Senin, 30 Mei 2011

Muda Balia, Benteng Muda Hikayat Aceh


TENGKU MUDA BALIA

Nama asli : Balia
Lahir : Desa Seunuboek Aluebuluh, Kecamatan Pakongan, Kabupaten Aceh, 1980
Pendidikan : Sekolah dasar
Istri : Nursimah (27)
Anak :
- Lia Santika (4)
- Ramatullah (2)
Pekerjaan : Seniman Hikayat Aceh
Penghargaan antara lain :
- Festival Internasional Seni Tradisi Lisan Maritim, Wakatobi, 2009
- Penghargaan sebagai peserta Pekan Kebudayaan Aceh, 2009

Meudak kajakjak beulaku linggang Meudak kamu pinggang beulaku ija Meudak kamu mungui bulaku tuboeh Meudak kapajoeh belaku harta Bek kapajoeh harta harta riba Bek kajakrot harta harta riba
(Jika jalan, berjalanlah apa adanya
Jika berbusana janganlah berlebihan
Jika berpakaian, sesuaikan ukuran tubuh
Jika makan, ambil dari hartamu sendiri
jangan makan harta orang lain
Jangan makan harta harta riba)

Itulah sepenggal bait hikayat Aceh kuno dalam kisah Dangderia. Ini merupakan satu dari ribuan hikayat Aceh yang berisi ribuan bait kisah dan nasihat dari seorang tokoh fiksi bernama Dangderia. OLEH M BURHANUDIN Sore itu hikayat bijak turun-temurun tersebut terlantun indah dari bibir Tengku Muda Balia, satu dari segelintir seniman hikayat Aceh klasik yang masih tersisa. bagi Muda, panggilannya, bait Dangderia amat bernilai. "Kunci kebahagiaan, keselamatan, dan hidup damai di dunia ini adalah jika kita tak makan harta orang lain. Ini sudah dinasihatkan orang tua kita, termasuk lewat hikayat. Namun, banyak orang yang melupakannya," katanya.
Dahulu hikayat bagi masyarakat Aceh tak sekadar tontonan. Hikayat merupakan tuntunan. Melalui hikayat, ulama berdakwah, istana menyampaikan kebijakan , dan orangtua berpetuah kepada anaknya.
"Hikayat ibarat sampan. dari hikayat disampaikan informasi, moral, dan semangat. Istilahnya, radio 'bergigi' dan seniman hikayat medianya," katanya.
Peran seniman hikayat pun melintas deru perang. Pada zaman penjajahan Belanda, seniman hikayat berperan membangkitkan semangat juang pejuang Aceh. Sejak itu ribuan bait hikayat tentang perang Aceh tercipta. Belanda pun membenci seniman hikayat sebagaimana mereka membenci kegigihan orang Aceh berperang.
Pada masa kemerdekaan, seni asli Aceh ini justru kian terpinggirkan. Bermula dari tuduhan miring pemerintahan Orde Baru atas keterlibatan seniman hikayat dalam Partai Komunis Indonesia, banyak seniman yang diberangus.
"alhamdulillah, di Aceh Selatan masih tersisa beberapa seniman generasi barudari sana, termasuk Tengku PM Toh dan muridnya," katanya.
Namun, suasana konflik membuat seni hikayat terpinggirkan di panggung dan tutur masyarakat Aceh. Kini di Aceh Selatan tinggal enam seniman yang menguasai hikayat klasik. "Mereka umumnya berusia lanjut. Regenerasi sulit karena minimnya kesempatan tampil seniman dan makin jarangnya anak muda yang tertarik hikayat Aceh."
Muda adalah satu-satunya seniman muda hikayat Aceh yang menguasai teks lama. Ia berasal dari Aceh Selatan dan sejak tahun 2002 tinggal di Banda Aceh.
Nama Muda menghiasi pemberitaan media lokal bulan Januari 2010 saat ia mencetak rrekor Muri. Kala itu ia melantunkan hikayat Aceh selama 26 jam nonstop. Namun, setelah itu masyarakat seperti melupakannya, sebagaimana seni hikayat yang kian hilang.
Muda mengisi hari-harinya menjaga kedai kopi sebagai penopang hidup diri dan keluarganya. "Seni hikayat tak bisa menjadi gantungan hidup. Kadang sebulan sekali ada yang mengundang, terkadang lima bulan tak ada undangan," katanya.
Meski demikian, ia tetap setia pada hikayat Aceh. Selain sesekali manggung, Muda tengah menulis tetang kisah hikayat. Dia berharap buku berjudul Hikayat Maksan, Hana di Pateh Judoe Bak Jaroe Tuhan (Maksan Yang Tak Percaya Jodoh di Tangan Tuhan) itu bisa diterbitkan menjadi buku. "Saya tak punya uang untuk mencetak dan menerbitkannya sendiri."
Sebenarnya Muda ingin menuliskan ribuan hikayat klasik yang masih dihafalnya dalam buku. Namun, ketiadaan dana dan kesibukan mencari nafkah membuat dia tak kunjung mewujudkan keinginan keinginan itu. Meski di Aceh relatif sulit mencari orang yang hafal teks hikayat klasik.
"Saya prihatin, hikayat klasik semestinya menjadi buku. Saya mau menulis buku hikayat, tetapi siapa yang menanggung biaya keluarga kalau saya tak bekerja? saya tak punya waktu. Padahal, hikayat itu banyak sekali. Kalau dimainkan tujuh hari tujuh malam tak habis," katanya.

Kisah hidup

Balia adalah nama asli Muda Balia. Ia lahir tahun 1980. Ia tak tahu tanggal kelahirannya. "Orangtua saya tak pernah mencatatnya. Kami keluarga petani sederhana di desa," ujarnya.
Muda tak punya darah seni dari orangtuanya. Perkenalan dia dengan hikayat dimulai dari menonton pertunjukan hikayat pada hajatan perkawinan atau khitan di desanya. "Sejak kecil saya suka melihat hikayat. Saya sampai hafal syair-syair yang dimainkan bapak-bapak pemain hikayat," katanya.
Namun, orangtua melarang dia belajar seni hikayat. Saat itu nyaris tak ada anak muda yang memainkan hikayat, selain karena hikayat tak bisa dijadikan gantungan hidup. "Banyak seniman hikayat yang mati tiba-tiba. Itulah alasan bapak melarang saya belajar hikayat," ungkapnya tentang situasi saat itu.
Ketika duduk di kelas IV SD, dia mendapat tawaran bermain hikayat di rumah tetangga yang menggelar hajatan khitanan. Sang tetangga mengundangnya setelah melihat Muda memainkan syair hikayat di pinggir jalan. "Sejak saat itu saya dipanggil Muda Balia, satu-satunya pemain hikayat muda."
Namun, pentas pertama Muda itu berakhir tragis. Bapaknya mendatangi panggung dan memaksanya pulang. "Bapak marah karena tak suka saya bermain hikayat," kenangnya.
Awal 1990-an Muda menyelesaikan SD dan tak melanjutkan pendidikan karena ketiadaan dana. Tiga bulan setelah dia lulus SD, bapaknya meninggal dunia. Muda harus mencari nafkah. Di sela-sela mencari kayu bakar di hutan, sesekali ia bermain hikayat.
Tahun 1996 seniman hikayat tua asal Aceh Barat Daya, Tengku Zulkifli merekrutnya sebagai murid. Siang dia bekerja di ladang dan malam berlatih hikayat. Dua tahun belajar dengan Tengku Zulkifli, pada 1998 ia pindah ke Takengon. Masa konflik Aceh memaksanya berjuang dari hutan ke hutan.
Tahun 2002 ia ke Banda Aceh dengan tujuan menekuni seni hikayat. Ini tak mudah karena masyarakat enggan memanggungkannya, bahkan sebagian tak kenal hikayat Aceh. Ia lalu bergabung dengan komunitas seniman. Beberapa kali ikut festival seni tradisi lisan tingkat nasional dan internasional, penghargaan pun beberapa kali didapatnya. Namun, apresiasi pada penguasaan seninya nyaris kosong. jangankan bantuan menerbitkan buku, membuat pentas seni hikayat berkala saja tak terealisasi.
"Padahal, saya tak berharap muluk, hanya ingin pemerintah membuat gedung kesenian agar setiap tahun bisa dibuat pentas bagi seniman Aceh," kata Muda.
Awal 2011 Muda mengirim surat kepada Gubernur Aceh Irwandi yusuf. Ia berharap difasilitasi mengajar 23 seniman hikayat istana di kabupaten dan kota di Aceh. Ini wujud keprihatinan atas terancamnya hikayat dari tanah Aceh.
"Saya menuntut janji gubernur dalam kampanye yang ingin membangkitkan budaya Aceh. Hikayat itu seni dan jati diri orang Aceh. namun, surat saya belum ditanggapi," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 31 MEI 2011

Minggu, 22 Mei 2011

Gugun Blues Shelter Melawan Arus Besar


MUHAMMAD GUNAWAN/GUGUN

Lahir : Duri, Riau, 22 November 1975

JONATHAN ARMSTRONG/JONO

Lahir : Inggris, 1 Februari 1980

ADITYO WIBOWO/BOWIE

Lahir : Jakarta, 23 Juni 1984
Album antara lain :
1. Get the Bug, 2004
2. Turn it On, 2006
3. Self titled: Gugun Blues Shelter, 2010
Panggung internasional antara lain:
1. KL Blues Festival 2008, Malaysia
2. UK Tour (Colne Blues Festival, Belfast Big River Jazz & Blues Festival), Agustus
2008
3. Singapore Grand Prix Race Event, September 2009
4. Singapore Rock & Roots Festival 2010
5. Shanghai World Expo 2010-August 2010

Ditolak dan dicemooh musik mereka tak akan laku, tidak meruntuhkan keteguhan trio Gugun Blues Shelter. Setelah melewati masa penuh perjuangan, jatuh dan bangun, keteguhan itu berbuah manis. Panggung utama "Hard Rock Calling 2011" di Hyde Park, London, Inggris, menjadi bukti. Gugun Blues Shelter layak diperhitungkan, tak hanya di Tanah Air, tetapi juga di panggung internasional.

OLEH DWI AS SETIANINGSIH

Kabar Gugun Blues Shelter tengah mencari dukungan suara agar lolos di ajang "hard Rock Calling 2011" merebak cepat di jejaring sosial. Gugun Blues Shelter (GBS) yang diawaki Muhammad Gunawan alias Gugun (vokal dan gitar), Jonathan Armstrong alias Jono (bas), dan Adityo Wibowo alias Bowie (drum) menjadi satu dari 39 band lain dari sejumlah negara yang akan bertarung memperebutkan panggung utama di ajang prestisius itu.
Tahun ini musisi yang akan tampil di tempat itu adalah Bon Jovi, Rod Stewart, Stevie Nicks, dan The Killers. Tahun lalu nama-nama besar di industri musik internasional seperti Jamiroquai, Aerosmith, dan John Mayer juga tampil. Ajang ini selalu sukses dan dipadati ratusan ribu penonton.
"Semua berawal dari mimpi," ujar Gugun.
Gugun, Jono, dan Bowie memendam impian, kelk mereka tak hanya main di cafe, tetapi juga pada skala internasional, disaksikan ribuan penonton seperti di Stadion Wembley dan Stadion Reebook, Inggris. Dua stadion ini pernah mereka kunjungi saat menggelar tur di London beberapa tahun lalu.
Meski demikian, ihwal keikutsertaan mereka di ajang "Hard Rock Calling 2011" berawal dari iseng."Manajer kami menerima e-mail tentang event ini. Lalu kami mencoba," ujar Bowie.
Tak disangka, keisengan mereka berbuntut panjang. GBS lolos menjadi 40 besar yang akan bersaing di ajang tersebut. Berada di region 2, GBS bersaing dengan sejumlah band dari Meksiko dan SIngapura, termasuk band asal Bali, Navicula.
Begitu masuk 40 besar, GBS tak lagi sekadar iseng. "Kami jadi lebih serius mencari dukungan, termaasuk dari media," kata Jono, personel bule di GBS.
GBS pun sukses masuk empat besar. Usaha keras GBS berlanjut hingga mereka dinyatakan berhak tampil di panggung utama "Hard Rock Calling 2011". Impian mereka mulai menemukan jalan. agi GBS, ini sejarah karena sebelumnya tak pernah ada band asal Asia yang bisa tampil.
Meski GBS "hanya" tampil sebagai band pembuka, tak sedikit pun mengurangi rasa bangganya. "Banyak orang luar yang tak tahu Indonesia. Banyak orang tahunya Bali, bukan Indonesia. Ini bisa menjadi promosi yang bagus untuk Indonesia," kata Jono.
Untuk penampilan mereka di Hyde Park, GBS mempersiapkan sejumlah lagu. ono malah sudah mempersiapkan kostum Presiden Soekarno untuk dikenakan di panggung.

