Minggu, 31 Juli 2011

Chendana Putra : Pelestari Tarian Tradisional Pedalaman


CHENDANA PUTRA

Lahir : Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, 3 Maret 1979
Istri : Patrilia Paulina (27)
Pendidikan :
- SD Negeri Patih Rumbih, Palangkaraya
- SMP Nusantara, Palangkaraya
- SMA Kristen Palangkaraya

Berkali-kali tak diacuhkan saat pentas di daerah sendiri, tidak membuat semangat Chendana Putra surut untuk berkreasi membuat tari-tarian baru. Ketika generasi penerus cenderung meningalkan kesenian lokal, seniman dari Kalimantan Tengah yang relatif masih berusia muda ini justru bertekad melestarikannya.

OLEH DWI BAYU RADIUS

Chendana lahir dari keluarga seniman. Seiring bertambahnya usia, tumbuh pula kecintaannya terhadap budaya Dayak. Meski orangtua membebaskan anak-anaknya memilih cita-cita mereka, tetapi dia berketetapan hati menempuh jalur hidup sebagai seniman tarian tradisional pedalaman Kalimantan Tengah (Kalteng).
"Itulah 'darah' saya," ujarnya, menjelaskan tentang mengapa dia memilih menjadi seniman tari tradisional Kalteng.
Tarian tradisional pedalaman bercirikan gerakan yang diiringi alat musik, seperti gendang, kecapi, rebab, dan suling. Saat kesenian itu diperagakan, syair berisi pesan bijak dalam bahasa Dayak Ngaju pun menyertai sang penari.
Ketika berumur 17 tahun, Chendana sudah menciptakan tariannya yang pertama. "Nama tariannya saya sudah lupa," kata pria yang sudah menciptakan lebih dari 20 tarian dan tinggal di Palangkaraya, Kalteng ini.
Prestasi Chendana pun telah diukir dengan menjuarai berbagai kompetisi. Tari manyaluh batang danum pasang, misalnya, membawa Chendana dan timnya meraih juara pertama dalam perayaan ulang tahun Kalteng atau Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2011.
Tarian itu, menceritakan warna-warni kehidupan muda-mudi masa kini. Kreasi Chendana lainnya adalah tari manalampas dahiangbaya yang berarti membersihkan pertanda jahat. tarian itu pun membuat dia dan timnya mendapat juara pertama dalam FBIM 2010.
Tahun 2009, tim Chendana yang bernggotakan 20 orang menjadi juara kedua dalam acara tahunan yang sama. Dalam FBIM pula Chendana meraih penghargaan sebagai penata tari terbaik berturut-turut tahun 2009-2011.

Pengalaman pahit

Di sisi lain, dia menilai kecintaan masyarakat, terutama generasi muda Kalteng, terhadap kesenian Dayak umumnya kian pudar. Kondisi itu menjadi pengalaman pahityang dirasakan Chendana, justru di tanah kelahirannya.
Ia mengkau tak jarang diremehkan sebagian orang saat unjuk kebolehan. Dalam suaatu acara, misalnya, panitia justru menyediakan waktu menari saat hadirin sedang makan. Ini berarti hadirin sibuk makan dan ngobrol, mereka tidak menonton tarian yang ditampilkan.
Dalam kesempatan lain di Palangkaraya, ia menggelar pertunjukan dan tak jauh dari lokasi itu diadakan konser dangdut. "Kalau sudah ada dangdut, banyak (penonton) yang kabur. Mereka yang menyaksikan pertunjukkan saya pun menonton sambil jajan," katanya.
Pernah pula dalam satu acara, pertunjukan Chendana disandingkan dengan musik pop di sudut lainnya. Penonton pun lebih tertarik berkerumun di depan panggung kelompok musik pop. Padahal di luar Kalimantan, tari-tarian yang dimainkan Chendana justru kerap memperoleh sambutan.
Dalam Pekan Produk Kreatif Indonesia di Jakarta Convention Center, 8 Juli 2011, misalnya, tepuk tangan hadirin muncul seusai Chendana dan rekan-rekannya menampilkan kinyah atau tarian perang. Penari tampil dengan mahkota bulu burung enggang serta kalung tulang dan gigi hewan liar mengalungi lehernya.
Jemari mereka lincah memutar-mutar mandau dan perisai. Khalayak terpukau dengan keelokan kostum dan keluwesan para penari.

Membentuk komunitas

Chendana berkeliling ke berbagai provinsi di Indonesia sejak berusia 10 tahun. Dia tak ingat sudah berapa kali tampil, tetapi semua provinsi di Pulau Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera telah disinggahinya untuk berpentas.
Terkikisnya budaya lokal di Kalteng justru memicu semangat Chendana untuk melestarikan warisan leluhurnya kian besar.
"Generasi muda lebih suka membentuk band. Mereka menganggap kesenian tradisional itu kecil, cetek, dan pinggiran. Itulah tanda-tanda kepunahan kesenian (tradisional)," katanya.
Padahal, lanjutnya, kesenian Dayak bia diibaratkan sebagai mutiara kebudayaan Kalimantan.
Selain mengingatkan orang pada kesenian lokal, tarian juga difungsikan sebagai wadah untuk menyampaikan pesan moral kepada anak muda. Dalam tarian manyaluh batang danum pasang, misalnya, disisipkan nasehat kepada generasi muda untuk menjaga etika dan menghindari pergaulan bebas.
Tahun 2009, Chendana membentuk wadah untuk mereka yang mencintai kesenian khas Dayak, yakni Komunitas Tarantang Petak Balanga."Arti nama komunitas ini adalah generasi-generasi yang terpilih. Saya menjadi ketua hariannya," katanya.
Tujuan mereka yang bergabung dengan komunitas itu bermacam-macam, dari sekadar ingin tahu hingga serius mendalami kesenian. Jadilah para anggota komunitas datang dan pergi silih berganti. Meski begitu, setiap latihan jumlah peserta biasanya lebih dari 50 orang.
"Saya tak menganggap mereka yang datang adalah anak didik. Mereka saya anggap setara, sebagai rekan satu tim," ujarnya.
Namun, jadwal latihan menari komunitas ini belum tetap, tergantung kesepakatan anggota komunitas. Biasanya mereka latihan hampir setiap hari, kecuali ada lomba atau pentas.
Latihan diadakan di Jalan Patih Rumbih, Palangkaraya, di bagian belakang rumah Chendana. Ruang seluas 15x25 meter itu berlantai semen. Bagian tepi ruang disesaki berbagai alat musik, senjata tradisional, dan kostum penari.
Separuh dinding ruang latihan berupa kayu lapuk dengan atap seng. Di sudut lain, ada beberapa sofa yang tak lagi utuh. Biaya perawatan peralatan komunitas itu berasal dari kocek Chendana.
"Kadang ada dana dari donatur walau jumlahnya tak menentu. Kalau kami menjadi juara dan berhadiah uang, teman-teman menyisihkan sebagian (dari hadiah itu)," ucapnya.
Hadiah sebagai juara yang pernah mereka terima bervariasi. Misalnya, sebagai juara pertama FBIM tahun 2011 mereka menerima Rp 2,25 juta.
"Kalau uang sebesar itu dibagi untuk 20 anggota tim, belum memadai dibandingkan dengan tenaga, waktu, dan biaya yang kami keluarkan," ujar Chendana.
Persiapan untuk mengikuti lomba saja membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. akan tetapi, jika tarian mereka dinikmati dan diapresiasi khalayak, kepuasannya melebihi jumlah hadiah uang tersebut.
Bagaimanapun, Chendana konsisten melestarikan tarian Dayak dengan berpegang pada keyakinan, suatu hari nanti kesenian tradisional itu akan bangkit.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 1 AGUSTUS 2011

Kamis, 28 Juli 2011

Hasnan Singodimayan: "Sumur Tanpa Dasar" Budaya Using


HASNAN SINGODIMAYAN

Lahir : Banyuwangi, Jawa Timur, 17 Oktober 1931
Istri : Sayu Masunah
Anak :
- Buyung Pramunsyie
- Bujang Pratiko
- Bonang Prasunan
- Rundung Prahara
- Capung Prihatini
Penghargaan di antaranya :
- Penghargaan Gubernur Jawa Timur bidang Budaya, 2003
-Pemenang III Penulisan Cerpen Dewan Kesenian Surabaya, 1973
- Pemenang II Penulisan Puisi BBC london, 1980

Keriput kulit di pipinya tergurat jelas. Rambutnya berwarna perak. Sebagian giginya sudah tanggal. Tetapi pandangan matanya masih tajam. Ia bisa membaca SMS dari telepon selulernya yang butut. Semangatnya berbagi imu kepada siapa pun tidak kendur, baik secara lisan maupun tulisan, apaagi menyangkut budaya masyarakat Using.

OLEH ANWAR HUDIJONO & SIWI YUNITA

Untuk transfer ilmu melalui tulisan, Hasnan Singodimayan sedang merampungkan buku berjudul Suluk Muktazilah. Buku ini berisi renungannya bagaimana membangun Islam Indonesia dengan berakar pada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi mainstream di Indonesia.
"Mudah-mudahan dalam waktu tak lama lagi buku itu bisa terbit," katanya saat ditemui di rumahnya di belakang Masjid agung Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim).
Transfer pengetahuannya secara lisan menjadi kehidupannya sehari-hari. Ia bisa diajak berdiskusi berjam-jam. Hampir selalu ada orang datang, mulai dari mahasisa, dosen, seniman, hingga peneliti untuk menimba ilmu, terutama masalah sosial-budaya masyarakat Using.
Budaya Using adalah subkultur masyarakat jatim sebagaimana subkultur Arek, Pendalungan, Mataraman, Tengger, dan Madura. Masyarakat Using adalah mayoritas penduduk daerah semenanjung timur Jatim, Kabupaten Banyuwangi.
Dia juga mendirikan Hasnan Singidimayan Centre, lembaga non proft yang bergerak di bidang penelitian, pengkajian, dan pengembangan sosial-budaya Using Banyuwangi. Misalnya, mengadakan Bintang Pelajar Pencinta Sastra (BPPS) yang diikuti sastrawan muda. Ini sebagai cara menjaga kesinambungan dinamika budaya Using dari generasi ke generasi.
Praktis tokoh tua yang menjadi referensi hidup soal budaya Using tinggal Hasnan, setelah Hasan Ali, ayah aktris Emilia Contessa, meninggal dunia. Kedua tokoh ini bisa dibilag seperti sepasang sandal, termasuk saat memimpin Dewan Kesenian Blambangan, mulai sekitar 1980.
Hasnan layak dianggap "sumur tanpa dasar" untuk masalah sosial-budaya Using. Sedikitnya tujuh buku dia tulis berkaitan dengan sosial-budaya Using. Misalnya novel Kerudung Santet Gandrung, yang ditulisnya pada 2003. Ada pula ratusan makalah, esai, cerita pendek (cerpen, dan cerita bersambung (cerbung) yang dia tulis sejak 1950-an sampai kini.
Cerbung Kerudung Baju Selubung yang dia tulis di koran Bali Post diangkat sebagai naskah sinetron di TPI dengan judul Jejak Sinden tahun 1994. Dia menjadi salah satu aktor di sinetron itu. Di antara makalahnya yang dibukukan adalah Posisi Budaya Using dalam Aneka Kebudayaan Jawa Timur yang diterbitkan PT Tiara Wacana Yogyakarta untuk Yayasan Muhammad Hatta.
Dia mulai menulis selepas dari Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. tahun 1960-an, ia bergabung dengan koran Terompet Masyarakat, Surabaya. lantaran bergabung dengan manifesto Kebudayaan (Manikebu), dia dipecat karena koran itu erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Meski begitu, dia tak berhenti menulis. Karyanya berupa esai, dan cerbung dia kirim ke pelbagai majalah dan koran. Cerpennya Lailtul Qadr menjadi juara tiga cerpen Dewan Kesenian Surabaya, 1973. Puisinya menjadi juara II peulisan puisi Radio BBC London, 1980. Ia juga juara tiga penulisan kisah kepahlawanan kemerdekaan dari Dewan Angkatan 45 Pusat lewat Perempuan Itu Bingkai Pesawat.
Karya-karya tersebut dia simpan di rumahnya. "dulu saya taruh di ruangan tamu, tapi kok tak aman, juga bisa membuat saya pamer. Dan, pamer itu bisa jadi sombong. Sikap itu harus saya hindari karena sangat dibenci Allat SWT. Hanya Allah yang berhak menyandang al-mutakabbir ( pemilik segala kebesaran). Sekarang saya simpan di ruang keluarga," katanya.

