Rabu, 30 Juni 2010

Djoko Murdono, Ketekunan Pemulia Gandum

Bertanam gandum? Apa benar tanaman iklim sub tropis itu bisa diadaptasikan di iklim tropis Indonesia? Begitu antara lain pertanyaan yang sembilan tahun lalu memenuhi benak Djoko Murdono. Ketika itu, dia turut serta dalam upaya menelurkan gandum varietas Dewata yang berasal dari galur DWR 162 asal India.

DJOKO MURDONO

Lahir : Semarang, 31 Desember 1960
Istri : Soelistya Widyaningsih (47)
Anak : - Galih Winisuda (21)
- Febrianie Pentadini (16)
Pendidikan : - S1 Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 1985
- S2 Institut Pertanian Bogor, Pemuliaan Tanaman, 1993
- S3 FP Universitas Gadjahmada, 2001-2003, tidak selesai
Jabatan : - Dosen FP UKSW Salatiga (1985-sampai sekarang)
- Kepala Pusat Studi Gandum FP UKSW (2006-sekarang)
- Kepala Laboratorium FP UKSW (2004-sekarang)

Oleh ANTONY LEE

Kini pertanyaan itu terjawab sudah. Tahun ketiga setelah penelitian, upaya Djoko dan beberapa peneliti dari Departemen Pertanian serta sejumlah perguruan tinggi negero dan swasta lainnya membuahkan hasil. Varietas Dewata diluncurkan pada tahun 2003 dengan hasil biji 2,96 ton perhektar dan kandungan protein 13,94 persen. Gandum varietas itu lebih seragam dari sisi hasil dan bentuk biji ketimbang indukannya, DWR 162. Dewata juga tahan terhadap penyakit busuk akar.
Selain Djoko, pemulia varietas Dewata yang tercatat adalah Muslimah, M Jusuf, Sumarny Singgih, Marsum Dahlan, Rudiyanto, Riyo Samekto, dan Bistok Simanjuntak. Awal perkenalan Djoko dengan budidaya gandum dimulai tahun 2000 dalam proyek penelitian seleksi awal dan produksi benih gandum yang disponsori salah satu produsen terigu di Indonesia.
Djoko Murdono dan sejumlah koleganya di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, mencoba menanam gandum DWR 162 di lahan lebih kurang 3.000 meter persegi di kebun percobaan Salaran, sekitar 5 kilometer dari kawasan wisata Sopeng di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Peneliti lainnya mencoba menanam di Boyolali, Bogor, Pasuruan, dan Malang (jawa Timur), serta Maros (Sulawesi selatan). Setelah panen, ternyata gandum yang hasilnya baik yang ditanam di Salaran dan Pasuruan.
Penelitian itu terus didalami dengan menyisihkan tanaman gandum yang menyimpang (off type) supaya varietas gandum yang dihasiolkan seragam, baik jumlah maupun bentuk bijinya.
"Sewaktu tanam awal suhu di Salaran mencapai 26 derajat celcius karena terlambat tanam sekitar Agustus. Paahal, dalam literatur disebutkan suhu normal gandum 16-21 derajat celcius. Saya khawatir apakah bijinya bagus. Untung hasilnya cukup baik," tutur Djoko saat ditemui di Salaran, awal Oktober.
Tahun 2001-2003, dia tidak terlalu aktif karena studi doktoral di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namun, lantaran dekat, dia tetap menyempatkan diri membantu. Baru setelah biaya studinya tiba-tiba dihentikan tahun 2003, dia mulai berkonsentrasi penuh mengurusi gandum. Bertepatan pula ketika itu kucuran dana untuk penelitian gandum terhenti pada akhir tahun 2004.

Tanpa pamrih

sebaliknya, Djoko yang sudah ditunjuk membidani lahirnya Pusat Studi Gandum di FP UKSW kian bersemangat. Meski sejak tahun 2005 otomatis tak ada kucuran dana, dia terus meneliti. Dia membiayai penelitian dengan menjualbiji gandum untuk diputar kembali sebagai modal penelitian. Biji gandum off type yang sengaja disisihkan dijual Rp.7.500 per kilogram.
Pada tahun 2007, dia mulai menjual dalam bentuk tepung kasar seharga Rp.7.000 per kilogram. Tahun 2008, produknya ditambah dengan katul (kulit gandum) yang sudah dihaluskan Rp.1.500 per kemasan ukuran 100 gram dengan pembelian minimal 100 kemasan. Hasil penjualan itu yang membuat penelitian gandum di FP UKSW tetap terus bergulir.
"Dia (Djoko) memang orang yang tekun dan tanpa pamrih. Kalau sudah disukainya, walau enggak ada uangnya dia tetap menekuni. Padahal, enggak ada yang bayar atau menyuruh," tutur Dekan Fakultas Pertanian UKSW Salatiga Prof Dr Sony Heru Priyanto.
Di mata Sony, sejawatnya itu memiliki peranan yang sangat besar dalam pengembangan gandum yang dilakukan FP UKSW, walau dia mengakui penghargaan bagi upaya Djoko itu masih sangat kecil.
Bagi Sony, Djoko juga memiliki kelemahan dalam perencanaan penelitian. "Tapi justru karena itu, dia tetap bisa lakukan penelitian walau pun enggak ada uang atau uangnya sedikit," kata Sony.
Keseharian Djoko memang sangat bersahaja. Bila bepergian, dengan mobil Daihatsu Hijet warna merah keluaran tahun 1984 yang kerap meraung saat melintasi jalan menanjak diruas Kota Salatiga menuju Salaran. "Saya menyukainya, jadi walaupun enggak ada uangnya saya tetap enjoy," tutur Djoko.

Pangan alternatif

Djoko mengakui masih punya cita-cita mewujudkan idealisme mencoba mengurangi ketergantungan pada gandum impor yang sangat besar, yang sudah menembus 5 juta ton per tahun. Dia khawatir jika tiba-tiba negara eksportir gandum berhenti menjual gandumnya, Indonesia bakal kelimpungan. Apalagi, gandum sudah lekat dengan keseharian, dalam bentuk mi, roti, atau tepung.
Menurut dia, ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan kering, terutama di dataran tinggi, karena gandum tumbuh baik di daerah berketinggian 600 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut (dpl)
Dia kini masih melakukan uji coba menanam gandum di lahan sulit air, seperti di Kabupaten Semarang, Wonosobo, dan Temanggung (Jateng). Uji coba terutama dilakukan di lahan yang sering ditanami tembakau. Dia optimistis karena masa tanam gandum dan tembakau mirip, dimulai April-mei menjelang akhir musim hujan.
Selain itu Djoko dan sejawatnya di Pusat Studi Gandum UKSW memulai tanaman percontohan di Tana Rara dan Lewa di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dia mengaku sedang membidik dataran Tinggi Lore di perbatasan Kabupaten Palu dan Poso di Sulawesi Tengah yang ketinggiannya 1.000 meter dpl.
"Di situ ada 42.000 hektar lahan yang datar, tetapi hanya ditumbuhi ilalang. Kalau bisa dimanfaatkan, tentu cukup membantu. Untuk bebas impor, setidaknya perlu 2,5 juta hektar, tetapi bisa 1,5 juta hektarsaja sudah bagus," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 2 NOVEMBER 2009


Selasa, 29 Juni 2010

Kiat Guntoro Mandirikan Petani

Berawal dari tekad mencegah kepunahan kambing gembrong (termasuk "capra aegragrus"), Suprio Guntoro berhasil membuka cakrawala tentang metode peternakan dan pertanian yang lestari. Hasil penelitiannya tentang probiotik hewan ruminansia atau memamahbiak telah memberdayakan sekaligus menjadi tumpuan ribuan peternak dan petani di Bali, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara.

