Kamis, 29 September 2011

Megah Mencetak Sawah di Kolong Timah

DATA  DIRI
Nama : Megah Hasan
Lahir : Pangkal Pinang, 14 Maret 1963
Istri : Maki Fukumori (37)
Anak :
- Kazuma Fukumori (12)
- Kazuki Fukumori (9)
Pendidikan :
- SD Budi Mulia Pangkal Pinang
- SMP Budi Mulia Pangkal Pinang
- SMA 1 Pangkal Pinang

Sudah lama ada anggapan bahw lahan bekas tmbang timah atau kolong di Kepulauan Bangka Belitung tidak bisa direhabilitasi, direklamasi, apalagi menghasilkan. Namun, semua itu mentah di tangan Megah Hasan. Dengan tekun dan semangat luar biasa, pria asli Pangkal Pinang itu berhasil mencetak sawah di kolong timah.
  
Oleh BENNY DWI KOESTANTO
Datanglah ke Kampung Jeruk, Pangkalan Baru, bangka Tengah, 15 kilometer arah selatan kota Pangkal Pinang. Hamparan hijau petak-petak sawah yang sedang ditanami padi menjadi sebuah "oase" di antara kolong-kolong timah, yakni kolam-kolam bekas gailan dan gundukan tanah di sekelilingnya. Dua tahun lalu, kawasan itu mirip tempat "jin buang anak", tandus, sepi tak dijamah orang, dan merana setelah disedot bijih timahnya.
     "Timah itu berkah bagi orang Bangka. Kita boleh menambangnya, karena itu memberi nafkah. Tapi, janganlah kita serakah untuk generasi kita semata. Penambangan membabi buta hanya meninggalkan nestapa bagi anak cucu kelak," kata Megah di pondokan yang baru setengah selesai dibangun di lahan persawahannya, pekan lalu.
    Pondokan itu berada di atas kolong terluas di kawasan itu. Di sinilah Megah terus memikirkan masa depan tanah kelahirannya, terutama fase "apalagi setelah masa jaya timah yang meninggalkan kerusakan lingkungan dahsyat di Bangka Belitung berakhir". Terasa sulit membayangkan kenyataan lahan kritis di Bangka Belitung akibat pertambangan timah mencapai 1.600 hektar atau sekitar seperlima dari total wilayah kepulauan itu.
     Selama ini upaya penyelamatan lingkungan lebih banyak dilakukan dengan reklamasi lahan, lalu ditanami aneka pepohonan. Namun, bagi Megah, pertanian lestari yang ditopang kegigihan menjadi salah satu jawabannya.
     Dari lahan seluas 24 hektar, Megah mencetak seperempatnya menjadi lahan sawah dengan tanaman padi berbagai jenis dalam kurun waktu kurang dari dua tahun terakhir.  Akhir tahun lalu ia mampu menghasilkan rata-rata 4-5 ton gabah kering per hektar lahan.
     "Hasil itu tidak jelek, tapi juga belum berhasil. Pada sawah normal dengan irigasi lancar hasil rata-rata 8-9 ton gabah kering per hektar, sementara saya setengahnya. Cita-cita saya, masyarakat kepulauan ini tidak tergantung dari beras luar (pulau)," katanya.
     Sekitar 200 meter dari pondokan Megah, di bagian depan lahan persawahan itu terdapat peternakan sapi pedaging dan sapi perah, serta lele dumbo. Ia mencoba mempraktikkan sistem pertanian terintegrasi. namun, mencetak lahan sawah merupakan fase tersulit.
     Pasalnya, tak ada irigasi teknis di sekitar kolong sawah Megah. Dia terpaksa menggunakan sumber air dari kolong-kolong yang ada. Tetapi, air kolong sangat rendah kandungan asamnya karena campuran timah dan logam-logam lain. Untuk menambah keasaman air, ia menanam eceng gondok dikolam-kolam tersebut.
     Jika dirasa jumlahnya berlebihan, eceng gondok lalu diambil, dijemur, dan dijadikan pupuk kompos. Air dari kolong itulah yang digunakan mengairi sawah dengan cara dipompa.
Sebelum untuk mengairi sawah, terlebih dulu air itu ditampung pada satu kolam khusus, dicampur air kencing sapi serta air dari kolam budidaya lele. Itulah mengapa ia tak menggunakan pupuk kimia pada tanaman padi di sawahnya.
     Persoalan kedua adalah tanah. Gundukan-gundukan tanah harus diratakan. Untuk itu, Megah menggunakan ekskavator.
Satu hektar lahan membutuhkan waktu dua hari, disusul seminggu untuk pencetakan sawah. Luas petakan tergantung selera, tetapi jangan terlalu luas agar air merata.
     Langkah selanjutnya identifikasi tanah, terutama mengetahu ketebalan lapisan pasir. Kalau pasir terlalu tebal, air yang dialirkan tak tertampung karena meresap. Untuk menyiasati, ia menambahkan pupuk kandang dan kompos berupa jerami dan daun eceng gondok kering yang diaduk dengan traktor. Ia mendiamkan lahan itu beberapa pekan. Jika di atas tanah telah tumbuh ilalang, itu pertanda lahan siap dicetak menjadi sawah. Maka, tanah pun diaduk dan diolah kembali menjadi sawah.

Belajar dari Jepang

     Upaya pencetakan sawah itu merupakan buah perjalanan Megah ke Kobe, Jepang. Hampir separuh perjalanan hidupnya dihabiskan di kota itu. Selepas SMA di Pangkal Pinang, ia merantau dan bekerja di perusahaan otomotif, hingga ia mampu mendirikan usaha berbasis otomotif pula. Ia menikah dengan gadis Jepang dan menetap di Kobe dengan dua putranya.
     Sejak menjadi petani di Bangka, otomatis ia tinggalsendiri di Pangkal Pinang. Dua bulan sekali ia menemui keluarganya di Kobe. Atau dikala liburan sekolah, keluarganya berkunjung ke Pangkal Pinang. Sementara bisnisnya tetap berjalan lancar, dengan berkelakar ia mengaku mampu mengawasi usaha itu dari sawahnya di Kampung Jeruk. Di Bangka ia terdaftar sebagai komisaris salah satu perusahaan peleburan (smelter) timah swasta.
     Ia memang hobi dan cinta bertani. Ia mulai bertani di Kobe sejak awal 1990-an, kala bersama dua teman membeli sepetak lahan sawah berukuran 1.000 meter di pinggiran kota. Ia bertani intensif di akhir pekan. Intensifikasi pertanian Jepang, katanya sangat jelas. Lahan sempit dibayar lunas dengan hasil maksimal karena sistem pertanian yang maju dengan sistem bimbingan petugas lapangan pertanian secara simultan.
     "Setiap petugas penyuluh di Jepang mempunyai kebun atau sawah percobaan sendiri. Mereka meneliti, beruji coba, dan dipraktikkan secara cermat. Coba bandingkan dengan penyuluh di sini," katanya.
     Praktik pertanian ala Negeri Sakura itulah yang diterapkannya di kampung Jeruk. Hampir sehari penuh  ia berada di sawah. Merenung dan berpikir di pondokan, lalu ke sawah lagi, begitu seterusnya. tak jarang ia pergi ke sawah malam hari, sekadar melihat kondisi tanaman. maka, ia mempu menyebutkan berapa jenis hama, capung, hingga kupu di persawahan.
     Salah satu hal menarik pada sistem pertanian Megah adalah jumlah petani. Untuk mengolah lahan seluas 6 hektar itu, ia dibantu tiga karyawan. Katanya, pengaturan waktu dan jadwal pengerjaan lahan adalah kuncinya. Mereka bekerja profesional layaknya pekerja kantor, pukul 08.00-16.00 dengan istirahat satu jam per hari. Mereka digaji minimal Rp 1,25 juta per bulan. Mereka juga dibuatkan rumah tinggal di sekitar area persawahan, lengkap dengan listriknya.
     Megah bangga dengan salah satu pencapaiannya ini. Pencetakan sawah menjadi bagian dari Bangka Goes Green, program corporate social responsibility PT Bangka Belitung Timah Sejahtera, konsorsium beberapa perusahaan smelter timah di Pangkal Pinang.
     Namun, ada hal yang menggelisahkannya, yakni bagaimana mengenalkan dan mengajak warga pemilik kolong mengikuti jejaknya. Sebab, butuh biaya tak sedikit untuk mencetak sawah. Ia telah menghabiskan Rp 600 juta untuk semua itu, di luar pembelian lahan.
     "Tanpa bantuan pemerintah atau perusahaan swasta besar, pencetakkan sawah sulit terealisasi dalam waktu singkat.
Sudah saatnya pemerintah daerah di Bangka peduli lingkungan, demi generasi mendatang," kata Megah.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT 13 MARET 2009

Rabu, 28 September 2011

Yosep Tahir Ma'ruf :Membangun Desa Wisata Bubohu di Lahan Gersang

YOSEP TAHIR MA'RUF
Lahir : Gorontalo, 1970
Pendidikan : Semester akhir Fakultas Hukum Mpu Tantular, Jakarta
Pekerjaan : Wirausaha
Pencapaian :
- Suharso Monoarfa Award sebagai tokoh pemerhati bahasa, adat, dan budaya 
  Gorontalo
- Lamahu Award dalam kegiatan Fetival Walima, 2011
- Badan Pekerja Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Se-Nusantara, 2011
- Penghargaan sebagai inisiator Pembangunan Desa Wisata Religius Bubohu 
  dari Universitas Negeri Gorontalo, 2011

Yosep Tahir Ma'ruf berhasil menyulap wilayah yang semula kering dan gersang menajdi hijau rimbun dan berlimpah air. Kini, Desa Bongo, Kecamatan Batuda'a Pantai, Gorontalo, telah berubah menjadi Desa Wisata Religius Bubohu seluas lebih kurang 400 hektar.

