28 Maret 1973
Pendidikan : Sarjana Ekonomi Universitas Ngurah Rai Denpasar (Manajemen)
anak : 1. Putu Vivi Febriayana (17)
2. Kadek Andre Afriza (14)
Pekerjaan : - Sekretaris Koperasi Emyta
Prestasi Kelompok Perajin :
- Juara III Lomba berprestasi Sektor Industri Tahun 2004 se Denpasar

Oleh AYU SULISTYOWATI

Kerajinan itu sebenarnya sudah menjadi kisah masa lalu, ketika terancam punah tahun 1992. Namun, ternyata kerajinan tersebut hingga kini tetap bertahan dan itu semua berkat kehadiran I Wayan Suweta dan Emy yang dengan segala cara berjuang agar kerajinan gerabah di Banjar Binoh Kaja tetap lestari.
Salah satu perajinnya adalah ibu kandung Suweta sendiri. Suweta terketuk hatinya ketika melihat ibunya mendapatkan penggantian dari pengepul yang tak sebanding dengan sebuah pot berukuran besar. "Para perajin ini tidak pernah mendapatkan uang, mereka hanya dihargai dengan penggantian barang yang tidak sebanding dengan jerih payah membuat gerabah," tutur Suweta. Biasanya mereka mendapat pengganti beras dari hasil kerajinannya.
Suweta yang hanya lulusan Sekolah Tehnik Mesin (STM) itu pun mulai berupaya dengan menerima penitipan gerabah dari ibu dan teman ibunya. Beberapa buah hasil karya perempuan lansia itu lalu dipajangnya bersanding dengan bengkel motornya.
Menurut Suweta, sejak adanya kerajinan gerabah di banjar itu puluhan tahun yang lalu, tidak pernah ada galeri atau toko pemajang hasil karya perajin. Semua hasil kerajinan diberikan kepada para pengepul. Karena itu ia pun tertarik memajangnya dekat bengkel depan rumahnya. Ia tidak menyangka hal tersebut menarik perhatian pengguna jalan yang lewat.
Cerita kehidupan kemudian mulai bergulir, "satu-dua pot gerabah terjual. Saya jadi semangat memajangnya. Ibu saya juga senang," kisah bapak dua anak ini.

Bentuk koperasi

Gayung bersambut. Memasuki tahun 1997, Suweta ditawari Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar untuk mengelola kelompok perajin gerabah ini. Alasan Pemkot, kerajinan gerabah ini menjadi salah satu andalan industri yang dipertahankan sekaligus menjadi tujuan pariwisata di tengah kota.
Awalnya Suweta ragu. Namun, bersama sang istri, Emy, ia menerima tawaran dari Pemkot Denpasar itu. Emy mengaku sempat kesulitan merayu para perempuan lansia itu untuk berkarya meski hanya sebagai pekerjaan sambilan.
"Kami berupaya terus mengatur mereka, khususnya dalam penggunaan uang, sebelumnya mereka terbiasa dengan barter barang," kata Emy. Apalagi proses barter seperti itu sudah berlangsung lama sehingga sudah menjadi kebiasaan.
Saat itu, Suweta dan Emy mengupayakan uang sekitar Rp.1,5 juta untuk modal kelangsungan kelompok perajin gerabah ini. Uang itu terutama digunakan untuk membeli bahan baku tanah liat yang pada saat itu satu truk seharga Rp.350.00,- untuk dibagi kepada anggota kelompok. Sekarang omzet kerajinan mereka sudah mencapai puluhan juta rupiah. Seorang perajin rata-rata mengantongi penghasilan sekitar Rp.700.000,- per bulan.
Bagi Emy atau Suweta, mengelola kerajinan kelompok lansia yang anggotanya 27 orang dengan usia lebih dari 45 tahun itu merupakan kepuasan tersendiri. "Kami bangga mampu memotivasi mereka untuk tetap eksis dan lestari," kata Suweta yang ditimpali senyum sang istri.
Selain menghidupkan kelompok, terbersit pula keinginan untuk membantu finansial keseharian para perempuan lansia ini dengan membentuk koperasi. Maka, sekitar setahun kemudian Suweta dan istinya membentuk koperasi simpan pinjam bernama Emyta (Ekonomi Masyarakat yang Tangguh Abadi). "Banyak orang mengira ini singkatan dari nama kami berdua, padahal, ini hanya kebetulan saja," ujarnya.
Kelangsungan koperasi ataupun kelompok semakin maju dan mendapat kepercayaan dari beberapa instansi berupa kucuran dana hingga bantuan alat tungku pembakaran. Pertama kali mendapatkan pinjaman sekitar Rp. 5 juta dari beberapa instansi, baik pemerintah maupun swasta.
Sejumlah pelatihan juga diikuti Suweta dan Emy. "Ini semua demi kemajuan kelompok. Ya, kami pun tak bisa berharap banyak dari anak mudanya. Anak muda di sini, hari ini mau, besok sudah malas lagi. Kami tak bisa memaksa. Karena niat kami tulus untuk kelestarian gerabah asli buatan perajin lansia Denpasar," papar Suweta.
Pasangan suami istri ini cepat-cepat menyanggah jika dikatakan gerabah itu dibeli karena belas kasihan mengingat pembuatnya adalah perempuan lanjut usia. Itu pendapat salah!
Suweta menjelaskan, gerabah Binoh Kaja ini berbeda dengan gerabah yang ada di tempat lain di Denpasar atau daerah lain. Menurut dia, Binoh Kaja menjadi sentra perajin gerabah Denpasar karena memang daerah itulah pelopornya. Kualitasnya pun lain, demikian pula proses pembuatannya.
"Pembuatannya murni menggunakan tenaga para lansia ini tanpa bantuan alat putar," ujar Suweta. Cara itu menghasilkan gerabah yang relatif tebal dan kuat dibandingkan dengan yang dibuat dengan alat pemutar yang menghasilkan gerabah lebih tipis. Pembakarannya pun dari bawah dan benar-benar diperhatikan tingkat kematangannya agar tak gampang pecah.
Kelemahannya, penyelesaian gerabah butuh waktu lebih lama sehngga sulit memenuhi order dalam jumlah besar. Maklum para perempuan ini tidak 100 persen fokus pada pembuatan gerabah, mengingat kegiatan itu hanya sebagai pengisi waktu luang diusia senja.
Keahlian para perajin terus bertambah dari hanya gerabah berukuran pot besar tanpa hiasan atau polosan seharga sekitar Rp.30.000,- meningkat dengan tambahan gambar atau hiasan di sekitar pot agar tidak polos. Sekarang order banyak datang dari kalangan pengusaha spa.
Pasangan Suweta-Emy bertekad akan terus berupaya melestarikan usaha kerajinan itu. Jika suatu saat jumlah perempuan lanjut usia ini berkurang, mereka akan menempuh jalan apapun, termasuk menerima perajin dari luar Binoh Kaja, jika terpaksa.
"Kami tetap mengedepankan kelestarian Binoh Kaja sebagai sentra gerabah pertama di Denpasar, apapun yang terjadi," ujar Suweta dan Emy.

dikutip dari KOMPAS, SENIN 1 FEBRUARI 2010





Selasa, 26 Januari 2010

Teknologi Tepat Guna Yunus Puji Wibowo

"Ciptakan pekerjaan daripada mencarinya". Slogan ini tertulis pada selembar spanduk besar di ruang tamu rumah Yunus Puji Wibowo di jalan Sunan Ampel, Desa Sumberejo, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Slogan itu terus memotivasi Yunus sampai akhirnya cita-citanya terwujud, bahkan sejumlah penghargaan.

