Senin, 30 Agustus 2010

Membebaskan Buta Aksara Al Quran

Melalui tulisan kaligrafi yang lahir dari kreativitas Ustadz Chumaidi Ilyas, umat Muslim terbebas dari buta aksara Al Quran. Tak banyak orang mengenal dia,tetapi tulisan kaligrafinya terus dicetak sejak tahun 1988 untuk pembelajaran di Taman Kanak-kanak Al Quran dan Taman Pendidikan Al Quran.

CHUMAIDI ILYAS

Lahir : Bantul, 15 Juli 1955
Istri : Siti Nur Khasanah (46)
Anak :
- Musfiroh
- Ahmad Ashof
- Ahmad Ahid
Pendidikan :
- SDN Putern I Trayeman Pleret, Bantul,lulus 1968
- MTs Negeri Wonokromo Pleret, Bantul, 1971
- Pondok Pesantren Jejeran, Bantul, 1974
- Pondok Pesantren Ki Ageng Pandanaran, Sleman, 1980
Kejuaraan antara lain :
- Juara I MKQ Umum tingkat Provinsi DIY, 1988
- Juara Harapan 1 MKQ umum tingkat Nasional, 1988
- Juara I MKQ umum tingkat nasional, 1991
- Juara Kaligrafi ASEAN, 1994
Pekerjaan :
- Dekorasi kaligrafi masjid
- Penulisan naskah kaligrafi diberbagai percetakan buku di Yogyakarta, Jawa Tengah,
Jawa Barat, dan Jakarta

Oleh MAWAR KUSUMA WULAN

Ketika almarhum KH As'ad Humam menciptakan metode praktis membaca Al Quran yang dikenal dengan metode Iqra, Chumaidi menjadi satu-satunya orang yang menulis kaligrafi buku iqra itu hingga kini. Meski tak mendapat royalti dari penerbitan buku iqra, ia mengaku puas karena karya kaligrafinya membebaskan umat dari buta aksara Al Quran.
Tak hanya buku iqra, tulisan kaligrafi Chumaidi juga dicetak dalam berbagai naskah keagamaan. Selain mengasuh Pondok Pesantren Al Muhsinuun, Bantul, dia juga menghiasi puluhan masjid di DI Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya dengan ornamen dekorasi kaligrafi. Beragam prestasi penulisan kaligrafi diraihnya termasuk menjuarai kaligrafi tingkat ASEAN.
Belajar kaligrafi secara otodidak, Chumaidi mulai membuat kaligrafi untuk beberapa penerbit di berbagai kota, seperti Yogyakarta, solo, dan Bandung, sejak tahun 1975. Kepiawaiannya menulis kaligrafi diberagam penerbit membuat As'ad tertarik menjalin kerjasama dengan Chumaidi untuk membuat buku iqra.
As'ad pendiri Penerbit Yayasan Angkatan Muda Masjid, memunculkan metode iqra pada 1988. Metode itu populer karena praktis dan mempermudah anak-anak bissa cepat membaca Al Quran. Sebelum ada buku iqra, anak-anak seusia Taman Kanak-kanak (TK) umumnya belum bisa membaca Al Quran.
Di bawah naungan Balai Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengajaran Baca Tulis Al Quran, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Penerbit Yayasan Angkatan Muda Masjid terus memproduksi buku iqra. Meski digempur pembajakan, penerbit ini masih rutin memproduksi minimal 5.000 buku iqra per hari, dengan harga jual Rp.1.500 per buku.
Tak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, permintaan dari beberapa negara seperti Singapura dan Brunei pun mengalir. Diperkenalkan pertama kali dari Yogyakarta, metode iqra bahkan ditetapkan sebagai kurikulum wajib di TK dan sekolah dasar di Malaysia sejak 1993.
"Khat-nya (cara menulis Al Quran) memang berbeda antara Indonesia dan Malaysia, tetapi tidak ada kesulitan dalam menulis kaligrafinya," kata Chumaidi.
Chumaidi pun beberapa kali membuat revisi di beberapa bagian dari enam jilid buku iqra yang ditulisnya. Namun, sejak 1997 tak pernah ada lagi permintaan revisi buku iqra.
"Untuk terhindar dari kesalahan penulisan kaligrafi itu susah. Tetapi, salahnya orang yang tahu dengan salahnya orang yang tidak tahu, itu lain," ujarnya tertawa.

Kecintaan mendalam

Ditemui di rumahnya Dusun Tambak, Wirokerten, Banguntapan, Bantul, DIY, pertengahan bulan Ramadhan, Chumaidi menunjukkan kecintaan yang mendalam pada seni kaligrafi. Hampir seluruh bagian dinding rumahnya dihiasi tulisan kaligrafi berpigura. Buku-buku agama yang dilengkapi tulisan kaligrafi karyanya menumpuk di lemari yang juga memajang beberapa piala kejuaraan lomba kaligrafi.
Selain karena hapal Al Quran, kepiawaiannya menulis kaligrafi terdongkrak oleh seringnya dia mengikuti perlombaan dari tingkat DIY hingga internasional. Pertama kali mengikuti lomba kaligrafi atau Musabaqah Khattil Quran (MKQ) tingkat nasional pada 1988, Chumaidi meraih gelar juara. Pada 1991 ia menyabet juara pertama semua kategori kejuaraan, yaitu naskah, dekorasi, dan hiasan mushaf.
Setelah menjuarai lomba kaligrafi tingkat ASEAN tahun 1994, Chumaidi tak pernah lagi mengikuti kejuaraan kaligrafi. Ia lebih banyak berkecimpung sebagai pelatih kaligrafi untuk kejuaraan kaligrafi yang digelar di tingkat nasional. Ia telah enam kali melatih finalis kejuaraan kaligrafi tingkat nasional pada 1994-2010. Di tingkat DIY, Chumaidi menjadi Hakim MKQ sekaligus pelatih kaligrafi.
Tak bisa menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup dari penulisan kaligrafi di penerbit buku yang dihargai hanya perlembar karya kaligrafi tanpa royalti, Chumaidi lebih banyak mendapat penghasilan dari pembuatan dekorasi kaligrafi masjid yang dia kerjakan bersama anak-anaknya..
Dekorasi di puluhan masjid, seperti Masjid As Syakur di gamping, Sleman, atau Masjid Prenggan di Kota Gede merupakan karya Chumaidi. Jika ada permintaan pembuatan tulisan kaligrafi dia bisa melembur pekerjaan itu dari siang sampai malam hari.
Chumaidi kini sedang sibuk menyelesaikan penulisan kaligrafi Al Quran yang ditulis per juz, pesanan Penerbit Angkatan Muda Masjid. dari rencana awal hanya menerbitkan 6 juz seperti buku iqra, pesanan berkembang menjadi sepertiga Al Quran atau 10 juz. Saat ini pesanan berkembang lagi menjadi seluruh (30) juz Al Quran, dan baru ia kerjakan hingga 16 juz.
Untuk keperluan penerbitan buku, Chumaidi menulis kaligrafi huruf Arab dalam lembaran kertas sebelum kemudian dipindai, dicetak, dan diperbanyak. Walaupun teknologi penulisan komputer sudah berkembang, tulisan kaligrafi tangan Chumaidi sangat diminati dan memiliki penggemar fanatik.
Hidup sederhana di kawasan pedesaan yang dikelilingi areal persawahan dan perkebunan tebu, belasan generasi muda dari perguruan tinggi meupun sekolah menengah turut menimba ilmu pendidikan Al Quran dengan menjadi santri di rumah Chumaidi sejak tahun 1998. Karena keterbatasan tempat, beberapa santri putri rela tidur di dapur sembari belajar agama.
Dengan metode iqra, para siswa diajak belajar membaca kata, bukan pengenalan huruf . Mereka dapat lebih cepat membaca lafadz per lafadz, lalu ayat per ayat. Sebelumnya, pengajian anak-anak lebih banyak menggunakan metode Baghdadiyah yang dimulai dengan pengenalan huruf.
Metode iqra dimulai dengan pengenalan bacaan huruf hijaiyah fathah, membedakan bacaan huruf yang mirip bentuk dan bunyinya, hingga pengenalan beragam bacaan.
"Melihat orang belajar iqra, saya bersyukur karena tulisan kaligrafi ini bisa menolong orang agar mudah membaca Al Quran," ujar Chumaidi.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 31 AGUSTUS 2010.

Minggu, 29 Agustus 2010

Asvi Menggapai Kebenaran Sejarah

Hari-hari akhir bulan September menjadi istimewa bagi Asvi Warman Adam (55). Obsesinya menguak kebenaran sejarah, diantaranya tentang Peristiwa 1965, lagi-lagi memperoleh momentum. Dia ajak pemerintah, sejarawan, dan masyarakat berpikir ulang tentang narasi-narasi masa lampau, utamanya tragedi 1965.

BIO DATA

Nama : Asvi Warman Adam
Lahir : Bukittinggi, 8 Oktober 1954
Istri : Nuzli Hayati (52)
Anak : Tessi Fathia Adam (23)
Pekerjaan : Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI
Pendidikan : Doktor Sejarah dari Ecole des Hautes etudes en Sciences Sosiales, Paris (1990)
Karier : Aktif berceramah, menulis artikel tentang rekayasa Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban, dan menulis setidaknya tujuh buku tentang sejarah kontemporer, terakhir ("Sarwono Prawirohardjo, Pembangun Institusi Ilmu Pengetahuan di Indonesia"' LIPI, 2009)
- Mantan anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003

Oleh ST SULARTO

Mengenai kemungkina pelanggaran berat HAM, sekitar Peristiwa 1965, menurut ahli peneliti utama LIPI itu, peristiwa Pulau Buru sebagai peristiwa paling jelas. Tempatnya jelas, tahun terjadinya jelas, pelakunya jelas, serta korban dan jumlahnya jelas. dengan tujuan mengamankan Pemilu 1971, lebih dari 10.000 orang yang digolongkan tahanan politik 1965 golongan B dimasukkan ke kam kerja paksa lebih dari 10 tahun. Stigma buruk diterapkan kepada mereka, selain pembunuhan, penangkapan tanpa proses dan pengadilan.
Kasus Pulau Buru merupakan mata rantai peristiwa sekitar 30 September 1965. Selama bertahun-tahun narasi tentang peristiwa itu hanya satu versi, yakni versi Orde Baru, bagian dari upaya justifikasi kekuasaan dan pengumpulan kekuatan. Justifikasi itu diawali dengan pembunuhan besar-besaran setelah 1 Oktober 1965, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari setengah juta orang. Penciptaan narasi tunggal disusul proyek Pulau Buru. Gugatan yang muncul dibungkam.
Seiring deru reformasi tahun 1998, masyarakat mulai kritis dengan narasi dan pencitraan versi tunggal. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar luas setiap akhir bulan September digugat. Menurut dia, tidak lagi diputarnya film itu secara luas merupakan satu keberhasilan. "Inilah pertama kali terbuka munculnya upaya meluruskan sejarah Peristiwa 1965. Disusul kemudian berbagai versi yang ditulis para korban dan analisis-analisis yang sebelumnya tidak terkuak kepermukaan," kata Asvi Warman Adam.
Asvi mengutip sejarawan Inggris, EH Caar, bahwa kebenaran sejarah gugur manakala ditemukan data baru. Munculnya narasi-narasi baru itu adalah bagian dari ajakan menemukan dan meluruskan. Keputusan politik, katakan ketetapan MPR, adalah produk politik bagian dari justifikasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika data baru semakin banyak ditemukan, versi tunggal perlu ditinjau ulang, kalau perlu, ditindaklanjuti dengan rehabilitasi nama baik dan permintaan maaf dari pemerintah.

Sampel yang representatif

demi pelurusan sejarah dan hapusnya pembohongan, Asvi tidak hanya memeimpikan sekita Peristiwa 1965 atau peristiwa lain, seperti Peristiwa Mei 1998, tetapi bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Tidak perlu semuanya, tetapi dipilih peristiwa dan masalah sebagai sampel yang representatif. Misalnya kurun 1945-1955, dan seterusnya, sehingga diperoleh sekitar 10 kasus.
Asvi setuju bahwa demi alasan politis ada bagian-bagian peristiwa yang ditutupi, tergantung dari perspektif masing-masing. Namun, kalau narasi itu adalah kebohongan, itu perlu dibongkar. Taruhlah kisah tentang Serangan Oemoem 1 Maret dengan cara menghilangkan peran tokoh lain. Itu kebohongan sejarah.
Awal ketertarikannya ke sejarah Peristiwa 1965 dimulai pada satu peristiwa pada tahun 1999. Dia diminta ceramah oleh Yayasan Hidup baru,sebuah yayasan yang mengurusi bekas tahanan politik 1965. "Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya terharu ketika mereka, bapak, ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang recehan. hasilnya sekitar Rp.25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah saya," kenang Asvi.
Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965.
Dari tujuh buku yang sudah ditulisnya, menulis Peristiwa 1965 tidak hanya berkenaan dengan peristiwa satu malam tanggal 30 September, tetapi juga penangkapan, penahanan, perburuan masal yang memakan korban lebih dari setengah juta orang, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, serta pembuangan paksa 10.000 tapol ke Pulau Buru tahun 1969-1979. Hal itu termasuk stigma dan diskriminasi jutaan orang keluarga korban Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa itu disebutnya "pancalogi"' sebagai rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S (Asvi Warman Adam, 1965, orang-orang di balik tragedi, Galangpress, 2009).
Bagi Asvi, Peristiwa 1965 merupakan tanda atau pembatas zaman. Dari banyak peristiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia, peristiwa 1965 merupakan pembatas zaman dalam berbagai bidang. Perubahan politik yang besar terjadi dalam bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara non blok dan dunia ketiga menjadi "murid yang baik" AS. Kebijakan ekonomi berdikari menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergaantung pada modal asing. Tidak ada kritik, tidak ada polemik, semua dalam satu versi, yakni versi pemerintah.
Peralihan dari profesi wartawan (3 tahun sebagai wartawan) ke peneliti/sejarawan tidak kecil peranan yang diberikan Prof Dr AB Lapian. Dalam status belum setahun bekerja di LIPI, setelah keluar dari majalah sportif tahun 1983, Asvi memperoleh tawaran mengajar bahasa Indonesia di Paris, Perancis, sekaligus beasiswa. Dia perlu memperoleh rekomendasi pimpinan LIPI. Lapian bertanya,"Rekomendasi saya tulis dalam bahasa Inggris, Perancis, atau Indonesia?" Akhirnya rekomendasi ditulis dalam bahasa Indonesia, menerakan bahwa Asvi boleh ke Paris mengajar sekaligus belajar. "Nah itulah titik balik profesi saya," Gelar doktor ilmu sejarah pun diperolehnya dengan disertasi tentang sejarah Vietnam.
Dibenak Asvi, dia memimpikan narasi sejarah dibebaskan dari kebohongan-kebohongan. Biarlah peristiwa itu sendiri bicara tentang sejarahnya! Menggapai kebenaran sejarah? Yaaah......Asvi tertawa lepas!