OLEH ARIS PRASETYO

Tak terlalu jauh menuju Desa Wisata Religius Bubohu. Hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit dengan berkendara dari Kota Gorontalo. Sepanjang perjalanan yang berliku itu, kita ditemani pemandangan Teluk Tomini.
     Sekitar 200 meter memasuki pintu gerbang Desa Wisata Religius Bubohu, sepanjang kiri-kanan jalan dipenuhi pohon mahoni setinggi 2-3 meter. Pohon mahoni itu dibungkus anyaman bambu dan jaring plastik di sekelilingnya. Di lahan sepanjang jalan itu pun dipenuhi rerimbunan berbagai jenis pohon.
     Saat memasuki Desa Wisata Religius Bubohu, siapa pun, anak-anak, ataupun orang dewasa, yang kita lewati akan mengucapkan salam yang menjadi ciri khas Muslim.
     "Saya mengajarkan tiga hal di sini, yaitu salam, jabat tangan, dan cium tangan yang muda kepada orang tua, selain menanam pohon," kata Yotama, panggilan Yosep Tahir Ma'ruf.
     Pada 1997, Yotama memulai impiannya di tempat itu. Berawal dengan menanam puluhan jenis pepohonan di tempat yang semula gersang itu. Ia lalu mendatangkan berbagai jenis bibit pohon dari luar Gorontalo, termasuk dari Pulau Jawa.
    "Saya tanam berbagai jenis bibit pohon. Yang mati atau tidak tumbuh saya ganti jenis lain yang bisa tumbuh bagus. Jarak antar pohon pun tak beraturan. Ini semakin mempercepat pohon-pohon itu tumbuh karena saling berebut sinar matahari," kata Yotama yang juga pengusaha bidang agrobisnis.
     Setelah lebih dari 10 tahun, penanaman pohon menampakkan hasil. Selain membuat desa menjadi hijau dan rimbun, air bersih pun mudah didapat. Di komplek Desa Wisata Religius Bubohu, sumber air mengalir tanpa henti. Rerimbunan pohon dan suara gemericik air membuat orang yang berada di desa wisata itu merasa nyaman.

Pesantren alam

     Bersama dengan itu pula, Yotama membangun wombohe, gubuk khas Gorontalo, yang berfungsi sebagai pondok pesantren. Ia menyebutnya sebagai pesantren alam karena para santri membaur belajar bersama di alam terbuka. Pesantren ini berbeda dengan pesantren umumnya, di mana para santri juga tinggal dipesantren tersebut.
     Pesantren alam yang dia gagas di mulai setiap malam pukul 19.00 atau sesudah shalat isya.
     Apa yang diajarkan di pesantren itu? Dimulai dengan belajar membaca Al Quran. Semua santri yang berjumlah 600-an orang adalah warga Desa Bongo. Mereka terdiri dari anak-anak hingga orang tua. Aktivitas belajar di pesantren alam berakhir sekitar pukul 22.00.
     "Sengaja saya membuat jadwal belajar di pesantren alam mulai pukul 19.00 hingga selesai. Sebab, pada jam-jam tersebut biasanya warga terpaku di depan televisi. Dengan jam belajar seperti itu, mereka setidaknya 'lupa' pada televisi," ujarnya.
     Selain membangun pesantren alam, Yotama juga mendirikan sekolah menengah kejuruan (SMK) pariwisata gratis. SMK yang baru dimulai pada tahun ajaran 2011 ini diikuti 33 siswa. Kelak, alumni SMK ini diharapkan mau mengelola Desa Wisata Religius Bubohu sebagai tujuan wisata di Gorontalo.
     Yotama seakan tak bisa diam. Dia juga ingin mewujudkan salah satu impiannya, membangun museum sejarah Gorontalo. Kini, museum itu masih sederhana dan baru berisikan arsip-arsip kuno tentang budaya Gorontalo. Dia melengkapinya dengan memajang silsilah raja-raja dari sejumlah kerajaan yang ada di Gorontalo.
     Selain museum, Yotama juga membangun kolam renang. Kolam ini berbentuk tanda koma dengan luas kira-kira 20 meter x 10 meter. Kolam yang boleh dipakai siapa pun secara gratis ini, menurut dia, menandakan bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak boleh berhenti. Dia harus terus berjalan.
     Tentang bentuk kolam yang menyerupai posisi bayi dalam janin ibunya itu, menurut Yotama, agar mereka yang berenang di kolam senantiasa ingat asal muasalnya.
     Yotama juga membuat toilet unik yang diberi nama "Yotama Multimedia". bangunan toilet yang berbentuk menara setinggi 7 meter itu pada bagian bawah berfungsi sebagai toilet. Namun, bagian atasnya difungsikan sebagai multimedia. Di sini ada seperangkat alat elektronik pemutar bacaan Al Quran yang terus-menerus digunakan.

Membangun masjid 

     Pembangunan Masjid Walima Emas saat ini masih berlangsung.
Masjid ini dibangun di puncak bukit Desa Bongo. Dari masjid yang berketinggian  sekitar 250 meter di atas permukaan laut itu orang bisa melihat pemandangan kawasan pantai Desa Wisata Religius Bubohu dengan Teluk Tomini.
     Empat kubah pada setiap sudut di masjid tersebut rencananya akan dibuat berlapis emas. Ia memperkirakan masjid tersebut bisa diresmikan pada 12 Desember 2012.
     Masjid belum rampung pembangunannya saja sudah dikunjungi ribuan orang, apalagi nanti kalau sudah selesai," tutur Yotama yang membiayai semua pembangunan itu dari dana pribadi, donatur lintas agama, dan para pengunjung.
     Yotama hanya bercerita, semua yang dia lakukan merupakan wujud dari keinginannya berbuat sesuatu bagi orang lain, setidaknya lingkungan di sekitarnya.
     "Sebelum kamu membangun untuk bangsamu, bangunlah lingkungan sekitarmu terlebih dahulu," ujarnya.
     Rupanya Yotama lebih mengutamakan perbuatan langsung daripada sekadar berwacana. Dia memang tak banyak cakap dan memilih mewujudkan keinginan yang memenuhi hatinya. Itulah mengapa dari waktu ke waktu selalu ada saja hal baru yang muncul di Desa Wisata Religius Bubohu.
     "Saya ingin desa ini menjadi pusat kebangkitan peradaban Islam  di Gorontalo. Selain itu, saya juga bercita-cita agar desa ini nantinya bisa menjadi pusat pembelajaran bagi semua warga Gorontalo. masih banyak warga Gorontalo yang tak mengenal sejarah mereka sendiri," katanya.
     Desa Wisata Religius Bubohu sudaah menjadi salah satu tujuan wisata di Provinsi Gorontalo. Salah satu kegiatan budaya di desa ini adalah peringatan maulid Nabi Muhammad SAW setiap 12 Rabiul Awal dalam kalender Islam.
     Pada hari itu, antara lain  ditampilkan tolangga, berwujud miniatur kubah masjid dari rangkaian bambu yang dihiasi kolombengi (kue bolu kering). Kolombengi ini kemudian dimakan bersama hadirin.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 29 SEPTEMBER 2011 

Mahmur Hadi Kusyanto, Penyelamat Sawah

MAHMUR HADI KUSYANTO
Usia : 37 tahun
Pekerjaan : Kepala Desa Kedung Jaya, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat,2009-kini 
Istri : Dewi Nasution (34)
Anak : Reva Maharani (14)
Pendidikan : Sekolah Teknik Menengah PGRI, Karawang 
Kenekatan Mahmur Hadi Kusyanto telah menyelamatkan ribuan hektar sawah di Kecamatan Cibuaya, Karawang, Jawa Barat, dari banjir dan kekeringan. Mahmur, Kepala Desa Kedung Jaya, Cibuaya, itu tidak sekadar berwacana dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman padi.

OLEH BM LUKITA GRAHADYARINI & HERMAS E PRABOWO
Kenekatan Mahmur berawal dari kegundahannya melihat sentra produksi padi di 11 desa di Kecamatan Cibuaya yang tidak bisa berproduksi maksimal. Setiap tahun, air di saluran pembuangan Wiratma yang melintasi areal persawahan di Desa Kedung Jaya dan Desa Sedari meluber pada musim hujan dan kering saat kemarau.
     Tak berfungsinya kanal itu dipicu sedimentasi yang parah. Sedimentasi memicu kedalaman kanal hanya 30 sentimeter (cm) dari kedalaman normal 1 meter hingga 1,5 meter.Kedangkalan kanal diperparah dengan kondisi hulu kanal yang tersumbat eceng gondok, endapan ganggang di dasar kanal, dan kebocoran pada dinding saluran.
     Mahmur lantas mencari akal untuk membiayai perbaikan kanal. Pengajuan kucuran dana kepada pemerintah kabupaten berulang kali telah dia usulkan, tetapi tak kunjung berhasil.
     Ia tak menyerah. Ide pun muncul saat ia menonton program sosialisasi pertanian di stasiun televisi milik pemerintah, April2011. Dalam program itu tertera nomor call center Kementerian Pertanian untuk layanan pengaduan masyarakat. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Mahmur mengirim pesansingkat (SMS) ke noor tersebut.
     "Saya minta tolong dengan kendala saluran mampet di Desa Kedung Jaya, Kecamatan Cibuaya, pada musim hujan dan kemarau," ujarnya.

