Kamis, 31 Maret 2011

Tawa Amirudin, Mentor bagi Petani Asing


BIODATA

Nama : Tawa Amirudin
Lahir : Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat, 16 Mei 1959
Istri : Eni Darsini (47)
Anak : Yayat Hidayat (29), Asep Rohayat (24), Yoyon Jonhana (16)
Pendidikan : Lulus SMP Negeri Cikahalang, kabupaten Cirebon, 1975
Organisasi : Ketua KUD Bina Bakti, Kecamatan Pasawahan Anggota Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat.
Penghargaan :
- Pemuda Tani Terbaik se Jawa Barat dari Departemen Pertanian, 1985
- Pembimbing pada pertukaran petani dari Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertanian
2007

Tak terbayang secuil pun dalam benak Tawa Amirudin bakal menjadi pembimbing atau mentor bagi petani-petani asal Afrika. Padahal, 25 tahun silam, dia hanyalah petani muda yang punya kesempatan magang di rumah seorang petani di Yokohama, Jepang.

Oleh TIMBUKTU HARTHANA

Sudah tiga tahun ini, sejak 2006, suami Eni Darsini ini punya pekerjaan rangkap. Selain bertani dan menjual pupuk di kiosnya, dia kini berprofesi sebagai seorang mentor bagi petani-petani pemula dan juga petani asing yang ingin mengetahui pola bercocok tanam ala petani Indonesia.
Kebetulan, petani asing yang banyak belajar di tempatnya, Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S) Cara Tani Kuningan, berasal dari Benua Afrika. Tahun ini, lima petani dan seorang staf dari lembaga pertanian Senegal bertandang ke pondoknya. Sementara itu, tahun lalu enam petani asal Gambia menimba ilmu kepadanya. Mereka semua belajar dan praktik langsung di sawah-sawah milik petani di Desa Pasawahan, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
"Tahun ini tak hanya petani Afrika. Ada juga satu petani Madagaskar, tiga petani Myanmar, dan dua petani asal Kamboja. Totalnya ada 12 orang. Mereka itu peserta dari program yang dibuat Departemen Luar Negeri RI bersama Departemen Pertanian," ujar Tawa yang dipercaya menjadi mentor bagi petani asing itu dalam Apprenticeship Program for Asian & African Farmers in Indonesia 2009.
Tawa mengakui, tidak gampang mengajari atau bertukar pikiran dengan petani dari negara dan budaya berbeda. Kendala pertama adalah bahasa. Untungnya, laki-laki yang lahir 50 tahun lalu di Kuningan ini ditemani dua temannya yangcakap berbahasa Inggris. Masalah kedua, tak jarang petani yang magang bukan petani padi. Bahkan, ada diantara mereka yang peternak sapi.
Akibatnya, beberapa kali petani asing itu bersikap asal-asalan, tidak bersemangat belajar, dan enggan berpartisipasi. Padahal, tujuan mereka adalah menimba ilmu yang bisa digunakan untuk mengembangkan sektor pertanian di negaranya.
Bekerja menjadi mentor diakuinya harus lebih sabar agar ilmu dan pengalaman bertani yang diberikan bisa diterima dengan baik oleh petani-petani didiknya. Terkadang, keinginan untuk sedikit berbicara keras agaar petani asing itu semangat belajar harus dikubur dalam-dalam. Sebab, dia tak ingin hal itu ditanggapi lain oleh peserta magang. Namun, dia tak segan marah jika peserta magang adalah petani asal Indonesia. sebab, tujuan utama belajar adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri.
Untungnya, pengalaman menjadi pendidik bukan baru pertama kali dilakoninya. Sebab, sejak sekitar 10 tahun yang lalu rumahnya selalu menjadi rujukan bagi siswa-siswi Sekolah Menengah Pertanian Atas (SPMA) dari Garut, Indramayu, Bogor, dan Sumedang. Acapkali rumahnya menjadi tempat berkonsultasi para petani untuk mencari jawaban atas masalah pertanian yang mereka hadapi.
Tak hanya itu. Karena pernah magang bertani selama 9 tahun di Jepang, melalui organisasi Ikatan Alumni Magang di Jepang (Ikamaja), Tawa pun mendapat kepercayaan dari Dinas Pertanian Kuningan untuk membekali semangat para petani yang akan berangkat magang ke Jepang.

Praktik dengan petani

Saat ditanya dari mana dia memperoleh materi yang diberikan kepada anak didiknya atau petani-petani asing itu, jawabannya singkat, yaitu dari pengalamannya bertani. Hampir semua yang ditularkan itu berasal dari hasil kerjanya dan pengamatan di lapangan. Namun, itu juga didukung pelatihan dan pembekalan teori dari sejumlah balai besar pertanian di Jawa Barat, penyuluh pertanian dari dinas di daerah, maupun Departemen Pertanian.
Saat mengajari petani asing dia tak sekadar memberikan cara bertani ala petani Indonesia. Sebelumnya, dia mencari informasi tentang kondisi lahan dan model bertani yang berkembang di negara asal petani asing itu. Informasi tersebut, katanya diperoleh dari Departemen Pertanian atau petani yang pernah magang di luar negeri.
"Jadi, saat mendidik petani yang lahannya seperti di pantura (pantai utara) dengan yang dari gunung jelas beda pola pengolahan lahan yang disampaikan. Tiap lahan punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing," tambahnya.
Dari sawah sewa miliknya seluas 3,5 hektar, Tawa mengajarkan pola bercocok tanam yang dianggap, bahkan terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan. Mulai dari proses menyemai, membajak, menanam, menyiangi, memupuk, sampai memanen padi yang telah menguning. Hampir 90 persen adalah praktik di sawah dan sisanya teori atau sekadar obrolan bertukar pengalaman.
dia pun bersikeras, petani yang magang di tempatnya juga harus bisa belajar langsung dari petani-petani di desanya.Contohnya, , para petani asing diminta membantu petani lokal, dengan maksud bisa menyerap teori yang telah atau akan disampaikan nantinya. Sebab, hal pertama yang ingin Tawa tularkan kepada para petani adalah pola tanam dan pemeliharaan yang mengacu pada produktivitas tinggi dengan biaya produksi yang minimal.
Sebelum mulai bercocok tanam, para petani diarahkan memilih benih berkualitas dan juga memerhatikan kondisi lahan yang akan digarap, berupa hamparan atau lereng. Untuk pola tanam dan pemeliharaan, Tawa menularkan sistem legowo atau system rice intensification (SRI), mengatur jarak tanam agar produktivitasnya maksimal.
Ada juga pengenalan pola tanam benih langsung (tabela), yang sangat cocok diterapkan pada musim kemarau, atau daerah yang pasokan airnya terbatas. Yang tidak kalah pentingnya, menyadarkan petani melakukan pemupukan berimbang yang kerap mereka abaikan. Sebab, dengan memupuk padi sesuai aturan dan kebutuhan tanah, efisiensi biaya produksi bisa mencapai 25 persen.
"Memang, saya mengajarnya tidak urut seperti jadwal karena menyesuaikan dengan sawah tempat praktik.Kan praktik tidak bisa seperti teori," ujar Tawa yang mendokumentasikan kegiatan pemagangan itu ke dalam cakram untuk dibagikan kepada petani asing tersebut.

Etos kerja

Hal kedua yang ingin dia tularkan adalah nonteknis, yaitu berkaitan dengan etos kerja petani. Menurut dia, petani di negara berkembang, termasukIndonesia, masih menganggap pekerjaan mereka adalah pekerjaan sampingan yang tak perlu perhitungan serius. Akibatnya, para petani tidak memiliki manajemen usaha yang baik dan ujung-ujungnya selalu merugi.
Etos kerja yang dia inginkan adalah seperti petani di Jepang. Diantaranya, petani harus disiplin dan tak bergantung pada satu sumber komoditas. Disiplin dalam waktu dan cara bertani yang mengikuti aturan, seperti pemupukan berimbang.
Berkaitan dengan etos kerja, ternyata semangat pemuda untuk terjun ke dunia pertanian sangat rendah, bahkan mereka tampak enggan. Itu terbukti dari pengamatannya di lapangan. Lebih banyak orang tua yang bertani dibandingkan dengan anak muda. Tahun 1990-an masih banyak dijumpai petani berusia di bawah 30 tahun, tetapi sekarang petani usia 35 tahun ke bawah sudah sangat jarang ditemui. Mereka yang bekerja di sawah sebagian besar berusia 40 tahun ke atas.
Tawa khawatir, 5-10 tahun ke depan tak ada lagi petani muda di Indonesia. Padahal, sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang menyerap banyak tenaga kerja. Karena itu, dia berharap pemerintah lebih memfasilitasi petani-petani muda untuk belajar bercocok tanam yang baik dan produktif. Tawa juga menyatakan siap untuk menjadi mentor mereka.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 3 JUNI 2009

Arijanto Jonosewojo: Berdamai dengan Pengobatan Tradisional


DR ARIJANTO JONOSEWOJO SPPD FINASIM

Lahir : Surabaya, 20 Agustus 1953
Istri : Eriana (57)
Anak :
- Ardhana Pranasatria (32)
- Hermanto Sasongko Adinugroho (31)
- dr Lia Kinasih Ayuningati (24)
Pendidikan :
- SD Bhineka Bakti, Surabaya
- SMP Negeri 1 Surabaya
- SMA Negeri 2 Surabaya
- Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga 1972-1979, profesi ssampai 1981
- Spesialis Penyakit Dalam FK Unair, lulus 1993
Jabatan saat ini :
- Ketua Program Studi Pengobatan Tradisional FK Unair (2008-sekarang)
- Kepala Poliklinik Komplementer Alternatif RSU dr Soetomo Surabaya, (1999-sekarang)
- Ketua Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (Perhipba) cabang Surabaya
- Anggota Komisi Obat Tradisional Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
(LPPM) Unair
- Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Pengembang Kesehatan Indonesia (PDPKT)
cabang Surabaya
- Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) cabang Surabaya
- Pengurus Ikatan Dokter Indonesia cabang Surabaya
- Pengurus PerhimpunanOnkologi Indonesia cabang Surabaya
- Anggota Tim Bakta Yanmed Depkes
- Anggota Komite Etik Penelitian RSU dr Soetomo
- Anggota Komite Nasional Saintifikasi Jamu
- Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) cabang Surabaya

Arijanto Jonosewojo (57) semula ketat menerapkan pengobatan medis konvensional barat sesuai hasil pendidikan profesi kedokterannya. Belakangan, Arijanto berdamai dengan pengobatan tradisional, setelah pasiennya sembuh ketika beralih ke pengobatan tradisional.

OLEH NINA SUSILO DAN NAWA TUNGGAL

"Itu terjadi pada periode 1993-1997 ketika saya bertugas sebagai Kepala Hermatologi Onkologi Rumah Sakit TNI AL dr Ramelan di Surabaya," kata Arijanto, ketika ditemui beberapa waktu lalu di Surabaya, Jawa Timur.
Arijanto sekarang memimpin Poliklinik Obat Tradisional Indonesia (POTI) di Rumah Sakit Umum dr Soetomo, Surabaya, yang berdiri paada 19 Oktober 1999. Ia juga memimpin Program Studi Pengobatan Tradisional pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya yang berdiri pada tahun 2005.
Ia menceritakan, pasiennya waktu itu adalah seorang ibu dengan kanker payudara stadium lanjut. Sel-sel kankernya bermetastasis (menyebar) hingga ke tulang dada. Arijanto sempat membatin, secara teori kedokteran barat, kecil kemungkinan pasien itu bertahan. Ia menyarankan kemoterapi, tetapi pasien itu menolak.
"Para dokter lain juga angkat tangan. Kami hanya menerapkan terapi paliatif. Ibu itu tidak datang sampai saya ketemu lagi satu tahun kemudian," kata Arijanto.
Terapi paliatif merupakan perawatan untuk meringankan penderitaan pasien. tujuannya, agar penderita menjalani hari-hari terakhirnya dalam keadaan tenang.
"Saya bertemu pasien itu dalam keadaan sehat," kata Arijanto. Ia lalu menanyakan, apakah obat yang ia resepkan masih diminum? Arijanto terkesima ketika pasien itu menjawab, tidak.
Pasien itu menuturkan, beralih ke pengoatan tradisional dengan mengonsumsi obat-obatan herbal hingga ia sehat kembali.

Kekayaan Nusantara

Indonesia kaya dengan obat herbal yang diwariskan nenek moyang. Menurut Arijanto, sejumlah tanaman obat yang diklaim masyarakat bisa mengobati penyakit, ternyata 95 persen terbukti.Persoalannya adalah pada ketiadaan standar.
Hal terpenting dalam pengobatan tradisional, menurut Arijanto, sama seperti pada pengobatan modern, yaitu diagnosis yang tepat. Untuk mendapatkan diagnosis tepat, masih menggunakan laboratorium modern.
Peran dokter kemudian menakar dosis yang tepat. Bisa saja tidak dalam sekali observasi bisa tepat dosis. Namun, Arijanto menekankan, pengobatan tradisional bukan untuk coba-coba. hal itu dilakukan secara serius.
Penggabungan antara pengobatan tradisional dan pengobatan modern menjadi tujuan Arijanto saat ini. Ia mengajak para kolega untuk mendukungnya.
Sebagai contoh, untuk menangani penderita batu ginjal. Observasi membutuhkan laboratorium modern. Pengobatan tradisional dengan konsumsi obat-obat herbal dilakukan jika batu ginjal tidak lebih dari satu sentimeter, tidak ada penyumbatan, dan kadar kaliumnya tidak tinggi. Jika di luar itu tetap menggunakan pengobatan modern. Batu ginjal yang meluruh atau berhasil dioperasi kemudian dianalisis. Bila pembentukannya akibat kelebihan asam urat, penderita dianjurkan menghindari vitamin C supaya tidak berulang. Bila batu ginjal dari kalsium oksalat yang bersifat basa, penderita bisa leluasa mengonsumsi makanan yang bersifat assam.
Demikian juga dengan belimbing. Buah ini bagus untuk menurunkan tekanan darah bagi penderita hipertensi. Tetapi, jika ginjal penderita hipertensi lemah, belimbing justru akan memperparah.
Pegagan diketahui sebagai tanaman obat yang efektif menurunkan tekanan darah. Penderita hipertensi usia lanjut tepat mengonsumsinya, karena berdampak menurunkan tekanan darah lebih lambat dibandingkan obat kimia modern.