Dikutip dari KOMPAS , RABU, 30 SEPTEMBER 2009

Jumat, 27 Agustus 2010

Keuletan Gabriela Uran

Dibalik sosoknya yang tampak ringkih, Gabriela uran menyimpan buncahan energi yang mengubah kekeringan menjadi kesuburan dan skeptisisme menjadi keyakinan akan perubahan.

GABRIELA URAN

Lahir : Flores Timur, 26 Mei 1966
Pendidikan : S-1 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa
Cendana
Pengalaman Kerja :
- 1991-1997; Yayasan Tanahnua (YTN)
- Sejak 1999; Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines)
- Mengikuti berbagai pelatihan, seminar, dan lokakarya serta menjadi narasumber dan fasilitator
berbagai lokakarya menyangkut pemberdayaan masyarakat desa

Oleh MARIA HARTININGSIH

"Air bersih mengubah banyak hal secara perlahan," ujar Ela, begitu ia disapa, pada suatu siang di kantornya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Tak mudah mengubah kondisi yang lahir dari tradisi bahwa perempuan hanyalah "pelengkap penderia". Di luar tradisi belis (mahar) saat perempuan hendak menikah di Manggarai, "perempuan tak dapat hak waris, tetapi harus ikut bertanggung jawab terhadap kebutuhan saudara laki-lakinya," ujar Ela. Tradisi pula yang melahirkan pesta keluarga dan sosial yang sedikitnya empat kali setahun dan berpotensi mengurs simpanan keluarga.
Posisi tawar perempuan yang secara umum rendah memperlihatkan kenyataan yang berpunggungan. Salah satunya kondisi menetap rawan gizi pada anak, sementara konsumsi rokok laki-laki di satu desa mencapai Rp.1,3 miliar setahun.
"kami ajak perempuan menghitung belanja rumah tangga mereka per hari. Ini adalah bagian dari kerja pemberdayaan," ujar Ela, nakhoda Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines), yang bekerja di akar rumput untuk pemberdayaan petani miskin, khususnya perempuan.

Peran perempuan

Perubahan berawal saat Yakines bekerja sama dengan organisasi non pemerintah dari Yogyakarta, memulai pembangunan sarana air bersih di empat kampung di Manggarai. Persiapan sosial dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya diskusi dengan ketua adt setempat, seperti Tua Golo.
"kami sepakat, kalau mau ada pembangunan sarana air bersih, Ketua Organisasi Pengelola Air atau OPA, wajib perempuan. Kalau laki-lakinya tidak mau, kami cari kampung yang mau perempuan jadi ketua OPA.
masuknya perempuan dalam aktivitas vital di kampung telah merobek ruang kebisuan yang diciptakan secara sistematis oleh budaya. "Dulu, kalau ada rapat di rumah ketua adat, yang boleh bicara hanya laki-laki, sekarang rapat di rumah gendang tentang air, perempuan yang memimpin, mereka bicara lantang."
Proses ini membedakannya dengan proyek air bersih yang gagal sebelumnya karena tak ada organisasi pengelola air. OPA tak hanya mengurus soal teknis, tetapi juga berperan dalam perubahan perilaku. OPA juga menyentuh soal krusial lain, seperti kesehatan ibu dan anak, gizi anak dan partisipasi perempuan. "Melalui OPA, perempuan memperlihatkan potensinya sebagai agen perubahan," kata Ela.
Air bersih menggerakkan warga petani yang mau mendapatkan air bersih harus aktif daam kegiatan lumbung pangan, lumbung padi, dan lumbung kebun, yang digagas Yakines bersama organisasi internasional untuk pemberdayaan petani miskin. Mereka kembali menghidupkan budaya melindungi mata air dengan menanam pohon pengikat air dan wajib tanaman pangan dengan benih lokal.
"kalau dulu upacara seperti ini dipimpin laki-laki dan hanya laki-laki yang boleh ikut, sekarang masih dipimpin laki-laki, tetapi perempuan ikut disitu," ujar Ela.

Sempat patah

Strategi pemberdayaan yang ia lakukan lahir dari pengalaman panjang yang juga menempa Ela menjadi sosok kuat dan tak mudah kompromi. Begitu lulus kuliah, Ela yang lahir dan tumbuh di lingkungan petani di Flores Timur langsung bekerja di yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan petani.
Sebagai calon pegawai, Ela diuji dengan melakukan survei masyarakat di Tana Ai Sikka, Flores Timur. "Yang menguji saya para petani di situ," ungkapnya.
Ia menempuh masa percobaan sembilan bulan sebelum menjadi petugas lapangan untuk pemberdayaan petani di Sumba Timur.
Tak hanya lahan kering kerontang dan tranpsortasi yang sangat sulit, tetapi waktu itu juga ada isu SARA. Warga disitu kan memeluk agama lokal," kenangnya.
Saat itulah Ela muda merasa sangat patah. "Saya ingin pulang, daripada hidup susah di situ. Jarak rumah ke rumah antaara 5 sampai 6 kilometer. Saya berjalan sendiri membawa linggis dan menjinjing benih tanamaan terasering untuk konservasi. Kalau lapar, ada mangga muda di tengah padang, itu yang dimakan, kalau haus, cari air disungai, dibersihkan pakai daun, langsung diminum,"
Ia juga pernah diusir, " Mereka bilang kami hidup di belakang ekor ternak, kau di Flores hidup dibawah pohon kopi. Kalau kau mau kerja, kerjalah sendiri,"padahal, soal kerja bersama itu sudah disepakati di gereja.
Ela pergi membawa benih dan linggisnya mencari petani yang mau bekerja bersamanya. "Akhirnya ada juga yang mau. Setelah memetik hasilnya, satu kampung ikut, saya mulai melakukan pemberdayaan pada perempuan,"
Ia terus bekerja saat hamil, sampai sehari sebelum melahirkan, supaya bisa mengambil cuti tiga bulan. bayinya yang masih menyusui ikut keliling bersamanya sambl memikul benih. "Waktu usianya 10 bulan, anak saya pernah jatuh, rupanya masuk kelubang besar di rumah panggung kami,"enang ibu dua anak ini. "Saya cari tidak ketemu , ternyata ia ada di kandang babi dibawah rumah panggung, sekarang ia punya perhatian besar keepada orang susah. Ia selalu mengingatkan, hidup harus berbagi, tidak boleh menang sendiri. tampaknya pengalaman masa kecil itu sangat memengaruhi dia."

Proses panjang

Ela meninggalkan yayasan itu tahun 1999 sebagai supervisor kegiatan wanatani dan Kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam untuk pertanian berkelanjutan dan organisasi kelompok tani di Sumba Timur.
Pengalaman sulit selama tujuh tahun membuatnya dikenal sebagai penyuluh pertanian hutan (agroforestry) dan fasilitator partisipatory rural appraisal (PRA) yang andal, membuatnya sempat menjadi konsultan lembaga internasional bidang pemberdayaan masyarakat desa.
Sampai hari ini Ela tak lelah bekerja di lapangan. Ia sadar, kerja pemberdayaan masih sangat panjang karena upaya kemajuan selalu berhadapan dengan segala upaya untuk menariknya kebelakang. Relasi-relasi kuasa selalu menjadi wilayah ketegangan.
Pemahaman itulah yang menyebabkan ela tak enggan beradu argumentasi dengan siapa saja, termasuk penguasa, khususnya dalam soal aktivitas pertambangan yang masif.
"Kita bekerja menyelamatkan mata air tak hanya untuk pertanian, terutama untuk menyelamatkan kehidupan. Sementara aktivitas pertambangan yang masif menghancurkan mata air. Ini bagaimana?"

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 27 AGUSTUS 2010

Rabu, 25 Agustus 2010

Penyelamat Hutan di Lereng Wilis

Penjarahan kayu tahun 1998 membuahkan puluhan hektar lahan kritis di kawasan lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ini menjadi sumber bencana banjir dan longsor serta matinya sumber air dan sumber ekonomi masyarakat. Namun, berkat kerja keras Sutaji, bencana berhasil dihalau dan hutan pun kembali menghijau.

SUTAJI

Lahir : 15 Oktober 1960
Istri : Darsih (45)
Anak : Eny Sumarti (24), Yogi Subroto (15)
Penghargaan :
- Terbaik I Penyelamat Lingkungan Provinsi Jatim tahun 2010
- Terbaik I Penyelamat Lingkungan Kabupaten Nganjuk
- Juara harapan I Nasional Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat tahun 2009
Pencapaian :
- Penyuluh Kehutanan Swadaya Mayarakat, 2004-kini
- Ketua Forum Peduli Lingkungan Kabupaten Nganjuk, 2002-kini
- Anggota Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Brantas
- Ketua Kelompok Tani Sidodadi, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk

Oleh RUNIK SRI ASTUTI

Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, sedikitnya 61 hektar kawasan hutan yang gundul akibat euforia kebablasan para penebang pohon di kawasan hutan lindung ataupun hutan produktif telah menjadi rimbun kembali. Bahkan, puluhan hektar tanah tegalan dan pekarangan disulap menjadi lahan produktif konservasi yang berfungsi sebagai penyangga keberadaan hutan.
Kemakmuran pun terlimpah tidak saja bagi masyarakat di sekitar hutan, tetapi mengalir jauh hingga radius ratusan kilometer menyusur aliran Sungai Widas dan bermuara pada Sungai Brantas. Ini melintasi separuh wilayah Provinsi Jawa Timur.
Lebih dari 40 sumber mata air dihaasilkan dari kegiatan penyelamatan hutan itu. Air dari mata air tersebut bisa mengairi ribuan hektar sawah di sekitarnya. Sumber mata air itu juga menghasilkan pesona wisata air merambat Roro Kuning yang keindahannya memikat wisatawan.
Upaya penyelamatan lingkungan itu dimulai oleh petani dari Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar itu. Tanpa bantuan dan hanya berbekal sedikit ilmu pengetahuan, ia berupaya menghentikan kegiatan perambahan hutan.
Sutaji harus berhadapan langsung dengan perambah hutan yang tak lain tetangga dan saudaranya sendiri. Dimata Sutaji, warga hanya korban dari iming-iming uang dan pekerjaan yang dijanjikan oleh bos kayu dari luar kota.

Memberi contoh

Sutaji sedih ketika membayangkan bagaimana warga desa jika kawasan hutan telah habis dibabat? Tak hanya pekerjaan yang hilang, lingkungan tempat tinggal mereka yang berbatasan langsung dengan hutan pasti juga hancur akibat banjir atau tebing yang longsor.
Karena keprihatinan itulah, anak petani desa ini bergerilya dari satu orang ke orang lain, dari satu rumah ke rumah lain untuk mengampanyekan penghentian penebangan hutan dan mengoordinasi warga mengusir bos kayu yang hanya memanfaatkan tenaga dan kebodohan masyarakat untuk kepentingan sendiri.
Awalnya Sutaji, mendapat penolakan keras. Ia dicemooh. "Apa anakmu bisa dikasih makan kayu?" kata Sutaji menirukan ucapan pamannya sendiri.
Namun, dia tak menyerah. Ia justru tercambuk untuk berbicara pada setiap kesempatan, dari acara kumpul petani di sawah sampai pada pertemuan perangkat desa.
Hasilnya tidaklah mengecewakan. Lambat laun kesadaran warga mulai terbangun. Tanpa mau kehilangan momentum yang luarbiasa mengharukan itu, Sutaji langsung memberikan contoh dengan menanami kembali kawasan hutan yang gundul.
Petani yang kehidupannya sendiri kala itu masih susah, rela menyisihkan waktu, tenaga, dan biaya dengan menyediakan ribuan bibit tanaman untuk ditanam di hutan. Ada pohon jati, sengon, mindi, cengkeh, trembesi, mangga, rambutan, dan avokad.
Pada 2000, Sutaji sempat meminta bantuan bibit kepada Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan, namun, permintaannya ditolak.
Ditengah perjalanannya menghijaukan kembali kawasan hutan, tidak semua tanaman yang ditanam Sutaji tumbuh maksimal. Beberapa diantaranya bahkan mati. ia pun kemudian menyadari bahwa butuh pengetahuan tentang tanaman yang cocok untuk kawasan hutan yang masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Kediri itu.