Tidak berharap

     Mahmur tak berharap banyak dengan SMS itu. namun, kenekatannya menuai hasil. Dua hari kemudian SMS-nya dibalas staf Menteri Pertanian. Tak lama berselang, pejabat Kementerian Pertanian datang meninjau kondisi kanal.
     Berdasarkan estimasi Bina Marga, pengerukan sedimentasi kanal itu membutuhkan biaya Rp 900 juta. Namun, berdasarkan rencana anggaran pembangunan, estimasinya Rp 650,03 juta. Itu setelah dilakukan pemangkasan rencana anggaran yang dianggap masih bisa dihemat.
     Mengandalkan dana swadaya petani semata jelas berat. Beruntung, setelah meninjau lokasi, Kementerian Pertanian sanggup memberikan dukungan dana berbentuk bantuan sosial sebesar Rp 449,4 juta untuk perbaikan kanal hingga tuntas.
     Dengan dana terbatas itu, Mahmur memutar strategi, di antaranya melobi pemilik alat berat untuk meringankan biaya pengerukan. Disepakatilah kontrak pengerukan sedimentasi 35.000 meter kubik (m3) dengan biaya Rp 17.000 per m3.
     Dari target pengerukan sedimentasi sebanyak 35.000 m3, setelah dikerjakan didapati volume pengerukan 100.000 m3 dengan biaya sama. Upaya itu menapat dukungan warga Desa Kedung Jaya yang secara sukarela ikut menyumbang dana Rp 30 juta.
     Dalam waktu dua bulan, perbaikan kanal bisa dilaksanakan sepanjang 6,5 kilometer (km), melintasi dua desa, yakni Desa Kedung Jaya dan Desa Sedari. Kanal juga diperlebar dari 8 m menjadi 12-15 m.
     Kegigihan Mahmur mendorong partisipasi warga lebh besar. dengan dukungan dana petambak, perbaikan saluran lain untuk memperbanyak cadangan air ditambah sepanjang 3 km, yang mengambil air dari kanal, serta pembuatan embung oenyimpan air dengan sudetan sepanjang 1 km.  
     Kanal itu kini tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh kedua desa yang dilintasi. Seluas 3.500 hektar (ha) sawah di 11 desa terbebas dari musibah banjir saat musim hujan serta mengairi 1.000 ha sawah sewaktu musim kemarau. sedikitnya 4.000 keluarga petani terbantu untuk berproduksi optimal.
     Kanal itu sekaligus memberikan manfaat pengairan dan pembuangan bagi kolam-kolam bandeng dan tambak udang di wilayah tersebut. Kiprah Mahmur yang tak kenal lelah memelopori normalisasi kanal (saluran pembuangan Wiratma) melahirkan julukan baru baginya, sebagai Lurah "Nackhoe".
     Meski pembenahan kanal membuahkan hasil, upaya itu bukannya tanpa hambatan. Mahmur sempat diganjal sejumlah tudingan miring yang dilakukan media massa lokal dan ancaman lembaga swadaya masyarakat yang meminta bagian dari proyek tersebut.
     Rintangan juga menghadangnya sewaktu memperluas saluran pembuangan pada kawasan milik Kementerian Kehutanan. ia mendapat ancaman hingga alat-alat berat sempat dilarang beroperasi. Padahal, pelebaran saluran pembuangan yang bermuara ke laut itu diperlukan untuk memperlancar pembuangan air ke laut.
     "Saya enggak mau merengek kayak anak kecil. Penyelesaian dengan kehutanan seharusnya urusan pejabat di atas," ujarnya.

Tak kebagian bengkok

     Menjadi kepala desa semula bukan cita-cita Mahmur. Sebelum menjadi kepala desa, tamatan sekolah teknik menengah jurusan teknik otomotif itu sempat bekerja menjadi karyawan swasta di pabrik ban di Cikarang.
     Sebagai kepala desa, ia dipilih warga secara langsung. Namun, hak yang diterima Mahmur sebagai kepala desa tak selalu mulus. hak sebagai kepala desa untuk mengelola sawah (bengkok) pupus. Sebab, bengkok yang menjadi haknya dijual oleh kepala desa sebelumnya.
     Berbagai kendala itu tak menyurutkan langkah Mahmur untuk membangun desanya yang potensial sebagai sentra produksi beras dengan 95 persen penduduk bekerja sebagai petani. Latar belakang dari keluarga petani pun mendorong tekadnya untuk mengembangkan wilayah pertanian itu.
     "Di sini masih banyak lahan potensial. Kalau saluran irigasi diperbaiki, optimalisasi lahan masih bisa dilakukan tanpa perlu mencetak sawah baru di luar Jawa," ujarnya.
     Salah satu angan Mahmur yang belum terwujud adalah membenahi penyumbatan saluran pembuangan di beberapa muara. Dengan perbaikan hingga muara, ekonomi desa bisa terdorong.
saluran di muara dapat juga dimanfaatkan oleh para nelayan untuk mendaratkan ikan dan melakukan transaksi jual-beli dengan masyarakat lokal.
     Angan-angan pembenahan infrastruktur pertanian secara menyeluruh itu pernah dia sampaikan kepada anggota DPRD Karawang dalam suatu pertemuan.
     Menurut Mahmur, daripada pembenahan kanal dan saluran irigasi dilakukan sewaktu kondisi sudah parah, lebih baik pemerintah daerah menganggarkan pembelian alat berat (backhoe) senilai Rp 1,5 miliar untuk pemeliharaan rutin jaringan irigasi bagi tiga kecamatan. Dana pemerintah akan menjadi lebih efisien.
     "(DPRD) jangan hanya bisa anggarkan baju dan makanan, tetapi anggarkan juga alat-alat rehabilitasi jaringan irigasi di sini," katanya memberi saran.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 28 SEPTEMBER 2011

Selasa, 27 September 2011

Agus Bei: Penggagas Wisata Mangrove di Balikpapan


AGUS  BEI
Lahir : Banyuwangi, Jawa Timur, 28 September 1968
Pendidikan :
- SDN Kalibaru Kulon, Banyuwangi
- SMP Islam Kalibaru, Banyuwangi
- STM PGRI 2, Banyuwangi
Pengalaman berorganisasi:
- Ketua Pokja Mangrove Balikpapan Utara, Kalimantan Timur
- Ketua KNPI Balikpapan Utara periode 2009-2012
- Ketua Pemuda Pancasila Balikpapan 2011-2014
Istri : Normina (43)
Anak :
- Reski Aprilia (17)
- Nanda Dwi Laksana (8)

Selama tiga bulan pada 2001, Agus Bei mudik ke Banyuwangi, Jawa Timur, sekaligus mengurusi bisnisnya. Begitu pulang, ia kaget dan sedih karena mangrove di depan rumahnya di tepi Sungai Somber, Balikpapan, Kalimantan Timur, menghilang. Tiga hektar mangrove itu habis dibabat orang.

OLEH LUKAS ADI PRASETYO

Namun kini, sekitar 10 tahun kemudian, mangrove tak hanya menghiasi depan rumahnya, tetapi juga di sepanjang tepian Sungai Somber. Bahkan, mangrove telah menjadi bagian dari kehidupan Agus Bei melalui Mangrove Center yang dia dirikan, lalu dijalankannya bersama warga setempat.
     Mangrove Center yang luasnya sekitar 12 hektar itu kemudian beranjak menjadi ikon baru wisata di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pada 21 Juli 2010, misalnya, Mangrove Center dicanangkan Pemerintah Kota Balikpapan sebagai kawasan konservasi.
     Tempat itu semakin dikenal orang. Setiap pekan, setidaknya dua rombongan pengunjung dan puluhan orang lain datang ke Mangrove Center yang lokasinya di RT 85, Kelurahan Batu Ampar, Balikpapan.    
Siapa pun yang datang ke lokasi itu pasti senang menyusuri sungai dengan perahu kecil bermesin. Orang seakan bisa membelah air jernih yang terlindungi kanopi mangrove nan rimbun. Udaranya segar. Tepi sungai dan laut di Balikpapan Barat, salah satunya di kawasan ini, memang daerah mangrove paling asri sepanjang pantai Balikpapan.
     Jika beruntung, pengunjung bisa melihat beberapa bekantan bergelantungan dan asyik menikmati menu favoritnya, buah mangrove. Sebagian orang juga menjumpai elang putih di rerimbunan mangrove tengah menanti saat tepat menukik ke sungai memangsa ikan-ikan. Rawa ini juga menjadi habitat buaya rawa yang juga predator bekantan saat berenang.
     Jelas bahwa mangrove menciptakan keseimbangan alam. Alasan itu pula yang membuat Agus, pria yang sehari-hari bekerja sebagai pembuat dan pemasok kotak perkakas keamanan, pada 2001 pindah rumah ke kompleks Graha Indah, Batu Ampar, di tepi Sungai Somber.


Otodidak


     Maka, ketika dia melihat hutan mangrove dibabat dan merasakan dampak buruknya, Agus tergerak untuk mendalami seluk-beluk mangrove secara otodidak.
     Ia rajin bertanya, membaca buku, dan membuka internet.mangrove ternyata memang pelindung pantai dari abrasi. Akarnya mengikat sedimen sehingga membuat tanah menjadi stabil. Ikan-ikan pun terlindungi dengan adanya mangrove. Bahkan, Agus kemudian juga tahu jika tegakan mangrove yang tinggi sanggup melindungi bangunan dari terpaan angin kencang.
     "Setelah dulu mangrove hilang, sempat ada angin kencang yang menerpa ratusan rumah. Belakangan ini saya baru tahu bahwa peristiwa itu bisa terjadi karena mangrove tidak ada," katanya.
     Tidak adanya tegakan mangrove yang dulu menjulang sampai 10-an meter, hawa di dalam rumah pun semakin gerah. Air pasang ditambah tanah berlumpur lalu masuk menggenangi jalan hingga ke dalam rumah. Bahkan, pernah sampai setinggi lutut. Bekantan-bekantan pun tak bisa lagi dijumpai di dekat rumah.
     Kondisi tersebut kian membulatkan tekad Agus untuk menanam mangrove. Tekad itu mulai mewujud ketika para mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda, yang tengah kuliah kerja nyata (KKN) di kampungnya, bisa mengusahakan 1.000 bibit mangrove. Agus semakin tak sabar untuk segera menanamnya.
     "Saat itu, kalau ada orang yang mencari bibit mangrove untuk ditanam adalah hal yang aneh. Lha, biasanya orang mencari bibit tanaman buah. Namun, saya tak peduli karena ingin ada mangrove lagi di depan rumah," cerita Agus, Ketua Mangrove Center, ketika ditemui di rumahnya, Agustus lalu.


