Kamis, 29 Desember 2011

Kesih : Bidan Pemberdaya Masyarakat

KESIH

Lahir : Sumedang, Jawa Barat, 3 Oktober 1976
Suami : Asep Wasman
Anak : Fathin Muhammad (13), Haribanu Adam (8)
Pendidikan : D-3 Kebidanan Politeknik Kesehatan Bandung, 2004
Penghargaan :
- Bidan Teladan Kabupaten Bandung,2009
- Bidan Teladan Provinsi Jawa Barat, 2009
- Srikandi Award untuk Kategori Pemberdayaan Ekonomi 2011
- Penghargaan dari Bupati Bandung, 2011
Kesih adalah bidan desa yang bertugas di Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sejak 2006. Desa di kaki Gunung Malabar ini sempat membuatnya nyaris patah arang karena termasuk desa pelosok dengan kondisi infrastruktur buruk, sementara 91 persen warganya adalah buruh tani dan pekerja serabutan.
OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

"Saya sempat berpikir untuk bertugas setahun saja, sekadar menjalankan persyaratan," cerita Kesih, bidan lulusan D-3 Politeknik Kesehatan Bandung.
     Faktanya, Kesih justru membulatkan tekad untuk mengabdi di desa berpenduduk 1.650 keluarga ini. Satu persatu kelompok masyarakat bisa didekatinya untuk meyakinkan mereka bahwa di desa tersebut sudah ada bidan yang menyediakan layanan kesehatan.
    Ini terutama bagi para ibu yang mendapatkan layanan kesehatan dari kehamilan hingga persalinan. Kader PKK yang semula berjumlah 25 orang pun bertambah menjadi 69 orang.
     Pengabdian Kesih berlanjut di Desa Mekarjaya hingga sebuah insiden mengubahnya.
Suatu hari dia menangani kasus apnea atau masalah pernapasan pada bayi berusia tiga minggu. Dia pun tanggap dengan memanggil ambulan untuk merujuk bayi itu ke rumah sakit guna mendapatkan perawatan secepatnya. Bukannya ikut bergegas, orang tua si bayi malah mematung di depan pintu, padahal ambulans sudah menanti di halaman rumah. 
     Kesih sadar, masalah ekonomi pasti mengganjal benak orangtua si bayi. Ia lalu menjelaskan berbagai skema jaring sosial yang bisa mereka gunakan agar biaya pengobatan itu gratis, seperti Jaminan Kesehatan Daerah dan Jaminan Kesehatan Masyarakat.
     "Kalau kami ikut mengantar ke rumah sakit, siapa yang menanggung biaya makan dan ongkos jalan bolak-balik ke rumah sakit," tutur Kesih menirukan reaksi orangtua si bayi.
     Dia sempat kaget dengan sikap orangtua si bayi itu, tetapi bisa memaklumi  mengingat tingkat ekonomi warga setempat yang umumnya tidak mampu. Kejadian itu membuat dia belajar bahwa jaring sosial memang menjamin biaya pengobatan orang yang sakit, tetapi kerap melupakan para pendamping si sakit, padahal kehadiran mereka juga dibutuhkan.