Tuan di negeri sendiri

Arijanto mengupayakan pemanfaatan obat herbal menjadi tuan di negeri sendiri. Ia mempersiapkannya melalui jalur pendidikan.
Selaku Ketua Program Studi Pengobatan Tradisional di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga , Arijanto menggandeng Beijing University of Traditional Medicine. Kerja sama itu setidaknya untuk mendapatkan pendalaman materi pengobatan tradisional China. "Dari China ingin diraih pengetahuan pengobatan tradisional akupuntur. Tetapi, diupayakan obat herbalnya bukan dari China, melainkan dari Indonesia," kata Arijanto.
Program Studi Pengobatan Tradisional mengenalkan tiga penjurusan keahlian, yaitu bidang jamu atau obat herbal, akupunktur, dan pijat. Implementasinya disalurkan antara lain di POTI, yang juga seringdisebut Poliklinik Komplementer Alternatif.
Beberapa jenis penyakit menjadi fokus poliklinik ini. Menurut Arijanto, semula ditetapkan sembilan jenis penyakit, meliputi darah tinggi, diabetes, hiperkolesterol, hepatitis, asam urat, asma, batu ginjal, reumatik, dan terapi kanker paliatif. Sekarang jenis penyakit bertambah untuk penyembuhan batu empedu, keputihan, dan obesitas (kegemukan).
Obat herbal Indonesia, menurut Arijanto, belum menjadi tuan di negeris endiri. Meskipun bahan baku berlimpah. ia mencontohkan, pasien membeli obat herbal dari Malaysia untuk pengobatan diabetes seharga Rp 400.000. Padahal, bahan utamanya biji mahoni yang banyak terdapat di Indonesia.
Inovasi obat herbal melalui riset masih menjadi tantangan besar. Sambiloto, lanjut Arijanto, bagus dikonsumsi penderita diabetes dalam bentuk simplisia (bahan yang terdiri atas akar, batang, dan daun) daripada diubah menjadi kapsul. "Ekstraksi kerap mengurangi khasiat obat herbal," paparnya.
Sebagai dokter yang telah berdamai dengan pengobatan tradisional, Arijanto merasakan obat tradisional kita seperti belantara yang haarus segera diubah menjadi ladang penelitian yang bermanfaat.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 31 MARET 2011

Selasa, 29 Maret 2011

Erif Kemal Syarif: Harumkan Cibeureum Lewat Sapi Perah


ERIF KEMAL SYARIF

Usia : 49 tahun
Istri : Tuti Sulastri (49)
Anak :
1. Utami Kemala Sari (25)
2. Dika Maulana Syarif (23)
3. Fadli Syarif Hidayat (22)
Usaha : Erif Farm, memproduksi susu sapi murni dan yoghurt

Iring-iringan kabur putih menyelimuti Desa Cibeureum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, siang itu. Dinginnya udara tak menyurutkan semangat sejumlah pekerja membersihkan kandang dan sapi perah jenis Fries Holland atau Holstein di kandang Erif Farm. Di kandang itu ada Abun, sapi betina berusia tiga tahun pemenang kontes sapi perah terbaik tingkat provinsi maupun nasional.

OLEH NELI TRIANA DAN PINGKAN ELITA DUNDU

Ini semacam kontes kecantikan sapi perah. Abun menang karena eksterior tubuhnya ideal untuk sapi perah keturunan inseminasi buatan (IB) masa laktasi pertama. Produksi susunya ideal bagi ternak sejenis dan seumurnya, yakni 38 liter per hari.
"Kualitas susu yang dihasilkan memenuhi standar kesehatan dan hampir memenuhi kualitas internasional," kata Erif Kemal Syarif, pemilik Erif Farm.
Keberhasilan Abun menambah deretan prestasi usaha peternakan sapi perah Erif. Sebelumnya, Erif Farm dua kali menjadi juara tingkat Kabupaten Bogor dan empat kali juara Provinsi Jawa Barat. Terakhir, tahun 2010, Erif Farm yang diwakili Abun, menjadi juara 2 tingkat nasional.
Erif dan istrinya, Tuti Sulastri, menjadi peternak sejak 1986. Kala itu, keduanya bekerja sebagai paramedis berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
tahun 1986 ada program kredit sapi perah. Setiap orang yang berminat mendapat jatah empat ekor sapi yang didatangkan dari Selandia Baru, sebagai modal untuk dikembangkan," cerita Erif.
Sebagai paramedis, Erif yang tak mengenyam pendidikan formal peternakan, belajar secara otodidak. Ia rajin mengikuti berbagai pelatihan peternakan demi meningkatkan pengetahuan soal ternak sapi.
Alhasil, dalam waktu 10 tahun, empat ternaknya berkembang menjadi 60ekor. Hingga tahun ini Erif Farm memiliki 200 sapi dengan 25 karyawan. Di antaranya terdapat 85 sapi perah laktasi atau siap memproduksi susu dengan hasil rata-rata 1.500 liter per hari.
"Kemurnian keturunan sapi kami dijaga lewat IB dengan sapi jenis yang sama dari Selandia Baru. ini untuk menjaga kualitas susu," katanya.

Pasang surut

Usaha Erif tanpa kendala. Dimasa awal merintis usaha tersebut, bukan hal mudah membagi gaji sebagai PNS untuk mengembangkan usaha dan menghidupi rumah tangga. Demi usaha ternaknya, tahun 1992 Erif dan Tuti bahkan melepaskan status PNS. "Biar fokus," katanya.
Tahun 1999, setelah krisis ekonomi melanda Indonesia, Erif membentuk kelompok ternak sapi perah bernama "Baru Sireum" yang menginduk pada KUD Giri Tani Cibeureum.
Namun, usaha kelompok itu tak mulus. Secara nasional semua peternakan sapi perah mengalami krisis hingga 2004. Dalam situasi demikan, mereka mencoba mencari pasar di luar KUD demi mendapatkan harga jual susu yang lebih baik.
Setelah meminta persetujuan pengurus KUD, tempat mereka berinduk, Erif Farm menjual susu dari produksi sapi perahnya ke perusahaan pengolahan susu swasta di Jakarta.. harga jual susu sapinya lebih tinggi dari KUD sehingga ia bisa mempertahankan usaha peternakannya.
Ketika harga susu mulai membaik, sekitaar tahun 2007, barulah Erif Farm dan anggota KUD Giri Tani lainnya bekerja sama memasarkan susu dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) terdekat."Dengan mengutamakan kualitas susu yang dihasilkan, IPS berani membayar tinggi harga produk susu kami," katanya.
Kini populasi sapi perah kelompok ternak Baru Sireum berjumlah lebih dari 400 ekor. Kelompok yang diketuai Erif ini beranggotakan tak kurang dari 20 usaha ternak sapi perah.
"Kami berusaha membuat mekanisme beternak yang efisien, sehingga kerja peternak tak berat tetapi hasilnya maksimal," katanya.
Sebagai pengelola kelompok ternak, Erif mengatur sampai menyiapkan pekerja pembersih kandang dan sapi untuk membantu peternak. Pekerja pembersih selain mendapat gaji bulanan, juga gaji ke 13 dan tunjangan hari raya. Setiap dua tahun mereka pun mendapatkan anak sapi.
maka, pada tahun kerja ke 15, pekerja itu memiliki seekor sapi dewasa. Erif mendorong setiap pekerja berkesempatan menjadi peternak.
Dengan maksimal delapan sapi, setiap peternak bisa mencari sendiri rumput pakan. Pakan tambahan seperti dedak gandum, dedak padi, dedak jagung, bungkil kedelai, bungkil kelapa, ampas tahu, mineral, serta multivitamin, diatur dan didistribusikan merta oleh kelompok ternak. Tak ada bahan kimia dalam asupan pakan ternak. Pengaturan kandang juga seragam, ukuran 6 x 6 meter persegi untuk dua sapi.

Produk olahan

Untuk mengembangkan usaha, Erif dan Tuti kemudian memproduksi olahan susu, yaitu yoghurt. "Yoghurt kami berbahan susu murni, tanpa campuran. Tidak menggunakan pengawet dan halal. Biar semua orang minum susu, terutama anak-anak sekitar sini, kami sengaja membuat yoghurt dengan aneka rasa dan dibungkus kecil-kecil," kata Erif.
Yoghurt produksinya mendapat penghargaan Bupati Kabupaten Bogor sebagai Juara I Pengolahan Hasil Peternakan untuk jenis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Untuk mempertahankan kualitas, setiap produknya selalu lulus uji Balai Besar Industri Agro. Sinergi usaha peternakan sapi perah dan hasil olahan susu itu diharapkannya dapat meningkatkan taraf hidup keluarga, karyawan, maupun masyarakat sekitar. "Tak muluk-muluk, tujuan kami adalah memajukan dan menyejahterakan peternak ssapi perah di Cibeureum. Syukur jika bisa i wilayah lain juga," kata Erif.
Untuk itu, ia memegang teguh semboyan hidupnya, rezeki sudah diatur Allah SWT. Semboyan itu membuat Erif dan Tuti tak merasa memiliki pesaing dalam usaha peternakan. Pasangan ini justru melahirkan Pusat Pelatihan Pertnian (ternak) dan Pedesaan Swadaya (P4S) dengan moto "kita juga bisa".
Cara pengelolaan dan kepemimpinan yang proternak, propeternak, dan jeli melihat pengembangan peluang usaha inilah yang menjadi kunci keberhasilannya.
Erif juga teguh mempertahankan lahan untuk rumah ternak sapinya. Ia bahkan berupaya memperluas tempat bagi ternak, di tengah gempuran godaan usaha jasa wisata yang menguasai kawasan Puncak.
"Saya tidak anti usaha pariwisata. Bahkan, sebenarnya antara usaha ternak dan wisata bisa disatukan. Hanya saja perlu pengaturan khusus. Saya khawatir, jika dibiarkan pembanguan di Puncak tanpa pengaturan, tidak akan ada lagi lahan untuk ternak. Usaha saya dan kelompok ternak ini mungkin hanya bisa bertahan lima tahun lagi....," kata Erif.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 30 MARET 2011

Senin, 28 Maret 2011

Wahyudi Anggoro Hadi: Menghidupkan Kembali Kampung Dolanan


WAHYUDI ANGGORO HADI

Lahir : Bantul, DI Yogyakarta, 24 Juli 1979
Istri : Umi Haniah (32)
Anak:
- Nina Arumi Lu'lu El Nida (2)
- Nala Ulupi Fathiya El Rahma (6 bulan)
Pendidikan :
- SD Jetis, Bantul
- SMP Sewon, Bantul
- SMA, Sewon, Bantul
- S-1 Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
Kegiatan : Koordinator Komunitas Pojok Budaya

Sebelum tahun 1980-an, Dusun Pandes, Kelurahan Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, terkenal sebagai kampung produsen dolanan tradisional. Seiring dengan munculnya mainan berbahan plastik dan televisi, geliat ekonomi kampung ini mulai surut. Tinggal delapan orang lansia berumur lebih dari 70 tahun yang dulu "berjaya" mencipta aneka dolanan tradisional, seperti klontongan, angkrek, kitiran, manukan, wayang, klutuk, serta blimbingan.

OLEH ALOYSIUS B KURNIAWAN

Situasi itu membuat gerah Wahyudi Anggoro Hadi. Agar warisan dolanan anak khas Pandes tak punah, ia berusaha membuat warga setempat menyadari bahwa kampungnya memiliki warisan budaya yang unik.
Sayangnya, upaya itu gagal. Omongannya dianggap angin lalu. Bahkan, sebagian warga justru menilai Wahyudi hendak melakukan manuver politik.
"Warga kampung tak percaya omongan saya. Saya justru dicurigai ingin berpolitik," ceritanya tentang kondisi tahun 1999 itu.
Tujuh tahun kemudian, Bantul dan sekitarnya diguncang gempa bumi. Sebanyak 15 warga Dusun Pandes tewas dan 60 persen permukiman warga hancur. namun, hal ini menjadi momen kemunculan semangat kolektif masyarakat Pandes. Wahyudi mengajak pemuda setempat belajar dari delapan sesepuh pembuat dolanan yang masih ada.
"Setelah gempa 2006, terjadi proses transfer pengetahuan dan warisan budaya dari para simbah (kakek-nenek) kepada generasi muda di kampung ini. Lewat Forum Merti Dusun, sejak tahun 2008 kami mendirikan Pojok Budaya sebagai wahana bersama untuk mempertahankan lokalitas budaya. Ini upaya kami untuk mandiri, terlepas dari bantuan para sponsor setelah bencana berlalu," katanya.
Melalui Komunitas Pojok Budaya, warisan budaya dolanan dihidupkan kembali. Anak muda yang telah menjalani transfer warisan budaya dari orang tua diajak menularkan pengetahuan itu kepada anak-anak di kampung yang semakin terlena dengan televisi dan mainan modern.
"Maka, melalui Pojok Budaya, para pemuda kampung itu mengenalkan kembali aneka mainan tradisional Jawa yang juga mulai ditinggalkan, seperti egrang, dakon, klontongan, angkrek, kitiran, manukan, wayang, klutuk, dan blimbingan.