Melata dari bawah

Sebelum menggunakan nama Gugun Blues Shelter, Gugun dan Jono telah membentuk Gugun and The Bluesbug. "Tahun 2004 saya bertemu Jono. Kami membuat band yang memainkan blues dengan sentuhan rock," kata Gugun. Dia dan Jono dipersatukan oleh kecintaan pada sosok yang sama, Jimi Hendrix.
Mereka sempat berencana membuat album berbahasa Inggris sebagai persiapan manggung di Australia. Rencana itu gagal karena bencana bom. Mereka lalu berencana membuat album kedua. Rencana ini juga gagal karena Jono harus kembali ke Inggris, meneruskan sekolah.
Tahun 2008 trio Gugun, Jono, dan Bowie bertemu dan bermain untuk pertama kalinya. saat itu Jono telah selesai kuliah dan kembali ke Indonesia. Mereka sepakat memakai nama Gugun Blues Shelter. Nama ini terinspirasi acara yang digelar di Kemang, Jakarta, "Soul Shelter".
"Nama Bluesbug ternyata dipakai band dari Yunani. Meski jenis musik kami beda, kami memilih tak memakai nama itu dan menggantinya dengan Gugun Blues Shelter," ujar Jono.
Dengan nama baru, GBS mulai melata membawa blues ke panggung di kafe-kafe. Di luar negeri, agen mereka rajin menawarkan GBS untuk bermain di banyak acara sehingga berkesempatan tampil di luar negeri.
Meski di luar negeri GBS mendapat respons positif, tetapi tak demikian di dalam negeri. Kerap kali kontrak mereka di beberapa kafe tidak diperpanjang.
"Menurut mereka, musik kami terlalu keras. Kami juga kerap main sore, enggak dapat lighting memadai," kata Gugun. Tak jarang GBS main hanya ditonton pelayan kafe.
Meski musik mereka dipandang sebelah mata karena dianggap tak laku, GBS pantang mundur. "Kami yakin melakukan hal yang benar dengan musik kami," kata Gugun.
Kesempatan bermain di "Java Jazz Festival 2010" menjadi catatan penting perjalanan GBS. Meski bermain di panggung luar, penampilan mereka menarik perhatian penonton.
Setelah tahun ini merilis album Self titled: Gugun Blues Shelter, GBS makin populer. GBS kerap diundang tampil di acara kampus sampai pentas seni SMA. Tanggal 17-26 Mei, GBS kembali bertolak ke London, menggelar tur mereka di sejumlah kafe.

Tetap jalur blues

Gugun mengenal gitar sejak usia 9 tahun. Pria kelahiran Duri, Riau, ini sempat belajar gitar secara serius meski beberapa kali terputus di tengah jalan.
"Awalnya saya belajar musik klasik. Tetapi kata gurunya, saya enggak usah main klasik lagi. Sayang, karena saya bisa menyanyi," kata Gugun.
Jono mengenal bas sejak usia 10 tahun. Dia sempat les piano, tetapi hasratnya pada bas lebih besar. Ia terus mengeksplorasi alat musik itu hingga menemukan gayanya sendiri.
Sementara Bowie tertarik drum setelah mengkuti marching band saat kuliah di Yogyakarta. Ketertarikan itu terus berlanjut hingga ia belajar khusus pada penggebuk drum GIGI, Gusti Hendi, sekitar enam bulan. Bowie kerap mengikuti sejumlah kelas yang digelar kampusnya, Universitas Gadjah Mada.
Ketiganya berupaya konisten memainkan musik yang mereka usung. Salah satu bentuknya, saat ada perubahan arus besar musik, GBS tak latah meski tekanan yang datang begitu besar. Mereka keukeuh di jalur blues dengan memegang keyakinan kelak akan sukses.
Ketiganya sadar, musik tak membuat mereka kaya raya. "Kami lebih senang musik kami diapresiasi orang karena kami memainkannya dari hati," kata Jono. Bagi mereka, materi hanyalah efek, bukan tujuan.

dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 MEI 2011

Kamis, 19 Mei 2011

Habib Nadjar Buduha : Pahlawannya "Pahlawan" Laut


HABIB NADJAR BUDUHA

Lahir : Kendari, 30 Maret 1964
Pendidikan : S-1 ekonomi
Pekerjaan :
- Wartawan Surat Kabar Fajar, Makassar (1988-1994)
- Pegawai dan Wirausaha biro perjalanan (1994-2005)
- Pendiri Konservasi Taman Laut Kima Toli-toli, Sulawesi Tenggara (2010-sekarang)

Selama 28 tahun merantau, Habib Nadjar Buduha (47) terkejut ketika kembali ke kampung halamannya di Desa Toli-toli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kerang-kerang laut besar, atau yang biasa disebut kima, sudah menghilang dari desanya yang asri di tepi pantai.

OLEH MOHAMAD FINAL DAENG

Padahal, ketika ia masih kecil, kima-kima beraneka rupa dan warna menjadi "sahabat" setia bocah-bocah kampung saat menyelam di laut. Keelokan kima menjadi pemandangan tersendiri saat menjelajahi lantai laut Desa Toli-toli.
"Sekarang, kima hampir punah karena terus-menerus diburu. Perburuan itu bukan hanya dilakukan nelayan lokal, tetapi juga sudah melibatkan perusahaan besar dan nelayan asing," kata Habib, saat ditemui di desanya, beberapa waktu lalu.
Kima (Tridacna) menjadi komoditas bernilai tinggi karena dagingnya yang kaya protein. Harga daging kering kima di pasaran dunia mencapai 150 dollar AS per kilogram (sekitar Rp 1,3 juta). Selain itu, cangkangnya menjadi incaran industri perhiasan dan dekorasi.
Kondisi tersebut, kata Habib yang pernah menjadi wartawan koran lokal di Makassar, Sulawesi Selatan, meresahkannya. Dia kemudian terdorong untuk menyelamatkan kima. Apalagi, dari risetnya di berbagai literatur, kima berperan vital bagi ekosistem laut.

Vital

Kima berfungsi sebagai penyaring alami air laut. Saat makan, ia menyedot air laut untuk menyerap plankton dan segala kotorannya. Setelah dicerna, air laut dikeluarkan lagi dalam kondisi bersih. Proses itulah yang menjaga kebersihan laut yang penting bagi kesehatan terumbu karang.
Hewan yang biasa hidup di puncak gunung laut (rab) itu juga menjadi "pabrik" makanan bagi satwa-satwa laut lainnya. Telur dan anak kima menjadi santapan bagi ikan, gurita, dan kepiting. Tubuh kima juga menjadi rumah bagi berbagai terumbu karang. "Karena fungsinya itu, kima bisa dibilang sebagai 'pahlawan' laut," kata Habib.
Dari sembilan jenis kima yang ada di dunia, tujuh di antaranya hidup di perairan dangkal (maksimal kedalaman 20 meter) dan hangat di seantero Nusantara. Jumlah itu termasuk dua jenis yang paling langka, yakni Tridacna gigas (kima raksasa) dan Tridacna derasa (kima selatan).
"Dua jenis kima itu sekarang hanya bisa ditemukan di perairan sepanjang Sulawesi hingga Papua," kata Habib. Tridacna gigas dan Tridacna derasa menjadi langka karena paling kerap diburu mengingat ukurannya yang besar. Kima jenis ini bisa mencapai panjang 1,3 meter dengan berat 200 kilogram.
Permasalahan muncul karena eksploitasi yang berlebihan itu tak sebanding dengan laju pertumbuhan kima. "Hewan ini lambat perkembangbiakannya, hanya berkisar 2-12 sentimeter setiap tahun. Untuk tumbuh hingga sepanjang 1 meter dibutuhkan waktu 8-50 tahun," ujar Habib.
Pemerintah pun telah memasukkan lima jenis kima (Tridacna crocea, Tridacna derasa, Tridacna gigas, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa) sebagai satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.

Konservasi

Karena itulah, Habib tergerak untuk menyelamatkan kima. dengan modal yang dikumpulkannya sendiri, ia mengajak beberapa teman warga desanya menjelajahi perairan timur Sultra hingga kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah untuk menyurvei lokasi-lokasi kima yang tersisa.
Proses itu dilakukan selama tiga bulan di akhir 2009. "Dari situ, kami memperoleh lima ekor kima yang terdiri dari dari jenis Tridacna gigas, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa," kata Habib.
Lima kima pertama itu kemudian dibawa pulang ke Toli-toli dan dilepaskan di laut sekitar pantai yang telah disiapkan sebagai wilayah konservasi kima oleh Habib. Setelah disurvei, wilayah Toli-toli dan sekitarnya dinilai sebagai lokasi yang tepat untuk konservasi kima karena memiliki rab yang tak jauh dari daratan.
"Daerah ini dulunya juga merupakan habitat asli kima serta memiliki bebatuan dan terumbu karang yang masih terjaga," tambah Habib.
Sejak saat itu, tepatnya pada 1 Januari 2010, habib mendirikan Konservasi Taman Laut Kima Toli-Toli. Hingga sekarang, Habib bersama rekan-rekannya telah mengumpulkan lebih kurang 1.500 kima dari tujuh jenis yang ditempatkan dan dipelihara di konservasi laut seluas 20 hektar.
Kima-kima itu dikumpulkan dengan peralatan dan perlengkapan sederhana, yakni sebuah kapal motor tradisional berbobot 3 ton dan peralatan menyelam yang memakai mesin kompresor tambal ban sebagai pemasok udara.
Pencarian kima dilakukan sebuah tim yang beranggotakan tujuh orang selama tiga hari seminggu. "Setiap kali pencarian, kami bisa mengumpulkan 30-40 ekor," kata Habib.
Tim juga kerap menyosialisasikan kepada warga lokal tempat mereka mengumpulkan kima untuk menjaga biota laut itu dari perburuan berlebihan.
Sayang, upaya penyelamatan hasil inisiatif dan swadaya warga itu belum mendapat perhatian pemerintah. Jangankan bantuan materi atau peralatan, proposal perizinan untuk konservasi yang diajukan Habib sejak Oktober 2010 saja hingga kini belum jelas rimbanya.
Untuk biaya operasional bensin kapal dan logistik yang mencapai sekitar Rp 1 juta setiap perjalanan ditutupi Habib, atau dari hasil sambilan mencari lobster dan ikan. "Kadang kalau tidak ada uang, ya pinjam kanan-kiri dulu, ha...ha...," ujar ayah satu anak tersebut.
Namun, Habib tidak ambil pusing dan tetap jalan meski dengan kemampuan seadanya. "Kalau menunggu pemerintah atau bantuan, mungkin sudah habis duluan semua kima," ujarnya. Pasalnya, ia dan rekan-rekannya setiap hari harus berlomba dengan para pemburu kima yang di antaranya memiliki perlengkapan canggih dan modal besar.
"Pernah ada pengalaman, saat kami mendapat info dari warga tentang habitat kima di suatu tempat. Ketika keesokan harinya kami datangi, sudah tinggal tersisa cangkang-cangkangnya saja," kata Habib.
Meski getir dan kembang-kempis, Habib dan rekan-rekan seperjuangannya bertekad untuk tetap menghidupkan upaya konservasi ini.
"Paling tidak, anak cucu saya nanti masih bisa melihat kima hidup di alam bebas," ujar Habib.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 20 MEI 2011

Rabu, 18 Mei 2011

Ridha M Ichsan : Anak Muda Mencari "Identitas" Kota


RIDHA M ICHSAN

Lahir : Bogor, Jawa Barat, 8 Januari 1982
Istri : Yeni Herliana (25)
Pendidikan : S-1 Teknik Elektro Universitas Ibnu Chaldun Bogor, lulus 2005
Pekerjaan : Wiraswasta
Organisasi : Koordinator Komunitas Kampoeng Bogor

Ridha M Ichsan lahir dan tumbuh besar di Bogor, Jawa Barat. Namun, dalam sebuah diskusi, ia sadar ternyata tak banyak yang diketahuinya tentang Bogor, terutama sejarah kotanya. Ia yakin, banyak pula anak muda seusianya yang mengalami hal serupa. Padahal "lupa ingatan" sejarah kota bisa bermakna negatif bagi pembangunan kota itu.

OLEH ANTONY LEE

"Akibatnya, kota bisa dibangun tanpa mempertahankan karakter, sekadar mengikuti kepentingan ekonomi. Kota akan jadi seragam dan tidak lagi menarik. Ini juga terjadi pada Kota Bogor," tutur Ridha, April lalu.
Ia mencontohkan, dulu di Bogor pembagian kawasannya jelas. Sementara kini sukar memisahkan di mana wilayah untuk permukiman dan bagian mana yang merupakan tempat komersial.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Raffles, sekitar abad ke-18 membangun kantor pelayanan, militer, rumah sakit, dan pendidikan di sekitar Istana Bogor. Sedangkan permukiman berada di daerah utara-barat kota.
Tahun 1930-an, arsitek Thomas Karsten mengembangkan Bogor ke arah Kedung Halang, di utara. Kini, Kota Bogor berkembang ke mana-mana, dengan mengitari Istana dan Kebun Raya Bogor. Oleh pemerhati masalah kota, kondisi ini dikhawatirkan bakal membuat Bogor menjadi tidak nyaman.
Kekhawatiran itu yang mendorong Ridha bersama beberapa anak muda di Bogor, seperti Uthie, Anggit, Ophie, Yudha, Sena, Jati, dan Reza merintis Komunitas Kampoeng Bogor pada tahun 2007. Mereka juga mendapat dukungan dari almarhum A Baehaqie, dosen Institut Pertanian Bogor. Setahun kemudian, Ridha "dipaksa" teman-temannya menjadi koordinator Kampoeng Bogor.
Komunitas itu mencoba menggali sejarah Kota Bogor, lalu mendiseminasikannya lewat aneka media dan kegiatan. Tugas yang seharusnya lebih banyak dilakukan pemerintah setempat.
Kini, ada 10 orang pengurus Kampoeng Bogor dan sekitar 50 sukarelawan. Ridha bercerita, ia tertarik menggali dan menyebarkan sejarah kota karena membayangkan Bogor sebagai sebuah kampung sekaligus rumah yang tetap nyaman bagi penghuninya.
Ia percaya, untuk membuat rumah yang nyaman, harus ada kepedulian dari penghuninya. Sebelum peduli, warga harus terlebih dulu tahu, seperti apa rumah mereka pada tahun-tahun lalu dan kini, sehingga memiliki bayangan akan menjadi seperti apa Bogor pada masa mendatang.
"Tapi saya enggak punya latar belakang sejarah, begitu pula teman-teman. Ini menjadi tantangan. kami lalu mencari literatur dan berbicara dengan sesepuh serta sejarawan," tuturnya.