Transformasi budaya

Ia pernah diajak sekelompok masyarakat dan budayawan banyuwangi menggugat secara hukum novelis Putu Praba Darana, sebab buku yang ditulis Putu, Trilogi Blambangan yang terdiri dari Tanah Semenanjung, Gema di Ufuk Timur, dan Banyuwangi, yang menjadi cerbung di Kompas lalu diterbitkan PT Gramdedia, dinilai melecehkan budaya Using.
Ia juga diajak menggugat secara hukum dan mendemo Heru Setya Puji Saputra karena bukunya, Memuja Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Using Banyuwangi terbitan LkiS, Yogyakarta, 2007 dinilai menyimpang dan menghina masyarakat Using.
"Saya tidak mau menuruti ajakan mereka. Kalau tulisan Putu dan Heru dianggap salah atau menyimpang, cara meluruskan juga harus dengan tulisan. Buatlah novel yang lebih baik dan benar. Dengan demikian nanti akan terjadi diskursus di masyarakat. Mendorong iklim dialog yang brilian, egalitarian, jernih, tanpa prasangka.Cara demikian , membuat kebudayaan dinamis dan berkembang. Menggugat secar hukum dan demo itu bukan cara bijaksana," katanya.
Menurut dia, keterbukaan, dialogial, adalah akar budaya Using. Masyarakat Using tak menutup diri. Budaya yang masuk akan diserap lalu dipadukan dengan budaya asli hingga seeringkali melahirkan format budaya baru. Di sini ada transformasi budaya.
Dia mencontohkan, masuknya tari jangger bali yang "kawin" dengan tarian Using, melahirkan tari gandrung. "Coba lihat, apa tari gandrung sama dengan tari jangger? Kan tidak, tetapi ada nuansa jangger," katanya.
Masyarakat Using terbuka menyerap budaya bahasa Mataraman. Tetapi tak serta merta mengganti dengan bahasa Mataraman walau di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Menyerap bahasa Mataraman justru menunjukkan martabat masyarakat Using.
Misalnya, kata "isun"untuk "aku". Dalam bahasa Mataraman, "isun" menunjukkan derajat tertinggi, yang bisa menggunakan "isun" hanya raja. Tetapi dalam budaya Using, "isun" untuk semua. Ini menunjukkan egalitarianisme masyarakat Using sekaligus egoisme.
Sebaiknya untuk kata "kamu", masyarakat Using menggunakan "sira". Istilah "sira" dalam bahasa Mataraman menunjukkan posisi paling rendah di bawah "panjenengan" atau "paduka".
Makanan pun kalau masuk Banyuwangi mengalami transformasi. Di sini ada rujak-soto, rawon-pecel. Kan, rawon itu dari Surabaya, pecel dari Madiun, ketemu di sini jadi rawon-pecel yang nikmat. Semua itu menunjukkan keterbukaan budaya Using," ujarnya.
Dia meyakini, dengan nilai-nilai keterbukaan, egalitarian, watak dialogial, akan menjadi landasan budaya Using lestari dan berkembang sesuai generasi dan zamannya. Paradigma transformasinya adalah al-muhafadhah ala qodimis shalih wal ahdu bil jadidil ashlah (mempertahankan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) .
Paradigma yang dia serap dari Pondok Darussalam Gontor. "Ada atau tak ada saya, budaya Using tetap lestari dan berkembang. Saya hanya bagian secuil dari budaya Using," kata kakek enam cucu itu.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 29 JULI 2011

Senin, 25 Juli 2011

Ali Kamisi Raja Pasu : Dari Hutan Pakuli untuk Kelestarian Maleo


ALI KAMISI RAJA PASU

Lahir : Desa Pakuli, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 1933
Istri : Pampa (70)
Anak :
- Supardi
- Fatimah
- Naimah
- Susni
- Sudarman
- Fahmi
Pendidikan : Tak bersekolah
Penghargaan :
- Penghargaan dari Pemkab Donggala untuk pelestarian maleo, 2008
- Penghargaan dari Pemkab Sigi sebagai penjaga hutan dan maleo, 2011

Hampir sepanjang usianya, Ali Kamisi Raja Pasu berkutat dengan maleo ("Macrocephalon maleo"), hewan endemik Pulau Sulawesi yang terancam punah. Lebih dari sepuluh tahun terakhir ia melakukan penangkaran sebagai upaya menyelamatkan maleo dari kepunahan. Nyaris seorang diri ia melakukan upaya itu, tanpa pamrih.

OLEH RENY SRI AYU

Ia tak hirau kendati pemerintah hampir tak membantu, bahkan sekadar memperbaiki jembatan kayu yang harus dilaluinya untuk masuk hutan, tempat maleo dan penangkarannya . Ia ikhlas dan diam, kendati kerap bertaruh nyawa melewati sungai berair deras dengan berpegang tali yang diikatnya di salah satu sisi sungai.
Ia tak mengeluh walau harus memutar jalan hingga empat kilometer karena luapan sungai tak bisa dilaluinya dengan membentang tali. Padahal jarak jika melewati sungai, hanya sekitar 400 meter.
Upaya yang dilakukan Ali tak mudah dan murah. Untuk urusan maleo, dia harus menjadi pengawas, perawat, bapak sekaligus ibu, satpam, hingga pendana. Kalau bukan karena cinta dan kesadaran betapa populasi burung itu kian berkurang, mustahil dia bertahan.
Usahanya tak sia-sia. Memulai dengan 50 pasang burung maleo pada 2001, kini lebih dari 400 maleo sudah dikembangbiakkan dan dilepas di habitatnya, kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu.
"Bahagia sekaligus sedih jika anak-anak maleo yang saya urus mulai dari telur, menetas, lalu hidup, dan besar, saya lepaskan ke hutan sebagai burung dewasa. Kadang saya menangis melepas mereka, seperti melepas anak sendiri," kata kakek 20 cucu ini saat ditemui di pondok kebunnya di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Kecintaannya pada maleo, burung yang telurnya seukuran tiga kali telur itik atau lima kali telur ayam ini, membuat dia tak berhitung soal tenaga, waktu, dan uang. Di tengah kesibukan mengurus kebun kakao dan tanaman jagungnya, Ali menyempatkan diri masuk ke hutan mengawasi maleo.
Pada musim bertelur, ia lebih banyak menghabiskan waktu menunggui maleo bertelur, mengambil telurnya, dan dipindahkan ke tempat pengeraman yang dia buat.
Tempat pengeraman atau penangkaran itu berupa lubang-lubang dalam tanah berpasir bersuhu 35-40 derajat celsius. Tanah seperti ini tersedia di dekat sumber air panas di hutan Pakuli, berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Lubang ini diberi pembatas pagar pengamanan, untuk mencegah pemburu telur maleo yang kerap berkeliaran di hutan.
Butuh 60 hari hingga telur maleo menetas, dan selama itu pula Ali menengok dan menjaganya. Jika sudah menetas, anak maleo dirawatnya sebulan, baru dilepaskan.
Kesibukan Ali bertambah dalam rentang waktu antara telur menetas dan anak burung berusia sebulan. Setiap hari ia memecah kemiri, mengambil dan menghancurkan isinya untuk makanan anak maleo. Untuk 20 ekor anak maleo dibutuhkan biaya Rp 20.000-Rp 30.000 per minggu guna membeli kemiri. bagi Ali, uang sejumlah itu cukup besar.
"Kalau tak ada uang, saya pinjam tetangga atau keluarga. Kadang saya ambil kemiri ke kebun kemiri, dan bayar kepada pemiliknya waktu ada uang," katanya.
Sebenarnya, Ali bisa menjual telur maleo yang harganya mencapai Rp 20.000 per butir. Tetapi itu tidak dia lakukan.

Warisan leluhur

Ketertarikan Ali pada burung berbulu hitam dengan warna kuning di dadanya ini dimulai saat ia kanak-kanak. Saat itu, populasi maleo di sekitar Pakuli masih banyak. Kalau di daerah lain di SUlteng maleo umumnya hidup di sekitar pantai. Di Pakuli habitat maleo adalah hutan.
Ini tak lepas dari legenda sejarah tentang anak raja di Pakuli yang dilamar, dan salah satu barang antarannya adalah dua pasang maleo. Satu pasang maleo disimpan di Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Sigi, dan satu lainnya disimpan di Pakuli. Kedua pasang maleo ini lalu beranak pinak.
Hingga dewasa, Ali hampir tak lepas dari maleo karena ia sering masuk-keluar hutan. Awalnya ia tertarik pada kehidupan maleo yang anti poligami dan selalu berpasangan. Acapkali ia mengamati bagaimana maleo yang tubuhnya seukuran ayam mengeluarkan telur besar. Maleo betina kerap pingsan, usai bertelur.
Ia melihat bagaimana maleo jantan dengan setia menggali lubang yang akan dipakai betina bertelur dan menungguinya. Usai betina bertelur, maleo jantan menutupi lubang itu dengan mengais dan menginjak tanah menggunakan cakarnya.
Lama-kelamaan Ali sadar, ia kian jarang bertemu maleo. Burung itu teranca punah karena telurnya diburu dan habitatnya rusak. Ia lalu tak sekadar tertarik, tetapi berupaya melestarikannya. Pertemuan dengan sejumlah anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Jambata pada 2001 membuat Ali mendapat masukan dan lebih serius melakukan pelestarian maleo.
Tak hanya di Sigi, Ali kerap diundang ke kabupaten lain terkait pelestarian aleo. Ia antara lain diundang ke wilayah pegunungan Pinjan, perbatasan Kabupaten Tolitoli dan Buol.

Menjaga hutan

Kesadaran Ali tak sebatas mengurusi telur dan anak maleo, tetapi hingga menjaga hutan yang vital untuk kembang biak maleo. Setiap kali mendengar suara gergaji, ia segera masuk dan mengusir perambah hutan.
Ia membuka tujuh hektar areal untuk habitat maleo yang separuh di antaranya tanah milik Ali. Kawasan ini ditanaminya kemiri dan beragam tanaman sumber makanan maleo, sekaligus tempat hidup burung itu.
Lahan tersebut masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dan tak sekalipun pengelola taman nasional mengapresiasikan apa yang dilakukan Ali.
Di luar habitat maleo, ia menjaga kawasan luar taman nasional yang juga menjadi tempat berkembang biak maleo.
"Kalau urusan hutan, bukan hanya untuk maleo, tapi untuk manusia. Kalau kini bukan kami yang kena bencananya, besok atau lusa anak cucu yang akan kena," tegasnya.
Sampai kapan Ali mau mengurusi maleo? "Saya menganggap mereka seperti anak sendiri. Kalau populasinya bertambah banyak, anak cucu saya masih bisa melihat maleo, burung langka peninggalan leluhur mereka. Syukur-syukur suatu saat nanti maleo tak lagi menjadi burung langka," katanya.
Keseriusan Ali melestarikan maleo dan harapannya agar burung ini tak punah, membuat dia mempersiapkan anaknya, Fahmi, sebagai penerus. Setiap kali ia ke hutan, Fahmi dibawa serta. Ali mengajari Fahmi cara melestarikan maleo.
"Mudah-mudahan dia tertarik dan kelak mau menjadi penerus, biar maleo tak jadi hewan langka," kata Ali.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 26 JULI 2011

Minggu, 24 Juli 2011

Mochamad Thamrin: Sang Mantri Benda Purbakala


MOCHAMAD THAMRIN

Lahir : Sindanglaut, Cirebon, 6 September 1951
Pendidikan : SMAN I Sindanglaut
Profesi : Perajin batu hias dan pengelola Museum Karya Budaya Sakti, Cirebon
Istri : Titin Kartini (50)

Batu-batu aneka warna berukuran besar dan kecil menyapa setiap tamu yang berkunjung ke rumah Mochamad Thamrin di Desa Kubangdeleg, Kecamatan Karangwareng, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tak untuk pamer, batu-batu itu ditumpuk sebagai pananda sejarah, bagian dari benda purbakala yang selama 26 tahun ini dia kumpulkan di rumahnya, yang sekaligus museum.

OLEH RINI KUSTIASIH

Rumah Thamrin yang dinamai Museum Karya Budaya Sakti Cirebon itu, diakuinya, belum layak disebut museum purbakala. Benda purbakala dan fosil bebatuan disusun seadanya di meja dan di lemari.
Tak terbilang berapa banyak fosil dan benda purbakala yang disimpan di sana. Thamrin menyimpan, antara lain, pecahan gigi badak (rhinocerus), serta tulang jari dan tulang paha sapi purba (bovid).
Sederet dengan fosil-fosil tulang mamalia purba itu, Thamrin memajang fosil jenis kerang atau moluska yang diperkirakan hidup pada zaman Miosen akhir sampai Pliosen awal. Jika ditaksir, fosil moluska yang jumlahnya ratusan itu beruia jutaan tahun. Ia juga menemukan fosil moluska khas perairan Cirebon yang oleh para ahli dinamai Cardium Cheribonensis Ostingh.
"Sejak kecil saya senang benda-benda purbakala. Ayah saya yang tentara sering mengajak masuk-keluar hutan mencari batu hias dan benda kuno untuk disipan atau sebagian dijual," kata lelaki dengan 10 anak itu.
Dinding rumahnya juga dipasangi benda-benda bersejarah, selain fosil dan batu, Thamrn anatara lain, memiliki kapak batu berwarna hijau yang halus, mata tombak kerajaan yang masih tajam, sekalipun debu dan karat menyelimuti di sana-sini.
Pria yang gemar membaca itu juga memiliki bola naga dunia, yakni besi bulat seukuran bola voli yang wangi. Meskipun lemari penyimpanan sudah berkali-kali dibuka, aroma harum terus memancar dari benda tersebut.
"Di dalam bola naga dunia ini saya yakini ada batu warna merah delima yang harganya mahal sekali. Akan tetapi , barang ini tidak akan saya jual. Ini konon peninggalan China. Biar saya simpan untuk anak-anak belajar di museum," ujarnya.
Berbagai benda "aneh" tersebut dia temukan dalam petualangannya menyibak hutan, sungai, dan lembah di tiga wilayah, yakni Cirebon dan Kuningan, Jawa Barat, serta Brebes, Jawa Tengah. Saat mengelana, Thamrin mengaku hanya berbekal martil, cangkul kecil, dan karung. Biasanya, ia berangkat dini hari dan baru pulang dini hari berikutnya.
"Orang-orang menyebut saya gila, tak apa-apa. Mereka hanya tak mengerti apa yang saya lakukan. Saya menghidupi diri sendiri dan banyak orang lain dengan hobi ini," katanya.