Merogoh kocek


     Setelah bibit mangrove pertama diperoleh, satu demi satu bibit mangrove keudian dia dapatkan atau beli dengan dana dari kocek sendiri. Semua bibit mangrove itu langsung ditanam, sampai lambat laun Agus mulai bisa mengembangkan bibit sendiri.
     Kerja kerasnya berbuah hasil. Memang, hamparan mangrove belum serindang dan setinggi dulu, tetapi kondisi itu tinggal menunggu waktu 5-10 tahun lagi.
     Di sisi lain, Mangrove Center mulai menjadi ikon wisata baru di Balikpapan. Bantuan demi bantuan yang diterima Agus semua dikonversi untuk mempercantik kawasan tersebut. Ia membangun pondok-pondok kayu, juga membuat tambak ikan kerapu sejak awal 2011.
     Hasilnya bisa digunakan untuk menambah penghasilan kelompok kerja Mangrove Somera yang sehari-hari mengurusi Mangrove Center. Bahkan, belakangan ini kelompoknya kewalahan memenuhi permintaan bibit mangrove yang per bulan mencapai 500-1.000 bibit. Kampungnya pun didatangi orang dari berbagai kalangan, mahasiswa hingga peneliti mangrove.
     Bisa menggerakkan warga dan memprakarsai Mangrove Cebter, bagi Agus merupakan sesuatu yag tak terbayangkan. Dulu, meyakinkan warga untuk menanam mangrove saja tak mudah.
     Pada 2005, Agus terpilih sebagai Ketua RT 85. Posisi itu memberinya kesempatan untuk "memproklamasikan" mangrove kepada warga. Ia juga terbantu saat menjadi Ketua Komite Nasional Pemuda (KNPI) Balikpapan Utara sejak 2009.
     "Mangrove sekarang bisa menjadi sesuatu yang indah dan obyek wisata. Dulu, saya sempat susah meyakinkan warga di sini. Namun, akhirnya sekitar tahun 2009 warga mulai ikut menanam mangrove. Sampai sekarang sudah lebih dari 15.000 bibit mangrove kami tanam," ujar bapak dua anak itu.
     Agus masih menyimpan segudang keinginan, antara lain mengembangkan Mangrove Center dengan menambah jalan setapak sehingga pengunjung bisa berjalan kaki. Dia juga ingin memperkenalkan mangrove kepada kalangan yang lebih luas.
     Selain itu, bersama kelompoknya, Agus juga tengah mencari peluang untuk meningkatkan nilai tambah mangrove, seperti mengolahnya menjadi berbagai produk olahan.
     Indonesia punya kawasan mangrove yang luas, sekitar 4 juta hektar. Dari luas kawasan tersebut, sekitar 1,35 juta hektar berada di Papua dan 950.000-an hektar di Kalimantan.
     "Kita punya kesempatan untuk menambah luas kawasan mangrove dan mendapat manfaatnya atau mengurangi sampai habis lantas merasakan dampak negatifnya," kata Agus, menegaskan pilihan warga dalam memperlakukan mangrove.
     Agus berharap akan muncul generasi muda yang mau melestarikan mangrove. Bagaimanapun, menurut dia, mangrove adalah harta Kalimantan yang seharusnya dilestarikan.


Dikutip dari KOMPAS, RABU, 21 SEPTEMBER 2011

Muriyanto: Memberdayakan Warga Sigi Menjadi Peternak


MURIYANTO
Lahir : Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1970
Pendidikan :
- SD Negeri Pulu Rembang
- SMP Negeri 1 Rembang
- Sekolah Pendidikan Guru Negeri Rembang
- Jember Bible College Jawa Timur S-1 Jurusan Teologi Fakultas Teologi
Istri : Rusmawati (48)
Anak :
- Yeremiah Eliyanto Yusuf (10)
- Marshanda Eliyani Yusuf (4)

Mengubah perilaku pemuda Desa Sigi, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, yang gemar mabuk-mabukan, berkumpul membuang waktu, dan berkelahi merupakan tantangan yang luar biasa berat. Namun, Muriyanto (41) mampu memberdayakan mereka menjadi peternak.

OLEH DWI BAYU RADIUS
Sebelum tahun 2008, penebangan pohon secara liar merajalela di Desa Sigi. Hutan dan kawasan lindung di desa rusak karena mereka tak punya pilihan selain mencari kayu. Akan tetapi, menebang pohon juga tak sedemikian mudah karena polisi bisa saja mengejar dan menangkap penebang pohon.
     Anak-anak muda yang enggan mencari kayu menghabiskan waktu dengan kegiatan tak jelas. Keributan pun rawan terjadi. Desa Sigi menghadapi masalah sosial yang berat. Sebagai Kepala Desa Sigi, Muriyanto dibuat pening dengan persoalan itu. Ia mau warganya lebih produktif.
     "Bagaimana tidak berat, Desa Sigi dihuni 154 keluarga dan sekitar 90 persennya menggantungkan hidup pada penebangan pohon. Kondisi itu berlangsung setidaknya selama 10 tahun," ujar Muriyanto.
     Ajakan agar warga lebih produktif disambut pertanyaan mengena modal dan pengetahuan untuk memulai usaha baru. Muriyanto pun harus aktif mencari informasi. "Saya tanya program yang cocok kepada Pemerintah Provinsi Kalteng ataupun Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau," cerita Muriyanto.
   Akhirnya, program didapatkan. Warga diikutsertakan dalam program Ketahanan Sosial Masyarakat (Tansosmas) dari Kementerian Sosial pada tahun 2008. Program tersebut menggulirkan dana untuk kelompok peternak ayam dan babi. Setiap kelompok mendapatkan Rp 20 juta yang dibagi untuk 10 anggota.
     Setiap kelompok peternak menerima 10 ayam atau satu babi. Seekor ayam yang diterima setiap anggota harus dikembalikan pula satu ekor untuk digulirkan kepada warga lain. Demikian juga anggota yang menerima babi.

Kesadaran warga

     Dengan demikian, setiap ayam dan babi bisa dibudidayakan terus-menerus setelah berkembang biak. Program itu berhasil. Warga yang sebelumnya mencari kayu, tertarik untuk beternak. Kini, mereka tak lagi dikejar-kejar rasa takut ditangkap polisi.
     "Dulu anak-anak muda hanya mabuk, kumpul-kumpul, dan berkelahi. Sekarang ternak harus dirawat. Jadi tak ada waktu untuk kegiatan tak jelas," kata Muriyanto. Kesadaran warga meninggalkan pembalakan liar juga disebabkan asap kebakaran. Penebangan pohon secara liar menyebabkan banyak aktivitas manusia di dalam hutan. Pencari kayu membuang puntung rokok sembarangan atau membakar lahan untuk membuka jalan. Napas menjadi sesak karena menghirup asap."Langit saat sore di Desa Sigi sudah seperti senja karena tebalnya asap," ujarnya.
     Akan tetapi, menurut Muriyanto, sebagian besar kerusakan disebabkan perusahaan yang memnfaatkan warga. Mereka disuruh merambah hutan dan kawasan lindung. Luas Desa Sigi sekitar 80.000 hektar dan 25.000 hektar di antaranya berupa kawasan lindung.
"Lalu sekitar 15.000 hektar berupa hutan serta danau. Dulu hampir semua kawasan lindung dan hutan rusak akibat penebangan liar," tambah Muriyanto.
    Kondisi diperparah karena kawasan hutan di Desa Sigi terdiri dari gambut yang mudah terbakar saat kemarau. Sungai Kahayan di dekat Desa Sigi pun mendangkal. Habitat biota rusak sehingga ikan semakin sulit dicari dan kelotok susah untuk melewati sungai.
     "Tetapi, sekarang walaupun kemarau tak ada asap di desa ini seperti di beberapa daerah di Kalteng yang sering dilanda kebakaran," ungkapnya.
Bagi warga Desa Sigi, beternak berarti mencegah kerusakan lingkungan. Dalam mengembangkan peternakan warga, Muriyanto ikut beternak serta terjun langsung memantau warga dan memberikan saran. KAwasan lindung serta hutan pun sudah ribun dengan pepohonan dan tak pernah diganggu lagi.
     "Aneka satwa yang kini tinggal di hutan lindung seperti beruang madu, pelanduk, trenggiling, ular, kera, dan landak bisa hidup tenang," kata Muriyanto.

Sumber penghasilan

     Kini, peternakan menjadi sektor yang diandalkan warga Sigi sebagai sumber penghasilan. Setiap keluarga memiliki kandang babi dan ayam di samping rumahnya. "Ada pula yang beternak sapi dan itik. Selain beternak, sudah banyak warga yang mencoba bertani," katanya.
     Sejak 2009, tubuh kesadaran para peternak untuk membentuk kelompok. Saat ini terapat tujuh kelompok peternak dengan total jumlah anggota sekitar 70 orang. "Peternakan pun diintensifkan. Artinya, ternak tak dilepas seperti dulu, tetapi disediakan kandang,"katanya.
     Lahan warga yang sebelumnya kosong, lanjut Muriyanto, ditanami pohon produktif, seperti jeruk, mangga, rambutan, dan durian. Warga juga berinisiatif memanfaatkan lahan kosong di bantaran anak Sungai Kahayan saat kemarau. Bantaran itu tergenang air pada saat musim hujan.
     Air yang mengering ketika kemarau dan menghasilkan endapan, membuat lahan subur. Sekitar 40 hektar bantaran sungai digunakan untuk budidaya jagung, padi, kacang panjang, dan labu siam dengan lama tanam tiga bulan. Saat permukaan air naik, tanaman sudah dipanen.
     "Pohon-pohon seperti meranti, ramin, belangeran, dan agathis kini tumbuh subur dengan ketinggian lebih dari 10 meter," ujarnya.
Taraf hidup masyarakat juga meningkat. Sebagai gambaran, semua keluarga memiliki sepeda motor, bahkan terlihat beberapa mobil. "Sepeda motor dan telepon seluler sebelumnya barang mewah. Sekarang, di setiap rumah ada dua hingga tiga ponsel," ujarnya.
     Melalui Tansosmas pula, masalah putus sekolah dan kenakalan anak muda ditangani dengan program untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). "Mereka mengikuti kursus seperti menjahit, salon, dan montir. Pemuda juga dilatih untuk memadamkan kebakaran lahan," ujarnya.
     Sebanyak 30 warga disebar dalam kelompok-kelompok untuk mendapatkan keterampilan. Lalu, mereka menyebarkan pengetahuannya kepada warga lain. Bahkan, kelompok PMKS bisa menggulirkan dana. Jumlah anggota yang awalnya sebanyak tujuh orang, kini menjadi 29 orang.
     Bersamaan dengan itu, anggaran pun bertambah dari Rp 2,5 juta menjadi sekitar Rp 10 juta. Pemanfaatan anggaran yang sebelumnya digunakan untuk pelatihan itu kian berkembang. Anggota-anggotanya juga berkumpul sebulan sekali untuk mengikuti arisan.
     "Adapula aktivitas simpan pinjam. Tansosmas akhirnya menjelma menjadi pemupuk kebersamaan warga desa," tutur Muriyanto.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 27 SEPTEMBER 2011     