Pluralitas Bogor

Selain aktivitas rutin mengumpulkan informasi sejarah Bogor, mereka juga kerap menggelar studi lapangan, mengajak anak-anak muda lainnya. Misalnya, pada bulan Ramadhan tahun 2010 mereka menggelar "Menapak Identitas, Jejak Masjid Tua Kota Bogor".
Selain itu, mereka juga tengah menyiapkan dua buku tentang Bogor, yakni Bogor di masa peralihan penjajahan ke Pemerintah Indonesia tahun 1942-1946, serta jejak masjid tua di Bogor. Sebelumnya, Kampoeng Bogor sudah menghasilkan buku kecil berjudul Bogor Kota Terindah di Jawa karya A Baehaqie. Selain itu, mereka juga membuat situs berisi sejarah Bogor, yakni kampoengbogor.org.
Tahun 2008-2010 Ridha dan rekan-rekannya di Kampoeng Bogor mendorong agar perayaan Cap Go Meh dengan arak-arakan liong dan barongsai serta joli berisi patung dewa dari klenteng Dhanagun di Pasar Bogor hingga pertigaan batu Tulis juga "dikawinkan" dengan budaya Sunda. Hasilnya, acara itu meriah, sekaligus menampilkan pluralitas Bogor.
"Sejak zaman dulu, Bogor itu sudah plural. Ada budaya Sunda, Tionghoa, Arab, maupun Indo-Belanda. Sehingga kalau Bogor disebut kota yang multikultur, memang betul. Kondisi ini sudah terjadi sejak lama," tutur Ridha.
Markas Kampoeng Bogor terletak di Jalan Pangeret Ujung, Kota Bogor. Suasananya cukup tenang karena posisi sekretariat itu tidak terlalu dekat dari jalan raya.
Di bagian terdepan sekretariat itu dipajang beberapa baju kaus dengan gambar dan tulisan seputar Bogor tempo doeloe, serta meja pamer berisi aneka suvenir, seperti mok, stiker, tas, pin, serta gantungan kunci. Di ruang dalam terpajang foto-foto Bogor masa lalu dan beberapa barang antik.
Sekretariat itu mereka tempati sejak tahun 2008 dengan sewa Rp 9 juta per tahun. Ridha mengakali beban sewa tersebut dengan urunan pengurus, serta sisa pendapatan dari menjual suvenir yang dipajang di sekretariat. Ia mengaku belum terpikir untuk mengumpulkan donasi.

Pusat informasi

Ridha mengakui, keuangan memang menjadi salah satu kendala Komunitas Kampoeng Bogor. Dua buku yang sedang disiapkan, misalnya, belum bisa dicetak kendati naskah sudah terkumpul. Ini lantaran keterbatasan biaya.
Namun, Ridha tidak putus asa. Mereka mencoba mengumpulkan keuntungan penjualan suvenir serta sisa dana kegiatan. Selain itu, Ridha juga harus memutar otak untuk menyesuaikan jadwal pengurus Kampoeng Bogor.
Sebagian besar pengurus sudah lulus dari perkuliahan dan memiliki aktivitas masing-masing dalam mencari nafkah. Ada yang menjadi konsultan, ada pula yang mendirikan usaha bidang jasa penyusunan website (situs web).
"Tidak mungkin memaksa mereka terus siap untuk Kampoeng Bogor. Jadilah dibuat 'jadwal', hari ini siapa yang sibuk, lalu siapa yang longgar waktunya untuk mengerjakan tugas," tutur Ridha.
Dia sendiri memenuhi kebutuhan hidup -beserta istri yang baru beberapa bulan lalu dinikahinya- dari membantu teman-teman yang memiliki usaha. Orangtuanya sempat mengingatkan agar Ridha bekerja di kantor. Harapannya, dari sisi keuangan, hidup Ridha bisa lebih stabil. Namun, ia memilih mengembangkan Kampoeng Bogor. "Sampai Kampoeng Bogor bisa menjadi pusat informasi sejarah soal Bogor."
"Sekarang mulai ada mahasiswa yang menyusun skripsi tentang Bogor yang datang ke Kampoeng bogor. Itu cukup menggembirakan," katanya menambahkan.
Selain itu, Ridha juga berharap komunitas ini tumbuh menjadi organisasi yang menyerupai perusahaan. Bertujuan sosial, tetapi bisa bergerak seperti perusahaan yang mampu membiayai sendiri kegiatannya. Dia yakin, dengan begitu akan lebih mudah mendorong regenerasi pengurusnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 MEI 2011

Selasa, 17 Mei 2011

Herman Malano : Membangun Mal untuk Para PKL


HERMAN MALANO

Lahir : Indragiri, Riau, 11 Agustus 1950
Istri : Tuti Malano ( 48)
Anak :
- Riando (27)
- Nina Permata (25)
- Riski Malano (19)
- Hesti Malano (16)
- Robi Bone Malano (9)
Pendidikan :
- SMA di Pekanbaru, hanya sampai kelas I
- SMP di Pekanbaru
Pekerjaan :
- Pebisnis garmen
- Konsultan pasar
Organisasi :
- Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Wilayah Lampung
- Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Ekonomi dan Budaya (Gebu)
Minang
- Ketua Umum Ikatan Keluarga Minang Provinsi Lampung

Tinggal selangkah, Herman Malano mewujudkan mimpinya hampir 30 tahun ini, yaitu mendirikan pusat perbelanjaan modern yang nyaman dan murah secara mandiri sehingga terjangkau bagi para pedagang "kasta" terendah alias pedagang kaki lima.

OLEH YULVIANUS HARJONO

Pembangunan mal bambu Kuning Square (BKS) di depan Stasiun Kereta Api Tanjungkarang, Bandar Lampung, Lampung, tidaklah terlepas dari perjuangan Herman Malano.
Pusat perbelanjaan dengan luas bangunan 6.800 meter persegi itu merupakan pasar modern pertama di Tanah Air yang dibangun untuk PKL. Pembangunannya dilakukan mandiri oleh para pedagang, tanpa bantuan dana perbankan, pemerintah, apalagi pengembang komersial.
"Sebagai mantan PKL, saya bisa merasakan pahitnya menjadi seorang PKL. Hidup dalam kecemasan, takut lapaknya ditertibkan pemerintah, sementara pasar baru yang dibangun pemerintah dari hasil penggusuran biasanya dihargai mahal. kalau begitu, sampai kapan pun PKL tidak mampu membelinya," kata Herman.
Untuk meningkatkan taraf hidup PKL, harus mulai ada yang peduli membangunkan pasar modern yang nyaman, murah, dan legal bagi mereka. Atas semangat inilah Herman nekat membangun BKS dengan modal "dengkul", tanpa dukungan modal finansial perbankan dan pemerintah pada awal 2009.
Pertama, untuk mendapatkan lokasi pembangunan mal, ia sibuk melobi petinggi PT Kereta Api Indonesia (KAI) di Bandung, Jawa Barat, sejak 2007. Izin prinsip pemanfaatan tanah seluas 6.800 meter persegi milik PT KAI yang telah sejak lama terlantar akhirnya diperoleh. Padahal, saat itu baik pemerintah daerah maupun sejumlah pengembang komersial sama-sama mengincar lokasi tanah yang sangat strategis itu.

Tidak berorientasi profit

Herman pun kemudian membentuk sebuah perusahaan pengembang bernama PT Istana Karya Mandiri (IKM) untuk mewujudkan cita-citanya membangun BKS. Perusahaan ini, katanya, tidak berorientasi profit sehingga semangat membangun pasar modern untuk kaum kecil dapat terjaga.
"Setelah 2-3 tahun (BKS) berdiri, pengelolaan mal diserahkan langsung kepada para pedagang, bisa lewat koperasi. Istana Karya hanya mengawasi karena kami bukan seperti pengembang pada umumnya yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya," kata Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Wilayah Lampung itu.
Untuk mendanai pembangunan BKS, pada awalnya Herman mengharapkan bantuan modal dari perbankan. Namun, apa daya, berkali-kali mengajukan kredit, berkali-kali pula diitolak bank. Alasannya, pembangunan BKS belum dilengkapi kerja sama operasi (KSO) dengan PT KAI.
Padahal, untuk KSO ini setidaknya dibutuhkan biaa Rp 4 miliar, baik Herman maupun PT IKM tidak punya uang segar sebanyak itu. Namun, ia tidak patah arang. Walau tanpa akta KSO, hingga saat ini pembangunan tetap dilaksanakan. Ia sengaja menjual murah sebuah aset pribadinya senilai Rp 2 miliar untuk dana awal pembangunan BKS.
Selanjutnya, dana pembangunan didapatkan dengan cara mengajak para PKL mencicil uang pembelian toko dengan pola fleksibel. Khusus bagi pedagang yang mampu, mereka didorong membeli secara tunai atau bertahap dengan sistem pemesanan. Di BKS, khusus PKL mendapatkan subsidi sehingga harga per meter persegi toko hanya Rp 8juta, sementara untuk umum Rp 13 juta per meter persegi.
bahkan, ia memberanikan diri mengundang Ketua Umum APPSI Pusat Prabowo Subianto untuk meletakkan batu pertama pembangunan BKS pada 22 Januari 2009 lalu. Idenya membangun pasar modern untuk pedagang kecil mengundang simpati dan dukungan banyak pihak, termasuk para pejabat. Ini dimanfaatkannya untuk mendapatkan material bangunan dengan harga murah atau diskon.

Cibiran dan godaan

Herman menambahkan, pada awalnya banyak pihak yang mencibir dan menyangsikannya kemampuannya membangun BKS. "Orang-orang bilang saya gila.Tidak sedikit yang ngeledek seperti ini, 'gimana Pak Herman, batunya sudah lumutan belum? atau 'kalau jadi, iris kupng saya'," ucapnya menirukan pernyataan pihak-pihak yang mencemooh kerjanya.
Tantangan dan godaan pun tidak henti-hentinya datang. Di tengah pembangunan BKS, dia mendapat tawaran dari sebuah pengembang komersial besar yang berbasis di Jakarta. Pengembang itu meminta agar Herman menjual proyek BKS itu dengan iming-iming sogokan Rp 4 miliar. Ia pun pernah diberitakan miring bahwa PT IKM dianggap tidak mampu membangun BKS karena ketiadaan dana besar.
"Saya tidak akan pernah bisa dibeli. Tidak mungkin ada kesempatan dua kali hidup dari Tuhan untuk mewujudkan mimpi semacam ini dan juga mimpi-mimpi PKL," ujar pria yang sangat mengidolakan Muhammad Yunus, penerima Nobel dan pendiri Grameen Bank yang sangat inspiratif itu.

Terlahir sebagai PKL

Terlahir sebagai anak seorang PKL lalu menekuni profesi itu, membuat semangatnya semakin kuat dan berkobar-kobar untuk membela para PKL. "Umur 3 bulan, saat masih bayi saya sudah diajak ibunya menunggu lapak di pasar. Maka itu, saya sangat marah jika pemerintah tidak peduli terhadap PKL," katanya dengan nada meninggi dan mata berkaca-kaca.
Kini, bangunan BKS seluas 12.000 meter persegi tersebut sudah 80 persen terbangun. Rencananya, gedung itu akan diresmikan akhir tahun ini. Herman bercita-cita menduplikasi BKS ini ke-33 provinsi di Tanah Air. Dengan demikian, akan makin banyak pedagang kecil di Indonesia yang berkesempatan memperbaiki nasib.
Herman berharap pemerintah meningkatkan kepeduliannya pada kaum PKL dan UKM (usaha kecil menengah). Salah satunya, menyediakan fasilitas kredit UKM yang betul-betul terjangkau, mudah prosesnya, dan bunga ringan. "China dan Malaysia bisa melakukannya, kenapa kita tidak?" ucap pria yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas I SMA itu.
Dalam kunjungannya ke BKS akhir April lalu, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi mengaku sangat terkesan dengan perjuangan Herman membangun BKS.
"Saya datang ke sini sebetulnya justru ingin belajar, bukan mengarahkan. Saya sungguh kagum. Bagaimanapun BKS akan menjadi sebuah laboratorium, percontohan, tentang bagaimana pedagang saling bersinergi dan mandiri membangun pasarnya sendiri," kata Edy.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 MEI 2011

Selasa, 10 Mei 2011

Suparyoto dan Kopi Organik dari Lampung


DATA DIRI

Nama : Suparyoto
Lahir : Semarang, Jawa Tengah, 17 Agustus 1965
Pendidikan : SMA Pertanian Semarang, 1981-1984
Pelatihan :
- Pelatihan sistem pertanian organik tentang sayuran di Cibogo, Jawa Barat (April-Mei
2003)
- Pelatihan tanah dan pascapanen khusus sayuran organik di Cisarua, Jawa Barat
(2003-2004)
- Pelatihan mengenai tanaman keras dan sayuran organik di Mega Mendung,
Cirebon, Jawa Barat (2004)
- Pelatihan tentang sayur-sayuran organik di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah (2005)
- Pelatihan tentang pengelolaan tanaman keras dan sayur-sayuran organik di
Subang, Jawa Barat (2005)
Istri : Martiah (32)
Anak :
- Zulfatun Nasehah (16)
- Elisa Hayatun Nufus (10)
- Shinta Goirunnisa (3)

Saat sebagian pihak masih berkutat dengan upaya peningkatan produksi, Suparyoto sudah berupaya memperbaiki kualitas produksi kopi. Saat pasar dunia meributkan dampak budidaya pertanian berbahan kimia, dia telah berpikir untuk menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan.