YUNUS PUJI WIBOWO

Lahir : 26 September 1979
Alamat : Jalan Sunan Ampel, Desa Sumberejo, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun
Pendidikan : STM PGRI I Madiun
Penghargaan : - Juara I Kewirusahaan, Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur (2008)
- Juara II Teknologi Tepat Guna Tingkat Provinsi Jawa Timur (2008)
- Juara I Karang Taruna Berprestasi Tingkat Kabupaten Madiun (2008)

Oleh A PONCO ANGGORO

Menjadi pengusaha memang dicita-citakan Yunus sejak masih kecil. Saat usianya masih 12 tahun, duduk di kelas I SMPN I Geger, niatnya untuk berusaha sudah mulai dipupuk oleh ibunya.
"Saat itu ayah meninggal dunia. Ibu lalu berpesan agar saya tidak mengandalkan warisan dari ayah," ungkapnya. Bersamaan dengan pesan itu, Yunus diberi lima ayam oleh ibunya sebagai titik awal agar Yunus memulai usaha.
Setiap hari, saat hendak berangkat sekolah, telur yang dihasilkan kelima ayam itu dibawa dan dijualnya di toko jamu yang letaknya tiddak jauh dari rumahnya. Selama tiga tahun dia jalani usaha ini. Hasil penjualan telur sepenuhnya untuk membayar uang sekolah.
Yunus memperoleh kepuasan dengan berjualan telur. Apalagi cita-citanya menjadi pengusaha bisa terwujud. Kepuasannya ini yang terus memotivasinya agar bisa menjadi pengusaha saat dewasa kelak.
Namun seiring bertambahnya usia, niatnya menjadi pengusaha tertunda. Ketika bersekolah di STM PGRI I Madiun, disela waktu belajarnya dia bekerja di salah satu peerusahaan konstruksi di Madiun. "Saya ikut memasang instalasi listrik di perumahan-perumahan baru," kenangnya.
Selepas STM, tiga kali dia berpindah-pindah kerja di tiga perusahaan konstruksi di Malang, Bandung. Dia kemudian mnjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Taiwan. "Uang Rp. 20 juta yag saya tabung dari hasil kerja selama dua tahun dipakai untuk keperluan itu," tambahnya.
Meskipun gajinya di Taiwan sekitar Rp. 4 Juta perbulan, Yunus tidak betah. Hanya selama satu bulan dia bertahan di sana, "Saya menjadi kuli di pabrik paralon di sana. Tidak betah rasanya di suruh-suruh, bertentangan dengan cita-cita saya menjadi pengusaha," ujarnya.
Dia lalu pulang ke Indonesia, namun karena uangnya sudah habis untuk biaya ke Taiwan, dia memilih bekerja disebuah perusahaan jasa TKI di Jakarta. Setelah bekerja setahun dan keuangannya kembali pulih, dia baru kembali ke Madiun, "Saya berniat mewujudkan cita-cita saya yang tertunda," kata Yunus.

Pabrik kerupuk

Di Madiun, uang yang ditabungnya itu diinvestasikan untuk membuat pabrik kerupuk. Kerupuk dipilih karena mayoritas warga kampungnya bekerja sebagai perajin kerupuk. Lima tahun dijalani, usaha itu tidak juga berkembang. Pembuatan kerupuk yang masih manual menjadi kendala utama usaha rakyat itu.
Yunus pun berangkat ke Surabaya untuk mencari informasi pemotong kerupuk yang bisa mempercepat produksi. Dari Surabaya, dia berangkat ke Tulungagung karena dia mendapat keterangan bahwa ada orang yang bisa memberikan informasi lebih banyak di Tulungagung. "Karena uang yang dimiliki terbatas, saya sering tidur di masjid di Surabaya dan Tulungagung," katanya.
Setelah informasi yang diperlukan cukup, dia kembali ke Madiun. Barang-barang bekas, seperti pelek sepeda, rantai dan kaleng susu dikumpulkannya untuk dibuat menjadi mesin pemotong kerupuk. Dengan percobaan berulang kali selama satu bulan, mesin baru tuntas dibuat.
"Sempat putus asa karena tidak kunjung berhasil. Kegagalan saat membuat mesin itu malah membuat saya semakin tertantang," ujar Yunus.
Dalam satu hari, mesin yang rangkanya dari kayu dan pembuatannya menghabiskan dana Rp. 5 juta itu bisa memotong satu kwintal kerupuk. Setelah mengetahui cara membuat mesin itu, dia mulai membuat mesin pemotong dengan rangka besi, tidak lagi dengan kayu.
Selain memperbarui rangkanya, kemampuan memotongnya pun ditingkatkan. Jika sebelumnya satu kwintal kerupuk perhari, sekarang bisa dua kwintal setiap dua jam. Mesin ini juga di modofikasi sehingga tidak hanya bisa digunakan untuk memotong kerupuk, tetapi juga tempe, untuk membuat alat yang kemudian dinamakan mesin pemotong kerupuk multiguna ini membutuhkan modal Rp.3,5 juta.
Pada tahun 2008 Yunus mengikutsertakan mesin itu dalam teknologi tepat guna di tingkat Kabupaten Madiun, dia menjadi satu-satunya peserta dan ditingkat Propinsi dia meraih juara kedua. setelah itu mesin ciptaannya mulai dikenal. Dia pun mulai diikutsertakan dalam berbagai pameran. Sejak itu mesin yang dibuatnya dicari banyak oang. Yunus menjual mesin itu Rp.5 juta per unit, "Sudah sepuluh mesin terjual. Mesin itu digunakan di Bandung dan Aceh," tambahnya.
Tidak berhenti pada satu karya cipta mesin, Yunus mencoba membuat mesin lain, yaitu mesin parut listrik. Mesin yang biasa digunakan untuk pompa air dimodifikasi sehingga menjadi mesin yang bisa dipakai memarut kelapa dan ketela.
Bentuknya yang kecil, mudah dibawa kemana-mana, membuat mesin ini banyak dicari orang. Sejak diproduksi awal tahun 2009 sudah 200 unit mesin parut yang terjual. Mesin yang dijual dengah harga Rp.350.000,- per unit ini diminati pembeli dari berbagai daerah, diantarnya Sumatera, Kalimantan, Lampung dan Nusa Tenggara Barat.
Di samping terus membuat mesin, Yunus juga menjalin kemitraan dengan petani untuk membudidayakan tanaman rosela di lahan seluas 15 hektar di Kecamatan Dagangan, kabupaten Madiun. Dia memodali petani untuk menanam rosela, yang kemudian dia beli guna diubah menjadi sirop. setiap tahun dia mampu memproduksi 5.000 botol sirop yang harganya Rp.12.000,- per botol
"Dari usaha-usaha ini, sekarang setiap bulan saya bisa memperoleh penghasilan kotor Rp.25 juta," kata Yunus, padahal saat bekerja di perusahaan konstruksi dia hanya memperoleh penghasilan Rp. 2 juta per bulan.
Cita-citanya menjadi pengusaha sudah terwujud. Berbagai penghargaan pun sudah diraihnya, namun dia masih terus bermimpi. Dengan usianya yang masih 30 tahun, tampaknya masih terbuka kesempatan bagi Yunus untuk bisa mewujudkan mimpi-mimpinya itu.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 16 DESEMBER 2009



Alexander Agung, Ahli Pertahanan Air Ludah

Bisnisnya memang seputar rongga mulut, yaitu memproduksi pasta gigi. Maka iapun total meyakini bahwa di rongga mulut ada ekologi kehidupan mikro yang unik dan tak boleh dirusak

ALEXANDER AGUNG
Lahir : Cirebon, Jawa Barat, 10 Oktober 1945
Istri : Seng Ho Lin (64)
Anak : - Erline Lie (25)
- Filbert Lie (23)
Pekerjaan : - Tahun 1979 - kini : Departemen Riset PT Enzym Bioteknologi Internusa
Pendidikan : - Tahun 1988-1991 ; MBA dari Institut Bisnis dan Manajemen Jakarta
- Tahun 1967-1970 : Akademi Putra Pendidikan Indonesia, Jakarta
- Tahun 1955-1966 : Huang Chung, Jakarta