Jadi mantri

Thamrin tak serta-merta "gila" purbakala. Saat menginjak dewasa, ia sempat meningalkan hobi purbakalanya. Selepas SMA tahun 1968, dia menjadi mantri kesehatan di Puskesmas Waled , kota kecamatan tak jauh dari tempat kelahirannya di Sindanglaut, Cirebon. Di puskesmas itu ia ikut merasakan penderitaan orang miskin. Selama menjadi pegawai negeri, hatinya berontak karena ada banyak ketidak adilan.
"Menjadi pegawai negeri itu meragukan sebab bisa tak jelas asal-muasal pendapatannya. Penghasilan itu bisa jadi hasil korupsi atau 'permainan' atasan. Saya kecewa dan memutuskan tak lagi menajdi pegawai negeri," katanya.
Pada 1985 ia terjun langsung ke masyarakat. Keahliannya di bidang kesehatan masih diperlukan warga sekitar. Ia rutin membeli obat untuk keperluan pengobatan warga.
"Saat itu dokter masih jarang, padahal banyak warga minta tolong. Saya tolong sebisanya. Misalnya, operasi bibir sumbing, menjahit luka, dan pengobatan ringan, seperti flu dan gatal-gatal. Tak ada tarifnya, terserah warga mampu memberi atau tidak," ceritanya.
Karena kiprahnya itu, warga memanggilnya "Pak Mantri", sekalipun Thamrin sudah tak lagi berdinas di puskesmas.
Sembari melayani warga, "Pak Mantri" kembali menjalani hobi lamanya, keluar-masuk hutan mencari batu hias dan benda purbakala. Setiap batu dan fosil yang dia temukan disimpan, lalu diubah jadi kriya seni. namun, untuk tujuan itu, Thamrin pilih-pilih. Jika fosil dan batuan itu jumlahnya sedikit, ia tak mengutak-atiknya.
Jika jumlah fosil itu banyak, ia tak ragu menjualnya sebagai benda seni. Untuk sebuah batu fosil unik, ia mendulang puluhan juta rupiah. Sebagian dari pendapatan itu ia gunakan untuk membangun museum yang dikelolanya kini.
"Setiap fosil yang saya temukan selalu saya simpan dan laporkan kepada Balai Arkeologi di Bandung (Jawa Barat). Dari para ahli itu, saya belajar tentang kekayaan arkeologi dan geologi yang dimiliki Cirebon. Setiap temuan yang bernilai sejarah tinggi selalu saya simpan, tidak dijual," ujarnya.
Dari hasil berdiskusi dengan para ahli itu ia menyadari, banyak fosil dan benda purbakala yang mesti diselamatkan. Tak hanya dari kerusakan, tetapi juga dari pencurian. Mengutip ungkapan Bung Karno, Thamrin mengingatkan, "Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!"
"Dari sejarah, tumbuh pengetahuan baru. Mereka yang melupakan sejarah sama dengan orang yang kehilangan identitas. Orang yang kehilangan identitas itu seperti orang gila, tak tahu arah mau kemana," ujarnya berkali-kali.

Tempat belajar

Karena itulah, ia bertekad membuat museum. Ia ingin barang-barang temuannya disimpan dengan baik dan bermanfaat untuk pendidikan. Tahun 2008, niatnya itu terlaksana. Bekas warung sekaligus rumahnya di Desa Kubangdeleg "disulap" menjadi museum. Biaya pembangunan dan perawatan museum yang dinamainya Karya Budaya Sakti itu diambil dari koceknya.
Beberapa kali ahli arkeologi dari dalam dan luar negeri berkunjung dan meneliti temuan Thamrin. Salah satunya, Gert van den Bergh, peneliti asal Belanda dari University of Wollongong, Australia, yang datang setiap tahun.
Siswa sekolah dari Cirebon sampai Jawa Tengah pun datang ke museum itu dan belajar kepada dia mengenai benda purbakala. Thamrin juga kerap diundang menjadi pembicara dalam diskusi bersama ahli dari Balai Arkeologi Bandung dan Museum Geologi Bandung.
Tahun 2010, Balai Arkeologi Bandung menata ulang museum itu dan mendata temuan Thamrin. "Kegilaannya" mendapat pengakuan. Di mata warga, apa yang dia lakukan kini dihargai. Ada 40 orang yang bekerja dengannya mengikuti jejak "Pak Mantri" yang "gila" purbakala. Di sela-sela kegiatan warga bertani, mereka punya kegiatan baru, sebagai perajin batu hias.
Fosil bebatuan yang rusak diubah menjadi gantungan kunci, cincin, asbak, hiasan taman, dan alat musik. Tak ada benda yang terbuang sia-sia. batuan unik yang dulu tak bernilai, kini tampil pada berbagai pameran.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 JULI 2011

Kamis, 21 Juli 2011

Cak Agus Kuprit : Merindukan Generasi Penerus Kidungan


AGUS KUPRIT

Nama asli : Agus Ali Sahid
Lahir : Sidoarjo, Jawa Timur, 1 Desember 1958
Istri : Suprapti Hartini (48)
Anak :
- Denis Karisca (24)
- Anggi Prasetyo (19)
Pendidikan :
- SDN I Tulangan, Sidoarjo, 1971
- STN I Sidoarjo, 1974
- STM Pancasila, Semarang, tak tamat

Kegiatan : Pengisi Acara "Kidung Jenaka" TVRI Surabaya, 1981-1991

Ayo nitik obahe zaman/Akeh riwayat lan pengalaman/Onok kalane genting/Onok kalane aman/Iku pancen kodrate alam/Aku nek ndelok nduk luar negeri/Saiki terjadi perang/Nduk endi-endi/Gak cuma perang pisik, ugo perang ekonomi/Mulane rakyate akeh sing mati/Mulane dhulur ayo podho disyukuri/Kito urip onok bumi pertiwi/Rakyate rukun-rukun/Tanahe gemah ripah loh jinawi/Semboyane bangsa Indonesi/Anti perang, cinta damai....

Itulah salah satu kidungan jula-juli daari sekitar 200-an ciptaan Cak Agus Kuprit, seniman pengidung dan pelawak ludruk asal Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Telah puluhan tahun ia tampil dari satu panggung ke panggung lain kesenian ludruk.

OLEH ABDUL LATHIF

Ia menekuni kesenian tradisional itu sepenuh hati sesuai pesan sang ayah. "Kalau saya tak bisa serius menekuni dunia seni, lebih baik mundur saja," kata Agus Kuprit menirukan pesan ayahnya.
Jadilah pria bernama asli Agus Ali Sahid ini memantapkan pilihan hidupnya sebagai seniman ludruk tobong. Tahun 1974 ia belajar bermain ludruk, melawak, dan melantunkan kidung kepada para seniman senior, khususnya sang ayah, almarhum Maripen, seniman ludruk tobong.
Ia ikut rombongan ludruk berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, melakoni kehidupan tobong dan merasakannya. Meski ketika itu sebtas membantu mendekorasi panggung.
"Siang hari sekolah, malamnya saya ikut main ludruk dan mulai bisa ngidung tahun 1976," kata Agus Kuprit yang kala itu pelajar STM Pancasila, Semarang, Jawa Tengah.
Bersekolah sambil main ludruk, dinikmati Agus Kuprit. Apalagi dalam usia muda dia sudah bergabung dengan grup ludruk tobong Jawa Timur pimpinan A Manab (almarhum) yang waktu itu setiap malam tampil di panggung Taman Hiburan Rakyat (THR) Semarang, hingga sekitar 1977-an
"Kami dipaksa pindah, tak boleh lagi nobong di THR karena kabarnya mau dibangun pusat pertokoan. Jadilah kami pindah nobong keliling ke berbagai tempat seperti Pekalongan, Tegal, Purwokerto, dan Kebumen," kenangnya.
Seiring kepindahan grup ludruk tobong Jawa Timur dari Kota Semarang, kelanjutan pendidikan Agus Kuprit pun terputus hanya sampai kelas II STM.
Tak lagi bersekolah, membuat Agus Kuprit sepenuhnya belajar menjadi seniman. Selama tiga tahun, sang ayah, Maripen dan Pakde Gondo, seniman tobong lainnya, menempanya, terutama sebagai pelantun kidung dan pelawak.
"Saya dan seniman ludruk dari Jawa Timur, seperti Cak Momon, Cak Handoyo, dan Cak Anton, dikontrak pabrik jamu. Kami manggung berkeliling Pulau Jawa, dari Banyuwangi sampai Jakarta. Saya juga sempat bergabung dengan ludruk Tansa Katon pimpinan Pak Kusno dan ludruk Rukun Santoso milik TNI AD di Solo," katanya.
Sampai sekitar tahun 1990 Agus Kuprit pindah dari satu panggung ke panggung lain menghibur penonton. "Saya sempat manggung di Kotabumi, Lampung, dan bertemu wong Krembung (tetangga desanya) yang jadi transmigran sukses sebagai petani cengkeh. Rombongan kami lalu diundang makan di rumahnya," ceritanya.

Pahit manis

Sebagai seniman panggung keliling, Agus Kuprit telah merasakan pahit manisnya kehidupan seniman ludruk tobong. Meski permintaan naik panggung tak selalu ada, tetapi mereka umumnya tetap setia melakoni pilihan hidupnya.
"Saya pernah mengalami sekitar sebulan tak main, karena setiap malam hujan. Waktu itu saya bersama ludruk Tansa Katon di Kota Salatiga. Jadilah untuk makan pun saya mencari dan memasak beton (biji buah nangka) karena waktu itu sedang panen nangka," kisahnya.
Bagi Agus Kuprit, kondisi seperti itu bak ujian bagi keteguhannya menekuni seni ludruk. "Kalau niat kita sudah bulat, rasanya tidak ada yang susah. Walaupun kita harus tidur di mana saja, justru kondisi ini yang mematangkan kemampuan sebagai pemain ludruk," katanya.
Tak hanya tampil di panggung terbuka, Agus Kuprit bersama seniman ludruk di Surabaya juga pernah bermain di klub malam di kawasan Basuki Rachmat, Surabaya. "Sekitar tahun 1980-an saya ngeludruk di klub malam LCC dan Shinta," katanya.

Tidak pasti

Penghasilan sebagai seniman ludruk memang tak pasti. Dia bercerita, sekitar 1970-an, honor pemain ludruk tobong keliling sekitar Rp 150 per hari. Namun, saat mereka dikontrak sebuah perusahaan, misalnya, bayarannya bisa mencapai Rp 25.000 per bulan.
Meski kondisinya seperti itu, Agus Kuprit tetap bersyukur. Dari penghasilannya sebagai seniman ludruk ia bisa membiayai pendidikan kedua anaknya hingga perguruan tinggi. Selain itu, setelah tinggal di rumah mertua, dia bisa membangun rumah sendiri di Kaplingan Kenongo, Tulangan, Sidoarjo, tahun 1994.
"Jadi seniman itu tak terus langgeng. Ibarat bunga, bisa mekar lalu layu. Jadi, waktu mekar seniman jangan foya-foya biar hari tuanya tak sengsara," katanya.
Agus Kuprit bercerita, pada 1991 ia menghibur hadirin di TVRI Surabaya. Salah satu di antaranya Menteri Penerangan Harmoko. "Saat makan bersama, saya ungkapkan kalau melamar menjadi pegawai RRI Surabaya, tapi belum dipanggil."
Harmoko lalu memanggil Kepala Stasiun RRI Surabaya, Zaenal Abas. Entah ada hubungannya atau tidak. Yang jelas, lanjut Agus Kuprit, "Alhamdulillah keinginan saya menjadi pegawai RRI terkabul."
Sebagai seniman ludruk yang piawai melantunkan kidung jula-juli dan melawak, dia merasa gelisah tatkala generasi penerus kidungan jula-juli di Surabaya dan Sidoarjo belum muncul.
"Saya sudah tua, siapa yang akan meneruskan? Anak muda suka bimbang, mereka ragu memilih menjadi seniman ludruk. Padahal kalau ditekuni serius, saya yakin sandang pangan tercukupi," kata Agus Kuprit yang juga anggota ludruk RRI Surabaya sejak 1991 hingga kini.
Selain lewat radio, dia berharap bibit baru seniman ludruk bakal muncul lewat kompetisi kidungan jula-juli, seperti yang diadakan Surabaya Plaza Hotel maupun festival ludruk remaja/pelajar di Jawa Timur yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.
Selain itu, Taman Budaya Jawa Timur juga menggelar program ludruk lintas generasi. "Saya paling senang menjadi juri lomba kidungan remaja atau pelajar. kalau menjadi juri lomba kidungan untuk umum, saya paling malas karena orangnya sudah kenal," katanya.
Cak Agus Kuprit pun berdendang, Onok ulo ngeduk sumur/Manuk mliwis kok gawe sarang/Negoro kito pancen adil lan makmur/makmur wis, adile dhurung........

