Minggu, 28 Februari 2010

Mahmud Ghaznawie, Jurus Kebal Virus

"Setiap hari, kok, harus berhadapan dengan virus. Capek deh.....," ucap Dr Mahmud Ghaznawie Sp PA Phd. Wajar jika Pembantu Dekan IV Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar ini mengeluh. Kepakarannya sebagai patolog tidak mempan menghadapi ratusan jenis virus yang dikeluhkannya, virus komputer.


MAHMUD GHASNAWIE


Lahir : Yogyakarta, 29 Oktober 1951

Istri : Upiek Supiyatie

Anak : 1. Indah Suci Ramadhani

2. Aussie Fitriani Ghaznawie

Profesi : Dokter

Pekerjaan : Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar.

Pendidikan : - 1980, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.

- 1984, Spesialis Patologi FK Unhas

- 1985, Program Phd The Univercity of Western, Australia.

- Distro Linux yang dipakai: Ubuntu 8.40

- Distro Linux yang dirancang: MedicaLinux


Oleh ARYO WISANGGENI GENTHONG


Setiap hari, puluhan komputer yang dipakai dalam perkuliahan di Fakultas Kedokteran (FK) terinfeksi virus. Setiap hari ada mahasiswa memasang flashdisk, mencari dan menyimpan data dari komputer itu. Setiap kali pula komputer itu terkena virus, lagi, lagi dan lagi. Padahal, kami sudah membeli antivirus seharga Rp. 40 juta untuk 100 komputer kami. Setiap hari, waktu staf pemeliharaan komputer kami tersita untuk mengurus komputer yang terkena virus. Cara kerja yang tak masuk akal," kata Mahmud.

Pernyataan "tak masuk akal" sang patolog ini didasari banyak pengalamannya memakai komputer. Ayah dua anak ini sudah bergelut dengan komputer sejak FK Universitas Hasanuddin (Unhas) menerima bantuan dua unit komputer Radio Shack TRS-DOS dari Belanda pada tahun 1984. Pada tahun 1985, ia melanjutkan studinya di The University of Western, Australia.

"Disana, saya mengenal komputer Apple yang memakai sistem operasi Apple II. Di sana pula, saya membeli komputer pribadi pertama saya, Commodor Amiga, yang memakai sistem operasi Amiga. Pada 1987, Amiga adalah komputer tercanggih. Ia sudah memakai tampilan grafis sehingga user (pemakai)tidak harus mengetik bahasa program komputer untuk mengoperasikan Amiga," ujarnya.

Namun, aplikasi program yang tersedia untuk Amiga sangat terbatas. "tahun 1989, saya mengganti Amiga saya dengan PC (Personal Computer). Waktu itu masih ada banyak sistem operasi PC didominasi satu sistem operasi komputer berbayar saja. Seolah tidak ada sistem operasional lainnya," tuturnya.

Pada 1996 Mahmud kembali ke Makassar dengan membawa PC berprosesor terbaru waktu itu, Pentium I 100, dengan sistem operasi berbayar terpopuler kala itu. "Meski di Indonesia, saya terus mengikuti perkembangan teknologi PC. Setiap ada PC berteknologi baru, saya pasti beli. Ketika pembuat sistem operasi komputer berbayar meluncurkan produk barunya pada 1998, sayapun membelinya," katanya.

Saat bertugas di Laboratorium Patologi Unhas pada 2000, Mahmud merintis pembuatan Local Area Network (LAN) di laboratorium itu. Tahun 2002, ia membangun LAN pimpinan Dekanat FK Unhas. Pelan tetapi pasti, jaringan LAN FK Unhas berkembang menjadi Wide Area Network (WAN), jaringan komputer antar fakultas di Unhas. Dalam WAN itu terdapat ratusan PC di FK yang dijadikan komputer publik untuk diakses para mahasiswa. Lantaran "dicoloki" flashdisk tiap hari WAN itu terus disusupi berbagai virus komputer.
Ketika WAN terus diserang virus, Mahmud menyadari virus komputer ternyata hanya bekerja pada sistem operasi berbayar yang dipakai workstation WAN itu. Padahal, kenyataannya, ada sistem operasi yang gratis tetapi kebal virus, yakni Linux. Dia pun akhirnya menjajal sistem operasi Linux, memakai distro Ubuntu. "Sejak itu, saya bebas dari virus komputer," ujarnya.
Migrasi sistem
Menyadari kelebihan dan kemudahan penggunaan Linux, ia secara bertahap memulai migrasi sistem operasi komputer di FK yang berbayar ke sistem operasi Linux yang gratis. "Masalahnya, para pengguna komputer selalu enggan memakai Linux, mereka dibayangi persepsi bahwa Linux itu rumit dan sulit," katanya.
Kegetolan Mahmud mengampanyekan Linux menarik minat beberapa mahasiswa FK, tetapi mereka jarang bertahan lama memakai Linux. Kebanyakan kembali memakai sistem operasi komputer berbayar.
"Saya akhirnya menyadari bahwa tanpa aplikasi yang berguna, orang enggan memakai Linux. Saya memiliki banyak e book kedokteran dan video praktik kedokteran," ujar Mahmud. Dia akhirnya merancang distro Linux yang berisikan e book dan video koleksinya.
Rancangan distro Linux baru itu dieksekusi Fadly kasim, pemrogram Linux di Makassar. Fadly memodifikasi distro Linux Ubuntu dan Linux Mint yang dirombaknya hingga dua kali. Pada pertengahan 2009, lahirlah distro Linux baru, MedicaLinux.
Mahmud terus menawarkan penggunaan MedicaLinux. "Semua file e-book dan video tidak bisa disalin, hanya bisa dilihat dari sistem operasi MedicaLinux. Ini memang 'memaksa' orang memakai Linux. Sosialisasi Linux selalu gagal. Karena itu saya memilih 'linuxisasi' untuk memperkenalkan Linux," kata Mahmud tertawa.
Kini distro MedicaLinux sudah dipakai di FK Unhas; FK Universitas Muslim Indonesia, Makassar; FK Universitas Al Khaerat, Palu; FK Universitas Nusa Cendana, Kupang; dan program Studi Kedokteran Universitas Haluoleo, Kendari.
"MedicaLinux adalah live CD, bisa digunakan tanpa instalasi ke komputer. CD itu akan berfungsi menjadi sistem operasi dan pengguna bisa mengakses e-book dan video kedokteran didalamnya," kata Mahmud.
Seperti distro Linux lainnya, MedicaLinux itu dibagikan secara gratis. Calon pengguna cukup mengganti harga keping DVD dan cangkangnya. Selain koleksi e-book dan video kedokteran, sistem operasi ini dilengkapi aplikasi pengolahan kata, foto, koneksi internet, layaknya distro Linux lainnya, dan semuanya merupakan piranti lunak tak berbayar.
Hingga akhir 2009, separuh PC FK Unhas masih memakai sistem opersi berbayar, dan masih kerap disusupi virus. Mahmud akhirnya mengambil langkah tegas, mengganti semua sistem operasi komputer PC FK Unhas dengan Linux. "Tidak ada masalah. Linux tidak semenakutkan yang dibayangkan orang. Biaya yang dihemat tentu banyak," katanya.
Mahmud tidak berpuas diri dengan MedicaLinux. Kini dia dan Linux User Group Ujungpandang (LUGU) tengah membangun aplikasi opensource untuk mendukung paperless hospital medical record. Rancang bangun isi aplikasi itu dibuat Mahmud dan LUGU lah yang mengeksekusi rancangan itu.
"Saya membayangkan jika pengisian formulir pajak atau dokumen pemerintah lainnya dibuat dengan Linux, pastilah banyak pihak akan memakainya. Kita bukan butuh sosialisasi Linux, tetapi linuxisasi," kata dia.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 1 MARET 2010

Rabu, 17 Februari 2010

Ekonomi Lingkungan Mohamad Subhan

Tidak mudah menciptakan lapangan pekerjaan yang bisa dijangkau oleh semua lapisan mayarakat. Apalagi jika pekerjaan itu juga mampu menyelamatkan bumi dari kehancuran akibat pencemaran lingkungan. Namun Mohamad Subhan telah membuktikannya.