Dampak sosial dan ekonomi

Melihat semangat baru warga Pandes, sejumlah institusi pendidikan di Yogyakarta dan sekitarnya tertarik mengajak anak-anak didik mereka berkunjung ke Pojok Budaya. bahkan, sejumlah sekolah menjadikan program Wahyudi sebagai muatan lokal bagi siswanya.
Seiring dengan mulai munculnya minat masyarakat terhadap dolanan anak-anak, Wahyudi kemudian merancang paket-paket pelatihan anak, seperti berlatih membuat mainan tradisional, bermain permainan tradisional bersama, hingga pengenalan budaya tradisional. Para orang lansia pembuatmainan dolanan, ibu-ibu, hingga anak muda di Dusun Pandes juga dilibatkan dalam program ini.
:Jika dulu mainan manukan hanya dijual Rp 1.000 per buah, sekarang masyarakat di sini bisa mendapat pemasukan sampai Rp 30.000 per anak pada setiap workshop atau pelatihan. Simbah-simbah juga tak perlu lagi berjualan keliling kampung untuk menjual dolanan anak," ucapnya.
Setiap bulan, Pojok Budaya dikunjungi dua hingga tiga sekolah, dengan jumlah pengunjung 150 hingga 200 anak. Namun, menurut Wahyudi, lebih dari sekadar persoalan ekonomi, munculnya perhatian pihak luar semakin menumbuhkan kepercayaan diri baru bagi masyarakat Pandes, terutama para orang lansia pewaris dolanan anak.
"Di tempat lain banyak lansia yang dianggap menjadi beban sosial. Tetapi, di sini mereka memiliki kepercayaan diri karena mendapat penghargaan luar biasa, baik dari para murid, guru, maupun media. Eksistensi mereka diakui," lanjutnya.
Nenek Atemo (80) adalah satu dari delapan orang lansia produsen dolanan anak Pandes. Saat sekelompok anak usia SD berkunjung ke Pojok Budaya, ia dengan sabar ,mengajari mereka membuat manukan, mainan anak-anak berupa sangkar berbahan bambu dengan burung kecil dari bahan lilin di dalamnya.
Selain Nenek Atemo, terlihat pula beberapa pemuda dengan kaus bertuliskan "Kampung Dolanan" yang turut memandu anak-anak yang sedang mengikuti pelatihan.
"Kami bertugas mengajak anak-anak bemain dan membuat mainan. Sebelumnya, kami juga berlatih membuat mainan (tradisional) dari para simbah di sini," kata Joko (22), pemuda lulusan STM asal Dusun Pandes.
Dalam satu kali pelatihan, paling tidak sekitar 30 penduduk Dusun Pandes ikut terlibat. Mereka disertakan dalam berbagai aktivitas, seperti gejog lesung (menumbuk padi dengan lesung), menjadi fasilitator permainan, membuat mainan anak-anak, menyiapkan makanan bagi peserta, hingga menyiapkan buah tangan bagi peserta pelatihan.
Pelatihan yang dilakukan komunitas Pojok Budaya ini diselenggarakan secara sederhana di pelataran rumah Wahyudi atau di bangunan serbaguna Pojok Budaya. Pascagempa, bangunan itu disumbang oleh sebuah bank.
Agar anak-anak tak kepanasan, di belakang rumah Wahyudi dibangun gubuk bambu tempat anak-anak berlatih membuat dolanan anak dan bermain-main.
Meski banyak mengundang perhatian, khususnya lembaga pendidikan dan media, perhatian pemerintah daerah atas bangkitnya komunitas Pojok Budaya relatif kurang. Wahyudi sempat membuat presentasi di hadapan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul terkait program pendidikan berbasis masyarakat yang telah ia lakukan. Tetapi, katanya, tak ada respons dari pemerintah daerah.

Lokalitas

Ide Wahyudi untuk memelopori berdirinya komunitas Pojok Budaya sederhana saja. Awalnya ia terinspirasi untuk mendidik anaknya sesuai dengan kondisi lokal.
"Saat ini muncul tantangan, dimana anak-anak kita tumbuh justru dalam lingkup budaya luar (asing). Karena itu, menggali kembali kekayaan budaya lokal, seperti dolanan anak perlu dilakukan agar anak-anak tumbuh sesuai dengan lokalitas mereka," katanya.
Karena prinsip tersebut, sekitar tahun 1999 Wahyudi menjual televisi dan radio miliknya. Dua sumber informasi yang dia pertahankan hanyalah koran dan internet.
"Ini bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan saya terhadap kapitalisasi pendidikan. Saya yakin, anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dengan budaya lokal, salah satunya melalui dolanan tradisional anak-anak," kata Wahyudi tegas.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 29 MARET 2011

Djuhhari, Perahu Majapahit dan Spirit Bahari


DATA DIRI

Nama : Haji Djuhhari Witjaksono
Lahir : Malang, 15 Desember 1930
Istri : Hajjah Siti Sa'adah
Anak:
- Himalatul LAtifah (31)
- Utari Djuraidah (30)
Pendidikan : STM Negeri Malang bagian bangunan, 1957
Penghargaan antara lain :
- Upakarti, 1991
- Pemenang pertama lomba cenderamata khas Jatim untuk tamu negara/pemerintah daerah,
1997
- Pemenang terbaik lomba desain cenderamata bercirikan khas Indonesai, Jakarta
International Gift Show, 1998
- Pemenang terbaik kerajinan Asia Tenggara di bangkok, 2006

Sejak membuat miniatur perahu layar tahun 1980, Djuhhari Witjaksono berupaya menyebarkan kesadaran bahari ke seluruh Nusantara. Berbagai miniatur perahu, mulai yang berada dalam botol hingga berukuran 2 meter, tersebar di seluruh Indonesia lewat tangan Djuhhari.

Oleh INGKI RINALDI

Sampai kini, kakek lima cucu itu masih aktif mengawasi Sanggar Seni Bahari Tradisional (SSBT) di Mojokerto, JAwa Timur, yang memproduksi miniatur perahu bergaam model dan bentuk. Bahkan, sanggar itu juga menerima kaum muda yang mau berlatih kemahiran membuat miniatur perahu.
"Beberap bulan lalu ada lima orang dari Ambon yang magang selama tiga bulan. Setelah itu, datang lagi 20 orang dari Riau untuk belajar di sini," kata Djuhhari, pertengahan Juni lalu. Sejak tahun 1980 sudah banyak perajin dari seluruh Indonesia yang menimba ilmua padanya.
Pada 1986 Djuhhari melakukan penelitian kecil-kecilan untuk menemukan bentuk asli perahu Majapahit. Berbagai buku yang dipadu daya imajinasi dan keterampilan tangannya menghasilkan bentuk awal perahu Majapahit.
Ia pergi ke sejumlah candi, sperti Penataran di Blitar dan Borobudur di Magelang, untuk mempelajari bentuk-bentuk perahu masa itu.Ia juga mengunjungi Museum Maritim di Amsterdam, Belanda, untuk melengkapi pemahamannya soal bentuk perahu Majapahit.
Upaya rekonstruksi miniatur perahu Majapahit itu mendekati bentuk idealnya tahu 1991.Tiga tahun kemudian, sebuah pabrik rokok di Indonesia memasukkan model perahu Majapahit itu dalam kalender terbitan mereka dan didistribusikan ke seluruh Indonesia.
Miniatur perahunya makin terkenal hingga beberapa pihak meniru dan mengaku-aku sebagai pembuatnya. Djuhhari lalu mengurus hak ciptanya. Pada 4 Agustus 1999, ia mendapatkan hak ciptaperahu Majapahit dari Departemen Kehakiman dan HAM (kini Departemen Hukum dan HAM).
Dua perahu Majapahit berukuran 2,5 meter sempat dilegonya. Salah satunya kepada mantan Gubernur jatim Basofi Sudirman. Satu perahu jenis itu masih dia simpan walau ada yang menawarnya seharga Rp.40 juta.
"Namun, perahu itu tidak saya kasihkan. Ini untuk master saya," kata Djuhhari.

Ekspedisi Majapahit

Ada sebentuk keranjang di ujung buritan perahu tersebut, untuk menampung batu dan difungsikan sebagai jangkar. Ada pula model burung-burung kecil yang hinggap di sejumlah bagian perahu Majapahit itu.
"Dulu, burung-burung dara ini dpakai untuk mengirimkan pesan," kata Djuhhari.
Ada pula detail lain dalam perahu masternya, seperti tumpukan model bambu di sisi kiri dan kanan badan perahu yang berfungsi menambah daya apung perahu.
Keahlian dan ketekunan Djuhhari kemudian membuat dia menjadi salah satu rujukan untuk sejarah Majapahit. Pada 29 Juni 2009, misalnya, dia menjadi salah satu narasumber yang digelar Japan Majapahit Association dan Direktorat Peninggalan Purbakala RI di Jakarta.
Japan Majapahit Association yang berkedudukan di Tokyo itu berniat menelusuri jejak kejayaan Kerajaan Majapahit dalam arung samudra keliling dunia. Perahu yang akan digunakan untuk tujuan itu rencananya dibuat berdasarkan tiruan kapal buatan zaman kejayaan Kerajaan Majapahit.
Takajo Yoshiaki dari japan Majapahit Association mengatakan, karya Djuhhari dipakai sebagai salah satu acuan. Untuk itu, Djuhhari bakal mempresentasikan hasil riset dan telaahnya mengenai perahu Majapahit bersama sejumlah profesor dari Jepang, Perancis, Jerman, dan Indonesia. "Karena memang belum pernah ada yang melihat kapal itu," kata Yoshiaki.
Menurut Djuhhari, kemungkinan kendala pembangunan perahu Majapahit untuk kepentingan ekspedisi itu menyangkut masalah teknis. Pasalnya, miniatur perahu yang dia bikin sama sekali tak memperhitungkan kekuatan dan kelaikan layar.
"Perahu-perahu ini kan hanya ornamen. Makanya, nanti banyak ahli yang juga terlibat," kata Djuhhari.
Ekspedisi itu ditujukan guna mengenalkan nilai-nilai kebudayaan tinggi bangsa Indonesia. Yoshiaki menjelaskan, tujuan ekspedisi itu untuk melihat kembali nilai-nilai luhur zaman Majapahit di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
"Kalau menunggu (bangsa) kita, tidak akan jalan-jalan. ini mumpung ada orang yang peduli, ya kita sambut. Malu-malu sedikit, tidak apa-apa," kata Djuhhari tentang semangat orang Jepang yang menggagas ekspedisi Majapahit itu.

Banting setir

Lahir di malang, Djuhhari menyelesaikan pendidikan di STM Negeri Malang bagian bangunan pada 1957. Ibunya, seorang buruh tani, dan sang ayah mencukupi nafkah keluarga itu sebagai pengemudi. Mulai 1957-1963 Djuhhari bekerja pada salah satu biro kontraktor di Malang. Sejak 1963 dia menjadi kontraktor bangunan yang membangun gedung perkantoran.
Semasa muda, ia aktif pada organisasi Pandu Rakyat Indonesia. Namun, ia tak meneruskan aktivitas kepanduannya pada masa Pramuka karena merasa gerakan itu sudah "disusupi" kepentingan politik. Merasa prihatin dengan sedikitnya orang Indonesia yang menekuni dunia kelautan, membuat Djuhhari banting setir pada 1980.
Selama 1980-1985 ia merasa usaha konstruksinya tak berkembang. Tahun 1985 semua dokumen yang berkaitan dengan usaha konstruksinya itu dibakarnya. "Wis (sudah), ganti dunia baru," ucap Djuhhari berseloroh.
Bermodal keterampilan tangan dan sejumlah buku, Djuhhari mulai berkreasi. Buku-buku itu dia peroleh dari berbagai sumber, mulai dari perpustakaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan, Jatim, hingga membeli di luar negeri.
Berbagai ungkapan soal nenek moyang orang Indonesia yang disebut sebagai pelaut dan falsafah mengenai perahu jutru menyemangati dia memulai usaha baru.
"Nenek moyang kita ini orang pelaut. Oleh karena itu, saya yakin, Insya Allah, bahkan orang yang tinggal di pucuk gunung sekalipun ada yang punya jiwa bahari," katanya.
Tak heran, misi utama dia memilih kerajinan miniatur perahu layar tradisional adalah mengenalkan soal budaya maritim yang seakan hilang di kalangan generasi muda. Padahal, kata Djuhhari, jenis perahu layar di Indonesia amat banyak. Namun, beragam jenis perahu itu belum terdata dengan lengkap dan jelas.
bahkan untuk Jatim saja, tambahnya, terdapat tak kurang dari 50 jenis perahu layar tradisional. Bentuk-bentuk perahu layar tradisional itu tak banyak diketahui orang karena mulai dilupakan dan nyaris tak ada dokumentasi tentang hal itu.
"Kita ini bangsa agraris sekaligus maritim. Namun kita melupakan laut, justru orang asing yang memanfaatkan laut kita," kata Djuhhari.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 30 JUNI 2009

Kamis, 24 Maret 2011

Endo Senggono: Penjaga Rumah Para Penulis


ENDO SENGGONO

Lahir : Cimahi, Jawa Barat, 21 Desember 1959
Pendidikan : S-1 Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Pekerjaan : Staf Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin
Istri : Tita Yulia Purwanti (35)
Anak : Gayatri Sinta Nabila (10)

Hari sudah petang saat Endo Senggono, sosok yang bisa dikatakan sebagai "katalog hidup" di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, berjalan tertatih-tatih. Sepasang kruk yang menopang tubuh lelaki itu bergerak seirama. Meski gurat lelah menghias wajahnya, Endo terus tersenyum. OLEH FABIOLA PONTO "Mungkin karena faktor usia saya jadi cepat lelah. Padahal, saya belum terlalu tua ya," ujarnya sambil menyelipkan rambut yang memutih di belakang telinga.
Petang itu para pencinta sastra mengadakan pertemuan untuk merancang aksi penyelamatan Puat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di bawah pengelolaan Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang terancam tutup karena minimnya dana hibah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Perlahan dia berpegangan di tepi meja, lalu duduk dan menyandarkan kruknya. Endo memiliki keterikatankuat dengan pusat dokumentasi sastra yang berada di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, itu.
Sudah 24 tahun ia turut mengelola tempat yang memiliki puluhan ribu judul buku dan terdiri dari beragam jenis dokumen tersebut. Pengagum karya Mochtar Lubis ini nyaris tak merasa jenuh meski puluhan tahun berkumpul dengan buku, dokumen, dan naskah tua beraroma lembab.
Endo mengingat awal keterlibatannya di PDS HB Jassin sesungguhnya sekadarmengisi waktu. dia diajak almarhum HB Jassin untuk membantu di tempat itu tahun 1987.
Pusat dokumentasi tersebut menyimpan koleksi buku harian, tulisan di majalah dan surat kabar, buku tulis, surat, serta foto pribadi HB Jassin. Dokumentasi lalu berkembang dengan karya sastra almarhum yang saat itu menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya).
Sebagai orang yang baru lulus Fakultas Sastra UI, Endo belum mempunyai pekerjaan. "Rencananya, saya membantu pak Jassin sampai mendapat pekerjaan," tuturnya. Selama menjadi sukarelawan, ia mendapat ganti uang transpor, tanpa upah.