Oleh HELENA F NABABAN

Seluruh upaya itu terwujud dalam bentuk budidaya pertanian kopi robusta organik di Desa Gunung Terang, Kecamatan Way tenong, Lampung Barat. Kawasan berudara sejuk dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.
Suparyoto adalah Ketua Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Maka, pada waktu-waktu tertentu ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pengurus kelompok tani tersebut. Misalnya, ketika mereka memutuskan menggunakan mesin pemotong rumput untuk membasmi rumput yang banyak tumbuh di bawah tanaman kopi.
"Mesin itu diharapkan bisa menjadi pengganti obat kimia pembasmi rumput," ujar Suparyoto, atau Pak Par, panggilannya.
dari Semarang, Jawa Tengah, Suparyoto datang ke Gunung Terang pada 1994, menyusul orangtuanya yang menjadi petani. Di sini ia mendapati penghidupan warga desa yang umumnya miskin. Mereka menggantungkan hidup dari hutan karena kopi hanya dipanen sekali setahun. Akibatnya, daya dukung hutan terus menurun.
Dia lalu membentuk kelompok tani. "Dalam pikiran saya, kelompok tani akan memampukan petani di Gunung Terang untuk mengakses pasar dan sarana pertanian," ujar Suparyoto yang juga mengajari warga menanam pisang di antara tanaman kopi, selain menanam sayuran atau empon-empon, untuk menambah pendapatan.
Pada September 2000 terbentuk kelompok tani Tunas Enggal dan dua kelompok hutan kemasyarakatan (HKm).Kelompok HKm dibentuk untuk merespons surat keputusan Menteri Kehutanan mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lewat HKm, warga setempat diizinkan mengelola hutan Bukit Rigis yang rusak, sekaligus untuk menyelamatkannya. Sedangkan Tunas Enggal dibentuk untuk mempermudah akses pasar dan memperkuat kelembagaan petani.
"Saat itu kami mendapat pendampingan dari Watala, lembaga pendampingan masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan," ujarnya.

Kesulitan pupuk

Pendorong untuk beralih pada budidaya organik muncul ketika pada tahun 2003-2004 petani kesulitan mendapatkan pupuk kimia. Bersama Watala, Suparyoto mengajak warga memakai kotoran kambing dan kompos sebagai ganti pupuk kimia.
Petani yang tergabung dalam HKm dan Tunas Enggal lalu diajari membuat pupuk organik dari kotoran kambing dan dedaunan.
Suparyoto menjadikan kebun kopinya sebagai contoh kebun organik. Menggunakan pupuk organik, mendorong dia membuat perbandingan sebagai evaluasi sekaligus daya tarik. Bila menggunakan pupuk kimia campuran, petani membutuhkan 1,5 ton-2 ton pupuk per tahun. Ditambah biaya tenaga kerja, petani harus mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 5 juta per tahun. Sedangkan dengan pupuk organik, petani bisa menghemat biaya pemeliharaan kebun hingga 30 persen.
Namun, dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang kecil jumlahnya, petani membutuhkan setidaknya 6 ton pupuk organik per hektar per tahun. Beruntung ada bantuan kambing dari Heifer Internasional Indonesia, Watala, dan Dinas Peternakan Lampung Barat untuk memenuhi kebutuhan bahan pupuk organik. Kebun kopi yang dikelola dengan pupuk kimia bisa menghasilkan 1,5 ton biji kopi per hektar, sedangkan kebun kopi organik pada tahun pertama hanya menghasilkan 900 kilogram per hektar.
"Sayangnya, petani tidak berpikir, pupuk kimia membuat tanah bergantung pada obat penyubur itu. Coba tidak dipupuk selama empat tahun berturut-turut, tanah pasti tidak produktif. sedangkan pupuk organik dapat menjaga tingkat kesuburan dan unsur hara tanah," ujarnya.
Meski begitu, Suparyoto terus memberikan pengertian kepada petani. Soal penurunan produksi hingga 60 persen dari produksi normal dengan pupuk kimia, misalnya, ia berusaha meyakinkan bahwa itu hanya produksi awal. "Ini bentuk adaptasi tanah dan tanaman. kalau pupuk kandang digunakan terus-menerus, produksi kembali normal."
Perlahan usahanya menampakkan hasil. Bidang tanah yang diberi ppuk organik bertambah menjadi sekitar 8 hektar. Produksi pun meningkat sampai 1,2 ton per hektar.
Suparyoto juga mengajari petani melakukan pascapanen dengan benar, misalnya dengan petik merah dan penjemuran di lantai jemur atau terpal.
"Ini menjadikan cita rasa kopi lebih enak dan terjaga," ujarnya.

Masih puluhan

Dari sekitar 900 petani kopi, baru puluhan orang yang mengerjakan tanahnya dengan pupuk organik.
Suparyoto berharap, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah petani kopi organik terus bertambah. Salah satu upaya dia adalah memberikan penjelasan tentang dampak kopi organik bagi kesahatan.
"Saya bilang kepada teman-teman, kopi yang dibudidayakan secara organik itu tak mengandung residu obat kimia tinggi," katanya. Di sini, yang beruntung tak hanya petani, tetapi juga konsumen, dan dalam jangka panjang lingkungan pun tidak tercemar.
Dengan pemikiran itu, Suparyoto yakin suatu hari nanti kopi organik Gunung Terang dapat memenuhi syarat perdagangan kopi internasional, yakni ramah lingkungan.
"Saya ingin menjadikan Gunung Terang sebagai kawasan kopi organik. almpung adalah etalase kopi nasional, kenapa tidak ada kekhususan pada produk kopinya supaya bisa dikenal seperti kopi toraja atau kopi gayo," ujarnya.
Sayang eksportir kopi lampung umumnya masih mengandalkan peningkatan produksi, belum kualitas. Itulah salah satu sebab harga jual kopi organik sama dengan kopi yang memakai pupuk kimia.
Untuk mengatasinya, Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir bekerja sama dengan Watala mendirikan Warung Organik sebagai upaya pemasaran sendiri.
Melalui warung ini, sebanyak 5-7 ton kopi organik Gunung Terang setiap tahun diproses, dikemas, dan dipasarkan ke Bandar Lampung, Medan, sampai Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, upaya Suparyoto menghasilkan kopi organik juga dipelajari oleh petai kopi dari Bengkunat, Lampung Barat, Ulu Belu Tanggamus dan Tanjung Raja, Lampung Utara, serta Sendang Agung dan Sendang Asih, Lampung Tengah.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 21 JULI 2009

Senin, 09 Mei 2011

Vinsensius Nurak : Meninggikan Posisi Tawar Petani


VINSENSIUS NURAK

Lahir : Boas, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, 11 Mei 1964
Istri : Marselina Sumu (45)
Anak :
- Yoseph Paskalis Nurak (16)
- Christofel Edward Nurak (13)
- Maria Ducis Nurak Banunaek (10)
- Silvia Gloria Nurak Banunaek (7)
Pendidikan :
- SD Katolik Hanono-Boas Belu (1972-1977)
- SMP Katolik Santo Yoseph Seon-Belu (1978-1982)
- SMA Negeri Atambua (1982-1985)
- Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi Universitas Nusa Cendana, Kupang
(1985-1990)
Pengalaman kerja:
- Koordinator LSM Geo Meno (1990 sampai 1997)
- Wakil Ketua II Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Kabupaten
Timor Tengah Utara, NTT (1994-kini)
- Wakil Ketua Forum Komunikasi LSM Se-Kabupaten TTU (1994-kini)
- Dewan Koordinasi Konsorsium Pengembangan Masyarakat Dataran Nusa Tenggara
(1997-kini)
- Tim Penyusun Kurikulum Agroforestri
- Dosen Fakultas Pertanian Universitas Timor (2001-kini)
- Ketua Dewan Evaluasi Kota (2002-kini)
- Direktur yayasan Mitra Tani Mandiri (2003-kini)
- Penulis Buku "Emas Hijau Lahan Kering. Pengalaman Yayasan Mitra Tani Mandiri"
2010.

Banyak orang menutup mata terhadap persoalan petani yang punya posisi tawar rendah di depan para tengkulak. Cara dagang tengkulak juga tidak jarang curang dengan mengakali alat timbang atau diam-diam menyunat angka hasil timbang. Vinsensius Nurak adalah satu di antara sedikit orang yang peduli terhadap permasalahan ini di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

OLEH NAWA TUNGGAL

"Petani paling mudah ditipu, yaitu ketika menjual sapi," kata Nurak, penerima medali penghargaan Equator Prize 2010 dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) mewakili Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM), Nusa Tenggara timur (NTT).
YMTM bersama Komunitas Nelayan Tomia (Komunto) di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, merupakan dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Indonesia yang berhasil menerima penghargaan Equator Prize 2010.
Medali penghargaan disampaikan UNDP di American Museum of Natural History, New York, Amerika Serikat (AS), 20 September 2010.
Masing-masing penerima penghargaan juga diberi hadiah uang senilai 5.000 dollar AS.
UNDP memberi penghargaan ketika Nurak dianggap layak karena telah mengembangkan Program Pertanian Berkelanjutan dan Pemasaran yang Adil di kabuoaten Timor Tengah Utara, NTT.
Nuak mengatakan, upaya itu sebagai pendekatan holistis untuk peningkatan pendapatan petani sekaligus melestarikan lingkungan. NTT dengan wilayah "pelit" hujan membutuhkan strategi khusus untuk mengolah lahan yang kering, selain pembelaan petani untuk mendapatkan sistem pemasaran yang adil.

Pemasaran bersama

"Saya melihat bobot sapi yang dijual petani 260 kilogram, bisa dibilang tengkulaknya hanya 240 kilogram. Petaninya tidak tahu dan menerima uang dari tengkulak hanya untuk pembayaran 240 kilogram," tutur Nurak.
Uang sunat untuk selisih 20 kilogram daging sapi hidup tersebut sangat berharga bagi kehidupan petani di NTT yang rata-rata miskin. Apabila saja setiap satu kilogram sapi hidup dihitung Rp 25.000, uang petani yang hilang sebesar Rp 500.000.
Ini menggugah kesadaran Nurak bahwa petani tidak akan mempunyai daya ketika harus menjual hasil usaha dengan berhadapan sendiri-sendiri dengan tengkulak. Mereka tak punya posisi tawar tinggi. Petani yang tidak pernah menipu justru paling mudah ditipu.
"Petani perlu mengorganisasi diri untuk melakukan pemasaran bersama," kata Nurak.
Inspirasi mengorganisasi petani ini membawa Nurak untuk selalu mendiskusikan kepada sesama teman kuliahnya.Nurak juga aktif dalam berbagai penelitian pertanian. Tahun 1986 sampai 1990 Nurak terlibat kegiatan riset Agroejosistem Daerah Kering di NTT serta berbagai riset lain terait dengan agroforestri dan etnobotani.
Sejak 1988, Nurak dan teman-teman kuliahnya bergabung dengan LSM Geo Meno yang bergerak di bidang pendampingan petani di Kabupaten Timor Tengah Utara. Nurak kerap tinggal di keluarga-keluarga petani. Sembari menghimpun petani untuk melawan cara-cara tengkulak yang curang dalam berdagang, Nurak juga melatih para petani untuk membuat kebun tetap (tidak berpindah-pindah) dan melatih budidaya tani di lahan kering.

Petani berkelanjutan

Nurak mengatakan bahwa masih banyak hal yang mesti digarap setelah petani berhasil mengorganisasi diri untuk meninggikan posisi tawar di hadapan para tengkulak. Langkah selanjutnya adalah meningkatkan mutu dan produktivitas serta menerapkan pola pertanian berkelanjutan.
"Kelompok petani berhasil didorong memiliki perencanaan kebun," kata Nurak.
Bagi yang memiliki lahan di dekat mata air didorong supaya menanam sayur-mayur yang tumbuh membutuhkan lebih banyak air. Bagi yang mengolah lahan kering, menggunakan pola agroforestri, yaitu menanam tanaman pangan, seperti jagung dan kacang tanah, atau padi pada musim hujan. Mereka juga mengembangkan ternak untuk menambah sumber pendapatan serta menghasilkan pupuk kandang.
"Pola-pola itu dikembangkan sekaligus sebagai upaya konservasi tanah," kata Nurak
Ia menjelaskan kepada UNDP bahwa sekarang ini program yang dijalankan tersebut telah melibatkan 5.305 keluarga di 40 desa dari 12 kecamatan di wilayah kabupaten Timor Tengah Utara. Jumlah tersebut mencapai 57 persen dari total 9.354 keluarga dengan tingkat keterlibatan perempuan 42 persen, yaitu 3.275 perempuan petani yang aktif dari total peserta 7.681 perempuan.
Saat ini tercatat petani yang didampingi YMTM memiliki kebun seluas 2.628 hektar. Setiap keluarga anggota rata-rata memiliki lahan 0,49 hektar.
Luas areal sayur dalam tiga tahun terakhir meningkat dari 5 hektar menjadi 28,9 hektar. Sebanyak 16 lembung untuk memanen air hujan berhasil dibuat. Jumlah sapi yang dipelihara secara intensif para anggota mencapai 1.033 ekor.
Deputy Country Director UNDP Stephen Rodriques sewaktu hadir dalam dialog di Jakarta, akhir Maret 2011, mengatakan bahwa ternyata inisiatif lokal seperti yang ditempuh YMTM terbukti bisa mengembangkan pembangunan berkelanjutan dan program pembangunan di suatu negara (berkembang) tanpa membutuhkan dana besar.
Nurak merupakan cerminan sikap peduli terhadap masyarakat petani lemah. Mereka bergerak nyata mencari nafkah dan bersedia bertanggung jawab terhadap lingkungan yang lestari demi anak cucu.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 MEI 2011

Minggu, 08 Mei 2011

Sudibyo Karsono dan Hidroponik Serius


SUDIBYO KARSONO


Lahir : Jakarta, 15 Mei 1933
Pendidikan : SMA B Semarang, 1954
Istri : Suciati (72)
Anak : Tetty Tresnawatie, Oni Suryani Candrawati, Trisakti Diana D, Rika Widayanti, Ragil Imam W
Riwayat Pekerjaan : Pernah mengajar di sekolah radio dan kursus elektronik di Bandung (1954-1962). Setelah itu ia ke Jakarta, menekuni radio dan pemancarnya. Ia pernah bekerja di perusahaan piringan hitam Irama. Setelah pensiun, ia bergabung dengan Parung Farm, mengembangkan hidroponik hingga kini.
Buku yang diterbitkan : "Hidroponik Skala Rumah Tangga" oleh Sudibyo Karsono, Sudarmodjo, Yos Sutiyoso

Sejak kecil, hobi Sudibyo Karsono, yang akrab dipanggil Pak Dibyo, memang elektronik. Hingga usia senja, dia tetap setia dengan utak-atik elektronik. Dia termasuk orang dibelakang layar berdirinya Radio Elshinta.