MOHAMAD SUBHAN


Lahir : 26 Desember 1967

Istri : Sri Hartati (34)

Pendidikan : - SDN Bandar Kidul Kota Kediri (1980)

- SMP Tsanawiyah II Kota Kediri (1983)

- SMA Al Anwar Kota Kediri (1986)

- IKIP Malang Fakultas Kesehatan (1991)

Anak : - Nurlaila (9)

- Ahmad Fajri Muharom (4)

Jabatan : Asosiasi Perkumpulan Poliester Elastis Temperatur Indonesia,

Koordinator Jawa-Bali

Pekerjaan : Eksportir poliester elastis sejak 2005


Oleh RUNIK SRI ASTUTI


Ibarat pepatah, sekali dayung dua pulau terlampaui. Dibantu istrinya, Sri Hartati, lelaki kelahiran Kota Kediri, Jawa Timur ini merangkai penggalan-penggalan kehidupan dan mengonstruksikannya menjadi pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan.
Memang tidaklah muluk-muluk seperti program-program yang digagas pemerintah. Namun apa yang dilakukan Subhan lebih riil, lebih konkret. Programnya mengena pada sasaran, yaitu masyarakat kalangan bawah, kaum yang termarjinalkan secara ekonomi.
Idenya sederhana. Subhan dan istrinya merangkul masyarakat di sekitarnya. Rangkulan itu sangat luas sehingga bisa mendekap semua kalangan, mulai ibu-ibu rumah tangga yang hanya mengurus dapur, anak-anak putus sekolah yang terganjal biaya, hingga warga usia lanjut yang masih butuh makan, tetapi tidak lagi memiliki nilai tawar untuk bekerja di sektor formal.
Setelah itu, baru dia berfikir mengenai jenis pekerjaan. Dari perjalanan yang panjang Subhan akhirnya mantap terjun ke dalam usaha pengolahan plastik bekas pakai menjadi biji poliester sebagai bahan baku setengah jadi pada industri plastik.
Sebelum jatuh cinta pada pengolahan bijih plastik, ia pernah tergoda pada usaha pembibitan pohon jati emas (Tectona grandis), sejenis tanaman jati yang dipanen pada umur 5 tahun. Namun karena tidak memberikan manfaat banyak terhadap lingkungan sekitarnya, usaha itu dia tinggalkan.
Subhan mengajak tetangganya mengumpulkan barang bekas berbahan plastik, seperti botol air minum kemasan, botol minuman bersoda. Barang itu tidaklah sulit didapat.
"Daripada dibuang sembarangan, mencemari bumi. Plastik termasuk bahan tidak ramah lingkungan karena tidak bisa diurai oleh mikroba di dalam tanah," katanya.
Sebagai penghargaan atas jerih payah pengumpul, ia memberikan kompensasi Rp.1.100 sampai Rp.1.500 per kilogram sesuai kualitas barang. Kualiitas ini ditentukan, antara lain, oleh tingkat pemakaian dan tingkat kerusakan.
"Seperti diketahui, masih sedikit masyarakat kita yang peduli dan disiplin. Sebagai contoh, botol kemasan air minum yang aturannya sekali pakai, dipakai berkali-kali. Padahal, itu kan mengandung zat yang berbahaya buat kesehatan," ujarnya.
Sejak saat itu, tetangga Subhan yang sebelumnya menganggur, jadi punya pekerjaan. Para lansia yang sebelumnya bergantung pada belas kasihan orang lain, misalnya, kembali menyingsingkan lengan baju.


Lebarkan sayap


Sejak usahanya berkembang pesat, Subhan tidak lagi membeli langsung dari masyarakat. Ia melebarkan sayap dengan membeli ke pengepul. Bahkan dengan kebutuhan bahan baku yang mencapai 300 ton perminggu, harus dipasok dari luar Kediri, seperti Nganjuk, Tulungagung dan Jombang, bahkan dari Bali.
"Bahan dari Bali yang paling bagus kualitasnya karena rata-rata satu kali pakai langsung dibuang. Pasokannya juga banyak karena suburnya industri pariwisata disana yang meningkatkan kegiatan konsumsi," katanya.
Warga di sekitar rumahnya yang dulu mengumpulkan plastik bekas, kini "naik pangkat" menangani produksi. Mereka mengisi pos-pos penting seperti memilah bahan berdasarkan jenis plastik dan kualitasnya, membersihkan, memasukan kedalam mesin, menjemur, dan mengolahnya menjadi lagi menjadi bijih poliester.
Tidak kurang dari 100 orang pekerja yang menangani produksi dengan kapasitas mesin yang mencapai 1 ton perhari. Pekerja yang terlibat usaha ini, tetapi tidak berada dalam rantai langsung, jumlahnya lebih dari ribuan orang.
Demi mendapatkan hasil olahan yang maksimal, ia berguru ke sebuah pabrik pengolahan bijih plastik di Jakarta. Subhan menerjemahkan ilmunya menjadi teknologi terapan yang ia pakai untuk menghasilkan poliester layak ekspor.
"Pasar ekspor lebih terbuka, bahkan, pada era perdagangan bebas mendatang. Peluangnya lebih besar lagi, bergantung pada daya saing kita. Kelebihan lain, pemabayaran dari pembeli lebih lancar dan tidak perlu menunggu sampai produk jadinya laku," ujar pria yang memasuki pasar ekspor sejak tahun 2005.
Perjalanan usaha Subhan bukannya tidak pernah diguncang badai. Saat krisis moneter mengacaukan ekonomi dunia, usaha pria jebolan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakultas Kesehatan Masyarakat ini juga terganggu.
"hampir empat bulan saya tidak berproduksi karena pasar ekspor tidak stabil. Untunglah semua itu segera berlalu," ujar lelaki yang sukses mengantarkan istrinya sebagai peraih penghargaan Pemuda Pelopor Jawa Timur 2009 di bidang Kewirausahaan ini.
Demi mimpi
Pria yang besar di lingkungan keluarga sederhana ini bersusah payah menyelesaikan kuliah demi meringankan beban orang tuanya.
Selepas kuliah, iapun berjuang mendapatkan pekerjaan sesuai disiplin ilmu yang ditempuhnya. Berkat kegigihannya juga doa keluarga, Subhan diterima bekerja di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri dan Rumah Sakit Umum daerah Gambiran.
Dia menjadi pegawai negeri sipil. Lebih dari itu, Subhan terbilang gemilang meniti karir dengan jabatan sebagai Kepala Personalia di Rumah Sakit Islam Kediri.
Namun hatinya gundah menyaksikan kesenjangan ekonomi di sekitarnya. Berkali-kali dia mengulurkan tangan, tetapi ternyata tak banyak membantu.
"kalau memberikan bantuan cuma satu atau dua kali, padahal kebutuhan mereka terus-menerus setiap hari. Jadi, saya berpikir untuk memberikan pekerjaan saja kepada mereka," ungkapnya.
Kendati tak punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup, Subhan tidak pernah patah arang. Tidak mengherankan jika usaha yang dirintis sejak tahun 2003 itu kini menuai sukses.
namun, ia merasa masih banyak kekurangan, terutama di sektor permodalan yang mengandalkan kantong pribadi. Subhan tak habis pikir, pemerintah memberinya penghargaan atas prestasinya membuka lapangan kerja baru, tetapi mereka lepas tangan tanpa mau tahu kesulitan yang dihadapi.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 18 FEBRUARI 2010