Keterusan

Dari sekadar mengisi waktu, Endo menjadi keterusan karena ia memang menyukai buku. Seiring berjalannya waktu, dia terlibat lebih dalam meski PDS HB Jassin kerap terlilit kesulitan dana. "Saya sudah terlanjur senang di sini,"katanya.
Kejelasan statusnya di PDS HB Jassin ia peroleh tahun 1997 saat menjadi pegawai negeri sipil. Sebagai PNS, Endo yang kini bergolongan III/D tetap mengemban tugas "menjaga" PDS HB Jassin, yang kerap menjadi rujukan penelitian mahasiswa seputar sejarah sastra Indonesia.
"Bukanmahasiswa saja, banyak orang mencari data di sini, termasuk wartawan, budayawan, juga sastrawan dari dalam dan luar negeri," ujarnya.
Bukannya bosan dan dilanda kejenuhan karena bergelut dengan rutinitas, PDS HB JAssin malah menjadi bagian hidupnya. Justru karena bekerja di PDS HB JAssin pula Endo berjumpa perempuan yang lalu dinikahinya, Tita Yulia Purwanti.
Mereka yang mencari referensi sastra datang dan pergi. Mulai dari pelajar, mahasiswa, guru, penulis, hingga praktisi film silih berganti "menemani" Endo di PDS HB Jassin.
Mahasiswa yang saat mengerjakan skripsi kerap ke pusat dokumentasi itu biasanya menyerahkan skripsi saat lulus. "bagaimana mungkin saya bosan di sini kalau saya bisa mendapat banyak teman," ujar Endo.
Dia juga punya kedekatan hubungan dengan almarhum Motinggo Busye, penulis dan penyair kelahiran Bandar Lampung yang juga hobi melukis. Berawal dari interaksi di PDS HB Jassin, kata Endo, dia bersahabat dengan Motinggo Busye.

Sejak awal

Mengelola PDS HB Jassin bukannya lancar-lancar saja. Masalah yang timbul akibat keterbatasan dana terjadi sejak awal keberadaan PDS HB Jassin. Keadaan keuangan pernah memburuk pada tahun 1998.
Krisis ekonomi pada era reformasi saat itu menyebabkan pusat dokumentasi tersebut terseok-seok melangsungkan pemeliharaan dokumen. Satu-satunya jalan keluar adalah membentuk lingkar mitra.
Penggalangan dana dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan dokumen. Setelah itu, setiap tahun subsidi dari pemerintah meningkat bertahap. Saat Sutiyoso menjadi Gubernur DKI, ada subsidi Rp 500 juta per tahun.
"Keadaan tak pernah lebih buruk dari sekarang, kalau benar dana hibahnya hanya Rp 50 juta setahun termasuk untuk upah karyawan," katanya.
Ia kemudian beranjak tertatih menuju ruang arsip. Hawa sejuk dari pendingin ruangan masih tersisa karena AC baru dimatikan. Endo memandangi puluhan ribu dokumen dan buku di depannya.
Rasa prihatin menyergap. Semua dokumen merupakan barang yang tak ternilai. Ia belajar dari HB Jassin yang begitu menghargai bentuk karya, dari coretan kecil di kertas sampai karcis pertunjukan Teater Koma yang pentas di TIM. "Saya sungguh mengagumi Pak Jassin," ungkapnya.
Selama berada di PDS HB Jassin, ia melihat dan merasakan suasana dan saat berbagai dokumen kertas yang menghuni ruang arsip tersebut menjadi lapuk.
Dengan keterbatasan dana, pengurus tak bisa maksimal melakukan perawatan dan pemeliharaan. Tak heran, hampir di semua sudut ruang terdapat tumpukan dokumen, baik berupa kertas, map berbagai ukuran, maupun bermacam-macam jenis surat kabar yang menguning termakan usia.
Sosok sastrawan seperti Chairil Anwar yang dilukis menggunakan cat air digantung di dinding begitu saja. Di sisi lain berbagai sketsa sastrawan dan puisi juga digantung tak beraturan, mengacuhkan sisi estetika.
Begitu banyak dokumen tertumpuk begitu saja. Rata-rata tinggi tumpukan mencapai sepinggang orang dewasa karena rak buku yang tersedia sejak lama tak mampu menampung limpahan dokumen. Ini berarti kembali pada keterbatasan anggaran.
Endo tak tahu harus berbuat apa lagi. Dia khawatir semua dokumen akan berakhir dengan kepunahan sebelum diselamatkan. "Padahal, dari dokumen di sini orang berkesempatan belajar sastra lebih banyak," ujarnya sambil berharap penggalangan dana yang sedang bergulir mampu memecahkan persoalan, walau sementara.

Tak hanya tertegun

Masyarakat seharusnya bisa berbuat, tak cuma tertegun menatap nasib dokumen menuju kepunahan. Dokumen yang sekaligus menjadi saksi sejarah perjalanan sastra di Indonesia. Isi PDS HB Jassin, menurut Endo, bisa dialihkan dalam bentuk digital karena tak selamanya fisik dokumen bisa diselamatkan.
Ia bermimpi agar dokumen tua yang usianya mencapai 80 tahun itu tak dilupakan begitu saja. Apalagi banyak dokumen di PDS HB Jassin yang tak ditemukan di tempat lain, bahkan oleh penulisnya. Selain banyak pula penulis yang menyerahkan nakah aslinya di sini.
"Mereka tak sanggup merawatnya. Jadi ini seperti rumah para penulis," katanya.
Dokumen di PDS HB Jassin mungkin seperti kertas tua menuju kepunahan. Namun, semua itu begitu berharga. Gerakan spontan #koin-sastra di media sosial Twitter dan Facebook untuk menyelamatkan PDS HB Jassin menjadi tanda kepedulian masyarakat akan sebuah tempat yang berperan penting pada perkembangan sastra Indonesia.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 25 MARET 2011

Rabu, 23 Maret 2011

Syarifuddin Daeng Tutu: Tak Lelah Melestarikan Sinrili'


SYARIFUDDIN DAENG TUTU

Lahir : Sungguminasa, Gowa, 28 April 1955
Istri : Wahidan Daeng Cora
Anak : Nur Adniasari, Nur Syamsi, Nur Fatimah, Malik Abdul Azis
Pekerjaan :
- Staf Departemen Penerangan Kabupaten Gowa, 1983-2000
- Staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gowa, 2000-kini
- Pengisi materi di Laboratorium Tari Institut Kesenian Jakarta, 2000-kini
Pementasan antara lain :
- Asian Art Festival di Hongkong, 1988
- Temu Teater se Indonesia di Makassar, 1993
- Tur keliling Eropa di Jerman, Swiss, Austria, Perancis, 1993
- Mencari keberadaan etnis Makassar dalam Suku Aborigin di Australia, 1996
- Tur ke Capetown, Afrika Selatan, 2005

Sinrili' telah membawa Syarifuddin Daeng Tutu melanglang buana. Ia menghibur sambil menyampaikan petuah bijak leluhur dalam sastra bertutur khas budaya Makassar, Sulawesi Selatan. Meskipun sarat pesan moral, kesan serius sirna di balik kejenakaan ayah empat anak ini.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP

Sinrili' disampaikan sambil memainkan alat musik gesek, seperti pada biola. Alat musik yang diaminkan sambil duduk bersila ini terbuat dari kayu pohon nangka, kulit kambing, dan dibentangi tiga senar berbahan kuningan. Alat untuk menggesek dibuat dari ekor kuda. Senar dan ekor kuda yang saling berentuhan menghasilkan bunyi mirip rebab.
Suara Daeng Tutu menyatu dalam lantunan irama musik yang monoton. Ia terdengar seperti orang yang berbicara diiringi musik ketimbang bernyanyi. Sinrili' biasa dia sampaikan dalam hajatan, seperti perkawinan dan syukuran rumah baru.
Banyak hal dia tuturkan saat menyampaikan sinrili' . Isinya dari falsafah bijak yang diajarkan leluhur hingga mengkritisi kondisi terkini. Kritik sah saja disampaikan lewat sinrili' mengingat pada masa Kerajaan Gowa empat abad silam, seni bertutur itu menjadi media komunikasi antara raja dan rakyat.
Daeng Tutu memadukan nasihat dan kritik dalam sinrili'. Metode penyampaian yang dulu hanya menggunakan bahasa Bugis-Makassar ia selingi dengan bahasa Indonesia. Ia ingin para pendengar memahami substansi informasi yang disampaikan. Maklum, Daeng Tutu sering membawakan sinrili' di depan para pejabat yang umumnya tak mengerti bahasa Bugis-Makassar.
Dia juga berani mengubah gaya tradisional para pembawa sinrili' sebelumnya yang cenderung kaku dan serius. Ia mengolaborasi penyampaian informasi dan kritik lewat gurauan yang kerap membuat penonton tertawa. Inovasi itu bisa mencairkan suasana acara yang dibalut formal sekalipun.
"Sinrili' bukan sesuatu yang sakral sehingga bisa dilakukan dengan berbagai cara. Jauh lebih penting para hadirin mengerti pesan yang disampaikan," ujarnya.
Ciri khas itu belakangan membawa berkah bagi Daeng Tutu. Ia kerap dipercaya menjadi pembawa acara. Dalam peresmian kantor baru Komisi Pemilihan Umum Makassar beberapa waktu yang lalu, misalnya, ia membawakan acara dengan sinrili'. Acara itu berlangsung jauh dari kesan nomatif. Sikapnya yang sesekali usil mengkritisi kebijakan pemerintah mengundang tawa haadirin, termasuk pejabat publik.

Pengaruh kakak

Kemampuan bermain sinrili' Daeng Tutu dipengaruhi kakaknya, mendiang Sirajuddin Daeng Bantang, maestro sinrili' yang meningal dunia 2010. Saat masih duduk di bangku SMP, Daeng Tutu sering menemani sang kakak mementaskan sinrili'.
"Saya mulai tertarik sinrili' dan selalu meminjam alat kakak untuk berlatih," ujarnya.
Ia kian bersemangat menguasai sinrili' karena pamannya, Syamsuddin Daeng Sirua, juga andal memainkan alat musik gesek itu. Lingkungan ini mendukung langkah Daeng Tutu untuk mempelajari sinrili' otodidak. Ia lantas bergabung dengan ssanggar seni yang didirikan kakaknya di Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa, pada 1980.
Saat ditetapkan menjadi pegawai negeri sipil tahun 1983, ia bertugas sebagai staf media pertunjukan rakyat tradisional di Departemen Penerangan Gowa. Kondisi ini memungkinkannya berkiprah lebih jauh mendalami sinrili'.
Perpaduannya dengan Sirajuddin Daeng Bantang menghasilkan berbagai terobosan baru dalam pementasan sinrili'. Tahun 1988, Daeng Tutu tampil dalam acara Asian Art Festival di Hongkong. Ia mementaskan sinrili' bersama pertunjukan tari dan musik kontemporer.
Lima tahun berselang dalam pertemuan teater se Indonesia di Makassar, ia menyuguhkan sinrili' yang berkisah tentang Karaeng Pattingalloang, cendekiawan Kerajaan Gowa. Pertunjukan itu berlangsung meriah karena disertai drama yang mengisahkan kiprah Karaeng Pattingalloang.
Keberaniannya mengemas sinrili' secara modern mengundang perhatian seniman di Eropa. Pada tahun yang sama, ia diminta menyuguhkan sinrili' di beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Swiss, Perancis, dan Austria. Di belahan Benua Eropa itu, Daeng Tutu dan kawan-kawan mengenang kehebatan Karaeng Pattingalloang yang pada pertengahan abad ke 17 telah menguasai lima bahasa.
Tahun 2005, Daeng Tutu tampil di Capetown, Afrika Selatan, tempat Syekh Yusuf dimakamkan. Di sini ia menceritakan sosok Syekh Yusuf dan kisah perjalanannya menyebarkan agama Islam dari Gowa hingga mancanegara.
Di kancah nasional, kiprah Daeng Tutu dalam memperkenalkan sinrili' mungkin tak terhitung lagi julahnya. Ia kerap didaulat artis Nungki Kusumastuti untuk berbicara mengenai sinrili' di laboratorium tari Institut Kesenian Jakarta. Saat berbicara di hadapan para mahasiswa, ia sering mengungkapkan keprihatinannya terhadap kelangsungan sinrili'.
Dari 20 anak muda binaannya di sanggar seni Sirajuddin, hanya segelintir yang berminat menekuni sinrili', tetapi tidak bisa sambil bertutur. Jika akhirnya terbentur kendalabertutur, biasanya mereka malas melanjutkan (sinrili')", kata Daeng Tutu.
Itulah mengapa saat ini sinrili' terancam punah. Apalagi, masyarakat pada umumnya cenderung lebih senang menggunakan jasa organ tunggal dalam hajatan mereka. Proses regenerasi yang terus diperjuangkan Daeng Tutu hingga kini belum terwujud.
"Buat saya, ini menjadi tantangan terbesar. Saya berharap salah satu anak saya mau menekuni sinrili'," ujar lelaki yang menjadi satu-satunya pasinrili' (pemain sinrili") aktif di Sulsel.
Tantangannya semakin berat karena pemerintah kurang berkomitmen terhadap pelestarian kebudayaan tradisional. Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah tak pernah lagi menyelenggarakan festival budaya secara rutin.
"Kesenian tradisional kian terasing di rumahnya sendiri. Generasi muda terpukau dengan pertunjukan yang semata mengedepankan estetika dibandingkan etika," ungkap pria yang berencana tetap menjadi pasinrili' setelah pensiun nanti.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 24 MARET 2011

Selasa, 22 Maret 2011

Ernawati: Perajin Batik Mrico Bolong


ERNAWATI

Lahir : Magelang. 27 September 1976
Suami : Zainudin (42)
Anak :
- Erika Indah Puspita (15)
- Reza Dwi Anggraini (11)
Pendidikan terakhir : Sekolah Menengah Ekonomi Atas PGRI Sooko (1994)
Penghargaan :
- Juara I Lomba Desain Motif Batik ("Ayam Bekisar") dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Jawa Timur (2010)
- Juara 2 Kartini Award dari Surabaya Plaza Hotel (2008)
- Prasamya Kertanugraha kategori Wirausaha Perempuan dari Dinas Koperasi/UKM Provinsi
Jawa Timur (2008 dan 2009)

Tumpukan kain batik Mrico Bolong dengan pelbagai corak motif khas Mojokerto tertata rapi di etalase ruang tamu berukuran 3,5 x 2,5 meter. Etalase itu berada di rumah Ernawati (35), perajin batik Mrico Bolong di Kampung Surodinawan, Kecamatan Prajuritkulon, Kota Mojokerto, Jawa Timur.