OLEH AMIR SODIKIN

Ketikamasuk masa pensiun, hobi utak-atik elektronik tetap mengikuti Dibyo dan selalu menggugahnya untuk membuat berbagai rekayasa yang aplikatif. Kali ini ia terapkan di bidang pertanian, tepatnya untuk tanaman hidroponik.
Dengan membuat sendiri sistemm penyiraman, Dibyo telah ikut berperan penting dalam mendirikan Parung Farm. Parung Farm adalah penghasil produk sayur-mayur hasil pertanian hidroponik yang kini merajai di berbagai swalayan wilayah Jabodetabek.
"Parung Farm berdiri tahun 2008. Tadinya ini eksperimen di lahan 100 meter persegi untuk menanam semua jenis tanaman skala kecil," katanya.
Tujuan awalnya untuk pelatihan, tetapi ternyata ada permintaan dari luar sekaligus utnuk membuktikan apakah hidroponik layak ditekuni atau tidak.
"Saya pengin tahu juga, hasilnya bisa dijual apa enggak," kata Dibyo. Maka, sejak itu Dibyo berssama saudaranya dan para pekerja Parung Farm serius menggarap hobi tersebut menjadi sesuatu yang menghasilkan.
Berlokasi di jalan Raya Parung-Bogor, Parung, Bogor, Jawa Barat, Parung Farm menjadi ajang pembuktian bahwa orang-orang kota bisa bercocok tanam di lahan terbatas dengan menggunakan hidroponik. Bahkan, bercocok tanam bisa menguntungkan asal memiliki teknik yang efektif.

Pengatur waktu

Sistem hidroponik di Parung Farm dikembangkan secara mandiri oleh para pekerjanya. Dibyo bertanggungjawab pada sistem pengairan yang kini sudah berjalan otomatis.
"Prinsipnya, saya senang tanaman tetapi malas menyiram, malas merawat. Maka, saya membuat semuanya otomatis, menggunakan timer," kata Dibyo. Jadi, urusan menyiram terjadwal otomatis dan tak bakal lupa.
"Dulu, mencari timer di pasaran yang siap diaplikasikan untuk tanaman dengan rentang waktu siram tiap lima menit tidak ada. Jadilah saya buat sendiri," kata Dibyo. Seperangkat alat hidroponik yang siap digunakan beserta timer rancangan Dibyo menjadi idola, terutama ibu-ibu rumah tangga.
"Waktu masih percobaan, saya taruh di halaman rumah saja sudah ditawar ibu-ibu," kata Dibyo. Kini peralatan yang sering disebut hidroponik kit, terdiri dari rangkaian pipa-pipa pralon, itu dijual dengan harga mulai dari Rp 600.000 hingga jutaan rupiah.
Dibyo sudah menghasilkan berbagai timer untuk sistem pengairan. "Saya juga membuat timer sentuh untuk pengamanan alat-alat pompa, timer pemukaan air agar air tak meluber, juga timer dengan sensor cahaya dan panas," katanya.
Butuh waktu lima tahun untuk menemukan bentuk kompak seperti saat ini. Hasil sayuran hidroponik dan timer buatan Dibyo menjadi komoditas yang dicari para pembeli, bahkan sampai luar Pulau Jawa.
"Pangsa pasarnya ternyata besar, tetapi kemampuan produksi kami kurang," katanya. Menurut Dibyo, siapa pun dan dimana pun, termasuk yang tak memiliki lahan, tetap bisa menggunakan hidroponik kit untuk bercocok tanam.
"Tak ada alasan lagi bagi orang kota untuk tidak menanam," kata Dibyo.

Penyiar radio

Kesetiaan pada dunia "utak-atik" sudak dilakoni Dibyo sejak dia masih anak-anak. Ketika muda, dia membuat pemancar radio. "Saya termasuk ikut mendirikan Elshinta, yang membuat pesawat pemancarnya saat masih di gelombang MW, tahun 1970 sampai 1980-an," cerita Dibyo.
Setelah dari Elshinta, saya membangun pemancar radio Suara Irama Indah. Ini radio FM generasi pertama di Indonesia," paparnya. Dibyo juga pernah menjadi penyiar bersama mantan Kepala Polri Hoegeng Iman Santoso.
Dari mana dia bisa mengenal Hoegeng? Ternyata kakaknya yang menjadi pendiri Radio Elshinta adalah teman dekat Hoegeng.
"Kakak saya, Mas Yos, Komodor Suyoso Karsono, itu yang tampil di TVRI dikenal sebagai Yos & The Hawaiian Seniors (sekitar tahun 1970-an). Pak Hoegeng ikut bermain di situ," kata Dibyo.
Begitu pensiun dari radio sebagai ahli pemancar dan merangkap penyiar, Dibyo kemudian berpindah ke tanaman. "Ketika pindah, saya berpikir, apa yang bisa saya kerjakan untuk tanaman di bidang elektronik ini," katanya.
Dari perjalanan hidup, ia menemukan satu perenungan, bahwa banyak temuan dan keputusan ditentukan oleh ketidaksengajaan. "Saya banyak menemukan prinsip-prinsip kerja atas dasar invention by accident," katanya.
Misalnya, sewaktu membuat timer tetapi gagal. Justru dari kesalahan itu, Dibyo bisa mengembangkannya menjadi timer sentuh untuk proteksi mesin agar tidak dicuri.

Berbagi ilmu

Siapa pun bisa membuat rangkaian hidroponik kit hingga sistem penyiraman otomatisnya jika mau. Bahkan, Pak Dibyo, bersama menantunya, Surya Arierama, siap mengajari. Seperti ketika dikunjungi Kompas, ia sedang mendampingi anak-anak praktik kerja lapangan yang belajar hidroponik.
Muntaqoh (16), Siti Qosiah (16), dan Susi Susmayanti (16) dengan tekun menyimak pelajaran demi pelajaran soal sistem hidroponik. Tak sekadar menanam, mereka juga belajar cara membuat berbagai model perangkat hidroponik.
Mereka adalah pelajar kelas XI Agrobisnis Produksi Pertanian Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Rangkas Bitung, Lebak, Banten. Mereka jauh-jauh datang ke Parung farm untuk belajar hidroponik. "Saya sudah bisa membuat berbagai model hidroponik, termasuk membuat timer-nya," kata Muntaqoh.
"Sekarang kami tahu cara menanam dengan menggunakan teknik aeroponik, mengenal substrat dengan media kerikil, arang sekam,
jelly, rockwool, juga DFT atau deep flow technique," kata Siti.
"Membuat DFT tingkat tiga dalam waktu tiga hari sudah jadi," kata Susi bersemangat
Semua teknik dan temuan itu tidak dirahasiakan karena prinsip Dibyo, semua ilmu diambil dari berbagai sumber. Karena itu, hampir setiap minggu selalu ada kunjungan wisatawan ke Parung Farm untuk sekadar wisata atau belajar hidroponik.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 9 MEI 2011

Kamis, 05 Mei 2011

Kecintaan Edy kepada Lingkungan


DATA DIRI

Nama : Edy Suharyanto
Lahir : Bantul, DI Yogyakarta, 4 September 1962
Istri : Istiannah Mahmudah (41)
Anak :
- Annisa Fitriana Islamiyati (13)
- Fauzul Islam Romadhon (9)
- M Rais Islam (5)
Pendidikan :
- SD Sorobayan Bantul
- SMP Negeri Sanden Bantul
- SMA Negeri Bantul
- Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, lulus 1987
- Magister Manajemen Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional "Veteran"
Yogyakarta
Penghargaan : Juara I Kalpataru tingkat Provinsi DI Yogyakarta tahun 2009, untuk kategori Pembina Lingkungan

Lulus dari Jurusan Ilmu tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Edy Suharyanto malah terobsesi menjadi wartawan. Namun, ketika diterima sebagai pegawai negeri sipil, dia berusaha menikmatinya. Edy bahkan meraih penghargaan Kalpataru tingkat Provinsi DI Yogyakarta tahun 2009.

Oleh ENY PRIHTIYANI

Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sejak 1989, ia bertugas di Dinas Pertanian dan Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Merasa sejalan dengan ilmu yang digelutinya di kampus, Edy dapat menikmati pekerjaannya. Ia kemudian menjadi Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul pada 2007.
Jabatan itu tak membuat dia terlena. justru Edy merasa mempunyai tanggung jawab untuk memaknai tugasnya itu.
Berkat campur tangannya di bidang pertanian, ia berhasil menyabet juara pertama penghargaan Kalpataru tingkat Provinsi DI Yogyakarta tahun 2009 untuk kategori Pembina Lingkungan.
Salah satu gagasannya adalah pendirian pabrik petroganik di Bantul. pabrik hasil kerja sama Pemkab Bantul dengan PT Petrokimia Gresik ini mengolah kotoran sapi menjadi pupuk organik kemasan.
Pabriknya berlokasi di Desa Gadingharjo, Sanden, Bantul. Kapasitas produksinya sekitar 50 ton per bulan, diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan lokal Bantul, daerah yang sekitar 60 persen penduduknya adalah petani. Dengan memproduksi pupuk organik yang wujudnya mirip pupuk kimia tersebut, diharapkan penggunaan urea oleh petani Bantul berkurang.
"Ketergantungan petani terhadap urea membuat saya resah. Saya jadi terpikir untuk membuat pupuk organik, agar penggunaan urea berkurang. Selama ini petani enggan memakai pupuk organik karena merepotkan, kurang praktis. Untuk lahan 1 hektar, misalnya butuh satu ton pupuk. Jadi, kalau pupuk organik bisa dikemas seperti pupuk kimia, pasti pupuk organik pun diminati petani," tuturnya.
Dengan memanfaatkan kotoran sapi, lanjut Edy, pencemaran lingkungan pun berkurang. "Bila dibiarkan teronggok di sekitar kandang, kotoran sapi bisa menjadi sumber penyakit," katanya. Pemkab Bantul membeli kotoran sapi dari masyarakat seharga Rp 200 per kilogram, dalam kondisi kering.

Limbah pasar

Gagasan lain Edy yang juga bermanfaat bagi masyarakat adalah pengolahan limbah pasar tradisional menjadi pupuk kompos, meskipun baru sampah dari Pasar Bantul yang diolah. Tiap hari terkumpul 1 ton-2,5 ton sampah pasar, yang diolah menjadi sekitar 450 kilogram hingga 1 ton kompos.
Untuk mempermudah pengolahan sampah, pihaknya menyediakan 50 tong sampah besar di Pasar Bantul. Para pedagang mengisi tong-tong itu sesuai dengan jenis sampahnya.
Pengolahan sampah tersebut diserahkan kepada pihak ketiga. Pemkab Bantul hanya membeli kompos yang sudah jadi seharga Rp 400 per kg. Kompos itu dibagikan kepada petani sebagai subsidi. Sampai kini sudah diproduksi 200 ton kompos yang diolah oleh 23 kelompok warga.
Untuk masa depan, pengolahan sampah pasar akan diperluas ke Pasar Niten, Pasar Imogiri, dan Pasar Piyungan, DIY. Selain mendatangkan manfaat, pengolahan sampah pasar juga membuat suasana pasar lebih asri dan nyaman.
"Bayangkan kalau gundukan sampah memenuhi pasar. bau tak sedap jelas akan mengganggu kenyamanan pembeli. Mereka bisa jadi malas ke pasar tradisional," ujar penggemar masakan padang ini.
Mengolah kotoran dan sampah menjadi pupuk memang menjadi perhatiannya. Menurut Edy, ketergantungan petani pada pupuk kimia harus dikurangi secepat mungkin. Alasannya, penggunaan pupuk kimia secara berlebihan membuat tingkat kesuburan tanah berkurang.
Selain itu, ketergantungan terhadap pupuk kimia juga kerap memicu konflik karena sering kali terjadi ketidaksamaan data kuota pupuk bersubsidi dengan kebutuhan nyata.
Edy menegaskan, fungsi pupuk organik bukan menggantikan pupuk kimia karena kandungan unsur haranya lebih kecil. Namun, pupuk organik berguna untuk mengembalikan struktur tanahyang tingkat kesuburannya menurun akibat penggunaan pupuk kimia secara terus-menerus dalam jangka panjang.

