Senin, 31 Januari 2011

Angwar, Tempe untuk Melawan Gizi Buruk


DATA DIRI

Nama : Mukhamad Angwar
Lahir : Cirebon, 27 September 1958
Istri : Cucu Herliami (45)
Anak :
- Nurmilawati (23)
- Nurlita Fadhilah (19)
- Muhamad Nur Fauzan (6)
Pendidikan :
- SD Klangenan Cirebon, Jawa Barat
- SMP Klangenan Cirebon
- Sekolah Analis Kimia Institut TeknologiBandung
- S1 Jurusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan, Bandung

Sepuluh tahun berlalu, tetapi maket Pusat Tempe Nasional masih menghiasi sudut ruang tamu di Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Playen, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh MAWAR KUSUMA Rencana pembangunan Pusat Tempe nasional itu memang tenggelam seiring dengan tumbangnya rezim Orde baru. Tetapi, semangat para peneliti tempe di unit pelaksana teknis tersebut masih terus menyala.
Mukhamad Angwar, koordinator tim tempe di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI justru mampu menelurkan beragam inovasi tempe untuk mendongkrak intelegensia generasi muda.
Lewat inovasi tempe, Angwar dan timnya, yang terdiri dari Dini Ariani, Yuniar Khasanah, Ratnayani, dan Primadita Hardiyani, berhasil melawan serangan gizi buruk di berbagai kota.
Angwar juga terpilih sebagai salah satu dari 100 inovator untuk idenya yang tertuang pada produk sari tempe kental manis. Produk sari tempe dalam bentuk kalengan itu telah membawa Angwar menginjak Istana Negara, Jakarta, dan menerima penghargaan dari Presiden pada Hari Teknologi Nasional pad 8 Agustus 2008.
"Saya senang bisa menjalankan tanggung jawab saya sebagai peneliti," ungkap Angwar ketika ditemui di laboratorium UPT, beberapa waktu yang lalu.

Berusaha setia

Sebagai peneliti di UPT balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia yang pertama kali menekuni tempe, dia berusaha untuk terus setia. Angwar juga menginspirasi peneliti muda lain yang menjadi rekan sekerjanya untuk menggeluti penelitian pangan berbasis tempe.
Produk pertma inovasi tempe yang dihasilkan Angwar dan timnya diberi nama Bahan Makanan Campuran Tempe atau BMC Tempe. BMC Tempe berupa tepung dengan kadar tempe 30 persen itu dikemas dalam kardus kertas yang masing-masing berisi 200 gram.
BMCTempe inilah yang kemudian disebarluaskan untuk perbaikan gizi anak-anak usia sekolah ataupun balita. Pada tahun 2003, BMC Tempe diolah menjadi beraneka kue dan diberikan sebagai makanan tambahan bagi seluruh siswa SD di DKI Jakarta.
Ketika mendapat informasi dari departemen Kesehatan bahwa BMC Tempe secara signifikan telah memperbaiki gizi siswa dan memperoleh rekomendasi, Angwar mengaku sangat bahagia. Padahal, nama Angwar sebagai koordinator tim tempe sama sekali tidak disebut dalam keberhasilan itu.
"Kebahagiaan seorang peneliti adalah ketika rekomendasinya bisa diterima oleh masyarakat. Senang sekali rasanya karena kantor LIPI di Yogyakarta bisa menghasilkan produk memperbaiki gizi di DKI Jakarta," ujar Angwar dengan senyum lebar.

Inovasi

Keberhasilan BMC Tempe di DKI Jakarta kemudian mendorong pengembangan inovasibaru. Dengan mengubah komposisi formula tepung tenpe, Angwar dan timnya mulai membuat BMC Tempe bagi anak berusia dibawah lima tahun.
tahun 2005, BMC Tempe digunakan untuk pengentasan gizi buruk bagi anak usia balita di Sumba Timur dan Nusa Tenggara Timur, serta pada 2006 digunakan di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia yang kini dipimpin oleh Suharwaji Sentana ini kemudian menyebarkan BMC Tempe hingga Magelang, Solo, Pacitan, Madiun, Kediri, dan Yogyakarta. LIPI terus aktif menawarkan BMC Tempe ke setiap daerah untuk mengatasi masalah gizi buruk.
Tempe memang bergizi dan berkhasiat memelihara kesehatan, bahkan juga bisa memperlambat datangnya menopause pada perempuan, atau menurunkan kolesterol. Namun, sering kali masyarakat justru tidak mendapat manfaat dari tempe.
Kandungan gizi dari tempe hanya bisa diperoleh dengan cara pengolahan yang benar, yaitu pada suhu 50-60 derajat celsius. jadi, untuk memperoleh khasiatnya, tempe sebaiknya hanya dikukus sekadar untuk menonaktifkan raginya.
Tempe juga dikenal sebagai satu-satunya produk nabati yang mengandung vitamin B12. Biasanya, vitamin itu banyak ditemukan pada produk ikan. Terdorong ingin menyediakan vitamin B12 dengan cara praktis bagi para vegetarian. Angwar lalu memproduksi sari tempe kental manis.
Proses penelitian itu, sejak ide ditemukan sampai bisa dinikmati masyarakat membutuhkan waktu panjang hingga lebih dari tiga tahun.

Makanan lewat pipa

Dalam satu tahun terakhir, Angwar dan tim tempe LIPI sedang mencoba membuat makanan lewat pipa atau MLP berbasis tempe. MLP diperuntukkan bagi pasien yang memiliki dayacerna sempurna, tetapi tidak bisa mengunyah makanan karena kecelakaan atau penyakit. Inovasi tempe yang disiapkan adalah berupa campuran tepung tempe dan air. Riset makanan lewat pipa ini bekerja sama dengan Akademi Gizi Kediri, yang sebelumnya pernah menguji coba pemanfaat tepung tempe dari LIPI untuk makanan lewat pipa di sebuah rumah sakit di Kediri.
"Selama ini MLP selalu diimpor dan relatif mahal harganya. MLP Tempe bisa lebih murah smpai 40 persen sehingga terjangkau pasien menengah ke bawah," kata Angwar.
Harga seluruh produk inovasi dari tempe LIPI ini memang diusahakan selalu terjangkau masyarakat. Satu bungkus BMC Tempe, misalnya, dijual seharga Rp.2.000. Padahal, selain mengandung tempe, tepung tempe ini juga kaya gizi dari sumber lain, seperti susu, telur, dan makanan lokal seperti umbi ganyong.

Mudah dicerna

Tempe menarik perhatian Angwar karena bahan pangan ini merupakan hasil temuandan makanan yamg telah akrab dalam menu masakan bangsa Indonesia.
Tempe termasuk zat yang mudah dicerna karena telah terfermentasi dan mengandung senyawa antioksidan berupa iso flavon. Inovasi tempe juga didorong oleh daya tahan tempe yang paling lama hanya tiga hari. Pengawetan aneka produk inovasi tempe itu dilakukan, antara lain, dengan proses pengalengan.
Hasil royalti produk inovasi tempe yang diperoleh dalam bentuk tunjangan fungsional tetap tidak bisa membuat Angwar menjadi kaya. Namun, itu tidak menyurutkan langkahnya untuk tetap setia meneliti tempe.
Pria asal Cirebon, Jawa Barat, yang ditempatkan di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak 2001 ini menyatakan akan terus melakukan riset tentang tempe. Supaya tidk merasa sakit hati akibat pencurian hasil inovasi, Angwar pun telah memproses pematenan semua produk inovasi teMpe yang dilakukan oleh timnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 31 DESEMBER 2008

Minggu, 30 Januari 2011

Mary Hunt Kahlenberg : Menduniakan Keindahan kain Indonesia


MARY HUNT KAHLENBERG

Lahir : Wollingford, Connecticut, AS, 19 Oktober 1940
Pendidikan : Boston University (S-1, sejarah seni); Academy of Fine Arts (Wina), Fine Arts School dan Master School ofCrafts (Berlin)
Aktivitas : TAI Gallery, kolektor dan kurator kain, penulis buku antara lain "Five Centuries of Idonesian Textile", Walk in Beauty: The Navajo and Their Blankets" (1977), "Textile Traditionsof Indonesia" (1977), "A Book About Grass: Its Beauty and Uses" (1983), "Extra Ordinary in the ordinary" (1998), "Asian Costumes and Textile: From the Bosphorus to Fujiyama" (2001)

Sudah banyak buku ditulis mengenai tekstil Indonesia, tetapi kain Nusantara seperti sihir yang mendorong banyak orang terus menggali dan menuliskan tentangnya. Begitu juga dengan Mary Hunt Kahlenberg.

OLEH NINUK MARDIANA PAMBUDY

Dia memilih judul The Mary Hunt Kahlenberg Collection, Five Centuries of Indonesian Textile (2010), karena di antara kain asli Nusantara koleksinya, terdapat tenun dari abad ke 15. Umumnya kurator dan kolektor kain skeptis terhadap kemampuan kain Nusantara bertahan ratusan tahun, karena dibuat lokal dan dikenakan sehari-hari, kain dapat diganti setiap saat begitu lapuk.
"Banyak orang meragukan kain asli Indonesia dapat bertahan dalam waktu panjang, mengingat udara yang panas dan lembap, serta cara penyimpanannya," papar Kahlenberg di Museum Tekstil Jakarta, Desember, lalu.
Kahlenberg yang tinggal di Santa Fe, AS, datang ke Jakarta bersama suaminya, Robert T Coffland, untuk diskusi buku yang diadakan antara lain oleh Museum Tekstil dan Perhimpunan Wastreprema. Ia merasa tertantang membuktikan usia kain Nusantara dengan lebih akurat. Selain memakai metode sejarah seni yaitu membandingkan corak atau tenunan dengan monumen arsitektur dan lukisan manuskrip sezaman,juga dengan uji karbon C-14.
tahun 2003, ia mengirim contoh benang tenun dari tiga koleksinya, masing-masing dari Poso, Sulawesi Tengah; Komering di Sumatera Selatan; dan Timor di NTT, untuk uji karbon di Swiss.
Hasilnya, kain Komering berasal dari tahun 1403-1501 dengan kemungkinan 98,5 persen. Benang lungsi terbuat dari sutra dan benang pakaiannya katun bercorak ikan pakan cukup rumit. Kain ini juga memakai benang emas di tepinya. Sedangkan kain dari Poso diduga berasal dari tahun 1419-1627 dengan peluang 95 persen, sementara kain dari Timor diperkirakan berasal dari tahun 1419-1520.
"Uji tersebut membuktikan kain Indonesia dapat bertahan melalui waktu karena dijaga sebagai benda berharga milik keluarga. Kualitas kain-kain tersebut masih bagus. Tradisi menjaga kain sebagai benda berharga harus dipertahankan," paparnya.

Cinta

Pertanyaan yang sering ditujukan kepada Kahlenberg, mengapa mecintai kain, terutama kain Indonesia? Ia bercerita, tumbuh besar dalam keluarga yang mengoleksi aneka pita dan perca kain yang dianyam para perempuan di keluarga besarnya. Hal itu memesona Kahlenberg, apalagi kemudian neneknya memberi pita-pita koleksinya untuk dia.
Tentang kain Indonesia, ia mengaku alasannya tak rasional. Dia jatuh cinta begitu saja saat pertama kali melihat foto kain Indonesia yang dikirim ahli dan penjual kain asal Belanda, Laurens Langewis. Pertengahan tahun 1960-an itu, Kahlenberg adalah kurator Museum Tekstil, Washington, AS. Foto-foto tersebut mendorongnya membaca lebih dalam buku tulisan Langewis dan Frits A Wagner, Decorative Art in Indonesia Textiles (1964). Dia paling tertarik pada tapis Lampung yang belakangan dia tahu bercorak cumi-cumi.
"Saya terpukau kerumitan corak dan kualitas pembuatannya. Juga kain Indonesia lain, seperti teknik rintang warna pada batik dan berbagai teknik tenun. Itu titik balik penting dalam hidup saya. Sayangnya, tak satu pun dari kain yang ditawarkan itu dibeli museum," kenangnya.
Rasa penasaran Kahlenberg terobati ketika tahun 1969 pindah ke Los Angeles County Museum of Arts (LACMA) dan menjadi kepala bagian kostum dan kain. Dalam posisi itu, dia terbang pertama kali ke kalimantan pada 1973. tahun 1977, dia menyelenggarakan pameran "Textile Traditions of Indonesia" di LACMA dan menjadi pameran besar pertama di AS khusus tentang kain Indonesia.
Selama 35 tahun sesudahnya, ia menjelajahi pulau-pulau Indonesia. Posisi suami pertamanya sebagai diplomat memberinya kesempatan belajar tekstil di Eropa dan mengunjungi museum untuk mempelajari kain Indonesia, sampai sempat terkunci sendirian. "Saya tak ingin menyebut nama museumnya," katanya diiringi tawa.
Di Indonesia, Kahlenberg membangun hubungan dengan orang-orang yang dia temui di desa dan kota, serta membentuk pengetahuan tentang lapis-lapis rumit pemahaman masyarakat Indonesia mengenai kehidupan religius dan sejarahnya yang berkaitan dengan fungsi kain dalam kehidupan.
"Bertemu dengan orang-orang yang membuat dan memakai kain itu sangat menarik, cara menenun dan menangani kain, juga detail kehidupan lainnya," katanya.
Dia menemukan kesamaan dengan pengalamannya masa kecil, yaitu tradisi pembuatan dan perawatan kain diturunkan dari ibu kepada anak perempuan.
Ia berharap masyarakat dapat menjaga kualitas kain Indonesia karena berhubungan erat dengan tradisi yang dihidupi masyarakat sendiri . Terutama kini, ketika kain diperdagangkan dan kualitas ditentukan pembeli. "Tentu, kain harus berkembang mengikuti perubahan waktu. Tetapi, sebagai pembeli, kita harus berusaha membeli kain yang bagus," tandasnya.