OLEH ABDUL LATIF

Bagi Ernawati, batik bukan hal baru. Sejak usia anak-anak, dia sudah mampu menorehkan canting di atas kain batik dengan motif Mrico Bolong.
Keterampilan sekaligus penguasaan membatik dia peroleh dari ibunya Ny Karmuah (60), yang dikenal sebagai perajin batik khas Mojokerto. Keterampilan membatik yang terasah sejak kecil itulah yang mendorong Ernawati mengembangkan usaha kecil batik Mrico Bolong di rumah tinggalnya.
"Sejak usia 9 tahun saya sudah bisa membatik. Saya pun sempat bekerja dan menjadi buruh, membatik di rumah Mak Maslukah," kata Ernawati, ibu dua anak.
Istri dari Zainudin (42) ini mulai mengembangkan kerajinan sekaligus membuka usaha kecil kerajinan batik Mrico Bolong khas Mojokerto tahun 1997 dengan modal Rp.500.000. Bersamaan dengan perkembangan usahanya, ia pun mengajak kaum ibu di kampungnya untuk menjadi pembatik sekaligus mitra kerja dalam pengembangan usaha kecil kerajinan batik Mrico Bolong khas Mojokerto.
"Sekarang ini ada lebih kurang 15 keluarga, khususnya ibu-ibu, yang menjadi mitra kerja usaha kecil-kecilan batik Mrico Bolong yang saya kembangkan," katanya. Sebelumnya, ernawati membekali mereka keterampilan membatik.
Motif batik Mrico Bolong yang menjadi dasar dari kekuatan sekaligus keunikan batik asal Mojokerto ini menjadi bagian dari kekayaan seni batik Nusantara. Motif batik Mrico Bolong bisa dipaduharmonikan dengan motif-motif batik apa pun.
"Motif batik Mrico Bolong itu saya kreasikan dengan motif-motif khas Majapahit. Sampai kini sudah lebih dari 40 motif batik Mrico Bolong yang saya ciptakan," kata Ernawati. Namun, baru sebagian saja yang dia patenkan. "Biaya mematenkan hak cipta relatif mahal," katanya.
Desain batik Mrico Mojo hasil ciptaan Ernawati yang sudah dipatenkan antara lain batik Mrico Bolong motif Sisik Gringsing. Mrico Bolong motif Lompong, Roro Renteng, Bunga Matahari, Pring Sedapur, Bata Ditata, Surya Majapahit, Lerek Kali, Buah Mojo, dan Sekar Jagad. Soal harga jual kain batik bervariasi, tergantung kualitas kain dan tingkat kesulitan membatik. Harga termurah Rp.350.000 dan termahal Rp.2,3 juta.
"Untuk mengerjakan batik Sekar Jagad khas Mojokerto membutuhkan waktu lebih kurang satu setengah bulan dan harganya Rp.2,3 juta. Kain batik Mrico Bolong motif Lompong harganya Rp.1,75 juta," kata Ernawati menjelaskan.

Memberdayakan perempuan

Dari usaha kecil kerajinan batik khas Mojokerto itulah Ernawati memberdayakan kaum perempuan dan memberikan sumber nafkah ibu-ibu rumah tangga di kampungnya.
Sejak usaha batik miliknya terus berkembang dengan omzet Rp.30 juta-Rp.40 juta per bulan, kini tak kurang 18 ibu dari 15 keluarga bergantung pada usaha kerajinan baik Mrico Bolong yang diusahakan Ernawati.
"Kalau kemampuan membatik mereka sangat baik dan tidak malas-malasan, mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp.650.000 per bulan," katanya.
Ernawati mengeluhkan tingginya harga bahan baku kain batik saat ini. Padahal, katanya, harga kain batik sulit dinaikkan. Keadaan diperparah dengan banjir kain batik printing yang sangat murah.
"Harga bahan baku kain batik sangat mahal. Misalnya, kain primisima kualitas biasa Rp.585.000 per piece. Padahal, sebelumnya hanya Rp 350.000," ujar Ernawati.
Banjir batik printing di pasaran memukul perajin dan usaha kecil batik sebagaimana yang dirasakan Ernawati. "Harga kain batik printing yang hanya Rp.30.000 di pasaran menghancurkan usaha kecil batik tulis," katanya.
Hasil usaha kecil batik Mrico Bolong khas Mojokerto kreasi dan inovasi Ernawati memenuhi order pedagang batik Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Probolinggo, Madura, Bekasi, hingga Kalimantan.
"Beberapa hari lalu saya dapat telepon orderan dari Yogyakarta. Karena belum saya kenal, tidak saya penuhi," kata peraih penghargaan juara satu lomba desain batik atas karyanya, "Ayam Bekisar", tahun 2010 dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur ini.
Ernawati patut bangga dengan hasil kreativ-inovatifnya dalam mengembangkan batik Mrico Bolong di bumi Majapahit (Mojokerto).
Pasalnya, sejak tahun 2002 desain batik Mrico Bolong karyanya telah menjadi seragam wajib pegawai instansi pemerintah dan kantor-kantor dinas di wilayah kota dan kabupaten Mojokerto.
Kain batik ciptaan Ernawati menjadi bagian dari identitas masyarakat Mojokerto. Sebagai perajin sekaligus kreator dan inovator desain dan motof batik Mrico Bolong khas tanah Majapahit, Ernawati menyimpan obsesi besar untuk memasyarakatkan kain batik Mrico Bolong sebagaimana kain batik asal Yogyakarta, Solo, dan Madura yang lebih dahulu dikenal luas oleh Masyarakat.
Meski batik Mrico Bolong belum setenar batik dari daerah lainnya, Ernawati mengaku tidak patah arang. Dia terus berusaha menggapai obsesinya dengan mengikuti berbagai ajang pameran hasil kerajinan usaha kecil-menengah di Surabaya dan Jakarta.
"Kalau nanti keinginan saya punya show room batik Mrico Bolong di kota kelahiran saya sudah terwujud dan usaha ini berkembang pesat, baru saya berpikir untuk membuka cabang di kota-kota besar, seperti Surabaya dan jakarta," katanya.
Kini, Ernawati mengaku senang batik Mrico Bolong yang kaya motif diminati pembeli dari mancanegara.
"Sudah ada beberapa orang asing dari Jepang, Belanda, dan Australia yang membeli kain batik Mrico Bolong dan mereka datang ke rumah," katanya.
Ernawati amat berharap Pemerintah Kota dan Kabupaten Mojokerto ikut membantu memasyarakatkan dan mengenalkan batik Mrico Bolong.
"Saya sangat senang kalau pemerintah mau membantu mengenalkan batik Mrico Bolong yang saya kembangkan ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri," katanya.

dikutip dari KOMPAS, RABU, 23 MARET 2011

Senin, 21 Maret 2011

Ahmad Rapanie Igama: Menelusuri Jejak Samar Naskah Ulu


AHMAD RAPANIE IGAMA

Lahir : Jambang Tiga, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, 23 Maret 1964
Istri : Dian Susilastri (44)
Anak :
- Tyasto Prima A (11)
- Tyastri Sunyaninda (9)
Pendidikan :
- SD Muhammadiyah No 2223 Samarinda
- SMP Negeri 3 Magelang
- SMA Negeri 3 Yogyakarta
- Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada
- Pascasarjana Sosiologi Pembangunan Sosial Universitas Indonesia
Pencapaian antara lain :
- Ahli Serat Ulu dan Aksara Kaganga
- Kepala Subbagian Tata Usaha Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya

Menggali kembali naskah Ulu ibarat menelusuri jejak yang samar. Serat kuno peninggalan masyarakat bagian ulu Sungai Musi itu tercecer dalam masyarakat dan di luar negeri. Sering kali naskah beraksara Kaganga ditemukan dalam keadaan sepenggal-sepenggal hingga sulit diketahui isinya. Ketiadaan dana dan hilangnya generasi yang mampu membacanya ikut mempersulit upaya pemerhati serat Ulu dan aksara Kaganga Sumatera Selatan, Ahmad Rapanie Igama, untuk mendalaminya.

OLEH IRENE SARWINDANINGRUM

Rapanie, sapaannya, adalah salah satu dari sedikit orang Indonesia yang peduli pada aksara Kaganga atau aksara asli Sumatera bagian hulu Sungai Musi. Naskah Ulu ditulis dalam aksara Kaganga. Ia menjadi rujukan orang untuk mempelajari dan menelusuri aksara dan naskah yang nyaris punah itu.
Sejak 15 tahun lalu, lelaki yang telah menghasilkan beberapa karya sastra ini giat mempelajari aksara Kaganga dan naskah Ulu, meski tak ada imbalan untuk itu. Beberapa kali dia turut mengawal ekspedisi penelitian naskah Ulu yang diselenggarkan Balai Arkeologi Palembang kesejumlah daerah di Sumatera Selatan.
Berbagai kesulitan ditemui dalam penelusuran tersebut, mulai dari minimnya dana, kurangnya perhatian pemerintah, terputusnya generasi yang mampu membaca aksara Kaganga dan naskah Ulu, hingga keyakinan masyarakat yang membuat naskah Ulu tak dapat disentuh peneliti.
Berbagai kesulitan itu tak menghentikan niat Rapanie. Baginya, pencarian itu merupakan upaya "menengok" masa lalu guna membangun fondasi masa depan.
"Serat Ulu menyimpan kearifan lokal dan budaya Sumsel. Di sini tersimpan jati diri kita sebagai bangsa yang mulai kabur. Bangsa kita seperti bergerak tanpa akar identitas yang jelas. Akibatnya, kita sering gamang dan mudah terpengaruh budaya asing." katanya saat ditemui di kantornya, Taman Wisata dan Budaya Kerajaan Sriwijaya, Palembang.
Minatnya terhadap huruf dan naskah masyarakat asli Sumatera itu bermula tahun 1996. Ketika itu ia ditempatkan sebagai pamong budaya bidang filologi Museum Negeri Sumsel. Lulusan Satra Indonesia ini masih asing terhadap aksara Kaganga dan serat Ulu.
Meski lahir di Sumsel, ia tak pernah diajarai membaca aksara dan naskah asli masyarakatnya sendiri. hal yang umum terjadi di Sumsel. Rasa ingin tahunya tergelitik melihat beberapa koleksi serat Ulu di Museum Negeri Sumsel. Namun, tak satu pun orang yang dia temui di Sumsel dapat membacanya.
"Ada satu orang yang mengaku bisa membaca aksara Kaganga, tetapi, saat dia membaca serat Ulu, hasil pembacaannya berubah dari waktu ke waktu. Kata-katanya seolah tanpa makna. Dia bilang, serat itu buku mantra yang yang tak dimaksudkan bermakna. Saya sulit percaya karena setiap teks kuno pasti dibuat dengan makna tertentu dan biasanya merupakan ilmu yang dinilai layak ditularkan. Saya jadi bertekad mempelajarinya sendiri," katanya.
Rapanie lalu menyeberang batas provinsi untuk menemui pakar aksara Kaganga dari Bengkulu, Sarwit Sarwono. Dalam pertemuan itu, Sarwit meminjamkan hasil penelitiannya mengenai aksara Kaganga dan serat Ulu. Empat tahun mempelajari hasil penelitian tersebut, Rapanie bisa membaca aksara Kaganga, termasuk filologinya.
Minatnya menelusuri serat Ulu semakin besar . Dalam beberapa ekspedisi penelitian, ia dan tim ekspedisi serat Ulu Balai Arkeologi Palembang berhasil mendokumentasikan serat Ulu yang tersebar di masyarakat. Hasil dokumentasi berupa foto dan catatan ini dia pelajari.
Sebagian besar serat Ulu hanya dapat didokumentasikan karena minimnya dana untuk membeli dari pemiliknya. Selain itu, sebagian pemilik menganggapnya sebagai warisan keluarga atau sejenis azimat.
"Kalau dana ada, seharusnya serat-serat itu dibeli dari masyarakat sehingga pelestarian dan penelitian bisa dilakukan secara lebih baik," ucap Rapanie, yang menyesalkan minimnya perhatian pemerintah pada kelestarian serat Ulu. Aksara Kaganga juga jarang dikenalkan pada generasi muda.
Ia memperkirakan, setidaknya tiga generasi telah putus dari ingatan terhadap alfabet yang terdiri dari 28 aksara ini. Meski serat Ulu masih disimpan masyarakat, hampir semua pemiliknya tak bisa membaca serat-serat itu.
Naskah Ulu yang diperkirakan banyak ditulis antara 300-500 tahun lalu itu banyak yang rusak atau tercerai-berai karena dibagi sebagai warisan. "Oleh masyarakat, naskah ulu ini ada yang tak boleh disentuh, ada yang hanya dibuka di waktu tertentu, dan ada yang harus menyembelih kerbau dulu," tutur Rapanie.
Padahal, serat itu menyimpan ilmu praktis dan kearifan lokal. Beberapa serat berisi ilmu pengobatan, strategi berperang, dan ilmu agama. Naskah dari jenis kaghas (naskah di kulit kayu), gelumpai (di bilah bambu), buluh (di gelondongan bambu), dan naskah yang tertulis di tanduk seolah tak menjadi bagian sejarah Sumsel. Padahal, naskah ini relatif asli.
Berdasarkan sejarah, banyak pengaruh bangsa asing seperti India, Arab, China, dan Belanda di Sumsel. Namun, kekuasaan asing biasanya berpusat di hilir Sungai Musi. Di hulu Sungai Musi budaya asli masyarakat bertahan, yang salah satunya didokumentasikan dalam serat Ulu.
"Kaganga disebut beberapa ahli sebagai aksara proto-Sumatera yang dikembangkan masyarakat hulu Sungai Musi. Aksara yang bentuknya kotak-kotak ini digunakan sebagian masyarakat di Bengkulu, Sumsel, hingga Jambi," katanya.