Rabu, 10 Februari 2010

Bambang dan Perintisan SLB

Bambang Suminto terlanjur jatuh hati kepada anak berkebutuhan khusus. Mulai dari lemparan sepatu yang hampir mengenai kepala hingga pelukan sayang dari anak-anak itu biasa diterimanya. Bahkan, ketika sebagian orang "menyerah", Bambang tetap menaruh senyum di wajahnya. Rekan-rekannya sesama guru sekolah luar biasa sampai menjuluki dia sebagai "sang spesialis SLB".
BAMBANG SUMINTO
Lahir : Gunung Kidul, DI Yogyakarta, 10 November 1957
Istri : Sumiyati
Anak : 1. Ika Puspilasari ( 23)
2. Agus Dwi Nugroho (19)
3. Nurlia Tri Permatasari (10)
Pendidikan : - SD Wiloso, Gunung Kidul
- SMP Panggang, Gunung Kidul
-SMA Marsudi Luhur, Yogyakarta
- D2 Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa, Surabaya
- S1 IKIP Pendidikan Luar Biasa, Bandung
Pekerjaan dan Pengalaman Organisasi :
- Kepala Sekolah SLB Bakti Putra Karangmojo, 1982-2009
- Ketua Kelompok Kerja Kepala Sekolah SLB Gunung Kidul 2000-2009
- Dewan Pembina SLB Suharjo Putra, 2005-kini
- Dewan Pembina SLB Purworaharjo, 2006-kini
- Seksi Pendidikan SLB Krida Mulya, 2006-kini
- Kepala Sekolah SLB Suharjo Putra, 2009-kini
Oleh MAWAR KUSUMA
Bambang memang dikenal sebagai pendamping perintisan SLB terutama oleh para perintis SLB di daerah Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Selain merintis SLB Bakti Putra di Kecamatan Karangmojo, dia juga membidani lahirnya tiga sekolah luar biasa yang lain : SLB Suharjo Putra di Kecamatan Patuk, SLB Purworaharjo di Kecamatan Purwosari, dan SLB Krida Mulya di Kecamatan Rongkop.
Ia berperan besar dalam pertumbuhan, hingga pengembangan 4 dari 6 SLB rintisan yang dikelola kelompok masyarakat di Gunung Kidul. Perintis SLB Suharjo Putra, Jotham Sungkowo Hardjo (61), berceerita, langkahnya untuk mendirikan SLB menjadi makin mantap setelah mendapat bantuan ilmu sekaligus tenaga dari Bambang.
Ketika Jotham mengatakan Bambang adalah satu-satunya rujukan untuk memulai perintisan SLB di Gunung Kidul, bambang berkilah bahwa banyak orang yang seperti dia. Tetapi jika dilihat dari sejarah perintisan SLB di Gunung Kidul, Bambang bisa dikatakan selalu berkutat dilapangan dan berusaha mengatasi beragam persoalan yang muncul pada perintisan awal SLB.
Ketika di wilayah Kabupaten Gunung Kidul hanya terdapat satu SLB - kini menjadi SLB Negeri, Bambang mulai membangun SLB rintisan tahun 1981. Kala itu, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus msih merupakan hal yang "aneh" di kalangan masyarakat setempat. jangankan SLB, sekolah formal biasa pun masih langka.
"Saya bukan ahli (mendirikan SLB), melainkan orang yang kebetulan lebih dulu mengalami pahitnya perintisan SLB sehingga bisa membagikan ilmu perintisan kepada mereka yang tertarik merintis SLB", ujar Bambang.
Masyarakat antusias
Pertautannya dengan anak berkebutuhan khusus dimulai ketika Bambang diajak ayahnya, Kepala Desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, meninjau lokasi desa. kala itu Bambang melihat sebagian orangtua yang mengajak serta anak mereka yang penyandang tunanetra untuk bertani meskipun untuk mencapai sawah mereka harus turun naik jurang.
Maka, selulus dari sekolah guru pendidikan luar biasa di Surabaya, dia memilih pulang kampung untuk merintis SLB di Gunung Kidul. bambang pernah menggunakan rumahnya di Wonosari untuk menampung anak berkebutuhan khusus sebelum pindah ke Karangmojo.
Setelah berdiskusi denganaparat pemerintahan desa dan mendapat dukungan dari beberapa orangtua, dia mulai membuka kelas di Desa Ngawis, Karangmojo. Ia juga harus aktif mencari anak berkebutuhan khusus dari rumah ke rumah agar mereka bersekolah. Pada 1982, Bambang lalu didaulat menjadi koordinator perintisan SLB Bakti Putra di Kecamatan Karangmojo.
Saat itu masyarakat antusias turut berpartisipasi merintis pendidikan luar biasa. Rintisan SLB ini juga mendapat dukungan dari Kepala desa dan tokoh masyarakat. Jimpitan beras dari warga bahkan dialihkan untuk pendanaan opersioanal awal bagi SLB Bakti Putra. Setelah 19 tahun menempati balai desa, SLB Bakti Putra bisa memiliki bangunan kelas yang dilengkapi asrama.
Ketika SLB bakti Putra mulai dinaungi yayasan sejak 1983, Bambang menjadi kepala sekolah Yayasan Bakti Putra. Dia juga diangkat menjadi Kepala Sekolah negeri oleh pemerintah pada tahun 1986. Dari awalnya hanya 12 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah, kini SLB Bakti Putra menampung 57 siswa.
Namun kesadaran orang tua di pedesaan untuk menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke SLB relatif masih rendah membuat Bambang tetap harus mendatangi rumah ke rumah. Ia juga berupaya menemukan anak-anak berkebutuhan khusus lewat sosialisasi ke dusun-dusun. Sosialisasi makin dia gencarkan, terutama menjelang tahun ajaran baru.
SLB lagi
Tahun 2005, Bambang mendampingi Jotham untuk perintisan SLB Suharjo Putra. Ia mengawal bagian terberat dari perintisan SLB, yakni meyakinkan warga dan mendapatkan izin dari pemerintah desa hingga dinas pendidikan.
Tak berhenti pada pendampingan perintisan SLB, bambang ikut membidani lahirnya SLB Purworaharjo, di Purwosari tahun 2006. Hal ini dilanjutkan dengan lahirnya SLB Krida Mulya di Rongkop.
"Saya sempat takut merintis SLB lagi karena tak mudah. Tetapi, saya tak bisa menolak panggilan itu karena bagi saya membantu anak-anak berkebutuhan khusus itu kental unsur kemanusiaannya," katanya.
Selain mendampingi perintisan awal, Bambang turut memantau perkembangan sekaligus mengusahakan kemajuan setiap SLB. Hingga kini, dia masih memainkan peran sebagai Dewan Pembina di SLB Purworaharjo dan seksi pendidikan di SLB Krida Mulya.
Ia bercerita, kendala klasik yang dihadapi SLB dipedesaan adalah dana dan keterbatasan guru. Mayoritas guru SLB berstatus honorer Bambang pun harus berjuang keras mencari peluang pendanaan tanpa "menjual" kondisi anak-anak berkebutuhan khusus.
Karena itu, sering dia harus mengeluarkan uang dari kocek pribadi demi kelanjutan pendidikan para murid. Apalagi pendidikan di semua SLB yang dibidani Bambang gratis. untuk menutupi biaya operasional, ia mendapat bantuan dari para donatur yang jumlahnya tidak tetap.
"Saya ingin semua anak berkebutuhan khusus di Gunung Kidul bisa sekolah," kata Bambang menunjukan tekadnya.
Jumlah SLB di gunung Kidul sekarang ada delapan, dua diantaranya berstatus negeri, ini masih belum sepadan dibandingkan dengan banyak nya anak berkebutuhan khusus, yang berdasarkan data 2008 berjumlah 900 orang. "Kami berharap anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan kedudukan yang sama dengan anak normal, biar mereka tak rendah diri," kata Bambang sambil menambahkan, masih ada anak berkebutuhan khusus yang belum terdata.
Dia yakin, sama seperti anak lain, anak berkebutuhan khusus pun punya potensi yang berbeda-beda. Bambang mencontohkan, salah satu anak didiknya yang tunanetra kini menjadi guru SLB, siswanya yang lain berhasil menjadi juara lomba matematika tingkat nasional.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 11 FEBRUARI 2010