Mengenalkan Indonesia

Meskipun kini tak terlalu kerap ke Indonesia, dia mengaku terus meriset kain. bukunya, setebal 398 halaman termasuk indeks, bercerita tentang masyarakat pembuat kain-kain tersebut. Koleksinya lebih berdasar kualitas istimewa kain daripada kumpulan kain karena komunitas pembuatnya.
Melalui koleksi 350 lebih kain dan penjelasan yang ditulis beberapa ahli kain, antara lain Ruth Barnes dan Rens Heringa, pembaca diajak mengenal cara masyarakat Nusantara memandang dunia dalam dan dunia luar, yang bahkan bagi banyak pembaca Indonesia sekali pun merupakan pengetahuan baru.
Sebagai sarjana sejarah seni, Kahlenberg mendekati kain Indonesia melalui kacamata antropologi, seperti umum dilakukan para ahli kain, serta pendekatan seni dan sejarah. "Menulis dari sisi seni lebih sulit karena menyampaikan apa yang kita rasakan, bagaimana pengaruh emosionalnya ketika kita melihat (kain)," ungkapnya.
Tantangan lain, meyakinkan masyarakat dunia, terutama di Barat, kain Indonesia adalah karya seni, bukan sekadar kriya. Oleh karena itu, dia berusaha membuat buku ini indah. "Untuk membuat orang membacadan melihat, lalu berpikir, oh (kain-kain) ini indah," ungkap Mary Hunt Kahlenberg.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 31 JANUARI 2011

Kamis, 27 Januari 2011

Elly Krey : Memopulerkan Ukiran Biak


ELLY KREY

Lahir: Biak, 10 Desember 1951
Istri : Lince Mandobar (42)
Anak :
- Jimmy Krey (26)
- Selly Krey (alm)
- Wija Krey (22)
- Mercy Krey (17)
- Febby Krey (9)
Pendidikan : Sekolah Teknik Menengah di Biak (1964-1967)
Riwayat Pekerjaan :
- Perusahaan Daerah Irian bakti (1967-2009)
- Perajin pot bunga dan ukiran kayu (1967-sekarang)
- Ketua Perhimpunan Ojek di Manokwari (1998-sekarang)
Penghargaan : Medali Emas Tinju di Pekan Olahraga Nasional (1970)

Lahir dan besar di pelosok kampung di Biak, Papua, semangat hidup Elly Krey (59) tak pernah redup. Bermodal keahlian mengukir yang dipelajarinya sejak usia dini, banyak hal bisa dicapainya.

OLEH PONCO ANGGORO

Tak sulit menemukan karya pria yang kini tinggal di Jalan Yogyakarta, manokwari, Papua Barat, ini. Ukiran bermotif ombak laut yang terlihat dipagar yang mengitari Universitas Negeri Papua dan pagar kantor Gubernur Papua Barat adalah contohnya. Patung manusia dengan posisi tangan menopang dagu di sejumlah pilar di kantor Gubernur Papua Barat juga karyanya.
Ombak laut dan ukiran patung merupakan dua dari sekian banyak motif ukiran yang menjadi ciri khas ukiran asal Biak. Bentuk ukiran seperti itu diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang masyarakat Biak.
Elly mengatakan, ukiran ombak mencerminkan keberanian orang Biak menerobos ganasnya lautan yang mengelilingi pulau-pulau di Biak. Sedangkan patung dipercaya sebagai representasi dari roh nenek moyang.
Karya Elly juga bisa dilihat pada pot-pot bunga yang ada di kator-kantor pemerintahan di Manokwari. Ukiran pot bunga bermotif ombak atau burung cendrwasih, burung khas tanah Papua, tak ayal membuat pot lebih sedap dipandang.
Elly yang lahir di Kampung Biak Barat Jauh, Biak, belajar mengukir sejak berusiatuju tahun. Dia belajar dari ayahnya, Mansianus Krey, di sela-sela waktu senggangnya saat sedang tidak melaut. "Awalnya ayah melukis dengan arang sebuah motif di atas kayu, kemudian saya yang mengukirnya," kenang Elly.
Tidak sampai satu bulan, jari-jari kecil Elly piawai mengukir kayu menjadi beragam motif khas Biak. Berselang dua tahun, atau saat usianya beranjak 10 tahun , Elly sudah bisa melukis motif, mengukir, bahkan membuat patung sendiri tanpa bantuan ayahnya.
Tak dinyana,kemampuan ini menjadi bekal berharga bagi Elly karena diusianya yang masih belia itu, ayahnya meninggal dunia. Sementara ibunya, Dina Sada, sudah meninggal saat usianya masih enam tahun.
"Sepulang sekolah saya sering membuat patung-patung kecil berukuran 15 sampai 30 sentimeter. Patung-patung ini lalu saya berikan kepada guru sebagai pengganti biaya sekolah. Beberapa kali patung itu juga saya tukar dengan buku, pakaian seragam, atau alat tulis lainnya," tuturnya.
Hal serupa dia praktikan saat Elly menempuh pendidikan di sekolah menengah tingkat pertama dan sekolah teknik menengah di Kota Biak. Padahal, jika patung-patung itu dijual sekarang, harga setiap patung bisa mencapai ratusan ribu, bahkan puluhan juta. "Saat itu saya tidak pernah memikirkan dapat uang dari patung, saya hanya berpikir bagaimana caranya tetap bisa sekolah," kata Elly.
Motivasi ini pula yang mendorongnya tetap sekolah meski untuk melanjutkan ke SMP dan STM, dia harus ke Kota Biak dengan mendayung perahu sehari semalam. "Perahunya waktu itu belum bermesin," tambahnya.
Setamat STM, dia tetap lekat dengan dunia mengukir. Saat senggang, dia selalu mengukir meski kegiatan atau pekerjaannya sama tidak terkait dengan ukir-mengukir.

Dari mulut ke mulut

Setelah lulus, Elly sempat bergabung dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka. Bahkan, kakinya sempat tertembak saat bergerilya masuk keluar hutan kala itu. Tahun 1967, kehidupan Elly membaik setelah dia diterima bekerja di PD Irian Bakti, perusahaan daerah yang bergerak di bidang distribusi bahan kebutuhan pokok. Selama 43 tahun Elly bekerja di sana hinga pensiun tahun 2009.
"Saya tidak ingin motif warisan nenek moyang ini dilupakan, makanya saya terus mengukir," kata mantan petinju yang pernah memperoleh medali emas dalam ajang Pekan Olahraga Nasional 1970 ini.
Kepiawaian Elly mengukir menyebar dari mulut ke mulut sehingga dia selalu mendapat pesanan dari Jakarta dan kota besar lain di Jawa. "Lumayan bisa untuk menambah penghasilan juga," tambahnya. Setiap bulan dia rata-rata bisa mendapat pesanan 10 sampai 15 patung atau ukiran papan kayu yang dijual sesharga Rp.250.000 hingga Rp.500.000. Setelah pensiun Elly lebih berkonsentrasi mengembangkan keahliannya ini. Tidak hanya media kayu yang digunakan, dia mencoba mengukir motif-motif itu di pot bunga.
"Saya sempat melihat di televisi bagaimana orang Jawa memmbuat pot. Dari situ saya kepikiran membuat pot lalu mengukir pot tersebut, " katanya.
Elly kemudian nekat pergi ke Jakarta dengan tujuan belajar kepada perajin pot bunga. Dia menemukan perajin yang mau mengajarinya membuat pot bunga itu di bawah jembatan layang, di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Dua bulan lamanya dia tinggal di rumah gubuk perajin pot itu, meskipun sebenarnya ada kerabat Elly yang tingal di Jakarta.

Ajari anak-anak sekolah

Setelah "lulus' dari bawah jembatan layang, dia kembali ke Manokwari dan mulai mempraktikkannya. Elly membuat pot dari semen, lalu mengukirnya dengan beragam ukiran bermotif Biak. Usahanya tak sia-sia. Permintaan berdatangan. Setiap bulan, dia bisa mendapat pesanan 50-60 pot berdiameter 30 cm sampai 1 meter. Dari penjualan pot ini, dia bisa memperoleh penghasilan kotor Rp.25 juta atau sekitar Rp.12 juta bersih.
"Karya saya juga sering diikutsertakan dalam pameran, makanya pesanan terus meningkat," katanya. Sebagian besar pesanan datang dari kota-kota di Papua dan Papua Barat.
Tak berhenti di sana, Elly mengajak 20 anak yang terancam putus sekolah untuk membantunya. Dia buatkan rekening tabunganuntuk anak-anak itu, tempat untuk menyisihkan separuh pendapatan mereka sebagai upah kerja. "Sekalian mengajari mereka menabung," tambahnya.
Berjalan sekitar enambulan, dia kembali merekrut lagi 10 anak yang kesulitan membayar biaya sekolah. "Sampai sekarang anak-anak ini masih sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Mereka bisa membiayai sekolahnya dari hasil membuat pot," katanya semringah.
Bukan tanpa tujuan Elly mengajak anak-anak muda ini. Selain ingin mewariskan keahlian mengukir dan agar budaya Papua tidak mati ditelan modernisasi, dia juga mendorong anak-anak Papua agar mau berusaha, bekerja keras, dan ulet.
"Tidak banyak anak Papua yang mau bekerja keras, berwiraswasta, apalagi mengukir pot atau membuat patung seperti ini. Mereka malu. Kebanyakan maunya kerja di kantor, menjadi pegawai negeri," ujarnya.
Sebuah ironi di tengah kayanya potensi tanah Papua.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 28 JANUARI 2011

Rabu, 26 Januari 2011

Roib, Membangun Desa Wisata


BIODATA

Nama : Roib Sobari
Lahir : Purwakarta, jawa Barat, 20 Agustus 1947
Istri : Iis Quraisin (62)
Anak :
- Yeti Nur Ismayati
- Yuni Yuniar
- Endin Samsudin
- Nenden Asyani
- Eko Sambas Priatna
- Fitri Oktavia
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat (setingkat SD ), di Bojong
- SMP (ujian persamaan), 1998
- SMA (ujian persamaan), 2004

Panorama indah dan hasil alam melimpah seringkali tak sebanding lurus dengan kesejahteraan warga sekitarnya. Kenyataan pahit itu menggerakkan Roib Sobari memperbaiki nasib warga desanya. Berbekal jabatan sebagai kepala desa Roib membangun Desa Pasanggrahan menjadi desa wisata.

Oleh MUKHAMAD KURNIAWAN

Hasilnya, desa di kaki gunung Burangrang, wilayah Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, itu rutin dikunjungi orang. Siswa dan guru dari sedikitnya 80 sekolah dan yayasan di Jakarta, Tangerang, Bogor, Depok, dan Bandung menginap di Pasanggrahan. Sebagian diantaranya rutin mendatangi desa ini untuk mengikuti kegiatan latihan dasar kepemimpinan.
Pendapatan desa pun meninkay pesat.kalau emula nyaris tak ada pemasukan ke kas desa belakangan ada pemasukan Rp.10 juta-Rp.20 juta per tahun. Pada musim liburan, seperti bulan Juni-Agustus atau Desember-januari, banyak orang berlibur di Pasanggrahan.
Menurut Roib, Pasanggrahan sebenarnya sejak lama dikunjungi banyak tamu. Berdasarkan cerita para leluhur, desa yang terletak sekitar 35 kilometer dari pusat Purwakarta itu telah didiami penduduk sejak tahun 1800-an. Pasanggrahan berarti tempat menerima tamu.
Susana desa yang dimiliki Pasanggrahan, seperti sawah, kebun, sungai, ladang, kolam ikan, udara sejuk dan panorama khas desa di pegunungan, menarik minat wisatawan. Selain itu, di Pasanggrahan ada makam "keramat" yang rutin dikunjungi peziarah dan ramai pada saat-saat tertentu.
Namun, ramainya pengunjung itu tak berpengaruh positif pada peningkatan kesejahteraan warga desa. Melimpahnya hasil kebun seperti cengkeh, teh, melinjo, dan manggis,, juga tak bisa meningkatkan kemampuan ekonomi mereka.
Tahun 2000 sebagian rumah belum memiliki fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), serta tak menghadap ke jalan. jalan desa di sebagian dusun masih jalan tanah dan sulit dilalui saat hujan.

