Senin, 31 Oktober 2011

Wahyono: "Kuncen" Mangrove Segara Anakan

THOMAS HERI WAHYONO

Lahir : Kecamatan Ujung Alang, Cilacap, Jawa Tengah, 8 Agustus 1965
Istri : Monica Tumirah (41)
Anak :
- Yuvita Reni Windiastuti
- Antoni Joni Rianto
- Andreas Aji Wibowo
- Rizki Tegar Saputro
Pekerjaan :
- Kepala Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut 
- Ketua Kelompok Patra Krida Wana Lestari
Pelatihan, antara lain :
- Pelatihan Peningkatan Keterampilan Kelompok Masyarakat Desa Tertinggal
  Cilacap, 2000
- Pelatihan Hutan Mangrove bagi Masyarakat Pesisir se-Indonesia, 2007
Penghargaan, antara lain :
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap, 2010
- Tokoh Perintis Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, 2010

"Hamparan mangrove di hutan dan tepian laguna bagi Anda mungkin tak ada artinya. Tetapi,saya yakin, menanam dan memelihara hutan mangrove di tanah dan kebun sendiri akan bermanfaat bagi kehidupan kita dan anak cucu di kemudian hari......"

OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Kalimat tersebut menjadi "mantra' dalam hidup Thomas Heri Wahyono. Kalimat itu kembali diulang saat ia berjalan kaki melintasi hutan mangrove  menuju rumah semipermanen di Dusun Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Daerah pelosok ini berdekatan dengan bibir laut selatan kawasan laguna Segara Anakan.
     Kalimat itu pula yang menjadi pedoman Wahyono selama belasan tahun meyakinkan warga di sekitar laguna untuk menanami lahan mereka dengan mangrove (bakau). Kawasan ini mulai rusak akibat degradasi lingkungan.
     Bagi warga Kampung Laut yang rata-rata berpendidikan SD, semangat menanam mangrove yang tumbuh di benak Wahyono itu tidak lazim. "Desa, kok, malah dihutankan," katanya menirukan cibiran warga desa saat gerakan menanam mangrove dimulainya tahun 1999.
     Perjuangan pria tamatan SD ini dalam menghijaukan hutan berawal dari keprihatinan melihat desa kelahirannya kian gersang. Mengenang masa kecilnya, Wahyono merasa bahagia dengan hutan bakau di sekitarnya. hamparan pepohonan itu menjadikan lingkungan tempat tinggalnya kaya biota laut. Udang, kepiting, dan ikan begitu melimpah.
     Tak hanya asri, hamparan mangrove di sekitar Pulau Nusakambangan saat itu juga bermanfaat bagi warga yang hendak menggunakan kayu untuk rumah. Meski begitu, warga kampung Laut hanya mengambil kayu sesuai dengan keperluan mereka. 

Dihancurkan tambak

     Nostalgia Wahyono menjadi mimpi buruk kala 1995 puluhan investor dari Jawa Barat membabati hutan mangrove untuk tambak udang. Apalagi, warga setempat tertarik akrena mereka dimungkinkan memperoleh banyak uang sebagai pekerja tambak. tahun-tahun awal masyarakat menikmati hasilnya. 
     Namun, masa keemasan tambak udang tak bertahan lama. Sekitar tahun 1999, satu persatu tambak bangkrut. Serangan virus dan turunnya harga udang dunia memaksa investor angkat kaki dari Kampung Laut, meninggalkan ribuan hektar gundul.
     Tinggallah kampung Laut yang sebelumnya asri menjadi "gurun pasir", panas dan gersang. Tergugah mengembalikan keasrian alam, Wahyono mulai menanami mangrove di lahan bekas tambak itu seorang diri.
     "Awalnya, saya sendiri mencari biji mangrove dengan perahu ke hutan-hutan yang masih tersisa. Saya pergi siang, pulang malam. Setelah terkumpul banyak, saya menanami lahan bekas tambak dengan biji mangrove itu,"ungkap Wahyono yang sejak 2003 menjadi Kepala Dusun Lempong Pucung.
     Dia lalu mengajak kerabatnya untuk ikut menghijaukan lingkungan dengan mangrove. "Kali ini, ide saya diterima. Kami membentuk semacam kelompok,  namanya Keluarga Lestari, beranggota tujuh orang. Tujuannya sederhana, menghijaukan lingkungan mangrove yang rusak.," katanya bersemangat.
     Namun, gerakan penghijauan lahan di sekitar laguna tak mudah.Caci maki, bahkan tuduhan sebagian tetangga bahwa upaya menanam mangrove itu adalah proyek titipan yang hanya menguntungkannya harus dia hadapi. Wahyono tak menyerah.
     "Jika hutan mangrove lebat, ikan, udang, dan kepiting akan gampang  didapat. Itu pengalaman nyata panjenengan (Anda), bukan? Kalau butuh kayu, tinggal memotong ranting pohon mangrove yang besar. Tidak seluruhnya, agar pohon tidak mati," kata Wahyono setiap bertemu warga setempat.

Tanpa upah

     Gerakan penghijauan itu  lambat laun mampu menggugah kesadaran warga, bukan hanya warga di dusunnya, melainkan juga warga di desa tetangga, seperti Ujung gagak dan Klaces. Ia memanfaatkan setiap pertemuan dengan warga untuk bicara soal mangrove.
     Setelah menjadi kepala dusun, Wahyono pun punya kesempatan lebih besar untuk mengajak warga melestarikan mangrove. maka,terbentuklah kelompok Krida Wana Lestari pada 2004, yang lalu berubah nama menjadi Patra Krida Wana Lestari.
     "Sejak awal, saya sudah wanti-wanti untuk tak bicara upah. Apa yang kami lakukan ini tidak ada yang membayar. Kegiatan ini murni penghijauan, tak ada yang lain," katanya.
     Untuk menambah pengetahuan tentang mangrove, Wahyono mengikuti pelatihan dan lokakarya mengenai tumbuhan endemik perairan payau hingga ke luar daerah. Setiap mendengar ada seminar budidaya mangrove, dia mengajukan diri menjadi peserta.
     Dari berbagai seminar itu, wawasannya mengenai budidaya mangrove semakin luas. Ia jadi tahu bahwa memelihara mangrove jauh lebih sulit dibandingkan dengan saat menanam.
     "Saya bersama kelompok secara rutin membabati ilalang dan benalu yang tumbuh di sekotar mangrove. Cukup berat karena luas lahan yang ditanami mangrove mencapai 66 hektar.Kami melakukannya setiap Jumat," tuturnya.