SUPRIO GUNTORO

Lahir : Jember, 18 Juni 1957
Pendidikan: - S1 Nutrisi Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, 1984
Pelatihan antara lain:
- Kursus akupunktur hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, 1997
- Pelatihan produksi biofuel Puslit Bioenergi IPB, 2007
Temuan teknologi di antaranya :
- Probiotik Bio-CAS untuk ternak ruminansia, 2004
- Inokulan "Rummino Bacillus" untuk kompos, 2004
- Instalasi pengolahan limbah ternak untuk produksi biogas, biourine, biokultur, dan pakan,2006
- Probiotik "Bio-B" untuk unggas pedaging dan probiotik "Bio-L" untuk unggas petelur, 2009-
kini dalam penelitian
- Produksi kopi probiotik luwak, 2010-kini dalam penelitian
Buku antara lain :
- Budi daya ulat sutra, 1994
- Panca Pesona Wisata Agro, 1996
- Budi daya Sapi Bali, 2002
- Bertani di Pinggiran Kota, 2005
- Budidaya Salak Bali, 2005
- Model pertanian tekno-ekologis untuk mengantisipasi perubahan iklim, sedang ditulis.

Oleh BENNY DWI KOESTANTO

Bali menyajikan fenomena subtil sekaligus ironis. Di satu sisi pariwisata diagungkan meski secara fisik mengorbankan sebagian alamnya. Lahan subur pertanian disesaki vila. Kaum muda tenggelam dalam bisnis pariwisata, meninggalkan pertanian.
Di sisi lain muncul pribadi dan kelompok yang percaya pertanian lestari adalah sumber dan daya hidup yang sesungguhnya menunjang pariwisata, selain religi dan budayanya. Dalam kerangka itulah Guntoro, panggilannya memberi warna.
Di Kecamatan Busung Biu, Buleleng, gerakan pertanian integratif atau organik menjadi penegas fenomena itu. Ribuan heltar kebun kopi tumbuh subur dengan hasil melimpah, bersamaan dengan hasil ternak berbagai jenis kambing dan turunannya, seperti susu, keripik susu, hingga produk wine salak Bali. Sarjana atau warga setempat yang mengadu nasib ke Denpasar sebagai tukang kebun hotel mewah pun kembali ke kampung. Mereka ikut mengembangkan pertanian di desa.
"Waktu harga kopi jatuh, tanaman kopi sempat akan diganti tanaman semusim. Itu jelas berbahaya dari sisi lingkungan karena kecamatan di dataran tinggi yang rawan longsor. Kami lalu kenalkan mereka dengan peternakan kambing yang pakannya antara lain dari kebun kopi," katanya.
Pengembangan pertanian integratif di Busung Biu bisa pesat karena sentuhan teknologi yang dimotori Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali lewat program Prima Tani. Di lembaga itulah Guntoro menjadi penelitinya.
Di Busung Biu, BTPT antara lain menciptakan mesin pengupas kulit kopi dan kacang, membantu proses pembuatan pupuk cair dari kencing sapi dan kambing, dan cairan probiotik yang dicampur pakan aneka hewan ruminansia sehingga bobot tubuh hewan naik optimal.
Ketika berhasil diterapkan, daerah binaan diperluas. Di Busung Biu, misalnya, ada lima desa dengan puluhan kelompok petani yang menerapkan pertanian integratif. BPTP Bali sekaliogus memfasilitasi petani dan kelompok petani daerah lain di Indonesia untuk belajar sistem pertanian ini di Busung Biu.
Gerakan itu menyebar ke beberapa daerah lain di Bali, seperti Sukasada dan Gerokgak di Kabupaten Buleleng, Pupuan (Tabanan), Petang (Badung), Kintamani dan Susut (Karangasem), dengan cakupan areal ribuan hektar.

Ujung timur Bali

Penelitian Guntoro perihal probiotik ruminansia bermula dari pengalamannya di ujung timur Bali, Kabupaten Karangasem. Ia menyurvei desa-desa di Kabupaten Karangasem, habitat asli kambing gembrong, pada 1998. Hasilnya, kambing gembrong tinggal 64 ekor. Ini memprihatinkan. Kambing gembrong harus diselamatkan.
Dengan dana bantuan Yayasan Kehati, BPTP mengembangbiakan 25 ekor di antaranya dengan sistem gaduh di kalangan petani nelayan. "Program itu kurang berhasil, terbentur kondisi perekonomian warga yang rata-rata petani-nelayan. Sejumlah kambing dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup warga," ujarnya.
Guntoro melihat kambing itu cenderung kurus karena kurang pakan. Hampir tak mungkin memberi makan kambing dengan konsentrat yang dibeli di pasaran. Ia lalu berpikir untuk menghasilkan konsentrat buatan sendiri dengan probiotik hewan ruminansia.
Probiotik itu diisolasi dri rumen (lambung depan) sapi bali. Eksperimen dimulai tahun 2001 dan disempurnakan pada 2004. Selain menggunakan laboratorium di BPTP Bali, ia pun memakai laboratorium Universitas Udayana sebagai tempat penelitian.
Salah satu hasil penelitian Guntoro yang sudah memperoleh hak paten Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, adalah proses pembuatan tepung sampah dan komposisi pakan untuk menggemukan ternak ruminansia.
Bersama lima rekan di BPTP Bali, penelitian Guntoro perihal instalasi biogas, biourine, dan biokultur masuk dalam buku 100 Inovasi Badan Litbang Pertanian 2008. Penelitian itu menjelaskan proses pengolahan aneka limbah ternak seperti urine ternak yang diolah untuk pupuk, gas untuk memasak dan penerangan, dan sludge (limbah biogas) berbentuk pasta menjadi biokultur.
Ia juga mengembangkan teknologi produksi trichoderma (sejenis jamur tanah) cair. Fermentasi trichoderma digunakan sebagai bahan campuran pakan ternak dan pengendalian penyakit (biopestisida), terutama pada tanaman perkebunan seperti mete dan kakao.
Hasil penelitian Guntoro lainnya, cairan probiotik Bio-CAS. Bio-CAS merupakan singkatan dari bio curcumae alicin scordinin. Probiotik ini mempercepat pertumbuhan, menjaga kesehatan, dan menghilangkan bau kotoran ternak. Cairan ini juga meningkatkan bobot lahir anak sapi pada sapi betina bunting.
Umumnya bobot sapibali lahir sekitar 16 kilogram. Dengan konsumsi Bio CAS, bobotnya naik menjadi 18-19 kilogram. Probiotik digunakan sedikitnya oleh 1.500 peternak sapi di Jember (Jawa Timur), Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Bagi Guntoro, pengalaman dengan kambing gembrong itu amat membekas. Ia jadi tahu ternyata uang peternak habis untuk pakan. Maka, pilihannya berujung pada dua cara: membuat pakan murah atau mengefisiensikan penggunaan pakan. Di Bali, bahan pakan ternak terbatas, demikian pula pabriknya. Maka, effisiensi pakan menjadi pilihan. Ia lalu mengoptimalisasi mikroba di pencernaan hewan ruminansia untuk membuat aneka asupan pakan ternak.
"Saya melakukan ini karena prihatin pada praktik kapitalisasi pertanian. Sebaiknya peneliti tak hanya kaya metodologi, tapi juga ideologi. Bagaimana kekuatan peneliti melawan kapitalisasi pertanian, demi rakyat kecil. Teknologi adalah alat tawar agar kita tidak terkapitalisasi.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 30 JUNI 2010





Senin, 28 Juni 2010

Pendekar Pendidikan Anak Jalanan

Dimata Didit Hari Purnomo (52), pendidikan harus bisa diakses oleh siapapun, bahkan oleh anak-anak usia belasan tahun yang tak pernah mengenal arti "rumah" dan kasih sayang. Kesadaran ini memantiknya untuk membentuk Sanggar Alang-Alang, tempat ratusan anak jalanan di Kota Surabaya belajar tentang kehidupan

DIDIT HARI PURNOMO
Lahir : Lumajang, 14 September 1952
Istri : Budha Ersa
Anak : Endhi Naryamarendra (alm), Dea Arri Rajasa, Ramadhani Wuri Pramesti
Pendidikan : Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi - Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS),
Surabaya
Pekerjaan : Wartawan TVRI (1975-2005)
Kegiatan : Pendiri dan Pengasuh Sanggar Alang-Alang
Pencapaian : - Vocational Award Rotary Club Surabaya
- Surabaya Academy Award 2003
- Penghargaan dari Pemprov Jawa Timur sebagai seniman dan Penggiat
Anak-anak Jalanan 2008