Kepala desa

"Potensi pariwisata itu ada, tetapi tak menghasilkan pendapatan karena belum 'digosok' belum dibangun dan dikelola dengan baik," kata Roib tentang keinginannya menjadikan desa Pasanggrahan sebagai daerah wisata.
Untuk mewujudkan keinginannya membangun desa, Roib lalu meniatkan diri mengikuti pemilihan kepala desa tahun 2002. Berbekal pengalaman sebagai staf bidang ekonomi di kantor desa, dia terpilih sebagai Kepala Desa Pasanggrahan periode 2002-2007.
Pada saat menjadi kepala desa, Roib menghapus kewajiban warga membayar "upeti " kepada desa untuk meringankan beban warga yang mayoritas petani . Sebelumnya setiap petani diharuskan membayar Rp.25.000 - Rp.200.000 per tahun, tergantung luas lahan dan jumlah panen, sebagai "pajak" hasil bumi.
Beberapa komoditas pertanian tumbuh subur di Desa Pasanggrahan.Manggis, cengkeh,melinjo, padi, cabai, tomat, kol, dan berbagai sayuran dibudidayakan di pekarangan, ladang, dan sawah warga. Namun, sebagian warga tak menikmati keuntungan optimal karena terjerat sistem ijon dan permainan tengkulak.
Upaya lain yang ditempuh Roib, adalah memperbaiki sektor pariwisata. Infrastruktur pariwisata dia prioritaskan diperbaiki lebih awal. Sebagian jalan penghubung antar dusun sulit dilalui karena becek dan sempit. Selain itu, sebagian rumah warga yang dijadikan tempat menginap tamu belum memiliki fasilitas MCK, bahkan ada yang tak layak huni.
Butuh dana besar untuk memperbaiki semua itu. Roib memulainya dengan meningkatkan kesadaran wisata warga. Ia mengkampanyekan manfaat pariwisata bagi kehidupan desa melalui rapat rutin desa, kunjungan langsung kerumah warga dan pengajian mingguan. Warga yang terbukti menikmati keuntungan dari pariwisata ia jadikan contoh untuk membangkitkan ,otivasi warga warga lain.
"Saya tekankan bahwa keramahan, kebersihan, dan keindahan perlu terus dipupuk agar pengunjung betah tinggal di desa dan kembali lagi untuk berlibur," ujarnya.
Awalnya, sebagian warga tak peduli dengan ajakan Roib. Mereka berpendapat, tanpa usaha apapun wisatawan akan datang.namun, Roib terus mencoba ssampai warga memahami pentingnya memberi pekayanan yang baik bagi tamu. Mereka juga mau bergotong royong memperbaiijalan desa, mengeraskan jalan tanah dengan menyusun batu kali yang berlimpah di sungai.
Tahun 2005, Roib minta bantuan pemerintah Kabupaten Purwakarta untuk menata ulang dan memperbaiki rumah warga. Maka, Pasanggrahan mendapat bantuan Rp.200 juta dan tahu berikutnya Rp.310 juta. Semua dana itu dimanfaatkan untuk memperbaiki rumah warga.
Bantuan itu berbuah manis. Jumlah pengunjung ke desa ini meningkat dari 1.000-2.000 orang menjadi 5.000 orang per tahun. Keuntungan dari usaha yang dikelola desa lalu digunakan untuk memperbaiki sarana desa, rumah warga, serta sarana wisata.
Sedikitnya 114 rumah warga yang tersebar di empat dusun, yaitu Pasanggrahan, Tajur, Borondong, dan Depok, siap menerima pengunjung. Sebagian besar di antara rumah warga itu telah memiliki MCK dan satu sampai tiga kamar tidur tamu. Rumah-rumah itu umumnya berbentuk panggung, dinding dan lantai kayu, dengan arsitektur tradisional khas rumah Sunda.
Keuntungan juga dia gunakan untuk membeli lahan. hasilnya Desa Pasanggrahan punya 4.000 meter persegi lahan yang telah dibangun menjadi areal perkemahan. Roib melengkapi areal itu dengan tempat ibadah, MCK, dan lintasan untuk tracking.

Kembali ke desa

Selama ini mayoritas pengunjung adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka biasanya datang untuk menggelar latihan dasar kepemimpinan (LDK). Warga setempat menyebut LDK dengan istilah "BP" alias bimbingan pendidikan. Pasanggrahan pun lebih dikenal debagai desa wisata "BP".
Konsep wisata yang ditawarkan Roib adalah kembali ke desa. Para pemilik rumah yang diinapi tamu pun menyediakan menu makanan dan minuman khas desa, seperti bajigur, bandrek, dan nasi liwet dengan lalap.
Anggota karang taruna pun dikerahkan untuk memandu pengunjung menjelajah alam di sekitar desa atau mengikuti kegiatan warga, seperti membajak sawah dengan kerbau, menanam padi, memancing dan mengkap ikan di kolam, serta memanen hasil bumi seperti teh, cengkeh, manggis, kol, cabai, dan jagung.
Meski pengelola tak mematok tarif untuk beragm layanan itu, tetapi pengunjung secara sukarela memberi uang dari Rp.75.000 hingga Rp. 300.000 per hari kepada pemilik rumah. Bahkan, sebagian tamu juga menyumbang untuk kas desa sebagai bantuan pembangunan desa.
Sejak tahun 2007 Roib tak lagi menjadi kepala desa. Namun, usaha membangun Pasanggrahan dilanjutkan Nenden Asyani (32), kepala desa periode 2007-2012, anak keempat Roib.
Pasanggrahan belum sempurna sebagai desa wisata dan masih banyak hal yang perlu kami benahi. Namun, setidaknya warga telah memiliki modal sebagai pelaku pariwisata yang tahu bagaimana harus melayani tamu dengan baik," kata Roib.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 24 APRIL 2009

Kesetiaan Enoch kepada Tari Rakyat


ENOCH ATMADIBRATA

Lahir : Garut, Jawa Barat, 19 November 1927
Istri : Yulianingsih (almarhumah)
Anak : Asep Nugraha (31)
Penghargaan :
- Satya Lencana Kebudayaan Presiden RI, 2003
- Penghargaan Kebudayaan dari Gubernur Jabar, 2010
- Penghargaan Kebudayaan sebagai Seniman: Pengabdian terhadap Pembangunan Kebudayaan
dan Pariwisata Jabar dari Disbudpar Jabar, 2001
- Penghargaan Seniman Kota Bandung dari Walikota Bandung, 2007
- Penghargaan Seniman Senior Indonesia Maestro Seni Tradisi dari Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata Republik Indonesia, 2009

Pertengahan tahun 1968, ceramah Enoch Atmadibrata tentang tarian Sunda di Konservatori - kini Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung mengundang decak kagum perwakilan Institute of Ethnomusicology University of California. Saat itu, ia memaparkan tentang pentingnya pengemasan pertunjukan dan dokumentasi dalam berbagai kesenian rakyat.

OLEH CORNELIUS HELMY

Tanpa diduga, perwakilan University of California (UCLA) langsung memberikan penawaran beasiswa bagi Enoch untuk belajar di AS selama tiga tahun. Tujuannya, membantu seniman Indonesia mengembangkan pertunjukan kesenian rakyat.
Hati Enoch muda pun penuh dengan perasaan bangga dan senang, "Saya bertekad mencari ilmu yang banyak untuk mengakat dan ikuy membesarkan berbagai nernahai kesenian eakyat Indonesia," kata Enoch yang masih kesulitan berbicara karena sakit dan harus didampingi salah satu muridnya, Yuli Sunaryo (53), pertengahan Januari.
Pengalaman belajar di luar negeri menunjukkan banyak karya seni rakyat Indonesia butuh pengembangan terutama pengemasan panggun. Saat itu, mayoritas teknik pengemasan panggung kesenian rakyat di Indonesia tanpa ornamen dan membosankan, Ia khawatir kesenian rakyat akan kehilangan peminat.
Hal itu berbeda dengan teater rakyat Jepang, Kabuki. Teater yang memadukan tari dan nyanyian dengan cerita lokal ini dipentaskan di panggung ber setting meriah. Setiap babak diberi latar belakang berbeda dengan warna beraneka ragam.
Enoch mengatakan, Indonesia juga memiliki bentuk kesenian seperti kabuki, salah satunya wayang orang, merupakan pentas perpaduan tari, teater, dan nyanyi yang unik. Namun, saat itu wayang orang belum dikemas dengan baik khususnya penataan panggung.
Contoh pengemasan panggung yang baik juga dia lihat saat diundang menjadi pembicara di Radio BBC Inggris. Saat itu is juga melihat penataan akustik dan audio pada seperangkat gamelan minimalis. hasilnya, ragam dan jenis syara yang jernih. Kondisi itu jarang ia temui di Indonesia, Seringkali suara gamelan dalam suatu pementasan seni tak terdengar baik meski diperkuat banyak variasi alat lainnya.
"Kesimpulannya, penataan dan pengemasan panggung yang dimiliki negara lain jauh lebih baik. Hal itu sangat disayangkan karena kekuatan dan potensi seni rakyat Indonesia tidak kalah berkualitas," katanya.

Cinta menari

Keinginan Enoch membesarkan kesenian rakyat segera ia wujudkan setiba di Tanah Air. Penataan panggung ala kabuki dan penempatan audio yang tepat menjadi kekuatan setiap pertunjukkan Enoch. Beberapa pertunjukan tari yang berhasil ia gelar antara lain "Mundinglaya Dikusuma", "Sangkuriang", dan "Nyi Pohaci Sanghyang Sri".
Kecintaan Enoch kepada dunia seni tak lepas dari kesenangannya menari. Lelaki asli Garut ini pertama kali belajar tari klasik Sunda dari Raden Gandjar pada tahun 1943. Setelah perang kemerdekaan RI, Enoch melanjutkan belajar tari pada Raden Tjetje Soemantri di Bandung.
Tak puas, Enoch juga belajar tari wayang dari Mochamad Sari Redman, tari keurseus, dan berguru tari topeng Palimanan dari Bi Dasih, tahun 1960. Lewat kecintaannya kepada tari, ia merintis berdirinya Konservatori Tari (kini Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung) dan jurusan sendratari di Fakultas Ilmu Bahasa dan Seni IKIP Bandung (kini Universitas Pendidikan Indonesia).
Namanya pun dikenal dikalangan penari Jabar. Ia menciptakan banyak karya baru yang masih sering dimainkan hingga kini, seperti Gending Karesmen Lutung Kasarung, Cendrawasih, Hujan Munggaran, dan Katumbiri. Mayoritas tema yang diangkatnya tentang perjuangan manusia untuk hidup dan mendapatkan keadilan. Tari Cendrawasih, misalnya, diciptakan utuk memberikan ssemangat kepada masyarakat Irian Jaya (kini Papua) memperjuangkan kesetaraan dan hak sebagai warga negara Indonesia.
"Dukungan tak bisa diperlihatkan begitu saja, karena dulu kritik langsung dilarang pemerintah," katanya.
Ciri khas lain yang jarang dimiliki umumnya seniman adalah minat Enoch menulis dan mendokumentasikan karya seni. Hingga kini, ia menghasilkan 14 judul karya tulis dan buku tentang kesenian di Indonesia, diantaranya Panungtun Dalang Wayang Golek di Pasundan (1982) dan Khasanah Seni Pertunjukan Daerah Jawa Barat (2007). Bahkan, ada juga tulisan berbahasa Inggris, seperti Sunda Dance dalam buku Grove Dictionary (1977) dan Ketuk Tilu and Tayuban, Performing Arts (1999).
Enoch juga gemar medokumentasikan karya dalam media elektronik. Koleksinya adalah ratusan rekaman seni pertunjukan dari berbagai negara dan daerah dalam bentuk film, foto, dan kaset.
"Saya ingin semakin banyak masyarakat mengetahui lantas menyukai kesenian dan adat istiadat yang kami miliki," ujar Enoch yang pernah memimpin Misi Kesenian Indonesia yang terdiri dari seni Topeng Cirebon dan Pencak Silat selama tujuh pekan di 24 tempat di AS dan Kanada.
Kini Enoch terbaring sakit dan menjalani perawatan di Rumah Sakit Kebon Jati, Bandung. Tubuh rentanya mulai kewalahan melawan gangguan prostat, jantung, dan diabetes. Ia harus segera dioperasi, tetapi tim dokter belum memberikan lampu hijau karena kondisi kesehatannya belum memungkinkan.
Nama besarnya terlihat saat banyak pihak peduli terhadap kondisi kesehatan mantan pengajar di University of Santa Cruz, AS, ini. Pemerintah Jabar berinisiatif membebaskan semua biaya pengobatan. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan untuk revitalisasi dokumentasi karya-karya Enoch.
Sekelompok seniman yang mayoritas anak asuhnya berencana mengadakan pertunjukan karya seni Enoch. Keuntungan pergelaran ini untuk membiayai pengobatan.
Enoch sangat berterima kasih kepada semua pihak yang peduli kepadanya. hal itu menjadi semangat baginya untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung. Ia berkeinginan terus memperkenalkankarya seni Jabar kepada masyarakat nasional dan internasional.
"Bersama Yayasan Kesenian dan Kebudayaan Jayaloka, saya sedang mengolah dokumentasi banyak karya seni rakyat dalam bentuk digital. Tujuannya agar masyarakat mampu mengenal lebih jauh potensi seni yang dimiliknya," ujar mantan pengajar, tari di University of Ohio ini.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 27 JANUARI 2011

Selasa, 25 Januari 2011

Hari Siswoyoto dan Budidaya Jamur Tiram


DATA DIRI

Nama : Hari Siswoyoto
Lahir: Sleman, DI Yogyakarta, 25 Februari 1966
Istri : D Palupi (43)
Anak :
- Adika Diandra (16)
- Raditya Diandra (13)
Pendidikan:
- Sekolah Dasar Kanisius, Minggir, Sleman, DI Yogyakarta
- Sekolah Menengah Pertama Sanjaya, Minggir, Sleman
- Sekolah Menengah Atas Marsudi Luhur I, Yogyakarta
Pekerjaan :
- Karyawan perusahaan otomotif di Jakarta, 1984-2002
- Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah se Jabodetabek, 2002 sampai sekarang

Usaha budidaya jamur yang dirintis Hari Siswoyoto sejak tahun 1995 itu tidak hanya mampu menghidupi keluarganya, tetapi juga memberdayakan sedikitnya 700 petani di daerah Sukabumi, Bogor, dan Cianjur, Jawa Barat.