Pestisida nabati

Edy juga mengembangkan pestisida nabati. Beberapa jenis tanaman yang bisa dimanfaatkan antara lain tembakau, serai dapur, dan secang. Ada sembilan kelompok warga yang dia arahkan untuk memproduksi pestisida nabati, dengan target produksi sekitar 5.000 liter pada akhir tahun ini.
Katanya, kebanyakan petani selama ini relatif dimanjakan pestisida kimia. Padahal, penggunaan pestisida kimia secara berlebihan dan terus menerus itu justru menciptakan kekebalan bagi serangga dan hewan pengganggu tanaman lainnya.
"Semprotan pestisida kimia juga mencemari lingkungan," katanya.
Ruang lingkup yang menjadi perhatiannya tak berhenti sampai di sini. Mulai tahun 2005 dia juga turut menangani lingkungan di kawasan pesisir selatan. Setidaknya ada sekitar 1.100 hektar lahan yang tengah dikonservasi. Sebanyak 500 hektar di antaranya ditanami bibit pohon cemara laut dan akasia. Adapun sisanya dimanfaatkan untuk usaha tani produktif dengan sistem pengairan sumur renteng.
Upaya konservasi itu membuahkan hasil. Tiupan angin garam bisa dicegah masuk, dengan tanaman pangan dan hortikultura. Butiran pasir pun tak mencemari permukiman penduduk.

Sayuran organik

Kecintaan Edy terhadap lingkungan juga dibuktikan dengan mengajak warga menanam sayuran organik di polybag. Setidaknya ada sekitar 91.000 polybag yang disebar ke rumah penduduk di 34 desa di wilayah Bantul. Salah satunya di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak.
Program budidaya sayuran organik melalui polybag mulai dikembangkan di Desa gilangharjo pada Juni 2008. Di Dusun Kauman ada tiga RT yang mengembangkannya, yakni RT 01, RT 03, dan RT 06. Setiap warga menanam 200, 150 dan 100 polybag.
Pengembangan penanaman dengan polybag ditempuh Edy untuk mengatasi keterbatasan lahan di kawasan tersebut. selama ini petani lebih suka memanfaatkan lahan pertanian untuk tanaman padi dan palawija.
"Kalau mereka menanam sayuran di polybag, otomatis kesejahteraan keluarga juga ikut meningkat," katanya.
Sudah puaskah dia dengan segala kegiatan yang dilakukannya itu?.
"Sebagai PNS, tugas saya melayani masyarakat. Saya ingin petani-petani di Bantul bisa mengembangkan lahannya lebih profesional, agar nilai tambah yang mereka peroleh lebih besar," kata Edy yang tinggal di Dusun Nampan, Gadingsari, Sanden, Bantul, ini.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 22 JULI 2009

Rabu, 04 Mei 2011

Yasir, Melestarikan Mi Lethek di Bantul


DATA DIRI

Nama: Yasir Feri Ismatrada
Lahir : bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 6 Februari 1975
Alamat : Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul
Istri : Indri Istiyantun
Anak :
1. Ismet Al Malik (8)
2. Zaki Yasir (5)
Pendidikan :
- SD Muhammadiyah Ngupasan, Yogyakarta
- SMP Muhammadiyah 3 Wirobrajan, Yogyakarta
- SMA Muhammadiyah 3 Wirobrajan, Yogyakarta

Di rumah yang sederhana itu, sekitar 27 tenaga kerja menggantungkan nasib pada usaha mi lethek. Kenyataan itu membuat Yasir Feri Ismatrada tetap mempertahankan metode produksi tradisional. Meski memakai peralatan tradisional, kapasitas produksinya bisa mencapai 10 ton per bulan.

Oleh ENY PRIHTIYANI

Yasir Feri Ismatrada adalah warga Dusun Bendo, Desa Trimurti, Kecamatan Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memulai usaha membuat mi sejak tahun 2002, meski mi lethek sebenarnya adalah usaha turun-temurun keluarga yang mulai diproduksi sejak tahun 1940-an. Tahun 1982 usaha tersebut sempat terhenti karena kesulitan ekonomi.
Setelah lama produksi mi lethek terhenti, Yasir mulai tergelitik untuk menggerakkan kembali usaha keluarganya. Ide itu muncul setelah dia mendengar informasi dari seorang dokter tentang khasiat singkong. Yasir pun teringat akan mi lethek produksi keluarganya yang dibuat dengan bahan dasar singkong.
"Penjelasan dokter itu membuat saya tergugah. Saya sekaligus merasa tertantang untuk mengembangkan kembali mi lethek. Saya yakin mi produksi saya bisa menguasai pasar karena rasanya berbeda dengan mi pada umumnya. Saya juga percaya khasiat singkong sangat baik untuk kesehatan tubuh," katanya.
Mi lethek terbuat dari bahan dasar tepung tapioka atau tepung singkong yang dicampur gaplek. Kedua bahan itu diaduk dengan menggunakan alat berbentuk silinder. Silinder tersebut digerakkan oleh tenaga sapi. Setelah bahan baku diaduk, dimasukkan ke tungku kukusan, lalu diaduk lagi untuk mengatur kadar airnya. Kemudian adonan tersebut dipres dan dikukus lagi. Proses terakhir berupa pencetakan dan penjemuran mi hingga kering.
Produk ini disebut mi lethek karena warna mi ini tidak secerah mi pada umumnya, yakni putih atau kuning. Warna mi ini butek atau keruh karena tidak menggunakan bahan pemutih, pewarna, atau pengawet. Lethek dalam bahasa Jawa artinya kotor.
Justru warna mi lethek benar-benar alami muncul dari proses produksi. Meski diolah secara tradisional, mi lethek bisa bertahan hingga tiga bulan apabila disimpan dalam ruangan yang tidak lembab.

Langganan Presiden

Konsumen awam yang melihat wujud mi lethek mungkin tidak akan tertarik karena tanpilannya memang kurang menarik. Namun, begitu tahu rasanya, banyak orang yang langsung ketagihan.
Di Bantul tidak banyak orang yang membuat mi lethek karena proses produksinya dinilai terlalu rumit. Bisa dikatakan hanya Yasir bersama pamannya yang memproduksi mi lethek.
Dalam satu bulan Yasir bisa memproduksi 10 ton mi lethek. Dari jumlah itu, 50 kilogram di antaranya dikirim ke Departemen Pertanian untuk disalurkan ke Cikeas, kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Bapak Presiden sudah menjadi pelanggan tetap saya. Selain Pak SBY, sejumlah pejabat juga menjadi pelanggan setia," cerita Yasir tentang sebagian penggemar mi letheknya.
Bisa menggaet presiden sebagai pelanggan tetap tidak membuat Yasir berpuas diri. Ia ingin dapat mengalahkan mi produksi pabrikan yang lebih banyak menggunakan terigu.
"Tepung terigu kan harus impor, sedangkan singkong tidak, ini produksi lokal. Terigu hanya menguntungkan penduduk di negara lain, sedangkan singkong bisa mengangkat derajat petani lokal," katanya.
Untuk mendapatkan 10 ton mi, Yasir membutuhkan sekitar 10,5 ton tepung tapioka dan 20 ton gaplek. Bahan-bahan itu diperolehnya dari para petani lokal di Bantul dan beberapa daerah di Indonesia.
"Untuk tapioka, yang paling bagus itu produksi Banjarnegara, sedangkan gaplek bisa saya beli di Gunung Kidul," tutur bapak dua anak ini.
Mi lethek dijual seharga Rp 6.600 per kilogram. Dalam sebulan Yasir bisa mengantongi laba bersih sekitar Rp 6 juta.
Selain kalangan istana, pelanggan tetapnya adalah para pedagang di pasar tradisional. Menurut dia, tingkat permintaan dan kapasitas produksi masih timpang. Banyak pelanggan yang tidak kebagian mi karena Yasir kesulitan menambah kapasitas produksi.
Penggunaan peralatan tradisional yang menggunakan tenaga manusia menjadi penyebab keterbatasan kapasitas produksi tersebut. Meski begitu, ia tak tertarik mengganti peralatannya dengan mesin pembuat mi modern. Selain akan mengurangi tenaga kerja, produksi lewat mesin juga berpengaruh terhadap rasa.
"Kalau saya ganti dengan mesin, tenaga kerja usaha ini akan kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka sudah ikut mengembangkan usaha keluarga saya sejak awal. Peralihan pembuatan mi dari tangan ke mesin juga dikhawatirkan mengubah cita rasa mi," kata pria yang sempat mengikuti pelatihan pembuatan mi di Pabrik Tepung Sriboga ini.

Dari sang kakek

Usaha mi lethek keluarga Yasir berawal ketika sang kakek yang berasal dari tanah Arab bertemu dengan neneknya, perempuan keturunan China, di daerah Srandakan, Bantul. Ketika itu Srandakan dikenal sebagai kampung pecinan. Memasuki tahun 1940-an terjadi penggusuran dan pengusiran terhadap etnis Tionghoa di daerah tersebut. Beruntung keluarga Yasir bisa lolos.
Pasca penggusuran, keluarga Yasir mulai menata ekonomi mereka. Keahlian sang nenek yang terbiasa membuat mi sewaktu di daratan China pun dimanfaatkan.
"Saat itu banyak orang yang membuat mi dari campuran beras dan jagung. Untuk bisa bersaing, Nenek mencoba-coba membuat mi dari bahan singkong dan rasanya ternyata lebih enak," ujarnya.
Menurut Yasir, mengolah singkong menjadi mi berarti menambah nilai ekonomi singkong. Selama ini singkong selalu dianggap sebagai makanan ndeso yang sulit diadaptasi masyarakat perkotaan. Padahal, singkong bisa dikembangkan menjadi pangan alternatif selain beras.
Yasir berharap kebutuhan akan singkong pabriknya bisa dipenuhi lokal Bantul agar dampak positif usaha ini lebih terasa. Sayangnya, minat petani di bantul untuk menanam singkong bisa dikatakan tergolong rendah.
Petani hanya menanam singkong ini di lahan-lahan marjinal, seperti daerah pegunungan. Di Bantul ada lima kecamatan yang memiliki wilayah pegunungan, yakni Dlingo, Imogiri, Pajangan, Pundong, dan Piyungan.
Minimnya lahan yang dimanfaatkan untuk menanam singkong juga diperparah dengan rendahnya tingkat produktivitas.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, rata-rata produktivitas ketela di Bantul sekitar enam ton per hektar.
Padahal, angka itu masih bisa ditingkatkan sampai sekitar enam ton per hektar. Rendahnya produktivitas ketela itu karena petani cenderung membiarkan tanaman tersebut tumbuh begitu saja. Mereka tidak memberikan asupan pupuk sehingga produknya pun tidak maksimal.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 FEBRUARI 2009

Selasa, 03 Mei 2011

Johan Iskandar: Kerinduan kepada Burung Citarum


JOHAN ISKANDAR

Lahir : Purwakarta, 7 Agustus 1953
Pekerjaan : Dosen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Pascasarjana Universitas Padjadjaran, serta peneliti PPSDA/institute of Ecology, Universitas Padjadjaran
Istri : Budiawati Supangkat (52)
Anak :
- Oktarian Iskandar (20)
- Septabian Iskandar (17)
- Oktabrian Iskandar (16)

Aliran Sungai Citarum yang membelah wilayah delapan kota dan kabupaten di Jawa Barat sesungguhnya anugerah. Citarum tidak hanya menjadi sumber air bagi irigasi, tapi juga bagi pembangkit listrik, bahkan saluran pembuangan limbah bagi perusahaan nakal di sepanjang Citarum.

OLEH CORNELIUS HELMY

Sungai terpanjang di Jawa Barat beserta anak sungai menjadi rumah bagi 314 jenis burung.Namun, seiring hancurnya lingkungan Citarum mulai dari hulu hingga hilir, perlahan burung pun menjauhi sungai itu. Mereka mencari lingkungan yang mampu menopang hidup mereka.
"Citarum yang pernah jadi 'surga' kini menjadi tempat menyeramkan bagi burung," ujar ornitolog alias pakar ilmu burung, Johan Iskandar (57). Dia merasakan benar rasa rindu itu. Dahaganya terpuaskan saat melihat kembali kuntul kerbau dan blekok di Kota Bandung. Kedua burung itu dulu banyak terlihat di Citarum dan anak-anak sungainya. Namun, terdesak pembangunan, pencemaran air, dan aktivitas manusia lainnya, keberadaan kuntul kerbau dan blekok pun tak terlacak
Hingga sekitar beberapa tahun lalu, Johan mendapat kabar bahwa blekok (Ardeola speciosa) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) berkembang biak dengan baik di empat rupun bambu besar di Kampung Rancabayawak, Kelurahan Cisaranten Kulon, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung. Ratusan blekok dan kuntul kerbau hidup berbaur dengan masyarakat setempat yang tinggal di antara dua aliran sungai anak Citarum, Cinambo dan Cisaranten.
"Sore hari saat mereka pulang setelah mencari makan, adalah saat terindah," katanya.
Selain daya jelajah yang bisa mencapai lebih dari seratusan kilometer, khusus keberadaan kuntul kerbau sangat penting bagi ekosistem sawah. Mereka memakan hama serangga dan ulat yang rentan merusak tanaman padi. Namun, yang lebih penting, keberadaan kuntul adalah bukti masih sehatnya lingkungan di sekitar.
"Kehadiran mereka bisa jadi momentum wargaBandung melestarikan lingkungan ekosistem sungai yang kini ternoda oleh limbah berat dan sampah rumah tangga," kata Johan.

Pertemuan

Bagi Johan, Citarum dengan anak sungainya adalah tempat yang mempertemukannya dengan dunia burung. Secara tidak sengaja ia dimminta profesornya di Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof Dr Ir Otto Soemarwoto, mendampingi mahasisw dari Universitas Wagenigen Belanda bernama Bastian van Helvoort, yang hendak melakukan penelitian burung di DAS Citarum tahun 1975. Bastian ingin mengisi kekosongan penelitian burung di Citarum yang dilakukan Hoogerwerf pada tahun 1948
Awalnya, Johan hanya menjadi pendamping Bastian untuk memenuhi keperluan sehari-hari, seperti menyediakan tempat tinggal atau berinteraksi dengan masyarakat setempat. Namun, pengetahuan masa kecil tentang burung ternyata memegang peranan penting bagi kepentingan penelitian Bastian.
Besar sebagai anak desa di Purwakarta memebrikan pengetahuan tentang bergam jenis burung hanya dari suara atau kekhasan tingkah lakunya. Ia biasanya memberikan nama daerah, suara, dan kriteria fisik dan kemudian dicocokan dengan buku lapangan mengenal jenis-jenis burung di alam milik Bastian.
Contohnya, burung gagak (Corvus enca), cipeuw (Aegithina tiphia), dan perkutut (Geopelia striata). Ada juga yang khas tingkah lakunya seperti manuk jantung (Arachnotera longirostra) dan manuk apung (Mirafra javanica).