Oleh MARIA SERENADE SINURAT

Sejak berdiri 16 April 1999, Sanggar Alang-Alang (SAA) tetap setia pada tujuan awal, yakni menyediakan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Di SAA, anak jalanan disebut dengan anak negeri. SAA menjadi rumah tempat makanan, seragam, ruang belajar, dan ruang bermain cuma-cuma bagi mereka.
Didit menyebut SAA sebagai pendidikan berbasis keluarga. Disanggar, Didit menjadi bapak, Istrinya, Budha ersa, sebagai mama. Sebanyak 187 anak usia 6-17 tahun di SAA adalah bagian dari keluarga besar. Untuk menggantikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), Didit hanya menuntut satu hal dari anak-anaknya, yakni bersikap sopan.
Setiap masuk sanggar, anak-anak selalu dalam kondisi bersih. Mereka menyalami dan memeluk satu sama lain dan menghindari kata-kata kasar dan jorok. Bagi Didit, ini bagian dari pendidikan berperilaku. "Jika setiap hari selama sebelas tahun, seorang anak jalanan bisa diajar berperilaku sopan, tentu perilakunya akan berubah," ujar pensiunan pegawai TVRI ini.
Pendidikan perilaku hanya hanya satu dari dari pelajaran yang diajarkan di SAA. Meskipun matematika diajarkan, SAA menitikberatkan pada ilmu-ilmu praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan anak jalanan. "Belajar bukan hanya teori, melainkan soal implementasi. Ini yang dibutuhkan anak jalanan agar tidak kembali ke jalan," katanya.
Hingga kini, setidaknya empat program sudah dijalankan, yakni bimbingan belajar anak sekolah dan putus sekolah, bimbingan anak berbakat, bimbingan anak perempuan rawan, dan bimbingan ibu dan anak negeri.

Pendidikan praktis

Keempat program ini difokuskan pada pengetahuan praktis. Misalnya saja, bimbingan anak perempuan rawan yang ditujukan untuk anak jalanan perempuan dan pekerja rumah tangga. Setiap tiga hari dalam seminggu, Tim SAA menyambangi anak jalanan untuk mengajari mereka tentang kesehatan reproduksi, cara membela diri, dan cara melaporkan kepada pilisi jika dilecehkan secara seksual.
lain lagi dengan program Bimbingan Ibu dan Anak Negeri (BIAN). Program ini lahir setelah Didit melihat realitas dilapangan yang keras dan suram. Kemiskinan dan kebodohan telah merenggangkan hubungan orang tua dan anak. Imbasnya, keluarga terpecah, anak-anakpun lari ke jalanan. Banyak anak yang di eksploitasi oleh orang tuanya untuk bekerja dijalanan.
Dalam kaitan ini, BIAN ditujukan untuk anak usia taman kanak-kanak dan ibunya. Sebagai pengganti kursi, anak-anak duduk dipangkuan ibunya. Dengan demikian, bukan hanya anak yang belajar, ibu juga belajar meluangkan waktu untuk anaknya. "kami berharap, dengan demikian tak ada lagi ibu yang menyuruh anaknya mencari uang dijalan," kata Didit.
Di luar kelas, anak-anak bisa berlatih alat musik, tari, dan juga tinju. Mereka yang berbakat akan diikutkan kejuaraan tingkat daerah, bahkan nasional.Jika sudah berusia 18 tahun, mereka harus meninggalkan sanggar dan memulai kehidupannya sendiri. "Jika mereka kembali kejalan, artinya mereka tidak lulus," kata Didit.
Pemerintah Kota Surabaya juga mengapresiasi langkah Didit. Apalagi, program rumah singgah Dinas Sosial lebih banyak gagalnya. Program yang dibuat lembaga swadaya masyarakat pun hanya berjalan ketika ada dana. "Selama ini anak jalanan hanya jadi obyek proyek LSM, sementara milyaran rupiah untuk rumah singgah terbuang percuma," kata Didit. SAA juga menjadi rujukan bagi mahasiswa dan dosen yang meneliti metode pendidikan anak jalanan.

Kasih sayang

Bertahan 11 tahun, Didit menyebut satu kunci keberhasilannya. "Kasih sayang" kata kakek satu cucu ini. Kasih sayang adalah pendidikan hidup yang terenggut dari dari kehidupan anak jalanan. Mereka dialpakan dan dianggap sampah masyarakat.
Penilaian ini bagi Didit salah besar. Dia membuktikannya 11 tahun lalu ketika menyambangi Terminal Joyoboyo, tempat berkumpul anak jalanan. Di balik penampilan anak-anak yang kumuh dan kotor, tersimpan jiwa anak-anak yang mendambakan rumah dan perhatian. Jika didekati baik-baik, mereka akan membuka diri.
Hati Didit tergugah melihat anak-anak yang menggelandang sejak kecil. Ada juga anak-anak dari tukang cuci, tukang becak, pencopet, dan kernet bus yang tak pernah diperhatikan. Dibalik toilet Terminal Joyoboyo itulah perjumpaan pertamanya dengan dunia anak jalanan.
Pelan tapi pasti, pertemanan mereka terajut, dan setiap malam Didit mulai mengajari banyak hal. Banyak orang menamai mereka "komunitas sekolah malam".Setahun lebih kegiatan itu berjalan hanya bermodalkan niat baik dan sebagian gaji Didit.
Barulah tahun 1999, berkat derma dari orangtua murid Surabaya International School, Didit mendapat sumbangan Rp. 5 juta. Uang itu dia gunakan untuk mengontrak rumah dua tahun di belakang Terminal Joyoboyo.
Untuk menyokong kehidupan anak-anak, SAA bergantung kepada donasi pengusaha. Namun, kini SAA memiliki pendapatan dengan mengisi acara musik dan tari di sekolah.
Yang paling membanggakan bagi Didit, beberapa alumni SAA berhasil berdikari. Adi Hartono, misalnya diterima di universitas Negeri Surabaya lewat jalur prestasi. Adi yang enam tahun tinggal di SAA hanya mengikuti kejar paket A dan B, kemudian mendaftar ke sekolah menengah kejuruan. "Adi yang sebelumnya anak jalanan bisa diterima di pendidikan formal, saya senang luar biasa," kata Didit.
Ada lagi Mu'ad (18). Dua tahun lalu Kompas bertemu Mu'ad yang mengaku tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dia buta huruf hingga usia 16 tahun. namun, kini Mu'ad menjelma menjadi pemuda percaya diri yang terampil menggunakan komputer.
Didit selalu mengibaratkan anak jalanan seperti alang-alang. Dia kian optimis, alang-alang binaannya memiliki tempat sendiri di masyarakat.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 9 JUNI 2010



Kamis, 10 Juni 2010

Konservasi Alam dan Kesehatan ala Kinari Webb

Pelestarian hutan dan habitatnya tak melulu berkutat pada apa yang ada di dalam hutan itu. Justru dengan gerakan nyata, pedulimemperbaiki kualitas hidup masyarkat disekitarnya, kelestarian hutan bisa terwujud.


BIODATA

Nama : Kinari Webb
Lahir : Michigan, AS, 11 Januari 1972
Suami : Campbell Webb
Pendidikan : - Program Biologi, Reed College, Portland, 1993-1998
- Fakultas Kedokteran, Universitas Yale, New Haven, 1998-2002
- Spesialis Kesehatan Keluarga, Contra Costa regional Medical Centre Family
Medicine Residency, Martinez, California, 2002-2005
Pekerjaan : - Peneliti orangutan dan Manajer Penelitian Universitas Harvard di Kalimantan
Barat, 1993-1994
- Tenaga Teknis Penanganan Medis Darurat di Alam Terbuka, Carepulus
Ambulance Service, Lebanon, 1997
- Pelatihan Spesialis Kesehatan Keluarga, Universitas California Davis, 2002-2005
- Asisten Profesor Klinis pada Kesehatan Keluarga, Universitas California Davis,
2006
- Pendiri dan Direktur Program Alam Sehat Lestari, 2006-kini.