Oleh AGUSTINUS HANDOKO

Padahal, ide membudidayakan jamur itu muncul secara kebetulan saat ia masih menjadi karyawan sebuah perusahaan otomotif di Jakarta pada awal tahun 1984. Awalnya, Hari Siswoyoto tak terpikir untuk mempunyai usaha sendiri, apalagi membudidayakan jamur.
Dia merasa cukup nyaman menjadi karyawan dengan penghasilan tetap. Inspirasi menjadi pengusaha muncul justru dari seorang pedagang rokok dan minuman. kalau pedagang rokok saja berani punya usaha sendiri, bahkan bisa mengembangkannya dari satu tempat menjadi 10 tempat bejualan, mengapa ia tak berani?
Hari lalu berusaha mencari bidang usaha yang kira-kira bisa dia tekuni. Pilihannya jatuh pada jamur karena dia kerap melihat orang di kampungnya, daerah Sleman, DI Yogyakarta, suka mengonsumsi jamur, terutama ketika musim hujan.
"Ketika itu jamur belum masuk banyak di pasaran. Saya langsung yakin, jamur bisa menjadi peluang yang menjanjikan," kata Hari.
Dimulai dari keyakinan itulah, disela-sela waktu kerjanya, Hari, rajin berburu informasi hingga dia bertemu dengan seorang kepala sekolah pertanian di Sukabumi. Menimba ilmu pertanian dari "ahlinya", dia lalu membuat semacam kebun percontohan jamur di kawasan Cisarua, Bogor.
Percobaan budidaya jamur mulai dari pembibitan hingga panen yang dilakukan Hari relatif berhasil. Namun, keberhasilan itu saja belum bisa dijadikan ukuran untuk memulai usaha. Pasalnya, Hari belum menemukan pasar yang bisa menyerap produk jamurnya secara rutin.

Jaringan pemasaran

"Saya sempat putus asa karena pasar masih asing dengan produk pertanian bernama jamur. Harganya ketika itu juga maih sangat murah sehingga saya rugi jika budidaya jamur ini diteruskan," cerita Hari yang menggunakan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) jenis Oister oleim untuk memberdayakan masyarakat pedesaan di Sukabumi, Bogor, dan Cianjur.
Namun, di sisi lain, dia juga pantang berhenti dengan usaha yang dirintis itu. Hari kemudian menyambangi pasar-pasar tradisional di Bogor dan Jakarta untuk membuat jaringan pemasaran jamur.
Ketika itu harga jamur relatif masih murah, sekitar Rp.2.000 per kilogram. Pasar pun mulai terbentuk, dari satu-dua pedagang, beberapa pedagang lainnya pun minta pasokan jamur darinya.
Di sisi lain, produksi jamur yang bisa dia pasok ke pasar-pasar tradisional di Bogor dan Jakarta juga semakin stabil karena banyak petani di Cisarua yang mengikuti jejak Hari.
"Para petani di Cisarua bahkan bisa ikut mengontrol harga karena permintaan pasar cukup banyak. Petani jadi punya daya tawar tinggi terhadap pedagang," kata Hari tentang kondisi pada tahun 1997 itu.
Baruadatahun 2000, Hari dan seorang rekannya mengembangkan budidaya jamur itu secara besar-besaran sehingga makin banyak petani yang bisa dilibatkan. Harga jamur pun sudah meningkat menjadi Rp.6.000 per kilogram.
Seperti layaknya sebuah usaha yang mengalami pasang surut, budidaya jamur yang dikembangkan Hari juga sempat menyurut. Bedanya, usaha jamurnya menyurut karena dia dipindah tugaskan dari kantor di Jakarta ke kantor cabang di salah satu kota di Kalimantan.
Namun, terlanjur cinta pada jamur, Hari lalu memutuskan mengundurkan diri dari kantor tahun 2002. Dia memilih untuk fokus pada usaha jamurnya.
Sampai tahun 2005 semakin banyak petani di daerah Cikidang,Kabupaten Sukabumi, dan Puncak, Cianjur, yang terlibat dalam budidaya jamur yang dikelola Hari. Dengan bertani jamur, para petani bisa mendapatkan penghasilan dari Rp.100.000 hingga Rp.300.000 per hari.

Tumbuh cepat

Dari pengalamannya selama ini, Hari berkesimpulan, budidaya jamur bisa diterima petani dalam waktu cepat sebab relatif mudah. "Jamur itu parasit yang tumbuh cepat dan tidak memerlukan lahan yang luas," katanya.
Jamur tiram, misalnya, bisa dibudidayakan dengan media tanam polybag yang disusun dirak-rak. Untuk budidaya jamur tiram sebanyak 10.000 polybag diperlukan dana sekitar Rp.20 juta.
Rinciannya, untuk bibit Rp.17 juta dan pembuatan rumah budidaya Rp.3 juta dengan ukuran 6 meter x 12 meter. Dari budidaya itu akan diperoleh hasil sekitar 60 kilogram jamur setiap hari.
Belakangan harga jamur tiram sekitar Rp.6.500 per kg dari tangan petani. Di pasar modern harga jamur tiram mencapai Rp.22.500 per kg. Jamur tiram makin diburu konsumen karena memiliki kandungan protein tinggi.
Karena berkembangnya amat cepat, Jamur tiram harus dipanen setiap hari, bahkan bisa dipanen pada pagi dan sore. Pasalnya, jamur yang sudah dibudidayakan akan mati dalam waktu tiga hari sejak tumbuh.
"Satu bibit jamur tiram itu akan terus panen hingga empat bulan sehingga modal usaha rata-rata sudah akan kembali atau impas pada dua bulan pertama budidaya," katanya.
Setelah berhasil memberdayakan petani di pegunungan di wilayah Sukabumi, Cianjur, dan Bogor, belakangan Hari giat mengajak pemilik lahan sempit di Kota Sukabumi. Ia membuat percontohan di Jalan Bhayangkara, Kota sukabumi.
"Dalam waktu empat bulan sudah 24 pembudidaya jamur yang ikut, mereka umunya memiliki lahan amat sempit. Bahkan, ada yang hanya seluas 2 meter x 3 meter, tetapi mereka rutin berproduksi dan menikmati keuntungan," katanya.
Sebagian pembudidaya bahkan melebarkan usaha untuk memberi nilai tambah pada jamur karena hanya jamur berkualitas bagus yang bisa masuk ke pasar modern. Mereka mengolah jamur berkualitas rendah menjadi keripik jamur. Setelah dikeringkan, jamur digoreng. Harga jual keripik jamur ini bisa mencapai Rp.400.000 per kg.
Selain petani, budidaya jamur juga mulai dipraktekkan kesatuan militer dan kepolisian. Hari juga mendampingi usaha budidaya jamur di Sekolah Calon Perwira atau Secapa Polri Sukabumi.
Menurut rencana, konsep budidaya jamur tersebut akan dikembangkan untuk membekali anggota kepolisian keahlian yang bisa memberikan penghasilan di luar kedinasan.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 5 MARET 2009

Minggu, 23 Januari 2011

Kegigihan Dokter di Lembaga Pemasyarakatan


DATA DIRI

Nama : dr anak Agung Gede Hartawan
Lahir : Tabanan, Bali, 4 Mei 1967
Istri : Gusti Ayu Ketut Puspawati (39)
Anak :
- Anak Agung Sagung Istri Ristanti (13)
- Anak Agung Sagung Putri Nidyasari (7)
- Anak Agung Ngurah Bagus Danu Artha Wijaya (1,5)
Pendidikan :
- SD Negeri 1 Kerambitan, Tabanan,Bali
- SMP Negeri 1 Krambitan, Tabanan, Bali
- SMA Negeri 1 Tabanan, Bali
- Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali
Pekerjaan :
- PTT Puskesmas Susut I, 1994-1996
- Kepala Klinik Lembaga Pemasyarakatan IIA Denpasar, 1997-sekarang
- Ketua Persatuan Dokter Peduli HIV/AIDS Indonesia untuk Bali, mulai 2008
Pengalaman lain di antaranya :
- Beberapakali dikirim ke luar negeri untuk berbagi dan menimba pengalaman dalam
pengelolaan kesehatan bagi narapidana, diantaranya ke Sydney, Australia (2001),
New South Wales, Australia (2003), Iran (2004), dan Toronto, Kanada (2006)

Sebelas tahun sudah dokter Anak Agung Gede Hartawan mengabdi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar, Kerobokan, kabupaten Badung, Bali. Selama itu pula hampir 70 persen waktu dia gunakan untuk memenuhi kewajiban menjadikan narapidana lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya.

Oleh AYU SULISTYOWATI

" Mereka juga manusia dan kesehatan menjadi hak mereka, meski banyak orang menganggap mereka 'sampah' masyarakat" kata Hartawan, panggilannya.
Di kalangan narapidana, ANak Agung Gede Hartawan lebih populer disebut sebagai Pak Dokter Lapas. Pria kelahiran Tabanan, 41 tahun, itu, meskipun berkumis, tetapi murah senyum dan terkesan ramah. Tetapi, jangan salah, dia tidak segan-segan untuk marah, terutama jika bertemu narapidana yang malas dan tidak tertib pada kesehatan.
Dalam kesehariannya, bapak tiga anak ini sederhana dalam penampilan. Hartawan juga berseragam ala petugas keamanan. Namun, hampir semua narapidana, khususnya yang tersangkut kasus narkoba mengenal dan menghormati dia.
Bila bertemu dengannya, bisa dikatakan semua napi bakal menyapa Hartawan. Ini bisa dimaklumi karena bisa dikatakan berkat kegigihan dialah, kondisi kesehatan para napi itu menjadi lebih diperhatikan.
Dia juga "berjuang keras" agar napi narkoba mendapatkan sel tersendiri. Ini dia lakukan agar mereka bisa mendapatkan pengobatan, dan kesehatan penghuni LP pada umumnya relatif lebih terjaga.

Kucing-kucingan

Tahun 1997, sejak Hartawan diterima dan berdinas sebagai dokter di klinik LP yang dulu bernama Kerobokan itu, ratusan napi masih bercampur aduk. Ia mengaku sempat kewalahan ketika ada rombongan penyukuh kesehatan mengenai HIV/AIDS datang ke LP.
"Saya bersama seorang asisten sekitar setngah jam selalu kucing-kucingan dengan napi narkoba hanya agar mereka mau diajak mendengarkan penyuluhan. Dari sekitar seratus orang napi, kami hanya mampu mengajak sekitar 20 orang. Saat itu memang menjadi masa-masa gila," tuturnya.
Oleh karena kesal harus kucing-kucingan setiap kali hendak melakukan penyuluhan keseehatan. Hartawan lalu mengusulkan kepada Kepala LP agar dibolehkan mengumpulkan para napi kasus narkoba dalam satu sel tersendiri. Ini dimulainya tahun 2000. Alasannya , pengkhususan ini mempermudah penyembuhan dan pengawasan bagi mereka yang masih rentan dari kecanduan narkoba.
Usulnya itu ditolak karena tidak ada aturan tentang pemisahan napi tersebut, Tetapi, ia tidak patah semangat. Setiap berganti pejabat, Hartawan kembalimengusulkan keinginannya itu.
"Saya hanya berpegang pada alasan kesehatan dan kewajiban bagi kita, khususnya petugas yang berada di dalam LP, untuk membuat para napi lebih baik dibanding sebelum mereka berada di penjara," katanya.
Keinginan Hartawan akhirnya mendapatkan jawaban. tahun 2002 napi narkoba mendapatkan sel tersendiri meski hanya satu ruangan berkapasitas tak lebih dari 50 orang. "Itu sudah lumayan," katanya. Maklum, hingga sekarang dari sekitar 800 napi, skitar 60 persen adalah pecandu narkoba.
Langkah ide pemisahan sel napi narkoba ini pun diacungi jempol oleh Departemen Hukum dan HAM. Idenya juga dinilai bisa menjadi pelopor bagi lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dalam pemisahan sel para napi narkoba ini.

Mewujudkan perubahan

Hartawan bercerita, bekerja sebagai kepala klinik di LP tak pernah terbayangkan sebelumya. Namun, begitu tugas diterima, ia berusaha memberikan yang terbaik, termasuk berusaha mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik.
Hartawan memberi perhatian khususnya kepada napi dengan kasus narkoba sebab mereka termasuk individu yang relatif rentan tertular HIV/AIDS.
Dengan dana terbatas daribantuan teman-teman, dia juga merintis kampanye bahaya HIV/AIDS, terutama bagi pecandu narkoba. Bersama teman-teman dari Kelompok Kerja (Pokja) Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah Bali, Hartawan menggiatkan kelompok-kelompok napi untuk bersosialisasi.
"Ini memang tidak mudah. Belum lagi istri saya juga uring-uringan karena saya jarang bersama keluarga di rumah. Saya bisa menghabiskan waktu seharian di klinik. Dalam pikiran saya hanya satu, ini demi kemajuan dan kemanusiaan. Soal dana, pasti ada yang membantu jika kita mencari," katanya.