Apresiasi

     Apa yang dilakukan kelompok itu mendapat perhatian banyak pihak, mulai dari Pemerintah Kabupaten Cilacap hingga PT Pertamina unit Pengolahan IV di Cilacap.
     PT Pertamina memberikan pendampingan budidaya kepiting, mulai dari basket (rumah kepiting dari plastik tebal) sampai benih kepiting. Sekitar 33 anggota kelompok pun merasakan manfaat ekonomi dari hasil keringat selama bertahun-tahun.
     Kini, setelah berjalan sekitar 10 tahun, hampir semua halaman warga di Desa Ujung Alang, khususnya Dusun Lempong Pucung, ditanami mangrove, terutama jenis tancang (Bruguiera) dan bakau (Rhizophora) yang kokoh. Bibit-bibit mangrove diberikan Wahyono gratis kepada para tetangga.
     Kesadaran memiliki mangrove telah tertancap kuat dihati warga Kampung Laut. Jika ada warga dari luar kampung yang menebangi mangrove, warga setempat akan menyuruh mereka pergi. Luas lahan di sekitar laguna yang ditanami mangrove sekitar 65 hektar.
     "Itu belum termasuk yang ditanam secara mandiri oleh warga di sekitar rumah mereka," ujarnya.
     Maka, Kampung Laut berangsur kembali asri. Ikan dan udang berenang di celah-celah akar mangrove. Meski persoalan sedimentasi laguna terlalu besar untuk diatasi tangan Wahyono yang kian menua, setidaknya dia bersama kelompoknya telah memulai langkah kecil untuk menyelamatkan lingkungan.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 24 OKTOBER 2011

Jumat, 28 Oktober 2011

Jumilah: Menjadi "Guru" Setelah Melek Huruf

JUMILAH

  • Lahir : Dusun Duduk Bawak, desa Persiapan Batu Layar Barat, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 32 tahun lalu
  • Suami : Ishak (36)
  • Anak :
       - Yana Suryani, kelas I SMAN I Batu Layar
           - Usman Hadi, Kelas III Madrasah Tsanawiyah Negeri Batu Layar
       - Lauhil Mahfuz (3)

Semula Jumilah memang buta huruf. Namun, semangat belajar yang tinggi membuat dia akhirnya bisa melek huruf. Malah delapan tahun terakhir ini Jumilah secara sukarela menjadi "guru" bagi anak-anak usia dini ataupun siswa sekolah dasar setempat lewat kegiatan nonformal di rumahnya.

OLEH KHAERUL ANWAR


Jumilah, warga Dusun Bawak, Desa Persiapan Batu Layar Barat, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, awal tahun 2011 masuk nominasi program Bersinarlah Perempuan Indonesia yang digelar sebuah perusahaan produk rumah tangga di Jakarta.
     "Saya belajar membaca serta menulis huruf dan angka dari anak saya. Kadang-kadang anak saya marah karena saya sering salah membaca dan dianggap rewel karena tanya-tanya terus," cerita Jumilah tentang respons anak tertuanya, Yna Suryani, ketika itu.
     Tahun 2003  sebuah lembaga swadaya masyarakat masuk ke Dusun Bawak dan membentuk Kelompok Kahuripan.Kelompok ini aktivitasnya antara lain memberdayakan perempuan di bidang ekonomi produktif, pendidikan, dan pelestarian lingkungan hidup.
     Dalam kelompok usaha tersebut, dia menjadi kepala divisi usaha. Untuk itulah Jumilah harus berurusan dengan tulis-menulis dan angka. Dari sinilah semangatnya terlecut untuk belajar menulis, diantaranya dengan berguru kepada anak kandungnya yang waktu itu masih SD.
     Tahun 2003 itu, ketika Jumilah berusia 24 tahun, dia baru melek huruf sekaligus belajar mengoperasikan kalkulator. Karena baru bisa baca tulis, dia acap kali membuat bingung pengurus kelompok yang beranggotakan pedagang bakulan itu.
     Pasalnya, dalam laporan keuangannya, Jumilah suka salah menuliskan jumlah angsuran anggota. Seorang anggota menyetor cicilan Rp 3.500 tetapi tercatat dalam pembukuan Rp 35.000. "Waktu itu saya masih bingung membedakan bilangan ribuan dan puluhan ribu," katanya.
     Namun, semua itu menjadi masa lalu. Lantaran ketekunannya, Jumilah dipercaya mengajar dan merekrut lebih dari 60 anak laki-laki dan perempuan sebagai peserta didik. Anak-anak di dusun yang terletak di sekitar obyek wisata Senggigi, Lombok, itu agaknya menjadi salah satu potret buram pendidikan kita.
     Dari jumlah anak didik Jumilah itu, sebagian besar berusia prasekolah, siswa kelas I dan II SD, serta mereka yang putus SD. Mereka umumnya mengisi hari-hari dengan bermain atau membantu pekerjaan orangtua mereka di kebun.
     Banyak anak yang putus SD karena ketiadaan biaya. Kemiskinan orangtua mereka disertai dengan rendahnya kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak.
     Realitas itulah yang dia hadapi. Pengalaman hidupnya membuat Jumilah bersungguh-sungguh melaksanakan proses pembelajaran untuk membuat anak-anak yang kurang beruntung itu setidaknya bisa baca-tulis.
     Dia mengawali tugasnya dengan fasilitas sederhana, menempati bangunan semipermanen berukuran 8 meter x 4 meter. Ada dua meja kecil buat menulis, satu papan tulis, dan para murid yang duduk di lantai. Kegiatan belajar-mengajar itu berlangsung nyaris setiap hari pukul 14.00-16.00.