Selasa, 09 Februari 2010

Mardhan-Hartati, merintis SLB di Kendari

Keprihatinan pada nasib anak-anak berkebutuhan khusus yang tak mendapat layanan pendidikan, mendorong Mardhan mendalami pendidikan luar biasa. Dengan menyisihkan gaji dirinya dan istri sebagai pendidik, pasangan Mardhan -Hartati menjalankan satu-satunya sekolah luar biasa atau SLB di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, sejak 1990
BIODATA
Nama : H Mardhan
Lahir : Kendari, 22 Desember 1948
Pendidikan : - S1 PLB Universitas Sebelas Maret, Solo
- S2 Manajemen Pendidikan (M.Pd), Universitas Negeri Makassar
Pekerjaan : - Dosen FKIP Universitas Haluoleo
- Ketua Yayasan Mandara
Penghargaan : - Dosen Teladan Tingkat Nasional, 1989
- Satya Lencana Karya Satya untuk masa kerja 30 tahun dari Presiden RI, 2001
Organisasi : - Wakil Ketua I Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia Provinsi Sultra
- Wakil Ketua I PGRI Sultra
- Anggota Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia
Istri : Hartati
Lahir : Klaten, 1 Juli 1950
Pendidikan : - D2 PLB Universitas Sebelas Maret, Surakarta
- S1 Bahasa dan Sastra Universitas Haluoleo
Pekerjaan : - Pengawas PLB Kotamadya Kendari
- Bendahara Yayasan Mandara
Penghargaan : - Pengawas berprrestasi Tingkat Nasional, 2007
Anak : - Sunanto Wibowo, S.Pd, M.Pd (35)
- Nur Purbo Nugroho, SE (30)
- Endah Purbojati, S.Pi, M.Si (27)
- Singgih Haryadi Kusnadi (21)
Cucu : 3 orang
Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU
Pasangan ini memperjuangkan nasib anak-anak berkebutuhan khusus di Kendari agar mendapatkan layanan pendidikan yang baik. Maka, puluhan anak yang semula disembunyikan keluarga perlahan dikirim belajar ke SLB Mandara, yang awalnya berada dalam Kampus Universitas Haluoleo, Kendari.
Upaya pasangan yang bertemu saat Mardhan kuliah di Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, ini seakan sempurna dengan didirikannya SLB Mandara kedua diatas tanah seluas 5.000 meter persegi. Bangunan sekolah yang didanai pemerintah itu berdiri di atas tanah yang dicicil dari gaji mereka selama 13 tahun.
"Yang memberi nama Mandara itu teman saya. Mandara dalam bahasa setempat artinya trampil. SLB ini bertujuan memberi ketrampilan buat anak-anak yang belajar disini, sehingga mereka tak lagi jadi beban siapapun," ujar Mardhan, Dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.
Mardhan dan Hartati yang menikah tahun 1973 tak hanya mendirikan layanan SLB Mandara. Mereka juga membiaya pendidikan dan hidup beberapa anak dari keluarga tak mampu. Rumah mereka terbuka bagi anak-anak dari keluarga miskin yang ingin mandiri.
Mardhan dan istrinya bangga saat Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengunjungi SLB Mandara akhir April 2008. Perjuangan mereka untuk memberikan layanan pendidikan terbaik buat anak-anak di daerah ini dihargai pemerintah dengan pemberian biaya membangun gedung sekolah dan berbagai fasilitas keterampilan hingga bantuan operasional sekolah. Maka para siswa bisa belajar secara gratis sejak 2004.
"Panggilan hidup saya ada disini, saya yakin anak-anak cacat itu punya potensi yang harus dikembangkan. Saya bilang kepada yang tunanetra, buta itu mata mereka, tetapi hati mereka tidak buta. Saya yakin anak-anak ini pasti bisa mandiri jika diberi pendidikan yang baik seperti anak-anak lain," katanya.
Awalnya, Mardhan yang guru SD di Kendari itu tak berfikir untuk berhubungan dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Saat pemerintah mewajibkan guru SD menjalani pendidikan Diploma 2, Mardhan tertarik dengan tawaran PLB di UNS Solo. "Syaratnya mudah, pokoknya sudah kerja jadi guru. Saya pilih PLB karena jarang yang mau ambil kuliah ini," ujarnya.
Diuji
Mendalami pendidikan guru untuk anak-anak luar biasa menjadi pengalaman yang mengubah orientasi hidup Mardhan selanjutnya. Mardhan, yang diminta menjadi dosen di Universitas Haluoleo, dan Hartati jadi guru SD di lingkungan kampus suaminya berusaha keras menyisihkan gaji mereka untuk mewujudkan mimpi mendirikan SLB di Kendari.
Komitmen Mardhan kepada anak-anak yang tersisihkan dari layanan pendidikan pemerintah itu tak semulus yang dia bayangkan. Ketika hendak mengurus perizinan mendirikan yayasan Mandara tahun 1990, niatnya itu sempat teruji . Untuk mendirikan yayasan harus ada uang di bank minimal Rp.5 juta sebagai modal dasar, sedangkan tabungannya hanya Rp. 1 juta. Selain itu, harus ada jaminan guru yang mengajar bertahan 10 tahun di sekolah ini.
Saat mereka mencari dukungan dari para kenalan, lagi-lagi niat ini sempat diragukan. Bahkan, Mardhan disarankan mendirikan sekolah umum yang keuntungan finansialnya jelas.
"Tapi, Saya tetap teguh karena yakin ini panggilan hati nurani. Syukur, niat saya ini dipahami dan diberi kemudahan," ujarnya.
Ia lalu mencari anak-anak cacat untuk disekolahkan secara gratis. namun tawaran itu belum tentu disambut baik oleh keluarga dengan anak cacat. Pada tiga tahun pertama hanya tiga anak penyandang tunanetra yang mau bersekolah dan tinggal bersamanya. Semua anggota keluarga Mardhan dilibatkan untuk mengajari para penyandang tunanetra ini.
Masyarakat sadar
"Tiga siswa pertamanya itu kemudian bisa mandiri. Labai (30), yang hanya menyelesaikan SDLB Mandara, mampu mencari uang dari keahlian memijat yang dipelajarinya saat dibiayai Mardhan ikut kursus pijat di Yayasan Wyata Guna Bandung. Sukirman (27), Penyandang Tunanetra, bisa menyelesaikan pendidikan di Madrasah Aliyah di Manado. Ia pun mandiri dari hasil memijat. Adapun Tulus Hidayat (25), penyandang tunanetra, membentuk perkumpulan musik karena bakatnya menyanyi dan bermain gitar.
Adapula anak penyandang cacat tunanetra yang bisa menyelesaikan kuliah, lalu menjadi guru bimbingan dan konseling di SMP Negeri I Kendari sekaligus guru Pendidikan Kewarganegaraan di SD Universitas Haluoleo. Kemandirian anak berkebutuhan khusus yang menimba ilmu di SLB Mandara membuat mata masyarakat terbuka.
Pemerintah daerah pun menyadari kenyataan ini dan memberi kesempatan anak cacat dari SLB Mandara mewakili daerah tampil di kejuaraan daerah dan nasional bagi anak berkebutuhan khusus. Para siswa SLB Mandara mampu membuktikan bahwa mereka punya potensi. Ada yang menang dalam lomba mengarang, menggambar, lari dan merawat diri pada tingkat nasional.
"Saya ikutkan anak-anak jika ada lomba, untuk menambah rasa percaya diri dan membuka wawasan mereka. Ketika mereka menyadari ada penyandang cacat yang bisa jadi profesor, anak-anak jadi berani bercita-cita setinggi mungkin.
Awalnya, pembelajaran siswa SLB Mandara berlangsung di kelas kosong di SD Universitas Haluoleo. Seorang guru lulusan PLB yang tinggal di rumah Mardhan mengajar anak-anak ini. Hartati yang menjadi kepala sekolah sesekali ikut membantu.
Mulai tahun ketiga SLB Mandara berjalan, keluarga yang punya anak cacat terpancing mengirim anak mereka ke sekolah. Beruntung saat murid bertambah, guru-guru SD mau membantu, dari mengajar hingga membantu anak penyandang tunagrahita yang tak bisa mengurus diri.
"Anak-anak ini belum banyak yang menyentuh. Saya sering mengistilahkan, jangankan dipandang dua mata, sebelah mata pun enggak dipandang., tapi kami jalan terus, sampai ada dukungan pemerintah. Nanti jika saya pensiun, saya dan bapak bisa lebih konsentrasi mengurusi SLB Mandara yang sudah punya siswa SMPLB," kata Hartati.
Kedua SLB Mandara di Kendari semakin hidup dengan semangat anak-anak yang bertekad belajar mandiri serta kesadaran orang tua yang tak lagi menganggap anak cacat sebagai "aib" atau tak berguna. Para guru tak keberatan menjadi pengojek, menjemput dan mengantar anak agar bisa belajar setiap hari di sekolah.
Mardhan dan Hartati tersenyum melihat anak-anak ini optimistis menatap masa depan dengan bekal ilmu dan keterampilan yang mereka perjuangkan.
dikutip dari KOMPAS, SENIN 2 JUNI 2008