Oleh C WAHYU HARYO PS

Pemikiran inilah yang mendorong dokter asalAmerika Serikat, Kinari Webb (37) mendirikan lembaga nirlaba Alam Sehat Lestari atau Asri yang memberikan pelayanan kesehatan di Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, kalimantan Barat, berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung (TNGP).
Begitu melangkahkan kaki ke halaman klinik Asri, sebuah pengumuman terpampang di depan klinik, "bisa bayar biaya berobat dengan barang atau kerja di klinik Asri" dibawahnya, terinci kerja yang dimaksud, meliputi bekerja di kebun organik Asri atau di klinik.
Pekerjaan di kebun organik antara lain membuat bedengan, membersihkan rumput, mengisi kantong plastik, menanam bibit, dan menyiram tanaman. adapun pekerjaan di klinik antara lain mencuci seprai, menyetrika pakaian, membakar sampah, menggulung kapas, dan menyiram bunga. Untuk pekerjaan selama tujuh jam sehari, klinik Asri menghargainya dengan upah Rp.50.000.
Sementara itu, barang yang bisa digunakan untuk membayar biaya pengobatan adalah kotoran ternak, bambu, atap daun, tanaman bunga, ayam, beras, sekam, dedak, cangkang telur, hingga kerajinan anyaman, diantaranya tikar pandan dan bakul. Barang lain yang bisa digunakan untuk alat pembayaran adalah bibit buah-buahan.
"Tak semua orang mampu membayar biaya pengobatan dengan uang, apalagi sebagian besar dari mereka itu masyarakat pedesaan yang kurang mampu. Mereka bisa membayar dengan tenaga atau barang yang dimiliki," kata Kinari menyampaikan alasannya menerapkan pola pembayaran tak lazim pada era modern ini.
Lantas, mengapa barang yang digunakan untuk membayar juga tak lazim? Ternyata, barang yang bisa dibayarkan itu mendukung program konservasi alam yang dia kembangkan melalui kebun organik. Kotoran hewan dan cangkang telur menjadi pupuk organik. ayam, dedak, sekam, atap daun, dan bambu digunakan mengembangkan peternakan kecil yang mendukung kebun organik. adapun bibit tanaman untuk merehabilitasi hutan.
"Klinik bukan program utama, Klinik ini kita pakai untuk program yang lebih besar, yaitu konversasi hutan. Klinik menjadi alat untuk memotivasi masyarakat menjaga hutan," katanya.
Klinik Asri juga mengembangkan sistem insentif bagi masyarakat desa sekitar yang peduli dengan kelestarian hutan. Insentif itu berupa pelayanan ekstra layaknya Puskesmas keliling dan memberikan potongan harga.
Penentuan layak dan tidaknya desa mendapatkan insentif itu dilakukan Asri bersama Balai TNGP. Setiap bulan mereka bekerja sama membuat penilaian dan pemetaan, desa mana yang pro kelestarian hutan (dikategorikan Desa Hijau) dan mana yang tak menjaga kelestarian hutan (Desa Merah).
Dikategorikan desa Hijau bila masyarakatnya tak menebang pohon secara liar, membakar lahan hutan, memburu hewan, dan melaporkan tindakan pembalakan liar oleh warga lain. Jika yang dilakukan sebaliknya, desa tersebut dikategorikan Desa Merah.
Pola insentif ini efektif mendorong masyarakat menjaga hutan. Sejak Klinik Asri didirikan Kinari pada Juli 2007, dari 23 desa sekitar TNGP yang terlayani, semakin banyak yang masuk kategori Desa Hijau.

Meneliti orangutan

Ketertarikan Kinari melakukan konservasi hutan di kawasan TNGP berawal dari peran yang disandangnya sebagai peneliti Universitas Harvard. Ia datang ke Indonesia dan meneliti keberadaan orang hutan (Pongo pygmaues wurmbii) di TNGP pada 1993. Topik penelitiannya adalah "Kepentingan Orangutan untuk Semua Ekologi di Hutan".
Dari penelitiannya itu, ia menyimpulkan, jika orangutan punah, banyak pohon yang juga akan punah karena persebaran beberapa biji dan penyerbukannya dibantu orangutan. Ada rantai kehidupan di hutan yang akan putus jika orangutan punah.
Meski mengetahui kelestarian orangutan penting bagi kelestarian hutan, Ada pengalaman yang membuat dia berpikir bahwa kualitas hidup masyarakat sekitar hutan juga penting bagi kelestarian hutan. Untuk yang satu ini, dia berterima kasih kepada Pak Tadin, warga setempat yang membukakan mata hatinya lewat "pengalaman tragis" di hutan.
Suatu ketika Kinari masuk hutan dan Tadin membukakan jalan untuknya dengan sebilah parang. Telapak tangan Tadin terluka oleh sabetan parangnya sendiri. Ia tak menduga, Tadin yang bertubuh besar dan piawai menjelajah hutan justru berteriak histeris seolah-olah hampir mati. Padahal ia tahu, hanya dengan membersihkan luka, memberinya antibiotik, dan menutup luka itu sudah bisa menyembuhkan luka Tadin.
Usut punya usut, minimnya pemahaman Tadin tentang kesehatan dan sarana kesehatan di wilayah itu membentuk pola pikir Tadin bahwa luka bisa membuat dia mati. dari pengalaman itulah, tahun 1998 Kinari memutuskan kemabli ke AS dan melanjutkan pendidikan kedokteran di Universitas Yale.
Selama menjalani pendidikan itu, ia sempat kembali ke Indonesia menjadi relawan, membantu penanganan korban tsunami di Aceh. Setelah lulus panggilan hati kembali membawa dia ke Indonesia.
Bersama dokter gigi Hotlin Omposungku dan dokter Romi Beginta, keduanya dari Indonesia, serta sejumlah dokter dan tenaga medis, Juli 2007 ia mendirikan Klinik Asri. Kinari tak secara langsung menangani pasien, tetapi lebih menempatkan diri sebagai teman berdiskusi bagi para dokter dari Indonesia.
"Pendanaannya 40 persen dari hibah dan 60 persen dari donatur perorangan di luar negeri," kata Hotlin.
Untuk mendapatkan donasi guna membiayai klinik, acapkali Kinari dan Hotlin pergi kesejumlah tempat di AS dan mempresentasikan programnya. Sejumlah kerajinan anyaman tradisional yang diperoleh dari pembayaran masyarakat juga di jual ke luar negeri dan sangat diminati.
Setelah dua tahun berjalan, Klinik Asri melayani lebih dari 7.000 pasien, atau sehari sekitar 30 pasien. Setiap rekam medis pasien disimpan dalam bentuk dokumen dan di komputer, lengkap dengan data diri dan foto pasien.
Pelayanan kesehatan yang diberikan juga semakin lengkap. Ada pelayanan kesehatan umum, kesehatan gigi, persalinan, laboratorium, rawat inap, dan apotek. Dengan 3 dokter dan 22 staf medis, Klinik Asri juga memberikan pelayanan panggilan 24 jam.
Klinik Asri juga bekerjasama dengan sejumlah lembaga, seperti Lions Club dalam membagikan 1.000 kacamata. Klinik pun berupaya memberdayakan masyarakat dengan merekrut dan melatih para ibu menjadi relawan pemantau pasien tuberkulosis dan membagikan obat cacing.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 8 JULI 2009

Selasa, 08 Juni 2010

Muhammad Tohir "Insinyur" Kincir Air

jika masih ada daerah di Indonesia yang terbelenggu masalah ketersediaan pasokan listrik tetapi memiliki aliran sungai yang deras, solusi yang dapat dicoba adalah mendatangkan Muhammad tohir. Meskipun tidak pernah belajar secara formal mengenai kelistrikan, pemuda desa ini bisa mengalirkan listrik dari kincir air buatannya.