Oleh AMIR SODIKIN

Awalnya alexander agung adalah seorang kontraktor. Ia juga sering berganti-ganti profesi. namun hasilnya tidak memuaskan. Pencariannya berhenti ketika ia melihat pabrik pasta gigi yng dijual di daerah Cawang jakarta Timur.
"Lokasinya strategis, luas tanahnya 1.600 meter persegi, rencananya untuk show room mobil," pikirnya waktu itu sekitar tahun 1979. Setelah membeli bekas pabrik pasta gigi, Alex, panggilannya, berpikir mengembangkannya.
"Produknya masih bisa dikembangkan," katanya. Maka, dengan menggandeng mitra bisnis dai Belanda, ia membangun kembali pabrik pasta gigi itu. "tetapi tidak berhasil"
Walau tidak berhasil, ALex justru terpacu mempelajari kesehatan gigi dan mulut. Kenapa nekat ingin melanjutkan bisnis itu padahal sudah gagal? "Saya yakin bisa mengembangkan pabrik pasta gigi karena sudah ada dasar yang bagus," katanya.
Tak seperti pebisnis baru yang biasanya mencontek komposisi produk pesaing, Alex justru merasa harus memulainya dengan belajar dari nol. Maka ia lalu banyak bertanya kepada para dokter gigi, akademisi dan membaca banyak buku.
"Tiap saya pergi ke dokter gigi, saya tak mendapat jawaban yang memuaskan soal kenapa gigi bisa berlubang, kenapa bisa sariawan, kenapa gusi bisa radang, kenapa mulut bisa bau? selalu dijawab karena multi faktor," ceritanya.
Ketika berusaha mendapatkan penjelasan dari dokter gigi, Alex malah mendapat jawaban agar dia berusaha sendiri untuk mencari tahu. "Dokter bilang, ya kamu cari tahu sendiri," begitu Alex mengenang percakapan kala itu yang membuat dia tergugah belajar sendiri.
"Saya baca buku-buku, lalu menawarkan kerjasama penelitian dengan pihak kampus. Saya awalnya baca buku biologi, bukan buku-buku dari kedokteran gigi," katanya.
Walaupun tak dididik menjadi peneliti, Alex ikut meneliti. Ia aktif menggandeng akademisi atau peneliti yang tertarik. "Kami punya teori yang dianggap tak biasa, jadi mereka tertarik bergabung riset," katanya.
Dia akui, memang banyak pertanyaan dari para akademisi, misalnya sejak kapan dia mulai meneliti soal kesehatan gigi? Pertanyaan itu ada yang bersifat apresiatif, tetapi ada pula yang bernada menyindir.

Ekologi mulut

Alex terus meneliti hingga 10 tahun. Bisnisnya tak segera difokuskan memproduksi pasta gigi secara masal dan murah. Ia masih berkutat mencari tahu misteri ekologi rongga mulut secara keseluruhan atau holistik.
Ia yakin problem gigi dan mulut bukan karena kebersihan semata. Gigi berlubang atau karies, radang gusi atau gingivitis, radang jaringan penyangga gigi atau periodontis, sariawan atau stomatis aphtosa dan bau mulut atau halitosis terjadi karena tak seimbangnya kehidupan mikro di mulut.
"Berbagai penelitian menguatkan, persoalan gigi dan mulut itu terjadi karena air ludah atau saliva telah kehilangan fungsi pertahanannya," katanya. Keseimbangan ekologi flora mulut terganggu karena kualitas air ludah turun drastis.
Alex memberi gambaran, fosil gigi manusia purba yang ditemukan, ternyata giginya mulus tak ada kerusakan. Padahal, zaman dahulu mereka belum mengenal gosok gigi.
Berbagai permasalahan gigi dan mulut baru timbul pada zaman modern. Menurut Alex, sistem pertahanan alamiah di dalam rongga mulut ini dikenal sebagai sistem laktoperoksidase.
"Ini sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme yang secara alami ada di air ludah," jelaskan
Masalahnya, sistem pertahanan ini pada manusia modern rusak karena makanan tidak sehat. "sistem laktoperoksidase dirusak oleh makanan yang mengandung bahan kimia, perasa, pengawet dan pembasmi hama," katanya.
Detergen pada pasta gigi juga menyumbang kerusakan biologi rongga mulut. "Batas toleransi kandungan detergen dalam pasta gigi 0,0001 persen. Jika melewati, air ludah akan rusak," katanya.
Alex juga meyakini, pemakaian antiseptic berlebihan untuk kumur bisa merusak. Jika sistem laktoperoksidase rusak, bakteri berkembang biak tanpa kontrol dan menyebabkan lingkungan mulut asam serta bisa melarutkan email gigi yang berlanjut menjadi karies.
Bakteri tak terkontrol juga bisa memproduksi racun yang akan merembes ke dalam gusi dan menyebabkan gingivitis. Perkembangan bakteri tak terkontrol bisa mengakibatkan bau mulut.
Dari penelitian itu Alex meluncurkan produk pasta gigi bernama Enzim yang bertujuan mengembalikan fungsi pertahanan air ludah. "Prinsip dsarnya bagaimana mengembalikan sistem alamiah laktoperoksidase dengan pasta gigi,"
Produk terbaru didesain untuk orang berusia 40 tahun keatas, yaitu dengan menambahkan colostrum yang dikenal sebagai air susu yang dihasilkan selama 4-36 jam pertama setelah melahirkan.
Pada usia 40 thun ke atas, air ludah berjurang yang mengakibatkan mulut kering, gusi berdarah, gigi ngilu, gigi goyang dan sakit saat menggigit. Colostrum berfungsi menjaga kelembaban mulut, anti bakteri dan memperkuat pertahanan air ludah.

Dari mulut ke mulut

Sejak mengampanyekan ancaman kerusakan air ludah, Alex sering diundang menjadi pembicara disejumlah universitas, rumah sakit, ikatan dokter dan seminar umum. Tiga tahun terakhir ia mendedikasikan hidupnya untuk memberi cermah kepada masyarakat awam.
"Awalnya saya ceramah disebuah universitas. Dekannya menganjurkan saya memberi ceramah untuk masyarakat awam. Sejak itu saya meniatkannya sebagai amal," katanya.
Maka perusahaan Alex membuat program kunjungan ke pabrik untuk masyarakat yang tertarik, "kami jemput mereka dengan bus, gratis, dapat makan siang pula," katanya.
Dalam satu tahun, ia bisa mengundang 13.000 orang. Tak disangka, amal itu kemudian berbuah pada pemasaran yang bagus. Pengakuan mereka yang sudah berkunjung atau orang yang pernah menggunakan pasta gigi itu menjadi pemasaran klasik yang efisien.
"Saya akui, program ini bisa menjadi WOM atau Word Of Muoth," katanya. Saat Kompas berkunjung di pabrik PT Enzym Bioteknologi Internusa di jalan Raya Bogor, Sukamaju, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, serombongan orang dari Jakarta sedang berkunjung.
Di sela diskusi, para pengunjung tak hanya bertanya soal gigi dan mulut, mereka juga memberi kesaksian tentang penggunaan pasta gigi.
"Memang program ini biayanya lebih mahal dari pada iklan biasa, tetapi kan niatnya untuk amal," katanya. Hingga Maret 2010, jadwal presentasi Alex dari Senin hingga minggu penuh terisi.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 28 DESEMBER 2009


Senin, 25 Januari 2010

Sumadi, Pengusaha Jamban dari Jatikalen

Menjadi sanitarian bukan cita-cita Sumadi, Namun, Sumadi menunjukkan, pengabdian dan totalitas dalam menggauli profesi yang ibarat jatuh dari langit itu mengantarnya menjadi sukses.