Tingkatkan kesejahteraan

Ketua Kelompok Tani Sidodadi, Desa Bajulan, ini lantas melobi sejumlah instansi pemerintah agar diikutkan pelatihan mengenai tanaman. dari pelatihan itulah Sutaji mendapatkan pengetahuan tentang jenis tanaman dan cara bercocok tanam di kawasan hutan.
Sutaji lalu mengajak petani membuat sistem persawahan terasering di lereng-lereng pegunungan yang curam untuk menahan aliran air yang sangat deras pada musim hujan.
Setelah menyelamatkan hutan, ayah dari dua anak ini kemudian berpikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang tidak memiliki lahan pertanian produktif. Caranya, antara lain, dengan memanfaatkan hutan untuk pertanian, tanpa mengubah, apalagi merusak fungsi hutan itu sendiri.
Misalnya, menanam yanaman perkebunan yang bernilai ekonomis dibawah tegakan tanaman inti. Mereka harus cermat memilih jenis tanaman karena tidak semuanya bisa berkembang di bawah paparan sinar matahari yang kurang dari 100 persen.
Sejauh ini yang sudah menghasilkan adalahtanaman kopi, kakao, umbi porang, dan pohon atsiri. Hasil tanaman perkebunan itulah yang diambil masyarakat untuk menghidupi keluargamereka. Sedangkan hasil tanaman hutan menjadi milik Perum Perhutani.
Selain bertani, sebagian masyarakat juga mendapat nilai tambah keekonomian dari kawasan wisata Roro Kuning yang mengandalkan pesona hutan dan air terjunnya. ada yang menjadi penjaga loket, pedagang kaki lima, dan petugas pengelola lainnya.
Terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat telah mencegah eksodus generasi muda mencari pekerjaan kekota besar, bahkan ke luar negeri. Kesejahteraan masyarakat pun meningkat, di mana salah satu indikatornya dilihat dari kondisi rumah dan taraf pendidikan anak-anak.
Seperti halnya kelestarian hutan yang perlu dijaga, semangat untuk melestarikan hutan juga perlu dipupuk dan diwariskan kepada generasi muda. Untuk masalah yang satu ini, Sutaji merintisnya melalui kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 26 AGUSTUS 2010

Senin, 23 Agustus 2010

Lulut Sri Yuliani dan Batik Mangrove

"Daunnya jangan dibuang," kata Lulut wanti-wanti kepada seorang pengunjung Pameran di Universitas Kristen Petra Surabaya, Jawa Timur, awal Oktober lalu. Beragam daun mangrove yang mulai kering itu tetap berguna. Lulut bisa menyulapnya menjadi pewarna batik.

LULUT SRI YULIANI

Lahir : Surabaya, 24 Juli 1965
Suami : Budiono Halim
Anak : Nadia Chrissanty Halim (10)
Pendidikan :
- SDN Karya Dharma II Surabaya, lulus 1976
- SMPN XII Surabaya, lulus 1980
- SPG Kristen Bersubsidi Pirngadi Surabaya, lulus 1983
- S-1 Bahasa Jawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Surabaya, lulus 1987
- S-2 Manajemen Sumber Daya Manusia Magister Manajemen STIE Mahardika, Surabaya,
lulus 2004

Oleh NINA SUSILO

Tidak hanya daunnya, hampir semua bagian dari berbagai jenis mangrove yang tumbuh di sekitar Kedung Baruk dan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, bisa dimanfaatkan Lulut. Bahkan, buah bogem (sonneratia caseolaris) yang patah sebelum matang dan tidak bisa dibuat sirup serta ampas buah yang sudah dioleh menjadi sirup pun masih bisa diproses. Sisa buah mangrove itu kemudian dia ramu dengan bahan-bahan lain menjadi sabun cair alami.
Lulut memang tidak bisa diam. mantan aktivis karang taruna itu juga mengajar tari dan kesenian di sekolah, mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas.
Baru setelah menikah dan pindah ke Wisma Kedung Asem Indah di Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut,pada tahun 1989 aktivitas menari dia kurangi ssampai benar-benar berhenti pada tahun 1996. Aktivitasnya bergeser, dia mengurus lingkungan.
"Rungkut waktu itu gersang sekali, jadi saya mulai saja dengan menghijaukan rumah sendiri," kata perempuan yang sejak kecil gemar memancing dan dekat dengan alam itu.
Penghijauan ditularkan ke tetangganya. jadilah Lulut senang membawa bibit tanaman kemana-mana. Ketika ada tetangga menginginkan, dia memberikannya. Ia pun menjadi kader sekaligus Ketua Forum Peduli Lingkungan Kecamatan Rungkut. Kegiatan kader lingkungan ini menghasilkan bakteri antagonis composting yang bisa menjadi pupuk cair, mempercepat pengomposan, dan menghilangkan bau bangkai.

Sirvega dan batik seru

Lulut juga mencoba membuat sabun alami dari buah-buahan mangrove. Pelatihan yang diadakan pemerintah memberinya pengetahuan. Namun,resepnya tetap harus dicari dari berbagai referensi dan eksperimen.
Setelah setahun mencoba-coba, pada 2006 Lulut dan kaader lingkungan sekitarnya mulai memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujuba, lidah buaya, dan lerak. Adapun buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) diolah menjadi sabun untuk mencuci piring, cuci tangan, mencuci kendaraan, dan sampo.
Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.
Tahun ini Lulut mendesain pakem batik mangrove. Sebanyak 44 desain seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya (seru) dia siapkan. Semua mengambil bentuk beragam mangrove, mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta mahluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Setiap motif dilengkapi nama jenis mangrove yang spesifik, baik dalam nama latin maupun nama daerah dan motif tambahannya.
Motif tanjang putih, misalnua, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif pohon lengkap, dari akar, daun, dan tunas yang menjulur, menjadi motif utama dikelilingi jajaran bunga. Motif Bruguiera cylinelrica ini berselang seling dengan motif bunga Rhizophoraceae.
Motif mange kasihan beda lagi. Gambar utamanya adalah tumbuhan mange kasihan (Aegicera floridum) dikelilingi hiasan bunga Myrsinaceae. Selain itu gambar kepiting, ikan, dan udang memberi nuansa pesisiran pada motif itu.
Supaya sesuai karakter Suroboyoan yang apa adanya dan terbuka, teknik membatiknya pun tak selalu menggunakan canting. Sebagian dilukis dengan kuas. Maka, batik mangrove Lulut terlihat bergaris lebih tebal dan kuat.
Pewarnanya dia buat sendiri dari berbagai bagian mangrove, ditambah bahan lain. Warna merah, misalnya, dibuat dari caping bunga dan buah bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, ia menggunakan getah nyamplung, kunyit, dan batu gambir. Ketika bahan-bahan pewarna alami itu mulai mengendap, Lulut akan mengolahnya lagi supaya bisa digunakan kembali.
Selain menggunakan pewarna alam, batik mangrove yang diciptakan Lulut bersama perajin di Kedung baruk sejak Juli 2009 bisa dikatakan eksklusif. Sebab, setiap perajin mengatur komposisi desain sendiri. Lulut hanya menyiapkan pakemnya.
"Saya ingin setiap karya itu orisinal, dan mengajarkan supaya ibu-ibu perajin tak menjiplak," kata Lulut.
Ketika mengajar menggambar, dia kerap mendapati gambar seragam, seperti pemandangan dengan dua gunung, matahari, dan sawah, atau gambar seragam vas dengan dua tangkai bunga.
Perkumpulan perajin batik mangrove yang berpusat di tempat tinggal Lulut, Wisma Kedung Asem Indah, diberi nama Griya Karya Tiara Kusuma. Maksudnya, dari rumah semua bisa berkarya mengharumkan nama bangsa dan memakmurkan keluarga.
Lulut sudah mendampingi ibu-ibu perajin di enam kelurahan di Rungkut. Di tiga kelurahan, yakni Kalirungkut, Wonorejo, dan Kedung Baruk terdapat 60 perajin batik. Jika perajin di Kedung Baruk menggunakan pewarna alam, perajin di dua kelurahan lain menggunakan pewarna kimia.
Proses pembuatan batik dengan pewarna kimia sedikit lebih mudah, hanya memakan waktu seminggu untuk selembar batik. Sebaliknya, pembuatan selembar batik dengan warna alam memerlukan waktu sebulan.
Batik mangrove adalah salah satu batik khas Surabaya. Sebelumnya dikenal batik bermotif Sawunggaling dadn Suroboyo. Untuk mengenalkan batik mangrove yang diciptakannya, Lulut mengikuti pameran, baik di Surabaya, Jakarta, maupun di luar negeri. Dia selalu siap membawa contoh kain batik mangrove, sabun sirvega, dan contoh buah, daun, dan bunga beragam jenis mengrove.
satu-satunya kendala dalam pengembangan batik mengrove adalah permodalan. untuk membuat contoh batik dari 44 motif itu,Lulut memerlukan dana sekitar Rp.40 juta.
Dari sisi perajin, dia mengatakan relatif tak ada masalah. Rencananya, tambah Lulut yang sejak tahun 2009 menjadi pendamping Usaha Kecil Menengah Dinas Tenaga Kerja Surabaya, akan kembali dilangsungkan pelatihan membatik kepada lebih banyak ibu di Kedung baruk. Dengan demikian semakin banyak orang yang bisa membuat lingkungan terjaga dan rumah tangga bisa makin sejahtera.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 5 NOVEMBER 2009

Rabu, 18 Agustus 2010

Ningsih dan Pendidikan Baca-Tulis

"Bila ada umur panjang, izinkanlah aku berbagi makanan. Bila ada umur panjang, izinkanlah aku berbagi pakaian. Bila saat ini dipandang hina karena keadaanku, izinkanlah suatu saat aku mempunyai sekolah."

PRAPTI WAHYUNINGSIH

Lahir : Solo, 26 januari 1978
Orangtua : Sastro Mulyamto dan Sukinem
Pendidikan : Sekolah Dasar
Organisasi :
- Perintis Sarikat Hijau Indonesia, 2007
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2007
Penghargaan : A Tribute to Woman 2010 dari Plaza Semanggi, Village Mall, dan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara

Oleh CORNELIUS HELMY

Doa itulah yang disampaikan Prapti Wahyuningsih pada malam Idul Fitri puluhan tahun yang lalu. Doa kala lapar karena tak punya uang ternyata memberikan kekuatan dalam perjalanan hidupnya. Setelah berdoa, mendadak rasa laparnya hilang. Bahkan, ia bersemangat menjalani pekerjaannya sebagai buruh, ibunyapun mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak-anak tetangga.
"Tuhan mungkin ingin agar kami tidak menyerah, mungkin ada hal lain yang Dia inginkan untuk kami lakukan," ujar Ningsih, panggilannya.
Tahun berganti, perjalanan hidupnya tak berubah. Pangkat tertinggi sebagai buruh hanya pengawas keuangan. namun, karena melihat banyak ketidak adilan terhadap buruh dan mulai berkenalan dengan organisasi buruh, ia lantas bergabung dengan salah satu organisasi buruh.
"Saya mulai banyak membaca berbagai macam buku. Entah mengapa, saya mudah menangkap isi buku tentang buruh. Mungkin karena saya adalah salah satunya," kata Ningsih yang menjadi buruh sejak berusia 11 tahun.
Tahun 1999 ia berhenti bekerja dan memilih konsentrasi berjuang untuk masyarakat miskin. Ia merintis Sanggar Budaya Anak Indonesia (Sang Budi) yang mengajarkan bernyanyi dan membaca anak di sekitar tempat tinggalnya.
Hasil dari banyak membaca buku, ia yakin pendidikan itu amunisi utama yang harus dimiliki kaum miskin di Indonesia. Tanpa pendidikan, mereka terus tertindas.
"Saya teringat doa saya ketika ingin membuka sekolah. dalam bayangan saya, sekolah adalah tempat berbagi ilmu dan pengetahuan antar manusia, bukan sekedar gedung.

Sekolah hijau

Ningsih lalu berkelana. Pengalaman pertamanya terjadi di Cibenda, Ciampel, Karawang, tahun 2002. Desa itu terletak di tengah pabrik-pabrik besar. Malam hari saat cerobong asap tak berhenti membuat polusi, kampung gelap dan sunyi.
Idenya membuat sekolah muncul saat melihat petani ditipu bandar dalam jual beli jagung. Bandar mengklaim hasil timbangan lebih ringan daripada seharusnya. Tak ada protes dari petani karena ia tak bisa baca tulis.
Namun, ia ditertawakan warga saat mengusulkan membuat sekolah. dia lalu mengajari anak-anak. "Tempatnya berpindah-pindah, di tepi sungai atau lapangan. tadinya hanya seorang anak yang mau belajar, baru diikuti belasan anak lainnya," ujarnya.
Usaha Ningsih membuahkan hasil. Beberapa hari kemudian saat ada lagi petani ditipu, anak didiknya mengatakan bahwa timbangan itu salah. Untuk pertama kalinya sang bandar ketahuan "belangnya"
Tempat kedua Ningsih adalah Desa Tapos, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, pada 2003. Di sinianak-anak hanya mendapatkan pendidikan agama. Mereka fasih berbahasa Arab, tapi kurang paham bahasa Indonesia.
Saat ia bertanya siapa yang pernah ke Kota Bogor, hanya sedikit anak yang mengacungkan tangan. Saat dia tanya siapa yang pernah ke Jawa Barat dan Indonesia? Justru tak ada seorangpun yang mengangkat tangan.
"Itu artinya, pendidikan belum dinikmati semua anak Indonesia. Saya lalu mengajar baca tulis dan menyanyi seperti di Sang Budi," ujar Ningsih yang menolak beasiswa pendidikan tinggi di luar negeri dari salah satu perusahaan karena perbedaan prinsip.
Sempat pulang ke Solo untuk merawat orangtuanya yang sakit, tahun 2007 Ningsih pergi ke Bandung. Ia bergabung dengan dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menggarap isu masyarakat dan lingkungan.
Tinggal di kota besar membuatnya akrab dengan sampah plastik. Ia membuat warung kepercayaan, dimana masyarakat bebas mengambil, membayar, bahkan memasak sendiri. Cara itu ternyata meringankan orang-orang di sekitarnya. Namun, sampah plastik muncul menjadi masalah.
Berbekal keterampilan menganyam daun kelapa saat kanak-kanak, ia mengolah sampah plastik menjadi kerajinan pedang-pedangan hingga dompet. Ia lalu menularkan keterampilannya itu kepada warga yang mau belajar.
dengan pinjaman uang dari Suster Irene OSU dari Santa Angela, ia menyewa rumah di daerah Cigending, Ujungberung, bandung. Disini ia kembali memperkenalkan produk berbahan baku sampah plastik. hasilnya banyak ibu rumah tangga yang mau belajar membuat produk serupa. Di sinilah konsep sekolah hijau benar-benar ia terapkan.
"Sekolahnya tidak formal. Saya fokus pada pengolahan sampah dan pemahaman pola hidup sehat, seperti tidak menggunakan penyedap rasa buatan. Warga juga merintis taman kanak-kanak yang pengajarnya pun warga yang bisa baca tulis," kata Ningsih yang ikut mendirikan organisasi Sarikat Hijau Indonesia.