BIODATA

Nama : Muhammad Tohir
Lahir : Desa Petuguran, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, tahun 1984
Istri : Atriah (22)
Anak : Hani Safitri (7)
Pendidikan : Kelas V SD 43 Kroya, Kabupaaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Oleh WISNU AJI DEWABRATA

Pendidikan Muhammad Tohir (25) hanya sampai kelas V sekolah dasar. Namun, dia mampu membangun pembangkit listrik mikro-hidro berupa kincir air dengan memanfaatkan aliran sungai. Karena keterampilan Tohir, warga desa Candi Jaya di Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, dapat menikmati aliran listrik.
Desa Candi Jaya merupakan desa transmigrasi yang letaknya dilereng gunung Dempo. Meskipun letaknya hanya ssekitar 12 kilometer dari pusat kota Pagar Alam, listrik PLN belum menjangkau desa tersebutsampai sekarang. Akses menuju desa itu sebenarnya mudah karena sudah ada jalan beraspal.
Tohir merantau ke Pagar Alam meninggalkan kampung halamannya di Dusun Kroya, Desa Petuguran, kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada tahun 1999. Tohir mengikuti ajakan pakdenya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Sumsel sebagai petani kopi.
"Tahun 1999 aku teko mrene durung ono listrik, peteng koyo kuburan (tahun 1999 saya datang kesini belum ada listrik sama sekali, gelap seperti kuburan)," kata Tohir dalam bahsa jawa, selasa (24/3)
Hidup tanpa listrik sempat membuat Tohir merasa tidak betah. Dia memutar otak agar Desa Candi jaya menikmati listrik, jawabannya ada pada aliran sungai yang deras di desa tersebut. Tohir membujuk warga agar mau bergotong royong membangun kincir air. Pelan-pelan dia berhasil meyakinkan warga.
tahun 2001 Tohir dibantu tiga warga memulai proyek pemabnguan kincir air dengan dukungan dana dari warga desa. Bahkan mereka tidak hanya membangun satu kincir air, tetapi tujuh kincir air. Satu kincir air yang berdiameter 2,5 meter itu mampu menghasilkan listrik 3.000 watt - 5.000 watt.
Kondisi alam yang berbukit-bukit sangat cocok untuk kincir air, karena aliran air yang deras adalah syarat utama membangun pembangkit listrik mikro hidro. Modal untuk membangun satu kincir air lengkap dengan dinamo dan kabel transmisi ke ruamh warga yang panjangnya rtusan meter adalah Rp. 6 juta-Rp.10 juta.
Awalnya Tohir belum menggunakan dinamo khusus untuk pembangkit listrik, tetapi hanya memanfaatkan dinamo sepeda motor yang diutak-atik. Belakangan warga bisa membeli dinamo khusus pembangkit berkapasitas 3.000 watt.
Setelah tujuh kincir air selesai dibangun, warga desa Candi Jaya dapat menikmati aliran listrik yang bertahun-tahun hanya menjadi impian. Lampu minyak digantikan lampu listrik. Televisi dan pemutar VCD mudah ditemukan di rumah-rumah warga.

Belajar di kampung

Tohir menjadi "insinyur" dalam proyek pembangkit itu karena dia pernah belajar cara membuat kincir air di Banjarnegara. Menurut Tohir, sekitar tahun 1992 dia mempelajari cara membuat kincir air dari tetangganya di Banjarnegara bernama Siswanto yang ahli membuat kincir air.
Tohir memutuskan pulang kampung untuk belajar membuat kincir air setelah merasa gagal hidup di Jakarta sebagai pekerja serabutan."Saya belajar dari Pak Siswanto selama dua tahun. Pelajarannya tentang elektronika dan teknik membuat kincir air. Saya belajar sekaligus bekerja membuat kincir pada Pak Siswanto," katanya.
Ilmu membuat kincir air tidak hanya membuat kincir dari kayu supaya tahan lama. Tohir juga belajar cara membuat dinamo, memperbaiki dinamo, menghindari aurs pendek, dan masalah transmisi listrik. Tohir juga tahu cara menghitung apakah debit air terjun cukup menghasilkan listrik atau tidak.
Tohir menjelaskan, debit air terjun harus disesuaikan dengan kekuatan dinamo. Misalnya, debit air terjun yang mampu memutar kincir 1.500 putaran permenit (RPM) harus menggunakan dinamo yang sesuai. Karena sudah berpengalaman, Tohir dapat menaksir debit sebuah air terjun hanya denga melihatnya.
"Kesulitan membuat kincir air kalau lokasinya sulit dijangkau atau ketika sedang banjir. Tetapi, kalau kita yakin, pasti bisa dibangun," katanya.
Saat Kompas datang ke lokasi kincir air buatan Tohir di Desa Candi jaya, lokasinya sulit dijangkau karena terletak di dasar jurang sedalam 100 meter dengan kemiringan tebing 70 derajat.
Kincir air itu diselimuti lumut tebal karena setiap hari terendam air. Untuk mengaktifkan kincir, cukup dengan membuka pintu saluran yang mengalirkan air. Kincir lalu memutar roda yang dihubungkan dengan dinamo yang mengubah energi mekanik menjadi energi listrik, sederhana sekali.
Peralatan untuk membuat kincir air hanya linggis, kapak, martil, gergaji, cangkul, parang dan tatah. Pembuatan kincir air membutuhkan waktu dua minggu jika lokasinya sulit dijangkau dan satu minggu untuk lokasi yang mudah dijangkau.
Upaya Tohir dan warga Desa Candi jaya mengatasi keterbatasan pasokan listrik terkabar sampai Jakarta. tahun 2004 Kementerian Negara Koperasi dan UKM memberikan bantuan satu kincir air berdaya 25.000 watt senilai Rp.1 miliar.
Dengan adanya bantuan kincir air itu, semakin banyak warga Desa Candi Jaya yang dapat menikmati aliran listrik. Saat ini ada sekitar 190 warga yang menjadi pelanggan listrik dari pembangkit tersebut dengan jatah 130 watt setiap rumah.
Sayangnya, kegembiraan warga menikmati pasokan listrik berlimpah tidak berlangsung lama. tahun 2002 terjadi banjir besar yang menghancurkan enam kincir air yang dibangun Tohir bersama warga.
Sekarang tinggal satu kincir air yang masih berfungsi. Listrik dari kincir itu dialirkan ke lima rumah, termasuk rumah Tohir, sehingga pasokan listrik cukup banyak karena setiap rumah mendapat jatah 1.000 watt. Untuk membuat kincir dan dinamo lebih awet, kincir hanya diaktifkan dari sore sampai pagi karena pada siang hari warga kebanyakan pergi ke kebun.
Tohir menuturkan, sementara ini warga merasa belum perlu membangun kembali kincir air yang hancur diterjang banjir karena sudah ada kincir bantuan pemerintah. Meskipun demikian, sebenarnya kincir yang hancur itu perlu diperbaiki sebagai cadangan kalau kincir bantuan pemerintah rusak. Selain itu, kapasitas listrik dari kincir bantuan pemerintah masih terlalu kecil.

Penghasilan sampingan

Keterampilan Tohir membuat kincir air tersebar luas. Kincir itu menjadi dewa penolong bagi daerah pedalaman yang mendambakan aliran listrik. Tohir telah membuat dua kincir air berdasarkan pesanan, yaitu berkapasitas 10.000 watt di Pagar Alam dan berkapasitas 3.000 watt di Kecamatan Jarai, Kabupaten Lahat, Sumsel.
Biaya untuk membangun satu kincir air sebesar Rp.12,5 juta untuk lokasi yang jauh dan Rp.6 juta untuk lokasi yang dekat. Untuk membangun kincir air di desanya sendiri ,Tohir tidak memungut bayaran asal warga mau bergotong royong.
Tohir menerima uang jasa Rp.2 juta dari keseluruhan biaya pembangunan kincir air. Uang itu dibagi rata untuk Tohir dan tiga orang yang membantu dia.
Kepandaian membuat kincir air telah diajarkan kepada beberapa warga desa Candi Jaya. namun, warga belum mampu menyerap keterampilan itu.
Tohir ingin kepandaian membuat kincir air bisa menjadi mata pencaharian utama, tetapi dia kekurangan modal. Pekerjaan utama sebagai petani kopi dengan luas kebun 2 hektar masih belum mencukupi kebutuhan hidup karena merosotnya harga kopi, dari Rp.15.000 menjadi Rp.10.000 per kilogram. Selain itu, kopi hanya dipanen satu tahun sekali.
Meskipun berpendidikan rendah, Tohir dengan keterampilan membuat kincir air mampu menerangi Desa Candi jaya dan desa-desa lainnya. Jika Indonesia memiliki banyak orang seperti Tohir, tentu masalah kekurangan listrik dapat diatasi dengan upaya warga sendiri.