Mengenalkan kembali

Upaya Rapanie memperkenalkan kembali naskah Ulu dituangkan dalam buku kompilasi cerita sejarah/purbakala Sumsel. Ia meyakini masih banyak ilmu praktis yang dituliskan dalam naskah Ulu. Pertengahan 2010, tim ekspedisi menemukan serat Ulu berisi diagram penanggalan, arah matahari, dan ilmu bercocok tanam.
Dari naskah di Museum Negeri Sumsel, ia mengetahui kuatnya multikulturalisme dalam masyarakat ratusan tahun lalu. Naskah beraksara Kaganga yang diperkirakan dari abad XVI itu berisi riwayat Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Jawa. Ini mencerminkan keberagaman budaya yang saling melengkapi, tanpa menghancurkan satu sama lain. Nilai ini dapat menguatkan toleransi bangsa yang semakin terkoyak.
"Saya menduga, ada naskah Ulu yang berisi ilmu bangunan karena dulu semua rumah adat menggunakan sistem bongkar pasang," katanya.
Kesulitan pelestarian semakin bertambah dengan minimnya ahli yang bisa membaca aksara Kaganga. Terasa ironis karena pelestarian dan penelitian naskah Ulu justru dilakukan negara lain. Di Belanda diduga ada 182 naskah yang telah diteliti ahli Belanda.
"Saat bangsa sendiri melupakan, bangsa lain melestarikan dan menelitinya," kata Rapanie.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 22 MARET 2011

Minggu, 20 Maret 2011

Nelvi dan Zulkifli: Pejuang Songket dari Padang


NELVI

Lahir : Pandai Sikek, Sumatera Barat, 25 Juni 1970
Pendidikan :
- SDN Pandai Sikek, Sumbar
- MTsN Koto Baru, Sumbar
- SMAN Padang Panjang, Sumbar
- IKIP Padang

ZULKIFLI

Lahir : Padang, Sumataer Barat, 16 Maret 1960
Pendidikan :
- SD Adabiah, Padang
- SMP Adabiah, Padang
- SMAN 1, Padang
- Jurusan Sastra Inggris, IKIP Padang, tak tamat
- Ekonomi, Universitas Andalas, Padang, tak tamat
- Antropologi, Universitas Andalas, Padang, lulus 1988
- Magister Manajemen, Universitas Negeri Padang, lulus 2006

Pasangan Nelvi dan Zulkifli adalah wirausaha mandiri yang tumbuh dari bawah tanpa gemerlap fasilitas apapun dari pemerintah atau kredit industri perbankan. Setelah berhasil, keduanya berbagi resep kesuksesan, bahkan modal, untuk mencetak sejumlah pengusaha mandiri baru.

OLEH INGKI RINALDI

Zulkifli kerap memberikan ceramah kewirausahaan, memotivasi orang untuk berusaha secara mandiri. Nelvi pun tak jarang menyambangi komunitas wirausaha baru disejumlah kabupaten di Smuatera Barat.
"Tak ada jalan instan dalam berwirausaha," kata Nelvi.
Semua itu dilakukan pasangan ini nyaris dalam "diam". Nelvi sering disangka pegawai toko oleh pelanggan yang hendak membeli kain tenun songket produksinya.
"Kadang saya ditanya, sudah berapa tahun kerja di sini? Ya saya jawab saja, baru dua bulan," selorohnya.
Selain tak sungkan membeberkan ssegala ihwal soal bisnis, mereka dengan senang hati juga menjadi "rahim" bagi lahirnya wirausaha baru.
Dengan modal belasan juta rupiah yang mereka gulirkan, mereka telah melahirkan sejumlah pengusaha baru yang mandiri.
Menurut Zulkifli, relatif sulitnya menumbuhkan wirausaha baru setidaknya disebabkan tak ada informasi yang memadai dari pemerintah soal peluang usaha. Selain itu, keinginan cepat kaya cenderung menjadi penyakit bagi sebagian wirausaha pemula.
"Untuk sukses dalam wirausaha setidaknya butuh waktu puluhan tahun," kata Zulkifli.
Nelvi mengenang masa puluhan tahun lalu saat memulai usaha di bidang pembuatan dan penjualan tenun songket, bordir, dan beragam penganan khas Minang. Sama seperti banyak saudara dan teman sebayanya, anak kedua dari lima bersaudara asal Nagari Pandai Sikek, KecamatanX Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, ini sejak kecil akrab dengan tenunan songket.
Nagari Pandai Sikek tempatnya ebrasal adalah salah satu penghasil tenun songket di Sumbar selain Nagari Silungkang Duo, Kecamatan Silungkang, Kota Sawahlunto, yang diketahui menjadi muasal penyebaran industri kecil penghasil tenun songket.
Dulu, barang dagangannya kerap ditolak sejumlah toko di Kota Padang. Ia mengibaratkan tantangan itu seperti cemeti yang melecutnya untuk semakin maju.
"Banyak orang tak sabar dengan penolakan seperti itu. Namun, dalam berusaha, justru cobaan itu membuat kita lebih kuat," ujar Nelvi.

Kejelian

Sejak kuliah pada Jurusan Kimia IKIP Padang (kini Universitas Negeri Padang) tahun 1989, Nelvi sudah memulai usahanya. Ia menawarkan produksi tenun dari kampungnya ke sejumlah toko di Kota Padang. Ia juga mendesain beberapa motif tenun yang diproduksi di Nagari Pandai Sikek. Kreativitas dan kejelian dalam inovasi menjadi kata kunci lain bagi Nelvi selain kesabaran dan keuletan. Selain songket, ia juga memproduksi aksesoris, seperti dompet dan gantungan kunci. Awalnya,bahan untuk produksi sampingan itu ia ambil dari songket yang tak terpakai.
Tahun 1992, dia berhasil meyakinkan semua toko di Kota Padang. Bahkan, produknya mampu menembus gerai di bandara.
Tahun 1994, Nelvi lulus kuliah. Namun, karena sakit, dia tak lulus tes wawancara menjadi pegawai negeri sipil di Departemen Agama . Sejak itulah, Nelvi yang semula ingin menjadi guru semakin menekuni usahanya. Dia terus melakukan ekspansi, terutama setelah bertemu Zulkifli, pemilik toko yang lalu mempersuntingnya pada 1997.
Agak berbeda dengan Nelvi, Zulkifli mulai berwirausaha tahun 1978 dengan mengelola toko yang membeli kain tenun songket. "Dulu ada toko-toko lain yang menolak songketnya (Nelvi). Kalau saya, saya bilang bagus terus dan saya beli," seloroh Zulkifli.
Zulkifli menyebut keterlibatannya di dunia wirausaha sebagai peristiwa "tersesat ke jalan yang benar". Lelaki pemegang gelar magister manajemen dari Universitas Negeri Padang ini sempat menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Padang (1985-1987).
"Sekarang saya ingin melanjutkan lagi ke jenjang S-3," kata Zulkifli yang menolak diambil foto dirinya.
Ia menekankan, salah satu sifat yang juga mesti dimiliki wirausaha selain kesabaran dan daya tahan tinggi adalah keinginan untuk terus belajar. Di samping itu, mesti jelas tujuan dan fokusnya.
"Seperti naik taksi, kalau tidak ada tujuan, mana mau sopir taksi membawa kita, kan?" katanya.
Skala bisnis keduanya makin membesar dengan merambah bisnis penganan khas Minangkabau. Sistem bagi hasil yang adil diupayakan pasangan pengusaha ini dengan terlebih dulu membeli semua produk yang ada.
Seleksi pasar yang kemudian menentukan produk mana yang layak diteruskan untuk dijual dan produk mana yang harus menyingkir. Namun, untuk produk yang belum layak, mereka tetap berkenan memberikan masukan agaar menjadi lebih baik.
"Dulu, awalnya toko saya hanya berukuran 4 meter x 8 meter (32 meter persegi), sekarang menjadi 250 meter persegi," tutur Zulkifli.
tahun 2000, mereka membuka sebuah tempat usaha baru di kawasan Sei Beremas, Kota Padang. Sejumlah karyawan Pertamina yang kerap mampir di toko barunya itu lantas menawari mereka program binaan kewirausahaan.
Kini, mereka mengelola 3 tempat usaha di Kota Padang, 2 tempat usaha di Nagari Pandai Sikek, dan 1 tempat usaha di Kota Bukittinggi. Kejelian memanfaatkan peluang pasar dan menunda kesenangan adalah modal mereka berdua untuk bertahan dalam masa-masa sulit.
Saat industri pariwisata Sumbar dihajar gempa bumi pada 30 September 2009, misalnya, omzet bulanan pada salah satu toko mereka di Padang menurun drastis, dari sekitar Rp.300 juta menjadi hanya sekitar Rp.150 juta per bulan.
"Banyak pedagang yang mengeluh pendapatannya sekarang turun. Bagi kami, itu biasa saja dalam bisnis karena ada pasang surutnya," ujar Zulkifli.
Rahasia mereka bisa relatif mudah melewati masa-masa sulit ialah menerapkan pola hidup sederhana dan hanya mengonsumsi barang-barang yang benar-benar diperlukan. Silaturahim juga menjadi kunci sukses lain. Tanpa sungkan mereka turun langsung membantu membersihkan sekolah yang tak jauh dari tempat tinggal mereka sekarang.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 21 MARET 2011

Kamis, 17 Maret 2011

Komar, berterima Kasih kepada Bau


BIODATA

Nama : Komar Purnama
Lahir : Sumedang, Jawa Barat, 14 Maret 1966
Istri : Diah Ismawati
Anak :
- Ita Purnamasari
- Regina Intan Purnama
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Negeri Haurngombong I, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang,
Jawa Barat.

Komar Purnama berterima kasih kepada bau. Karena bau, dia dan warga Desa Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, bisa memasak dengan kompor gas. Mereka pun tidak perlu khawatir bakal kegelapan saat aliran listrik mati karena ada genset berbahan bakar biogas yang siap menggantikannya.

Oleh DOTY DAMAYANTI

Kisahnya berawal ketika enam tahun lalu para tetangga protes atas bau kotoran sapi perah yang dipelihara Komar. "Saya jadi enggak enak hati sama mereka. Saya lalu mencoba mencari tahu bagaimana caranya supaya bau kotoran sapi itu bisa hilang," ujar Komar.
Rumah Komar berada di atas lahan yang ditinggikan. adapun kandang sapinya yang relatif terawat bersih ada di kolong rumah. Suara lenguhan sapi terdengar jelas dari teras dari atas teras kayu tempat penghuni rumah biasa berbincang.
Sampai suatu hari Komar menonton tayangan tentang pemanfaatan kotorn sapi untuk biogas di televisi. Dia merasa tertarik untuk mencobanya.
Waktu itu, tahun 2003, harga peralatan untuk membuat biogas sekitar Rp.1.5 juta, atau sama dengan harga seekor sapi. "Ini terlalu mahal buat saya," kata Komar.
Ia lalu memutar otak, mencoba membuat peralatan biogas sebagaimana yang ada di brosur yang didapat Komar, dengan menggunakan bahan-bahan bekas.
Konsep pembuatan biogas sebenarnya cukup sederhana. Gas metana dihasilkan dari kotoran sapi yang disimpan di dalam reaktor atau tempat penampungan. Tempat penampungan bisa terbuat dari beton atau plastik. Gas yang dihasilkan lalu dialirkan ke tempat penyimpanan.
Idealnya, tempat penyimpanan gas terbuat dari fiber. Namun, bahan plastik pun bisa digunakan. Dengan modifikasi bahan-bahan yang lebih sederhana itu, Komar hanya menghabiskan biaya Rp.450.000 untuk satu set peralatan biogas.
Setelah tiga bulan mencoba barulah dia berhasil. Kotoran sapi peliharaannya dapat menghasilkan biogas yang bisa dipakai untuk memasak. Kotoran sapi yang sebelumnya menjadi limbah itu tidak hanya hilang baunya, tetapi juga bisa bermanfaat.
Para tetangga yang tadinya protes atas bau kotoran sapinya sekarang ikut merasakan hasilnya. "Mereka yang enggak punya sapi sampai antre buat ngambil kotorannya, untuk diolah menjadi biogas," cerita Komar.