Zakat sampah

Ningsih kemudian membuat program zakat sampah. Di sini sampah plastik rumah tangga dikumpulkan, lalu dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga ramah lingkungan. Cara ini berhasil membesarkan sekolah hijau.
Awal 2010 Ningsih meninggalkan Cigending karena ingin warga bisa mengelola secara mandiri program sekolah hijau yang telah dirintisnya. Ia ingin mengembangkan sekolah hijau di banyak tempat lain.
"Saya sempat sedih karena dianggap tak bertanggung jawab. Namun, saya juga bahagia karena warga mau meneruskan konsep sekolah hijau itu. Ini berarti semangat sekolah hijau sudah tertanam," ujarnya.
Maka, sejak Maret 2010, Ningsih berada di Kampung Cikasimukan, Desa Mandala Mekar, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Ia melakukan pendekatan yang sama, yakni lewat zakat sampah. Di sinipun upayanya relatif berhasil, warga secara mandiri mendirikan taman kanak-kanak.
"Berbagi itu rupanya sudah menjadi hal langka," kata Ningsih yang mengaku hidup dari bantuan masyarakat. Buktinya, apapun yang yang ia tawarkan kepada warga relatif mendapat sambutan hangat.
Setelah usahanya membuat semakin banyak orang bisa baca tulis relatif berhasil, Ningsih sering diminta oleh berbagai pihak untuk berbagi ilmu. Ia pernah didaulat menjadi guru tamu yang mengajarkan tentang wirausaha dan lingkungan di hampir semua kota dan kabupaten se Jawa Barat.
Pada peringatan Hari Kartini, 21 April lalu, Ningsih menjadi salah satu penghargaan A Tribute to Woman 2010 dari Plaza Semanggi, Village Mall, dan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Ia dianggap mampu mengubah hal kecil menjadi bermakna bagi masyarakat.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 AGUSTUS 2010.

Selasa, 17 Agustus 2010

Munaldus, Koperasi untuk Pendidikan

Cara berpikir yang keliru telah memicu terjadinya kemiskinan di wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Dengan mengubah cara berpikir, masyarakat bisa keluar sendiri dari kubangan kemiskinannya.

MUNALDUS

Lahir : Sekadau Hilir, 12 Maret 1963
Istri : Ropina Herlina (43)
Anak :
1. Yohana (19)
2. Paulus Ohiong (16)
3. Carolus Peros (9)
4. Yohanes Teren
Aktivitas "
- Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura
- Ketua Credit Union Keling Kumang
- Ketua Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa, yang beranggotakan sembilan credit union
- Pengurus Dewan Koperasi Indonesia Wilayah kalimantan Barat

Oleh AGUSTINUS HANDOKO

Munaldus (47) merasakan betul bagaimana cara berpikir yang keliru itu telah membenamkan masyarakat kampungnya di jurang kemiskinan yang amat dalam.
"Ketika masih kecil, kami baru bisa bersekolah setelah sore hari. Pagi hingga siang kami harus membantu orangtua menyadap karet supaya kami yang sembilan bersaudara itu bisa sekolah dan makan," kata Munaldus, salah seorang perintis Credit Union Pancur Kasih dan Credit Union Keling Kumang, Kalimantan Barat, itu.
Tahun 1970-an, kondisi Kampung Tapang Sambas, Desa Tapang Semaduk, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, tempat Munaldus lahir dan dibesarkan, sangat memprihatinkan. "Perekonomian masyarakat tidak bisa maju karena infrastruktur jalan sangat buruk. Warga tidak memiliki daya tawar di depan penampung karet," kata Munaldus.
Pada zaman itu, kebanyakan masyarakat Tapang Semaduk lebih memlilih barter getah karet dengan bahan makanan. Pasalnya, penampung getah karet selalu mengatakan,persediaan uang sedikit karena jalan rusak dan sudah dibelanjakan untuk bahan makanan.
Jika tetap ingin mendapatkan uang, harga karet jauh lebih rendah. uang yang di dapatpun hanya cukup untuk makan. Pendidikan lalu tidak menjadi prioritas.
Beruntung, Munaldus dan saudara-saudaranya di didik orangtua mereka untuk tak cepat menyerah. "Kami tetap bersekolah semampu kami, apa pun caranya," katanya.
Setelah lulus SD, Munaldus menerukan ke SMP di ibukota kecamatan yang berjarak 30 kilometer dengan waktu tempuh enam jam berjalan kaki.
"Saya tinggal di asrama. Kalau terlambat membayar uang asrama, tidak akan mendapat jatah makan sehingga sering saya izin empat hari untuk pulang, bekerja menyadap getah," ujarnya.

"Credit union"

Lulus SMA I Sintang, Munaldus melanjutkan kuliah di Program Studi Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Pontianak. Setelah lulus dan menjadi sarjana pertama di Kampung Tapang Sambas, ia mengajar di sebuah SMA, sebelum diangkat menjadi dosen di Universitas Tanjungpura.
"tahun 1984 setelah llulus kuliah, saya mendapat informasi mengenai lembaga keuangan bernama credit union atau koperasi kredit. Kami lalu membentuk Credit Union Khatulistiwa Bhakti sebagai laboratorium belajar lembaga keuangan," katanya.
Tahun 1987 Munaldus turut merintis mendirikan Credit Union Pancur Kasih. Setelah matang dengan konsep berlembaga di Pancur Kasih, ia dan dua saudara kandung serta empat orang lain mendirikan Credit Union Keling Kumang, khusus untuk warga Kampung Tapang Sambas dan Tapang Kembayan.
Pertimbangannya, warga kampung yang miskin mestinya berdaya jika mendapat kesempatan mengubah pola pikir , credit union adalah lembaga keuangan yang mengutamakan watak anggotanya. Keling Kumang pun didirikan dengal modal kepercayaan antaranggota. Prinsipnya, dana "dari-oleh-dan untuk" anggota.
Waktu didirikan ada 26 anggota CU Keling Kumang dengan modal awal Rp.260.000," kata Munaldus. awalnya lembaga itu memprioritaskan pinjaman untuk pendidikan. "Kami yakin, hanya dengan pendidikan yang tinggi, kami akan diperhitungkan," ujarnya.

Gairah sekolah

Dalam waktu kurang dari setahun, Keling Kumang menjadi bahan pembicaraan masyarakat pedalaman di Sekedau karena hampir semua warga dua kampung itu menjadi anggota dan mendapatkan kemudahan meminjam.
Dampak perubahan pola pikir itu, menurut Munaldus, luar biasa. banyak warga bergairah menyekolahkan anak-anaknya. Mereka juga mengembangkan sektor-sektor produktif untuk menopang ekonomi keluarga.
"kami terus menanamkan prinsip yang harus ddipegang anggota, yakni pendidikan, swadaya, dan solidaritas," kata Munaldus.
Jumlah anggota Keling Kumang makin banyak karena bunga pinjaman relatif kecil, yakni 2 persen menurun atau rata-rata 13 persen per tahun. Untuk pinjaman pendidikan bahkan hanya 1 persen menurun. Adapun bunga tabungan, mulai dari 3 persen hingga 10 persen per tahun. Anggota juga makin banyak karena ada produk simpanan untuk bantuan kesehatan.
Tahun ini, anggota CU Keling Kumang tercatat sebanyak 91.100 orang.Sebagian dari mereka tersebar di lima kabupaten pedalaman Kalimantan Barat, yakni Sekadau, Sanggau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu. Dana yang terkumpul mencapai Rp.435 miliar, dan sebagian besar terdistribusi untuk pinjaman pendidikan dan keperluan produktif.
Di kampung asal CU Keling Kumang itu lahir, sebagian besar anak-anak mengenyam pendidikan hingga lulus sarjana. Generasi inilah yang lalu menggerakkan sektor-sektor produktif dan membuat perkampungan lebih hidup dari sisi ekonomi.
Keberhasilan itu, kata Munaldus, tak lepas dari budaya menabung di koperasi kredit. "Membiasakan budaya menabung itu dampaknya dahsyat. saudara-saudara sekampung yang dulu hidup miskin, kini hidupnya relatif lebih sejahtera karena bisa menabung. Mereka setiap saat bisa menarik pinjaman untuk keperluan sekolah atau keperluan produktif lainnya," kata Munaldus.
Untuk memudahkan orangtua yang hendak mengirimkan uang ke Kota Pontianak bagi anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan, CU Keling Kumang memelopori cara pengiriman yang cepat.
"Kalau harus membawa uang itu ke Pontianak, waktunya bisa setengah hari dan ongkosnya mahal. Mereka hanya perlu membawa uang ke kantor pelayanan di kampung dan lima menit kemudian anaknya bisa mencairkan di tempat pelayanan di Kota Pontianak," kata Munaldus.
Pertengahan Juli lalu, CU Keling Kumang mendapat penghargaan dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sebagai koperasi terbaik dalam sektor simpan-pinjam.
"Ini menjadi bukti bahwa kalangan warga tidak mampu tetap bisa berdaya kalau bersatu dan saling tolong menolong," ujar Munaldus.
Untuk tetap menjaga kepercayaan itu, CU Keling Kumang melarang para pengurusnya menjadi pengurus partai politik. Munaldus pun seirama, dia menolak semua tawaran untuk terlibat politik praktis.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 AGUSTUS 2010

Minggu, 15 Agustus 2010

Yuwono dan Eka, Pendiri Sekolah Alam

Pendidikan melalui sekolah adalah proses membangun sebuah peradaban. Tujuan itu jangan dicampur aduk dengan kepentingan bisnis untuk memungut uang sebanyak mungkin dari orangtua murid. Niat itulah yang membulatkan tekad pasangan Yuwono dan Nurbaiti Eka Sari untuk mendirikan Sekolah Alam Palembang.

BIODATA

Nama : Yuwono
Lahir : Trenggalek, 10 Oktober 1971
Pendidikaan :
- SD Negeri Palas Jaya, Lampung Selatan
- SMP Negeri Palas, Lampung Selatan
- SMA Negeri 2 Tanjung Karang
- Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, tamat 1996
- Master Bidang biomedik Fakultas Kedoktran UI, 2002
- Program doktor bidang ilmu kedokteran Fakultas Kedokteran Unpad, 2009

Nama : Nurbaiti Eka Sari
Lahir : Palembang, 30 September 1970
Pendidikan :
- SD Negeri Putri 137 Plaju, Palembang
- SMP Negeri 20 Plaju, Palembang
- SMA Yaktapenta 1 Plaju
- Fakultas MIPA Kimia Universitas Sriwijaya, 1994
Anak :
- Muhammad Jawad Yuwono (10)
- Imadul Aqil Yuwono (9)
- Mamduh Widad Yuwono (7)
- Afaf Mihlah Yuwono (4)

Oleh WISNU AJI DEWABRATA

Dengan modal awal Rp.10 juta pada 2005, mereka mendirikan Sekolah Alam Palembang, sekolah ini satu dari 12 sekolah alam di Indonesia yang direkomendasikan penggagasnya, Lendo Novo.
Ditemani istrinya, Eka, Yuwono mengatakan, ide mendirikan sekolah alam di Palembang muncul setelah ia menyekolahkan anaknya di Sekolah Alam Bandung. Dia merasa cocok dengan konsep sekolah alam ala Lendo Novo.
Ia menyekolahkan anaknya di Sekolah Alam Bandung saat kuliah S-3 ilmu kedokteran di Universitas Padjadjaran tahun 2004-2005. Selesai kuliah, Yuwono dan Eka kembali ke Palembang, tetapi di kota ini tak ada sekolah alam.
Mereka memutuskan mendirikan sekolah alam di Palembang karena tak ingin anaknya mendapat pendidikan seperti mereka dulu di sekolah umum.
"Pendidikan kita banyak yang mubazir. Semua pelajaran diajarkan, ibarat komputer hanya memenuhi memori tetapi tak pernah dibuka. Cara mendidiknya tak memunculkan potensi pribadi anak," kata Yuwono.
Yuwono, bercerita, sejak sekolah dasar ia selalu juara kelas, tetapi merasa ada yang salah dalam dunia pendidikan. Alasannya, murid punya potensi yang berbeda-beda, misalnya dalam bidang seni atau olahraga, tak hanya akademik.
Sementara sekolah alam adalah inklusif sebab kecerdasan tak sebatas kemampuan akademik. Sekolah di Indonesia umunya eksklusif, mengutamakan kemampuan akademik, sekolah seperti ini hanya cocok untuk anak pintar.
"Sekolah inklusif bisa menggali potensi anak. Tuhan memberikan banyak sekali potensi kepada manusia, tetapi masih sedikit yang tergali," katanya.
Eka menambahkan, sekolah alam mengutamakan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Murid dilatih tak takut mengungkapkan pendapat, sebaliknya, di sekolah umum, murid umumnya tak punya kebebasan berekspresi dan dampaknya terbawa sampai dewasa.
"Saya yakin metode sekolah alam itu yang terbaik, tak mungkin saya menyekolahkan anak saya di sini," katanya.