Harus kreatif

     Sistem pembelajaran yang dilakukan Jumilah tak seperti sekolah formal, di mana siswa duduk di kursi, memperhatikan guru menyampaikan materi pelajaran di depan kelas. Di sini siswa dibiasakan kreatif, kecuali menulis dan menggambar dengan pensil di kertas.Mereka juga memakai alat dan media seadanya, seperti menulis dan menggambar di tanah menggunakan kerikil dan ranting kayu.
     Begitupun mata pelajaran yang disampaikan Jumilah, tergantung dari pilihan siswa saat itu. Pada siang itu, misalnya, siswa tengah menggambar pohon kelapa. Setelah gambar selesai, mereka bergantian merinci kegunaan buah kelapa, serabut, batok, daun hingga batang kelapa.
     Pada hari lain, dia mendongeng tentang kecerdikan siput yang berbaris di sepanjang sungai demi menundukkan kancil dalam adu balap. Cerita itu bernilai budi pekerti bagi siswa, pihak yang lemah belum tentu kalah dari yang kuat (fisik).
     Kali lain, ia mengajak siswa ke kebun dan sungai. Di kebun, Jumilah menunjukkan beragam jenis tanaman, seperti daun sirih yang tak hanya dipakai untuk menginang, tapi bisa juga menjadi obat mimisan.
Sementara itu, di sungai mereka belajar menjaga kelestarian alam dengan membersihkan sampah plastik, ranting, dan daun yang bisa menyumbat aliran air saat musim hujan.
    Aktivitas Jumilah itu disambut positif para guru SD."Guru-guru kelas I-II bilang, lebih gampang mengajari anak-anakkarena sebelum masuk SD mereka sudah bisa baca-tulis," katanya.
Selama enam tahun "sekolah" itu berlangsung, Jumilah mampu meyakinkan orangtua siswa tentang pentingnya pendidikan."Mereka yang belajar di sini lalu melanjutkan ke jenjang SMP dan SMA," katanya mengenai siswanya. Tahun ini anak didik Jumilah berjumlah 30 orang.

Pengalaman pribadi

     Tentang apresiasi pihak lain terhadap apa yang dilakukannya selama ini. Jumilah mengaku hal itu tidak pernah terlintas dalam pikirannya. 
     "Apa yang saya lakukan memang benar-benar bermula dari pengalaman saya pribadi," ungkap Jumilah yang merasakan sendiri betapa sulit mengembangkan diri tanpa bekal kemampuan baca-tulis.
     Jumilah yang sehari-hari menjual jasa sebagai tukang cuci atau buruh bangunan lahir sebagai anak petani di perkebunan. Anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Hari dan Icah ini putus sekolah saat dia duduk di kelas II SD.
     "Waktu itu wali murid diminta menyumbang uang buat membangun tembok pembatas sekolah. Bapak saya tidak mampu menyumbang, lalu saya diminta berhenti dari sekolah," ceritanya.
     Tidak lagi bersekolah, Jumilah pun membantu orangtuanya bekerja di kebun yang terletak di kawasan hutan obyek wisata Senggigi. Pekerjaannya adalah mengusir kawanan monyet yang gemar "mencuri" tanaman kacang tanah dan kedelai. Waktu selebihnya dia bertugas menggembalakan dua ekor sapi.
     Selaku penggembala, Jumilah punya pengalaman menyedihkan. Dia pernah didatangi  seorang lelaki yang "menawarkan" sebuah arloji untuk ditukar dengan seekor sapi. Saking takutnya, dia menangis dan berlari menemui ayahnya untuk menyampaikan kejadian itu. Ketika Jumilah dan sang ayah tiba di lokasi penggembalaan, lelaki tersebut sudah tak ada.
     "Beginilah nasib orang yang tidak sekolah, tidak punya pendidikan. Kami jadi sasaran dibodohi orang-orang pintar," ujar Jumilah, yang juga istri Ishak, petugas keamanan sebuah penginapan, mengungkapkan isi hatinya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 27 OKTOBER 2011

Rabu, 19 Oktober 2011

Saufni Chalid: Kegigihan Seorang Pustakawan

HJ SAUFNI CHALID, SIP

Lahir : Baso, KabupatenAgam, Sumbar, 4 Januari 1942
Suami : H Nurmasni, SH
Anak :
- Media Febri Dewi
- Mastia Gusni
- Pitra Akhriadi
- Malta Nelisa
Pendidikan :
- Akademi administrasi Niaga Negeri, Padang, lulus 1969
- Sarjana Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia, jakarta, lulus 1978
Pengalaman kerja :
- Kepala Perpustakaan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang (1978-1990)
- Kepala Perpustakaan Universitas Bung Hatta, Padang (1981-1987, 2000)
- Kepala Perpustakaan Universitas Andalas, Padang (1987-1998)
- Kepala Perpustakaan Universitas Ekasakti-Akademi Akuntansi Indonesia, Padang (1987-sekarang)

Menyebut dirinya sebagai pemulung ilmu pengetahuan, Saufni Chalid (69) mulai mendirikan Rumah Baca Radesa di Nagari Koto Baru, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, tahun 2004. Tahun 2006 dibuka lagi rumah baca serupa di muka rumahnya di Perumahan Universitas Andalas Griya Andalas, Gadut, Kota Padang.