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 22 JULI 2011

Mudjijo, Guru bagi Para Petani


BIODATA

Nama : Mudjijo
Lahir : 22 Maret 1953
Pendidikan : Sekolah Menengah Ekonomi Atas
Istri : Hindun Suratih
Anak :
- Maharani Saptaning Wulan
- Isnan Mahardi Fajar
- Jenar Pratiwi Mahardini
Pengalaman :
- Ketua Kontak Tani Nelayan andalan (KTNA) Kabupaten Kediri, 1989-1994 dan
1999-2005
- Wakil Ketua KTNA Provinsi Jatim, 2000-2005
- Sekretaris Ikatan Persaudaraan Petani Hortikultura Kediri, 1998-kini

Di negeri agraris ini,petani justru menjadi potret ironi. Nasib mereka sering kali termarjinalkan, terbelenggu kemiskinan serta kebodohan. namun, Mudjijo tak surut untuk memperjuangkan nasib petani.

Oleh RUNIK SRI ASTUTI

Rumah Mudjijo di Dusun Mangunrejo, Desa Bangkok, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa timur, tak pernah sepi kendati terletak di pelosok desa yang jalannya tak beraspal. Mulai dari pelajar sekolah menengah kejuruan pertanian, profesional, hingga pejabat dinas suka mampir ke rumah tersebut.
Di kalangan masyarakat pertanian, rumah Mudjijo dikenal sebagai sekolah lapangan. Di sini para petani bisa menimba ilmu. Mereka belajar teknik bercocok tanam secara benar, memproduksi pupuk organik sendiri, menganalisis tanaman dan hasil panen, sampai belajar ekonomi pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan.
Para muridnya tak hanya berasal dari Kabupaten Kediri dan sekitarnya, tetapi dari berbagai wilayah di Nusantara. Dua bulan lalu misalnya, sejulah delegasi dari jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Bali dikirim oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Pertanian bekerja sama dengan Balai Diklat Pertanian, untuk belajar di rumah Mudjijo.
Mereka belajar membuat pupuk organik dan dekomposer. Semua ilmu yang dikuasai Mudjijo diberikan gratis. Bahkan, dia tak mengeluh jika harus mengeluarkan dana untuk kegiatan mengajar itu. Padahal, ia bukan petani tulen kendati mewarisi darah petani dari sang ayah.
Ia tertarik pertanian karena iba melihat nasib petani di sekelilingnya, yang selalu dikalahkan oleh pedagang. Rasa iba yang kuat membuat dia memutuskan keluar dari pekerjaan yang memberikan kehidupan layak sebagai pegawai bimbingan masyarlat (bimas) di BRI. Ia memilih menjadi pembela petani.
Dengan modal tanah sepetak warisan mertuanya, Mudjijo belajar teknik pertanian secara otodidak. Produktivitas pertanian yang terpuruk setelah 1994 dan mengakibatkan petani jatuh miskin membuat dia gelisah.
Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah kondisi tanah pertanian yang jenuh karena kehilangan unsur hara.
Unsur hara hilang setelah eksploitasi besar-besaran melalui pemakaian pupuk anorganik demi menyukseskan program swasembada pangan.
"Idealnya, kandungan unsur hara dalam tanah minimal 5 persen. Tetapi faktanya kandungan unsur hara dalam tanah pertanian kita kurang dari 2 persen. Akibatnya tanaman tak tumbuh maksimal," ujarnya.

Pupuk organik

Untuk mengembalikan produktivitas pertanian, ia berupaya membuat pupuk organik yang dapat mengembalikan kandungan unsur hara tanah. Butuh waktu bertahun-tahun sampai ia menemukan formula pembuatan pupuk organik yang efektif dan efisien. Efektif artinya tepat guna, sedangkan efisien berarti teknik pembuatannya sederhana dan berbiaya murah .
Bahan dasar pembuatan pupuk harus mudah didapatkan di lingkungan sekitar petani. Setelah melalui proses mencoba dan gagal, Mudjijo memilih bahan dasar pupuk itu adalah kotoran sapi, ayam atau kambing, sekam, bekatul, air bersih, dan dekomposer.
Dia lalu melangkah pada teknik pembuatan pupuk. Teknik ini harus mudah agar petani tertarik. Caranya, ia mencampur dekomposer dengan air. Dekomposer bisa dibikin atau dibeli di toko pertanian. Mudjijo pun menemukan formula pembuatan dekomposer.
Proses selanjutnya adalah mencampur kotoran hewan, sekam, bekatul. Setelah semua campuran selesai diproses barulah campuran dekomposer dituangkan ke dalam campuran kotoran hewan, dan diaduk. Kadar airnya harus 30 persen agar hasil pupuk bagus.
Bahan yang telah dicampur itu lalu ditata setinggi 40 sentimeter. Taburkan sisa bekatul tipis-tipis ke gundukan tersebut dan tutup rapat dengan karung goni. Setelah dibiarkan selama tiga hari, pupuk organik siap digunakan. Pupuk ini bisa disimpan sampai empat bulan.
Adapun kebutuhan pupuk organik untuk tanaman padi rata-rata 4.000 kilogram per hektar, jagung 2.000 kilogram per hektar, dan tebu 2.000-3.000 kilogram per hektar. Pemakaian pupuk organik akan mengurangi penggunaan pupuk anorganik seperti urea, ZA, NPK, dan SP 36.
Dengan demikian, biaya produksi petani jauh lebih murah karena ongkos pembelian pupuk anorganik dipangkas. Petani juga tak pusing dengan pasokan pupuk anorganik yang tak pasti dan harganya sering dipermainkan tengkulak.
Sukses merintis pembuatan pupuk organik dan dekomposernya, Mudjijo merintis pengembanagan pertanian hortikultura, khususnya komoditas cabai yang menjadi produk pertanian andalan di Kabupaten Kediri.
ia memelopori pembentukan Ikatan Persaudaraan Petani Hortikultura Kediri (IPPHK), yang beranggotakan petani cabai dan pedagang cabai. Untuk menguatkan organisasi ini, mereka menggandeng distributor perusahaan produsen benih cabai dan sarana pertanian.
Kelompok ini rajin mengakses informasi dari berbagai sumber mengenai perubahan iklim dan pola tanam. Dengan begitu, mereka bisa mengendalikan produksi cabai. Dampaknya, harga cabai terkendali. Mudjijo misalnya, bisa mengetahui berapa luas area tanaman cabai setiap bulan. Ia juga bisa mengetahui berapa luas lahan cabai yang akan panen. Informasi mereka lingkupnya nasional.
"Di Jatim misalnya, luas areal tanaman cabai per tahun tak lebih dari 800 hektar. Sekitar 400 hektar di antaranya ditanam pada Oktober-Desember, sisanya merata setiap bulan. Produksi tanaman cabai pada Januari-Maret rata-rata 40-50 ton per hari. Jika produksi lebih dari itu, harga akan jatuh di bawah Rp 6.000 per kilogram," katanya. Berbekal informasi itu, IPPHK menanam cabai berdasarkan hasil analisis.
Mudjijo juga mengajari petani mencari "ceruk" pasar, antara lain dengan mendekati produsen makanan olahan yang memproduksi saus cabai. Dengan jaringan pasar yang luas, petani tak kesulitan menjual produknya.

Penghargaan

Atas jerih payahnya memajukan industri pertanian, Mudjijo mendapat banyak penghargaan. Penghargaan pertama tahun 1989 untuk Kelompok Marditani yang dia pimpin.saat itu MArditani mendapatkan juara 3 nasional di bidang pengembangan tebu rakyat. Pada 1992 ia mengantarkan Unit Himpunan Supra Insus Kabupaten Kediri sebagai juara nasional di bidang tanaman pangan.
Selain bidang pertanian, Mudjijo juga gemar berorganisasi. Alasannya, berorganisasi membuat kita punya posisi tawar. Apalagi jika organisasi itu dilandasi semangat persatuan. Menurut dia, petani di Tanah Air lemah posisinya karena mereka tidak bersatu. Selama petani bersikap seperti ini, nasib mereka sulit berubah.
Maka, Mudjijo bermimpi para petani mau bersatu. Segelintir petani sudah mewujudkannya, antara lain lewat persatuan petani berbasis komoditas seperti Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), dan IPPHK yang dia rintis.
APTRI bisa bernegosiasi dengan pemerintah dan pedagang gula mengenai harga dasar gula. Sedangkan IPPHK dapat mengontrol produksi cabai untuk menstabilkan harga jual. Tinggal bagaimana bisa menyatukan petani padi dalam suatu organisasi agar mereka juga punya posisi tawar.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 6 JULI 2009

Rabu, 20 Juli 2011

Irawati Kusumorasri : Misi Melestarikan Seni Tradisi Jawa


DRA IRAWATI KUSUMORASRI MSN

Lahir : Solo, 12 Desember 1963
Pendidikan :
- SD Negeri 56 Bromantakan, Solo, lulus 1975
- SMP Negeri 5, Solo, 1978
- SMA Negeri 1, Solo, 1982
- S-1 Fakulta Sastra UNS, Solo, 1988
- S-2 ISI Surakarta
Anak : Randi Pratama Kusuma (23), Sonia Vianitya Kusuma (20)
Pencapaian antara lain : Menjadi penari dalam berbagai misi kesenian, seperti Pembukaan Kodomono Shiro Tokyo, Jepang (1986), Misi Mangkunegaran ke Perancis, Inggris, dan Jepang (1989 dan 1990), Misi Mangkunegaran ke Malaysia (1992), Misi Pemkot Solo ke Jerman (1993), Misi Pura Mangkunegaran ke Rusia (1994), Sardono Dance Theater ke Jepang (1997), Misi Seni Pameran Indonesia Tourism ke Kamboja (2007), Pameran Budaya Islam ke Kuwait (2008), Misi Kesenian Indonesia ke Belanda (2009 dan 2010)
Karya tari antara lain :
- Oncat, Srimpi Topeng Sumunar, 1994
- Operet Timun Mas, 1996
- Shinta Obong, 1997
- Beksan Sekar Ratri, 1999
- Srimpen Kendhi Sekar Putri, 1999
- Bedhaya Kakung Siguse, 2000
- Sekar Jagad, 2002
- Kabut Jingga di Atas Sekaran, 2003
- Putri Tebu, 2006
- Behind of Langendriyan Mangkunegaran, 2007
- Wedhatama, 2008
- Tari Batik Solo Kuncoro, 2010

Kesenian tak akan hidup jika tidak dipentaskan dan didukung masyarakatnya. Maka, harus ada pelaku seni yang menggelar pementasan, termasuk memublikasikannya. Dengan terus dipentaskan, kesenian akan mendapat tempat di hati masyarakat, sehingga bisa lestari.

OLEH REGINA RUKMORINI & SONYA HELLEN SINOMBOR

Berangkat dari pemahaman itulah, Irawati Kusumorasri selama 13 tahun terakhir membagikan ilmu tarinya kepada anak-anak di Kota Solo, Jawa Tengah, dan sekitarnya lewat sanggar tari Semarak Chandra Kirana Art Center. Hingga kini, sudah sekitar 1.000 anak yang pernah belajar di sanggarnya.
Pada saat didirikan tahun 1998, Semarak Chandra Kirana Art Center hanya wadah pembelajaran seni tari Jawa. Dalam perkembangannya, sanggar ini memberikan pelatihan beragam seni tradisi seperti karawitan, membatik, serta melukis wayang dan topeng.
"Dengan sanggar tari ini saya tak mengambil untung. Ini sanggar paling murah, biayanya Rp 20.000 per bulan," kata Ira, panggilannya.
Misinya membentuk sanggar tari tak sekadar menjadikan anak-anak penari, tetapi memengaruhi banyak orang mencintai kesenian. "Saya ingin mereka mau memelihara kesenian sesuai dengan bidang masing-masing,"
Maka, demi mewujudkan impiannya melahirkan generasi penerus pelestari kesenian, Ira merekrut anak-anak dan remaja belajar seni tari dan kesenian lainnya di sanggar. Meski biaya kursusnya murah, tak banyak orangtua yang membawa anaknya bergabung. Kalaupun ada anak yang mau belajar menari Jawa, mayoritas datang dari keluarga tak mampu. Ira lalu menerapkan sistem "subsidi" di sanggar. Mereka yang kurang mampu mendapat keringanan biaya kursus, bahkan digratiskan. Langkah ini diambilnya, agar anak-anak yang telah belajar tari tak berhenti.
"Kebanyakan murid saya yang berasal dari keluarga tak mampu justru berbakat dan serius menggeluti seni. Saya sedih jika mereka sampai berhenti kursus hanya gara-gara biaya," ujar Ira yang selama tiga tahun terakhir tak menaikkan tarif kursus, meski antara pemasukan dan kebutuhan operasional latihan tak seimbang.