Belum akrab

Di luar dugaan, Bastian terkesan dengan kemampuan Johan, Bastian lantas merekomendasikan Johan mendapatkan program kursus tentang Ekologi Burung (ornitolog) selama delapan bulan di Belanda pada tahun 1983/1984. Beragam jenis burung dari berbagai daerah, seperti di Wageningen, Leiden, dan Utrecht lantas ia data dan kenali aktivitasnya. Johan begitu terkesan dan dengan minat Belanda pada burung meski jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang Indonesia.
Pulang ke Indonesia tahun 1984, Ia menjadi satu dari sedikit ornitolog di Indonesia. Kiprahnya di Tanah Air dilanjutkan dengan mendata ratusan jenis burung di Citarum, Cimanuk, Citanduy, dan Ciliwung. Johan mengaku banyak belajar dari masyarakat setempat tentang ciri atau jenis kelamin burung yang diamatinya.
"Masyarakat di beberapa daerah mulai sadar benar dengan perlindungan burung. Mereka percaya, burung bisa memberikan banyak pertanda dalam kehidupan," katanya.
Akan tetapi, ia merasa terpukul saat tak kuasa berbuat maksimal melindungi populasi burung kowak malam (Nycticorax nycticorax) di Kota Bandung. Keberadaan mereka tidak diterima masyarakat yang tinggal di sekitar Kebun Binatang Bandung dan Institut Teknologi Bandung, yang notabene dekat dengan Sungai Cikapundung.
"Masyarakat terganggu denga kotoran yang bau. Bahkan, sempat ada yang mengusulkan agar burung itu ditembak sehingga lekas pergi ke tempat lain," katanya.
Agar niat buruk itu tidak terlaksana, dibantu beberapa rekan, Johan berusaha memindahkan kawanan yang jumlahnya mencapai 1.073 ekor dengan berbagai cara yang lebih bersahabat. Diantaranya, memasang jaring ditalikan di balon gas untuk menangkap burung kowak malam dewasa, memindahkan anaknya ke tempat lain, dan mengusirnya dengan bunyi riuh kaleng. Dana yang digunakan untuk membiayai kebanyakan berasal dari koceknya sendiri.
"Cara itu cukup efektif karena kawanan burung itu pindah ke daerah Pindad Kiaracondong dan Cibeureum, Kota Bandung. Namun, kabar terakhir, keberadaan mereka tidak terlacak," katanya.

Pelajaran

Hilangnya habitat burung kowak malam, menurut Johan, seharusnya memberikan pelajaran bagi pemerintah untuk mencari cara melindungi keberadaan hewan langka.
Salah satunya yang hingga kini tidak pernah terwujud adalah usulan perlindungan jenis burung berdasarkan familinya. Intinya, bila ada salah satu spesies dari famili tertentu sudah dilindungi, maka spesies lainnya otomatis dilindungi.
"Belum terlaksananya aturan itu justru menyuburkan penyelundupan burung. Di Papua, penyelundup kerap mengecat burung cenderawasih dengan warna hitam agar jenisnya tidak diketahui petugas pengawasan," katanya.
Perlindungan lain adalah penataan vegetasi tempat hidup burung. Salah satu contohnya adalah pencemaran di Citarum. Fakta itu, menimbulkan ancaman dari berbagai lini. Banyak burung terancam mati, cacat, dan sulit berkembang biak karena terpapar limbah berbahaya.
"Bila terus dibiarkan, besar kemungkinan kepunahan burung khas Citarum akan terjadi. Penyesalan tidak akan cukup ampuh membayar kerinduan pada kicauan burung liar," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 4 MEI 2011

Senin, 02 Mei 2011

Mochammad Memed: Membangun dengan Kearifan Lingkungan


MOCHAMMAD MEMED

Lahir : Bandung, 25 Mei 1937
Istri : Yati Harsiyati (69)
Anak :
- Ari Harmedi (45)
- Muhamad Wahyudi (44)
- Dewi Metyasari (41)
Pendidikan :
- S-1 ITB Jurusan Teknik Sipil Basah
- International Institute of Hydraulic Engineering (IHE), Belanda
Karier :
- Kepala Seksi Hidraulika Sungai di LPMA (1970)
- Kepala Sub Direktorat Hidraulika di LPMA (1984)
- Kepala balai Hidraulika di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air
Balitbang Kementerian PU (1992)

Mochammad Memed (74) sedari kecil takjub pada bangunan-bangunan air yang diakrabinya di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dalam pelarian keluarganya ke Majalaya untuk menghindari Jepang, Memed kecil menghabiskan waktu bersama teman-temannya berenang di saluran irigasi Cikaro yang airnya berasal dari Sungai Citarum.

OLEH RINI KUSTIASIH

Kelak di kemudian hari, Memed dikenal sebagai salah seorng ahli hidraulika di Tanah Air. Ia tidak hanya merancang saluran irigasi, tetapi juga mendesain ratusan bendung dan waduk yang manfaatnya luar biasa bagi bangsa.
Di usia pensiunnya, Memed masih semangat berbicara soal bangunan air, apalagi jika terkait dengan Citarum. Kerusakan lingkungan mulai dari hulu sampai hilir di Citarum akan berdampak langsung terhadap fungsi waduk dan bendung yang memanfaatkan air sungai terpanjang di Jabar itu.
"Kalau sedimentasi tak tertangani dan lumpur menumpuk di dasar danau, bagaimana jadinya kalau waduk-waduk itu sudah tidak mampu lagi menahan debit air dan erosi dari hulu. Jika salah satu waduk besar di Jabar (Saguling, Cirata, Jatiluhur) jebol, efeknya lebih dahsyat dari tsunami di Aceh. Ada ribuan hektar sawah dan jutaan orang tinggal di sana," kata Memed saat ditemui di rumahnya, Jalan Ir H Djuanda, bandung, akhir Maret.
Kekhawatiran Memed itu wajar mengingat kondisi ketiga waduk di Jabar yang kini kian memprihatinkan akibat pencemaran akibat pencemaran dan sedimentasi. Setiap tahun lebih dari 4 juta meter kubik lumpur masuk ke Citarum. Sebuah laporan penelitian yang dilakukan Universitas Padjadjaran juga menyebutkan, sungai itu setiap hari dialiri 11 ton tinja manusia. Tidak salah kiranya apabila ada sebutan bagi Citarum sebagai septic tank terpanjang di dunia.

Kurang perhatian

Memed yang juga mantan anggota Tim Peneliti Badan Peneltian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian (dulu departemen) Pekerjaan Umum (PU) yang membuat desain rancang bangun waduk, terutama untuk sistem pengambilan air (intake) dan penggelontoran air (spillway) mengatakan, selain daya dukung alam yang kian kurang, perawatan terhadap waduk juga minim.
Ia menyayangkan masih sedikitnya ahli sipil basah yang berkutat dengan rancang bangun ataupun sistem hidraulika waduk dan bangunan air lainnya. Seusai eranya, ia khawatir tidak ada lagi ahli dari kalangan muda di Indonesia yang mau mendalami soal bangunan air.
"Bangunan air, apapun itu, apakah waduk atau bendung, sangat krusial perannya, baik untuk irigasi, kelistrikan, air minum, maupun pengendalian banjir. Banyak bangunan air di daerah rusak dan belum mendapatkan perhatian," ujarnya.
Sistem pendidikan berdasarkan satuan kredit semester (SKS), menurut dia kurang mencukupi untuk membuat seorang mahasiswa menguasai ilmu hidraulika.
Memed yang kini masih aktif mengajar di Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, beberapa kali menguji mahasiswanya agar membuat desain bangunan jembatan sederhana dengan kondisi sungai, tingkat kemiringan, dan aspek alam lain yang telah ditetapkan sebelumnya. Kebanyakan mahasiswa, ujarnya, gagal melewati tes itu.
Pada masanya, Memed beruntung karena bisa berguru langsung kepada ahli sipil basah di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sempat mengenyam pendidikan dari sejumlah profesor asal Belanda. Guru-guru asal Belanda itu dikenal mumpuni soal bangunan air. Saat itu, Memed juga menerima pelajaran hidraulika langsung dari Prof Van Kregten, seorang warga Belanda.
masuk ke ITB tahun 1956 pada Jurusan Teknik Sipil basah, Memed dibimbing M Besari, asisten dosen dari Prof Ir R Soetedjo. Di era Orde Lama, Soetedjo menjabat Menteri Pekerjaan Umum. Memed dibimbing Besari yang amat telaten mengajari mahasiswanya. Bahkan, gurunya itu membuatkan model fisik khusus bagi setiap mahasiswa.
Tahun 1962, saat sebagai mahasiswa ITB , ia ditunjuk memimpin tim survei yang terdiri atas delapan mahasiswa sipil ITB. Survei dilakukan untuk keperluan penanganan banjir di Jabar Utara yang disebabkan meluapnya Sungai Cimanuk ke daerah irigasi Cilutung, Sindopraja, dan Cipelang. Banjir itu juga disebabkan luapan Citarum ke Karawang dan Bekasi.
Tugas itu diberikan oleh Lembaga Penyelidikan Masalah Air (LPMA) dari Direktorat Jenderal Pengairan. Dari survei itulah, Memed semakin mendalami soal sumber daya air dan lahan. Ia belajar praktik langsung dalam membuat rekayasa sipil keairan.
Setelah menyelesaikan studinya di ITB, tahun 1963 Memed menjadi peneliti di LPMA. Bersama sejumlah profesornya, ia aktif mengumpulkan data, informasi, dan masalah tentang sungai, danau, bendung, dan bangunan air irigasi.

600 bangunan air

Sejak 1970 Memed aktif dalam dunia bangunan air. bisa dibilang hampir semua bangunan air di masa Orde Baru tak lepas dari polesannya. Hingga pensiun sebagai Ahli Peneliti Utama Balitbang Kementerian PU, lebih dari 600 bangunan air ditanganinya, mulai dari identifikasi masalah, desain, perbaikan sistem hidraulik, renovasi, hingga pemugaran.
Ia, antara lain, menyempurnakan desain Bendung Krueng Aceh (Aceh), mendesain Bendung Kerasan (Pematang Siantar), merehabilitasi Curug Walahar (Purwakarta), mendesain Bendung Lomaya (Gorontalo), dan memperbaiki sistem intake Bendung Gumbassa (Sulawesi Tengah).
Selain dalam kondisi rusak, banyak pengelola waduk dan bendung yang tidak paham fungsi bangunan air. Untuk pengendalian banjir, misalnya, waduk amat berperan. "Sayangnya, kini daerah limpahan air waduk itu justru dibanguni permukiman sehingga saat muka air waduk belum kritis, spillway sudah dibuka. Pengelola waduk khawatir daerah tertentu akan banjir jika spillway telat dibuka. Padahal, daerah itu memang limpasan air," papar Memed.
Pendiri Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia ini juga menyayangkan adanya anggapan pembuatan bangunan air hanya berorientasi proyek. "Tujuannya bukanlah proyek. Air sungai sangat sayang jika dibiarkan langsung masuk ke laut. Sungai perlu dibendung agar manfaatnya bisa dinikmati masyarakat. Misalnya untuk irigasi, pariwisata, perikanan, dan kelistrikan. Jika tidak diolah, potensi sungai akan sia-sia," ujarnya.
Memed berprinsip, selama masih ada sisa usia, ia akan membaktikan diri bagi kemajuan dunia bangunan air di Indonesia.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 3 MEI 2011

Ki Enthus Susmono, Kreativitas Tiada Henti


DATA DIRI

Nama : Enthus Susmono
Lahir : Tegal, 21 Juni 1966
Istri :
- Romiyati (40), menikah 1990 dan bercerai 1995
- Nur Laelah (33), menikah 1997-kini
Anak :
- Firman Jindra Satria (18)
- Firman Haryo Susilo (15)
- Firman Nur Jannah (11)
- Firman Jafar Tantowi (5)
Penghargaan :
- Juara I Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah di Wonogiri, 1988
- Dalang Terbaik se-Indonesia pada Festival Wayang Indonesia, 2005
- Gelar Doktor Honoris Causa bidang seni budaya dari International University
Missouri AS, Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Filipina, 2005
- Rekor MURI sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak
(1.491 wayang), 2007
- Pemuda Award Bidang Seni dan Budaya dari DPD Hipmi Jateng, 2005

Dalang wayang kulit dan wayang golek asal Kabupaten Tegal, jawa Tengah, Ki Enthus Susmono, berusaha mengikuti persoalan yang dihadapi masyarakat. Kelebihannya berimprovisasi dan menciptakan kreasi wayang membuat dia diperhitungkan di dunia seni pewayangan.