OLEH INGKI RINALDI

Radesa adalah kependekan dari Raden Saleh, yang juga nama jalan di Kota Padang, tempat tinggal mula-mula Saufni dan keluarga. Perpustakaan yang diresmikan dua tahun lalu itu sudah menggunakan sistem katalogisasi sesuai dengan standar perpustakaan dunia. Kini, hari-hari ibu empat anak itu praktis tersita untuk memajukan rumah-rumah baca tersebut.
     "Ayo, Sayang, diisi dulu buku tamunya,. Mau baca apa?," sapa Saufni kepada seorang bocah saat ditemui di rumah bacanya di Kota Padang. bocah tersebut tampak sedikit bingung sebelum meninggalkan kami berbincang.
     Tentu tidak mudah menentukan sekitar 15.000 buku yang disusun dalam empat ruang terpisah. Itu pun masih dipersiapkan tiga ruang lagi untuk menampung koleksi yang masih tercecer.
    Selain buku, majalah, katalog, dan buku tamu layaknya perpustakaan, sejumlah poster berisikan kalimat-kalimat inspiratif juga dipajang di bagian-bagian dinding.
     Salah satunya yang mencolok adaah ketikan soal sifat-sifat negatif yang patut diwaspadai, yakni sifat tergesa-gesa, suka membantah, berprasangka negatif, mencari-cari aib orang lain, suka bergunjing, tidak pandai berterima kasih, berkeluh kesah, berputus asa, pelit, dan sombong. Itu disarikan Saufni dari ayat-ayat dalam kitab suci Al Quran.

Tidak lulus

     Perjuangan Saufni sesungguhnya sudah dimulai sejak ia tidak lulus SMA di Kota Bukittinggi pada 1961. "Waktu itu banyak yang tidak lulus. Lalu saya ke Kota Padang, ikut ujian persamaan dan lulus pada tahun 1962," katanya.
     Sebelumnya, Oktober 1961, ia juga sudah memulai perjuangan lain. Ia melamar ke bagian tata usaha Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Saufni diterima dengan ijasah SMP. Tugas pertamanya di bagian tata usaha dan keuangan adalah mengetik tabel gaji pegawai.
     Ia lalu lulus SMA. hal yang tidak pernah terjadi pada rekan kerja yang pernah mencemoohnya dahulu. Saufni makin melaju dengan melanjutkan pendidikan ke Akademi Administrasi Niaga Negeri, Padang.
     Tekadnya makin membaja untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Apalagi sejak 1964 ia mulai bertugas di Perpustakaan Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
     Oleh karena itu, tahun 1973 ia mulai kuliah di Universitas Indonesia, Jakarta. Ilmu perpustakaan digelutinya dan pada 1974 ditemukannya makna tentang memulung ilmu pengetahuan. Saat itu, saufni muda usai membeli ikan dan cabai di Pasar Rawamangun. Ketika itu, kenangnya, kertas koran pembungkus cabai ternyata berisi artikel soal penerbitan buku.
     Secara kebetulan, makalah soal penerbitan buku adalah tugas terbaru dari seorang dosennya pada hari tersebut. makalah  itu lantas diseminarkan dan Saufni adalah mahasiswa yang tampil paling cemerlang pada hari yang ditentukan.
     Namun, sikap cerobohnya membuat dia tidak lulus ujian. Itulah titik balik yang mengubah sikap hidupnya untuk tidak menganggap ringan hal apa pun. Dia semakin bersemangat mengumpulkan informasi apa pun dan memiliki kandungan ilmu pengetahuan.
    Sumber-sumber bacaan itu juga bisa datang dari mana saja. Sumbangan dari perpustakaan daerah, keluarga, dan membeli sendiri. Banyak sumber bacaan lama yang nyaris dimusnahkan akhirnya terselamatkan berkat tangan dingin Saufni.
     Sejumlah kampus tempatnya pernah mengabdi pun kerap ia sambangi. Kebiasaan tersebut makin ditekuni terutama setelah Saufni pnsiun pada 2002.
     Satu pekan sekali bahan-bahan bacaan itu dibawanya pula ke Nagari Koto Baru, tempat pertama Rumah Baca Radesa dibuka.

Kumpulkan pengetahuan

     Ia meyakini, upayanya itu masih sangat diperlukan sekalipun arus informasi kini dengan bebasnya melaju di jaringan internet. Apalagi akses banyak orang pada sumber-sumber bacaan bermutu secara gratis masih teramat sedikit. "Anak-anak sekarang kalau sudah berhadapan dengan komputer malah program permainan yang disasarnya," kata Saufni.
     Mengumpulkan ilmu pengetahuan ketimbang harta kekayaan menjadi tujuannya sejak mula. Karena itulah ia baru memulai kredit rumah di Perumahan Universitas Andalas Griya Andalas, Gadut, Kota Padang, sejak tahun 1990-an.
     Sebuah rumah tipe 36 dicicilnya selama 15 tahun, dengan kredit Rp 26.000 per bulan. Sebuah rumah serupa dibelinya di muka rumah lama dari hasil keuntungan penjualan sebidang tanah di Pekanbaru.
     Saat ini, selain menunggui rumah bacaan, aktivitas Saufni yang utama adalah mengajar sekali dalam sepekan di program D3 Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol, Padang. Selain itu, selama beberapa hari dalam sepekan, ia juga masih bertugas sebagai Kepala Perpustakaan Universitas Ekasakti-Akademi Akuntansi Indonesia, Padang. Tidak ada kekhawatiran untuk meninggalkan sebentar Radesa.
     Selain dirinya, sejumlah anak asuh yang sebagian adalah mahasiswinya juga siap menjaga perpustakaan umum itu. "Tapi mungkin mulai tahun depan saya tidak bekerja lagi karena bapak (suami) sedang sakit dan tidak bisa ditinggal. Kalau mengajar mungkin masih karena  kan hanya sekali dalam sepekan," ujarnya.
     Pada usia menjelang 70 tahun, nenek empat cucu itu masih energik. Sepasang matanya menerawang mengingat masa lalunya yang bahkan lebih berwarna. Saufni mengatakan, saat itu bukan hal aneh jika dalam sehari ia harus bolak-balik ke sejumlah tempat kerja.
     "Saya tidak pernah menghitung-hitung berapa gaji saya, berapa uang saya. Pokoknya yakin saja ada rejeki," kata saufni yang juga memenuhi impiannya mengunjungi sejumlah benua selain menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan sudah bahagia dan puas dengan apa yang dilakukannya selama ini. Anak-anaknya pun sudah berhasil meniti kehidupan dengan keluarga masing-masing.
     Resep hidup Saufni selama ini adalah selalu bersyukur terhadap apa pun yang sudah diperolehnya. "Jangan mengeluh, syukuri saja apa yang didapat," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 19 OKTOBER 2011
              .