Keluarga petani

Lahir dari keluarga petani di Tabanan, Hartawan belajar bertahan hidup dan saling membantu dalam kesusahan. Ia dan keluarga relatif mengandalkan hidup dari gaji. Praktik dokter umum yang dibukanya di rumah dinas sering ditinggalkan karenanapi yang sakau atau sakit lebih memerlukan bantuan. Sementara pasien di rumah bisa pindah kedokter lain.
Tahun 2005, kondisi klinik di LP lebih baik. Ia meminta bantuan beberapa napi mengecat dan membongkarlantai. Dari sisi pelayanan, klinik pun mendapat kepercayaan menyediakan layanan terapi metadon bagi pecandu narkoba lewat jarum suntik.
Dua tahun berjalan, ia berpikir untuk membuat 20 napi dengan terapi metadon agar tak jenuh dengan kegiatan rutin minum ramuan substitusi dari jarum suntik dengan mengalihkan perhatian ke kegiatan kesenian.
Hartawan meminta mereka membuat grup tek-tekan, sebutan untuk musik dari bambu (kentungan) yang dipukul beraturan hingga menghasilkan suara harmonis. Seiring berjalannya waktu, mereka pun mahir memukul kentungan dengan nada-nada yang enak didengar.
Namun, pada penampilan perdana di depan umum, mereka tak mau wajah aslinya tampak. "Kami terpaksa keluar uang untuk membelikan topeng sebagai penutup wajah agar mereka tak malu," ceritanya tentang grup tek-tekan yang kini tak lagi bertopeng.
Hartawan mengaku bangga dengan pencapaian berkesenian para napi. "Dengan tek-tekan, mereka tak hanya mendapat pengalaman baru dalam berkesenian, tetapi juga belajar bekerjasama dan tumbuh rasa kebersamaannya," katanya.
Bagaimanapun, tambah Hartawan, semua itu bisa terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. "Saya tidak memiliki apapun untuk membalas semua bantuan yang telah diberikan. Saya hanya bisa berdoa bagi mereka agar Tuhan selalu memberkati mereka," ucapnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 30 DESEMBER 2008

Ervizal AM Zuhud : Mengembalikan Pengetahuan Tumbuhan Obat


ERVIZAL AM ZUHUD

Lahir : Dabo Singkep, Riau, 18 Juni 1959
Istri : Nurlukluk'in Maknun (46)
Anak :
- Drh Mahzhuzh Al Mutawally (25)
- Putri SyahierahSP (23)
- Za'iemah Asy-Syifa SSi (22)
- Luo Ayy Al Farouqi (20)
- Syawkat Arrabany (16)
Pendidikan :
- SMA Negeri I Bukittinggi
- S-1 Fahutan IPB (lulus 1983)
- S-2 Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB (1989)
- S-3 Ilmu Kehutanan IPB (2007)
- Profesor di bidang Konservasi Tumbuhan Obat Tropika (2010)
Kegiatan riset antara lain :
- Pengembangan tata ruang TN Bali Barat, Bali (1986)
- Pengembanagan tata ruang TN Ujung Kulon, Jabar (1991)
- Program Konservasi tumbuhan obat di TN Meru Betiri, Jawa Timur (1992-2000)
- Pemetaan tumbuhan obat di Sumbar, Jambi, Jatim, Jateng, dan Jabar (2000)
- Etnobotani Masyarakat Suku Marind Sendawi Anim di TN Wasur, Merauke, (2008)
Penghargaan :
- Satyalancana Karya satya 10 tahun (2002)
- Satyalancana Karya Satya 20 tahun (2007)

Ada semacam kealpaan dari sebagian ilmuwan atau akademisi yang setelah selesai menempuh studi di luar negeri. Kealpaan itu adalah mereka yang menyerap ilmu dari Barat, sekembalinya di Tanah Air, melupakan dan mengabaikan pengetahuan lokal tradisional, semisal tumbuh-tumbuhan obat atau ragam bahan pagan pokok.

OLEH NAWA TUNGGAL

Inilah kegalauan yang diungkap Ervizal AM Zuhud (51). Agustus tahun lalu, ia menerima pengukuhan sebagai profesor di bidang konservasi tumbuhan obat tropika di Fakultas Kehutaan Institut Pertanian Bogor.
"Profesor bidang konservasi tumbuhan obat tropika mungkin yang pertama di Indonesia," kata Ervizal, yang akrab dipanggil Doktor Amzu di Kampus IPB Dermaga, Bogor.
Sebagai dosen sekaligus peneliti di IPB, Ervizal berkecimpung dalam kegiatan riset etnobotani masyarakat tradisional di berbagai pedalaman Indonesia.
Sejak 2009, Ervizal merintis Kampung Konervasi Taman Tumbuhan Obat Keluarga di Kampung Gunung Leutik, Ciampea, Bogor, dengan 237 spesies tumbuhan obat. Ketertarikan Ervizal memang terpusat pada mekanisme kearifan lokal dalam pemanfaatan aneka tumbuhan obat.
"Tumbuhan obat memainkan peran penting bagi kemandirian masyarakat tradisional kita," ujar Kepala Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB itu.
Dari kegiatan para periset etnobotani di Indonesia menunjukkan, 34 etnis menggunakan 78 spesies tumbuhan obat untuk mengobati malaria. ebanyak 30 etnis menggunakan 133 spesies tumbuhan obat untuk mengobati demam, kemudian 110 spesies tumbuhan obat untuk mengobati gangguan pencernaan.
Hal itu pula yang menyadarkan Ervizal pada tahun 1992 untuk mendirikan Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Ini seiring memudarnya pengetahuan tentang tumbuhan obat itu sendiri oleh sebagian besar masyarakat kita.

Kedawung atau petai hutan

Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr) yang ditunjuk Ervizal sebagai tumbuhan obat terpenting di Jawa, sekarang sudah langka. Kedawung merupakan pohon raksasa berbatang besar dan lurus, yang juga dikenal sebagai petai hutan.
Pemanfaatan kedawung mulai dari akar, daun, dan buahnya sebagai penguat lambung, yang mencegah dan mengobati gangguan pencernaan. "Masyarakat Jawa pada masa lalu banyak mengonsumsinya, tetapi sekarang tidak," kata Ervizal.
Ervizal selama 8 tahun sejak 1992 menerima dana 600.000 dollar AS dari MacArthur Foundation untuk meriset tumbuhan obat, terutama kedawung di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Pohon itu adalah penaung paling tinggi yang keberadaannya makin langka.
Manfaat kedawung beragam. Daunnya bisa untuk obat sakit perut. Bijinya bermanfaat untuk gangguan rasa sakit, seperti nyeri haid, nyeri sebelum bersalin, demam nifas, kolera, sakit perut, mulas, masuk angin, antidiare, karminatif, borok, kudis, sakit pinggang, ssakit jantung mengipas, cacingan, radang usus, dan cacar air. Kulitnya juga untukmengobati kudis. Biji kedawung yang ditumbuk bisa dijadikan sebagai sampo.

Daun kepayang

Ada istilah Melayu, "mabuk kepayang". Istilah itu diambil ketika orang menjadi lunglai atau gontai setelah menghirup asam sianida dari buah kepayang.
Kepayang adalah nama tumbuhan yang sebenarnya akrab dengan kita. Khususnya penggemar pndang dan rawon. Kepayag tak lain adalah kluwak atau picung (Pangium edule).
Asam sianida terdapat pada buah kluwak, tetapi mudah menguap bila terkena suhu diatas 26 derajat celsius. Selain mengenal manfaat tumbuhan obat, Ervial juga dituntut mengetahui sifat lainnya, terutama yang toksik atau beracun.
Buah pada biji kluwak dengan kandungan asam glutamat digunakan sebagai pengganti monosodium glutamat (MSG). Kluwak ternyata baik bagi ibu hamil atau menyusui. Ini karena kandungan zat besi biji kluwak termasuk tinggi. Dilengkapi kandungan vitamin C pula sehingga menjadi antioksidan yang baik.
Manfaat lain juga dapat dipetik dari daun kepayang. "Orang Melayu dulu sering membawa daun kepayang untuk melaut. Daunnya bisa mengawetkan ikan tangkapan," kata Ervizal.
Menjelaskan kedawung dan kepayang hanya contoh cara Ervizal menjelaskan tentang tumbuhan obat dengan menarik. Begitu pula untuk tumbuh-tumbuhan obat lainnya.
Mengembalikan pengetahuan tumbuhan obat, bukanlah hal rumit. Bagi Ervizal, ancaman kepunahannya yang sekarang harus diwaspadai. "Masyarakat dengan berbekal pengetahuan tentang tumbuhan obat makin mampu diajak melestarikan hutan," katanya.
Bagian Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Fakultas Kehutanan IPB, hingga 2007 mendefinisikan 2.039 spesies tumbuhan obat tropika. Sebelumnya, Ervizal pernah menuangkannya ke dalam Buku Acuan Umum Tumbuhan Obat Indonesia untuk enam jilid, yaitu jilid VI hingga XI pada tahun 2001-2004.
Jilid I hingga V buku tersebut digarap Tim Fakultas Kehutanan Universitas Gadjahmada, Yogyakarta. Buku acuan tumbuhan obat tropika sampai 11 jilid itu sudah selesai disusun. Tetapi, sampai sekarang belum bisa dicetak untuk umum.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 24 JANUARI 2011

Kamis, 20 Januari 2011

Chadidjah Toana : Pelindung Anak Terlantar


SITTI CHADIDJAH TOANA

Lahir : Palu, 31 Maret 1943
Suami : HM Djafar Amin (67)
Pendidikan :
- SD Negeri Parigi
- SMP Negeri 1 Palu
- SMA Kristen di Jakarta
- SarjanaMuda Ekonomi Universitas Tadulako
Pekerjaan : Pensiunan PNS Departemen Perdagangan dan Koperasi
Organisasi :
- Badan Kerjasama Wanita Islam Sulteng
- Forum Komunikasi Umat Beragama Sulteng
- Majelis Ulama Indonesia Sulteng
- Muhammadiyah Sulteng
- Himpunan Mahasiswa Islam
- Pelajar Islam Indonesia

Di usia yang beranjak senja, perempuan ini selalu membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi siapa pun tanpa melihat latar belakang sosial, agama, dan ekonomi. Pintu rumahnya juga terbuka lebar untuk anak-anak telantar dan yatim piatu yang membutuhkan tempat berlindung. Semuanya gratis!

OLEH RENY SRI AYU

Sitti Chadidjah Toana (67) selalu membuka lebar pintu rumahnya di Jalan Hang Tuah, Palu, Sulawesi Tengah. Dia bersedia menerima siapa saja untuk belajar berbagai keterampilan atau sekadar berdiskusi soal perempuan dan reproduksi. atau menjadi teman curhat siapa pun yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hampir separuh usianya sudah dihabiskan dengan berkutat pada urusan anak-anak telantar, yatim piatu, dan korban KDRT. Selama 28 tahun terakhir, Chadidjah seolah menjadi ibu bagi mereka. Ini pula yang membuatnya akrab dengan panggilan "Mama", "Ibu Ijah", atau "Bibi Ijah".
Chadidjah melakukan apa yang disebutnya pengabdian kepada Sang Pencipta, kepada sesama manusia, dan "panggilan jiwa". Dia tak peduli berapa banyak waktu dan materi yang dihabiskannya.
Satu hal yang menjadi inspirasinya adalah nasihat mendiang ayahnya, Abdul Wahid Toana, yang mengutip hadist Nabi Muhammad SAW, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa bermanfaat bagi orang lain".
Saat konflik di Kabupaten Poso, Sulteng, bergejolak tahun 1999, panggilan jiwa untuk bermanfaat bagi orang lain membuat Chadidjah mendirikan Posko Peduli Korban Konflik di rumahnya. Dia membuka tangan bagi siapa pun yang membutuhkan tempat berlindung. Ia tak peduli apa latar belakang konflik di Poso, agama, sosial, ataupun ekonomi orang-orang yang mendatanginya.
Mereka yang pernah ditampung di rumahnya pasti bisa mengenang bagaimana hidup dilakoni dengan prihatin tetapi berakhir indah. Puluhan, bahkan hampir ratusan, orang ditampung di rumah Chadijah saat itu. Ibaratnya, hanya satu ruangan yang tak terisi, yaitu kamar mandi.
Saat itu dia hanya berpikir, banyak korban akibat konflik dan mereka butuh pertolongan. Kebutuhan mereka tak sekadar urusan logistik, tetapi juga pemulihan trauma. Mereka perlu berdaya untuk kembali ke kehidupan seperti biasa.
"Sungguh sedih mengenang masa-masa itu, tetapi saya bersyukur sebagian besar berhasil indah. Indah dalam arti kami di posko betul-betul membantu mereka semampu yang kami bisa dan mereka keluar dengan bekal mental, spiritual, dan keterampilan memadai," katanya berkaca-kaca.
Tidak sedikit korban konflik yang waktu itu ditampung sudah pulang ke Poso dan kembali hidup normal. Umumnya mereka membuka usaha rumahan, seperti jahit-menjahit dan membuat kue. Sebagian di antara mereka dibantu menyelesaikan pendidikan dan sudah berkiprah di berbagai bidang profesi.
Jauh sebelum konflik Poso, tepatnya pada tahun 1983, Chadidjah sudah akrab dengan urusan tampung-menampung serta membekali anak-anak telantar dan yatim piatu. Di Yayasan Sitti Chadidjah yang didirikannya, ada anak-anak yang tidk pernah atau putus sekolah dididik sebagaimana layaknya orang bersekolah. Bahkan, tidak sedikit yang disekolahkan hingga perguruan tinggi.
Tiga prinsip Yayasan Sitti Chadidjah dalam mendidik dan membina anak-anak terlantar dan korban KDRT adalah head, heart, dan hand. "Kami isi kepalanya, kami sentuh hatinya, serta kami beri pendidikan dan keterampilan. Jika salah satunya tidak lengkap, hidup ini akan timpang," katanya.