SUMADI
Lahir : Nganjuk, 9 Nopember 1970
Pekerjaan : Sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
Istri : Winarsih (39)
Anak : Rahma Nur Hayati (12)
Alfina Nur Hanifah (6)
Pendidikan : - SD Sumber Kepuh 1 Nganjuk (1983)
- SMPN Waru Jayeng, Nganjuk (1986)
- SMAN 2 Nganjuk (1989)
- SPPH Surabaya (1990)
- Universitas Adi Buana Surabaya (2004)
Prestasi : 1. Sanitarian terbaik tingkat propinsi dari Bank Dunia (2008)
2. Menjadi pembicara di Water week, Swedia (15 September 2009)
3. Pelestari Lingkungan Tingkat Propinsi Jawa Timur
selama 3 kali berturut-turut (2007-2009)

Oleh DWI AS SETIANINGSIH
Melalui inovasi desain septic tank ciptaannya, Sumadi berhasil menunjukan, jamban tak hanya sekedar "urusan belakang" yang remeh. Namun, lebih dari itu, jamban adalah kunci bagi peningkatan kualitas hidup yang lebih baik, terutama bagi masyarakat kelas bawah.
Berurusan dengan tinja sudah pasti menjijikan. Tetapi tidak bagi Sumadi yang berprofesi sebagai sanitarian Dinas Kesehatan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Persoalan seputar tinja bagi sanitarian yang bertugas melakukan pencegahan penyakit masyarakat adalah persoalan penting yang bila tidak ditangani dengan benar bisa menjadi malapetaka.
Sanitasi buruk berpengaruh terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang akhirnya berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat. "kalau mereka sakit-sakitan, uangnya habis dipakai berobat, ya miskin terus." kata Sumadi.
Prihatin dengan rendahnya kesadaran masyarkat menggunakan jamban, Sumadi melakukan survei di Desa Begendeng, Kecamatan Jatikalen, Nganjuk. Begendeng dipilih sebagai sasaran survei karena pola sanitasi msayarakatnya sangat buruk. Desa ini terletak di muara sungai Brantas dan sungai Widas. "Di dua sungai itulah masyarakat melakukan MCK (mandi, cuci, kakus) sehari-hari," kata Sumadi.
Hasil survei tak jauh dari dugaan. Dari 267 rumah di Begendeng, tercatat hanya empat rumah yang memiliki jamban dengan desain septic tank berbentuk kotak. Saat itu biaya membuat jamban sekitar Rp. 1,6 juta perunit. Sangat mahal bagi warga yang umumnya bekerja sebagai petani dan buruh.
Sumadi kemudian berinisiatif membuat septic tank dengan model silindris. Model silindris lebih cocok digunakan di daerah seperti Jatikalen yang memiliki kontur tanah selalu bergerak.
"Model silindris jauh lebih kuat karena titik tekannya hanya satu, yaitu ditengah, sedangkan model kotak lebih gampang roboh,"jelas Sumadi. Dengan model septic tank silindris, Sumadi mampu menekan harga pembuatan jamban hingga Rp.440.000,-
Meski harganya jauh lebih murah, saat diperkenalkan banyak warga yang masih ragu. Saat itu baru 10 keluarga yang tertarik memesan jamban kepada Sumadi. "Waktu itu saya beri jaminan, kalau dalam waktu lima tahun jambannya ambleg, uang mereka kembali," kata Sumadi.
Jaminan dan harga murah yang ditawarkan Sumdi menarik minat daftar warga. tahun 2003 pesanan jamban Sumadi terus bertambah kesemua kecamatan. Kenaikan harga material hingga dua kali lipat tak membuat pesanan berkurang.
Sukses Sumadi mengkampanyekan penggunaan jamban terus berlanjut. Tahun 2003 desain septic tank ciptaan Sumadi diterapkan pada proyek Stimulan jamban Dinas Kesehatan Nganjuk di lima kecamatan yaitu Jatikalen, Patianrowo,lengkong, baron dan Sukomoro sebanyak 100 unit.

Prinsip pengabdian
Lulus kuliah tahun 2004, Sumadi bertekad melebarkan sayap. Dia tak ingin hanya menjadi sanitarian. Sumadi membuka perusahaan pembuatan jamban bersama dua rekannya dengan nama Karya Sanitasi.
Meski menjadi pengusaha, Sumadi memegang teguh prinsip pengabdian profesi sebagai sanitarian. Misi untuk terus mengkampanyekan penggunaan jamban bagi masyarakat miskin pun tetap dipelihara.
Siasat Sumadi adalah dengan memberikan diskon. Harga jamban yang semula Rp.1,3 juta didiskon hingga Rp.850.000 per unit.
"Saya memangkas keuntungan. Saya kan sudah dapat gaji, ini bagian dari tanggung jawab saya sebagai sanitarian. Tujuan utama saya, masyarakat menjadi sehat," ujar Sumadi.
Bahkan untuk menjangkau masyarakat sangat miskin, Sumadi meluncurkan jamban ekonomis seharga Rp.625.000 dan jamban tumbuh sehat seharga Rp.180.000 - Rp. 260.00. Warga juga bisa mencicil sesuai dengan kemampuan.
Strategi yang dilakukan Sumadi adalah dengan memperkecil kapasitas septic tank dari yang semula 1,3 meter kubik menjadi hanya 0,7 meter kubik. "Yang penting masyarakat pakai jamban," tandas Sumadi.
Hingga menjelang akhir tahun 2009, tercatat 2.600 keluarga di Kabupaten Nganjuk menggunakan jamban buatan Sumadi. Sejumlah wilayah sudah mengantre pesanan seperti Madiun, Jombang, Kediri, Gresik dan ponorogo, termasuk Dinas Kesehatan Propinsi Jatim yang tertarik mengadopsi desain septic tank buatan Sumadi.

Pedagang beras
Sejak kecil Sumadi (39) dididik dan diarahkan orang tuanya, pasangan Jamin dan Sakinem, untuk mengikuti jejak mereka menjadi pedagang beras. Sumadi tak diijinkan meneruskan sekolahnya karena tak ada biaya. "Pokoknya, lulus SMA saya harus jadi pedagang beras," kenang Sumadi.
Sumadi tak bisa berbuat apa-apa. Lahir dan besar dalam keluarga miskin membuat dia harus berkompromi dengan keterbatasan. Sumadi pun terpaksa mencekokkan harga berbagai jenis beras, gabah, rendemen, hingga rumus menghitung untung rugi ke otaknya
Namun Sumadi adalah manusia keras hati. Semangatnya untuk mengubah nasib tak pernah pupus. Nasib rupanya memang tak bisa ditebak. Roda nasib Sumadi yang telah dirancang menjadi pedagang beras justru menggelinding ke tempat yang tak pernah terbayangkan.
Beberapa saat setelah lulus SMA tahun 1989, Sumadi tanpa sengaja melihat pengumuman penerimaan Sekolah Pembantu Penilik Hygiene (SPPH). SPPH adalah sekolah ikatan dinas selama satu tahun untuk mencetak tenaga sanitarian.
Atas restu Jamin dan Sakinem, Sumadi mendaftar ke SPPH. "Bapak akhirnya mengizinkan karena selama satu tahun biayanya hanya Rp.500.000,-,' katanya.
Setahun kemudian, Sumadi lulus dari SPPH. Sumadi kemudian ditempatkan di Samarinda, Kalimantan Timur, selama tiga tahun, Samarinda menjadi laboratorium pertama Sumadi menggeluti profesi sebagai sanitarian.
Tahun 1994, Sumadi kembali ke Nganjuk. Sumadi bertekad mengabdikan seluruh ilmunya di tanah kelahirannya.
Pilihan Sumadi tak salah. Dengan menjadi sanitarian, dia menemukan jalan hidupnya. Semangatnya untuk mengkampanyekan penggunaan jamban masih terus menyala hingga mimpinya tak ada lagi keluarga yang tak memiliki jamban terwujud.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 29 DESEMBER 2009

Rabu, 20 Januari 2010

Haris, Mengolah Limbah Lewat Batik

Keprihatinan terhadap banyaknya sampah yang mengotori lingkungan mendorong Haris Riadi untuk terus berkreasi. Ia mencoba memperpanjang manfaat barang dengan mengolah limbah menjadi karya batik bernilai ekonomis.