Minggu, 07 Februari 2010

Ujang Sutisna, Melawan Kemiskinan

Ujangsutisna tahu betul rasanya menjadi orang miskin. Sewaktu kecil, warga Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu terbiasa makan dengan lauk hanya terasi goreng. Bahkan, tulang ikan pun dibakar dan ditumbuk untuk dijadikan teman nasi.


UJANG SUTISNA

Lahir : Bandung, 19 Agustus 1974
Istri : Teti Sugiarti (34)
Anak : - Wildan Mulkan Hakim (12)
- Ghulam Kamal Halim (10)
- Najah Najihatu Zahra (8)
- Salama Hanifatu Zahra (5)
Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri Santosa 1974-1980
- Sekolah Menengah Pertama Negeri Kertasari 1980-1983
- Sekolah Tehnik Menengah Muslimin Bandung 1984-1987
- Akademi Teknologi Pekerjaan Umum (ATPU) 1988-1991 (tidak selesai)


Oleh DWI BAYU RADIUS

Saat duduk di bangku sekolah dasar, Ujang harus berjalan kaki hingga enam jam pergi pulang setiap hari untuk belajar. "Sampai kelas tiga sekolah dasar, saya belum kenal yang namanya uang. Waktu itu, uang sebesar Rp.100 pun rasanya sudah paling besar," ujarnya.

Ayahnya yang hanya buruh perkebunan membuat Ujang sulit beranjak dari cengkeraman kemiskinan. "Saya pun bertekad, kemiskinan khususnya di pedesaan adalah musuh yang harus dilawan. Soalnya saya sudah merasakan sakitnya menjadi orang miskin," katanya.

Padahal, Ujang menganggap pedesaan sebenarnya memiliki potensi besar untuk menggerakkan perekonomian nasional.

"Indonesia negara pertanian yang sebagian besar terkonsentrasi di pedesaan. Kalau desa bisa diberdayakan, kemiskinan seharusnya tak akan separah saat ini," katanya.

Berpijak dari peluang tersebut, Ujang pun terpikir untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di wilayahnya. Ia memulai program penggemukan sapi untuk qurban dengan jumlah awal sebanyak 20 ekor pada tahun 2007. Sapi-sapi itu didistribusikan kepada 10 peternak.

Setiap peternak mendapat dua sapi untuk digemukkan. Modal untuk membeli sapi dikumpulkan dari tabungan pribadi para anggota komunitas yang disebut Forum Agro. Awalnya, mereka kerap berdiskusi, lalu ditawari menjadi donatur.

Ujang pun berupaya meyakinkan anggota Forum Agro yang berjumlah sekitar 100 orang. Mereka akhirnya tertarik untuk terlibat dalam program tersebut. "Anggota Forum Agro memandang program ini cukup bagus. Bahkan ada pemimpin pondok pesantren (ponpes) dari Jawa Timur yang terlibat," katanya.