Inspirasi

Chadidjah tertarik mengurusi anak-anak dan berkeinginan mendirikan panti asuhan mulai tahun 1983. Saat Chadidjah dirawat di sebuah rumah sakit di Surabaya, dia mengetahui para perawatnya ternyata berasal dari sebuah yayasan panti asuhan.
Dia pun terinspirasi, anak-anak panti asuhan bisa mandiri jika diberi bekal memadai. Kembali ke Palu, dia yang saat itu sebagai pengurus wilayah Nasyiatul Aisyiyah Sulteng melakukan survei untuk mendirikan panti asuhan.
Keinginannya sempat ditentang pengurus lain dengan aasan tidak ada biaya. Namun, Chadidjah mantap melaksanakan niatnya dengan dukungan keluarga, kerabat, dan beberapa rekan. bantuan dari keluarga, termasuk dana pribadi, serta dari sejumlah donatur mempercepat berdirinya sebuah panti asuhan bernama Aisyiyah. Tidak ada bantuan dana dari pemerintah.
Tahun berjalan, Chadidjah sedikit demi sedikit melengkapi panti asuhan dengan sekolah, mulai dari tingkat TK, SD, SMP, hingga SMA. Kemudian ditambah fasilitas lain, seperti ruang keterampilan dana pos kesehatan. Tahun 2000, dengan alasan regenerasi, dia meninggalkan panti itu untuk mendirikan Yayasan Sitti Chadidjah.
Seiring dengan dinamika sosial-ekonomi-budaya, Chadidjah melihat persoalan yang ada di masyarakat pun kian beragam. Adam masalah KDRT dengan berbagai sumber pemicunya. Ada anak yang terusir dari rumah, istri ditinggal suami, hingga ada pula yang miskin tiba-tiba karena dirundung bencana.
"Saya meilhat kebanyakan korban adalah perempuan dan anak. Itulah mengapa di yayasan yang saya dirikan lebih konsentrasi untuk urusan perempuan, anak, dan remaja terlantar," ujar anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.
Sejak dibuka tahun 2000, korban-korban KDRT serta anak dan remaja telantar silih berganti masuk keluar. Tidak sedikit yang datang dengan tubuh memar atau luka kena pukul. Dengan keibuan, Chadidjah menerima mereka dan mengajak bicara dari hati ke hati.
Berbagai masalah dibicarakan dan dicarikan jalan keluarnya dengan melibatkaan keluarga para korban. Tak jarang Chadidjah meminta izin suami-suami yang istrinya merasa menjadi korban KDRT, atau orangtua yang anaknya merasa diabaikan, agar mereka bisa tinggal di rumahnya beberapa saat.
Dari mana datangnya dana yang digunakan untuk operasional yayasan yang sudah berjalan 11 tahun ini? "Sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas selalu ada jalan rezekinya. Kadang kami kekurangan, kadang cukup. Tetapi, syukurlah, sampai saat ini belum pernah kami begitu sangat kekurangan hingga, misalnya, harus tidak makan. Ada-ada saja yang datang berbagi," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 21 JANUARI 2011

Rabu, 19 Januari 2011

Ade Sugema : Memacu Mutu Manggis Indonesia


ADE SUGEMA

Lahir : Purwakarta, 5 Februari 1962
Istri : Aas Komariah (42)
Anak : Nia Agustina (18), Dian Hendrayana (13), Ari Maulana (7)
Pendidikan :
- SD Babakan I (lulus 1976)
- SMP Negeri Wanayasa (1979)
- Sekolah Pertanian Menengah Atas Bandung (1982)
Organisasi :
- Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Wanayasa (2008-kini)
- Pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Purwakarta
- Ketua Gabungan Kelompok Tani "Warga Medal" Wanayasa (2004-kini)
- Ketua Kelompok Tani Wargi Mukti

Manggis, si ratu buah tropis, memang rumit. Namun, ketelatenan Ade Sugema (48) membuat manggis "jinak". Kini, petani Purwakarta, Jawa Barat, dan sejumlah daerah lain dapat menikmati hasil kerja kerasnya. OLEH MUKHAMAD KURNIAWAN Manggis (Garcinia mangostana L) adalah komoditas utama ekspor buah Indonesia pada tahun 2006, Kementerian Pertnian mencatat ekspor manggis mencapai 5.697 ton dengan nilai lebih dari 3,6 juta dollar AS. Negara tujuan antara lain China, Hongkong, Uni Emirat Arab, Belanda, dan Arab Saudi.
Jawa Barat merupakan pemasok utama produksi manggis di Indonesia. Pada tahun 2007 mengacu data Badan Pusat Statistik Jawa barat, dari 112.722 ton produksi manggis Indonesia, 60.277 ton atau 53,4 persen diantaranya berasal dari sejumlah sentra di daerah itu, seperti Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Purwakarta, Subang, dan Bogor.
Cita rasa khas dan penampilan menarik membuat manggis digemari konsumen. Namun, pengembangannya relatif sulit. Pohon manggis dikenal memiliki karakteristik pertumbuhan yang lambat, perakaran kurang baik, serta sensitifterhadap suhu dan intensitas sinar matahari.
Penanganan panen dan pascapanen buah yang banyak tumbuh di kebun rakyat itu juga belum maksimal. Tak sedikit kulit dan daging buah terluka dan bergetah karena cara memetik, penggunaan alat petik, dan proses pengangkutan yang kurang tepat.
Ade memulai kampanye melalui kelompok tani tani Wargi Mukti di Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, tahun 1992. Bekal pengetahuan dari sekolah pertanian dan pekerjaan di Balai Benih Induk Hortikultura Dinas Pertanian Jabar dia tularkan kepada anggota.
Anggota diingatkan akan pentingnya menangani panen. Sebelumnya manggis dipanen dengan cara dikait dengan tongkat dan dijatuhkan. Cara itu rentan, membuat buah memar, pecah, dan bergetah. "Buah yang seharusnya masuk kategori super pun bisa rusak dan tak laku karena cara panen seperti itu," ujarnya.
Ade mengenalkan teknologi sederhana, yakni alat pemetik berupa tongkat dengan pengait dan kantong di bagian ujung, kepada petani lain. Dengan alat itu, buah tak jatuh ke tanah. Tingkat kerusakan dapat ditekan dan kualitas buah terjaga.

Pembibitan

Ade juga berupaya mengatasi lamanya masa berbuah. Pembibitan tradisional melalui biji,seperti banyak dilakukan petani, dinilai kurang efektif karena pohon baru berbuah setelah usia 11 tahun. Uji coba berkali-kali membawa Ade pada kesimpulan bahwa masa berbuah lebih cepat dengan cara penyambungan.
Dia menyambung bibit yang tumbuh dari biji dengan pucuk tegak yang dipotong dari pohon induk. Cara itu rupanya memperpendek usia berbuah menjadi kurang dari 5 tahun. hasil uji coba terakhir, bibit sambungan mulai berbuah di usia 3 tahun, bahkan dengan ditanam di pot sekalipun.
Ade mulai mengenalkan teknik penyambungan kepada anggota kelompok dan petani manggis lain di Wanayasa tahun 1996. Sepanjang tahun itu, Wargi Mukti memproduksi dan menjual hingga 1.000 bibit pohon. Pelan tetapi pasti, petani yang mampu membibit pohon dengan cara itu bertambah jumlahnya.
Ade memerhatikan betul teknik, alat, serta sumber bibit dan pucuk sambungan. Usaha pembibitan yang ditekuninya berkembang. Sepanjang tahun 2010, misalnya, kelompok Wargi Mukti menjual hingga 15.000 bibit manggis berlabel yang dikirim ke sejumlah kota/kabupaten di Jabar dan luar Jabar. Sebagian diantaranya pesanan instansi terkait untuk program pengembangan buah tropis.
Ade tak pernah pelit untuk berbagi. Dia juga membagikan pengetahuannya kepada petani lain di Purwakarta dan daerah lain, terutama melalui wadah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia ataupun Kontak Tani Nelayan Andalan.
Selain teknik pembibitan, Ade membantu mengatasi persoalan petani. Saat pohon-pohon manggis rusak dan terancam mati karena jamur, misalnya, dia membagi "resep" dari kesimpulan pengamatannya selama bertahun-tahun.
Ade mengamati, mengutak-atik, dan berkesimpulan atas uji cobanya. Untuk mengatasi jamur, dia meminta petani menanam pohon hanjuang atau tanaman kepulaga di dekat pohon manggis. Perakaran kedua tanaman itu dinilai efektif mematikan dan mencegah jamur pada pohon manggis.
Dari 25 petani anggota Wargi Mukti, 10 orang diantaranya kini memproduksi bibit manggis berlabel biru dan ungu dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSBTPH) Jabar. Empat dari 10 petani pembibit itu juga telah mewarisi keahlian Ade karena mampu memproduksi bibit dengan teknik sambung yang kian diminati konsumen.

Sertifikasi

Selain petani dan warga di sekitar tempat tinggalnya di Kampung Gandasoli, Desa babakan, Kecamatan Wanayasa, Ade dan kebun manggisnya juga merupakan laboratorium lapangan bagi peneliti, dosen, dan mahasiswa pertanian. Beberapa tahun menjelang pengajuan pelepasan varietas unggul Wanayasa tahun 2006, kesibukan Ade meningkat karena salah satu pohonnya menjadi obyek penelitian.
Proses pengajuan pelepasan varietas unggul itu melibatkan Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta, PusatKajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor, balai Penelitian BuahSolok, dan BPSBTPH Jabar. Tanggal 25 September 2006, pemerintah menetapkan manggis wanayasa sebagai varietas unggul.
Manggis Wanayasa dinilai unggul dalam ukuran buah yang memenuhi standar nasional untuk ekspor; bentuk buah bulat, warna merah keunguan, daging putih dengan rasa manis segar, daya simpan lama, kelopak kuat, dan beradaptasi dengan baik di dataran tinggi. Kini, sekitar 100 pohon milik anggota Wargi Mukti telah lolos sertifikasi BPSBTPH Jabar sebagai pohon induk. Upaya itu penting untuk menjaga mutu bibit demi menghasilkan buah yang unggul.
Setahun terakhir, Wargi Mukti memfokuskan diri dalam produksi bibit. Upaya itu dinilai penting karena semakin banyak bibit unggul ditanam masyarakat, potensi peningkatan jumlah dan mutu produksi akan meningkat. Melalui kerjasama antaranggota dan bantuan modal pemerintah, kelompok itu menargetkan produksi hingga puluhan ribu bibit per tahun. Harapannya, mutu dan jumlah manggis asal Purwakarta, juga Indonesia, dapat meningkat.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 20 JANUARI 2011

Selasa, 18 Januari 2011

Rasman dan Listrik Mikrohidro dari Cianjur


BIODATA

Nama : Rasman Nuralam
Lahir : Cianjur, Jawa Barat, 5 Mei 1970
Istri : Sunarsih (27)
Anak :
- Rita Hendrayani (18)
- Ama Musropa Jabar (12)
- Sayidah Noorunisa (6 bulan)
Pendidikan :
- SDN Batuireng, Desa Puncakbaru, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat,lulus 1984
Pelatihan :
- Seminar Pelestarian Hutan Berbasis Masyarakat, bandung
- Pelatihan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro, Jakarta
- Lokakarya Participatory Rural Appraisal, Jawa Tengah
- Lokakarya Pengelolaan Konflik, Medan

Rasman Nuralam adalah seorang penggiat lingkungan yang berhasil mengajak warga Desa Cibuluh, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, untuk menanami kembali sebagian kawasan hutan cagar alam Gunung Simpang.

Oleh INGKI RINALDI

Lahan seluas 15.000 hektar yang terletak sekitar 70 kilometer dari bandung itu ditanami berbagai jenis pohon, seperti mahoni, kibanen, jamuju, kisereh, kipait, kiputri, mala, gelam, huru, dan puspa, setelah terkena penjarahan pada awal era reformasi.
Selain itu, Rasman juga berhasil membuat pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan mengelolanya bersama warga. Ia pun menginspirasi warga di desa-desa sekitar untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka sembari melestarikan lingkungan dan menjaga keberlangsungan aliran air lewat keberadaan pohon.
PLTMH adalah sumber listrik skala kecil dengan daya di bawah 500 kWh dan menjadi solusi untuk wilayah pedesaan yang belum terjangkau listrik.
PLTMH memanfaatkan sungai kecil yang selama ini digunakan sebagai saluran irigasi sawah. Jalur sungai itu berada di wilayah bertopografi curam.
Aliran air yang ditampung dalam bendung kecil lantas disalurkan melalui pipa besar kearah turbin di bagian bawah hingga menghasilkan kekuatan setara air terjun. Konsep PLTMH mengharuskan warga berpartisipasi menjaga wilayah hutan dengan jaminan keberadaan pohon di dataran tinggi.
Rasman ditemui di Pusat Pendidikan Ligkungan Hidup (PPLH) Seloliman, Dusun Biting, Desa Seloliman, kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dalam workshop tentang PLTMH, awal Mei lalu.
PLTMH di Desa Cibuluh yang dibangun rasman dan warga sudah bisa dinikmati sejak 15 April 2006. Pembangunannya dimulai pada 25 Juli 2005.
"kami sempat hampir bangkrut karena dana tahap kedua dari GEF (Global Enviromental Facility-Small Grants Programe/GEF-SGF) lama sekali turunnya," katanya tentang lembaga pemberi bantuan untuk proyek PLTMH di Desa Cibuluh.
Setelah berjibaku dengan ancaman bangkrut, PLTMH itu bisa diselesaikan. Biaya investasi PLTMH sekitar Rp.300 juta. Daya yang dihasilkan 20 kWh dan bisa memberi listrik untuk lebih dari 120 rumah. Setiap rumah mendapat sekitar 100 watt.
Dengan skema pengelolaan pembangkit listrik yang berdiri sendiri tanpa campur tangan PLN, mereka menetapkan tiga tipe tarif pembayaran. Mereka yang punya televisi dan parbola harus membayar Rp.20.000 per bulan, Rp.15.000 untuk pemilik rdio, dan Rp.5.000 bagi pemilik lampu.
"namun, ada juga warga yang punya kulkas. Mereka membayar Rp.25.000 per bulan. Di Cibuluh itu sudah dingin, tetapi ada juga warga yang punya kulkas," katanya tentang perilaku sebagian warga di desa yang berada di ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut itu.