BIODATA
Nama : Harris Riadi
Lahir : Pekalongan, Jawa Tengah, 30 September 1963
Pendidikan : Akademi Seni Rupa Indonesia (tidak tamat)
Istri : Siti Masithoh (41)
Anak : Bintang Lazuardi (8)
Penghargaan :
- Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta atas peran Serta dalam pameran
lukisan Biennale VI,1985
- Juara II Lomba Dsain Batik Tingkat Propinsi Jawa Tengah, 201
- Penghargaan Khusus Wastra Waditra Nusantara pada Lomba Desain Batik,
2007

Oleh SIWI NURBIAJANTI

Sebelum menjadi pembatik, Harris adalah pelukis, ia pernah mengenyam pendidikan seni rupa di sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta, dan lulus tahun 1979. Ia melanjutkan pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (yang kemudian melebur menjadi Institut Seni Rupa Indonesia), tetapi tak tamat.
Mulai tahun 1982, ia malang melintang menjadi pelukis di Jakarta, Solo dan Bali selama sekitar 15 tahun. Di tengah kesibukan melukis ia pernah menjadi desainer batik di salah satu perusahaan batik di Solo. Kegiatan itu dilakoninya selama sekitar sekitar enam tahun, mulai tahun 1983 Harris kembali ke kota kelahirannya, Pekalongan, pada 1997. Ia ingin mandiri dan berinovasi.
Dia membuka usaha di rumah orang tuanya di Pekajangan, Kabupaten Pekalongan. Kini, pemilik usaha Bintang Batik ini telah memiliki tempat kerja sendiri di Desa Jeruksari, Kecamatan Tirto, Kota Pekalongan.
Komitmennya sebagai seniman lukis membuat Harris tak membuka usaha batik yang diproduksi secara massal. Alasannya, batik itu seni lukis, pengerjaannya harus benar-benar lewat pikiran.
Saat berlangsung piala dunia 2006, ia memanfaatkan momen itu untuk berkreasi. Harris memproduksi sekitar 10 lembar kain batik bermotif bola dan motif orang menendang bola. Saat itu, pesanan batik motif bola diperoleh dari Bandung, Jakarta, Semarang, bahkan Jerman. Pada hari Valentine tahun 2007, ia juga membuat motif batik kodok sedang bercinta.
Kreasi Harris tak sekedar motif baru. Ia juga membuat batik yang ramah lingkungan dengan menggunakan peewarna alam. Selama ini, bahan pewarna kimia telah mencemari dan membuat keruh air sungai di kotanya.
Maka, dia mewarnai batik kreasinya dengan pewarna alam atau pewarna berbahan hasil alam, misalnya kulit bawang merah untuk pewarna merah, bunga sepatu untuk warna violet, kulit biji jelawe untuk warna hitam, kayu mahoni untuk warna coklat dan daun nangka untuk warna kuning. "Saya tak ingin menambah beban lingkungan."
Meski demikian, dalam beberapa karyanya, ia juga menggunakan pewarna bahan kimia, masih sekitar 40 persen karyanya yang menggunakan pewarna kimia.


Kertas Pembungkus
Kecintaan pada lingkungan juga membangkitkan kreasi Harris untuk memanfaatkan limbah sebagai bahan batik. Pada tahun 2006 ia memanfaatkan kotoran sapi dicampur kulit tebu dan rumput sebagai pewarna kain batik.
Meski saat itu mendapat reaksi keras dari masyarakat, ia pantang menyerah. Awal tahun 2007, ia membatik diatas kertas atau kantong bekas pembungkus semen. Kantong semen yang hanya menjadi sampah dan dijual kiloan itu dia olah menjadi produk batik yang bernilai ekonomis.
Batik dari kantong semen dimanfaatkan Harris untuk membuat gorden, sarung bantal, tas dan sandal. Namun dia tak memanfaatkan kertas batik dari kantong semen untuk pakaian dengan alasan estetika.
Harris bercerita, proses pembuatan batik kantong semen tak beda dengan kain batik lainnya, hanya saja pewarna yang digunakan dalam membuat kertas batik harus alami. Bila menggunakan pewarna berbahan kimia, kantong semen akan hancur.
Dalam sebulan ia memproduksi sekitar 200 lembar kertas pembungkus semen. Sebagian besar produknya itu dikirim ke Jakarta dengan harga puluhan hingga ratusan ribu Rupiah per unit.
Harris menuturkan, ada dua metode pembuatan kertas batik dari kantong semen. Metode prtama membatik kantong semen yang sudah dibersihkan tanpa diolah lebih dulu. Setelah kertas dibatik, ia baru membuatnya sebagai aksesori rumah tangga.
Metode kedua, dengan memilin potongan kantong semen menjadi tali, kemudian merajutnya menjadi berbagai aksesori. Setelah rajutan terbentuk, baru dia membatik diatasnya, Kertas batik yang dipilin sama kualitasnya. Aksesori rumah tangga dari kertas batik ini juga dapat dicuci.

Tak beralih fungsi
Harris mengatakan, upaya memopulerkan kertas batik dari kantong semen berawal saat dia melihat pemulung yang sedang mengangkut kantong semen. Dimatanya kantong semen seakan menjadi sesuatu yang tak berharga.
Kreativitasnya untuk memanfaatkan limbah semakin terusik ketika ia menemukan kertas bekas berbahan timah disalah satu tempat pembuangan sampah di Jakarta, kertas itu tak hancur dibakar dan limbahnya mengotori lingkungan.
Dia lalu memungut kertas itu dan mengolahnya menjadi batik. Upaya yang dilakukan sejak juli 2009 itu membuahkan hasil, kertas berbahan timah yang diduga berbahaya bagi lingkungan bisa dimanfaatkan dan dijadikan produk permanen. Beberapa produk yang dihasilkan bisa dihasilkan dari limbah kertas timah adalah tas laptop, kotak tisu dan gesper.
"Kalau bumi tak diselamatkan dari limbah, ini berbahaya," tutur Harris yang masih berusaha mencari kemungkinan untuk mengolah berbagai limbah lain. Limbah yang mengotori lingkungan banyak jenisnya, dan selama ini relatif hanya berpindah tangan, tidak beralih fungsi.
Oleh karena itu, keberadaan limbah harus dikurangi, dengan memperpanjang waktu pemakaian. Caranya antara lain dengan mengolahnya kembali menjadi produk permanen yang bisa memberi manfaat bagi manusia.
Harris menyadari, memanfaatkan limbah untuk membatik tak mudah dilakukan. Upaya ini membutuhkan ketelatenan dan uji coba berkali-kali. Produk yang dihasilkan juga tak sebanyak batik biasa sehingga pendapatan dari usaha ini amat terbatas.
Meski demikian, ia bangga dan senang bisa melakukannya. Harris ingin agar para pembatik lain pun mau akrab dengan lingkungan. Hasil lain yang diperolehnya dengan mengolah limbah adalah keakrabannya dengan para pemulung. Dia juga tak segan menularkan ilmunya kepada orang lain. "Ini Ekonomi kreatif berbasis budaya," katanya memberi alasan.
Perjalanan Harris sebagai seniman lukis dan batik memang sebuah proses panjang. Saat hendak memulai kehidupan sebagai seniman lukis, ia sempat mendapat tentangan dari sang ayah, mendiang Chairil Kasmuri, seorang tentara. Namun, diakhir hayatnya, sang ayah justru mendukung setelah ia mampu mandiri dari usaha batiknya.
"Saya anak keempat dari sembilan bersaudara, dan hanya saya yang menjadi pekerja seni," katanya optimistis.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 7 OKTOBER 209


Selasa, 19 Januari 2010

Nasrudin, Bapak Lele Sangkuriang

Kecebong, anak kodok, muncul dikolam, membuat Nasrudin gembira karena dia mengira kecebong itu anak ikan lele. Kegembiraan itu sirna dan dia merasa malu ketika diberi tahu bahwa yang dikira anak ikan lele itu adalah kecebong. Kodok betina yang masuk kekolam tanpa diketahui bertelur dan menetas bersama dua indukan ikan lele betina dan seekor jantan.