Rabu, 05 Oktober 2011

Keterlibatan Alpha di Kampung Laweyan

DATA DIRI

Nama : Alpha Febela Priyatmono
Lahir : Yogyakarta, 16 Februari 1960
Istri : Juliani Prasetyaningrum (49)
Anak :
- Alivia Putri Rahmawati (18)
- Muhammad Taufan Wicaksono (15)
- Muhammad Rizky Darmawan (13)
- Muhammad Taufik Mahadika (11)
Pendidikan :
- S-1 Jurusan Teknik Arsitektur UGM, 1979-1986
- S-2 Magister Desain Kawasan Binaan Jurusan Teknik Arsitektur UGM, 
  2003-2005
Pekerjaan :
- Pengajar di Institut Sains dan Teknologi akprind Yogyakarta, 1986-1989
- Pengajar Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Solo (UMS), 1989-kini
- Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FakultasTeknik UMS, 1990-1992
- Pembantu Dekan Bidang Aministrasi dan Keuangan Fakultas Teknik UMS,
  1992-1995
- Dekan Fakultas Teknik UMS, 1995-2002
- Komisaris dan Arsitek Senior Biro Konsultan Arsitektur Vertex
- Direktur CV Batik Mahkota Laweyan, 2005-kini

Nama Kampung Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah, kembali muncul awal tahun ini. Kampung yang dikenal lewat produksi batik serta kehidupan khas para perajin dan saudagar batiknya itu tampil di media lewat sosok Alpha Febela Priyatmono. Dia mendapat penghargaan  Upakarti untuk kategori jasa kepeloporan. sejak 2004 ia menjadi Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan. 

Oleh CHRIS PUDJIASTUTI dan ARDUS M SAWEGA

Upakarti bagi Kampung Laweyan, kata Alpha, sangat berarti. Penghargaan yang diberikan untuk kalangan industri kecil dan menengah itu menunjukkan eksistensi Kampung Laweyan telah diakui pemerintah dan masyarakat.
    "Pengakuan itu perlu agar kami terpacu untuk lebih mengembangkan kawasan ini. Di sini juga dituntut tanggungjawab kami untuk menjadikan Laweyan benar-benar menjadi kasawan pusat industri batik dan heritage yang pintar. Pintar dalam arti industri yang ramah lingkungan, hemat energi, melek pengetahuan dan teknologi, dengan tak meninggalkan nilai tradisionalnya," katanya.
     Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) adalah organisasi pemberdayaan masyarakat yang dibentuk pada 25 September 2004 seiring dengan dibentuknya Kampoeng Batik Laweyan. FPKBL menjadi salah satu elemen dari warga  Laweyan untuk mengembangkan pariwisata berbasis industri batik dan non batik, seperti sejarah, bangunan, dan tradisi kawasan ini.
     "Sebenarnya tugas kami hanya menjadi koordinator dan fasiltator," kata Alpha. Padahal, lewat FPKBL, program pengembangan Laweyan berjalan, mulai dari mengurusi masalah permodalan, promosi, sampai pelestarian kawasan.
     Segala hambatan, mulai dari menyadarkan ahli waris tentang pentingnya melestarikan bentuk bangunan yang menggambarkan beragam arsitektur pada zaman keemasan Mbokmase (sebutan untuk perempuan saudagar batik Laweyan) dan Mas Nganten (pria saudagar batik Laweyan) sampai minimnya modal usaha dan sulitnya memasarkan hasil produk itu, harus mereka lalui.
     Hasilnya? Kalau tahun 2004 jumlah pengusaha batik Laweyan tercatat 22, kini berkembang menjadi 56 pengusaha atau lebih dari dua kali lipat.
Seiring dengan booming batik di pasaran, pendapatan warga Laweyan pun  meningkat, bahkan sampai sekitar 200 persen.
     Selain industri batik yang tumbuh setelah mati suri sejak 1970-an, konservasi bangunan rumah tinggal para juragan batik Laweyan yang tak terawat, bahkan rusak, pun mulai ditata. Ada sebagian rumah yang berubah fungsi, seperti menjadi hotel atau tempat pertemuan, tetapi bentuk bangunan yang bergaya indische, terutama art deco, relatif dipertahankan.
Gara-gara tesis

     Alpha menetap di Laweyan sejak menikah pada tahun 1985. Istrinya, Juliani Prasetyaningrum, berasal dari keluarga juragan batik Laweyan. Usaha batik keluarga yang turun-menurun sejak 1956 itu punya beragam merek, di antaranya Mahkota Djaja, Tiga Dara, Tjap Ajam, Nusa Indah, Mustika Djaja, dan sekarang Mahkota Laweyan.
     Namun, sama seperti nasib juragan batik Laweyan yang mati suri sejak munculnya batik printing, usaha keluarga Alpha pun surut. Keturunan juragan batik Puspowijoto ini pun bekerja di berbagai bidang karena batik tak bisa lagi dijadikan sandaran hidup.
     Sebagai arsitek, sebenarnya sejak lama saya kagum pada Kampung Laweyan. Tetapi, lebih dari 20 tahun perasaan itu terpendam. kami sibuk dengan pekerjaan maasing-masing. baru pada tahun 2003 ketika saya menyusun tesis untuk S-2 di Magister Desain Kawasan Binaan Jurusan Arsitektur UGM terpikir untuk mengambil tema kawasan Laweyan," ceritanya.
     Demi tesis, Alpha mulai meneliti dan menggali potensi Laweyan, terutama dari sudut arsitekturnya. "Setelah meneliti beberapa bulan, saya semakin yakin Laweyan memang pantas dikembangkan sebagai heritage, menjadi kawasan pariwisata bukan hanya karena kekhasan arsitektur bangunan-bangunannya, tetapi juga batik dan sejarahnya," katanya.
     Mengingat sebagian bangunan di Laweyan waktu itu tak terawat, bahkan cenderung rusak, ia merasa perlu melakukan sesuatu. Agar Laweyan sebagai salah satu penanda Kota Solo tidak lenyap begitu saja, tahun 2004 dibentuklah FPKBL bersamaan dengan diresmikannya Kampoeng Batik Laweyan.
     "Sebenarnya saya sudah tertarik dengan Laweyan sejak 1983. waktu itu saya menyusun skripsi S-1 jurusan arsitektur, judulnya Kampung Batik Sondakan Surakarta. Sondakan adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Laweyan," kata Alpha.
     Adanya FPKBL, membuat warga Laweyan pada umumnya mempunyai rasa memiliki kawasan itu. Mereka seakan disadarkan akan pentingnya menjaga Laweyan dari kemungkinan kepunahan. Untuk itu dibutuhkan peran serta semua pihak.
"Kami lalu membuat semacam grand desain, mana daerah yang bisa berubah dan mana yang harus dipertahankan,"katanya.