Bekerja serabutan

Belakangan ini di Desa Haurngombong ada sekitar 100 kepala keluarga yang sudah menggunakan biogas untuk memasak. "Kami sudah sejak empat tahun lalu tidak lagi 'mencium' bau minyak tanah," kata Komar sambil tertawa.
Padahal, Komar sebenarnya tidak punya latar belakang keahlian peternakan. Pendidikan formalnya sampai lulus sekolah dasar. Itu pun kini dia tidak lagi bisa menunjukkan ijazahnya karena tanda lulus SD itu turut hangus ketika rumah orangtuanya terbakar.
Pendidikan formal yang "minimal" membuat kesempatan kerjanya pun terbatas. Komar pernah bekerja serabutan, mulai dari menjadi buruh bangunan, pelayan toko, sampai sopir angkutan kota.
Namun, rasa ingin tahu dan keinginan yang besar untuk mengubah nasib mendorong ayah dua anak ini tak berhenti belajar. Melihat salah satu kerabatnya mampu membeli sapi melalui kredit dari bank, Komar turut tergerak untuk mencoba beternak sapi perah.
"Saya menumpang kredit sapi pada saudara, tahun 1993. Awalnya saya punya dua sapi, kemudian beranak pinak," ceritanya.
Pekerjaan memelihara sapi dilakukan Komar sembari tetap menjadi sopir mobil sewaan. Setelah beberapa tahun sapi miliknya bertambah menjadi lima ekor. Hewan peliharaannya itu lalu dia jual pada tahun 2001 untuk membeli mobil bak terbuka yang kemudian dia sewakan.

Relatif murah

Keberhasilan peralatan biogas dengan harga relatif murah bikinan Komar itu terdengar sampai ke Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Kerja sama pembinaan di antara kedua pihak kemudian disepakati pada 2006.
Lewat kerja sama itu Komar menjadi tahu lebih banyak tentang pemanfaatan biogas. Setidaknya dibutuhkan dua ekor sapi untuk menghasilkan kotoran dalam jumlah yang memadai agar produksi biogas stabil.
"Kalau gasnya mau stabil, minimal volume kotoran sapi di satu penampungan itu 5 meter kubik. Gas yang dihasilkan bisa menyalakan satu kompor selama 2-3 jam," jelasnya.
campuran pakan juga berpengaruh pada kualitas gas yang dihasilkan. Sapi yang pakannya diberi campuran ampas tahu dan konsentrat menghasilkan kotoran dengan kandungan metana lebih tinggi daripada sapi yang hanya makan rumput. Biogas yang dihasilkan pun lebih baik.
"Kalau untuk memasak, memang tidak terlalu terlihat perbedaannya. Tetapi, begitu dipakai untuk genset, hasilnya kelihatan lebih baik," katanya.
Ketika sapi peliharaan warga setempat semakin banyak, penggunaan biogas pun meluas tidak hanya untuk memasak. Gas berlebih itu sayang kalau tidak dimanfaatkan. Kebetulan suatu kali Komar bertemu seorang manajer di PT Perusahaan Listrik Negara wilayah distribusi Jawa Barat dan Banten. Dia lalu mendapat bantuan 10 genset.
Setiap genset rata-rata memiliki daya 450 watt. Genset itu dinyalakan pada malam hari atau ketika terjadi pemadaman listrik. "Lumayan, warga jadi bisa menghemat biaya listrik sampai setengah dari tagihan biasanya," katanya.
Komar telah memetik hasil manis dari usahanya. Di kandangnya ada 16 ekor sapi. Dari jumlah itu, delapan sapi milik dia, sedangkan sisanya adalah milik warga yang dititipkan kepadanya.
Ia juga tidak perlu lagi bersusah payah membersihkan kotoran sapi sendirian. Ada tiga pekerja yang mengurusnya. "Alhamdulillah, dulu saya bekerja pada orang, sekarang saya bisa mempekerjakan orang," ucapnya.
Hari-hari Komar belakangan ini disibukkan dengan membagi ilmu tentang penggunaan biogas di berbagai kota, seperti Semarang, Malang, sampai Pontianak. Ia baru saja kembali dari Malang, memberi pelatihan kepada kelompok peternak binaan PT Perusahaan Listrik Negara.
"Di Pontianak, potensi biogasnya luar biasa karena banyak lahan gambut. Ibaratnya, tinggal ngebor di bawah rumah, kita sudah dapat gas. Masalahnya, masyarakat khawatir terjadi kasus semburan lumpur seperti di Sidoarjo. Padahal bisa aman karena dalamnya tidak sampai 40 meter."
Biogas sebenarnya lebih efektif dipakai pada suhu ruangan diatas 30 derajat celsius. Menurut Komar, daerah pantai utara Jawa juga berpotensi untuk pengembangan biogas.
"Sayang masyarakat setempat tidak terbiasa mengandangkan sapi," kata pria yang suka memakai motor trail menjelajahi wilayah Sumedang sampai ke Bandung ini.
Komar mengaku masih menyimpan cita-cita memperluas penggunaan biogas. Kalau ada dana, dia ingin membikin konstruksi biogas yang bisa menampung 20 meter kubik-30 meter kubik kotoran sekaligus. Dengan kapasitas yang lebih besar, warga tidak perlu lagi mengambil kotoran sapi untuk disimpan di reaktor sendiri.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 2 JULI 2009

Ferry J Ngantung: Memadu Iridologi dengan Terapi Makan


FERRY J NGANTUNG

Lahir : Gorontalo, 18 Februari 1963
Istri : Fatmawati (41)
Anak : Noel (24)
Pendidikan :
- SD Matesah, Maesa, Gorontalo
- SMP Negeri 1 Gorontalo
- SMA Negeri 1 Gorontalo
- Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (1981-1987)
Pekerjaan :
- Ahli makanan pada International Dinning Center Port Klang, Malaysia (1994-1996)
- Pengelola Rumah Gizi "natural Green" (1996-sekarang)

Seiring kemajuan zaman, cara hidup manusia mempertahankan atau memulihkan kesehatan didukung teknologi makin lengkap. namun, Ferry J Ngantung (48) menyederhanakan dengan mengacu pada pedoman Hippocrates. Bapak Pengobatan pertama itulah yang memaklumkan pada tahun 431 sebelum Masehi, "Jadikanlah makanan sebagai obat".

OLEH NINA SUSILO DAN NAWA TUNGGAL

"Benahi dapur kita agar bisa hidup sehat," kata Ferry ketika ditemui di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Membenahi "dapur" yang disebut Ferry bukanlah dalam artian fisik. yang dimaksudkannya adalah meliputi cara menyediakan dan memilih bahan baku, lalu mengolah dan menyajikannya sebagai makanan yang menyehatkan tubuh.
"Pertahankan air alami dari setiap bahan makanan yang ingin diolah," ujar Ferry, mencontohkan salah satu cara terapi makan. Semua bahan makananpastilah mengandung air. Seperti air alami pada ikan, Ferry tidak menganjurkan pengolahan dengan cara menggorengnya hingga kering.
Ferry lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 1987. Pada tahun 1996 ia membuka usaha rumah terapi makan dengan label Rumah Gizi "Natural Green" di Surabaya.

Iridologi

Sebelum membuka usahanya, Ferry bekerja di International Dinning Center Port Klang, Malaysia. Di sana Ferry meraih keahlian di bidang khasiat makanan. Ia menjadi ahli makanan.
Ferry akhirnya memutuskan untuk berusaha sendiri atau berdikari di Tanah Air dan membuka Rumah Gizi pada tahun 1996. Beberapa bulan kemudian ia kembali ke Malaysia. Namun, kali ini tujuan Ferry hanya untuk belajar iridologi selama enam bulan.
Sepulangnya kemudian, Ferry memadukan pengetahuan iridologi dengan terapi makan. Iridologi ditemukan Ignatz von Peczely (1826-1911) dari Budapest, Hongaria.
Iridologi sebagai pengetahuan analis susunan iris mata yang menggambarkan kondisi organ tubuh. Tidak hanya organ pada tubuh manusia karena Peczely sendiri menemukan pengetahuan ini pada awalnya dari mata burung hantu.
Peczely pada usia 11 tahun pernah merawat burung hantu yang patah kakinya. ia memerhatikan, pada iris mata burung hantu itu terdapat garis hitam yang berangsur-angsur menghilang seiring masa kesembuhannya.
"Saya memanfaatkan iridologi sebagai petunjuk untuk terapi makan," kata Ferry
Ferry menjadikan iris mata ibarat layar data yang mungil. Layar data mungil yang menyediakan informasi kondisi tubuh seseorang.
Lebih jauh dari itu, Ferry memprihatinkan hal selama ini ketika orang sakit ingin menjadi lebih sehat sering diberi pantangan banyak jenis makanan. namun, ia tanpa diberi pengetahuan untuk memahami sebenarnya banyak makanan lainnya yang juga enak dan baik untuk dimakan.

Terus berkembang

Usaha Ferry didukung istrinya, Fatmawati (41). Usaha Rumah Gizi itu dapat diterima masyarakat. Ini terbukti hingga sekarang, sekitar 15 tahun, bisa bertahan dan usahanya masih terus berkembang.
Pada awal menjalankan usahanya di Surabaya, Ferry juga membeli lahan seluas 3.000 meter persegi di Pacet, Mojokerto. Lahan tersebut untuk menunjang produksi sayur-mayur bebas pestisida dan pupuk kimia. Sekarang lahannya bertambah luas menjadi lebih dari 10.000 meter persegi.
Tidak itu saja, di Pacet Ferry juga memelihara kambing. Saat ini dia memiliki sedikitnya 30 kambing untuk diambil susunya. Susu kambing kemudian diolah menjadi yoghurt.
Namun, dia memproduksi yoghurt tidak melulu berasal dari susu kambing miliknya. Petani di sekitar lahan yang dimiliki Ferry, bahkan sampai Trawas, Mojokerto, juga mendukung pemasokan susu kambing. Sedikitnya sampai 300 kambing milik para petani menyediakan susu untuk diolah menjadi yoghurt.
"Yoghurt dari susu kambing jarang menimbulkan alergi," kata Ferry.
Sumber karbohidrat rendah kalori juga menjadi perhatian Ferry. Untuk mendapatkan pasokan sumber karbohidrat rendah kalori tersebut, dia sudah mulai mengembangkan budidaya umbi-umbian.
"Sekarang ini beras menjadi makanan pokok yang selalu ditekan harganya supaya tetap murah dan terjangkau setiap lapisan masyarakat. Kalau dipertahankan demikian, kelak tidak akan ada lagi mengonsumsi umbi-umbian yang justru bisa menyehatkan," katanya.
Ferry menempatkan pedoman makanan sehat adalah obat dari Hippocrates disetiap brosur usahanya.Menjadi nyata disajikan di Rumah Gizi seperti penganan wingko labu, lumpia tuna, lemet pisang, atau klepon kurma.
Kemudian menu makan berat seperti sup saraf, sup persendian, lontong omega, atau tuna panggang. Ada minuman jus sayur dan buah.
Pedoman memasaknya adalah tanpa penyedap makanan, tanpa garam, tanpa gula, dan tanpa minyak goreng. Selain itu, proses memasak makanan tersebut juga harus mmempertahankan air alami bahan makanan sebanyak-banyaknya. Untuk mendapatkan rasa asin diperoleh dari rumput laut, sedangkan rasa manis dari buah-buahan.
Ferry juga mengenalkan istilah "MUSA" yang merupakan singkatan dari kata "murni, utuh, segar, dan alami". Istilah tersebut merupakan pedoman untuk memakan sesuatu supaya bermanfaat menjadi obat. Namun, itu harus disertai pengetahuan tentang jenis dan campuran yang tepat, pengolahan yang baik, waktu makan, dan teknik memakan dengan cara mengunyah sampai sehalus-halusnya.
"Sebelum menempuh terapi makan, terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan manfaat setiap jenis bahan makanan," kata Ferry.
Apa yang ditempuh Ferry memang dapat mengundang banyak perdebatan di antara praktisi kedokteran dan terapis kesehatan lainnya. Namun, Ferry memutuskan telah menjadi sosok setia yang mengawal dan mengamalkan pengetahuan kuno Bapak Pengobataan Hippocrates. Ia mengawal pengetahuan pengobatan yang dimaklumkan sekitar 2.500 tahun silam.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 18 MARET 2011

Rabu, 16 Maret 2011

Sidik Jari Ngurah dalam Museum


BIODATA

Nama : I Gusti Ngurah Gede Pemecutan
Lahir : Denpasar, Bali, 4 Juli 1936
Istri : Anak Agung Sagung Sayu Alit Puspawati
Anak :
- Anak Agung Sagun Meiliawati
- Anak Agung Ngurah Bagus Mahaputra
Penghargaan : Dharma Kusuma Madya dari Provinsi Bali

Tahun 1967 seorang pelukis mendatangi studio lukis I Gusti Ngurah Gede Pemecutan di Kuta, Bali. Mereka memutuskan untuk melukis bersama di kawasan pantai. Ngurah tiba-tiba marah karena si pelukis kelihatannya berbohong. Lukisan karya pelukis itu tak sebaik sketsa-sketsa yang ditunjukkan sebelumnya kepada Ngurah. Oleh PUTU FAJAR ARCANA Kemarahan itu rupanya berimbas buruk pula terhadap karya Ngurah Gede Pemecutan. Lukisan tari barisnya tidak berhasil sebagaimana yang dia inginkan.
"Dalam keadaan marah, kemudian saya rusak lukisan dengan jari-jari, lalu saya tinggalkan," tutur Ngurah, akhir Agustus 2009 di Denpasar.
Beberapa lama berselang, ketika ia bengong dalam studionya, lukisan tari baris itu tampak berbeda. "Saya malah ingat apa yang dilakukan Affandi dengan tangannya. Mulailah saya melukis dengan jari telunjuk," ceritanya.
Kebetulan Affandi dulu sering berkunjung ke rumah pelukis Bambang Sugeng, yang letaknya di depan rumah Ngurah di kawasan Tanjungbungkak, Denpasar.
"Saya sering mengintip mereka ketika ngobrol tentang bagaimana mereka melukis," ujar Ngurah.
Boleh dikata sejak "kecelakaan" karena marah itu, lahirlah lukisan-lukisan yang menggunakan teknik sidik jari. Lukisan-lukisan karya lelaki kelahiran 4 Juli 1936 ini sebenarnya termasuk dalam aliran pointilisme, gaya yang menyatukan titik-titik ssebagai elemen dasar membangun visualisasi.
Bedanya, jikasebagian besar penganut pointilisme menggunakan kuas untuk membentuk titik, Ngurah Gede Pemecutan secara konsisten menggunakan telunjuk. Pada bulatan-bulatan di bidang kanvas secara tidak sengaja tertempel sidik jari si pelukis.
"maka itu lukisan saya tidak bisa dipalsu," kata Ngurah, tertawa pelan.
Lukisan-lukisan sidik jari karya Ngurah pertama kali justru diapresiasi seorang wartawan dari Amerika Serikat yang kemudian menuliskannya dalam majalah terbitan negeri itu, Horizon. Majalah itulah yang membuat tergugah pihak konsulat AS di Surabaya.
"Tahun 1969 saya sudah memamerkan lukisan-lukisan sidik jari di Konsulat Amerika di Surabaya," kenang Ngurah.