Dikutip dari KOMPAS,KAMIS, 9 JULI 2009

Senin, 07 Juni 2010

Japuris, Kreatif dengan Akar Sirih

Awalnya adalah kebetulan. Akar lapuk yang terbawa air itu tiba-tiba menginspirasi Japuris Chan untuk berkreasi. Kisah yang melibatkan akar pohon itu lalu mulai bergulir hingga Japuris kemudian dikenal sebagai perajin akar.

DATA DIRI

Nama : Japuris Chan
Lahir : Batang Kapas, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 23 Desember 1965
Istri : Eva Yunida (39)
Anak : - Fauzul Azim (16)
- Zul Fadli (14)
- Chairul Azmi (10)
- Risfaldi (9)
- Abdul Hafis (16 bln)
Pendidikan : - SPG Painan
- D-2 universitas Terbuka Padang Pariaman
- Sedang menempuh S-1 Universitas Terbuka Padang Pariaman
Pekerjaan : - Guru Kelas V SD Negeri 17, Sipisang, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam,
Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
- Perajin akar sirih

Oleh AGNES RITA SULISTYAWATY

Tahun 2002, japuris melihat akar pohon yang tersangkut di badan sungai Batang Anai, Sumatera Barat. Namun, Japuris yang sehari-hari bekerja sebagai guru SD ini tidak langsung bereaksi. Dia hanya melirik akar pohon itu dari atas sepeda motor saat melintasi jembatan yang membentang di atas sungai tersebut.
Baru pada kali ketiga melintasi jembatan, Japuris tergerak untuk menghentikan sepeda motor di tepi jembatan. Dipandang-pandanginya akar itu. Niatnya pun bulat. Dia segera berbalik kerumah, lalu membawa gergaji saat kembali ke sungai. Akar itu dia gergaji dan dibantu seorang tukang ojek dibawanya akar pohon tersebut ke rumahnya di Dusun Pasa Usang, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Melihat akar lapuk di dalam rumah, Eva Yunida, istri Japuris, kontan berniat membuangnya. "Untuk apa barang lapuk macam ini? Lebih baik dibuang saja daripada memenuhi halaman rumah," kata Eva, mengenang masa itu.
Namun, Japuris berhasil meyakinkan istrinya agar tidak membuang akar itu. Ide kreatif untuk membuat meja pajangan semakin kuat dibenaknya. Dia melihat kayu lapuk itu bagaikan sosok perempuan yang tengah menari piring.
Maka, jadilah akar itu sebagai meja pajang. Benda inilah yang kemudian mengisi ruang pamer di Anai Resort. Selain itu, Japuris juga membuat dua benda lagi dari akar yang sama.
Setelah selesai membentuk akar untuk pertama kali, ide kreatif Japuris pada media akar rupanya masih terus membayang. Tak hanya menunggu akar yang terbawa hanyut air sungai, ia beberapa kali masuk keluar hutan untuk mencari akar yang bisa digunakan guna menyalurkan ide kreatifnya.
Periode 2002-2004 merupakan masa eksperimental bagi Japuris. Berbagai jenis akar telah dipotong dan dibawanya pulang untuk dikembangkan menjadi karya seni. namun, selama dua tahun itu, tak ada satu karya pun yang dia hasilkan.
Untuk itu, keluar masuk hutan yang berjarak 2,5 jam berjalan kaki, sering dilakukan Japuris. Di hutan, dia acapkali merenung sambil memandangi akar-akar pohon. Dia berusaha membayangkan kemungkinan karya yang bisa dihasilkan dari akar. Tak hanya tenaga dan waktu, tetapi Japuris pun tak sayang mengeluarkan uang dari koceknya untuk mengolah akar.

Benalu

Sampai suatu saat ia menemukan akar sirih sebagai medium yang paling pas untuk berkreasi. Akar sirih yang kerap disebut Liana itu, tergolong benalu yang bisa mematikan pohon yang sudah dililitnya. Akar sirih mempunyai akar sendiri. Bila bertemu pohon, tumbuhan ini akan segera tumbuhnya pohon. Namun, bila tak bertemu tanaman lain, akar sirih menjalar lurus saja diatas tanah.
Seusai mendapatkan akar sirih, Japuris lalu mencoba berbagai cara untuk mendapatkan perekat akar. Sejumlah percobaan juga ditempuhnya demi mendapatkan metode untuk mengeluarkan ,otif "batik" alami dari dalam kayu itu.
"banyak tetangga yang mengatakan, saya gila karena akar sirih ini belum pernah dijadikan media berkarya seni. Sejumlah eksperimen saya juga tidak menghasilkan satu produk pun yang bisa diperlihatkan. Tapi, saya tetap yakin dan terus bereksperimen," kata Japuris yang mengerjakan karya itu seusai mengajar.
Karya pertama yang dihasilkan Japuris membutuhkan waktu pengerjaan sampai tujuh bulan. Setelah seluruh metode pengerjaan akar dia kuasai, belakangan ia hanya perlu waktu sebulan untuk menyelesaikan aneka produk dari akar yang berusia berpuluh-puluh tahun itu.
Ia bisa membentuk lemari, seperangkat meja kursi, hingga tempat tidur dari akar sirih. Bila belum pernah melihat langsung sulit rasanya membayangkan mebel ini berbahan baku tumbuhan yang berdiameter 20-3- sentimeter.
Ia lalu menggunakan sebagian dari halaman rumahnya sebagai "studio". Ketika ditemui distudio yang disekat plastik dan beratapkan seng itu, Japuris tengah mengerjakan sebuah mimbar pidato.
Mimbar yang nantinya dilengkapi dengan pahatan burung garuda itu diharapkannya bisa menghiasi Istana Negara, Jakarta "Atau minimal, ya untuk kantor Gubernur Sumatera Barat," ujar Japuris yang untuk meengerjakan produknya itu dibantu dua sampai 10 orang. Mereka bertugas mulai dari menyurvei lokasi akar sirih dihutan, membawanya dari hutan ke rumah, sampai membantu mengerjakannya sampai berbentuk produk.
Ia tak bisa mematok target produksi karena pengerjaan akar sirih itu bergantung pada moda karyanyal dan ide yang bisa dia dapatkan. Japuris juga tak ingin sampai harus "kejar tayang" untuk memperbanyak produk. Harga karyanya berkisar dari puluhan juta sampai ratusan juta rupiah.

Kreativitas

Belakangan, setelah bergelut dengan akar, Japuris mempunyai keahlian lain, ia bisa menambal kayu-kayu kusen yang keropos dari serbuk akar. Dia juga menemukan lem dari getah akar.
Setelah melalui rangkaian percobaan, Japuris memastikan kekuatan kusen yang baru diperbaiki (dengan caranya itu) tak kurang kekuatannya dibandingkan kayu baru untuk menggantikan kusen.
"Padahal, biaya penambalan kusen dengan serbuk akar ini lebih hemat, hanya sepertiga dari biaya penggantian kayu kusen. namun, hasilnya tak kalah dari kayu baru," ujar Japuris yang berharap suatu hari nanti bisa membuat rumah dengan bahan baku utama dari akar tumbuhan ini.
Dengan keterampilan mengolah akar yang dimilikinya, Japuris dapat membayangkan pembuatan tiap detail rumah idamannya itu.
"Masalahnya, dana yang belum mencukupi," ujar Japuris yang bersama keluarganya tinggal di rumah dinas Komplek Perumahan SDN 02 Kayu Tanam, sekitar 60 kilometer dari Kota Padang, meskipun ia mengajar di SD itu pada 1990-2000, atau delapan tahun silam.
Tidak berbeda dengan situasi yang melingkupi pada umumnya perajin, Japuris pun menghadapi kesulitan untuk memasarkan produknya. Dengan bahan baku yang "khas" dan pengerjaan yang relatif lama, dia tak bisa terlalu menekan harga produk. Harga mebel atau asesoris ruangan buatan Japuris berkisar dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.
Apalagi sebagaian konsumen umunya tidak melihat produk Japuris sebagai sebuah karya yang memerlukan sentuhan pengerjaan tersendiri sehingga mereka merasa harga yang ditawarkannya terlalu tinggi.
"Sebagian orang kita belum bisa menghargai sebuah karya seni, hasil kerajinan tangan yang unik," kata Japuris, ayah dari lima putra ini.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 9 DESEMBER 2008



Minggu, 06 Juni 2010

Basuki, Melihat denganMata Hati

Basuki tak menyadari ketika kemampuan penglihatannya terus berkurang. awalnya ia mengalami miopia atau rabun jauh, hingga minus 5,5 pada kelas V SD. Setelah itu angka minus tersebut terus bertambah hingga minus 11 pada tahun 2002. Dua tahun kemudian matanya benar-benar tidak berfungsi. Ternyata apa yang dialami Basuki itu juga menimpa banyak anak-anak lain.