Manajemen tradisional

Ketika dibuka tahun 2005, fasilitas Sekolah Alam Palembang masih terbatas. Lokasi pertama di kawasan Bukit Siguntang, dengan jumlah murid lima orang untuk tingkat Taman Bermain, TK A, TK B, dan kelas I SD, dengan empat guru. Tiga murid itu adalah anak Yuwono ditambah dua murid keponakannya.
Hanya tiga bulan di Bukit Siguntang, lokasi sekolah pindah ke Plaju. Di lokasi ini jumlah murid menjadi 10 orang. Pada Juli 2006, sekolah ini pindah ke Jalan Demang Lebar Daun dengan lahan seluas 1.300 meter persegi. Disini terdapat saung yang berfungsi sebagai ruang kelas sekaligus tempat bermain, kolam, dan lahan untuk belajar bercocok tanam serta beternak.
Jumlah murid pun meningkat menjadi 60 orang dan sampai kelas V SD. Kegiatan belajar didukung delapan fasilitator, dua asisten kelas, tiga guru bahasa dan seni, serta satu guru kegiatan luar ruang.
Di Sekolah Alam Palembang, Yuwono lebih fokus sebagai pembuat konsep dan Eka menjadi manajer. Sampai sekarang,untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, suami-istri ini masih sering merogoh kocek pribadi.
"Setiap bulan kami nombok sekitar Rp.10 juta. namun, kami tak pernah merasa rugi karena pendidikan itu investasi untuk anak-anak. Ini investasi paling penting," ujar Yuwono yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Meski sering "tekor", pasangan ini gigih mengelola Sekolah ALam Palembang. "Murid Sekolah ALam Palembang justru sedih kalau sekolah libur. Mereka ingin ke sekolah meski lagi libur. Di sekolah, para murid membuat sendiri aturan yang harus mereka patuhi. jadi, tidak ada yang membuat mereka takut," kata Eka.
Disini murid terbiasa mengajukan pertanyaan kepada guru dan guru tak langsung menjawab, tetapi balik bertanya lagi kepada murid. Menurut Eka, murid bebas menjawab pertanyaan guru. Guru tak akan menyalahkan atau membenarkan jawaban murid karena dengan cara ini murid terbiasa berpikir. Prinsipnya, guru tak selalu benar.
Murid juga diajak menemukan jawaban melalui buku-buku di perpustakaan atau mendapatkan penjelasan langsung dari ahlinya. Sekolah alam tak menggunakan sistem buku paket. Semua buku dari berbagai penerbit dan penulis bisa digunakan. Lebih penting membuat murid mau membaca buku.
Eka menambahkan, dari modal awal Rp.10 juta, kini mereka punya modal Rp.500 juta untuk mengembangkan Sekolah Alam Palembang. Modal itu berasal dari para orangtua murid.

Membangun peradaban

Yuwono mengungkapkan, tujuan membangun sekolah alam bukan untuk mencari untung materi. Ia yakin, mendirikan sekolah alam tak akan rugi karena sekolah ini akan menghasilkan orang-orang yang luar biasa.
"Sekolah ini bertujuan membangun peradaban. Sekolah tak sekedar bisnis atau menghasilkan ijazah. Kami tak ingin mencetak antrean pelamarkerja, tetapi pencipta lapangan kerja," kata Yuwono.
"Roh" dari sekolah alam, katanya, adalah mengajarkan empat hal utama, yaitu akhlak yang bersifat universal, logika ilmu, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Keempat hal ini diajarkan kepada para murid.
Yuwono dan Eka berencana menerima murid tingkat SMP dan SMA di Sekolah Alam Palembang. Mulai 2010, Sekolah Alam Palembang akan pindah ke lokasi baru di kawasan Karyajaya Km 15, Palembang, di tanah seluas 7 hektar.
Untuk tingkat SMP rencananya beroperasi dua tahun lagi, sedangkan tingkat SMA nya mulai dilangsungkan setelah semua murid sekolah alam untuk SMP lulus atau empat tahun lagi.
Masa sekolah SMP dan SMA di sekolah alam total empat tahun. Murid SMA akan menggunakan sistem program pilihan, yaitu teknologi komunikasi dan informasi, bioteknologi, serta perdagangan ritel.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 14 SEPTEMBER 2009

Kamis, 12 Agustus 2010

Menebar Motivasi Lewat Lukisan

"Bungah marang kang cinawis", bahagia dengan apa yang tersedia. Itulah tuntunan hidup yang melandasi keseharian Sabar Subadri. Ditengah keterbatasan fisik, ia menjalani hidup yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, lewat semangat yang ditularkan melalui lukisannya.

SABAR SUBADRI

lahir : Salatiga, 4 Januari 1979
Ayah : Subadri (60)
Ibu : Wiwit Rahayu
Kakak :
- Siti Romlah (34)
- Ibnu Muslim (32)
Pendidikan :
- SDN 2 Kalicacing
- SMPN 3 Salatiga
- SMAN 3 Salatiga
- Jurusan Sastra Inggris, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Satya Wacana Salatiga
Guru : Pelukis Rochmad, 1989-1997
Organisasi : Anggota Association of Mouth and Foot Painting Artists

Oleh ANTONY LEE

Sabar terlahir dengan tubuh tak sempurna. Ia tak punya lengan. Alih-alih terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan, ia bersusah payah merintis jalan hidup sebagai pelukis. Keahlian itu yang membuatnya bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada Hari Internasional Penyandang Cacat, 2007.
Tahun 1989 Sabar terpilih menjadi anggota Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA). Di Indonesia ada sembilan anggota AMFPA. Asosiasi itu menerima karya Sabar dan memberinya honor bulanan.
Sabar menyebut sejumlah nominal dalam mata uang franc Swiss. Jumlah itu belum termasuk royalti bila karyanya dicetak untuk kalender, kartu ucapan Natal, Lebaran, atau Tahun Baru. "Dari hasil itu saya bisa membuatkan rumah untuk orang tua, punya tabungan, kendaraan, dan koleksi buku-buku," tuturnya di Klaseman, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah.
Sebelum menempati rumah hasil keringat Sabar pertengahan 1990, mereka sekeluarga menempati rumah penjaga sekolah, ayahnya Subadri, bekerja sebagai penjaga sekolah di SMPN 3 Salatiga, dan ibunya berjualan di kantin sekolah.
Ratusan kary dihasilkan Sabar, puluhan diantaranya dicetak menjadi kartu ucapan atau kalender. Sebagian karya dia juga dipamerkan pada beberapa kesempatan di sejumlah negara Eropa.
Sabar banyak menghasilkan lukisan naturalis, sebagian besar tentang alam dan manusia, seperti dua lukisan yang paling disukainya, "Longing for My Wood" dan "Thanking for Life". Lukisan pertama berupa beberapa pohon besar dengan guratan sinar mentari, dan yang kedua menggambarkan dua perempuan tua menggendong barang dengan cahaya mentari keperakan.
Ide lukisan kadang dia dapatkan dari buku, interaksi langsung dengan alam, atau hasil berselancar di dunia maya. Gambaran pohon dalam lukisan "Longing for My Wood", misalnya, merupakan paduan antara pohon beringin yang ditemuinya di salah satu sudut Kota Salatiga dan gambar pohon yang diunduhnya dari dunia maya.

Dukungan keluarga

Anak bungsu dari tiga bersaudara itu bersyukur karena orangtua dan saudaranya bisa menerima kekurangan fisiknya. Mereka jeli melihat kebiasaan Sabar yang sejak usia tiga tahun mencoret-coret lantai dengan sisa kapur dari sekolah. Ayahnya mendorong Sabar mengikuti berbagai lomba.
Meskipun dalam lomba itu dia tak berhasil menjadi juara, keluarga tetap mendukungnya. Ia terus tekun belajar melukis dari tayangan televisi dan buku, sampai bisa memenangi sejumlah lomba menggambar.
"Saya berangkat dari bukan siapa-siapa, tak ada darah seni. kalau saja orang tua tidak menerima kondisi saya, tidak ada dukungan melukis, kami masih tinggal di rumah penjaga sekolah. Saya juga enggak bisa apa-apa, hanya diam dikamar," ungkapnya.
Sepucuk surat yang diterimanya dari AMFPA pada 1988 menjadi titik balik hidupnya. Asosiasi yang menaungi pelukis yang berkaryamenggunakan mulut atau kaki itumemberi dia beasiswa Rp.100.000 setiap tiga bulan, kemudian mengajak Sabar bergabung setahun berikutnya. Beasiswa itu cukup untuk membeli peralatan dan membayar guru melukis.
Setidaknya satu karya dihasilkan Sabar setiap bulan. Di ruang lukis itu dia banyak menghabiskan waktu. Jika sedang suntuk, ia bergeser menuju dua rak susun berisi sekitar 300 buku tentang seni, novel, atau spionase, atau menyambangi komputer terkoneksi internet.
Di luar semua kegiatannya itu, Sabar memilih terjun dalam komunitas akademis sekali sepekan. Sejak tahun 2000 ia menjadi mahasiswa Jurusan Sastra Inggris di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing Satya Wacana, Salatiga. Ia mengaku tak terpikir untuk lulus dan memperoleh ijazah.
"Ijazahnya buat apa, saya bingung. jadi saya menikmati saja proses berpikir di kampus dan berada dalam komunitas itu," tuturnya.

Motivasi hidup

Perjalanan hidup dan lukisan, bagi Sabar, memiliki benang merah filosofi serupa. Dalam menjalani hidup, yang terpenting bagi dia, adalah prosesnya. Ia mengaku nyaris tidak menemui kendala berarti.
"Jadi, dengan apa yang ada dan tidak ada itulah , bagaimana saya bisa melewatinya. Hal itu penting dalam hidup saya sendiri. kalau orang lain bisa melihat (hal itu), ya syukur. Apalagi kalau orang lain bisa termotivasi karena itu, syukurlah," katanya.
Karena itu pula, Sabar menyisihkan waktunya untuk berbagi pengalaman dan memberi motivasi kepada orang lain. Ia sering berdemo melukis dan bertutur soal kisah hidupnya dihadapan anak-anak sampai orang dewasa.
Meski secara finansial mandiri, Sabar mengaku masih sangat membutuhkan orang lain. Dia tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, seperti memasak atau mencuci. Di rumah, ia mengaku masih dibantu orangtua. namun, untuk uruan diluar rumah, ia dibantu sahabatnya yang berperan sebagai "asisten" meski tak mau menerima honor darinya.
Sabar bercerita, jalan hidupnya tak selalu mulus. saat akan melamar menjadi siswa sekolah dasar, misalnya, ia ditolak di beberapa sekolah yang kekurangan siswa dan bersedia menerimanya. Penolakan dalam hal berbeda pun dialaminya dalam asmara.
"Saya suka down kalau soal asmara. Saya sudah 'nembak' dan ditolak 14 kali. Nek golek wes kesel (kalau cari, sudah lelah), tapi aku butuh tangan lain dalam hidup ini," tuturnya sambil tersenyum.
Dalam perjalanan hidup dan berkarya, Sabar masih memiliki beberapa harapan. Dia ingin suatu ketika bisa menggelar pameran tunggal serta mencoba tantangan membuat lukisan dengan dimensi besar, berketinggian sekitar dua meter.
Kondisi itu bakal menyulitkan dia, tetapi juga menantangnya untuk terus berpikir keras, mencari cara bagaimana ia bisa menggapai bagian atas kanvas dengan keterbatasan fisiknya...

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 13 AGUSTUS 2010

Rabu, 11 Agustus 2010

Sago, Kekuasaan untuk Kedaulatan Pangan

Tawaran menjadi wali nagari menyadarkan Sago Indra bahwa ada kekuasaan yang bisa dipegangnya untukmengubah keadaan kampung halaman. Kini kekuasaan itu diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Nagari Situjuah Gadang, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Data diri

Nama : Sago Indra
Lahir : Situjuah Gadang, Sumatera Barat, 25 Oktober 1969
Istri : Aswira
Anak :
- Arefa
- Alam
Pendidikan : Sarjana Hukum Universitas Andalas

Oleh AGNES RITA SULISTYAWATY

Nagari-setingkat desa tempat kelahiran Sago merupakan daerah pertanian di Sumatera Barat. Pria yang sebelumnya aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat ini tidak pernah berambisi menjadi pemimpin di kampungnya.
Suatu ketika sejumlah orang tua datang dan memintanya mencalonkan diri sebagai wali nagari (setara kepala desa). Dia sempat menolak. " Lalu saya pikir-pikir, kalau ada kekuasaan tidak terbatas sebagai pemimpin di kampung mengapa tidak saya ambil. Menjadi wali nagari bisa membuat saya mengerjakan sesuatu yang riil untuk warga nagari," kenang Sago.
Tahun 2005 dia pun mendaftarkan diri sebagai kandidat wali nagari bersama tiga calon lain. Tidak ada kampanye yang dibuatnya, apalagi bagi-bagi uang untuk meraup suara. namun, saat pemungutan suara Sago meraih 1.200 suara dari 3.200 pemilih.
Sago memegang mandat sebagai wali nagari dengan warisan utang Rp.8 juta dan uang kas Rp.242.000. Dua tahun pertama urusan penataan organisasi menjadi fokus pekerjaannya.
Akhir tahun 2005 Sago merampungkan penyusunan rencana strategis Nagari Situjuah Gadang. Rencana itu didesain sebagai penuntun arah pembangunan nagari selama 25 tahun mendatang. Peraturan yang disepakati bersama pemuka di Situjuah Gadang itu berisi aneka hal, antara lain fokus pembangunan dan hubungan antara kelompok kepentingan di nagari. Salah satu arah yang disasar adalah mewujudkan kedaulatan pangan di nagari.
Dengan rencana yang begitu ketat, Sago berani menolak bantuan yang tidak sesuai dengan rencana strategis, salah satunya adalah pembangunan irigasi senilai Rp.200 juta -Rp.300 juta. Dia beralasan, pebangunan irigasi harus sesuai dengan rencana strategis nagari.
"Jika tidak sesuai, itu akan mengubah alur air. Adapun daya tahan instalasi irigasi hanya sekitar lima tahun," ucap Sago.
Pembangunan jalan juga diarahkan untuk membuka akses ke suatu lahan pertanian. Penyelarasan dana pembangunan dengan dunia pertanian disinkronkan dengan rencananya.
Dalam berbagai hal, kebijakan Sago kerap membuat pejabat di tingkat kabupaten bingung. Selain harus menyesuaikan dengan rencana strategis nagari, para pejabat juga sering diberi kejutan, antara lain ketika Sago menolak pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Waktu awal menjabat kemampuan masyarakat Situjuah Gadang membayar PBB masih rendah. PBB tidak bisa dibayarkan utuh. "Saya menolak melunasi PBB dengan uang nagari, seperti yang biasa dilakukan di nagari atau bahkan desa lain. Saya memilih memakai uang nagari untuk membangun nagari dan membayar PBB sesuai kemampuan masyarakat," ujar Sago.
Uang untuk membangun daerah sangat minim, lantaran sebagian besar porsi uang nagari sudah terserap untuk membayar honor pegawai. Sebagai contoh, dari Rp.125 juta uang nagari dari Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota tahun 2008, hanya tersisa Rp. 9 juta untuk pembangunan desa selama setahun. Selebihnya habis untuk membayar gaji 14 petugas nagari.
Peningkatan ekonomi warga lewat kegiatan pertanian menjadi salah satu fokus Sago.