DATA DIRI
Lahir : Desa Gadog, Bogor, 1948
Istri : Icah
Anak : 4 (perempuan semua)
Pendidikan : SD (tidak tamat)
Pekerjaan : - Pembudidayaan ikan sejak 2001
- Pelatih budidaya ternak lele sejak 2005

oleh FX PUNIMAN

Itu pengalaman pertama Nasrudin (61) sejak delapan tahun lalu saat belajar beternak ikan lele.
"Kecebong disangka anak ikan lele, ngerakeun pisan (sangat memalukan)," kata Nasrudin, menuturkan awal usahanya menjadi peternak ikan lele delapan tahun lalu, di saung pertemuan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Jaya Sentosa awal November lalu. Saung itu berdiri di tepi puluhan kolam ikan lele yang terbuat dari terpal dan tembok di lahan seluas 12.000 meter persegi di Kampung Sukabirus, Desa Gadog, Kecamatan Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kini, dia tak lagi dipermalukan atas ketidaktahuannya, Nasrudin sudah tersohor berkat lele sangkuriang yang mulai dikembangbiakan pada 2001. Dia mengawali usaha beternak lele dengan benih sekitar 10.000 lele sangkuriang yang diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Nama sangkuriang yang diberikan itu memang diambil dari legenda Tanah Pasundan untuk menandakan lokasi asal pembiakan lele jenis tersebut.
Lele Sangkuriang ini merupakan perbaikan genetik melalui silang balik antara induk betina lele dumbo generasi kedua (F2) dan jantan lele dumbo generasi keenam (F6). Induk betina F2 berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi ke Indonesia pada 1985.
Petugas penyuluh pertanian dan perikanan setempat memberikan bimbingan beternak ikan secara benar. Berkat ketekunannya Nasrudin berhasil mengembangkan ikan lele sangkuriang.
Dia kini sudah menjadi "pendekar lele", bukan saja mahir dalam membesarkan dengan jurus-jurus yang jitu, tetapi juga mampu mengobati lele yang diserang penyakit, seperti radang kulit, dengan obat herbal ramuannya sendiri. Obat ini diberikan cuma-cuma kepada yang memerlukan.

"Letkol"
Sejak 2005, dia menjadi pelatih bagi kelompok dari sejumlah daerah, termasuk sejumlah karyawan perusahaan swasta dan pemerintah menjelang pensiun yang ingin beternak lele. Namanyapun sohor menjadi Nasrudin lele" dari desa Gadog. Baahkan kalangan pembudidaya lele dan warga setempat menjuluki Nasrudin dengan sebutan Bapak Letkol- akronim dari lele kolam yang diplesetkan menjadi letkol, sehingga dia kemudian disebut "Letkol" Nasrudin.
Petani lele sangkuriang ddari Desa Gadog ini kini lebih jauh berangan-angan membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran dengan memelihara lele, "Budidaya lele tidak terlalu sulit, teknologinya juga mudah dan tiga bulan sudah bisa dipanen. Masyarakat keil bisa membudidayakan lele di hlaman rumanya.Cukup dengan lahan minim hanya dengan seluas 1 meter kali 1 meter, serta modal Rp.75.000,- untuk bibit dan pakan, sudah bisa beternak lele skala keil," kata Nasrudin.
Dia tak segan-segan membagi pengetahuan memelihara lele secara benar kepada mereka yang ingin membudidayakan lele, dia juga siap membantu mereka yang datang menimba ilmu di P4S Gadog tanpa dipungut biaya.
Sejumlah petugas penyuluh pertanian dan perikanan serta pakar perikanan pun mendukung kegiatan Nasrudin membudidayakan lele sangkuriang dan melakukan pelatihan. Dukungan ini membuat Nasrudin bersemangat dan berambah yakin akan angan-angannya untuk menjadikan Desa Gadog sebagai sentra budidaya lele sangkuriang.
Bahkan, 7 September lalu, Nasrudin diangkat menjadi Ketua Gabungan Kelompok (Gapok) Budidaya Ikan Lele Sangkuriang "Cahaya Kita" untuk wilayah tengah Propinsi Jabar dengan pusat aktivitas di wilayah Kabupaten/Kota Bogor.

1,5 juta benih
Nasrudin, yang puluhan tahun sebagai petani padi dan kemudian beralih menjadi pembudidaya lele ini, bersama kelompok pembenih lele sangkuriang yang tergabung dalam Gapok Cahaya Kita, ingin memproduksi sekitar 1,5 juta benih lele sangkuriang setiap bulan untuk memasok anggota kelompok budidaya lele sangkuriang yang saat ini berjumlah sekitar 50 orang.
Dengan produksi benih sebanyak itu, kelompok budidaya/pembesar ikan lele sangkuriang diharapkan mampu memenuhi sebagian kebutuhan lele di wilayah Jakarta. Adapun kebutuhan lele di wilayah Jabodetabek diperkirakan sekitar 75 ton sehari. Pemasoknya bukan saja berasal dari petani lele Jabar, tetapi juga dari Jawa Tengah.
"Saat ini boro-boro memasok ke Jakarta, untuk memenuhi kebutuhan konsumen di Wilayah Kota/Kabupaten Bogor saja kekurangan. Kami peternak lele sangkuriang di daerah Gadog dan sekitarnya meliputi kecamatan Ciawi, Mega Mendung dan Cisarua, baru mampu memproduksi sekitar 3 ton perhari, dari kebutuhan sekitar 10 ton'" kata "Letkol" Nasrudin. dari kolamnya sendiri Nasrudin baru mampu memasok sekitar 2 ton perminggu kepada pelanggannya. Lele sangkuring dijual Rp.10.500 - Rp.11.000,- per kilogram.
Masa depan budidaya lele cukup cerah, apalagi menurut Muhammad Abduh Nur Hidayat, anggota staf Ditjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, ikan lele akan dijadikan komoditas ketahanan pangan. Konsepnya kini sedang disiapkan. Ikan lele saat ini sudh digemari oleh kalangan bawah sampai atas. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat mempromosikannya dengan menikmati ikan lele di Kampung lele boyolali, Jateng, tahun 2007.
Andil pedagang tenda pecel lele di Jabotabek dan daerah lainnya cukup besar dalam meningkatkan produksi ikan lele. "Sekarang lele juga dijual di restoran, bahkan sampai ke daerah Kalimantan Barat yang dulu tak suka ikan lele,' kata Muhammad Abduh Nur Hidayat, penasihat Gapok Cahaya Kita.
Lele Sangkuring yang dirilis sebagai varietas unggul oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri pada 2004 ini lebih cepat dipanen dibandingkan jenis lainnya dan tahan penyakit. Ukurannya lebih besar dibandingkan lele jenis lain. Dua bulan sudah bisa dipanen. Rasa dagingnya juga lebih gurih dibandingkan lele jenis lain. "karena itu, tak heran kalau lele sangkuriang disukai konsumen," kata "Letkol" Nasrudin.
(FX PUNIMAN, Wartawan, tinggal di Bogor)

Dikutip dari KOMPAS, SENIN 21 DESEMBER 2009



Senin, 18 Januari 2010

Clayton, Penjaga Hutan Nantu dari Inggris

lTahun 1869, sang naturalis legendaris Alfred Russel Wallace (1823 - 1913) dari Desa Hurstpierpoint, Wilayah Sussex, Inggris menyelesaikan buku catatan perjalanannya. Buku itu diberi judul The Malay Archipelago dan didalamnya membahas Garis Wallace.