Minggu, 25 September 2011

Suli Artawi: Kembalikan Manisnya Mangga Probolinggo


SULI  ARTAWI

Lahir : Probolinggo, 5 Mei 1955
Alamat : Desa Alaskandang, Kecamatan Besuki, Kabupaten Probolinggo
Istri : Jumiati
Anak :
- Indah Adistya
- Lestari Ramadani
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Petani mangga
Organisasi :
- Ketua Kelompok Tani Sumber Bumi Probolinggo
- Ketua Gapoktan Hasil Tani Probolinggo
Penghargaan :
1. Penghargaan dari Menteri Pertanian (2006) karena mengangkat kembali nama mangga Probolinggo
2. Penghargaan dari Menteri Pertanian (2008) karena melestarikan keberadaan mangga Probolinggo
3. Penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai sosok pendukung ketahanan pangan

Siapa tak kenal buah mangga ("Mangifera indica L") yang daging buahnya terasa manis dan segar itu. Buah mangga ini boleh dibilang memiliki posisi penting dalam dunia buah Indonesia. Bukan hanya biasa menjadi tanaman perindang halaman bagi sebagian anggota masyarakat, dan sekadar dinikmati buahnya. Namun, bagi mereka yang jeli,  mangga adalah buah yang sangat menguntungkan.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Salah satu yang menganggap buah mangga adalah sebagai "jalan hidup dan harga diri" adalah Suli Artawi (56), seorang petani dan eksportir mangga yang hingga kini tidak punya lahan khusus mangga, selain di halaman rumahnya  di Probolinggo, Jawa Timur.
Mangga probolinggo adalah jenis mangga yang cukup terkenal di samping mangga-mangga unggulan Indonesia, seperti mangga indramayu, mangga gedong, dan mangga gedong gincu.
Dengan mangga, Suli telah mengangkat nama Probolinggo ke kancah buah internasional. Dialah yang sejak tahun 2000 mengekspor mangga probolinggo ke Singapura dan kini juga melayani Hongkong. Jadi jangan kaget jika anda jalan-jalan ke dua kota tersebut dan anda menikmati jus mangga, kemungkinan bahan bakunya adalah mangga asal Probolinggo.
"Ada kebanggaan ketika mangga kita bisa bersaing di tingkat internasional. Artinya, kalau kita benar-benar serius merawat mangga, kita bisa mengharumkan nama bangsa di tingkat internasional," ujarnya. Selain Indramayu dan Cirebon, Probolinggo merupakan salah satu sentra  buah yang aslinya berasal dari India dan menyebar ke Asia Tenggara itu.
Sayangnya, menurut Suli, selama ini masyarakat tak begitu serius merawat mangga. Tanaman mangga dibiarkan tumbuh begitu saja, tidak dipupuk atau disiram, dipetik asal-asalan. Dan, saat tidak lagi menguntungkan, ditebang begitu saja.
Menurut Suli, sudah banyak orang enggan menanam mangga karena dinilai terlalu ribet mengurusnya, dengan hasil yang tidak maksimal. Setidaknya Suli mencatat, sudah lebih dari 100.000-an pohon mangga di Probolinggo ditebang karena dinilai tidak lagi menguntungkan. Masyarakat beramai-ramai menggantinya dengan pohon sengon yang secara ekonomis lebih menghasilkan. Seperti juga di sejumlah kawasan di Jawa. pohon sengon kini menjadi salah satu tanaman yang banyak ditanam di berbagai lahan petani.
"Harga jual mangga tidak bagus karena petani sendiri. Mereka memetik mangga saat masih terlalu muda sehingga rasanya asam dan tidak layak jual. Coba kalau mangga dipetik tepat waktu, harga jualnya akan tinggi,' ujar pria lulusan SMP itu.

Memetik

Pemahaman bertani mangga dengan benar itulah yang kini ditularkan Suli ke berbagai kelompok tani di pelosok Tanah Air. Untuk itulah, hari-hari Suli kini lebih banyak diisi dengan melatih petani-petani mangga yang butuh bantuannya.
Salah satu kelompok tani asal Nganjuk, Jawa Timur, misalnya, setelah dilatih selama beberapa saat, kini mampu mengekspor mangga produksi mereka sendiri."Kebanyakan orang bisa merawat tanaman mangga mereka. Namun,  yang dilupakan adalah saat memetik.Orang cenderung asal-asalan memetik buah mangganya sehingga kualitas rasanya jelek. Hal inilah yang harus disadari petani," ujarnya.
Selain menularkan ilmu soal kualitas mangga. Suli juga menjadi petani pemulih lahan mangga telantar menjadi produktif kembali. Suli menyewa lahan-lahan telantar petani selama beberapa tahun, memulihkan tanaman mangganya agar kembali berproduksi. Setelah itu, Suli mengembalikannya kepada petani tersebut jika ia berminat meneruskan penanaman mangga.
"Saya menyewa lahan tersebut salah satu tujuannya agar tanaman mangga tidak ditebang dan diganti tanaman lain. Rata-rata lahan mangga telantar oleh pemiliknya. Awalnya mau dijadikan lahan tanaman sengon," tambah Suli.
Ia memang menjalankan upayanya dengan sungguh-sungguh. Setiap mendengar ada pohon mangga yang akan ditebang, Suli mendekati pemiliknya dan mengatakan bahwa produksi tanaman mangga itu bisa dipulihkan kembali. Jika  si pemilik berkeras tetap akan memangkas tanaman mangganya, Suli baru menyatakan ingin menyewa lahan tersebut. Ia  menuturkan kepada si pemilik lahan akan membuktikan bahwa tanaman mangga tersebut bisa kembali produktif.
Lambat laun lahan mangga sewaan Suli menumpuk.Kini ada 40 hektar lahan tanaman mangga Suli yang semuanya adalah lahan sewaan dari orang lain.
Suli memang bukan pemain baru di bisnis mangga. Dia menggeluti bisnis mangga sejak tahun 1982 (menyetor mangga ke berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta dan daerah lain). Namun, uniknya hingga kini tidak mempunyai lahan mangga sendiri selain yang ada di halaman rumahnya.
"Ya, saya justru tidak punya lahan sendiri. Selama ini saya bertani dengan menyewa lahan milik orang. Tidak masalah, asal saya tidak melihat lagi pohon-pohon mangga ditebangi," tutur Suli.
bagi dia, mangga tidak hanya dilihat secara ekonomi. Namun, mangga merupakan harga diri dan masa depan bangsa."Kalau mangga-mangga kita menguasai luaar negeri, tentu kita akan bangga. Citra bangsa kita pun akan ikutan baik," katanya.
Suli kini bisa mengekspor 1-3 ton mangga setiap hari (saat musim) ke Singapura dan Hongkong. Beberapa negara lain di Asia juga sebenarnya minta dikirimi buah mangga, tetapi karena belum bisa mencukupi kebutuhan tersebut, kerjasama dengan negara-negara itu belum bisa direalisasikan.
Untuk menarik minat orang lain menanam mangga, Suli menampung mangga petani dengan harga di atas rata-rata. Asalkan mangga tersebut dirawat dengan benar. Mangga yang semula hanya laku Rp 4.000 per kilogram di pasaran, kini setelah dirawat harganya minimal Rp 8.000 per kilogram.
Usaha Suli tidak sia-sia  karena kini banyak orang di kampungnya ikut-ikutan berkebun mangga dengan benar.Mereka kini pun menjadi penyuplai mangga siap ekspor bagi Suli. Masyarakat pun mulai kembali merasakan "manisnya' mangga Probolingo.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 26 SEPTEMBER 2011

Jumat, 23 September 2011

Yana Mulyana: Membawa Kompos Kembali ke Sawah


YANA MULYANA

Lahir :  Tasikmalaya, Jawa Barat, 12 Januari 1967
Istri : Enok Hidayati (32)
Anak :
- Adam Cholid Muharam (12)
- Siti Hawa Ramadani (5)
Pendidikan :
- SMA Pasundan Tasikmalaya
- S-1 Jurusan Pendidikan Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam, Tasikmalaya, lulus 1993
Pekerjaan : Ketua Kelompok Tani Giri Mukti Tasikmalaya
Penghargaan : Penghargaan untuk Kelompok Tani Giri Mukti sebagai kelompok tani yang mampu menggalakkan ketahanan pangan nasional dari Presiden, 2010

Pada tahun 1996-1999, Yana Mulyana adalah distributor sekaligus penjual 20 ton pupuk kimia di Kampung Mekarjaya, Desa kalimanggis, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Usahanya terbilang menguntungkan karena petani setempat selalu membeli pupuk kimia kepadanya.