Dominasi perempuan

Kini, murid di sanggarnya berjumlah sekitar 100 orang, dan 99 persen di antaranya perempuan. "Sulit mendapatkan murid laki-laki yang mau belajar menari Jawa. Tari Jawa dipandang sebagai tari lembut, jadi jarang ada orangtua yang mau anak laki-lakinya kursus tari Jawa," ujarnya.
Untuk melatih para murid di sanggar, Ira dibantu lima guru yang berasal dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Semangat Ira memelihara kesenian, terutama tari Jawa, mendapat dukungan teman-temannya. jadilah sistem honor guru di sanggar pun diselesaikan secara kekeluargaan.
"Hasil pembayaran dibagi lima, buat para guru. Uang itu lebih sebagai pengganti biaya transport ketimbang honor. Ternyata mereka punya dedikasi tinggi dalam melatih anak-anak," ujarnya.
Ira tak pernah mengambil uang dari pembayaran biaya kursus murid untuk dirinya. Hal yang sama dia lakukan saat anak-anak didik Semarak Chandra Kirana Art Center pentas dan menerima honor yang nilainya di bawah Rp 5 juta.
Sesekali Ira mengambil uang hasil pentas, jika sanggar memperoleh tawaran dengan bayaran hingga belasan atau puluhan juta rupiah. Untuk kebutuhan sehari-hari, ia menggunakan uang hasil penjualan batik yang dia buat sendiri, dan gaji sebagai pengajar di Akademi Seni Mangkunegaran.

Sejak lima tahun

Ira adalah penari Jawa klasik di Pura Mangkunegaran, Solo. Dia belajar tari tradisi Jawa sejak berusia lima tahun. Bahkan sejak duduk di bangku SMP, ia sering tampil menari bagi turis yang berkunjung ke Pura Mangkunegaran.
"Sejak dulu saya punya uang saku dari hasil menari," ujar Ira yang merasa Pendopo Pura Mangkunegaran adalah tempat menari yang paling berkesan sepanjang hidupnya.
Kemampuan menarinya semakin meningkat saat kuliah di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Demikian pula ketika ia bergabung dengan Badan Koordinasi Kesenian Tradisional (BKKT) UNS, hingga menguasai tari bedoyo. Ira lalu terlibat dalam berbagai misi kebudayaan ke banyak negara, seperti Jepang, Kamboja, dan Belanda.
"Kenyang" dengan berbagai pengalaman menari, Ira lalu berbagi ilmu sekaligus melestarikan seni Jawa lewat Semarak Chandra Kirana Art Center. "Murid awal sanggar ini adalah anak-anak teman saya. Jumlahnya ketika itu sekitar 25 anak,"
Kini, setiap empat bulan ia merekrut calon murid lewat tes, melalui berbagai kegiatan bekerja sama dengan mal atau hotel. Cara ini efektif untuk menjaring lebih banyak murid sekaligus mempromosikan tari Jawa.
Pengalaman menari, membuat Ira pada 2006 dan 2007 dipercaya Kementerian Luar Negeri untuk melatih peserta Program IACS (Indonesia Art and Culture Scholarship) dari berbagai negara, untuk belajar seni budaya Jawa. "Walaupun dari berbagai negara, tetapi setelah dikenalkan dengan kesenian Jawa, mereka biasanya langsung jatuh cinta," ujarnya.
Selain itu, awal Juli lalu Ira dipercaya menjadi Ketua Panitia Solo International Performing Arts (SIPA), yang berlangsung 1-3 Juli di Solo. Ia merekrut sekitar 100 mahasiswa untuk terlibat sebagai panitia. "Dengan terlibat di SIPA, mereka semakin mencintai kesenian," ujarnya.
Sukses menggelar SIPA, Ira ingin menjadikan tari sebagai obyek wisata. Ia bertekad tetap melatih generasi penerus seni tradisi Jawa, dengan menggandeng lebih banyak anak-anak termasuk dari keluarga mampu untuk belajar tari.
"Saya punya ilmu dan keterampilan menari. Berdosa jika semua itu saya bawa sampai mati tanpa meneruskannya kepada generasi muda," kata Ira menambahkan.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 21 JULI 2011

Selasa, 19 Juli 2011

Ki Ledjar Soebroto, di Kaki Jalan Layang


DATA DIRI

Nama : Jariman atau Ki Ledjar Soebroto
Lahir : Wonosobo, Jawa Tengah, 20 Mei 1938
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Istri : Kardjiyah (75)
Anak : Tujuh orang
Pencapaian : Berbagai karyanya menjadi koleksi museum nasional dan internasional, seperti Museum of Anthropology (Dominique Major) Kanada, Museum Westfreis di Hoorn, Belanda, Dr Walter Angst di Salem, Jerman, Museum Sonobudoyo Yogyakarta, dan Museum Wayang Jakarta.
Penghargaan :
- Penghargaan Seni 1997 dari Pemprov DI Yogyakarta
- Penghargaan Gatra 1995 atas kepeloporan, kreativitas, dan inovasi dalam
menghidupkan wayang kancil yang nyaris punah.

Di kaki tiang-tiang pancang jalan layang Lempuyangan, Yogyakarta, terpampang deretan lukisan bernuansa etnik Jawa. Sebuah lukisan dengan latar Keraton Mataram dalam warna-warna terang. Inilah salah satu karya Ki Ledjar Soebroto, seniman tradisional sekaligus dalang wayang kancil dari Yogyakarta yang tetap berkarya hingga usia senja.

Oleh IRENE SARWINDHANINGRUM

Tubuh yang ringkih dan rambut memutih tak bisa menghentikan dia untuk berkarya. Mural bertema penyerbuan Sultan Agung ke Batavia diselesaikan akhir tahun 2007 saat usianya telah lewat 69 tahun.
Bersama enam seniman tradisional Yogyakarta dan anggota Sanggar Wayang Kancil asuhannya, K i Ledjar mengerjakan mural atau lukisan dinding berjudul Tanda dari Jogja itu. Karya itu mengubah ruang bawah jembatan layang yang semula dipenuhi coretan menjadi tak ubahnya ruang pameran.
Meski tak banyak orang tahu siapa penciptanya, lukisan dinding berukuran "raksasa" itu bisa jadi karya Ki Ledjar yang terbanyak dilihat orang. Namun, bagi dia, lukisan itu hanyalah slah satu dari ratusan karya yang pernah dibuatnya demi melestarikan seni wayang terutama wayang kancil.
Wayang-wayang kancil buatan Ki Ledjar telah menghuni sejumlah museum di dalam dan luar negeri, termasuk Museum Wayang Jakarta dan Ubersee di Bremen, Jerman. Terlepas dari prestasi yang telah dia capai, kegelisahan masih merundung sang dalang tua. Inilah yang menjadi sumber kegelisahan itu.
"Mengapa seni wayang malah tak mendapat tempat di negeri sendiri? Padahal, penghargaan dari negeri-negeri asing begitu tinggi?" ucapnya bernada prihatin.
Pertanyaan itu timbul saat semakin banyak pesanan membuat wayang datang dari luar negeri, seperti dari Jerman, Jepang, Perancis, dan Belanda. Namun, pesanan dari negeri sendiri justru makin tak pasti. Beberapa kali dia diundang memainkan wayang kancil di depan warga asing, tetapi undangan dari dalam negeri bisa dihitung dengan jari.
Setahun yang lalu, mantan pemain wayang orang ini diundang memainkan wayang kancil di Belanda. Selain tampil dan memberikan kursus membuat wayang di berbagai museum, Ki Ledjar juga tampil di Pasar Malam Tong-tong, festival seni dan budaya yang digelar setahun sekali di Den Haag, Belanda. Sebuah media lokal merekam pementasan dalang wayang kancil Ki Ledjar itu, sebagai salah satu pertunjukan yang mendapat sambutan meriah.
Pada Mei tahun ini, ia kembali mendapat undangan pada acara yang sama. tak hanya di Belanda, Jerman dan Perancis pun akan dia jelajahi bersama sekotak wayang kancil dan wayang revolusi karya terbarunya.

Keluarga dalang

Terlahir dari keluarga dalang Ki Hadi Sukarto di lereng Gunung Sumbing, Wonosobo, Jawa Tengah, lelaki yang bernama asli Jariman itu bisa dibilang telah bergelut dengan wayang seumur hidupnya.
Memasuki usia 17 tahun, gairah menimba ilmu pedalangan membuat dia meninggalkan kampung halaman untuk nyantrik (berguru sekaligus melayani) kepada dalang terkenal Ki Narto Sabdo. Dalam masa nyantrik itulah nama Ledjar dia peroleh.
"Karena bisa membuat Ki Narto Sabdo tertawa, saya diberi nama Ledjar, yang artinya tenteram dalam kesenangan," ujar dia di rumahnya yang merangkap bengkel pembuatan wayang.
Puas nyantrik, timbul niat Ledjar muda untuk mandiri. Berbekal keahlian mendalang dan membuat wayang, ia merantau ke Yogyakarta. Masa awal di kota ini tak mudah baginya.
Ledjar harus menghidupi diri dengan menjadi buruh mewarnai wayang. Berbagai pasar malam dia telusuri untuk menjual wayang garapannya. Untuk menambah pendapatan yang kerap tidak memadai, ia menyambi berjualan rokok ketengan dan "buntut" (lotre) berhadiah.
Sambil berjualan, Ledjar muda mengumpulkan uang. Modal yang terkumpul itu dia gunakan mendirikan Sanggar Wayang Kancil yang hingga kini menjadi sumber nafkahnya. Minatnya terhadap wayang kancil mulai tumbuh sekitar tahun 1980. "Tidak banyak orang yang mendalami wayang jenis ini. Padahal, wayang kancil bisa menjadi media yang tepat untuk mengajarkan pendidikan seni dan budaya, terutama kepada anak-anak," katanya memberi alasan.
Wayang kancil adalah jenis wayang yang ceritanya berkisar tentang dongeng kancil dan hewan-hewan lainnya. Konon, wayang ini diciptakan Sunan Giri sekitar tahun 1808 untuk mengajarkan agama Islam. Alur ceritanya sederhana sehingga wayang kancil mudah dipahami anak-anak atau orang yang tidak terlalu mengenal wayang. Wujud wayang kancil pun relatif menarik dengan warna-warni cerah.
Namun, kisah yang sederhana bukan berarti tak berbobot. Secerdas kancil, tokoh kesayangannya, Ki Ledjar lihai menyisipkan pesan-pesan moral dalam setiap pementasan. Pesan untuk melestarikan alam merupakan salah satu favoritnya. Untuk menguatkan pesan yang ingin disampaikan, Ki Ledjar memadukan dongeng dengan kondisi zaman kini.
Suatu kali, misalnya, Ki Ledjar menghiasi kali (sungai kecil) dalam kisah Kancil Nyabrang Kali dengan berbagai sampah, termasuk pakaian dalam wanita. Pementasannya di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta beberapa waktu lalu itu bisa membuat penonton tertawa.

Wayang revolusi

Tidak berhenti pada wayang kancil, kreativitas Ki Ledjar terus berkembang. Karya terbarunya adalah satu set wayang revolusi akan diluncurkan di Museum Bronbeek di Delft, Belanda, Mei nanti. Wayang revolusi ini menggambarkan tokoh-tokoh revolusi di Indonesia, termasuk Bung Karno dan Bung Hatta.
Dalam acara itu, turut pula diluncurkan game komputer wayang kancil karya cucu Ki Ledjar yang mewarisi darah seninya, Ananta Wicaksono (25).
Dari tujuh anak, 15 cucu, dan dua cicit, hanya Nanang, panggilan mahasiswa Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, yang meneruskan karya Ki Ledjar.
"Saya ikut Ki Ledjar sejak umur satu tahun. Saya juga sering ikut tampil bersama (Ki Ledjar). Dari pengalaman tampil itulah, saya belajar seni pedalangan," kata Nanang yang juga mahir mendalang.
Akan tetapi tak seperti dalang yang biasa dibayar jutaan rupiah sekali tampil, karya panjang Ki Ledjar tak memberinya banyak harta. Rumahnya di kawasan Jalan Mataram, Yogyakarta, relatif sederhana. Ini kontras dibandingkan dengan barisan pertokoan di sekelilingnya.
Namun, memang bukan harta yang dicari Ki Ledjar. Pada masa senjanya, ia hanya ingin terus berkarya untuk melestarikan warisan leluhur. Maka, kaki tiang-tiang pancang jembatan layang Lempuyangan itu seperti terus mengokohkan tekadnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 29 APRIL 2009

Senin, 18 Juli 2011

Enday, Wayang Golek dari Bogor


DATA DIRI

Nama : Enday Media
Lahir : Bogor, 5 Juni 1974
Istri : Lies Rosmanah
Anak :
- Adelia (8)
- Ramon (3)
Pendidikan : SMA
Profesi : Perajin wayang golek

Semula dia malu menjadi anak perajin wayang golek. Namun, kemudian terbukti justru wayang golek-lah yang membuat Enday Media bisa membeli rumah dan mencukupi kebutuhan keluarga besarnya.