Data Diri
Nama : Dr Lynn Marion Clayton
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : Peneliti Universitas Oxford, Inggris
Pendidikan terakhir : S-3 Universitas Oxford, Inggris 1996
Disertasi : "Conservation Biology of the Babirusa ('Babyrousa babyrussa')
in Sulawesi, Indonesia",
Disertasi ini merupakan studi babi rusa dialam liar untuk pertama
kali di dunia
Alamat : PO Box 1346 Manado, 95011 Sulawesi Utara, Indonsia
Beberapa kegiatannya :
- Monitoring perdagangan babi rusa secara ilegal yang berdampak pada penurunan transaksi
dari 15 babi rusa perminggu (1991) menjadi satu babi rusa perminggu (2007)
- Kampanye intensif keanekaragaman hayati Sulawesi, misalnya dengan pembuatan buku cerita
anak-anak tentang babi rusa, "Tempat istimewa di dalam hutan".
- Menggelar berbagai pelatihan konservasi untuk sejumlah kalangan di pos penelitian di Hutan
Nantu.
- Peningkatan ekonomi masyarakat lokal dengan pembibitan pohon yang dibutuhkan
masyarakat ( misalnya kakao dan jati).
- Bersama akademisi dari kampus-kampus di Gorontalo aktif di LSM lokal Yayasan Adudu
Nantu Internasional (YANI).
- Pelatihan dan supervisi PhD untuk para peneliti Indonesia
- Memberi beasiswa dan membantu sekolah lokal.


Oleh AMIR SODIKIN
Wallace menemukan ada dua kelompok fauna yang berbeda antara wilayah timur dan barat. Garis pembatas itu disebut Garis Wallace. Garis pembatas itu ada diantara pulau Bali dan Pulau Lombok serta antara Kalimantan dan Sulawesi.
Wallace mengungkap, fauna Sulawesi aneh dn ganjil. Kemungkinan sebagian Sulawesi ada yang masuk Asia dan sebagian masuk Australia. Sejak itulah Sulawesi atau Celebes dikenal misterius dengan fauna uniknya.
Pada era yang berbeda dan generasi yang berbeda pula, tepatnya tahun 1986 dari Desa yang sama dengan Wallace, mahasiswi Universitas Oxford, Inggris, Lynn Clayton, menyusuri belantara Sulawesi. Saat itu Clayton membantu Dr. Anthony J Whitten membuat buku The Ecology of Sulawesi.
Clayton yang saat itu masih S-1 seolah menelusuri "dongeng-dongeng" yang diceritakan Wallace. Takjub sekaligus bangga bisa merealisasikan mimpi masa kecilnya menjadi konservasionis. "Saya tahu, kalau Wallace pernah tinggal di desa saya, baru tahun lalu," katanya.
Ekspedisi pertama itu membuatnya jatuh cinta dengan hutan Sulawesi, yang selanjutnya membuat dia tetap di Sulawesi hingga kini. Mendedikasikan hidupnya untuk konservasi hutan primer di hutan Nantu, Boliyohuto-Paguyaman, Gorontalo.
Ya. 23 tahun jika dihitung sejak ekspedisi pertamanya. Tampaknya clayton ingin menerapkan betul teori yang dia dapatkan. Menjadi intelektual organik, bekerja di tengah problem riil masyarakat.
"Saya masih menjadi peneliti Universitas Oxford, tetapi saya suka kerja di lapangan. Saya tak bisa meninggalkan kerja lapangan ," kata "doktor babi rusa" ini.

Awalnya Babi Rusa
Clayton meraih gelar S-3 tahun 1996 dari hasil penelitian di Hutan Nantu dengan judul "Conservation Biology of the Babirusa in Sulawesi, Indonesia". Babi rusa (Babyrousa babyrussa) sejak 1996 masuk kategori langka dan dilindungi IUCN dan CITES.
Babi Rusa unik karena memiliki taring yang tumbuh dari hidung, bengkok kebelakang sampai di depan matanya. Clayton tak hanya menjadi peneliti, tetapi juga ikut memikirkan bagaimana konservasi satu satwa langka berbuah pada konservasi untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan warga.
Jangan sepelekan satu binatang babi rusa. Selain hewan ini hanya ada di Sulawesi dan sekitarnya, species ini bisa menjadi ikon atau species kunci untuk konservasi.
Melindungi satu species kunci tak akan bisa berhasil jika tidak diikuti dengan konservasi habitatnya. Mengkonservasi habitat species kunci berarti mengkonservasi hutan secara umum beserta isinya. Itulah prinsip ekologi yang sedang diembannya.
Penelitian babirusa merupakan jalan panjang yang harus dilalui Clayton. Dimulai tahun 1988 setelah menyelesaikan ekspedisi, dia kemudian mengajukan proposal penelitian soal babi rusa di Sulawesi untuk studi pasca sarjana.
Tahun 1989, selama enam bulan dia mencoba mencari tempat untuk pengamatan, tetapi tak kunjung ketemu. Di tengah keputus asaan, sampailah dia ke Sungai Nantu. Di kawasan itulah dia menemukan daerah yang sering didatangi babi rusa.
"Ada lokasi terbuka berukuran 20 meter x 60 meter di kelilingi pepohonan dan di tengah lokasi terdapat sumber air panas. Lokasi itu merupakan tempat berkumpul hewan-hewan unik dan langka, ada babi rusa, anoa dan masih banyak lagi, tetapi rata-rata didominasi babi rusa," katanya.
Tempat itulah satu-satunya di dunia untuk melihat langsung babi rusa di alam terbuka. "orang menyebut lokasi itu Adudu," katanya.
Akhirnya, ditepi sungai di tengah hutan belantara dia membuat gubuk tempat tinggal sekaligus pos penelitian selama berbulan-bulan.
Di kubangan itu dia pernah melihat rombongan babi rusa hingga 44 ekor, bercengkrama, minum dan menjilati tanah yang kaya mineral itu untuk menetralisasi racun buah pangi yang mereka makan.
Tahun 1994, para pembalak liar mulai merangsek ke wilayah Nantu, Melihat ancaman itu Clayton dan kawan-kawan dari beberapa universitas dan pemerintahan lokal berinisiatif mengajukan daerah tersebut sebagai kawasan konservasi.
"Saya bersama teman-teman dari Institut Pertanian Bogor dan Kanwil Kehutanan Sulawesi Utara memulai upaya ke Departemen Kehutanan jakarta untuk mengajukan hutan itu sebagai kawasan konservasi," katanya.
Tahun 1994 perusakan hutan mulai terjadi, "siang malam saya diliputi kesedihan mendengar bunyi pohon roboh, gergaji mesin meraung-raung, memorak-porandakan hutan yang saya kagumi," katanya.
Beberapa Adudu hancur, setiap hari hewan langka seperti babi rusa, rusa dan anoa dijumpai mati akibat jerat yang dipasang orang. Maka tekad Clayton makin menyala untuk mendorong peningkatan keamanan hutan dengan bantuan kepolisian.
Upaya lain adalah mempublikasikan keanekaragaman hayati Hutan Nantu dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Ya keahlian Clayton dengan otoritas doktornya memang punya akses ke dunia internasional.
Tahun 1999 Hutan Nantu ditetapkan Menteri Kehutanan sebagai hutan konservasi dengan status Suaka Margasatwa seluas 31.215 hektar. "Keputusan ini merupakan secercah harapan untuk menata kembali Hutan Nantu yang rusak,' katanya.
"Berkat patroli dari Kepolisian, untuk sementara Hutan Nantu aman. Namun, illegal logging dan transmigrasi tetap jadi ancaman ke depan," ujarnya.
Setelah relatif aman, apakah Clayton hendak pulang ke desanya untuk menulis laporan perjalanannya? "Belum, Tujuan saya belum tercapai, masih tahap perjuangan. Tujuan utama saya adalah hutan lestari ddan masyarakat sejahtera," katanya.


dikutip dari KOMPAS, SENIN 24 AGUSTUS 2009



Senin, 04 Januari 2010

Obsesi Karateka Umar Syarief

UMAR SYARIEF
Lahir : Sepanjang, sidoarjo, 15 April 1976
Pendidikan : SMA
Prestasi : - 2 Medali emas SEA Games 1997 Jakarta
- 1 Medali Emas SEA Games 2003 di Vietnam
- 3 Medali Emas SEA Games 2005 di Filipina
- 1 Medali Emas SEA Games di Laos
- Juara Karate European Masters 2005
- Juara Karate European Masters 2008
- Best of the Best Piala KSAD 2008

"Kalau untuk Merah Putih, saya rela berbuat apa saja, Jangankan hanya membawa bendera sendirian, ketika kaki saya pincang pun, saya bersedia bertanding. Itu semata demi Merah Putih," ungkap Umar Syarief, karateka nasional, yang sejak april tahun 2007 tinggal di kota St. Gallen, Swiss.
oleh MOHAMMAD BAKIR.