Menumbuhkan stimulus

     Lewat FPKBL kawasan Laweyan ditata kembali sesuai dengan kondisinya kini. Ketika itu ada 30 bangunan yang mendesak diperbaiki. Untuk mengonservasi bangunan itu, pada Agustus 2008 Laweyan mendapat bantuan dari pemerintah pusat. Masing-masing rumah yang perlu segera diperbaiki menerima dana sekitar Rp 20 juta.
     Pemilihannya berdasarkan kondisi bangunan dan pemiliknya dinilai kurang mampu memperbaiki sendiri. Padahal, bentuk bangunan itu pantas dipertahankan. Revitalisasi ini melibatkan warga karena Laweyan adalah kawasan yang masih 'hidup'," katanya.
     Konservasi bangunan itu ternyata menumbuhkan stimulus pada warga. Mereka yang tak lagi membuat batik mulai tergerak untuk kembali menggeluti industri batik. Berbagai kegiatan penunjang Kampoeng Batik Laweyan pun bergerak, mulai dari diadakannya pentas budaya dan sarasehan rutin setiap bulan, adanya kajian tradisi dan bahasa Jawa, didirikannya Laweyan Batik Training Centre, koperasi batik, instalasi pengolahan air limbah batik komunal, sampai menjadikan Laweyan sebagai obyek wisata terpadu.
     Tahun 2005 Alpha menekuni usaha batik. Di rumah sekaligus ruang pamernya, dipajang produk batik berdesain klasik atau pun kontemporer dalam bentuk , seperti kain, baju, taplak, seprai, dan aksesori rumah. Keluarganya juga tinggal di rumah tua yang dipertahankan bentuk aslinya.  Rumah berarsitektur Jawa dengan pendopo, patangaring, ndalem, dan sentong untuk memisahkan kegiatan publik dan pribadi.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 17 FEBRUARI 2009

Senin, 03 Oktober 2011

Edi Rusyana: Hijaukan Kalbu Murid Sekolah

DRS EDI RUSYANA, MPD

Usia :47 tahun
Pendidikan :
- S-1 Bahasa Indonesia Universitas Galuh Ciamis, 1990 
- S-2 Manajemen Pendidikan Universitas Galuh Ciamis, 2005
- Masih menempuh S-3 Jurusan Administrasi Pendidikan UPI, Bandung,2011
IStri : Diah Rusliani
Anak :
- Ayu Berliani PR
- Gilang Raja PR
Pekerjaan : Kepala SMPN 7  Ciamis, jawa Barat

"....Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita......."   
Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Itulah yang menjadi dasar Edi Rusyana menjabarkan wacana sekolah hijau atau "green school" yang belakangan ini. Pikirannya sederhana, bukan hanya lingkungan sekolah yang harus dihijaukan, melainkan juga kalbu anak didiknya.

OLEH CORNELIUS HELMY & DEDI MUHTADI

Edi, Kepala SMP Negeri 7 Ciamis, Jabar, ini menyadari, pendidik harus menanamkan kecintaan lingkungan hidup kepada jiwa para murid dengan memperlihatkan fenomena yang terjadi secara langsung. Dengan begitu, jika kelak lulus sekolah, mereka  akan mempunyai komitmen, kepedulian, dan rasa memiliki lingkungan sekitarnya. Sebab, mereka paham, lingkungan itu mendukung kehidupannya.
     Maka, mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup selain diterapkan pada mata pelajaran Biologi dan Muatan Lokal, sejak dua tahun lalu juga diterapkan Edi dengan membuat demplot pertanian sekaligus menghutankan sekolah.
     "Ramah lingkungan dan perilaku sehat saja tak cukup untuk memenuhi kurikulum. Yang penting adalah menjadikannya kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional Dodi Nandika.
     Hal itu pula yang memperkuat tekad Edi membangun persemaian tanaman keras di sekolah yang terletak di pinggiran Ciamis tersebut. Persemaian ini berisi sekitar 100.000 tanaman seperti jati, albasia, akasia, suren, dan manglid.
     Dilingkungan sekolah seluas 2 hektar itu, Edi juga membangun arboretum mini. Di arboretum multifungsi ini terdapat jenis pohon khas Indonesia seperti gaharu, merbau, meranti atau kayu ulin. Ia juga membangun taman buah. Ada rambutan, mangga, dan dilengkapi tanaman pangan seperti cabai, terung, dan jagung. 
"Ketika harga cabai Rp 100.000,para guru di sekolah itu malah panen cabai," cerita Anang Sudarna, staf ahli Gubernur Jabar, yang meninjau sekolah itu beberapa waktu lalu.