Oleh FX PUNIMAN

Sebagai anak seorang perajin wayang golek, pria bernama Enday Media ini merasakan sendiri kehidupan sehari-hari keluarga perajin. Ayahnya, Entang Sutisna (62), seorang perajin wayang golek. Anak kedua dari lima bersaudara ini tahu betul bagaimana hasil jerih payah sang ayah sering kali tak bisa membuat asap dapur mengepul.
"Wayang golek yang dibuat berhari-hari itu susah dijual.Sebulan hanya laku sekitar empat buah, harganya ketika itu Rp 1.000," cerita Enday tentang kondisi tahun 1970-an itu. Pesanan terbanyak yang diingatnya adalah dari Presiden Soeharto pada 1972, yakni 120 buah wayang golek.
Padahal menjadi perajin wayang golek bisa dikatakan sebagai salah satunya keahlian Entang. Sejak tahun 1960-an dia berusaha keras menghidupi keluarga dengan membuat wayang golek. Di Desa Sukamantri, di kawasan Gunung Salak, Bogor.
Mengalami sendiri sulitnya kehidupan perajin wayang golek membuat Enday tak ingin menjadi penerus jejak sang ayah. Meskipun sebenarnya sejak masih duduk di bangku SMP, dia sudah piawai membuat wayang golek.
Oleh karena itu, begitu lulus dari SMA, Enday langsung mencari pekerjaan lain. Dia tidak berminat untuk lebih mengembangkan kepandaiannya membuat wayang golek.
"Begitu lulus SMA tahun 1993, saya memilih bekerja di sebuah hotel di Kota Bogor. Pekerjaan ini menjadi pilihan utama saya karena mendapatkan uang dari gaji rutin bulanan itu lebih menjamin kehidupan keluarga," ujarnya.
Entang tidak menghalangi keinginan ssang anak. Meski tahu Enday punya kemampuan sebagai perajin wayang golek, dia memutuskan untuk menerima apa pun keputusan sang anak.
Bertahun-tahun bekerja sebagai karyawan rupanya tidak membuat Enday sepenuhnya meninggalkan dunia wayang golek. Pada waktu senggang dia tetap membantu Entang membuat wayang golek.
"Saya lihat produksi wayang golek kami sudah banyak, tetapi sedikit sekali yang terjual," ucap pria berusia 35 tahun ini.
Melihat kondisi itu, Enday tak bisa tinggal diam. Dia lalu berinisiatif membawa wayang golek produksi mereka ke berbagai tempat di Bogor. Mulai tahun 2000, di mana pun ada kesempatan, Enday berusaha mempromosikan wayang golek buatan Desa Sukamantri ini.
"Bila jam kerja malam hari, siangnya saya menawarkan wayang golek ini ke turis mancanegara yag singgah di KRB (Kebun Raya Bogor). Saya juga mengadakan pendekatan dengan para pemandu wisata di Tourism Information Center (TIC) di Taman Topi Kota Bogor. Di sini kan sering kedatangan para wisman," katanya.
Berkat bantuan para pemandu wisata di TIC pula, wayang golek buatan Enday dan Entang mulai diminati para pelancong. Informasi dari mulut ke mulut membuat sejumlah pemandu dari biro perjalanan di Jakarta pun mengenal pusat kerajinan wayang golek ES (Entang Sutisna). Jadilah, permintaan akan wayang golek meningkat seiring dengan minat para wisman akan kerajinan ini.

"Menjual" bengkel

Sekitar setahun kemudian, Enday terpikir untuk tidak sekadar menjual produk wayang golek, tetapi juga memberi kesempatan para wisman melihat langsung pembuatan wayang golek itu di tempatnya.
"Saya pikir, bengkel juga bisa dijadikan salah satu tempat tujuan wisata," ucap Enday.
Namun, mengingat Desa Sukamantri sering kali macet karena padatnya mobil-mobil angkutan kota, bengkel lalu dipindahkannya ke sebuah rumah kontrakan di Sirnagalih, Kelurahan Loji, Bogor.Lokasi bengkel ini sekitar 3 kilometer dari Kota Bogor.
"Kalau bengkel tetap di Sukamantri, bus-bus yang ditumpangi rombongan wisman bakal kesulitan mencapainya," ujar Enday yang memindahkan bengkel golek itu tahun 2001.
Semakin banyaknya peminat wayang golek membuat dia lebih memerhatikan pembuatan kerajinan itu. Khawatir tak bisa membagi waktu sebagai perajin dan karyawan, Enday kemudian memutuskan keluar dari hotel tempatnya bekerja.
Bengkel wayang goleknya lalu dia beri nama Media Art & Handycraft Bogor. Enday benar-benar beralih "haluan". Pekerjaan yang dulu dia hindari kini menjadi tumpuan keluarga besarnya.
Sebagai "tulang punggung", pemahat wayang golek itu tetap Entang Sutisna dan Enday. Ada pun yang bertugas memberi warna atau mengecat wayang golek adalah salah seorang adik Enday dan dua kerabatnya.
selain itu, dia juga melibatkan sang bunda, Mumun, dan istrinya, Lies Rosmanah, untuk menjahit baju-baju wayang golek. Mereka dibantu dua orang lagi yang bertugas memotong kayu lame, bahan baku pembuatan wayang golek.

Mulai melonjak

Tahun 2005 pesanan dan penjualan wayang golek untuk para wisman bisa dikatakan sudah rutin. Untuk menambah modal, Enday menjaminkan sertifikat rumah tinggal yang dia beli dari hasil penjualan wayang golek ke Bank Jabar di Kota Bogor. Rumah itu dia beli seharga sekitar Rp 70 juta.
"Saya bisa mendapatkan kredit sebesar Rp 45 juta, yang dapat diangsur selama lima tahun," kata Enday, yang awal Juli lalu mendapat pesanan 360 wayang golek berukuran sekitar 40 sentimeter dari berbagai tokoh, mulai dari Rama, Sinta, sampai Semar dan Cepot, dari sebuah hotel bintang lima di Jakarta.
Selain itu, sejak 2002 dia juga mendapat pesanan rutin. Ada pun penjualan ecerannya antara 40 hingga 50 buah per bulan, dengan kemampuan produksi bisa ssampai 10 wayang golek per minggu.
"Kami tidak lagi menjajakan wayang golek kepada wisman di KRB," kata Enday yang menguasai bahasa Inggris ini.
Para wisman umumnya memilih wayang golek tokoh Rama dan Sinta. "Bagi mereka, Rama Sinta itu versi Indonesia untuk Romeo Juliet," kata Enday yang menjual wayang goleknya sekitar 40 euro atau 50 dollar AS per buah. Untuk para wisnu (wisatawan Nusantara), wayang golek itu berharga sekitar Rp 300.000 per buah.
Kini Enday tentu tak malu lagi menjadi perajin wayang golek. Belakangan bahkan dia yang lebih banyak tinggal di bengkel, menyapa para tamu yang datang. Untuk memperluas pemasaran, Entang lebih berperan dengan mengikuti berbagai pameran yang disponsori Pemerintah Kota Bogor.
"Saya berangan-angan punya lahan untuk membangun ruang pamer, panggung pentas wayang golek, dan ruang bengkel kerja yang lebih luas. Biar para wisman bisa menikmati wayang golek mulai dari pembuatan sampai pertunjukannya," ujar Enday.

FX PUNIMAN
Wartawan, Tinggal di Bogor

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 16 JULI 2009

Kamis, 14 Juli 2011

Suhaimi : Patin, Bukan Nostalgia di Tanah Leluhur


SUHAIMI

Lahir : Bangkinang, kampar, Riau, 10 Juli 1968
Pendidikan :
- SD Negeri 02 Bangkinang
- SMP Negeri 1 Bangkinang
- SMA Negeri 1 Bangkinang
- Fakultas Perikanan UNRI, 1993
Istri : Nani Widyawati
Anak : Muhammad Arif Nugraha (9), Nafizah Cahyanihaimi (7)

Keputusannya mundur sebagai pegawai honorer peneliti pada Badan Pengembangan Teknologi Perikanan Riau, membawa perubahan luar biasa buat dirinya dan lingkungannya. Daerah perbukitan yang tak memiliki sumber air mengalir itu menjadi pemasok ikan patin terbesar di Riau. Dalam tempo tak sampai 10 tahun, produksinya menjelajah ke seluruh Pulau Sumatera. Lebih dari 80 persen warga di Desa Kotomasjid, Kecamatan XIII Kotokampar, Kabupaten Kampar, Riau, menggantungkan hidupnya pada ikan berkumis ("catfish") itu.

OLEH SYAHNAN RANGKUTI

Suhaimi seakan menjadi merek dagang patin di Riau. Rumahnya nyaris tak pernah sepi tamu. Ada yang ingin belajar budidaya patin, anggota DPRD yang mau studi banding, pegawai industri perikanan yang menawarkan produk, hingga instansi pendanaan yang menawarkan pinjaman. Tamunya dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Keberhasilannya membudidayakan patin tercermin dari rumahnya yang mentereng. Di garasi ada mobil yang dibelinya dua tahun lalu seharga lebih dari Rp 200 juta. Dari kolamnya seluas tujuh hektar, dalam sebulan dipanen sekitar 30 ton ikan patin yang dijual Rp 16.000 per kilogram (kg). Tak lama lagi, di belakang rumahnya ada pembenihan ikan di bangunan berukuran 15 x 30 meter, dengan produksi sekitar 1,5 juta ekor bibit ikan sebulan.
Tahun 1989 sebagian daerah di Kecamatan XIII Kotokampar dijadikan lokasi transmigran lokal. Wilayah perbukitan yang sulit air itu menjadi pusat relokasi warga Desa Pulau Gadang Lama yang ditenggelamkan untuk pembuatan Waduk Kotopanjang, satu-satunya pembangkit listrik tenaga air di Riau.
Masyarakat yang semula menggantungkan hidup sebagai penangkap ikan di Sungai Kampar, relokasi keperbukitan dirasakan menyiksa.Mereka terbiasa mencari ikan di Sungai Kampar dengan mudah, cukup menebar bubu (perangkap), jaring, memancing, atau menjala.
Di tempat baru, ikan menjadi barang langka, kerinduan akan ikan membuat beberapa warga yang semula berprofesi nelayan, nekat membuat kolam yang mengandalkan hujan. Maklum, nyaris tak ada sumber air mengalir di desa itu.
Meski sulit air, struktur tanah di tempat baru itu cocok untuk kolam. Dengan tekstur liat berpasir, kolam yang terisi air tak mudah meresap ke tanah.
Keistimewaannya itu mulanya tak bermanfaat. Petani yang mencoba menanam ikan mas dan ikan jelawat, hasilnya kurang maksimal. Kala itu kolam lebih berfungsi sebagai proyek nostalgia tanah leluhur.
Tahun 1998 atau setelah sembilan tahun lokasi transmigrasi berdiri, tiga penyuluh dan peneliti, pegawai honorer Badan Pengembangan Teknologi Perikanan (BTPP) Riau, yakni Suhaimi, Walternis, dan Mahyuni ditugaskan mengembangkan budidaya ikan patin di desa itu, Suhaimi, putra asli daerah Kampar, bertugas di Blok A, dua temannya di blok B dan C. Tugas mereka memperkenalkan teknik pembenihan, pembesaran ikan, dan pembuatan pakan sendiri.
Tak banyak petani tertarik program itu. Hanya lima orang yang mau membudidayakan patin di kolamnya. Ketika program itu berhasil, makin banyak petani yang membuka kolam patin.
Kehidupan Suhaimi pun berubah. Pada 2001, dia menyunting gadis desa, Nani Widyawati, menjadi istrinya. Setelah menikah, pilihannya dua, menunggu panggilan menjadi pegawai negeri di Pekanbaru atau bertahan di Desa Kotomasjid. Dia memilih bertahan.
Ia membuat usaha pembenihan ikan di belakang rumah mertuanya. Tujuannya, melanjutkan upaya mengembangkan patin. Ia juga membuka usaha pembuatan pelet, makanan ikan berharga murah. Bila pelet pabrikan seharga Rp 7.800 per kg, pelet buatannya Rp 3.000 per kg.