Umar tidak pernah menyangka akan tinggal di Swiss. Kepergiannya ke Swiss awalnya untuk menjalani operasi seusai tampil di Asian Games 2006 Qatar. Saat itu meski dengan kaki pincang Umar tampil dan merebut medali Perunggu, "Bertanding hanya dengan kaki kiri buat saya tidak masalah, yang penting bendera Merah Putih bisa berkibar," ujarnya.
Umar tak hanya omong kosong, seusai menjalani operasi di Swiss, sesuai anjuran dokter, dia harus beristirahat selama setahun. Selama itu Umar hanya berupaya menjaga kebugaran dengan mengunjungi pusat kebugaran (Gym). Pada awal tahun 2008 dia baru mulai berlatih ringan bersama istrinya yang juga karateka asal Malaysia.
Pada Maret 2008 Umar mendaftar ikut kejuaraan karate liga Swiss,"Saya mendaftar sendiri, bawa bendera sendiri, dan bertanding sendiri. Hanya istri yang mendampingi saya, Alhamdulillah, saya meraih gelar juara di kelas 80 kilogram," ujarnya.

Santun dan Tegas

Tidak berhenti disitu, Umar terus membuat prestasi di Eropa meski hanya sendirian mewakili Indonesia. Sedikitnya Umar menjuarai kejuaraan karate Jerman Masters dan meraih perunggu pada Austria Open.. "Untung istri saya juga karateka sehingga dia bisa mengerti kenekatan saya," katanya.
"Setelah itu saya ikut PON di Kaltim dan meraih tiga medali emas. Keikutsertaan saya saat itu sekedar ingin menunjukkan bahwa Umar masih eksis karena sudah hampir dua tahun sejak Asian Games masyarakat karate Indonesia tidak melihat saya bertanding," katanya.
Bahkan, Umar masih menyempatkan diri mengikuti kejuaraan karate Piala KSAD di Jakarta pada akhir 2008, "Sekali lagi saya bersyukur karena dapat menjuarai Piala KSAD," ujar Umar yang juga keluar sebagai best of the best kelompok putra.
Namun, saat tampil pada laga pertama, jari kiri Umar patah, akibatnya dia membatalkan keikutsertaannya pada kejuaraan karate Eropa di Montenegro. "Ya, itulah resiko karateka," kata Umar pendek.
Penampilan Umar sehari-hari jauh dari kesan kekerasan, meski setiap hari setidaknya dia berlatih selama empat jam. Gaya bicaranya santun, tetapi tegas. Dia bukan sosok yang sulit diajak bicara. Kesenangannya bercanda membuat dia dikerumuni oleh banyak atlet ataupun wartawan, dimanapun dia berada.
" Saya hidup memang untuk mencari teman, bukan musuh. Sama persis dengan keberadaan saya dilingkungan karate, saya hanya ingin mencari teman,bukan musuh," ujar Umar.
Hampir seluruh hidup Umar tidak bisa dilepaskan dari karate. Tiga kali menjalani operasi patah tulang, Umar merasa perjuangannya di dunia karate, belum berakhir. Umar memilih menjauh dari sanak keluarga justru karena ingin mencapai prestasi yang lebih baik.
Terjun pertama kali di arena SEA Games 1997 Jakarta, pemuda kelahiran Sepanjang, Kabupaten Sidoarja, Jawa Timur, tahun 1976, ini langsung menyabet medali emas. Sejak itu Umar menjadi langganan mewakili Indonesia di hampir seluruh kejuaraan karate internasional.
Dua bulan sebelum tampil di SEA Games 2005 Filipina, Umar menjalani operasi saat mengikuti dan menjadi juara European Masters di Jerman. " Alhamdulillah, saya dapat meraih tiga medali emas," ujarnya.

Paha dibalut

Ketika menjalani latihan menghadapi Asian Games 2006, Umar kembali mendapat cedera sehingga harus sekali lagi menjalani operasi pada bulan Agustus di jerman. Saat itu dokter meminta Umar beristirahat selama satu tahun. " Baru empat bulan istirahat, hati saya berontak dan bertekad tampil di Asian Games," katanya.
Sejak babak awal, setiap kali bertanding, Umar membalut kedua pahanya dengan perban kuat-kuat. Perjalanan Umar mempersembahkan medali begitu dahsyat. Di babak perebutan medali perunggu, repechage, Umar mengalahkan karateka Korea Selatan, Jeang Kwon-hong, 6-3.
Saat menghadapi karateka Korsel itu, selama sembilan menit Umar seolah berjudi dengan nasib. Dengan cideranya, Umar juga harus melawan resiko cacat atau lumpuh. " Risiko itu akan terjadi jika paha saya terkena tendangan, padahal otot ligamen saya masih hancur. Saya bersyukur, waktu itu masih bisa bangun dan meraih perunggu,' katanya.
Seusai Asian Games, Umar berniat pensiun dan menghabiskan waktu bersama istrinya yang warga negara Swiss. Niat itu disampaikan Umar karena dia harus kembali menjalani operasi. Namun, kecintaan akan karate membuat Umar dan istrinya membatalkan niatnya dan berencana membuka tempat latihan ( dojo) karate.
"Sebelum operasi dokter di Swiss meminta saya istirahat total satu tahun, kalau tidak saya saya tidak akan pernah lagi bermain karate. Sedikit ancaman itu yang membuat saya takluk dan mundur dari SEA Games Thailand," ujarnya.
Namun, Umar tetaplah Umar. Dengan semangat menyala, dia berhasil melewati masa-masa pemulihan fisik, Akhirnya dapat kembali berprestasi . Bahkan Umar satu-satunya karateka Indonesia yang mempersembahkan medali emas dari nomor Kumite (pertarungan).
"Alhamdulillah, saya masih bisa mempersembahkan medali emas pada usia yang tidak muda lagi, saya berharap masih dapat berprestasi untuk satu-dua tahun kedepan," katanya.
Pelatih karate nasional, Muhammad Gusti, menyatakan usia tidak terlalu berpengaruh pada penampilan seorang karateka yang punya disiplin seperti Umar."Selama di Eropa dia tidak punya pelatih yang mengawasi. Karena disiplin dan dedikasinya, dia berhasil merebut medali emas di Laos. Itu kelebihan Umar," katanya.
Ditanya obsesinya sebelum mengundurkan diri dari dunia karate, Umar tegas mengatakan,"Aku ini ingin meraih medali emas pada Asian Games 2010. Itu yang paling konkret sebab setelah itu karate tidak lagi dipertandingkan di multi event Asia, tetapi menjadi bagian Asian Martial Art".
Sebagai karateka profesional, Umar tentu tahu bagaimana cara meraih medali emas tersebut. "Latihan dan kompetisi di berbagai kejuaraan Eropa membuat saya lebih mudah menjaga kondisi. Meski harus diakui, karateka dunia banyak yang berasal dari negara di Asia," katanya.
Umar tidak menampik kemungkinan bahwa medali emas Asian Games sama berartinya dengan juara dunia," Tetapi, paling dekat Asian Games karena itulah target saya dulu. Kalau kejuaraan dunia, itukan single event," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, Rabu 30 Desember 2009