BASUKI

Lahir : Semarang, 10 April 1972
Istri : Evi S Handayani (37)
Anak : - Adzulatih 'Alal Mu'minina (13)
- Mohammad Salim Ridho (12)
- Latifah Putri Hening Hati (10)
- Zahrofiqulu Bina (8)
Pendidikan : - SMP Negeri 19 Semarang
- SMA Negeri 3 Semarang
- Pendidikan Fisika IKIP Semarang (kini Universita Negeri Semarang,
tak tamat)
- D-1 Institut Manajemen Komputer Akuntansi
Pekerjaan : - Pendiri Lembaga Sumber Daya Insani
- Reparasi dan perakitan komputer
- Penggagas dan Ketua Komunitas Sahabat Mata.

Oleh AMANDA PUTRI NUGRAHANTI

Dahulu, Basuki bercerita, ia tidak menyadari bahwa kelainan matanya akan berujung pada kebutaan. Secara bertahap, mata kirinya tidak berfungsi, kemudian diikuti mata kanan. Meski sudah dioperasi dan sempat dapat melihat, Basuki akhirnya harus kehilangan penglihatannya.
Pengalaman itu yang kemudian menggerakkan Basuki, warga Jatisari, Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah, untuk membantu anak-anak yang menderita kelainan mata sejak dini. seringkali orang tua atau guru tidak menyadari perubahan perilaku anaknya atau siswanya.
"Anak-anak yang suka menonton televisi terlalu dekat, misalnya, hanya disuruh menjauh, atau siswa yang suka maju kedepan ketika mencatat juga tidak begitu diperhatikan oleh guru. Padahal, masalah mereka bisa jadi lebih serius," kata Basuki di Kota Semarang, awal November lalu.
Atas dasar itulah, Basuki membentuk Komunitas Sahabat Mata di Kota Semarng. Komunitas ini sejak tahun 2007 menargetkan pembagian 1.000 kacamata untuk anak-anak. Dua tahun lebih berjalan, sudah 450 kacamata dibagikan di sekolah-sekolah untuk anak-anak yang memiliki masalah penglihatan, tetapi tidak mampu membeli kacamata.
Awalnya, ketika komunitas ini menawarkan bantuan kacamata ke sekolah-sekolah dengan mengirimkan surat, tidak ada satupun yang menanggapi.
"Mungkin mereka berpikir kami meminta sumbangan. Padahal tidak sama sekali, kami justru ingin membantu," tuturnya.
Setelah beberapa kali komunitas ini mengadakan pentas teater sebagai penggalangan dana, semakin banyak orang tahu tujuannya. Respons mulai bermunculan, tak hanya dari pemberi bantuan, tetapi mereka yang meminta bantuan pun semakin banyak.
Komunitas Sahabat Mata kemudian memiliki rumah sehat yang dapat didatangi siapa saja, selain 2net Solution Centre yang memfasilitasi aneka kebutuhan para penyandang tunanetra.Kebutuhan itu tak hanya kacamata, tetapi meliputi alat tulis, pendampingan di sekolah inklusi hingga kebutuhan komputer dan internet.

Ubah citra

Di rumah sehat, penyandang tunanetra dapat belajar berbagai hal, mulai dari soal kewirausahaan hingga belajar menggunakan internet. Jika selama ini penyandang tunanetra identik dengan tukang pijat atau pemusik, citra itu yang hendak diubahnya.
"Penyandang tunanetra harus mandiri, sama seperti teman-teman yang awas (memiliki penglihatan normal). Mereka juga harus bisa mengembangkan potensi yang dimiliki untuk bertahan, sama seperti orang lain," kata Basuki, yang hingga kini menerima pesanan komputer rakitan atau servis komputer di rumahnya.
Istrinya, Evi S Handayani, yang ikut membantu dalam 2net Solution Centre, tengah menampingi anak-anak yang ingin menjadi penyiar radio serta penulis novel. dengan peranti lunak tertentu (program jaws), akses informasi bagi para penyandang tunanetra kian terbuka.
Basuki bersyukur, saat kehilangan kemampuannya melihat, dia tidak diterima di sebuah panti di Temanggung karena sudah penuh. Mungkin, saja, tambahnya, kalau jadi masuk panti tersebut, dia tidak akan bisa mandiri.
"Model seperti panti atau semacam itu justru membuat para penyandang tunanetra menjadi sosok yang harus dikasihani. Padahal kami menginginkan perlakuan yang sama," ungkapnya.
Kerap terjadi, ketika Basuki memasuki sebuah toko untuk membeli sesuatu, penjualnya justru memberinya uang Rp.1.000,- Wwaktu berkunjung ke kantor pemerintah, dia malah diusir karena dikira hendak meminta sumbangan


Kesetaraan

Komunitas ini pun membangun kerjasama dengan berbagai pihak untuk mewujudkan kesetaraan itu. Ada dua sekolah dan satu universitas swasta di Kota Semarang yang bersedia menerima penyandang tunanetra, atau menjadi sekolah inklusi. Mereka tak dibedakan dalam proses pembelajaran. Ini sedikit demi sedikit membangun kepercayaan diri penyandang tunanetra.
Namun, pemerintah seperti tak serius dalam memperhatikan penyandang difabel. Untuk pendataan saja, saat Basuki bertanya jumlah penyandang tunanetra di Jawa Tengah, disebutkan sebanyak 78.000 orang pada 2007. Namun, tahun 2008 jumlahnya tiba-tiba menyusut menjadi 28.000 orang, lalukemana 50.000 orang penyandang tunanetra yang lain?
"Terlepas dari soal jumlah, bagi saya yang paling penting kita bisa berbuat sesuatu. Siapa saja yang ingin bergabiung, kami terbuka," kata Basuki, yang dilingkungan tempat tinggalnya ikut kegiatan ronda.
Setiap pemeriksaan mata di berbagai sekolah, tim permata (tim pemeriksa mata) memeriksa anak-anak dan hasilnya direkomendasikan kepada pihak sekolah. Dari rekomendasi ini sekolah memutuskan siapa yang layak mendapat bantuan.
Dana untuk pengadaan kacamata didapat dari para donatur dan hasil pementasan teater yang juga dimainkan oleh para tunanetra. Dengan adanya kacamata, setidaknya kelainan mata dapat diatasi sedini mungkin.
Ayah empat anak itu menjelaskan, ketika mata mengalami kelainan dan tak segera diatasi, daya akomodasi mata akan terganggu karena terus menerus dipaksa, akibatnya, kerusakan mata itu makin parah dan bisa berdampak kebutaan.
Dengan komunitas Sahabat Mata, Basuki ingin membuktikan bahwa tunanetra tak minta dikasihani. Mereka hanya ingin mendapat perlakuan setara, sama seperti orang "awas" yang lain. Komunitas ini juga menolong orang lain dalam keterbatasan mereka.
Sebaliknya, Komunitas Sahabat Mata juga mendapat bantuan dari teman-teman "awas" berupa Al Quran braille. Sebanyak 83 set Al Quran braille seharga Rp.1,65 juta per set telah disalurkan melalui komunitas ini.
Ke depan Basuki akan terus berjuang menolong anak-anak mendapatkan kacamata secara gratis. Jika target 1.000 kacamata tercapai, masih ada target berikutnya yang akan diraih.
Ia berharap, dengan demikian, anak-anak dapat menjaga matanya sejak dini. Basuki berpesan agar anak-anak tak terlalu banyak menonton televisi, bermain game, atau melihat hal-hal buruk dan tidak mendidik. Tak hanya mata fisik, mata hati pun harus dijaga.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 NOVEMBER 2009

Selasa, 01 Juni 2010

Lapian, 80 Tahun Nakhoda sejarah Kelautan

Selasa, 1 September ini, sejarawan Prof Dr Adrian Bernard Lapian genap berusia 80 tahun. Dalam usia senja, lelaki ini masih berbicara dengan jelas dan runut. Ia mampu mencari sendiri di rak bukunya beberapa pustaka dan majalah yang pernah memuat tulisan tentang dirinya. Salah satunya, Itinerario, jurnal sejarah maritim Belanda, yang lima tahun lalu memuat hasil wawancara dengannya.