Pembalak liar

PLTMH yang dibangun Rasman dan warga setempat menjadi solusi atas ketiadaan listrik di daerah itu. Selama ini warga memenuhi kebutuhan listrik dengan sejumlah cara, seperti menggunakan kincir air, menggandol (mencuri listrik PLN), dan dengan panel surya. Enam orang tewas sejak 1975 akibat konstruksi listrik yang dibangkitkan tenaga kincir air dibangun "asal-asalan".
"Listrik tenaga kincir air juga rawan konflik karena perebutan aliran air," ujarnya. Maka, bila warga bisa memenuhi kebutuhan listrik mereka, PLN tak lagi menjadi satu-satunya tempat berharap. "Bukannya saya menolak PLN, tetapi mengapa kami harus membayar ke pihak lain padahal kami bisa membikin sendiri? Selain itu uang penjualan listrik (PLTMH) dikembalikan lagi ke kas desa dan bisa dipakai oleh warga yang membutuhkan," ujarnya.
Koordinator Nasional GEF-SGF, Avi Mahaningtyas, menganggap Rasman sebagai inisiator yang berhasil. Sejumlah rekannya, seperti Sumarna (37), salah seorang pengelola PLTMH, menyebut dia pekerja keras yang ulet.
Sebagai penggiat lingkungan, Rasman berhasil mengajak warga desa yang semula pembalak liar menjadi pencinta hutan. Ini dimulai pada Oktober 1999. Saat itu, Rasman, warga Kampung Citamun, Cianjur, ditangkap warga Dusun Sirnagalih, Desa Neglasari, Kecamatan Cidaun , Kabupaten Cianjur, yang kesal pada tindakannya sebagai pembalak liar.
"Saya masuk penjara Polsek Cidaun selama dua minggu," ujar Rasman yang ditangkap warga saat menebang pohon kibanen berdiameter 1,5 meter. Selama mendekam dalam tahanan, ia terpikir untuk mengubah jalan hidupnya.
"Saya mau bertobat. Saya tidak mau main judi lagi," kata pria yang menambahkan "Nuralam" dibelakang nama Rasman sebagai pertanda "kelahiran" barunya.
Dia menjadi pembalak liar setelah diminta salah seorang oknum Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat. Selama nyaris sepanjang tahun 1999 itu, Rasman menjadi pembalak liar dengan "senjata" mesin pemotong pohon (chainsaw).
Ia menambahkan, banyak pemodal yang sesungguhnya berandil besar terhadap kerusakan hutan kita.
"Selama ini orang miskin selalu disebut tidak berdaya jika mereka tidak merusak hutan. Padahal, orang miskin itu disuruh oleh orang kaya. Mengapa yang selalu diangkat ke 'permukaan' itu orang miskin yang seakan-akan tak berdaya kalau tidak mengambil (hasil) hutan?" tutur Rasman.

Penghasilan merosot

Tak mudah baginya meninggalkan dunia pembalak liar. Penghasilan Rasman sebagi pembalak liar ditambah hasil sawahnya ketika itu sekitar Rp.5 juta. Jumlah itu merosot drastis, sampai lebih dari setengahnya.
"Namun biar penghasilan saya dulu besar, yang namanya harta syubhat, hilang juga cepat," katanya.
Selepas dari bui, Rasman kembali ke kampung dan mencalonkan diri sebagai Kepala Dusun Mekalaksana, Desa Cibuluh, periode 2000-2005. Ia terpilih.
Setelah itu, Rasman menjadi Ketua RW 03 di lingkungan Desa Cibuluh yang membawahi lima RT. Dia mendapat pengetahuan tentang konservasi hutan dan PLTMH dari organisasi nonpemerintah, Yayasan Pribumi Alam Lestari dengan metode participatory rural appraisal (PRA).
Organisasi itu pula yang mengirim Rasman ikut pelatihan di pabrik turbin air CV Cihanjuang Inti Teknik di Cimahi pada 2004. Ia sempat mengalami masa kebingungan pada 2002-2003 karena warga menolak mengubah kebiasaan dari pembalak liar menjadi pencinta lingkungan.
Rasman sampai diancam diberhentikan sebagai kepala dusun dan gajinya berupa beras 1,5 ton per tahun tak akan diberikan. Ancaman itu tak pernah terwujud karena warga kemudian menyetujui ajakan dia untuk menjadi pencinta dan penggiat lingkungan. Warga pun mau menanam pohon demi menjaga ketersediaan aliran air.
Selain itu, bersama Badan Permusyawaratan Desa, Rasman juga mendirikan Reksa Bumi, lembaga yang fokus pada kegiatan pelestarian hutan dan air.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 26 MEI 2009

Gunawan Supriadi: "Raja" Kopi Luwak


GUNAWAN SUPRIADI

Lahir : Serang, 28 Agustus 1969
Istri : Fitro Hulzanah (33)
Anak : Restika Pertiwi (14), Gafika Satya (9)
Pendidikan : Sekolah Teknik Menengah Negeri I Yogyakarta, 1988
Pekerjaan dan Organisasi :
- Produsen kopi luwak dengan merek Raja Luwak
- Ketua kelompok perajin kopi Raja Luwak

Gunawan Supriadi (41) pernah memiliki reputasi yang buruk. Pada masa lalunya, ia dikenal sebagai "preman" yang menguasai sejumlah lahan perparkiran di Liwa,Lampung Barat. Namun, kini, warga lebih banyak mengenalnya sebagai pengusaha kopi luwak yang disegani.

OLEH YULVIANUS HARJONO

Gunawan merupakan salah satu produsen kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Lampung Barat, dengan merek dagang Raja Luwak. Kopi luwak yang dihasilkan lewat pemeliharaan luwak di pekarangan rumahnya kini mampu menembus kafe-kafe mewah di Jakarta dan sejumlah kota besar di tanah Air.
Bahkan, kopiluwak yang dihasilkan dari "kampung" ini menjelma sebagai komoditas termasyhur di dunia. Bekerja sama dengan sejumlah eksportir, kopi luwak yang dihasilkan itu kini dinikmati pencinta kopi di beberapa negara, antara lain, Korea, Jepang, Hongkong, dan Kanada.
Kopi luwak produksi Gunawan telah menambah khazanah kekayaan kopi-kopi eksotis Nusantara. Di mata dunia internasional, kopi luwak asal Indonesia, khususnya dari Liwa, memiliki reputasi teramat baik, bahkan disebut-sebut ssebagai salah satu kopi termahal dan terlangka di dunia.
Di luar negeri harga bisa mencapai Rp.5 juta - Rp 8 juta per kilogram dalam bentuk bubuk. bandingkan dengan biji kopi Hacienda dari Panama dan kopi St Helena, Afrika, yang masuk di dalam jajaran kopi dunia termahal dengan harga masing-masing Rp.1,5 juta dan Rp.1 juta per kg. Gunawan menjual kopi luwak dalam bentuk bubuk dengan harga tidak lebih dari Rp.600.000 per kg.

Nilai tambah

Selain mengharumkan nama daerah, bagi Gunawan, hal yang lebih penting adalah keberadaan kopi luwak dapat memberikan nilai tambah, yaitu penghidupan yang lebih layak bagi dirinya dan para perajin atau produsen kopi luwak lainnya. Pada gilirannya, para petani kopi juga bisa lebih terangkat kesejahteraannya.
"Usaha macam ini kan bisa menyejahterakan masyarakat yang penghidupannya rata-rata masih morat-marit. Petani (kopi) pun jadi punya uang tambahan di musim belum panen.Mereka tidak kesulitan harus menjemur dulu kopi di musim (ekstrem) ini," ujar Gunawan.
Ketua kelompok perajin kopi kopi Raja Luwak ini sekarang membina dan mengoordinasikan 10 produsen kopi luwak lainnya di Gang Pekonan, Way Mengaku, Liwa. Sebagian besar diantara mereka adalah para pemula yang tiak memiliki pasar ataupun merek dagang sendiri.
"Saya menampung sebagian kopi dari mereka, lalu membantu menjualnya, terutama jika kebetulan ada pesanan yang besar," ujarnya. Setiap perajin diharuskan menyetor 5 kg kopi luwak dalam bentuk brenjelan (masih berupa kotoran) dan pemotongan hasil keuntungan.
Iuran-iuran ini memiliki banyak fungsi, diantaranya bantuan pinjaman permodalan, termasuk untuk membeli kandang dan luwak. Gunawan berpikir sebaliknya jika dibandingkan banyak produsen kopi luwak yang berpandangan bahwa usaha itu lebih baik dimonopoli mengingat kerasnya persaingan.
Liwa akan dikenal sebagai sentra kopi luwak budidaya. Pada gilirannya, Gunawan berharap usahanya juga akan menyelamatkan luwak yang populasinya sempat terancam akibat diburu dan dibunuh. "Luwak ini dahulu sering dianggap hama karena suka menghabisi kopi. Di kebun-kebun (kopi) mereka diracun pakai Timex (racun babi)," kisah Gunawan.
Gunawan menekuni usaha kopi luwak sekitar tiga tahun lalu. Itu berawal dari hobinya memelihara hewan-hewan liar, salah satunya luwak. Dua luwak pertamanya diberi nama Inul dan Adam, mengambil nama pasangan penyanyi dangdut beken dan suaminya. Waktu itu, luwak-luwak ini hanyalah dipelihara.
"Luwak-luwak saya ini kemudian sering dipinjam seorang kawan. Ia minta izin mengurus dan memberi makan kopi. Lalu anehnya, kotorannya kok dikumpulkan. Penasaran, saya lalu minta kenalan saya mengeceknya ke internet, apakah kotoran luwak bisa dijual?" ungkapnya menceritakan pengalamannya merintis usaha kopi luwak.
Dari penelusurannya, ia kemudian memperoleh informasi bahwa di China, 0,5 kg kopi luwak bubuk dihargai Rp.3,2 juta. Dia melihat ini sebagai peluang usaha yang menjanjikan. Gunawan ketika itu masih bekerja serabutan. Kadang sebagai petugas satam, kadang mengumpulkan uang parkir dari pasar-pasar. Ketika itu dia memiliki 16 anak buah.
Gunawan kemudian meminta anak buah dan jaringannya mencarikan luwak sebanyak-banyaknya untuk dipelihara dan mencoba memproduksi kopi luwak. Namun, awal usahanya, dia terganjal persoalan pemasaran. Ia terpaksa menawarkan dagangannya dari pintu ke pintu kafe dan hotel-hotel.
"Saya membawa langsung kopinya. Luwak yang masih kecil dan jinak pun saya bawa. Itu agar mereka percaya kopi ini asli. Bukan sekedar bicara (menawarkan) di internet," ujarnya.
Perlahan, usahanya berkembang. Jumlah luwak yang dipeliharanya bisa mencapai 60 ekor saat musim kopi. Namun, saat ini yang dipelihara hanya 26 ekor. Sebagian luwak dia serahkan kepada perajin lainnya dan dilepasliarkan ke alam. Rata-rata ia memproduksi 2o kg kopi bubuk dan 2 kuintal bentuk brenjelan tiap bulan.

Sempat masuk sel

Kini, setelah perlahan mulai mapan, dia meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai koordinator parkir. "Usaha ini jauh lebih aman dan menjanjikan, terutama untuk masa depan saya dan keluarga," tutur pria yang sempat dua kali masuk sel akibat perselisihan soal parkir ini.
Dari hasil usahanya itu, kini ia bisa membeli sebuah kendaraan dan tengah membangun kafe kopi luwak di rumahnya di Way Mengaku.
Usaha kopi luwak yang ditekuninya bersama belasan warga Way Mengaku lainnya merupakan suatu bentuk kemandirian ekonomi masyarakat. Mulai dari produksi, pengemasan, hingga pemasaran, semuanya dilakukan mandiri, tak ada bantuan dari pemerintah ataupun pengusaha swasta.
"Dulu pernah ada pengusaha kaya dari Korea mau ikut usaha, memberikan bantuan modal. Saya sempat ditawari menjadi manajer, tetapi kami sepakat menolak. Kami khawatir nanti justru 'ditendang', meskipun kadang sulit, setidaknya ini usaha sendiri. Daripada kita 'dijajah' asing lagi," ujar Gunawan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 19 JANUARI 2011

Senin, 17 Januari 2011

Hasruddin : Relawan Terlama di Wasior


HASRUDDIN

Lahir : Makassar, 28 Mei 1986
Pendidikan :
- Madrasah Ibtidaiyah Lamasi Pantai Palopo, Sulawesi Selatan
- SMP Negeri 1 Manokwari, Papua Barat
- SMA Negeri 2 Manokwari, Papua barat

Waktu Hasruddin (24) terkena malaria, relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Papua Barat itu menolak untuk pulang. Padahal, koordinator lapangannya diWasior, Papua Barat, sudah menginstruksikan agar Hasruddin kembali ke rumah. Ketika sakitnya tambah parah dan muntah darah, ia baru menyerah.

OLEH DWI BAYU RADIUS

Kalau soal loyalitas kepada tugas, warga Manokwari itumemang benar-benar keras kepala. Ketika terkena malaria akhir November 2010 lalu, misalnya, rekan-rekannya di PMI yang iba meminta Hasruddin beristirahat. Bahkan, mereka juga menyediakan tiket pesawatke Manokwari untuknya.
Bukannya menurut, Hasruddin malah balik memarahi mereka dengan alasan tugas belum selesai. Padahal, ia sudah terkena demam, sakit kepala, bahkan muntah-muntah. "Itu termasuk masa paling berat selama saya bertugas di Wasior. Saya mau istirahat di posko PMI Wasior saja," katanya. Kurang dari sepekan dirawat, ia sudah bertugas lagi. Tak ayal, relawan-relawan lain pun hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikaan kegigihan Hasruddin. Akhir Desember 2010, ia baru bersedia pulang setelah muntah darah.
"Sekarang masih diperiksa. Belum tahu sakitnya, tuberkolosis atau apa. Tetapi, nanti kalau sudah sehat, saya mau kembali lagi ke Wasior," tegasnya, awal Januari lalu.
Hasruddin memutuskan bertahan di lokasi bencana sejak banjir bandang terjadi di Wasior pada Oktober 2010. Dia menjadi relawan paling lama yang bertugas di sana. Keesokan hari setelah banjir bandang terjadi, ia sudah berada di Wasior.
Sebelum sakit paru-paru, dia hanya tiga kali pulang, paling lama dia tinggal seminggu di Manokwari, lalu kembali ke Wasior. "Setahu saya, teman-teman relawan lembaga lain sudah pulang. Umumnya, mereka di Wasior hingga tanggap darurat selesai," katanya.