OLEH CORNELIUS HELMY

Tak hanya itu, Yana juga menjadi tempat bertanya petani setempat terkait dosis pemakaian pupuk kimia yang mereka beli.
     "Biasanya mereka bertanya bagaimana meningkatkan hasil panen. Berbagai cara sudah saya sarankan, seperti metode pupuk berimbang dengan menambahkan kuantitas pupuk hingga mendekati batas ideal," ceritanya.
     Akan tetapi, memasuki tahun 2000, Yana mulai jengah saat sarannya ternyata tak bisa memperbaiki hasil panen petani. Bahkan, sarannya menambahkan pupuk kimia justru menurunkan hasil panen petani.
     Rata-rata petani hanya mendapatkan hasil 3 ton gabah per hektar dan jumlah itu terus berkurang. dengan harga jual gabah Rp 2.700 per kilogram (kg), petani hanya mendapatkan hasil sekitar Rp 8,1 juta.
Apabila pendapatan petani dikurangi pembelian beragam pupuk, seperti urea, KCL, dan TSP, serta upah buruh tani, pendapatan mereka akan berkurang menjadi Rp 6 juta-Rp 7 juta per musim tanam.
"Uang itu masih dikurangi lagi untuk modal awal yang diperlukan petani untuk mengolah sawah. Pendapatan petani hanya tersisa Rp 1 juta- Rp 2 juta. Saya merasa bersalah karena tak bisa membantu mereka," ujarnya.

Hewan sawah

     Kegelisahan Yana mendapat jawaban saat dia bersama beberapa petani yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Tasikmalaya menjadi peserta Pelatihan Sekolah Lapang Pembelajaran Ekologi Tanah pada 2001.
     Dalam pelatihan tersebut, Yana belajar tentang ciri-ciri tanah sakit atau tidak subur. Ada tiga indikator utama tanah sakit, yaitu tidak mampu mengikat air, tidak mampu menyerap udara, serta tekstur permukaannya cenderung kasar dan keras.
     Selepas pelatihan, Yana menerapkan ilmunya pada areal tanah sawah miliknya. Hasilnya menunjukkan, tanah itu dalam keadaan sakit. Ini terlihat dari ketidak mampuan tanah menyerap air.
Yana memperkirakan, 50 persen air yang dituangkan ke areal tanah sawah itu keluar dari tanah. Dari tes yang sama, tanah tersebut juga mengeluarkan gelembung. Ini menandakan buruknya kemampuan tanah menyerap udara.
     Indikator terakhir terlihat dari permukaan tanah yang keras dan kasar. Hal itu disebabkan endapan pupuk kimia yang tak terserap tanah.
     Strategi penyelamatan pun dimulai. Yana memutuskn meninggalkan pekerjaan sebagai pedagang pupuk kimia dan mulai mencari cara guna mengembalikan kesehatan tanah yang terlanjur rusak.
     Lagi-lagi, ilmu dari pelatihan ekologi tanah yang diikutinya memberikan ide. Yana memilih mengembangkan penanaman padi secara organik. Di sini diperlukan antara lain pengaturan air yang tepat, pemilihan benih yang tepat, dan pemeriksaan padi secara berkala.
Pada penanaman padi secara organik juga diperlukan penggunaan kompos dan mikro organisme lokal (MOL). Bahkan, ini menjadi salah satu kuncinya.
     "Saya mencoba fokus pada pembuatan kompos dan MOL. Karena saat itu belum banyak orang yang menjualnya, kami membuat sendiri kompos dan MOL dengan menggunakan sayuran atau daun yang sudah membusuk," ujarnya.
     Perlahan penggunaan kompos dan MOL memberikan hasil positif. Yana berhasil mengembalikan hewan-hewan sawah di Kampung Mekarjaya, seperti kembalinya katak hijau.
Keberadaan katak hijau diyakininya menjadi salah satu indikator kesehatan lingkungan. Saat lingkungan tak sehat, katak bisa stres sehingga "mengubah" warna tubuhnya menjadi coklat hingga menghilang akibat tidak kuat hidup dalam ekosistem yang buruk.
     Menurut Yana, katak juga berperan melahap serangga perusak padi. Karena itu keberadaan katak juga signifikan dalam menyuburkan padi. Suara katak pun menjadi vitamin yang memberikan kesuburan pada tanaman padi.
     "Kunang-kunang juga muncul lagi. Cahaya yang dihasilkan kunang-kunang itu diyakini warga bisa membantu proses fotosintesis padi," ujar Yana.

Menekan pengeluaran

     Hasil positif itu ditularkan Yana kepada petani lain. Petani pun kemudian mendapatkan hasil panen lebih banyak. Dari sekitar 1 hektar lahan sawah padi organik bisa didapat kira-kira 9-12 ton.
Di samping itu, biaya tanam yang menjadi beban petani juga lebih kecil dari sebelumnya. Kalau semula petani mengeluarkan  dana sekitar Rp 5 juta, kini hanya sekitar Rp 2 juta per hektar per panen. Pengeuaran bisa ditekan karena petani tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk pupuk dan pestisida kimia.
     Keberhasilan menghidupkan kembali kompos dan MOL membuat Yana makin dikenal orang sampai luar Kampung Mekarjaya. Bahkan, beberapa peneliti pertanian pun mengenalnya.
Mereka datang ke Mekarjaya untuk belajar mengembangkan pertanian ramah lingkungan. Dalam setahun, tak kurang dari 10 rombongan dari sejumlah daerah, seperti Aceh, Jambi, dan Lampung, datang berguru ke Kampung Mekarjaya. Satu rombongan itu biasanya terdiri dari 20-30 orang.
     Yana juga kerap diundang menjadi pembicara ke sejumlah daerah di Pulau Jawa. Statusnya pun berubah dari "guru" pupuk kimia menjadi "guru" kompos dan MOL.
"Tidak ada kewajiban bagi pengunjung untuk membayar biaya pelatihan. Hal ini saya lakukan dengan sukarela," katanya.
     Sayangnya, meski sudah dikenal sampai luar Tasikmalaya, apa yang dilakukan Yana justru tak diikuti semua petani di sekitar tempat tinggalnya. Kini, dari 80 hektar total sawah di Mekarjaya, baru sekitar 10 hektar yang dikelola dengan menggunakan kompos dan MOL.
Sisa lahan sawah yang ada di kampung itu masih mengandalkan pupuk dan pestisida kimia. Bahkan, justru nada sumbang yang didengarnya. Sosialisasi kompos dan MOL dianggap hanya upayanya mencari keuntungan pribadi.
     "Padahal, semua ilmu itu saya berikan gratis, tanpa biaya. Meski demikian, saya tidak putus asa untuk mengajak mereka ikut serta. Sebab, pertanian organik ini kunci efektif mengatasi rusaknya kualitas tanah agar petani tak terus-menerus berada dalam lingkaran kemiskinan," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 22 SEPTEMBER 2011

Kamis, 22 September 2011

Andre Graff : "Penggali Sumur" untuk Warga Sumba


ANDRE GRAFF

Lahir : Alsace, Munster, Perancis, 24 Juli 1957
Pendidikan, antara lain :
- Setingkat SD dan SMP, lulus 1968
- Setingkat SMA, 1974
- Universitas Louis Pasteur, Strasbourg, Perancis, 1978
Kegiatan, antara lain :
- Public Relation and Communication, 1985-2004
- Pilot balon udara, 1980
- Memimpin perusahaan balon udara, 1985-2004
- memimpin Pilot Project Waru Wora ((PPWW) Sumba, 2011

Nama aslinya Andre Graff, tetapi masyarakat Sumba memanggilnya "Andre Sumur". Warga di tempat tinggalnya, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, menyapa dia Amaenudu, orang yang baik hati. Ini karena perjuangannya mengadakan sumur gali bagi warga Sumba dan Sabu Raijua.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Padahal, latar belakang Graff adalah pilot balon udara. Selama puluhan tahun ia juga memimpin perusahaan balon udara di Perancis untuk pariwisata. Dia suka menerbangkan balon udara melewati Pegunungan Alpen.
     "Menjadi pilot balon udara tidak mudah, kita harus mengikuti arah angin. Terkadang kita sudah sampai di tempat tujuan, tetapi tiba-tiba dibawa angin kembali ke tempat lain. Di sini diperlukan pengetahuan aerologi, meteorologi, dan klimatologi," kata Graff di Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Sumba Barat, 30 kilometer (km) sebelah utara Waikabubak, Kamis (15/9).
     Tahun 1990 dan 2004, Graff mengunjungi Bali sebagai turis. Dari Bali dia menyewa perahu layar dan bersama tujuh wisatawan asing dari sejumlah negara menjelajahi beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT), seperti Sabu Raijua, Sumba, Solor, Lembata, Alor, dan Kepulauan Riung.
     "Teman-teman turis itu latar belakangnya beragam, ada yang dokter bedah, ahli planologi, dan ahli pertanian," katanya. Sejumlah aktivitas masyarakat, budaya, dan tradisi lokal pun menjadi obyek foto mereka.
     Saat itu Graff berjanji akan mengirimkan foto yang mereka buat kepada warga setempat. Jumlahnya mencapai 3.547 lembar, seberat 25 kilogram. Agustus 2004, ia memutuskan mengantar sendiri foto tersebut kepada sejumlah warga di NTT.
     Juni 2005, dia singgah di Sabu Raijua dan menetap di kampung adat Ledetadu. Warga di kampung itu kesulitan air bersih. Setiap hari mereka harus berjalan 2 kilometer untuk mengambil air sumur di dataran rendah.
     "Saya prihatin,.Saya lalu bertemu Pastor Frans Lakner, Sj yang sudah 40 tahun mengabdi di Sabu. Dia mengajari saya bagaimana mencari air tanah, menggali sumur, dan membuat gorong-gorong dari beton agar air tak terkontaminasi lumpur. Gorong-gorong itu bertahan sampai bertahun-tahun kemudian," katanya.