Oleh MULYAWAN KARIM

Biodata

Nama : Adrian Bernard Lapian
Lahir : Tegal, Jawa Tengah, 1 September 1929
Pendidikan : - SD, SMP, SMA/AMS di Tomohon, Sulawesi Utara, lulus
"Algemene middelbare School" (AMS,1950)
- Fakultas Teknik Universitas Indonesia, jurusan Sipil (kini ITB), 1950-1953,
tak selesai
- Jurusan Sejarah, fakultas Sastra UI, 1956-1961
- Mendalami sejarah maritim di Universitas Leiden, Belanda, 1966
- Doktor ilmu sejarah Universitas Gajahmada, lulus 1978
Karier : - Pustakawan Biro Perancang Negara (kini Bappenas), awal 1950-an
- Wartawan "The Indonesian Observer", 1954-1957
- Kepala Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim, Markas Besar TNI
Angkatan Laut, 1962-1965
- Peneliti Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini LIPI), antara lain sebagai
Kepala Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan,
1957 sampai pensiun, 1994
- Dosen dan pembimbing kandidat doktor UGM, UI, dan Universitas
Sam Ratulangi
- Guru besar luar biasa UI, 1992
Penghargaan : - Bintang jasa Utama dari pemerintah Indonesia, 2002

Kecuali asam urat dan daya pendengaran yang dirasakannya menurun, Lapian relatif tak punya keluhan kesehatan serius. Ia biasa melakukan perjalanan sendiri ke Jakarta dari Tomohon, Sulawesi utara. Setelah pensiun sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1994, ia lebih banyak tinggal di kampung halaman.
Beberapa bulan lalu ia kembali tinggal di Jakarta guna menyiapkan penerbitan buku yang akan diluncurkan dalam acara peringatan ulang tahunnya ke 80-ini. Meski, ia sudah memercayakan penyuntingan naskah itu kepada penerbit.
"Mungkin mereka (penerbit) khawatir saya tak puas, jadi minta saya mengedit sendiri," katanya. Maklum, Komunitas Bambu, penerbitnya, dikelola mantan mahasiswa Lapian.
Acara peringatan ulang tahunnya bakal diisi peluncuran buku Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut:Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Buku ini adalah naskah disertasinya yang pernah diterbitkan menjadi buku pada 2001. Namun, ia tak puas dengan hasilnya.
Salah satu tesis yang dikemukakan Lapian adalah tentang bajak laut. Menurut dia, definisi yang hanya melihat bajak laut sebagai kriminal perlu dikoreksi. Ia mencontohkan Sir Francis Drake, petualang Inggris yang oleh bangsa Spanyol disebut pirate, perompak/bajak laut. Namun, pemerintah Inggris justru menganggap Drake sebagai corsair, orang yang diberi hak merompak sebagai tugas negara. Ia bahkan diberi gelar kehormatan Sir.
Kesimpulannya, seseorang disebut bajak laut atau corsair tergantung dari pihak yang bicara. Ini sama dengan mereka yang disebut teroris dan berkonotasi negatif, tetapi oleh pihak lain malah dianggap pahlawan.
Buku lain yang juga diluncurkan dalam acara yang sama yang digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta, petang nanti, adalah Kembara Bahari. Antologi esai Kehormatan 80 tahun Lapian ini didedikasikan untuk dia, dari para rekan dan mantan mahasiswanya yangmenjadi sejarawan dan budayawan Indonesia ataupun asing, seperti RZ Leirissa, guru besar sejarah UI, Pieter Drooglever, sejarawan Belanda, Ajip Rosidi, sastrawan ,dan sosiolog Melly G Tan.
Peluncuran kedua buku tersebut membangkitkan gairah Lapian. :Saya senang karena teman-teman ternyata tidak melupakan saya," ujarnya.

Tak ada duanya

Apapun bentuk acara peringatannya, Lapian adalah sosok peneliti dan akademisi Indonesia yang membanggakan. Keberadaannya lebih dari pantas untuk dirayakan. Ia. sejarawan yang lewat penelitian dan karya tulis, ikut mengharumkan nama bangsa di berbagai seminar dan lokakarya internasional.
Lebih spesifik lagi, Lapian adalah maestro di bidang sejarah maritim, sejarah kelautan, dan sejarah bahari. Sampai kini boleh dikata belum ada sosok yang mampu menandingi keempuannya itu, bahkan di Asia Tenggara.
Tak kurang dari begawan sejarah Indonesia, Almarhum Prof sartono Kartodirdjo, memuji Lapian setinggi langit. "Apa yang dilakukan Lapian dengan karyanya merupakan keberhasilan cemerlang. Ia sudah melakukan prinsip yang mengarah ke excellence. Caranya memegang dan menghayati prinsip ini dalam berkarya sebagai akademisi mengingatkan bahwa only the best is good enough," kata guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada itu.
Dibawah bimbingan Sartono, Lapian lulus dengan predikat cum laude dalam ujian doktor tahun 1978.
Adapun Anthony Reid, sejarawan senior dan peneliti utama Asia Research Institute, National University of Singapore, menilai Lapian sebagai sejarawan Indonesia yang tak ada duanya.
"tak ada sarjana Indonesia yang menunjukan keahlian sebagai sejarawan lebih baik dari Lapian," kata Reid, seperti dikutip di sampul belakang buku.
Lapian bukan ilmuwan yang hanya meneropong dari menara gading. Saat sebagian di antara kita baru belakangan sadar dan mewacanakan kurangnya perhatian bangsa kepada kebaharian, Lapian sejak 30-an tahun yang lalu mengingatkan pentingnya mengalihkan orientasi kehidupan bangsa dari darat ke laut.
Indonesia sebagai negara kepulauan, mengacu pada kata archipelago yang diterjemahkan menjadi nusantara. Terjemahan ini, menurut Lapian salah kaprah.
"Archipelago berasal dari kata arche yang artinya besar dan pelago yang maknanya laut, jadi, archipelago berarti laut besar, bukan kepulauan atau nusantara, kata yang sebetulnya bermakna pulau-pulau luar atau pulau-pulau diseberang laut," paparnya.
Penggunaan istilah nusantara menunjukan cara pandang bangsa yang lebih berorientasi kepada darat daripada laut.
Namun, tambah Lapian, kesadaran kebaharian sudah jauh lebih baik. Ia menunjuk adanya Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai bukti. "Saya senang karena makin banyak sarjana, termasuk sejarawan, yang berminat terhadap masalah kelautan."
Dia juga melihat semakin banyak buku sejarah kebaharian, termasuk Angkatan Laut, seprti buku yang ditulis sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI AL, Dan Toch Maar. Buku ini berisi pengalaman anggota TNI AL pertama yang dikirim ke Eropa untuk belajar di Sekolah tinggi Angkatan Laut Belanda tahun 1950-an.
Dalam seminar sejarah di jakarta pada 1998, Shahril Talib, guru besar sejarah University of Malaysia, untuk pertama kali menyebut Lapian sebagai "Nakhoda Sejarah Maritim Asia Tenggara". Sejak itu ia kerap disapa dengan julukan tersebut.
julukan nakhoda bagi Lapian tak berlebihan. Ia pelopor sekaligus pengembang utama disiplin sejarah kelautan Indonesia dan Asia Tenggara. Ia menentukan kemana biduk ilmu pengetahuan itu berlayar. Meski sejarawan maritim muda bermunculan, pengaruh Lapian tetap terasa.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 1 SEPTEMBER 2009