Fokus pertanian

Awal menjabat sesbagai wali nagari, Sago menghadapi petani yang miskin. Padahal, sekitar 80 persen dari total 1.481 kepala keluarga di Situjuah Gadang adalah petani.
"Mereka miskin secara ekonomi dan miskin pendidikan sehingga tidak mengetahui cara lain untuk bertani, selain yang mereka lakukan sehari-hari," ujar Sago mengenang tahun 2005 ketika pertama memangku jabatan itu.
Pendidikan menjadi pintu masuk bagi Sago untuk mengenalkan metode pertanian organik. Lahan-lahan pelbelajaran dibuat di nagari yang memiliki sekitar 1.200 hektar lahan pertanian. Setiap saat ada saja petani yang belajar metode bertani organik. Bertani organik mendapat tempat di sebagian petani Situjuah gadang, terlebih ketika pupuk kimia dan pestisida semakin langka dan mahal harganya.
Tahun 2008, Sago dan petani di Situjuah Gadang mendeklarasikan "nagari Organik", satu-satunya di di Sumatera Barat. Dalam skala nagari, Situjuah Gadang inilah yang berani memproklamasikan arah nagarinya.
Memang, ideologi pertanian organik tidak serta merta dipeluk oleh petani di nagari itu.
Hingga kini baru sekitar 20 persen petani di Situjuah gadang yang menggunakan metode organik. namun, deklarasi nagari organik membuat petani setempat mempunyai pilihan untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Ada sejumlah kendala yang masih dihadapi Sago dalam memajukan pertanian nagari. Salah satunya adalah keterbatasan "pabrik" pupuk alias ternak yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk kandang.
Kotoran ternak yang semula diperlakukan sebagai limbah kini sudah menjadi komoditas perdagangan. "Kini sekarung kotoran sapi harganya antara Rp.7.000 sampai Rp.8.000 ucap Sago.
Beberapa kasus serupa tentang ketidak seimbangan pasokan dengan permintaan bahan baku dijumpai Sago, ketika menggulirkan sejumlah pilihan usaha bidang pertanian. " Memang masih banyak yang harus dibenahi," katanya.
Selain segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah pertanian, Sago juga mendirikan Bank Petani, sebuah lembaga keuangan mikro agribisnis (LKMA). Bank yang resmi berdiri Desember 2008 ini dimulai dari donasi jejaring Sago. Bermodal awal Rp.20 juta, bank yang mengambil semangat koperasi kredit ini sudah mengumpulkan aset Rp.150 juta.
"Dulu masyarakat yang ekonominya pas-pas an harus berhutang ke bank atau rentenir yang menetapkan bunga tinggi demi mendapatkan uang Rp.200.000 atau Rp.300.000. Sekarang, kami menawarkan Bank Petani untuk pinjaman ssampai Rp.750.000. Peminjam bebas menentukan balas jasa atas pinjaman serta jangka waktu pengembalian," kata Sago.
Persoalan lain yang masih menjadi pekerjaan rumah Sago adalah melindungi tanah ulayat dengan peraturan nagari . Sago melihat peraturan agraria di Sumatera Barat masih melemahkan petani dan condong membela kepentingan investor.
tanah dengan mudah disewa investor dari luar, denganjangka waktu peminjaman sampai 95 tahun. Dengan waktu yang terlampau lama itu, petani jelas dirugikan. Mereka hanya bisa melihat tanah mereka ditanami aneka komoditas perkebunan.
"Memang seakan-akan adat menghambat masuknya investor. Namun, memang begitulah peran adat. Adat harus melindungi kepentingan masyarakat," papar Sago.
Semua ini dilakukan Sago demi mewujudkan mimpi besarnya: kedaulatan pangan bagi nagari yang dipimpinnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 OKTOBER 2009

Senin, 09 Agustus 2010

Upaya Menyelamatkan Gambut

Selama lebih dari 20 tahun, Suwido H Limin bersentuhan dengan gambut. Masa yang panjang itu membawa dia sampai pada kesimpulan, lahan gambut sebaiknya dibiarkan apa adanya, sebab untuk mengolah biayanya mahal. Selain itu, cegahlah upaya eksploitasi dan segera lakukan restorasi terhadap lahan gambut yang rusak.

SUWIDO H LIMIN

Lahir : 24 Mei 1955
Pendidikan :
- S-1 Agronomi Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 1982
- S-2 Agronomi Institut Pertanian Bogor, 1992
-S-3 Manajemen Lahan Gambut Universitas Hokkaido, jepang, 2007
Pengalaman kerja antara lain :
- Dinas Pertanian Kalimantan Tengah, 1982-1984
- Dosen Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, 1984-kini

Oleh DEFRI WERDIONO
Di dunia gambut, nama Suwido H Limin tak asing lagi. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah, ini terus melakukan penelitian dan berbagai upaya penyelamatan gambut. Ia sering mmengeluarkan ide untuk perbaikan lingkungan, terutama lahan gambut.
Suwido juga merealisasikan gagasannya, seperti membuat Tim Serbu Api untuk mengatasi kebakaran lahan, membuat desain dam model "V" pada kanal lebar di gambut, dan mengajukan ide reboisasi lahan dengan sistem beli tanaman tumbuh.
Ide-ide Suwido menjadi pembicaraan di kalangan peneliti gambut karrena sebagian telah dipresentasikan dalam simposium internasional, mulai di Singapura, Malaysia, Jepang, Finlandia, Jerman, Belgia, sampai Australia. Bulan Oktober nanti, ia ke New Orleans, Amerika Serikat, mengikuti simposium tentang daerah lahan basah, termasuk lahan gambut.
Lahir di wilayah Daerah Aliran Sungai Kahayan membuat Suwido akrab dengan gambut. Gambut di Kalteng berkarakteristik khas. Salah satunya miskin pengayaan mineral karena daerahnya datar, luas, dan jauh dari pasang surut air laut yang memungkinkan menyusupnya mineral.
Ukuran ketebalan gambut juga bervariasi, dari beberapa sentimeter, yakni gambut di dekat pantai, hingga gambut dengan ketebalan 17,3 meter seperti yang ia temukan di daerah antara Mentaya dan Katingan. Dari sisi usia, gambut Kalimantan ada yang mencapai 9.600 tahun.
"Dari rangkaian penelitian, saya lihat gambut tebal bisa di budidayakan, tapi biayanya tinggi, butuh pemupukan dan sebagainya. Di satu sisi, kita belum hitung dampak negatif gambut setelah dieksploitasi, seperti gas," ujarnya.
Untuk memperkecil risiko itu,kita perlu mempertahankan gambut dengan keanekaragaman hayatinya. Jika gambut dipertahankan, tak ada risiko. Nilai ekonomisnya pun tetap ada dan berkelanjutan, seperti tanaman ramin dan jelutung.
Apalagi kondisi ekosistem kini berbeda dibanding puluhan tahun silam. Semua itu akibat kerusakan alam. Ini bisa dilihat, salah satunya, dari frekuensi bencana alam, termasuk didaerah asal Suwido. Dulu, rata-rata banjir hanya 3-4 kali setahun dan bisa diprediksi. Kini banjir bisa lebih dari 10 kali setahun.
Masalah gambut semakin pelik saat manusia masuk. Kebakaran lahan menjadi salah satu persoalan yang muncul. Suwido yakin, kebakaran disebabkan ulah manusia. Setiap terjadi kebakaran rata-rata 20-30 cm lapisan gambut musnah.
Salah satu kekeliruan memperlakukan gambut terjadi pada masa Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar. Ini berpengaruh terhadap terhadap hidrologi gambut. Pembuatan kanal-kanal panjang membuat permukaan lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Padahal, gambut memiliki sifat mengikat air. "Tetapi, seperti gambut di Sebangau, karena tak ada manusianya, tak ada kanal, jadi aman dari kebakaran meski kemarau panjang," ujarnya.

Kerja sama

Suwido mulai meneliti gambut untuk kepentingan studi pada 1988. Tahun 1993 ia bekerja sama dengan peneliti asing, selain juga ditugasi oleh Rektor Universitas Palangkaraya Amris Makmur berkaitan dengan rencana kerjasama penelitian gambutdengan Jack Rieley (Universitas Notingham, Inggris) dan Bambang Setiadi (BPPT).
Kerjasama itu disebut Kalimantan Peat Swamp Forest Research Project (KPSFRP), yang lalu menjadi Center for International Cooperation in Suitainable Management of Trofical Peatland (Cimptrop).
Dia juga menjadi salah satu motor berdirinya Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG)
Universitas Palangkaraya di Kereng Bangkirai, Sabangau. Lahan seluas 50.000 hektar itu dimanfaatkan sejak 1993 dan menjadi satu-satunya laboratorium alam untuk penelitian gambut tropis di Indonesia. Di sini pula ditemukan gambut berusia 9.600 tahun dengan ketebalan mencapai 17,3 meter.
Suwido pula yang menyampaikan konsep reboisasi sistem beli tanaman tumbuh dalam pertemuan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Finlandia di Bali tahun 2008.
Dalam sistem itu, warga menanam pohon dan pemerintah memberi modal. Pemerintah membeli setiap tanaman hidup itu. Dengan begitu, persentase tanaman yang bertahan hidup di tanah reboisasi lebih besar karena warga memeliharanya.
Dari hasil uji coba tahun 2005, persentase tanaman yang tumbuh hingga setahun mencapai 80 persen. "Biaya sistem beli tanaman tumbuh itu Rp.15 juta per hektar setahun," ucap Suwido yang menyarankan tumbuhan lokal yang ditanam adalah seperti galam dan geronggang.

Tim Serbu Api

Tim Serbu Api pun konsep Suwido yang dilaksanakan hingga kini. Tahun 1997, ia membentuk tim ini dan intensif membinanya pada 2005. Tim ini lahir sewaktu terjadi kebakaran lahan akibat El Nino. Saat itu petugas hanya menyiram api dari pinggir jalan, lalu pulang.
Kalau hanya mengandalkan petugas seperti itu, tak efektif. Warga pun tak bisa ikut serta. Maka, Suwido membentuk tim ini, yang beranggotakan 30 orang. Kini terbentukl ima kelompok, antara lain di Tangkiling, Kalampangan, dan Kereng Bengkirai. Jika terjadi kebakaran, mereka bekerja bergantian selama 24 jam dan menginap dekat lokasi kebakaran.
Anggota Tim Serbu Api diberi jaminan karena tak mungkin pemerintah menggaji mereka. Sumber pendapatan bagi anggota bisa berupa kebun, kolam, atau sawah. "Bisa juga kios, tempat cuci mobil, atau bengkel. Jika ada kebakaran, sebagian anggota memadamkan api, yang lain bekerja di tempat usaha,"
Konsep Suwido lainnya adalah pembuatan dam model "V" pada 2004-2006. Dam ini berguna menjaga ketersediaan air di gambut tropis, yang saat kemarau biasanya surut karena airnya mengalir lewat kanal.
Kementerian Riset dan Teknologi lalu mengikuti jejaknya, dengan membangun sembilan dam di Kanal Kalampangan dan Kanal Taruna, bekas proyek PLG. "Dua minggu tak ada hujan biasanya air kering, gambut jadi mudah terbakar. Dengan dam, air bisa tertahan," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 AGUSTUS 2010

Minggu, 08 Agustus 2010

Asnawati, Pendidikan bagi Anak Tak Mampu

Anak-anak dari keluarga kurang mampu umumnya tidak mendapatkan perhatian penuh dari orangtua yang harus bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga. Minimnya perhatian ini membuat mereka terlambat berkembang.