Mendata dengan hati

Masa tanggap darurat berlangsung sejak banjir terjadi hingga 17 Desember 2010. Relawan PMI yang datang pertama kali hanya empat orang, termasuk Hasruddin. Jumlah relawan PMImencapai puncaknya pada pekan keempat Oktober lalu sebanyak 27 orang. Pada akhir Desember 2010, jumlahnya 20 orang. Adapun masa pascatanggap darurat jauh lebih lama, hingga satu tahun setelah bencana.
"Kalau sampai selama itu harus bertugas, saya tidak keberatan, malah inginnya begitu," tutur Hasruddin sambil tersenyum. Keakraban dengan warga dan pengungsi menjadikan pengorbanan seakan tak menjadi beban. Rasa berat hati justru muncul ketika mereka tahu relawan akan pulang.
"Kalau melihat wajah mereka yang bertanya kenapa kami harus pergi, rasanya suka kasihan. Pernah saya pergi tanpa memberi tahu mereka," ujar Hasruddin. Raut muka pengungsi dan warga seolah menunjukkan bahwa mereka maih membutuhkan bantuan.
Menjadi relawan bukan pekerjaan mudah. Resiko dimaki pengungsi meski kerapbermaksud untuk menolong kerap harus ditanggung. Di Wasior sebagian pengungsi marah karena distribusi bantuan yang tidak merata. Sejumlah pemberi bantuan memberikan barang begitu saja kepada kepala kampung.
"Lalu ada diantara mereka yang tidak mendapat bantuan. Relawan lain yang kemudian datang dan bermaksud benar-benar membantu, dianggap tak berbeda dan tak berguna bagi korban," katanya. Kadang-kadang Hasruddin dan rekan-rekannya harus bersusah payah memberi penjelasan.
"Untungnya, umumnya korban bencana akhirnya mengerti. Masalah itu juga kami atasi dengan cara yang saya istilahkan sebagai mendata dengan hati," katanya.
Pendataan korban yang akan diberi bantuan dilakukan dari pintu ke pintu , melakukan tatap muka, memberikan senyuman, dan mendengarkan keluhan. "Kami mendata sendiri supaya tahu kondisi korban yang benar-benar memerlukan bantuan," katanya.
Kalaupun memperoleh data dari pihak lain, seperti dari kepala kampung. Data itu dicek langsung dengan mendatangi para korban. "Kalau mereka sudah mengucapkan terima kasih dengan tulus, saat itulah saya rasanya merinding dan muncul kepuasan batin," ungkapnya. Pada umumnya, para pengungsi yang semula bersikap dingin, kemudian mulai tersenyum. Bahkan, bisa berkaca-kaca jika tahu bahwa relawan yang sudah dikenal dengan baik selesai bertugas.
Pengalaman paling berkesan dengan pengungsi, Hasruddin alami ketika dia sempat pulang ke Manokwari akhir November 2010. Ia bertemu anak-anak di pengungsian di kota itu. Meski ssedang pulang, Hasruddin tetap ikut membantu rekan-rekannya. "Waktu anak-anak itu harus ke Wasior, sambil menangis mereka bilang 'kakak saya pulang dulu '. Sedih betul, hampir saya tak tahan untuk ikut menangis," kenangnya.
Selama masa tanggap darurat, relawan PMI bertugas mengevakuasi korban luka dan jenazah, mendata, dan memberikan pelayanan kesehatan. Mereka juga berupaya memenuhi kebutuhan nonpangan pengungsi, seperti tenda, selimut, tikar, dan alat masak. Setelah masa tanggap darurat berlalu, barulah relawan melakukan aktivitas seperti pemulihan hubungan keluarga, pengalihan beban pikiran dan trauma, dan pembersihan sumber air.

Ingin kuliah

Sebagai relawan, panas, debu, dan risiko terkena penyakit di daerah bencana sudah pasti mengintai. Relawan PMI pun hanya mendapat Rp.60.000 per hari. Tetapi, Hasruddin memang tak terlalu berharap pada materi karena mengemban tugas kemanusiaan. Ia malah selalu meminta perpanjangan masa tugas. Rentang waktu relawan bekerja adalah dua minggu selama masa tanggap darurat atau satu bulan setelah masa itu selesai dan bisa di perpanjang.
"Relawan nyaris tak dapat apa-apa. kami mendapatkan pelatihan gratis bukan untuk materi, tetapi pengetahuan. Menurut saya, itu paling berharga," katanya. Pelatihan yang diberikan bermacam-macam, seperti korps sukarela dasar, program dukungan psiko-sosial, dan pemulihan hubungan keluarga.
Sudah sejak kelas II Sekolah Menengah Atas, Hasruddin mulai menekuni kegiatan sosial tersebut. Ketika itu, ia bergabung dengan Palang Merah Remaja (PMR) di sekolahnya, SMA Negeri 2 Manokwari. Motivasi awal mengikuti PMR tak lain karena Hasruddin tergerak untuk membantu orang lain.
Saat itulah mulai tertanam keinginan untuk menjadi relawan. Malah, setelah SMA, saya tadinya mau meneruskan ke perguruan tinggi, tapi tidak jadi." katanya.
Setelah tamat SMA, dia sudah berniat kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Manokwari. namun, panggilan tugas ke Padang dan Bandung pada Mei 2010, tak bisa ia tampik. "Meski demikian, suatu hari nanti saya tetap ingin melanjutkan pendidikan formal," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 18 JANUARI 2011

Pelestari "Dolanan" di Lereng Ungaran


BIO DATA
Nama : Yossiady Bambang Singgih
Lahir : Kendal, Jawa Tengah, 28 Oktober 1954
Istri : Ni Putu Indah Utami (55)
Anak : R Guntur Prabawa Kusuma (28)
Pendidikan : STM Pembangunan Semarang, 1979
Pekerjaan :
- Staf Kanwil Departemen Transmigrasi Jateng, 1982-2000
- Staf Tramtib Kecamatan Ungaran, 2000-2002
- Staf Dinas Perhubungan, 2001-2002
- Staf Protokol Setda Kabupaten Semarang, 2002-2005
- Staf Radio Serasi Kabupaten Semarang, 2005-2006
- Staf Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang, 2006-kini
Penghargaan :
- PenyuluhTeladan I Tingkat Nasional Tahun 1991
- Motivator Teladan I Tingkat Nasional Tahun 1993
- Penggerak Swadaya Masyarakat I Tingkat Nasional 1995

"Arum lan kuncaraning bangsa gumantung marang budi pekerti lan kabudayane" (kemilau bangsa terletak pada budi pekerti dan kebudayaannya)

Oleh ANTONY LEE

Sebagian kenalannya memberikan julukan "pendekar budaya" dari lereng Gunung Ungaran kepada Yossiady Bambang Singgih. Bukan karena ia ahli silat. Julukan itu muncul dari sepak terjangnya membangun Yoss Traditional Center, wadah pelestarian seni budaya dan aneka permainan anak. Modalnya hanya nekat dan secarik surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil atau PNS.
Yoss Traditional Center (YTC) terletak di lereng Gunung Ungaran, tepatnya di Dusun Suruhan, Desa Keji, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.. Sekitar 26 kilometer dari Kota Semarang. Udara di wilayah ini sejuk dengan nuansa khas pedesaan yang menyajikan harmoni gemerisik dedaunan yang dihempas angin dan suara kicau burung.
Di atas tanah kas Desa Keji seluas 1.000 meter persegi, YTC menampilkan seni budaya lokal masyarakat setempat, berikut aneka dolanan atau permainan anak. Di sini terdapat deretan pesanggrahan bambu, panggung utama yang dilengkapi seperangkat gamelan slendro, serta sejumlah warung yang juga dibalur konsep serba bambu.
Pengunjung yang mendatangi YTC mendapat sajian aneka atraksi yang diawali pertunjukan kuda debog, sejenis kuda lumping yang terbuat dari pelepah pisang. Ada pula permainan bekelan, teklek, sprinto karet, egrang, dakon, gangsingan, serta gamelan. Sebagian besar penampil merupakan anak-anak dari Dusun Suruhan.
"Kami mencoba mengadopsi konsep yang diusung di Bali Classic Center dan Saung Angklung Udjo di bandung. Pengunjung ditawarkan atraksi budaya setempat," tutur Yossiady
Ia sengaja memilih dolanan anak sebagai fokus utama YTC karena tergelitik fenomena semakin langkanya permainan tradisional. Anak-anak masa kini lebih mengenal game, playstation, atau televisi yang banyak mengajarkan sifat individualis, bahkan sering kali pula menampilkan kekerasan.
Padahal, permainan tradisional mengajarkan anak-anak nilai sosial sejak dini. Dakon, misalnya, menanamkan sifat tekun, kebersamaan, dan kejujuran, sedangkan egrang melatih keseimbangan tubuh serta koordinasi otak kiri dan kanan anak. Di YTC, pengunjung tak sekadar melihat, tetapi juga diajak turut serta mencoba dan kembali "berdamai" dengan permainan masa kanak-kanak.
Hal itu dilakukan Om Yossi, panggilannya di YTC, untuk memenuhi lima unsur yang harus dipunyai ssetiap tempat wisata. Kelima unsur itu adalah apa yang akan dilakukan wisatawan, apa yang dilihat, apa yang dirasakan, apa yang dibeli, serta kenangan mereka. Dia yakin, jika kelima unsur itu terpenuhi, pengunjung akan datang ke YTC.

Mengagunkan SK pegawai

Upaya Om Yossi membentuk YTC bukan tanpa kesulitan. Sebagai PNS di Kabupaten Semarang, kemampuan ekonominya relatif sedang saja. Rumah tinggalnya pun baru dua tahun terakhir ini bisa ia miliki. Sebelumnya ia menempati rumah dinas yang disediakan Pemerintah kabupaten Semarang.
Ia "hanya" mempunyai semangat, konsep, kenekatan, dukungan warga,, dan surat keputusan (SK) pengangkatan dirinya sebagai pegawai negeri sipil.
SK PNS itulah yang dijaminkannya pada salah satu bank untuk mendapatkan modal membeli seperangkat gamelan slendro bekas seharga Rp. 8 juta. Setiap bulan gajinya dipotong untuk membayar pinjaman bank tersebut. Utang itu baru akan lunas menjelang masa pensiunnya setahun mendatang.
Ketertarikan Om Yossi terhadap kesenian dolanan anak-anak itu muncul ketika ia ditugaskan sebagai staf pada Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang awal 2006. Selama dua bulan pertama ia memetakan potensi wilayah Kabupaten Semarang. Dalam pencarian itu, ia sampai ke Dusun Suruhan, Desa Keji. Ia jatuh hati menyaksikan warga yang ramah dan memiliki akar tradisi kuda kepang sampai tiga generasi.
Di desa itu terdapat kelompok seni kuda kepang yang dimainkan tiga generasi dalam keluarga, yakni sang kakek, ayah, hingga cucu. Kondisi itu di matanya "ibarat emas 24 karat yang kurang 1 karat, alias sekarat", meskipun semangat warga desa itu begitu besar untuk melestarikan budaya lokal tersebut.
Sejak itulah Om Yossi dan warga setempat mencoba menawarkan paket wisata sehari dengan titik berat atraksi kuda kepang tiga generasi dan permainan tradisional. Pertunjukan itu mendapat respons relatif baik.
Sekali tampil, pengunjung yang berpartisipasi mencapai lebih dari 100 orang. Mulai tahun 2007 dia mencetuskan ide membentuk wadah berupa YTC. Belakangan YTC tidak lagi mengusung konsep wisata sehaari, tetapi membuat atraksi tetap setiap Minggu mulai pukul 10.00.

Berdayakan masyarakat

Menurut Om Yossi, YTC dapat berjalan dengan baik karena memberdayakan masyarakat setempat. Sekitar 90 warga yang rumahnya berada di sekitar YTC memegang peranan penting.
Sebagian dari mereka ada yang jadi penampil, ada pula yang menjual aneka suvenir maupun makanan khas, seperti getuk tetek melek dan pecel gablok. Pengamanan perangkat penampil dan pemeliharaan juga dilakukan warga setempat.
"Biaya operasional YTC didapat dari saweran para pengunjung. Uang itu dipegang warga setempat dan dibagikan kepada mereka yang terlibat setiap dua bulan," tuturnya.
Dengan model pemberdayaan seperti itu, selain melestarikan tradisi budaya lokal, warga juga bisa menikmati manfaat ekonomi sektor pariwisata. Om Yossi mengaku tak mendapat bagian dari bagi hasil saweran itu. Dia meyakini, masyarakat yang kehilangan kebudayaan mereka akan kehiangan jati diri sehingga perlu diberdayakan.
Bagi dia, menyaksikan tradisi lokal bisa terus hidup, serta senyum ceria anak-anak yang tampil di YTC, merupakan bayaran paling tinggi nilainya.
"Di sini sudah pasti saya enggak bisa kaya, tetapi saya memang tidak menghitung berapa banyak uang yang habis," ungkapnya sambil tertawa.
Namun, dia mengaku beruntung karena istri dan anak tunggalnya bisa menerima kondisi tersebut karena mereka pun mencintai seni budaya. Upaya Om Yossi juga mendapat dukungan dari mereka yang mencintai seni tradisi. Ada orang yang menyumbangkan rumput dan pohon untuk menyejukan YTC, ada pula seniman yang membuatkan patung Naga Baruklinting yang lekat dengan mitos pembentukAn Rawapening di Kabupaten Semarang.
Setelah kegiatan di YTC berjalan, Om Yossi ingin membuat museum dan perpustakaan mainan anak-anak di YTC. Sama seperti ketika mulai mendirikan YTC, ia yakin dengan semangat warga setempat, impian itu segera terwujud.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 1 JUNI 2009