Pembuktian lapangan

     Laboratorium alam itu sekaligus ajang pembuktian mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup dan Biologi. Dengan melihat langsung, siswa memahami  manfaat ekosistem hutan. Terlebih lagi hutan kecil itu terletak di daerah aliran sungai kecil sekaligus anak Sungai Citanduy.
     Sungai Citanduy yang bermuara ke Segara Anakan di perbatasan Jawa Tengah itu airnya berwarna coklat karena termasuk sungai kritis di republik ini. 
     Pada musim kemarau, sungai kecil di pinggir sekolah itu sering kering. Fenomena ini juga dimanfaatkan Edi untuk mengambil pelajaran bahwa semua itu akibat wilayah tangkapan air yang tak berfungsi. Misalnya, di daerah tandon air, sebuah pohon cukup besar yang tumbuh dengan baik bisa menghasilkan sekitar 7 meter kubik air terus-menerus.
     Manfaat langsung bagi manusia, pohon besar itu mampu menyediakan oksigen bagi 14 orang setiap hari. Melalui pemahaman itu, murid sekolah langsung bereaksi jika di lingkungannya terdapat penebangan pohon yang tak benar.
     Apalagi, pohon yang ditebang itu terletak di daerah mata air yang menghidupi lingkungan tempat tinggal mereka. Untuk memperkuat pemahaman tersebut, lingkungan sekolah dibiarkan tak berpagar tembok, tetapi diberi tanaman hidup pohon mahoni dan jati. Oleh karena lingkungannya dinilai hijau lestari, tahun 2009/2010 sekolah ini mendapat penghargaan Adiwiyata sebagai sekolah hijau terbaik Provinsi Jabar.
     "(Sekolah ini) kami pilih karena sekolah yang berkomitmen  langsung terhadap lingkungan bisa dihitung dengan jari," ujar Anang Sudarna, mantan Kepala Dinas Kehutanan Jabar.
    Sebelum penghijauan di lingkungan sekolah itu dilakukan, Edi berguru kepada Dinas  Kehutanan Perkebunan, Perum Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Ciamis. Tujuannya, ruang hijau di lingkungan sekolah tertata apik.
     Dari hasil kreativitasnya itu terbangun kawasan hijau sekitar 1,5 hektar. bangunan sekolah yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar 11 kelas sekitar 5.500 meter persegi. Satu kelas di SMPN 7 Ciamis rata-rata berisi 25 murid.
     Hijau itu mutlak harus dilihat, tak hanya imajinasi dalam ata pelajaran di ruang kelas. Lewat metode ini, murid pun senang bermain dan berkeliling mengamati pepohonan di luar kelas. Mereka tak "tersiksa" lagi menerima pelajaran karena tidak terkungkung di ruangan.
     Pemaknaan dari prspektif budaya hijau ini dinilai lebih dalam karena sebelumnya mereka sudah mengenal berbagai jenis pohon di sekitar kampungnya. "Sebagian besar murid adalah anak-anak petani di pedesaan," ujar Edi. 
     Hasil proses belajar-mengajar seperti itu terbukti membuat banyak alumnus tertarik bidang pertanian. Tak sedikit dari mereka melanjutkan ke sekolah kejuruan bidang pertanian. Padahal, sebelumnya, lulusan SMP itu dipaksa pun tak banyak yang tertarik melanjutkan ke jurusan pertanian.

Mendapat perhatian

     Sekolah hijau menjadi sekolah yang "seksi" dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Di Bandung, pada Selasa (24/5), misalnya, muncul Deklarasi Sekolah Hijau Jabar (Jabar Go Green School) yang diprakarsai Yayasan Hijau Buana Sejahtera didukung berbagai pihak termasuk Pemprov Jabar. Deklarasi yang disaksikan Sekjen Kementerian Pendidikan Nasional ini bertujuan memperkuat upaya menumbuhkembangkan budaya ramah lingkungan.
     Mengembangkan sekolah bagai persemaian nilai-nilai ramah lingkungan bagi putra-putri bangsa, meningkatkan fungsi ekologis sekolah sehingga tercipta lingkungan yang asri, nyaman, dan sehat. Lalu tercipta lingkungan sekolah yang mendukung penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan.
     Program penanaman pohon di sekolah dinilai tepat sehubungan rusaknya lingkungan. Tentu ini tak sekadar menjadikan sekolah berwawasan lingkungan dalam arti fisik, tetapi juga berarti tindakan. Pembentukan mental setiap sivitas sekolah ini yang justru tak mudah.
     Pendidikan tak sekadar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur insani bagi kemajuan peradaban bangsa, termasuk kecintaan terhadap lingkungan. Di Indonesia terdapat sekitar 57 juta tunas bangsa disertai 2,7 juta guru yang potensial menunjang pembentukan budaya ramah lingkungan itu.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 9 JUNI 2011

Minggu, 02 Oktober 2011

Jean Luijten:Untuk Api dan Air Kalimantan Barat

JEAN LUIJTEN

Lahir : Belanda, 1 Agustus 1946
Pekerjaan : Kepala Stasiun Pemadam Kebakaran Maastricht, Belanda

Tahun 2011 ini, Jean Luijten kembali ke Sintang, Kalimantan Barat. Kali ini, dia berusaha mengampanyekan perlunya air bersih yang murah bagi masyarakat. Sebelumnya, tahun 2003, Luijten datang ke Sintang sebagai instruktur pelatihan pemadam kebakaran.

OLEH AGUSTINUS HANDOKO

Ketika itu, kebakaran berkali-kali terjadi di permukiman penduduk dan lahan di kawasan Sintang. Luijten tergerak datang dari Belanda ke Sintang untuk menjadi instruktur pelatihan pemadam kebakaran.
     "Suatu ketika, Pastur Jacques Maessen yang menjadi misionaris di Sintang mengontak saya dan berceerita kalau masyarakat di SIntang menghadapi masalah serius dalam penanganan kebakaran. Lalu saya putuskan berkunjung ke Sintang sambil berharap bisa melakukan sesuatu," katanya.
     Luijten, Kepala Stasiun Pemadam Kebakaran Maastricht, Belanda, itu mendapati kombinasi berbagai masalah yang menyebabkan kebakaran sering tak bisa diatasi.
"Hal paling mendasar waktu itu, instansi pemadam kebakaran di Sintang tak memiliki instruktur pemadam kebakaran yang bisa melatih petugas dan relawan. jadi, wajar kalau kebakaran menjadi persoalan di Sintang karena ditangani berdasarkan insting, bukan keahlian," katanya.
     Luijten memutuskan tinggal di Sintang guna menyelenggarakan pelatihan."Menangani kebakaran itu hitungannya detik. Kita terlambat beberapa detik saja, dampaknya bisa parah. Pemadam kebakaran harus tahu bagaimana api bermula. Setiap kasus (kebakaran) berbeda dan memerlukan penanganan yang berbeda pula. Tugas itu juga harus dikerjakan bersama-sama, kompak, dan terarah,' ujarnya.
     Pelatihan yang dilakukannya di Sintang ternyata menarik perhatian para relawan pemadam kebakaran. Dia secara sukarela kemudian mengadakan demonstrasi dan pelatihan pemadaman kebakaran bagi para relawan.
     Luijten yang awalnya hanya ingin memberikan pelatihan selama satu sampai dua bulan malah memperpanjang masa tinggalnya hingga setahun di Sintang. Ini berkaitan dengan tingginya minat para relawan dan petugas pemadam kebakaran di Sintang dan sekitarnya.
     "Ada banyak orang yang datang dari Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Melawi. Saya senang, ternyata mereka sangat antusias mengikuti pelatihan ini," ujar Luijten yang sudah melatih ratusan relawan pemadam kebakaran di tiga kabupaten tersebut.