Istimewa

Mungkin lantaran tak banyak memiliki pengikut, lukisan sidik jari temuan Ngurah Gede Pemecutn tak pernah mendapat porsi pembicaraan yang memadai dalam membeber sejarah seni rupa modern di Bali.
Sejarah itu selalu dimulai dari pembicaraan upaya-upaya Rudolf Bonnet dan Walter Spies dalam membentuk kelompok Pita Maha di Ubud tahun 1930-an, yang melahirkan gaya Ubud dan Batuan. Lalu, Arie Smit yang memperkenalkan Young Artist tahun 1960-an, dan meloncat pada lukisan-lukisan karya para anggota Sanggar Dewata yag dipelopori Nyoman Gunarsa tahun 1980-an. Tak ada sebabak pun menyinggung peran Ngurah Gede Pemecutan.
Ngurah ibarat seorang otodidak yang tak memiliki juru bicara. Oleh karena itu tak banyak yang berminat menekuni gaya melukisnya.Padahal, seniman ini pernah menjadi penata lukisan koleksi Istana Presiden Tampaksiring semasa Bung Karno.
Ia tidak berhenti pada temuan sidik jari sebagai teknik melukis, tetapi secara tegar mengumpulkan seluruh karyanyanya sejak di bangku SMP hingga kini dalam satu museum.
"Cita-cita membangun museum itu sudah sejak kecil. Saya cuma ingin museum jadi wahana untuk mengenal jejak peradaban, dan yang penting menjadi ruang ekspresi dari generasi ke generasi," tutur Ngurah.
Maka, tahun 1995 berdirilah Museum Lukisan Sidik Jari di atas tanah seluas 1.792 meter persegi di Jalan Hayam Wuruk, Tanjungbungkak, Denpasar.
Dalam museum ini dikoleksi 200 karya Ngurah Gede Pemecutan, berupa lukisan dan benda-benda kerajinan, termasuk peralatan melukis dari ijuk, bulu ayam, sampai kuas dalam pengertian terkini.
Museum ini juga menyimpan karya Ngurah Pemecutan sejak masa SMP tahun 1954 serta karya semasa ia menjadi ilustrator Mingguan Bintang Timur tahun 1959 di Malang, jawa Timur.
Selain rumah tinggal keluarga Ngurah Gede Pemecutan, di komplek ini juga terdapat wantilan, bangunan serba guna bergaya Bali, serta sebuah panggung terbuka.
Di situlah lelaki keturunan raja dari Puri Pemecutan Denpasar ini membangun simpul aktivitas budaya. Ia mengundang para guru untuk mengajar melukis dan menari bagi mereka yang berminat serta memberikan kepada siapa saja untuk menggunakan wantilan secara gratis.
"Silahkan dipakai pentas, seminar, pameran, atau kegiatan lain. Saya tak pernah meminta ongkos," ujarnya.
Keinginan Ngurah Gede Pemecutan sederhana. Di Indonesia museum selalu menjadi tempat menyimpan barang antik yang berdebu dan hanya sesekali dikunjungi.
"Saya ingin, selain museum, di sini juga ada aktivitas kebudayaan," kata Ngurah. Seluruh bangunan dan aktivitas kebudayaan di Museum Lukisan Sidik Jari dibiayai dari hasil penjualan lukisan.
"Seluruhnya saya bangun dan biayai dari hasil lukisan. Saya berpikir, hasildari kreativitas kebudayaan harus dikembalikan pada asal-muasalnya," ujar Ngurah Gede Pemecutan yang turut andil dalam penataan dan pengisian Museum Mandara Giri di Komplek Taman Budaya Denpasar.
Ngurah bahkan menjadi tim inti yang pertama-tama meletakkan dasar penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali tahun 1979 silam.
"Waktu itu Gubernur Bali, almarhum Pak Mantra (ProfDr Ida Bagus Mantra), minta saya menangani pameran kerajinan," katanya.
Kebetulan Ngurah Gede Pemecutan juga bekerja di Departemen Perindustrian yang mengurusi pengembangan kerajinan Bali. Dari tangannyalah kemudian meluncur desain-desain awal bentuk-bentuk kerajinan fungsional, seperti tempat tisu, tempat pensil, dan bingkai cermin. Berbagai bentuk desain kerajinan itu juga tersimpan rapi di museumnya.
Meski kini sudah berumur, Ngurah Gede Pemecutan seperti tak mau berhenti. Ia tetap melukis dan menuliskan kata-kata puisi jika malam-malam menjadi panjang, karena ia tidak bisa tidur.
Puisi-puisi itu dia pahatkan dalam lempeng-lempeng beton yang menyerupai prasasti, ditancapkan di areal kompleks museum. Pada penggalan puisi pertamanya, "Pengabdian", ia menuliskan, "...Hidup ini bagai mimpi/Sepintas lalu pergi//Tapi kuingin hidup ini berarti/Penuh isi dan abadi/Jangan harapkan balas budi...//
Di situlah Museum Lukisan Sidik Jari berdiri sebagai monumen hidup, yang mencatatkan perjalanan seorang tua yang tak lelah mencipta dan memberi segala yang dia miliki.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 7 SEPTEMBER 2009

Rosek Nursahid: Berjuang dari kaki Gunung Kawi


ROSEK NURSAHID

Lahir : Malang, 12 April 1971
Pendidikan :
- S-1 Biologi Universitas Brawijaya
Anak :
1. Nada Prinia
2. Chanakya Galerita
Pengalaman organisasi :
- Pendiri ProFauna Indonesia, 1994-kini
- Steering Committee Jaringan Pemantauan Perdagangan Hidupan Liar Indonesia, 2000-2002
- Pendiri dan Dewan Pembina Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu, 2001-2006
- Pendiri dan Pembina Petungsewu-Wildlife Education Center, 2003-kini
- Anggota International Primate Protection League (IPPL) Amerika Serikat

Di tengah cepatnya ritme gaya hidup masa kini dan kejaran kebutuhan sehari-hari, banyak orang merasa sulit meluangkan waktudan pikiran pada keberlangsungan masa depan satwa. bahkan, belitanbeban hidup justru menjadi pembenar bahwa satwa dan lingkungannya bisa dieksploitasi demi keberlangsungan hidup manusia.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Pandangan itulah yang didobrak Rosek Nursahid, Direktur ProFauna Indonesia, lembaga non profit perlindungan satwa liar dan habitatnya di Indonesia yang sudah berkiprah sejak 15 tahun lalu. ProFauna selama ini aktif mengungkap kasus perdagangan dan eksploitasi satwa di Indonesia.
Aktivitas Profauna mendapat apresiasi dari Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA)-organisasi satwa tertua dan salah satu terbesar di dunia pada pertengahan September tahun lalu di kantor pusatnya di Inggris.
ProFauna mendapatkan penghargaan khusus bidang investigasi karena terus mengungkap praktik perdagangan ilegal satwa liar dan eksploitasi satwa di Indonesia sejak tahun 1994. Beberapa kasus penting yang pernah diungkap ProFauna adalah penyelundupan burung nuri ke luar negeri, perdagangan penyu di Bali, perdagangan harimau di Sumatera, dan mafia perdagangan orangutan di Jakarta.
"Pendirian ProFauna dilatarbelakangi fakta bahwa negara ini memiliki kekayaan satwa liar tertinggi di dunia sekaligus memiliki daftar terpanjang satwa yang terancam punah akibat kerusakan habitat dan eksploitasi berlebihan. Ini cukup memprihatinkan sebab kerusakan alam dan musnahnya satwa liar yang dilindungi akan berdampak pada kehidupan bangsa," ujar Rosek.
dengan keprihatinan itu, bersama sekitar 500.000 suporter atau anggota Profauna dari dalam dan luar negeri, termasuk beberapa artis, seperti Slank dan Melanie Subono, Rosek getol meneruskan jerit pilu satwa yang terancam musnah dari kaki Gunung Kawi di Desa Petungsewu, Kecamatan Dau, kabupaten malang, Jawa Timur.
Di Desa Petungsewu, ProFauna memiliki pusat pendidikan informal tentang pelestarian satwa dan alam Indonesiaa yang didirikan tahun 2003, yakni Petungsewu-Wildlife Education Center (P-WEC). Di sini terdapat pusat rehabilitasi satwa yang siap dilepasliarkan ke alam seusai disita.
Selain itu, P-WEC memiliki sejumlah program edukasi bagi masyarakat terkait alam dan satwa, seperti pengamatan burung di alam, tur di hutan untuk mengenal ekosistem hutan, dan mengenal ekosistem sungai.

Turun ke jalan

Di luar kegiatan yang bersifat edukasi, Rosek pun mengajak aktivis ProFauna untuk gencar melakukan aksi turun ke jalan guna berkampanye. Seruan perlindungan atas burung nuri dan kakatua maluku, harimau jawa, dan elang jawa merupakan agenda tetap. Ancaman alih fungsi lahan hutan di luar Jawa menjadi kebun sawit juga menjadi isu yang mereka kawal.
Bersama aktivis ProFauna dan P-WEC, Rosek menggandeng puluhan pondok pesantren untuk memberikan materi pandangan-pandangan Islam tentang satwa dan alam. Melalui berbagai pendekatan, dia berharap masyarakat Indonesia memiliki kesadaran lebih mengenai pentingnya kepedulian atas alam dan satwa.
Semua perjuangan Rosek itu pelan-pelan mulai menampakkan haasil. "Meski eksploitasi terhadap alam dan satwa selalu masih ada, setidaknya isu-isu alam dan satwa sudah diperhatikan banyak pihak. Kini kepedulian sejumlah tokoh dalam negeri terhadap pelestarian alam dan satwa juga mulai tumbuh. Kondisi ini tak seperti saat awal ProFauna dibentuk. Ketika itu dukungan relatif hanya dari luar negeri," ujarnya.
ProFauna terus berkembang dengan membuka kantor-kantor cabang di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bali, Maluku, dan Bengkulu. Bahkan, ProFauna pun memiliki perwakilan di luar negeri, yakni di Perancis, Inggris, dan Belanda.
"Bagi saya, semua kegiatan ProFauna adalah kerja sosial. Jika tidak ada orang Indonesia yang peduli lagi, lalu siapa yang akan peduli dengan alam dan lingkungan kita sendiri?" ujar Rosek.
Selain dibiayai lewat sumber dana dari para suporter, semua kebutuhan aktivitas sosial itu juga mengandalkan pemasukkan yang dilakukan ProFauna, seperti pelatihan dan pendidikan outbond dan program bird watching.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, Rosek bersama sang istri, Made Astuti, memiliki usaha yang jauh di luar bidang kesatwaan dan alam. Mereka menjadi supplier komputer di wilayah Jawa Timur, di samping berdagang komponen kendaraan bermotor.

Biologi

Kepedulian Rosek terhadap satwa dan alam sudah dimulai sejak ia berusia mda. Sebagai remaja yang suka bertualang, dia tumbuh dengan idealisme prolingkungan. Bahkan, dia kemudian memutuskan untuk kuliah di Jurusan Biologi Universitas Brawijaya, Malang.
Pilihan belajar Biologi disadarinya sebagai salah satu cara agar dia dapat lebih memahami dan belajar lebih mendalam tentang alam dan satwa. Namun, pendidikan akademik rupanya tidak cukup mampu mewadahi gairah muda Rosek. Itulah sebabnya mengapa kemudian dia juga memutuskan untuk menceburkan diri menjadi sukarelawan lingkungan.
Sebagai sukarelawan lingkungan, salah satu tugas Rosek adalah menemani dan mengantar para aktivis lingkungan dari luar negeri yang ingin meneliti persoalan lingkungan di Indonesia. "Tahun 1992 saya mengantar aktivis lingkungan asal Jerman untuk melihat langsung ke Pasar Pramuka di Jakarta sebagai pasar satwa terbesar kala itu," katanya.
Ironisnya, ketika itu di Pasar Pramuka ternyata banyak satwa langka yang diperjualbelikan dengan bebas. "Berangkat dari keprihatinan perdagangan satwa langka inilah saya dengan bantuan dari banyak pihak lalu mendirikan ProFauna," ujar Rosek.
Sejak saat itulah kampanye perlindungan satwa dan hutan lalu menjadi "makanan" sehari-hari bagi Rosek. Lewat ProFauna dia ingin mewujudkan mimpinya, yakni melihat hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan satwa.
Itulah ujung dari perjuangan Rosek, sesuatu yang sudah dijalaninya selama belasan tahun ini dan akan terus dia upayakan.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 17 MARET 2011