Program yang berjalan baik membuat jumlah sapi bertambah menjadi 80 ekor pada tahun 2008 dan 120 ekor pada tahun 2009. Jumlah sapi pada tahun 2008 itu termasuk ternak dengan program pengembangan baru, yakni non qurban atau penggemukkan biasa sebanyak 10 ekor.
Saat ini, jumlah sapi sudah mencapai 270 ekor yang terdiri dari 40 ekor untuk program qurban dan 230 ekor untuk penggemukkan biasa. Harga bibit sapi yang siap digemukkan sekitar Rp.5,2 juta per ekor dengan berat 150-170 kilogram. Setelah digemukkan selama sembilan bulan, harga sapi menjadi sekitar Rp.10 juta per ekor dengan berat empat kwintal.
Sistem bagi hasil
Program itu melibatkan masyarakat sekitar dengan menerapkan sistem bagi hasil.
Menurut Ujang, setiap warga yang menjadi peternak mitra Forum Agro mendapatkan penghasilan sekitar Rp.4 juta untuk dua sapi yang digemukkan. Mereka akan mendapatkan hasil lebih besar jika menggemukkan sapi untuk qurban dengan penghasilan sebesar Rp.5,6 juta.
"Kalau mau, peternak bisa membeli bibit sapi dari uang itu. Bedanya, sapi yang digemukkan milik warga sendiri. Jadi sifatnya berkelanjutan," ujar Ujang.
Program yang terus maju membuat Forum Agro sudah mampu menyediakan lemari pendingin untuk menyimpan daging. Tak hanya sapi, menurut Ujang, kemitraan Forum Agro juga merambah peternakan bebek, domba, serta penanaman pohon sengon dan albasia.
Peternak domba, mitra Forum Agro memperoleh penghasilan sekitar Rp.600.000,- untuk dua domba yang digemukkan sekitar sembilan bulan. Saat ini, terdapat sekitar 10 domba yang digemukkan. Berat domba sekitar 12 kilogram dan menjadi 40 kilogram jika sudah siap dijual seharga Rp.1,5 juta.
Sementara dalam program penanaman sengon, warga mulai mendapatkan penghasilan setelah 2,5 tahun. Saat itu, dilakukan penjarangan sengon dengan menebang sebagian pohon. Hasil penebangan dijual dan jika dikehendaki, kayu dapat dibelikan bibit untuk ditanam kembali sehingga menambah populasi pohon. Sengon yang tidak ditebang karena penjarangan dapat dipanen kembali setelah enam tahun.
"Harga kayu sengon yang dapat digunakan untuk kayu lapis dan pulp sebesar Rp.600.000,- per meter kubik. Sengon dipilih karena pemeliharaannya tidak susah," kata Ujang.
Tiga desa
Program Forum Agro di Kabupaten Bandung sudah menjangkau Kecamatan Ibun, Rancaekek, Cicalengka, Pacet, Pangalengan, Paseh, Cikancung, Banjaran, Arjasari, Cilengkrang, Cimaung dan Pasirrambu. Disetiap kecamatan, rata-rata ada tiga desa yang melakukan program itu.
"Jangkauannya bisa bervarisai, tapi kalau di Kecamatan Pacet, hampir semua desanya menjalankan program penggemukkan sapi," kata Ujang. Pada tahun 2010, ia berencana merambah tiga kecamatan lagi di kabupaten Bandung, yakni Kutawaringin, Cileunyi dan Baleendah.
"Di Kabupaten Bandung ada 31 kecamatan, jadi saya sangat optimis masih banyak peluang untuk mengembangkan program," ujarnya.
Program yang turut memberdayakan masyarakat itu dapat diterapkan tanpa bantuan pemerintah. Menurut Ujang, program justru dilakukan secara swadaya mengingat sulitnya mendapatkan dukungan dari pihak birokrasi. Pemohon harus menghadapi prosedur cukup berliku dan proses yang melibatkan banyak pihak. Belum lagi, pelaksana program harus membuat laporan pertanggung jawaban.
"Program pengentasan rakyat dari kemiskinan tak bisa seperti itu, bahkan harus dijauhkan dari prosedur melelahkan. Penerapan program juga harus melibatkan masyarakat," katanya.
Pengalaman Ujang yang pernah beberapa kali menetap di pondok pesantren turut membentuk pemikirannya untuk menerapkan aktivitas demi kemaslahatan umat. Selama dua tahun, ia sempat tinggal di Ponpes Hidayatullah di Balikpapan, Kalimantan Timur dan di Surabaya, Jawa Timur.
Sehari-hari, aktivitas Ujang diisi dengan mendengarkan ceramah. Ia kemudian kembali ke Jawa Barat pada tahun 1993 untuk menjadi pengurus Ponpes Hidayatullah di Bandung hingga tahun 1998. Ujang pernah menjadi kepala departemen dakwah dan manajer koperasi As-Sakinah.
Meskipun pengurusnya sehari-hari bergelut dengan program pengentasan rakyat dari kemiskinan, kondisi Sekretariat Forum Agro di Desa Maruyung, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, malah tampak tak begitu dihiraukan. Ketika hujan, atap sekretariat Forum Agro bocor, sehingga meneteskan air. Istri Ujang, Teti Sugiarti pun harus tergopoh-gopoh menadah tetesan air dengan baskom.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 8 FEBRUARI 2010

Selasa, 02 Februari 2010

Kalashnikov, AK-47 demi Tanah Air

Jangan menggugat Mikhail Timofeyevich Kalashnikov. Apalagi membuat dia harus bertanggung jawab atas merebaknya aksi bersenjata yang masih marak di beberapa tempat di planet Bumi ini. Pria yang pada 10 November lalu berusia 90 tahun ini mengatakan, ia menciptakan senjata AK-47 yang populer itu hanya untuk mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh.

MIKHAIL TIMOFEYEVICH KALASHNIKOV

Lahir : Kuriya, Altai Krai (bekas Uni Soviet) 10 November 1919
Tempat tinggal : Kota industri Izhevsk, Wilayah Udmurtia, Rusia
Karier Militer : - Pensiunan Letnan Jenderal Angkatan Bersenjata Rusia
- Perancang senjata serbu ringan AK-47, singkatan dari Avtomat Kalashnikova
(Automatic Kalashnikov) dan 47 karena produksi pertamanya tahun 1947.
Senjata ini terjual 100.000 juta unit dan diproduksi di banyak negara.
Dipakai oleh angkatan bersenjata di 55 negara
Penghargaan : - Pahlawan Pekerja Sosial Rusia
- Orde St Andrew
- Pahlawan Federasi Rusia