Gorong-gorong beton

    Graff pun membuat satu unit sumur bagi 127 keluarga di Ledetadu. Merasa puas atas hasilnya, dia lalu menggali sumur dan memasang gorong-gorong beton lain bagi warga seekitar Ledetadu.
Pada 2005-2007, dia berhasil membuat 25 sumur gali bagi 1.250 keluarga yang tersebar di tiga desa. Graff juga mengajarkan warga setempat untuk mencari air, menggali, dan membuat gorong-gorong yang berkualitas. Pengetahuan itu terus dia tularkan kepada desa-desa di sekitar Ledetadu dan Namata.
     Berkat air sumur, warga bisa menanam sayur, jagung, buah, dan umbi-umbian di sekitar rumah. Mereka bisa menjual hasil kebunnya ke pasar untuk membeli beras dan kebutuhan lain.
Akhir 2007, ia memutuskan pindah ke Lamboya, Sumba Barat, setelah warga Sabu Raijua bisa membuat sumur sendiri. Ia tinggal dengan Rato (Kepala Suku) Kampung Waru Wora, Desa Patijala Bawa, Lamboya. Di sini ia membentuk kelompok pemuda beranggotakan sembilan orang untuk membuat gorong-gorong yang disebut GGWW (Gorong-gorong Waru Wora).
     Melihat kualitas dan fungsi gorong-gorong itu, warga kampung dan desa lain di sekitar Patijala pun memesan gorong-gorong kepada GGWW dengan harga Rp 300.000 per potong (sekitar 1m x 1m).
Pada 2007-2011, sebanyak 35 sumur berhasil dikerjakan Graff bersama GGWW. Mereka melakukan pencarian air dengan kemampuan khusus yang dimiliki para rato dalam menentukan lokasi sumber air tanah.
     "Orang kampung tak memakai alas kaki. Telapak kaki mereka langsung langsung kontak dengan tanah dan mampu merasakan lokasi di mana ada air," kata Graff.

Tak mandi

     Permukiman warga di Sumba dan Sabu umumnya berada di dataran tinggi dengan jarak tempuh ke lembah yang ada sumber airnya 1 km hingga 3 km.
     "Setiap pagi, kaum perempuan menghabiskan 2-3 jam untuk mengambil air 20 liter. Air untuk memasak, mencuci alat dapur, dan memberi minum ternak. Anak-anak ke sekolah tak mandi. Warga kampung pun buang hajat di sembarang tempat. Ini membuat sanitasi jadi buruk," katanya.
     Graff mencari solusi tanpa mengotori lingkungan dengan mesin diesel berbahan bakar minyak. Energi matahari diupayakannya untuk menaikkan air dari lembah ke perkampungan. Ia menemui seorang ahli tenaga matahari di Denpasar.
     Mereka mengevaluasi masalah air sumur dan permukiman warga Sumba, lalu terbentuklah Pilot Project Waru Wora (PPWW) berupa sinar sel.
    Graff kekurangan modal. Namun, ia berhasil mendapat bantuan Rp 330 juta dari Rotary Club Belanda. Dana itu belum cukup untuk mewujudkan proyek tersebut.Masih dibutuhkan dana sekitar Rp 500 juta.
Salah satu upaya yang dilakukannya adalah mengadakan pameran foto tentang Sumba dan Sabu Raijua di Jakarta dan Denpasar.
"Sayang, foto-fotonya tak laku. Orang hanya kagum , tetapi tak membeli. Namun, saya bertemu orang dari Shimizu yang bersedia emmbantu pompa, pipa, tanki air, dan bahan lain. Ada pula teman yang membantu Rp 50 juta, tetapi kesulitan belum teratasi," kata Graff yang juga mendapat bantuan dari Bupati Sumba Barat sebesar Rp 65 juta.
     Menurut dia, komponen termahal proyek ini adalah solar sel berukuran 6meter x 6meter untuk menampung energi matahari guna menaikkan air dengan ketinggian 1.300 meter ke permukiman warga yang berjarak 110 meter.
     Apabila proyek ini terwujud, 11 kampung di Desa Patijala Bawa atau sekitar 1.600 jiwa bisa menikmati air bersih. Sampai kini baru 600 jiwa atau tujuh kampung yang terlayani.
     "Saya bukan orang LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang (sebagian) asal kerja. Saya punya pilot project. Orang bisa belajar di sini karena proyek dengan sinar matahari guna 'menarik' air ini merupakan (salah satu) terbesar di Indonesia. Ke depan, wilayah ini bisa menjadi pusat wisata," katanya.
     Jika proyek itu terwujud, Graff sudah punya program lain, yakni melakukan filtrasi (penjernihan) air, program pengadaan rumah mandi untuk kelompok masyarakat di setiap kampung, dan program pertanian pekarangan rumah atau lahan terbatas.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 23 SEPTEMBER 2011

Senin, 19 September 2011

Ali Abubekar Pae : Pengelola Museum Tenun Ikat NTT


ALI ABUBEKAR PAE

Lahir : Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), 28 Januari 1968
Pendidikan : S-1 Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT, 1993
Kegiatan :
- Pengelola Museum Tenun Ikat di Ende
- Pemilik toko busana Lio di Pasar Mbongawani, Ende
Istri : Yenni Erlisa Bata (37)
Anak : Flady Faliyenco Franggaratz (9)

"Na na, kami wezu mbejaka zeze si kau....." (Lihatlah kain tenun itu. Kami sudah melepaskan semuanya dalam kain itu, kini terserah kepadamu untuk mengembangkannya). Bisikan itu seakan terngiang di telinga Ali Abubekar Pae pada suatu malam di Jakarta pada tahun 2000.

OLEH SAMUEL OKTORA

Bisikan itu seakan didengar lelaki warga Kelurahan Paupanda, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu saat ia melepas penat setelah berdagang seharian. Sejak peristiwa itu arah hidupnya berubah. Dia semakin menggeluti dunia tenun ikat tradisional, khususnya asal NTT.
"Entah mengapa, malam itu mata saya tergerak untuk melihat salah satu kain tenun yang disimpan di lemari, lalu saya membentangkannya. Begitu suara lembut itu menggema, saya sampai menangis sambil mencium kain tenun tersebut. Ternyata nenek moyang kami luar biasa. Mereka sudah meletakkan semua rahasia motif dan ragam hias dalam kain tenun buatan tangan. Tinggal kami yang hidup sekarang mengembangkannya," kata Ali mengenang kejadian 10 tahun silam.
Tekad Ali menekuni kerajinan tenun ikat lalu membuatnya menjadi pengelola Museum Tenun Ikat di Ende , satu-satunya museum tenun ikat di NTT. Namun, jangan membayangkan Ali yang ditetapkan sebagai pengelola museum dengan Surat Keputusan Bupati Ende Nomor 26 Tahun 2009 itu mendapat fasilitas memadai.
Sejak mengelola museum yang diresmikan pada 5 Agustus 2004 itu, ia tak pernah menerima gaji dari Pemerintah Kabupaten Ende meski  museum itu adalah aset pemerintah daerah. Guna menopang kehidupan keluarga, bapak satu anak ini mengandalkan usaha dari toko busana Lio di Pasar Mbongawani, Ende.
Ali pun harus mengelola museum tenun ikat itu seorang diri, mulai dari menyapu, mencabut rumput, menghias taman, sampai menambah dan memajang koleksi museum setiap bulan. Pemerintah Kabupaten Ende hanya mengurus pembayaran rekening air dan listrik museum setiap bulan. Untuk biaya operasional lain, seperti pemeliharaan museum, pemerintah daerah pernah membantu dua kali dengan total dana Rp 2 juta.

Pulang kampung

Meski dibesarkan di lingkungan keluarga yang terampil menenun (terutama ibunya, Siti Fatimah), awalnya Ali "buta" seluk beluk tenun ikat. Lulus S-1, Ali merantau ke Pulau Jawa, ia bekerja sebagai asisten pengacara di Bondowoso, Jawa Timur, pada 1994. Ia juga pernah bekerja sebagai pemasar produk kebutuhan rumah tangga dan peralatan kesehatan di Jakarta.
Saat ia merantau, sang ayah, Abubekar Pae, meminta dia ikut menjualkan  tenun ikat hasil kerajinan tangan Siti fatimah dan kelompok tenunnya di kampung.
"Saya sempat berpikir, masak sarjana jualan kain di Jakarta? Namun, krisis moneter 1998 membuat saya mencoba menjajakan tenun itu. Ternyata peminat tenun ikat banyak, konsumennya sampai orang asing. Rasa bangga saya pada kain buatan kampung halaman juga tumbuh," ceritanya.
Seiring bertambahnya permintaan, kiriman tenun dari kampung pun meningkat. Kain tenun itu dijualnya mulai dari Rp 90.000 sampai Rp 2 juta per lembar, tergantung kualitas, kerumitan tenunan, warna, dan panjang kain.
Pada 2003, Ali memutuskan pulang kampung stelah ayahnya meninggal pada 2000 dan sang bunda sakit-sakitan. "Saya sempat bingung.  Mau kerja apa di Ende?" ujarnya.
Sambil mencari peluang kerja, Ali punya banyak waktu untuk belajar dan memperhatikan sang bunda dan kelompoknya menenun. Dari menjual, lalu tertarik, akhirnya Ali bisa menguasai ilmu menenun kain. Meski diakuinya, dalam tradisi di NTT, bagi lelaki "tabu" menenun. Namun, Ali berani mendobrak paradigma itu.