ASNAWATI

Lahir : Pontianak. 10 Juni 1969
Pendidikan :
- SD Negeri I Pontianak
- SMP Negeri 10 Pontianak
- SMA Purnama Pontianak
Suami : Bujang Kariman
Anak :
- Dina Suci Lestari (21)
- Andri Darmawan (17)
- Rahmat Ariyanto (10)

oleh AGUSTINUS HANDOKO

Kenyataan itu ditemui Asnawati saat mengunjungi permukiman kumuh yang umumnya dihuni keluarga kurang mampu di Kota Pontianak Kalimantan Barat, tahun 2006.
"Tuntutan ekonomi memaksa banyak orangtua meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil untuk pergi bekerja, bahkan sampai seharian. Anak-anak ini sangat rentan dan pasti terlambat berkembang," katanya.
Setelah berhenti bekerja, Asnawati punya banyak waktu luang. "Saya mengunjungi tempat-tempat kumuh di Pontianak. Saya berpikir, siapa tahu tenaga ini bisa disumbangkan untuk orang lain," katanya.
Dari sekedar kegiatan mengisi waktu luang, dia justru menemukan fenomena anak-anak yang tidak mendapat perhatian di permukiman kumuh. Kondisi anak-anak itu tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Lingkaran setan kemiskinan tidak akan bisa terputus kalau anak-anak tidak mendapat perhatian penuh, apalagi dibidang pendidikan," tutur Asnawati.
Keprihatinan itu mendorong dia berpikir apa yang bisa dilakukannya guna membantu anak-anak tersebut. Bersama organisasi wanita yang diikutinya, Asnawati menyusun rencana untuk mendirikan lembaga pendidikan gratis bagi anak-anak itu. Sebab, hampir tidak mungkin memungut biaya dari orangtua mereka.
Pemikiran Asnawati disetujui. Mereka mulai menawarkan rencana itu kepada para orangtua sank-anak di Kelurhan Mariana, Kecamatan Pontianak Barat.
"Orangtua anak-anak itu menyambut baik rencana ini,. Kami membuat lembaga pendidikan anak usia dini di Camar, Kelurahan Mariana," ujarnya.
Asnawati memilih lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) karena berbagai pertimbangan. "Anak-anak berusia dibawah lima tahun itu dalam masa pertumbuhan yang paling bagus. Sangat disayangkan kalau pada masa itu mereka tumbuh tak terkontrol hanya karena minimnya perhatian orangtua," tuturnya.
Alasan lainnya adalah karena sudah adanya lembaga pendidikan yang lebih tinggi dari PAUD dipermukiman warga kurang mampu tersebut. "Untuk pendidikan formal, infrastrukturnya tidak persoalan. Jadi, setelah melalui berbagai pertimbangan, PAUD adalah pilihan paling tepat," ungkapnya.
Memulai rencana menyelenggarakan pendidikan gratis tanpa modal uang, Asnawati bertemu donatur yang mendukungnya membuka lembaga pendidikan itu pada 2007. "Kami menyelenggarakan pendidikan itu di sebuah rumah tanpa perlu membayar sewa. Itu modal awalnya," katanya.
Dibantu suaminya, Bujang Kariman, Asnawati mengisi ruang-ruang belajar di rumah itu. "Suami saya membuatkan meja dan kursi dari kayu-kayu yang tidak terpakai di rumah. Dia juga menyisihkan sebagian penghasilannya untuk aktivitas saya," tuturnya.

Tak membedakan

Dalam beberapa bulan sejak dibuka, ssekitar 40 anak datang dan mengikuti kegiatan di lembaga yang diberi nama PAUD Uswatun Hasanah itu.
"Walaupun kami berangkat dari organisasi wanita Islam, kami juga menerima anak-anak non muslim. Kami tidak membedakan anak-anak itu berasal dari agama dan etnis apa. Sejak awal, kami terbuka untuk siapapun karena pada dasarnya anak-anak dari keluarga mampu itu membutuhkan pendidikan dini. Siapapun dia," tutur Asnawati.
Jumlah anak didik yang relatif banyak membuat Asnawati meminta bantuan sejumlah sahabatnya untuk mencarikan tutor. "Saya hanya bisa memberikan uang saku Rp.50.000 per bulan untuk setiap tutor. jadi mereka (para tutor) bisa dikatakan benar-benar mengajar secara sukarela," katanya.
Selain itu, guna mengatasi persoalan terlalu sibuknya orangtua bekerja, Asnawati juga mengembangkan PAUD ini menjadi tempat penitipan anak. Menurut dia, anak-anak tetap memerlukan perhatian selepas mengikuti sesi pelajaran di PAUD.
"Ditempat penitipan, anak-anak bisa melakukan kegiatan positif dibandingkan jika bermain sendiri di luar sana, tanpa pengawasan," katanya.
Setahun kemudian, Asnawati membuka lagi tempat pendidikan serupa di Gang Meranti, Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Pontianak. Kondisi di tempat ini pun relatif tak berbeda dengan Kelurahan Mariana
"Banyak anak kurang mendapat perhatian karena orangtua mereka harus bekerja seharian dengan penghasilan yang relatif kecil. Apalagi orangtua saya pun mengizinkan kami menggunakan sebuah rumahnya untuk kegiatan ini," ujar Asnawati yang juga lahir dan dibesarkan di Gang Meranti.

Terpaksa iuran

Di kedua lembaga PAUD itu, Asnawati menyelenggarakan pendidikan gratis untuk anak-anak dari keluarga yang kurang mampu hingga 2009. Tidak hanya pelajaran, fasilitas belajar, seperti alat tulis pun diberikan kepada anak-anak itu.
Sayang seiring dengan semakin banyaknya anak-anak yang masuk lembaga PAUD itu, dana operasional mereka tidak lagi mencukupi. Di Gang Meranti saja tercatat sekitar 40 anak yang setiap hari datang.
"Daripada kegiatan ini ditutup, dengan berat hati kami lalu memungut iuran paling banyak Rp.5.000 per bulan dari orangtua anak-anak," ujar Asnawati yang menggunakan uang hasil iuran itu antara lain untuk membeli bahan pengajaran.
Kedua lembaga PAUD yang juga menjadi tempat penitipan anak itu, menurut Asnawati, setidaknya bisa menjadi jembatan bagi anak-anak kurng mampu agar mereka setara dengan anak lain. Hal itu dirasakan penting, terutama ketika mereka (terutama karena usianya) harus mengikuti pelajaran di sekolah dasar (SD).
"Kalau sebelum masuk SD tidak mendapatkan pendidikan yang layak, mereka akan selalu ketinggalan. Tetapi, setelah belajar disini, ketika masuk SD anak-anak dari permukiman kumuh dan dari keluarga kurang mampu itu tidak minder lagi. Mereka lebih percaya diri karena sudah bisa membaca dan menulis, sama dengan anak-anak yang lain," tutur Asnawati.
Kegigihan Asnawati telah membawa hasil. Berkat pendidikan di lembaga yang didirikannya itu, lebih dari 50 anak dari kawasan kumuh dan keluarga tidak mampu bisa belajar di sekolah dasar negeri.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 9 AGUSTUS 2010

Jumat, 06 Agustus 2010

Rahmat Priatna, Pemulia Domba Garut

Domba Garut adalah jenis domba warisan leluhur urang Sunda. Jenis domba kontes di Jawa Barat ini adalah hasil persilangan antara domba lokal, Afrika, dan Marino, pada tahun 1850-1860. Di dunia domba garut diakui sebagai salah satu jenis domba dengan postur paling besar. Domba ini mewarisi postur besar dari Marino, agresivitas dari Afrika, dan kelezatan daging dari domba lokal Jawa Barat.

RAHMAT PRIATNA

Lahir : Bandung, 4 Januari 1954
Alamat : Ciampea, Cimande, Bogor
Istri : Siti Rahwatini
Anak :
- Angga Gandara (29)
- Dewi Sekarmayang (24)
Pendidikan :
- SD Negeri Mohammad Thoha Bandung
- SMP Negeri 11 Bandung
- SMA Negeri 8/22 Belitung, Bandung
- Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung
- Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Karier :
- Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran Bandung (1977-1981)
- Kementerian Negara Lingkungan Hidup (1981-1982)
- PT Pertamina (1982-2002)
- BPH Migas (2002-2008)

Oleh AGUSTINUS HANDOKO

Ddalam perkembangannya, sering terjadi perkawinan silang antara domba garut dengan domba jenis lainnya. Akibatnya, kualitas domba yang dihasilkan terus menurun, salah satu indikasinya adalah postur yang semakin kecil.
Atas kondisi itu, timbul keprihatinan dari sejumlah kalangan. Perlu diupayakan pemurnian kembali gen domba garut. Salah seorang dari sedikit kalangan yang tergerak untuk mengembalikan kemurnian gen domba garut adalah Rahmat Priatna.
"Bobot hidup domba garut yang asli bisa mencapai 60 kilogram per ekor pada usia satu tahun. Namun, bobot hidup domba lokal atau hasil perkawinan silang domba garut yang tidak murni lagi paling-paling hanya 30 kilogram," kata Rahmat.
Awal perkenalan Rahmat dengan domba garut dimulai tahun 2000 ketika ada warga yang hendak memelihara domba garut, tetapi tidak memiliki modal sama sekali. Bermodalkan lahan kosong yang dimilikinya di Ciampea, Cimande, Bogor, Rahmat lalu membelikan domba garut asli untuk warga tersebut.
"Awalnya saya beli 3 pejantan dan 11 betina.Ketiga domba jantan adalah legenda kontes di Jawa barat yang memang berasal dari keturunan yang bagus," kata Rahmat. Domba-domba jantan yang bernama Lipur, Dewa, dan Bagja itu dibeli dari seorang pemilik di garut, dengan harga Rp. 4 juta per ekor. Adapun setiap domba garut betina dibeli dengan harga Rp.1 juta-Rp.1,5 juta.
Ternyata warga yang meminta modal beternak itu tak sanggup melakukan budidaya dan mengembalikannya kepada Rahmat. "Daripada saya jual lagi, saya putuskan memelihara sendiri domba-domba itu," katanya.
Dengan memelihara sendiri domba menjelang masa pensiunnya dari sebuah badan usaha milik negara, Rahmat mengetahui seluk beluk domba garut. Dia mempelajrai sendiri teknik budidaya dari para pemilik dombar garut kontes. "Saya kemudian tahun, ternyata domba garut yang asli memang memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar bagi peternaknya. Domba garut yang tidak asli justru merugikan karena hasilnya tidak akan sesuai dengan jerih payah yang sudah dilakukan para peternak selama memelihara," kata Rahmat.
Melihat kenyataan itu, Rahmat lalu memulai proses pemurnian gen domba garut ketika memasuki masa pensiun pada tahun 2002. Waktu Rahmat kemudian tercurah seluruhnya untuk mempelajari dan mempraktikan pemurnian atau pemuliaan gen domba garut yang asli.
"Proses pemurnian dimulai dengan mengawinkan domba garut yang layak diduga memiliki gen bagus. Domba garut yang layak diduga memiliki gen bagus biasanya memiliki silsilah yang jelas," katanya.

Perkawinan murni

Domba garut yang ikut kontes biasanya memiliki catatan dengan bukti siapa indukannya. Proses perkawinan untuk pemurnian itu dilakukan hingga generasi keempat. Artinya, pada generasi kedua hingga keempat domba garut harus dikawinkan dengan pasangan yang kualitasnya bagus.
" Setelah generasi keempat gen domba garut sudah bagus secara permanen jika kemudian dikawinkan dengan domba garutlain yang asli," kata Rahmat.
Sama seperti manusia, domba juga dilarang kawin dengan domba lain yang memiliki hubungan darah karena akan menghasilkan gen yang jelek.
Dalam proses pemurnian itu, Rahmat mencatat dengan teliti silsilah keturunan dari Lipur, Dewa, dan Bagja, agar tidak terjadi perkawinan sedarah. "Ketiga keturunan dari pejantan itu saling saya kawinkan. Berdasarkan catatan yang saya miliki, tidak terjadi perkawinan sedarah sehingga kualitas domba yang dihasilkan setelah generasi keempat memang bagus," katanya.
Rahmat mengatakan, setelah mendapatkan domba garut dengan gen yang asli, budidaya menjadi sangat menguntungkan. Dari 14 domba garut yang dimurnikan itu, Rahmat membudidayakannya dengan sistem maro atau bagi hasil dengan peternak tradisional di Cimande, Kecamatan Cisaat, dan Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi.
Awalnya dia mengajak peternak tradisional yang masih memelihara domba lokal atau domba garut yang tidak asli lagi. "Ternyata tidak sulit mengajak mereka memelihara domba garut asli. Setelah melihat bukti bahwa memelihara domba garut asli lebih menguntungkan, mereka percaya," kata Rahmat.
Rahmat memilih peternak tradisional yang umumnya tinggal tinggal di daerah pertanian. Beberapa peternak yang bermitra dengan Rahmat bahkan tinggal di kaki Gunung Gede Pangrango yang jauh dari dari pusat keramaian.
"Memelihara domba garut itu hanya perlu tiga hal :kemauan, rumput, dan air. Domba garut termasuk sangat tahan penyakit sehingga tidak perlu terlalu takut akan terserang penyakit yang mematikan," katanya.
Kalaupun terserang penyakit, tidak sulit mengobatinya. "obat-obatan tradisional sangat ampuh menyembuhkan penyakit yang menyerang domba garut. Buah pinang,misalnya manjur untuk mengobati cacingan atau daun serai untuk kutu kulit. Obat-obatan tradisional lain bisa diramu dari lengkuas atau daun cabai rawit," kata Rahmat.
tahun 2007 populasi domba garut asli milik Rahmat yang diternakan dengan sistem maro sudah mencapai 300 ekor. Jumlah itu berkurang 100 ekor pada tahun berikutnya karena dijual Rahmat menjelang Idul Adha.
Budidaya domba garut asli, kata rahmat, sangat menguntungkan dibandingkan dengan domba jenis lainnya. "Setiap delapan bulan domba garut betina bisa beranak dua.Ini amat menguntungkan para peternak yang hanya perlu mencari pakan sepulang dari bertani di sawah atau ladang. Domba bisa menjadi tabungan yang menguntungkan bagi mereka," kata Rahmat.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 28 OKTOBER 2009

Rabu, 04 Agustus 2010

Rahmat, "Dokter" Pelaras Nada Angklung

"kalau mau ambil foto saya, bolehlah, tetapi jangan ambil pisau saya," kata Ahmad Rosadi tertawa, sambil menyerut bambu di bengkel kerjanya, sentra industri Angklung Saung Udjo, Padasuka, Kelurahan Pasir Layung, Kecamatan Cibeunying, Bandung, Jawa Barat.