Oleh PIETER P GERO

Alasan Kalashnikov ini yang membuat dia bisa hidup praktis tanpa beban sampai usia senjanya. "Dalam usia ke 90 tahun, saya adalah manusia yang berbahagia," ujarnya dalam wawancara dengan surat kabar Pemerintah Rusia, Rossiiskaya Gazeta, belum lama ini.
Kalashnikov gembira saat Pemerintah Rusia memberikan penghargaan atas desain senjata AK-47 buatannya. Perayaan peringatan usia 90 tahun ini misalnya, diwarnai pembacaan puisi-puisi karya Kalashnikov. Puisi yang dia buat waktu masih berusia muda. Dia dengan lantang membacakan beberapa karyanya ini.
"Saya tidak pernah berniat membuat senjata untuk digunakan dalam berbagai konflik di seluruh dunia. Saya membuatnya untuk mempertahankan wilayah tanah air saya," tegas Kalashnikov saat pemberian penghargaan atas sukses AK-47 itu di Kremlin, Moskwa, ibukota Rusia.
Kalashnikov diberi penghargaan prestisius, Pahlawan Rusia, yang diserahkan langsung oleh Presiden Rusia Dmitry Medvedev. "AK-47 adalah sebuah contoh brilian dari persenjataan Rusia, dan sebuah simbol nasional yang menumbuhkan rasa bangga pada setiap warga negara," kata Medvedev memuji.
Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin memuji Kalashnikov yang dia katakan sebagai "legendaris sesungguhnya". Acara penganugerahan penghargaan ini disiarkan langsung televisi nasional Rusia. Dua kosmonot Rusia yang berada di Stasiun Ruang Angkasa Internasional atau ISS juga memuji kehebatan kontribusi karya Kalashnikov tersebut.
"Nama anda seperti kosmonot pertama Yuri Gagarin, telah menjadi simbol dari negara kami pada abad XX," ujar kosmonot Maxim Surayev dari ISS.
Yuri Alekseyevich Gagarin menjadi pahlawan Uni Soviet karena dia merupakan manusia pertama yang mencapai ruang angkasa dan kembali ke orbit pada 12 April 1964.

Terjual 100 juta unit

Kalashnikov yang tampak sehat pada usia 90 tahun ini hidup sederhana di Izhevsk, sebuah kota industri sekitar 1.300 kilometer arah timur Moskwa. Padahal, senjata temuannya AK-47, sudah terjual lebih dari 100 juta unit di seluruh dunia. Sebuah angka yang sebetulnya akan mendatangkan keuntungan finansial bagi penemunya.
Beberapa sumber menyebutkan, Kalashnikov hidup dengan uang pensiun sekitar 500 euro atau sekita Rp. 7 juta perbulan. Hal itu karena setiap warga negara bekas Uni Soviet tidak punya hak paten. Dia juga memperoleh sebuah villa mewah musim panas dan sebuah apartemen dengan empat kamar dari pemerintah.
AK-47 merupakan singkatan dari Avtomat Kalashnikov atau Automayic Kalashnikov, senjata serbu otomatis karya Kalashnikov. Sementara angka 47 menunjukan senjata ini mulai diproduksi tahun 1947. AK-47 menjadi senjata sserbu yang paling banyak diproduksi.
Angkatan bersenjata Uni Soviet (kini Rusia) mulai menggunakan AK-47 tahun 1949, dua tahun setelah diproduksi dan ternyata efektif. Senjata ini kian populer di kalangan aksi bersenjata berhaluan komunis di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Saat perang Vietnam, AK-47 berperan utama dalam aksi tentara Vietnam Utara menghadapi tentara Amerika serikat dan Vietnam Selatan.
Kini, angkatan bersenjata di 55 negara di dunia menggunakan AK-47 (yang sudah dimodernisasi) sebagai senjata organik mereka. Angkatan Bersenjata Indonesia juga pernah menggunakan AK-47 pada era Orde Lama dan awal Orde Baru.
Beberapa negara seperti Mozambik dan Burkina Faso menempatkan gambar AK-47 pada bendera mereka, begitu juga pada bendera kelompok bersenjata Hizbullah. Banyak anak laki-laki di Afrika diberi nama "Kalash" singkatan ddari Kalashnikov karena AK-47 dianggap membantu perjuangan mereka.

Masa kecil

Di sisi lain, sikap Kalashnikov yang membuat AK-47 untuk membela tanah airnya juga masuk akal. Lahir di Kurya, wilayah Altai, masa kecil Kalashnikov sangat tragis. Ayahnya termasuk salah satu korban pengasingan diktator Joseph Stalin, pada tahun 1930.
Saat tentara Nazi Jerman menyerbu Uni Soviet, Kalashnikov ikut dalam divisi tank, pada pertempuran oktober 1941 di Brysansk, dia cedera dan harus mundur ke garis belakang.
Dia kemudian bertugas di bengkel militer dan mulai mengutak-atik senjata. Apalagi saat itu Uni soviet tengah mencari senjata yang ampuh, menyusul kekalahan mereka dari Jerman. Senjata yang bisa mempertahankan Soviet dari serbuan musuh.
Senjata Jerman StG44 (Sturmgewehr 44) tahun 1946 menjadi pijakan desain Kalashnikov. Stg44 memang dikenal ampuh, sederhana, ddan bandel. Tak heran Jerman bisa unggul di semur sektor peperangan di Eropa dan Afrika Utara.
Rancangan yang sederhana, mudah penggunaannya, serta biaya produksi yang relatif murah membuat senjata rancangan Kalashnikov diterima pimpinan militer Uni Soviet. Kini AK-47 dalam vesi terbaru juga dipakai angkatan bersenjata Rusia.
Senjata Kalashnikov memang simpel. Beratnya pada awal sekitar 4,3 kilogram. Namun kini dibuat versi dengan berat hanya 3,6 kilogram. Itu sebabnya banyak anak-anak anggota kelompok bersenjata dengan enteng menyandang AK-47. Harga AK-47 juga relatif murah, bisa diperoleh dengan 125 dollar AS atau Rp.1,25 juta di pasar gelap.
Izhmash, produsen AK-47 di Rusia mengaku, senjata AK-47 yang dipalsu diproduksi di Bulgaria, China, Polandia dan AS. Aksi pemalsuan ini membuat Izhmash merugi hingga 360 juta dollar atau sekitar Rp. 3,6 triliun per tahun.
Kalashnikov sendiri tak peduli dengan kerugian tersebut. "Tentu saja, seperti setiap orang pada umumnya, ada yang perlu disesalkan (dengan AK-47), namun saya tegaskan, saya tidak akan memilih jalan hidup yang lain sekalipun ada peluang untuk itu," ujarnya.
"Saya membuat senjata ini untuk mempertahankan tanah air. Bukan salah saya jika senjata ini lalu digunakan untuk hal yang dianggap tak baik. Ini tanggung jawab para politisi," ujar Kalashnikov di Kremlin.
"Tak ada sebuah senjata pun yang memulai perang," ucapnya menambahkan, saat pameran senjata di Delft, Belanda, tahun 2003. Itu sebabnya, mengapa Kalashnikov bisa tetap hidup bahagia tanpa beban sampai usia senjanya kini.


Dikutip dari KOMPAS, RABU, 25 NOVEMBER 2009

Senin, 01 Februari 2010

Akbar Dahali, Menumbuhkan Kepedulian

Jangan iba atau mengasihani penyandang cacat, tetapi bantulah para penyandang cacat. Kembangkan potensi dirinya sehingga mereka juga berkesempatan menjalani hidup seperti orang-orang normal lainnya.