Perkebunan karet

Perikanan di Kotomasjid semakin berkembang tatkala air tanah ternyata mudah didapat. Bahkan di beberapa lokasi ada sumber air artesis. Usaha Suhaimi semakin maju ketika PT Telkom mencari mitra binaan di Desa Kotomasjid pada 2004.
Mulanya ia mendapat pinjaman Rp 10 juta dengan bunga enam persen. tahun 2007, dengan uang tabungan, dia membeli areal perkebunan karet di ujung desa seluas 3,6 hektar. Nilainya terbilang kecil sekitar Rp 3 juta per hektar. Kini harga lahan di Kotomasjid mencapai Rp 100 juta per hektar. Itu pun nyaris tak ada yang menjual.
Ia mengubah kebun karet menjadi areal kolam. Namun, ia kesulitan mencari sumber air. Dengan sistem tadah hujan, hanya sedikit areal kolam yang diairi.
Semula ia mau mengalirkan air dari jarak yang cukup jauh. Untuk membangun sistem pengairan itu dianggarkan Rp 26 juta.
Namun, seorang tukang pompa air tanah meyakinkan Suhaimi, di tanahnya ada sumber air. Ternyata di tanah itu memancar air setelah dibor sedalam 40 meter. Artesis itu mengairi 11 kolam di areal dua hektar, sampai kini. "Ini semua kuasa Tuhan," katanya.
Usahanya yang berkembang membuat lembaga keuangan lain melirik Badan Usaha Milik Daerah Riau, PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER), menyambanginya. Untuk kali pertama ia diberi pinjaman Rp 100 juta.
Uang itu dibelikannya lahan kebun karet seluas lima hektar, untuk kolam patin. hanya dalam empat bulan PT PER menggandakan pinjamannya menjadi Rp 200 juta. Dua bulan kemudian ditambah Rp 65 juta. Utang itu lunas dalam tiga tahun tanpa tunggakan. PT PER lalu meminjami Suhaimi lagi Rp 1,2 miliar.
Dari kolamnya seluas tujuh hektar, ia memproduksi 20 ton-30 ton ikan patin per bulan. Dengan harga ikan patin Rp 16.000 per kg, omzetnya Rp 320 juta-Rp 480 juta. Produksi benihnya sekitar 500.000 per bulan. Dengan harga Rp 170 per ekor, omzet benih ikannya Rp 85 juta per bulan.
Berapa keuntungannya per bulan? "Lumayan, yang jelas saya tak terlambat mencicil utang Rp 60 juta per bulan," ujarnya.
Ia tak takut produksi ikannya tak laku di pasar. Berapa pun panen ikan petani di desanya, habis diserap pasar. Apalagi dalam beberapa bulan ini, petani tak hanya memanen ikan berukuran 8 ons-1 kg per ekor. Berkembangnya usaha pengawetan ikan dengan teknologi pengasapan di desa tetangga yang disebut salai patin pun laris. Dalam sehari, sedikitnya empat ton ikan patin kecil dijadikan salai.
"Saya yakin ikan kami diterima pasar. Saya yakin, semakin tinggi pendidikan masyarakat, akan makin tinggi kesejahteraan hidupnya. Orang pintar pasti makan ikan," katanya.
Suhaimi juga mau menimba ilmu ke Pulau Jawa untuk mengembangkan produk hilir, berupa nugget, bakso, kerupuk, dan aneka industri perikanan lainnya. Pencapaian itu membuat dia meraih anugerah Adibhakti Mina Bahari dari Kementerian Perikanan dan Kelautan, sebagai satu-satunya Pembudidaya Teladan Nasional, Desember 2010.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 15 JULI 2011

Rabu, 13 Juli 2011

Haga Salmin : "Komandan" Pemadam Kebakaran Hutan


HAGA SALMIN


Lahir : Desa Tangkahen, Kecamatan Banamatingang, Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah, 11 November 1972

Pendidikan :
- Sekolah Dasar Inpres Berengbengkel, Palangkaraya
- Sekolah Teknik Palangkaraya, Jurusan Bangunan (setingkat SMP)
- Sekolah Teknik Menengah Negeri 1 Palangkaraya, Jurusan Bangunan
Istri : Maslinah
Anak :
- Novia Pebriani
- Andika Pranata
- Amelia Cintha

Menghirup asap kebakaran hutan rasanya sesak. Keengganan mengisap "hasil" pembakaran itu menjadi motivasi Haga Salmin bergabung dalam Tim Serbu Api Kalimantaan Tengah. Tim itu berperan sebagai pencegah dan pemadam kebakaran hutan di Kalimantan Tengah.

OLEH DWI BAYU RADIUS

Saat pertama mendengar tentang Tim Serbu Api (TSA) tahun 1997, Haga baru tiba dari ruamh saudaranya di Kabupaten Katingan, Kalteng. Ia merasa lelah setelah menempuh perjalanan lebih dari 300 kilometer, pulang ke rumahnya di Kalampangan, Palangkaraya. Perjalanan itu ditempuhnya selama dua hari, dengan 100 kilometer di antaranya menggunakan perahu.
"Waktu saya baru sampai di rumah, ada anggota TSA yang mengajak melihat kebakaran di hutan. Meski lelah, saya langsung ikut dan tergerak memadamkan api," katanya.
Mereka berjalan di tengah hutan sambil merasakan sesaknya napas menghirup asap, mulai dari pukul 20.00 hingga tengah malam. Rasa waswas pun menghinggapi Haga saat melihat jarak kobaran api dengan rumahnya hanya sekitar 300 meter. Oleh karena itulah, dia lalu memutuskan terlibat dalam TSA. Bencana itu begitu besar. Sekitar 50.000 hektar hutan di Kalampangan dan Sebagau, Palangkaraya, habis terbakar.
"Lahan yang terbakar mencakup 70 persen dari total luas kawasan itu. Asap kebakaran mengganggu pernapasan warga, petani juga tak bisa bekerja," tuturnya.
Ilalang dan pepohonan di tepi jalan pun berubah menjadi bara. Jalan aspal sekalipun tak kuat menahan panas hingga retak. "Bara itu merembet ke bagian gambut di bawah jalan. Begitulah dahsyatnya saat lapisan gambut pun ikut terbakar," ujarnya.
gambut adalah sisa-sisa bagian pohon yang tertimbun dan amat mudah terbakar, pada musim kemarau. Jika sudah terbakar, lahan gambut sulit dipadamkan karena bara api bisa membakar lapisan dibawahnya. Kebakaran yang dianggap orang sudah padam setelah disiram air bisa muncul sewaktu-waktu.
"Susahnya, bara itu berada di bawah tanah. Kalau orang menyiramkan air di situ, dalam satu jam api bisa menyala. Jadi, lahan itu harus digenangi air," papar Haga.
Selama ia bertugas, kebakaran besar melanda wilayah tugasnya tiga kali, yakni tahun 1997, 2002, dan 2008. Kemampuan dan kegigihan Haga memadamkan serta mencegah kebakaran hutan di Kalampangan dan Sebangau membuat dia dipercaya menjadi "komandan" bagi tim TSA. dia menjadi Koordinator TSA Kalteng sejak tahun 2002.

Kepedulian rendah

Pada awal Haga bertugas, dia dan rekan-rekannya di TSA harus menghadapi tantangan lain di luar kobaran api. Kepedulian warga amat rendah, mereka hanya menjadi penonton kebakaran.
"Mereka sibuk bertani atau berjualan hasil panen. Kalau diminta ikut mencegah kebakaran, mereka bilang capek," katanya.
Upah juga menjadi kendala. Sejumlah warga menanyakan besarnya honor jika terlibat dalam TSA. Sementara sumber dana TSA bisa dikatakan tak pasti. "Kalau dapat dari LSM (lembaga swadaya masyarakat) luar negeri, baru tersedia dana di TSA," ujar Haga.
Oleh karena itu, tak jarang anggota TSA harus merogoh kocek sendiri, bahkan berutang sebelum ada dana dari LSM. Sebab, tak semua anggota TSA berasal dari dengan kondisi ekonomi mapan.
haga, misalnya, "hanya" memiliki usaha pengangkutan barnag kecil-kecilan dengan penghasilan sekitar Rp 3 juta per bulan. Rumah Haga relatif sederhana, terbuat dari kayu. Beberapa bagian rumahnya sudah kusam. kalaupun akhirnya dana bisa diperoleh, anggota TSA yang bertugas rata-rata mendapat honor sekitar Rp 60.000 per hari.
"Uang sebesar itu tak menarik untuk sebagian warga. Tak heran jika anggota TSA berganti-ganti setiap tahun," tuurnya.
Anggota TSA biasanya mengundurkan diri begitu mereka mendapatkan pekerjaan yang hasilnya lebih menjanjikan. Jumlah anggota TSA Kalteng sekitar 40 orang.
"Setiap tahun rata-rata 10orang mundur dan diganti anggota baru. Menjadi anggota TSA memang sebaiknya tak terlalu memikirkan materi," kata Haga.

Cinta hutan

Kecintaan terhadap hutan dan menghindarkan warga dari bahaya kebakaran harus menjadi motivasi utama anggota TSA. Apalagi tugas anggota TSA kerap bersinggungan dengan maut. Banyak anggota TSA, termasuk Haga, puluhan kali terperosok ke tanah rapuh dengan bara api pada lapisan bawahnya.
"Kaki kami bisa kena luka bakar karena bara masuk lewat sela-sela sepatu bot. Kalau sudah terperosok, satu bulan kaki baru sembuh. Jangankan kaki, sepatu saja melepuh kena bara," ujarnya.
Ia pernah nyaris tewas terpanggang saat masuk hutan yang terbakar pada 2008. Api sudah menghadang di depannya. "Saya mau mengambil tiga mesin pompa dan selang sepanjang 600 meter. Tahu-tahu api muncul di belakang (saya) karena mengikuti arah angin," cerita Haga, yang selamat karena nekat memacu sepeda motor menembus kobaran api. Peralatan tak bisa dibawanya dan hangus terbakar.
Nasib serupa pernah dialami beberapa rekannya di TSA.haga, berkisah tentang salah satu kejadian, "Ada lima orang anggota TSA yang harus terjun ke kanal eks program Pengembangan Lahan Gambut untuk menyelamatkan diri. hanya lubang hidung mereka yang muncul di permukaan air."
Menurut Haga, asap dari bara api di lahan gambut terasa lebih pedas di mata dan sesak terhirup hidung dibandingkan asap dari kebakaran pohon. Risiko lain anggota TSA adalah diserang hewan liar seperti ular dan buaya.
kini anggota TSA berkoordinasi dengan pemerintah desa sekitarnya meski warga yang bersedia membantu mereka belum dapat dipastikan karena tugas ini berdasar kesukarelaan.
"Peralatan dan jumlah personil TSA belum memadai. banyak selang kami sudah lapuk, tak bisa dipakai. Kami tak mampu membeli karena harganya mahal, "kata Haga, yang berharap suatu hari nanti TSA bisa bekerja dengan peralatan lengkap dan jumlah personel mencukupi.
harga selang khusus untuk pemadaman sekitar Rp 600.000 per 20 meter dengan diameter 2 inci (5 cm). Jumlah anggota TSA idealnya sekitar 100 orang.
"Jika terjadi kebakaran besar, bahan bakar yang kami butuhkan dua drum atau 400 liter premium per hari untuk menggerakkan pompa air," ujar Haga. Dia berharap makin banyak warga yang mencintai hutan dan mau membantu memadamkan kebakaran hutan.
Keluarga Haga sebenarnya mencemaskan keselamatan ayah tiga anak itu. namun, mereka berusaha memahami tugas Haga demi keselamatan banyak orang.
"Saya tak tahu sampai kapan menjadi Koordinator TSA. Selama masih dibutuhkan dan mampu mengerjakan, saya akan melaksanakan tugas ini," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS 14 JULI 2011

Rabu, 06 Juli 2011

Aloysius Abi : Upaya bagi Warga Pedalaman NTT


ALOYSIUS ABI

Lahir : Senoni, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, 30 Maret 1956
Pendidikan : Sekolah Pendidikan Guru, lulus 1977
Istri : Petronela Mbeo
Anak :
- Cresensia Abi
- Fridolin Abi
- Maria Theresia Abi
Pekerjaan :
- Guru Sekolah Dasar Tuamolo, Timor Tengah Utara
- Wakil Kepala SD Tuamolo

Predikat guru yang disandang Aloysius Abi dihayati dan diemban dalam karyanya selama lebih kurang 32 tahun bekerja di pedalaman Nusa Tenggara Timur. Abi, panggilannya, tidak hanya fokus pada pekerjaan rutinnya sebagai guru, tapi juga membantu aparat pemerintahan desa untuk mengatasi buta aksara di kawasan itu. Dia pun melakukan pembinaan keagamaan dan membimbing anak muda setempat.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Bisa dikatakan semua itu dijalankan Abi secara sukarela, tanpa memungut bayaran. Dia hanya mendapat gaji sebagai guru pegawai negeri di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), sekitar Rp 2,5 juta per bulan.
Namun, Abi tidak terlalu perduli karena bukan uang yang dikejarnya, tetapi bagaimana dia dapat membantu orang bisa mengatasi kesulitan hidup. Keberhasilan orang lain dalam mengatasi kesulitan hidup membuat Abi bisa tersenyum.
"Kalau tujuan utama saya mencari uang, saya tidak mau menjadi guru. Keuntungam (materi) dari beternak ayam, kambing, dan menanam sayur-sayuran untuk didistribusikan ke kota jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji (sebagai guru) sebesar Rp 2,5 juta per bulan," tutur Abi saat ditemui di SD Tuamolo, di Kecamatan Bikomi Selatan, TTU, beberapa waktu lalu.
Saya lebih mengutamakan membangun sumber daya manusia di pedesaan secara lebih baik agar mereka tidak selalu tertindas oleh warga kota atau pejabat yang 'nakal'," kata Abi menambahkan.
Dia menyadari mutu pendidikan siswa di sekolah dasar sangat ditentukan oleh seluruh proses kehidupan masyarakat, terutama orangtua siswa di desa tersebut. Ada beberapa faktor penting yang turut menentukan mutu siswa, antara lain watak, karakter dan sikap hidup anak didik, peran serta orangtua, lingkungan, dan kehidupan ekonomi keluarga.
"Selain itu, peran serta aparat pemerintahan desa dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak kita juga mesti diperhatikan,"ujar Abi.
Dia menilai, selama ini faktor kemiskinan dan ketertinggalan telah dialami warga pedesaan, seperti di Kecamatan Bikomi Selatan, TTU. Wilayah itu tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai, antara lain karena gizi warganya buruk. Daerah ini rawan pangan, disamping infrastrukturnya buruk.
Oleh karena itu, tak mengherankan bila kemudian wabah penyakit selalu menimpa warga di kawasan pedalaman. Kondisi memprihatinkan seperti itulah yang justru membuat Abi selalu memilih bekerja di daerah pedalaman meskipun sebenarnya dia telah beberapa kali mendapat surat dari dinas Pendidikan TTU untuk pindah tugas ke Kota Kefamenanu, pusat pemerintahan Kabupaten TTU.