AHMAD ROSADI ALIAS RAHMAT

Lahir : Jakarta, 28 Agustus 1952
Alamat : Babakan Baru, Padasuka, Kecamatan Cibeunying Kidul, Bandung
Istri : Elis Mintarsih (49)
Anak :
- Rizal Maulana (29)
- Fauzi Rimbawan (26)
- M Malik Andani (20)
- Taufik Hidayat (14)
Pendidikan :
- Sekolah Dasar, lulus tahun 1964
- SMP Kelas I tahun 1965

Oleh KHAERUL ANWAR dan GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Di balik kelakar itu, Rahat, panggilan Ahmad Rosadi- menegaskan bahwa pisau serut adalah "nyawa" bagi rahmat dan para perajin angklung, untuk memotong dan memperhalus bambu bakal instrumen tersebut. Jika pisau diambil, hilang pula sumber nafkah mereka.
"Kalau sudah cocok (dengan pisau ini), dibeli dengan harga mahalpun saya tolak," ujar Rahmat, yang memiliki pisau serut "bermata", menyerupai sendok.
Saat menghadiri Kongres Kebudayaan Nasional 2008 di Jakarta, seseorang asal Papua menawar pisau yang dipakai Rahmat seharga Rp.500.000,- Tawaran itu serta merta ditolaknya.
Agaknya, pisau itu juga saksi sejarah yang menemani Rahmat sejak masih belajar membuat angklung hingga kini. Ia menjadi "dokter" pelaras nada angklung, karena keterampilannya sebagai penyetem angklung, pada dasawarsa 1990-an Rahmat kerap dipanggil grup kesenian angklung di Semrang, Yogyakarta, dan Salatiga, bahkan juga di Surabaya dan Pasuruan.
"Biasanya nada angklung baru normal setelah empat tahun. awalnya, Angklung mesti sering disetem sebab bambunya perlu beradaptasi dengan iklim," ungkap Rahmat. Dalam sehari, dia bisa membuat empat angklung siap pakai.

Proses panjang

Lelaki yang memiliki darah seni dari ayahnya-almarhum H Ahmad Djajadi, anggota Grup Samrah di Jakarta- itu belajar dari seorang tetangganya yang mahir membuat angklung.
Mang Udjo Ngalagena (almarhum), seniman legendaris kesenian angklung Sunda dan Daeng Sutigna (almarhum)yangmemelopori angklung diatonis, adalah guru yang sangat dihormati Rahmat.
Ilmu yang didapat dari para guru itu dia terapkan dalam karyanya. Tak pelak, banyak bambu yang terbuang karena salah potong atau tidak pas dengan nada yang diinginkan. Bahkan dalam proses belajar itu, "tangan saya sering luka dan terpaksa dijahit karena pisau sewaktu meraut bambu,"
Lambat laun, pengetahuan Rahmat bertambah, seperti ilmu mengenai semakin dekat jarak antarbuku sebuah bambu, semakin tinggi suara yang dihasilkan. Sebaliknya, kian jauh jarak antarbuku, kian rendah pula suara yang dihasilkan.
Pada tahun 1976, Rahmat, yang semula bekerja serabutan, mulai konsentrasi di sanggar kesenian Saung Angklung Udjo yang kini dpimpin Taufik Hidayat Udjo.
Menurut Direktur Operasional PT Saung Angklung Udjo, Satria Yanuar Angganasastra, produksi angklung sanggar itu mencapai 20.000 buah sebulan, dengan omzet sekitar Rp.2 miliar setahun. Alat musik tersebut juga diekspor ke Korea, Jepang, Thailand, Malaysia, kecuali untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Bisa dibayangkan kesibukan di sanggar tersebut, mulai dari petugas sanggar yang melayani hilir mudik wisatawan membeli cenderamata sampai kesibukan perajin pembuat angklung.
Ada suara parang dan gergaji yang beradu dengan bambu, denting suara angklung, dipadu suara rampak gendang, suling dan rebab. Tak ketinggalan lenggak lenggok tubuh remaja putra-putri yang tengah berlatih menari dan alunan kidung tatar Sunda, mengisi hari-hari di sanggar obyek wisata di Bandung tersebut.
Sentra tersebut menghidupi 300 perajin di sekitarnya, termasuk Rahmat. Meski perajin pada bagian kerja yang dia kuasai itu terbatas jumlahnya, justru disitulah rahmat punya pern penting, setidaknya menjaga kepercayaan konsumen agar produk angklung memenuhi standar kualitas ekpor.

Dipengaruhi rasa

Tugasnya memang penting, yakni sebagai penyelaras nada angklung. Rahmat mampu melahirkan produkyang patut dibanggakan. Kemampuannya terlihat di bengkel kerja itu. Di sebelah kursinya ada balira (atau kulintang) dan tuner elektrik sebagai pedoman pengukur nada. Meski sebenarnya, dia lebih mengandalkan pendengaran dan perasaan (feeling)-nya.
Tabung angklung akan dirautnya sampai selaras dengan indera pendengar dan "kata hatinya"
Kepekaan perasaan itu didapat Rahmat setelah selama 33 tahun lebih menekuni angklung. "yang paling enak membuat angklung itu seusai shalat subuh, pukul lima sampai pukul tujuh. dalam suasana batin tenang, pikiran jernih,dan lingkungan relatif sepi, nyetem sebentar saja langsung dapet," ucapnya seraya menepuk dada.
Karena saban hari menggeluti bunyi dan nada, Rahmat bisa menghapal di luar kepala nada suara tetangganya yang bicara, tanpa melihat wajah si pembicara. Hebatnya lagi, Rahmat tidak pernah belajar musik secara formal. Pendidikannya putus pada kelas I SMP.
Pengetahuan musik dia peroleh dari membaca buku kesenian, dan belajar dari orang lain. Pengetahuan membuat angklung yang susah didapat itu tidak membuat dia pelit menularkannya kepada teman sesama perajin.
"Modal saya adalah semangat dan keringat. Siapapun yangmau belajar, saya ajarkan. Kalaupun dari semangat dan keringat saya itu ada yang jadi terkenal, itu soal lain," ucapnya. dari menularkan ilmunya itu Rahmat justru memiliki banyak sahabat.
Dia enggan membeberkan manfaat ekonomi dari kerja kerasnya selama ini. Ia memberi ilustrasi, nafkah hariannya terpenuhi, juga bisa punya rumah. Tiga anaknya pun bisa bersekolah sampai perguruan tinggi, dan seorang di antaranya masih kelas II SMP.
Boleh dibilang keberadaan Rahmat di sanggar itu menyempurnakan teknis pembuatan angklung yang sudah dianggap sebagai pakem. Misalnya, menemukan titik simpul lubang tabung angklung, yang semula letaknya terlalu tinggi dan rendah sehingga suara yang dihasilkan masih fals.
Letak lubang titik simpul sekitar seperempat bagian dari panjang tabung diukur dari atas, yang juga berfungsi untuk menggantung kedua tabung angklung itu, digeser beberapa sentimeter sehingga melahirkan nada yang pas. Itu dia temukan setelahdua tahun menggeluti angklung.
Hampir separuh usia Rahmat habiskan untuk melestarikan alat musik warisan leluhur Sunda. Tak heran kalau rasa nasionalismenya terusik ketika produk budaya Tanah Air tersebut di klaim oleh bangsa lain.
Makanya, Rahmat ingin, "Orang-orang mau bermain angklung, memakai baju batik , sambil menyanyikan lagu 'Rasa Sayang-sayange', agar seni seni budaya kita tidak diakui oleh negara lain,"

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 NOVEMBER 2009

Senin, 02 Agustus 2010

Tempat Berguru Petani dan Peternak Sapi

Asal petani punya tekad kuat dan berani mengubah pola penggunaan pupuk dari anorganik ke organik, niscaya hasilnya jauh lebih memuaskan. selain ramah lingkungan, biaya pertanian yang menggunakan pupuk/pestisida organik jauh lebih hemat ketimbang menggunakan pupuk kimia. Subsidi pemerintah terhadap pengadaan pupuk akan berkurang.

DANTO PRAMONOSIDI

Lahir : Sukoharjo, 1 November 1952
Pendidikan :
- SD di Sukoharjo
- SMP di Sukoharjo
- SMA di Sukoharjo
- S-1 Fakultas Teknik Universitas Indonesia
- S-2 Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Istri : Endang Dwi Purwaning (54)
Anak : dr Argo Seto (29)
Organisasi :
- Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Jaringan Petani Organik Jateng
- Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Sukoharjo
- Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan KTNA Provinsi Jateng
- Ketua Forum FEDEP (Forum for Economic Development and Employment Procurement)
Kabupaten Sukoharjo
- Wakil Ketua Himpunan Magister Lingkungan Surakarta

Oleh SONYA HELEN SINOMBOR

Bermodal tekad inilah, Danto Pramonosidi merintis pertanian organik, dipadukan dengan peternakan dan pembibitan sapi. Dari Peternakan sapi/lembu An-nuur di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang dia bangun tahun 2001, danto mencoba mewujudkan impiannya melepaskan belenggu bahan kimia dari pertanian.
"tahun 1999 saya pensiun dini sebagai kontraktor di sebuah BUMN karena diminta orang tua pulang ke kampung.Mulai saat itu saya berpikir bagaimana meningkatkan sumber daya manusia pedesaan agar bisa sejahtera lahir dan batin," ujarnya.
Dia sempat terjun sendiri, berkutat di kandang sapi di lahan seluas 2.000 meter persegi, mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik dan urine sapi menjadi pestisida organik, lalu berkuliah untuk menambah ilmu tentang lingkungan.
Hasilnya tidak sia-sia. tahun 2005 Danto menemukan model peternakan sapi terpadu dengan pertanian dan sarat dengan kewirausahaan. tak hanya memproduksi pupuk dan pestisida organik, Danto juga memberikan contoh kepada peternak sapi cara mengelola kandang sapi yang bebas polusi.
Merasakan manfaat besar dari peternakan dan pertanian terpadu itu. Danto pun berbagi ilmu dengan para petani, peternak sapi, penyuluhpertnian, termasuk para mahasiswa.

Menularkan model

Sejak 2005 ia mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan (P4S) serta membuka program megang bagi petani dan mahasiswa. Berbagai pengalaman, mulai dari beternak sapi hingga ke pembibitan sapi, mengelola kotoran sapi padat dan cair menjadi pupuk dan pestisida, serta menggunakan pupuk dan pestisida organik ke lahan pertanian padi ssehingga menghasilkan produk pertanian organik, ditularkannya. Ia juga mengajarkan bagaimana kotoran sapi diolah menjadi biogas.
Dimulai dari kelompok tani di desanya, Danto menularkan model peternakan dan pertanian terpaadu hingga ke Kabupaten Sukoharjo. Ratusan petani berbagai kelompok tani dari Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, Boyolali, Klaten, dan daerah-daerah lainnya di Jateng, Padang, dan Lombok, pernah magang di P4S.
"Biasanya mereka yang menentukan waktu magang.Materinya juga tergantung permintaan yang mau magang. Paling banyak pertanian dan peternakan. Ada juga yang tertarik kewirausahaan," ujarnya.
Didukung petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) di Sukoharjo serta sejumlah dosen di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Universitas Slamet Riyadi Surakarta, dan Universitas Islam Batik Surakarta, hingga kini Danto menyelenggarakan program magang dan pendidikan, memperkenalkan pupk dan pestisida organik, meyakinkan petani untuk beralih ke pertanian organik.

Kandang bebas polusi

Pada awal memulai peternakan sapi, kotoran sapi (letong) hanya ditumpuk dan dikumpulkan di kandang sehingga sering diprotes tetangga. Mengatasi polusi dari peternakan sapi, tahun 2002 Danto memutuskan kuliah di Program Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. dari sini dia mendapatkan ilmu beternak sapi yang ramah lingkungan.
Sejak tahun 2003 ia menerapkan pola peternakan dan pembibitan sapi dengan lingkungan yang bersih, bebas polusi. Hasilnya, dari 7 sapi betina, kini ia memiliki 42 ekor sapi.
Dia juga mulai mengolah kotoran sapi menjadi pupuk padat dan cair serta mengolah urine menjadi pestisida. Hasilnya digunakan di lahan sawah sekitar 1,9 hektar. "Saya mencoba pupuk dan pestisida organik di sawah sendiri. Menghilangkan sisa-sisa kimia memang tidak secepat itu. Untuk mencapai mutu panen yang sama dengan pupuk kimia, setidaknya harus melewati enam kali panen," ujarnya.
Berkat ketabahannya, lahan pertaniannya pun bebas dari bahan kimia. Beras organik di pasaran dijual sekitar Rp.8.000 per kilogram, sedangkan harga beras biasa hanya sekitar Rp.6.000 per kilogram.
Sejak tahun 2005 Danto mulai memperkenalkan model peternakan dan pertanian terpadu ini. Ia juga memproduksi pupuk organik dan pestisida cair, yang diberi nama Ursa Plus.
Untuk meyakinkan petani meninggalkan pupuk kimia dan beralih menggunakan pupuk dan pestisida organik, Danto bekerjasama dengan sejumlah kelompok tani di Sukoharjo menerapkan pertanian organik.
Awalnya memang tidak mudah mengajak petani beralih ke pupuk organik. Selama dua tahun lebih hanya beberapa petani yang tertarik menggunakan pupuk dan pestisida organik, itu pun belum seratus persen. naumn, Danto dan sejumlah pemimpin kelompok tani tak menyerah.
Petani terus diyakinkan walau membutuhkan waktu lima hingga enam kali panen untuk menghilangkan sisa-sisa kimia dari lahan pertanian. Alhasil, tahun 2008 petani mulai melirik pupuk organik. Kendati masih mencampur dengan pupuk kimia, sejumlah kelompok tani di Sukoharjo secara bertahap menggunakan pupuk dan pestisida organik. Pada masa tanam tahun 2009 beberapa petani yang pernah magang di tempatnya memutuskan berhenti menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
Lebih dari lima tahun menggeluti peternakan dan pertanian terpadu membuatDanto memiliki impian "mengindonesiakan sapi". Model peternakan sapi terpadu ini kelak bisa mencukupi kebutuhan daging sapi di dalam negeri, dan bahkan bisa mengekspor sapi keluar negeri.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 13 NOVEMBER 2009