Sumbangan peralatan

     Pada pelatihan itu dia mendemonstrasikan kemampuannya mendeteksi sumber api, menganalisa kecenderungan arah kebakaran, dan upaya menjinakkannya. Kemampuan dasar sebagai petugas pemadam kebakaran itu menjadi bekal yang berguna bagi para relawan dan petugas pemadam kebakaran di Sintang, Sekadau, dan Melawi.
     Setelah kemampuan sumber daya manusianya dibenahi, Luijten kemudian fokus pada peralatan. "Perlatan pemadam kebakaran di sana 9Sintang) sangat memprihatinkan, banyak yang sudah rusak dan tak lengkap," katanya.
     Tahun 2004, ia kembali ke Belanda. Dia melobi para kolega di Rotterdam, Amsterdam, dan Arnhem. Ia meminta mereka menyumbangkan sebagian peralatan pemadam kebakaran dan berbagai keperluan penyelamatan.
     "Ternyata sumbangan para kolega dan perusahaan swasta itu mencapai tiga kontainer. Sumbangan mereka terbagi atas peralatan untuk memadamkan kebakaran dan perlengkapan standar bagi petugas pemadam kebakaran. Misalnya, masker khusus, baju dan sepatu antipanas, kompresor, dan selang. Saya senang larena Pemerintah Belanda juga membantu dalam pengurusan dokumen," katanya.
     setlah membawa peralatan itu pada 2006, Luijten masih bolak-balik Arnhem-Sintang hingga 2009. Ia memberikan pelatihan dan penguatan kemampuan relawan pemadam kebakaran selama berada di Sintang.
     Dia juga memprakarsai pembangunan knator dan stasiun pemadam kebakaran di sana. Tak hanya sebagai kantor penyimpan peralatan pemadam kebakaran, stasiun yang dibangun itu juga menajdi tempat persediaan 30.000 liter air yang siap diangkut kapan saja apabila terjadi kebakaran.
     "Ketika kebakaran, apalagi pada musim kemarau, semua orang panik dan bingung karena membutuhkan waktu untuk mengambil air, sementara api semakin besar. Dengan air yang siap pakai itu, tahap pertama untuk mencegah meluasnya kebakaran sudah teratasi. Petugas hanya butuh waktu singkat dari pos ke lokasi kebakaran, tanpa harus mencari air dulu, katanya.
     Bagi dia, menjadi petugas pemadam kebakaran adalah profesi dan jalan hidup. Ia merasa menjadi manusia yang berguna  setiap kali terlibat upaya pemadaman kebakaran.Keinginannya menjadi petugas pemadam kebakaran sudah muncul sejak masa sekolah.
     Maka, selepas sekolah menengah teknik, Luijten melanjutkan pendidikan ke akademi pemadam kebakaran Arnhem selama dua tahun, dan setelah itu bergabung menjadi petugas pemadam kebakaran.

Air bersih

     Selama berada di Sintang, ia juga mendapati air bersih menjadi masalah bagi warga, selain api. "Saya melihat orang mandi, mencuci, dan menggunakan sungai sebagai toilet. Saat pertama kali datang tahun 2003, saya terkena diare beberapa hari. kata dokter, ini akibat air yang kotor," ceritanya.
     Di Sintang, dan umumnya Kalimantan Barat, Luijten sulit menemukan air bersih siap minum yang bisa diperoleh secara cuma-cuma.
Di Kalimantan Barat, air bersih siap minum sangat mahal. Air kemasan, air galong, dan air isi ulang relatif mahal. Setelah pemadaman kebakaran di Sintang bisa mandiri, saya kembali ke Belanda untuk berdiskusi dengan teman-teman mengenai masalah air bersih," katanya.
     Menurut Luijten, mereka sudah bergerak di bidang penyediaan air bersih saat terjadi tsunami di Aceh tahun 2004. Dari teman-teman  inilah Luijten kemudian bergabung dengan Water4life (water for life), lembaga nirlaba yang bergerak di bidang air bersih.
     Maka, saat kembali ke Sintang tahun 2011 ini, Luijten mengampanyekan perlunya  air bersih yang murah bagi masyarakat. Ia menggandeng Perusahaan Daerah Air minum (PDAM) Kota Pontianak untuk membuat proyek percontohan penyediaan air siap minum.
     "Teknologi nanofilter yang dipakai telah mendapat sertifikasi di Belanda, juga di Aceh saat tsunami. Kami akan mengurus sertifikasi kelayakan kesehatan ini untuk Kalimantan Barat. Air yang disaring menggunakan filter itu tidak perlu dimasak. Ini bisa mengurangi pengeluaran untuk bahan bakar," ujarnya.
     Setelah dihitung, biaya penyediaan air siap minum dengan bahan baku dari air PDAM itu Rp 214 per liter. Ini jauh lebih murah dibandingkan air botol kemasan, atau air galon isi ulang.
     "Walaupun tidak kami bagikan secara gratis, filter ini bisa diproduksi di Indonesia karena kami tidak mematenkan produk tersebut," ujar Luijten.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN 3 OKTOBER 2011