AKBAR DAHALI

Lahir : Makassar, 12 Januari 1966
Pendidikan : - Pondok Pesantren, Maros, Sulawesi Selatan
- SMP Sari Buana, Makasar
- SMAN I Jakarta, 1987
Istri : Suryani (39)
Anak : 1. Maulana (14)
2. Mutmainah (13)
3. Musadiq (3)
Organisasi : - Ketua PPCI Kabupaten Enekang, Sulawesi Selatan, 2006 - kini
- Pembina Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Enrekang
- Ketua Umum Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, 2004

oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Pesan itu senantiasa ditanamkan Akbar Dahili, setelah lulus SMA, setiap kali ia bertemu orang lain. Akbar yang menjabat Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, bertekad membangun kepedulian masyarakat untuk terus membantu penyandang cacat berkembang dan berkontribusi bagi masyarakat.
"Saya suka kesal kalau datang ke pejabat yang sering memberi uang ke saku saya. Bukan saya menolak rejeki, tetapi saya ingin ditanya dulu apa program untuk memberdayakan penyandang cacat, bukan untuk meminta-minta. Jangan saat menghadapi orang cacat yang ditonjolkan rasa kasihan. Saya mau ubah pemikiran masyarakat yang demikian itu," kata Akbar.
Selama ini program-program pemerintah di daerahnya bagi penyandang cacat lebih didorong rasa kasihan atau iba. Ketika ada bantuan yang disalurkan dinas sosial, misalnya, tidak ada pendampingan dan pelatihan kepada penyandang cacat supaya bantuan itu membuahkan hasil kemandirian secara sosial dan ekonomi.
Penyandang tunanetra yang masih mampu melihat setitik cahaya itu tidak lelah terjun ke kampung-kampung guna menyadarkan masyarakat agar memberikan pendidikan buat penyandang cacat. Dia gigih beraudensi dengan para petinggi di Kabupaten Enrekang, anggota DPRD, hingga pengurus partai politik untuk menumbuhkan kepedulian. Dengan cara ini dia berharap agar dalam kebijakan, mereka berpihak pada pemberdayaan para penyandang cacat.
Buah perjuangan Akbar setidaknya terlihat dari mulai terbukanya sekolah-sekolah umum di Enrekang bagi anak-anak penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk belajar bersama anak-anak normal.
"Hanya ada satu sekolah luar biasa (SLB) yang lokasinya di ibukota kabupaten. Tidak semua anak cacat bisa bersekolah disana karena jauh dan butuh biaya besar. Saya senang karena sekolah-sekolah umum sudah mau menerima anak-anak cacat. Dinas pendidikan dan guru disini semakin terbuka soal pendidikan inklusi dengan pelatihan dari Hellen Keller Internasional," ujarnya bersemangat.
Akbar memaklumi jika masih bnyak guru di sekolah reguler yang mengeluh harus memberi perhatian ekstra untuk ABK dikelasnya.
"Saya cuma bisa menyentuh hati para guru itu. Saya selalu bilang kepada para guru supaya jangan menganggap para ABK itu beban," tutur Akbar, yang menopang kehidupan keluarganya dengan menjadi penyalur seprai di Enrekang dan sekitarnya dari sebuah toko di Jakarta.
Tak jarang Akbar juga mesti membujuk orang tua yang punya anak cacat untuk menyekolahkan anaknya. Dia memberikan pemahaman, anak-anak cacat juga berhak bersekolah dan bisa menjadi orang yang berhasil.
Perlahan-lahan kesaaran masyarakat untuk menghargai hak-hak penyandang cacat dan mendukung mereka mandiri tumbuh. Di desanya di Bolang, yang jumlah penyandang cacat cukup banyak, Akbar sering mendatangkan temannya penyandang cacat yang sukses menjadi sarjana dan pegawai.
Akbar ingin selalu ada contoh bahwa keterbatasan seseorang tetap bisa diatasi dengan kegigihan. Meski tunanetra dan bekerja dengan meraba-raba, Akbar mengelola tanaman coklat. Dia juga menjual air dari sungan untuk disalurkan kerumah-rumah warga.
"Saya juga mau memotivasi masyarakat supaya terdorong maju, enggak malas-malasan. Mereka akhirnya bisa melihat, jika orang cacat saja bisa mandiri, apalagi yang normal," jelas Akbar.


Tersadar dan berbuat

Tak pernah terbersit dalam pikiran Akbar jika dirinya harus ambil bagian untuk memperjuangkan hak-hak penyandang cacat. Pria yang memiliki masalah penglihatan sejak lama ini tidak menduga dirinya akan buta, sebab, dari pemeriksaan rutin yang dia lakukan ke rumah sakit di Makassar dan Jakarta, dokter menyatakan bahwa dia tak terancam buta.
Kenyataan berubah sekitar dua tahun setelah dia tamat SMA di Jakarta. Penglihatannya semakin buruk dan hanya mampu melihat setitik cahaya.
Merasa tak yakin mampu meraih cita-citanya menjadi tentara, Akbar memilih kembali ke kampung halamannya, Enrekang. Dia berencana menjalani pengobatan alternatif agar kedua matanya berfungsi kembali.
Meski menjadi buta, Akbar tak membiarkan dirinya depresi. Dia memilih untuk membantu ibunya berjualan pakaian di Toraja dan Enrekang.
Kesadarannya untuk membentuk organisasi penyandang cacat bermula dari terdatanya Akbar oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagi penyandang cacat penerima bantuan dinas sosial setempat tahun 2002. Ia termasuk penyandang cacat yang berhak menerima 10 ekor ayam.
"Ada 40 penyandang cacat yang menerima bantuan. Tiba-tiba saya merasa terdorong untuk menghimpun penyandang cacat supaya bisa diperhatikan dan diakui hak-haknya, jadi tak sekedar diberi bantuan begitu saja," katanya.
Sebagai langkah awal, Akbar membuktikan dirinya mampu mengembangkan bantuan dinas sosial. Dia serius mengurus ayamnya hingga berkembang menjadi 50 ayam petelur.
"Saya cuma mau menunjukkan, penyendang cacat bisa mandiri. Yang penting, penyandang cacat diberi pendidikan dan pembekalan, pasti bisa memanfaatkan bantuan dengan baik," katanya.
Keinginan Akbar untuk menghimpun para penyandang cacat dalam suatu organisasi semakin besar. Dia mencari-cari informasi. Pada tahun 2004 dia diberitahu tentang keberadaan PPCI Sulawesi Selatan yang diketua Bambang Permadi.
Dengan bersemangat, Akbar menemui Bambang Permadi di Makassar. Ia semakin mantap untuk membuka PPCI di Enrekang. Apalagi dari data statistik diperkirakan ada sekitar 2.000 penyandang cacat dan baru 300 orang yang tergabung di PPCI.
Aktivitas dan advokasi kepada berbagai pihak dia lakukan. Dia berhasil meminta bantuan bupati di Enrekang untuk menggelontorkan dana guna mendukung keberangkatan atlet cacat yang tergabung dalam Badan Pembina Olahraga Cacat Enrekang untuk bertanding di Bone.
Akbar ingin mengawal keberpihakan pada penghilangan sikap diskrininatif terhadap penyandang cacat itu, dengan cara apapun.
"Saya ingin kepedulian untuk membantu penyandang cacat berkembang sesuai potensinya itu, tumbuh di hati semua orang," ujarnya lirih.


Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 12 NOPEMBER 2009