Rumah adat terlantar

Cikal bakal berdirinya Museum Tenun Ikat bermula saat Ali berkunjung ke Kantor Dinas Pariwisata Ende. "Saat bertemu beliau (Pua Mochsen, kepala dinas waktu itu), saya bertanya mengapa rumah adat (tempat museum kini) itu terlantar? Beliau mempersilahkan saya mengajukan proposal," katanya.
Ali pun mengajukan proposal pendirian museum tenun ikat. Pertimbangannya, bangunan itu adalah rumah adat (Lio) dan di Ende ada komunitas perajin tenun ikat.
"Kalau di Jawa ada museum batik,mengapa di Ende tak didirikan museum tenun ikat? Kami memilih Museum Tenun Ikat agar hasil kerajinan tenun ikat dari luar NTT pun bisa masuk museum," katanya.
Dalam perjalanannya sebagai pengelola museum, tugas Ali tak ringan. Sebagian orang bahkan menganggap dia tak waras karena mau bekerja bakti tanpa gaji sepeser pun. Namun, Ali tetap berusaha menambah koleksi tenun museum sesuai dana pribadi yang bisa dikumpulkannya.
Kini, setidaknya 50 lembar tenun ikat menjadi koleksi museum.  Kain itu berasal dari sejumlah daerah, seperti Ende, Kabupaten Sikka, Timor Tengah Selatan (TTS), Belu, Rote, Ndao, Sabu Raijua, Sumba Barat, dan Sumba Timur.
Sebagai pengelola museum, dana pribadi yang telah dikeluarkan Ali untuk koleksi, penataan, penerangan, dan pemeliharaan kain tak kurang dari Rp 50 juta.
Ali berharap, dengan segala keterbatasan itu, nantinya Museum Tenun Ikat tak sekadar menjadi  lembaga pengetahuan yang kaku dan menjemukan, tetapi juga menjadi museum yang patut dibanggakan.
"Saya ingin menjadikan museum ini punya koleksi kain lengkap dengan alat peraga menenun, berkesan informal, bisa menghibur, dan membuat pengunjung merasa asyik," katanya.
Sampai kini Museum Tenun Ikat pun belum memiliki perpustakaan meski perpustakaan dapat menjadi salah satu daya tarik bagi pengunjung.
Ali juga berharap museum ini bisa dilengkapi peralatan teknologi visualisasi guna menampilkan semua koleksi kain agar tak perlu dipamerkan secara fisik. bagaimanapun sebagian kain kuno itu rawan terkoyak.
"Museum ini sebenarnya juga perlu tenaga keamanan. Apalagi jika fasilitas museum kelak makin lengkap dan modern. Sebab, tahun lalu saja ada sejumlah kain yang dicuri orang," katanya.
Masih banyak "tugas" yang menunggu Ali. Selain menambah koleksi museum, dia juga memerlukan dana dan uluran tangan mereka yang mau membantunya meneliti dan mendokumentasikan motif serta makna setiap kain tenun ikat.
"Kalau bukan karena  'panggilan', saya tidak kuat berada di sini. 'Panggilan' itu membuat saya dapat melangkahkan kaki dengan ringan ke tempat ini. Saya hanya memiliki keyakinan, apa yang saya lakukan mungkin saat ini terlihat tak berguna, tetapi suatu saat akan terbukti bahwa ini suatu pekerjaan besar. Jika kelak posisi saya harus diganti orang lain, bagi saya tidak ada masalah," kata Ali tegas.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 20 SEPTEMBER 2011

Jumat, 16 September 2011

Semangat Liligundi Made Dana


Data Diri

Nama : I Made Dana
Lahir : Sanur, 31 Desember 1954
Istri Pertama : I Nyoman Seji (48)
Istri Kedua : Ni Made Suri (46)
Anak :
- Ni Wayan Wilianingsih SE (30)
- Kadek Wiliawan (28)
- Komang Wiryawan (26)
- Wayan Budiastawan (18)
Pekerjaan :
- Kepala Desa Sanur Kauh, Denpasar (2002-sekarang)
- Kelian Banjar Puseh Kangin (1995-2002)
- Pemandu wisata freelance bersertifikat Bahasa Jepang (1980-1981)
- Pemandu wisata di Jabato Intersanional Bali (1981-1997)
- Ketua Pecalang Desa Adat Intaran (1997-2002)
Keahlian lain : Melukis, menari, dan menyanyi dalam bahasa Bali

Untuk mengusir nyamuk, warga Desa Sanur Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan, Bali, mempertahankan cara-cara tradisional, yakni dengan asap hasil pembakaran daun dan sedikit batang liligundi. Kebiasaan nenek moyang ini bertahaan berkat kegigihan I Made Dana.

Oleh AYU SULISTYOWATI

Ya, tanaman liligundi (Vipex sp) yang mulai langka dan dilupakan oleh generasi muda ini dapat dijumpai dengan mudah di Desa Sanur Kauh. "Nah, begini  cara nenek moyang kita zaman dahulu mengusir nyamuk demam berdarah," kata Made Dana (54) sambil tangannya memegang batang dan daun liligundi yang sudah berasap karena dibakar.
     Lelaki yang terpilih menjadi kepala desa sejak tahun 2002 itu mengaku tidak mudah mengajak tetangga -termasuk istri dan anaknya- untuk membudidayakan sekaligus memanfaatkan liligundi. Bahkan  hingga sekarang pun ia masih kesulitan memasarkan produk berbahan baku tanaman yang sepintas daunnya mirip daun belimbing itu.
     Pada awal tahun 2002, ketika mulai mengolah tanaman liligundi, ia sempat dicemooh. "Mereka menganggap ssaya gila. Zaman modern seperti ini kok masih sempat-sempatnya mengolah obat antinyamuk," tutur  Made Dana.
     Namun, Made Dana tidak patah semangat. Ia terus berinovasi, bagaimana caranya agar daun kering liligundi bermanfaat bagi banyak orang. Pria beranak empat itu mengakui, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai pengolahan mengenai pengolahan bahan-bahan untuk antinyamuk. Ia hanya mempelajari dari buku-buku. "Soal modal, saya tidak punya. Modal saya hanya keberanian dan tekad saja," ujar Made Dana.
     Ia terus mencari tahu bagaimana liligundi bisa jadi obat antinyamuk bakar, tetapi bentuknya bukan seperti yang dijual di pasaran. Bentuk antinyamuk liligundi dalam benak dan bayangannya adalah hio atau dupa berbentuk limas dengan bau wangi tak menyengat, serta tak membuat sesak napas dan banyak asap yang memenuhi  ruangan ketika dibakar.
     Bayangan itu terus mengejar Made Dana dalam kesehariannya hingga akhirnya dia melakukan sendiri seluruh proses perwujudan mimpinya itu.

Dikeringkan

     Daun-daun hijau liligundi dikeringkannya secara manual di bawah sinar matahari selama beberapa hari. Selanjutnya, daun ditumbuk secara tradisional dengan alu serta lesung agar menjadi bubuk halus.
     Kemudian, bubuk liligundi dicampur dengan tepung kanji dan sedikit lem kerta bubuk kayu. Pencampuran ini bertujuan agar bubuk liligundi bisa pekat dan mudah dibentuk menjadi limas-limas berukuran sekitar 10 sentimeter yang mengerucut.
     Meskipun disangsikan beberapa warga sekitar, Made Dana mengakui dia tetap mendapat dukungan dari sekitar 7 warga yang baginya merupakan teman setia dalam proses pengolahan daun liligundi. Ia lalu menjadikannya sebuah kelompok K3 (Kesehatan, Kebersihan, dan Keselamatan) Desa Sanur Kauh.
     Selesai dibentuk menjadi limas-limas liligundi, Made Dana yang juga bekerja sebagai pemandu wisata berbahasa Jepang ini masih harus menunggu bahan racikannya itu mengering di bawah terik matahari. Setelah melalui proses dan uji coba selama beberapa bulan di rumahnya di Tukad Bilok III No 1, Made Dana pun bisa bernapas lega.

Produksi

     Sejak tahun 2002 hingga sekarang, rata-rata dia mampu memproduksi 260 bungkus dengan isi empat batang setiap bulannya. Ia memasang harga Rp 2.500 per bungkus
     Sukses Made Dana mulai mendapat simpati belasan warga sekitar. Mereka ikut membuat antinyamuk liliigundi di rumah masing-masing. Hasil olahan tetangga itu dibeli Made Dana dengan harga Rp q.500 per bungkus. Kini, antunyamuk liligundi juga mulai diterima oleh wisatawan asing yang datang ke Bali.
Selama menunggu proses pembuatan obat antinyamuk bakar liligundi, Made Dana tak tinggal diam. Ia memnfaatkan keahliannya dalam seni lukis dan mendesain bungkusnya agar menarik ketika dipasarkan.
     Bungkusnya  berbentuk trapesium, disesuaikan dengan limas-limas liligundi jika disusun berjajar. Pada bagian depan tampak lukisan dua laki-laki dan perempuan tengah sembahyang dengan latar belakang pemandangan gunung. Selain itu, tertulis pula Linting Liligundi dengan merek Somya (dari alam kembali ke alam) dan Sampunang Ngarubeda (jangan ganggu kami) sebagai slogannya.
     Menurut Made Dana, somya merupakan sebuah amanah agar jangan melupakan warisan leluhur. Liligundi merupakan tanaman alam dan nyamuk juga merupakan hewan alam sehingga alam pulayang semestinya melawannya, bukan dengan zat-zat kimia.
     "Selain itu, saya juga menyayangi alam agar tidak menambah pencemaran lingkungan dengan menggunakan zat kimia berlebihan. Dengan memanfaatkan liligundi ini, saya merasa sedikit lega karena bisa memelihara dan melestarikan alam," jelasnya.
     Sampunang Ngarubeda diartikan Made Dana sebagai slogan agar nyamuk itu mati atau menjauh setelah menghirup asap dari bahan antinyamuk bakar liligundi.
     Setelah produksi berjalan lancar, Made Dana masih menghadapi kendala dalam pemasaran. Berbagai kritik terlontar dan menjadi masukkan buatnya, antara lain, harga yang Rp 2.500 per bungkus (isi 4 batang) dinilai terlalu mahal.
     Made Dana mengakui, produknya itu memang terasa mahal karena tiap batang hanya bisa bertahan dari 45 menit, bahkan sering kurang dari itu. Adapun satu lingkaran antinyamuk bakar yang biasa dijual di pasar bisa bertahan hingga 6 jam. "Saya tidak memungkiri itu. Tetapi persoalannya, obat nyamuk liligundi ini lebih aman, lebih alami, dan diproduksi secara tradisional. Jadi wajar jika mahal," tuturnya.
     Made dana menyatakan akan terus berusaha menjadikan liligundi bakarnya itu sebagai produk yang menarik dan dikenal banyak orang, tidak hanya di Bali saja.
     "Saya yakin mampu menembus pasar itu," ujarnya mantap.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 13 FEBRUARI 2009