Sikap yang berbeda

Sikap Abi berbeda dengan kebanyakan pegawai atau guru pada umumnya, yang sering kali menolak bila bekerja atau ditempatkan di daerah pedalaman. Alasan yang merekakemukakan biasanya karena di desa-desa pedalaman tidak ada hiburan, sulit mendapatkan kebutuhan hidup seperti beras, gula pasir, minyak goreng, dan kebutuhan lain.
Di samping itu, harga-harga kebutuhan pokok di kawasan pedalaman pun biasanya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga produk yang sama di kota kecamatan atau di pusat kabupaten. Sarana transportasi antara desa di pedalaman dan kota terdekat pun biasanya juga minim.
Abi bercerita, selama 32 tahun mengabdi, dia sudah bekerja di 15 desa pedalaman. Di setiap desa pedalaman itu, bila dirata-rata, dia bekerja selama lebih kurang tiga tahun. "Tahun ketiga merupakan 'puncak' karier saya di desa itu,"ujar Abi sambil tertawa.
"Tidak hanya mengajar, tetapi disetiap desa itu saya juga terlibat dengan sejumlah kegiatan desa. Sebagai guru, kita tidak bisa membiarkan masyarakat bekerja sendirian. Banyak warga desa yang bisa tidak taat kepada kepala desa, tetapi kepada guru sikap mereka bisa berbeda sekali," cerita Abi.
Di hampir semua desa pedalaman tempatnya mengajar, Abi ikut membantu menyusun administrasi desa, menggerakkan warga mengikuti sejumlah program pemerintah, seperti program nasional pemberdayaan masyarakat desa, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, serta wajib belajar sembilan tahun.

Buta aksara

Anak-anak dan orang dewasa yang buta aksara pun dia perjuangkan agar bisa membaca dan menulis. Kegiatan ini dia lakukan setiap hari Sabtu dan Minggu. Mereka berkumpul di rumah Abi untuk mendapatkan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung.
Jumlah penyandang buta aksara di setiap desa itu berkisar 50-100 orang. Kebanyakan dari mereka adalah anak perempuan usia sekolah.
Ini berkaitan dengan anggapan dari orangtua bahwa anak perempuan tak perlu sekolah karena mereka kelak akan mengikuti suaminya. Perempuan cukup dibekali keterampilan menenun sarung, memasak, dan berbudi pekerti baik.
"Meyakinkan orangtua agar anak perempuan pun masuk sekolah tidak mudah. Melalui pendekatan terus-menerus para orangtua pelan-pelan sadar. Kini sudah banyak anak perempuan desa masuk sekolah, bahkan sampai perguruan tinggi," katanya.
Setiap Abi bertugas di suatu desa, angka drop out siswa SD setempat relatif berkurang. Di SD Tuamolo, Desa Oetalus, Kecamatan Bikomi Selatan, misalnya, sebelum ia mengajar angka drop out setiap tahun ajaran berkisar 30-70 siswa (pria dan perempuan). setelah dua tahun ia mengajar, angka itu berkurang sekitar 10-20 siswa. Ia pun sering menjemput siswa di ladang. Mereka membantu orangtua membersihkan rumput. Ini biasanya terjadi pada pertengahan musim hujan, saat rumput memadati ladang petani.
Abi juga mengajak anak muda setempat mengelola sumber daya alam sekitarnya untuk menghasilkan uang, seperti beternak babi, sapi, dan kambing. Ia juga mengajari mereka budidaya ikan air tawar serta menanam sayur kesukaan warga kota, seperti sawi dan kol.
Guru pegawai negeri dengan golongan IVA ini bercerita, ratusan anak didiknya telah berhasil lulus S-1. Di antara mereka, tiga orang menjadi dokter, lima orang menjadi camat, tujuh orang menjadi anggota DPRD, dan delapan orang menjadi guru SD.
Sebagian dari mereka tak bersedia kembali bekerja di desa. Mereka datang umumnya menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan anggota DPRD.
"Ketika upaya membuat anak didik memahami apa yang saya ajarkan itu berhasil, saya merasa puas. Semoga apa yang telah saya ajarkan kepada anak didik tidak sia-sia," kata Abi.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 7 JULI 2011

Senin, 04 Juli 2011

Rielce Hikmawati: Guru Lingkungan dari Biromaru


RIELCE HIKMAWATI

Lahir : Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah, 14 April 1965
Suami : Sutrisno, Guru SMA Marawola, Sigi
Anak :
- Sulistiawaty
- Wulan Cahya Ramadhani
- Bagus Satrio
Pekerjaan : Guru dan Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Biromaru, Sigi
Pendidikan :
- SD Biromaru, 1976

- SMP Biromaru, 1980
- SMA Negeriu 1 Palu, 1983
- Diploma III Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Tadulako, Palu,
1986
- S-1 Jurusan Bahasa Inggris,Fakultas Sastra, Universitas Tadulako
Organisasi :
Aktif disejumlah organisasi guru, organisasi wanita muslimat NU, dan PKK

Selama sembilan tahun dia terus -menerus memberikan pemahaman tentang menjaga lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan. Terlebih jika ia berada ditengah perilaku masyarakat yang abai pada lingkungan sekitarnya. Bagi Rielce Hikmawati, tak ada kata berhenti untuk mengubah pola pikir dan perilaku orang.

OLEH RENY SRI AYU

Sebenarnya, apa yang dilakukan Rielce sederhana. Ia, misalnya, meminta orang tak membuang sampah sembarangan serta membagi sampah dalam tiga kategori, yakni sampah organik, non organik, dan yang bisa didaur ulang.
Ia juga menganjurkan untuk efisien menggunakan barang yang berpotensi menjadi sampah dan bagaimana mendaur ulang sampah menjadi berbagai kreasi, termasuk membuat pupuk dari sampah.
Semua itu dia ajarkan dan biasakan kepada murid dan guru di SMP Negeri I Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah sejak 2002. Di sekolah ini, Rielce menjadi pengajar sekaligus kepala sekolah.
Hasilnya, lingkungan SMPN I Biromaru bersih dan hijau. Tempat sampah yang diberi cat berbeda sesuai dengan klasifikasi sampah tersebar di setiap sudut sekolah.
Awalnya, tak mudah bagi Rielce mengubah pola pikir dan perilaku mereka. Semua itu dia lakukan secara bertahap. Pada 2002, urusan kebersihan ditetapkan dengan tata tertib dan sanksi denda. Siswa yang membuang sampah sembarangan didenda Rp 500, sedangkan guru Rp 1.000.
Agar tata tertib berjalan efektif, semua orang di lingkungan sekolah punya kewenangan mengawasi dan menegur. Murid bisa menegur sesama murid, bahkan guru. Sebaliknya, guru pun mengawasi dan menegur sesama guru dan murid.
"Untuk membuat tata tertib ini, saya mengundang orangtua murid duduk bersama. agar tak terjadi kesalahpahaman. Awalnya banyak yang protes, tetapi dengan pemahaman bahwa ini untuk kepentingan bersama, mereka setuju," katanya.
"Tak mudah mengubah pola pikir dan perilaku mereka," ujar Rielce. Untuk setiap murid baru, misalnya, perlu waktu sekitar setahun sampai mereka benar-benar sadar untuk menjaga lingkungan. Banyak pula guru yang kena tegur murid karena membuang sampah sembarangan.
Pada 2004, masalah kebersihan dan menjaga lingkungan tak sebatas tata tertib, tetapi dimasukkan dalam muatan lokal. Siswa diberi pengetahuan tentang hidup bersih, menjaga lingkungan, dan kaitannya dengan berbagai bencana, seperti banjir dan kekeringan. Siswa juga dibawa melihat banjir dan kekeringan yang terjadi di sejumlah kecamatan di Sigi.
Kesadaran murid akan pentingnya lingkungan kian tinggi. Sanksi denda dihapuskan sejak 2005. Rielce ingin tahu apakah perilaku "taat" selama ini karena denda atau memang kesadaran. Ternyata, murid dan guru benar-benar sadar untuk menjaga lingkungan.

Mata pelajaran

Pada 2009, Rielce memasukkan lingkungan hidup sebagai mata pelajaran yang diajarkan dua jam dalam sepekan. Namun, ketiadaan guru khusus lingkungan hidup serta biaya dan keterbatasan materi pelajaran menjadi sebagian kendala.
Ia menyiasatinya dengan memanfaatkan guru Olahraga, Keterampilan, dan Biologi untuk membantu mengajar Lingkungan Hidup. Mereka lebih dulu dibekali materi tentang lingkungan hidup, antara lain dari Badan Lingkungan Hidup Sigi dan Sulawesi Selatan, juga dengan mengikuti seminar dan berbagai diskusi.
Sebagai mata pelajaran, materi Lingkungan Hidup tak terbatas mencegah banjir dan menjaga kebersihan, tetapi diperluas pada pola hidup sehat, termasuk makanan sehat dan hemat energi.
Di sekolah disediakan kantin sehat. Pedagang makanan di sekitar sekolah diminta membuat makanan sehat dan secara rutin dipantau unit kesehatan sekolah. Siswa dibiasakan menggunakan buku dan peralatan tulis seefisien mungkin. Setiap Jumat, dalam kerja bakti diajarkan pembuatan kompos.
Agar lebih variatif, Rielce meminta petugas puskesmas berbagi pengetahuan di sekolah tentang hidup bersih, makanan sehat, serta dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan. Pihak kepolisian pun diundang terkait dengan penyalahgunaan narkoba.
Ia mengatur dana bantuan operasional sekolah untuk memnuhi biaya yang dibutuhkan bagi kegiatan operasional sekolah, termasuk pelajaran Lingkungan Hidup. Upayanya menjadikan SMPN I Biromaru sebagai satu-satunya sekolah di Sigi, bahkan Sulawesi Tengah, yang memiliki mata pelajaran Lingkungan Hidup.

Demam berdarah

Ada dua kejadian yang membulatkan tekad Rielce untuk konsisten memberikan penyadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan. Pada 2002, turun hujan deras yang membuat SMPN I Biromaru tergenang karena tersumbatnya saluran air dengan sampah plastik, bekas bungkusan makanan, dan air mineral.
Peristiwa lain adalah wabah demam berdarah yang membuat sebagian siswa sakit karena sekolah menjadi sarang nyamuk.
Awalnya, petugas puskesmas di panggil untuk pengasapan. "Saya perhatikan, nyamuk hanya pingsan, lalu terbang lagi. Saya sadar, pengasapan bukan penyelesaian masalah. Saya lalu meminta semua siswa dan guru berperilaku bersih. Tanaman serai dan beberapa tumbuhan lain yang tak disukai nyamuk ditanam. hasilnya, sekolah bebas dari nyamuk dan tak banyak lagi siswa yang kena penyakit demam berdarah," katanya.
Apa yang dia lakukan selama sembilan tahun ini tak serta-merta membuat siswa sadar akan pentingnya merawat lingkungan. Apalagi buat mereka yang lingkungan tempat tinggalnya tak mendukung.
"Namun, saya optimis dan berprasangka baik. Kalau setengah saja dari murid tamatan sekolah ini membawa perilaku sadar lingkungan kemana dia pergi dan menerapkannya di lingkungan sekitarnya, itu akan membuat lingkungan kita terjaga. Setidaknya mengurangi jumlah orang yang berperilaku merusak lingkungan," katanya.
Rielce bercerita, semangatnya tetap menyala antara lain karena siswa SMPN I Biromaru yang tamat dan melanjutkan sekolah ke SMA di mana pun selalu terkenal dengan kerapian, kebersihan, dan bijak memperlakukan sampah.
"Saya diberi tahu guru-guru mereka, murid tamatan SMPN I Biromaru ketahuan dari cara mereka membuang sampah, mengantongi bungkus makanan jika tak menemukan tempat sampah, dan kerapihan mereka. Ini melegakan. Mereka membawa kebiasaan baik itu dan semoga selalu begitu," katanya.
Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup di Kabupaten Sigi, 27 Juni lalu, Rielce mendapat penghargaan sebagai salah satu pejuang lingkungan dari Kantor Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi.
Penghargaan itu bukan alasan untuk apa yang dia lakukan. "Kalaupun diberi penghargaan, kami bersyukur dan melihatnya dalam konteks punya teman yang sepaham," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 4 JULI 2011