Oleh SIWI NURBIAJANTI

Akhir Januari lalu, karya wayang terbarunya, wayang Rai Wong atau wayang berwajah orang, dipamerkan di Museum Rotterdam, Belanda. Pameran yang rencananya berlangsung selama enam bulan itu bertajuk Wayang SuperstarThe Theaterworld of Ki Enthus Susmono. Pameran ini menampilkan wayang kulit dan wayang golek karya Enthus yang dimiliki Museum Tropen.
Jumlah wayang yang dipamerkan sebanyak 57 buah, diantaranya wayang berwajah George Bush, Saddam Hussein, dan Osama Bin Laden. Seusai pameran Juli nanti, Enthus akan mementaskan wayang kulit Rai Wong dengan lakon Dewa Ruci di Amsterdam, Dohctrect, dan Paris.
Popularitas Enthus sebagai dalang tak diperoleh dengan mudah, meski darah seni sang ayah, Soemarjadiharja, yang berprofesi sebagai dalang wayang kulit dan wayang golek, mengalirinya.
Meskipun lahir dari keluarga dalang, Enthus tidak diizinkan oleh ayahnya menjadi dalang. "alasan ayah saya, dadi dalang kuwi abot sanggane (menjadi dalang itu berat bebannya)," kata Enthus.
Ketika itu dia tak begitu mengerti makna ucapan sang ayah. Seiring berjalannya waktu, ia mulai memahami maksud sang ayah. Katanya, hal paling pokok yang sering terjadi pada dalang adalah manajemen keuangan yang salah. Dalang sering menggunakan manajemen ayam, yaitu langsung menghabiskan uang yang diperolehnya.
Oleh karena itulah, ayahnya tak ingin Enthus menjadi dalang. Dia diharapkan belajar sampai perguruan tinggi agar mempunyai bekal hidup cukup. Namun, sejak masih kecil ia justru sering mencuri kesempatan memainkan wayang milik ayahnya.

Disindir guru

Semangat Enthus untuk menggeluti dunia wayang terusik ketika ia disindir salah seorang gurunya. Saat itu ia duduk di bangku SMP Negeri 1 Tegal. Gurunya mengatakan, sebagai anak dalang kok dia tak bisa memainkan gending.
Merasa tertantang, ia lalu mengikuti kegiatan ekstra kurikuler karawitan. Enthus dibimbing gurunya, Prasetyo. Menurut dia, ilmu dari gurunya itu yang menjadi dasar kemahirannya memainkan gamelan dan mendalang.
"Bisa dikatakan, ilmu itu yang membuat saya bisa makan sampai sekarang," tuturnya.
Berkat latihan rutin karawitan, Enthus menjadi mahir memainkan kendang, hingga ia dijuluki teman-teman sebagai Enthus tukang kendang. Lulus SMP, ia bisa memainkan kendang untuk mengiringi tari Eko Prawiro.
Selepas SMPN 1 Tegal, ia melanjutkan belajar di SMAN 1 Tegal. Saat duduk di bangku SLTA inilah, ia mulai mendalang. Ini berawal dari acara lomba karya penegak pandega dalam kegiatan ekstra kurikuler pramuka.
Enthus mendalang menggunakan wayang dari batang pohon pisang dengan gamelan cangkem (suara mulut). Layar atau geber diikatkan pada tongkat pramuka yang dipegang teman-temannya.
"Lampu untuk penerangan dengan obor. Wayang yang dimainkan Punokawan," ceritanya.
Ternyata pentas sederhana itu mendapat sambutan para guru dan teman-temannya. Sejak saat itu ia sering diminta mendalang pada acara pramuka di sekolah-sekolah lain.
Melihat potensi Enthus dalam dunia pewayangan, salah seorang guru SMA-nya, Marwadi, mendatangi ayah Enthus untuk memintakan izin agar anak itu diperbolehkan mendalang. Dari sinilah hati ayahnya luluh, bahkan membuatkan geber kecil untuknya. Untuk latihan ia membuat wayang dari kertas yang diwarnai dengan cat air.
Saat lustrum V SMAN 1 Tegal pada 24 agustus 1983, Enthus diminta mendalang selama dua jam. Ketika itu sang ayah menyaksikan pementasannya. Setelah itu, tak hanya mengizinkan, ayahnya pun mewisuda Enthus sebagai dalang di hadapan warga setempat.
"Dia hanya berpesan agar saya memahami pakem kehidupan lebih dulu, sebelum belajar pakem wayang," katanya. Sejak itu, Enthus menjadi dalang yang sesungguhnya. Ia kerap diminta pentas di balai desa dan acara hajatan.

Ekonomi Keluarga

Februari 1984, Soemarjadiharja wafat dalam usia 55 tahun, karena sakit. Ketika itu Enthus duduk di kelas II SMA. Kepergian sang ayah mengakibatkan ekonomi keluarga itu terseok-seok.
Enthus pun mengambil alih peran sebagai kepala keluarga, untuk menghidupi ibu dan membiayai ssekolahnya. Ia juga harus menghidupi 11 anak pungut sang ayah. jadilah dia bersekolah pada pagi hari, dan malamnya mendalang untuk mendapat penghasilan.
Selepas SMA ia diterima di Jurusan Biologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Mengingat keterbatasan dana, kesempatan itu tak diambilnya. Ia juga mendaftar di Akabri, tapi tak diterima.
Memanfaatkan relasi sang ayah, Enthus terus mendalang.Ia pernah menjadi pembuat minuman di Akademi Seni dan Karawitan Indonesia (ASKI) Solo selama 1984-1986. Di sini pula ia belajar banyak hal dengan melihat bagaimana mahasiswanya berlatih.
"Di sini (ASKI), saya ketemu Pak Bambang Suwarno. Dia dosen yang mengajari saya menggambar," kenangnya.
Nama Enthus berkibar setelah dia memenangi Festival Dalang Remaja Tingkat Jawa Tengah di Wonogiri tahun 1988. Ia juga terus berkreasi mengembangkan berbagai jenis wayang sampai wayang Rai Wong.
Wayang Rai Wong dia buat untuk mengenalkan wayang klasik kepada orang yang baru mengenal wayang. Enthus mengakui, sebagai dalang ia tak terikat pakem sehingga dalam pementasan lebih sering menyesuaikan pada situasi dan suka memakai bahasa sehari-hari.
Hal itu dia lakukan sejak awal mendalang, mengingat banyak orang yang menjadi tanggungannya. "Jadi, wayang saya harus laku. Kalau ikut pakem, saya ada di urutan ke berapa?" tambahnya.
Namun, justru dari kondisi seperti itulah Enthus merasa lebih bebas bereksplorasi. Sanggar Satria Laras yang dikelolanya pun makin berkembang, dengan lebih dari 200 orang terlibat di dalamnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 27 FEBRUARI 2009

Minggu, 01 Mei 2011

Abas: Berdayakan Penganggur di Sektor Perkayuan


ABAS

Lahir : Demak, Jawa Tengah, 31 Desember 1960
Istri : Suryani (31)
Anak :
1. Yan Bastian (27)
2. Erik Bastian (24)
3. Hanifah (16)
4. Ayu Asyani (4)
Pendidikan :
1. SD Negeri 1 Demak
2. SMP Negeri 1 Slawi, Tegal
3. SMA Negeri 1 Tegal

Tutupnya belasan industri besar sektor perkayuan setelah penertiban pembalakan ilegal kayu di Kalimantan Barat berdampak pada terpuruknya perekonomian para mantan pekerjanya. Melalui budibudaya hortikultura yang dipeloporinya, Abas (51) memberi cakrawala baru mengenai peluang ekonomi bagi para penganggur sektor kayu di Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.

OLEH AGUSTINUS HANDOKO

Interaksi Abas dengan para mantan pekerja kayu terjadi secara tidak sengaja. Awalnya dia prihatin dengan pasokan sayuran di Pontianak dan sebagian besar Kalimantan Barat yang masih mengandalkan Jawa. "Saya cari lokasi , dapat di Desa Korek, Kecamatan Sungai Ambawang," ujarnya.
Abas yang memilih keluar dari pekerjaannya sebagai konsultan di sebuah perusahaan di Sungai Ambawang pada tahun 2005 lalu memilih mencoba budidaya hortikultura. Sambil belajar otodidak dari sumber-sumber tertulis mengenai cara budidaya hortikultura, tentang berbagai jenis sayuran, Abas mencari lokasi yang potensial.
Abas memaklumi pencurian berbagai jenis sayuran yang ditanamnya di lahan seluas lebih kurang setengah hektar. Warga sekitar ketika itu memang lebih banyak menganggur sejak pabrik-pabrik pengolahan kayu tempat mereka bekerja gulung tikar.
"Saya tidak marah," katanya. Namun, Abas memiliki tekbik untuk mengambil hati warga. Sebelum diambil, Abas memanennya terlebih dahulu dan membagikannya kepada mereka. Langkah tersebut membuat warga senang dan malah saling mengingatkan agar tidak mencuri lagi.
Orang-orang sekitar inilah kemudian menjadi generasi pertama kalangan penganggur dari sektor kayu yang ingin belajar budidaya sayuran kepada Abas. "Begitu saya berhasil dalam satu musim tanam sayur, banyak tetangga sekitar yang ingin belajar," kata Abas.

Lahan menganggur

Ada belasan penganggur sektor kayu yang menjadi generasi pertama petani sayur didikan Abas di Sungai Ambawang. Setelah lumayan mahir membudidayakan sayur di lahan milik Abas, mereka kemudian membudidayakan sendiri. "Awalnya, sambil menanam di lahan sendiri, mereka masih saya minta kerja setengah hari di lahan saya supaya masih bisa konsultasi," ujar Abas.
Jenis sayuran yang paling cocok di budidayakan di Sungai Ambawang adalah cabai, kacang panjang, tomat, dan terung. Dari awalnya penanaman di lahan sekitar 100 meter persegi, para mantan pekerja kayu tersebut kemudian memperluas kawasan tanam. Ada yang sampai setengah hektar, bahkan satu hektar.
masalah baru "anak didik" Abas ialah soal modal seiring dengan makin luasnya lahan olah. Maklum, di Desa Korek yang dilintasi jalan trans-kalimantan itu masih banyak lahan menganggur.
Rupanya, gaung kemandirian sebagian penganggur sektor perkayuan di Desa Korek tersebut terdengar oleh penyuluh pertanian Kabupaten Pontianak. Ketiak itu Sungai Ambawang masih masuk wilayah Kabupaten Pontianak, sebelum kemudian menjadi salah satu kecamatan di kabupaten Kubu Raya yang mekar dari Pontianak pada tahun 2007.
Penyuluh pertanian yang menyambangi Abas lalu menawarkan ide untuk membentuk kelompok tani. "Saya setuju dengan jaminan kelompok tani itu tidak untuk kepentingan tertentu, murni untuk membina petani. Kami lalu membuat kelompok tani," kata Abas.
Ada beberapa kelompok tani yang kemudian bergabung di gabungan Kelompok Tani Sumber Makmur yang berpusat di tempat Abas. Gabungan kelomok tani ini mendapat dana stimulan sebesar Rp 100 juta disertai pendampingan intensif dari penyuluh pertanian. Bantuan itu dipakai untuk budidaya intensif di lahan yang dikelola bersama para anggota gapoktan.
Bantuan Rp 100 juta yang bergulir tahun 2008 hanya perlu waktu satu semester untuk berkembang menjadi Rp 160 juta. Meski demikian, bantuan yang Rp 100 juta tersebut tetap dimanfaat kan untuk budidaya intensif, sementara kapitalisasi modal sebesar Rp 60 juta digunakan untuk memodali sejumlah petani yang kekurangan modal.
Keberhasilan petani pemula di Sungai Ambawang tersebut akhirnya menarik perhatian Badan Penyuluh Pertanian Kementerian Pertanian. Pada tahun yang sama Badan Penyuluh Pertanian menunjuk gapoktan tersebut menjadi Pusat Pelatihan Pedesaan Swadaya (P4S) yang kemudian mendapat dana hibah kerja sama Jepang-Indonesia.
Dana hibah untuk P4S Mitra Mandiri Desa Korek tersebut dipakai untuk mendirikan asrama dan ruang belajar yang lengkap."Para petani pemula sangat antusias karena memang belum pernah mengikuti model pelatihan seperti itu," cerita Abas.

Sudah ratusan

P4S Mitra mandiri awalnya menampung 60 orang yang ingin belajar dan memperdalam pertanian sayur-mayur. Hingga tahun 2011 ini sudah ratusan orang yang belajar di P4S yang dipimpin Abas.
kini kondisi yang cukup mencolok di Desa Korek adalah terus berkurangnya jumlah penganggur, indikatornya, Abas mengaku sangat sult mendapatkan tenaga kerja untuk mengurus kebun sayurnya yang seluas tiga hektar. "Dulu banyak orang ingin kerja. Sekarang mereka sudah punya lahan sendiri. bahkan, banyak yang lebih berhasil dari saya. Saya justru senang, saya puas melihat mereka berhasil," tutur Abas.
Sambil mengurus kebun, Abas mendirikan toko pertanian di sekitar lahannya. Tak hanya menjual, dia juga memberi bimbingan dan bukti di lahannya jika ada pembeli yang bertanya. Kadang kala, stok benih yang disiapkan untuk kebun direlakan untuk dibeli masyarakat yang melihat keberhasilan komoditas di kebun milik Abas.
Abas juga tidak membatasi pembelian bagi para petani yang mampu. Ia mengijinkan sejumlah petani berutang, bahkan kini totalnya mencapai puluhan juta rupiah. namun, dengan syarat, mengikuti nasihatnya. "Kalau mereka gagal panen, saya juga yang rugi karena utang sulit dibayar. Para petani umumnya mendengarkan penjelasan saya dan rata-rata berhasil," ujar Abas.
Keberhasilan Abas memberdayakan para penganggur dari sektor kayu itu juga dijadikan model pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Kubu Raya. Mulai Maret 2011 Abas menjadi duta untuk setiap kecamatan di Kubu Raya.
Selain berhasil menggerakkan roda perekonomian masyarakat, upaya yang dipelopori Abas tersebut juga membuat pasokan sayuran di Pontianak stabil. maklum, pasokan dari Jawa sering terhambat cuaca. Kini berbagai jenis sayuran sudah lebih mudah diperoleh di Pontianak.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 2 MEI 2011