Koperasi Bunda Lestari

     Pengalaman tersebut menimbulkan ide di benak Kesih untuk menggerakkan potensi masyarakat melalui sebuah koperasi. Koperasi dianggapnya bisa menjadi solusi karena mampu menggerakkan kekuatan ekonomi meski anggotanya bukan berasal dari kalangan yang mampu.
    Sejak 2009, dia merintis koperasi beranggotakan kader PKK dan para ibu. Salah satu alasan Kesih mendirikan koperasi adalah mendukung operasional kader PKK yang berlatar belakang buruh tani dan ibu rumah tangga. Perannya yang penting sebagai pembantu bidan desa setempat seolah kontras dengan  tugasnya di koperasi yang dikerjakannya tanpa mendapat honor.
     Koperasi tersebut lalu menghimpun dana sosial yang semula digalang pada tingkat RW. Menggunakan kaleng bekas susu kental manis yang di pasang di depan rumah, setiap minggu warga mengisinya dengan beras, lalu dikumpulkan di koperasi. Setelah terkumpul, beras tersebut dijual dan dijadikan dana sosial bagi ibu hamil.
    Meski jumlahnya berfluktuasi, saldo bulan terakhir menampilkan angka Rp 5 juta lebih, dana untuk digunakan ibu hamil.
     "Dalam dua tahun terakhir ini, tidak ada lagi kisah warga yang kesulitan uang untuk mengantar ibu hamil atau memeriksakan anak," ujar Kesih.
     Keberadaan jaring sosial bagi ibu hamil, misalnya Jaminan Persalinan (Jampersal), kerap salah dimaknai oleh ibu hamil. Umumnya mereka mengira tidak lagi harus menabung karena biaya persalinan sudah ditanggung pemerintah. Padahal, di luar itu, masih banyak kebutuhan yang juga harus disiapkan orangtua, seperti biaya pendamping hingga kebutuhan lain, semisal popok ataupun susu.
     Selain sumbangan pokok dan wajib layaknya koperasi, Kesih juga berpikir agar ada perputaran uang yang bisa menghidupkan perekonomian Desa Mekarjaya. Pikirannya sederhana. Jika masyarakat sejahtera, tentulah derajat kesehatan juga ikut terdongkrak.
     Kesih kemudian menggunakan dana yang terkumpul dari iuran para anggota koperasi untuk pemberdayaan ekonomi warga. Bukan serentak untuk satu wilayah, melainkan spesifik di tiap-tiap RW.
     Misalnya, RW 1 menggarap pembibitan tanaman kayu produksi bekerja sama dengan perusahaan yang menanamkan modal di wilayah itu atau RW 8 yang memanfaatkan lahan carik desa untuk dijadikan kolam ikan lele. Ada pula RW 7 yang warganya menggarap keripik pisang atau RW 10 yang serius dengan opak, sejenis makanan khas.
     Langkah tersebut dirasakan Kesih lebih efektif. Pasalnya, para pekerja yang mayoritas perempuan tersebut bisa mendapatkan penghasilan tambahan hanya dengan meluangkan waktu 1-2 jam sehari. Setiap minggu, mereka bisa mendapatkan uang sekitar Rp 25.000 per orang.
     Mitra usaha pembibitan itulah yang kemudian membantu pengurusan akta notaris koperasi yang dirintis Kesih hingga kemudian memiliki nama "Koperasi Bunda Lestari". Kesih berharap, status hukum itu memudahkannya menjaring lebih banyak anggota koperasi dan kesempatan bermitra dengan pihak lain. Dengan demikian, semakin banyak warga yang mencicipi manfaatnya.

Srikandi

     Keberhasilan Kesih memberdayakan warga Desa Mekarjaya pun membuahkan pengakuan tingkat nasional baginya lewat penganugerahan Srikandi Award. Penghargaan itu diberikan kepada bidan yang dianggap memberikan inspirasi karena punya inovasi dalam menjalankan tugas pokoknya.
     Kesih berhasil menyisihkan para bidan dari sejumlah daerah untuk kategori pemberdayaan masyarakat, seperti bidan dari Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Salah satu hadiah yang disyukurinya adalah bisa menunaikan ibadah haji.
     Di samping itu, Kesih pun menganggap penghargaan tersebut sebagai lecutan semangat agar dia bekerja lebih keras lagi. Penghargaan itu membuat Kesih semakin yakin untuk meneruskan upaya memberdayakan ekonomi warga Desa Mekarjaya.
     "Kesih bisa menjadi panutan bagi bidan desa lain di Kecamatan Arjasari," kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Puskesmas Banjaran Iis Aisjah.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 30 DESEMBER 2011.

Kamis, 22 Desember 2011

Kejujuran Rahmad Darmawan



RAHMAD DARMAWAN 

Lahir : Metro, Lampung, 26 November 1966
Karier pemain :
- Persija, Persikota
- Timnas Yunior (1986-1987)
- Timnas U-23 1988
- Timnas Senior 1989-1994
Karier pelatih :
- Asisten pelatih tim nasional Indonesia (2002)
- Pelatih Persikota (2003-2004)
- Pelatih Persipura (2005)
- Pelatih Persija (2006-2007)
- Pelatih Sriwijaya FC (2007-2009) 
- Pelatih Persija (2010)
- Pelatih Timnas U-23 Indonesia (2011)
Pencapaian :
- Juara Liga Indonesia 2005 bersama Persipura
- Juara Liga Indonesia 2007, Piala Indonesia 2007, 2008, 2009 bersama
  Sriwijaya FC
- Medali perak SEA Games 2011 bersama Timnas U-23

Seusai mengundurkan diri sebagai pelatih Tim Nasional Sepak Bola Indonesia Usia di Bawah 23 Tahun (U-23), Rahmad Darmawan mendapat banyak dukungan. Respons yang tak diduganya itu muncul karena pelatih yang mengantarkan Indonesia meraih medali perak SEA Games 2011 tersebut mengekpresikan kejujurannya.

OLEH YULIA SAPTHIANI

"Ketika memutuskan keluar dari timnas, saya tidak berpikir apa yang saya lakukan didukung atau tidak. Saya hanya jujur mengatakan apa ayang ada di dalam hati," kata Rahmad ketika ditemui di rumahnya di kawasan Karawaci, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu.
     Hari itu, sejak pagi Rahmad sibuk membagi waktunya untuk menerima media yang belum juga berhenti membahas sikapnya. Pada 13 Desember lalu, pelatih yang akrab disapa RD ini memberikan surat pengunduran diri sebagai pelatih Timnas U-23 kepada PSSI. Selain merasa bertanggung jawab karena kegagalan Indonesia meraih medali emas, keputusan tersebut juga didasari kekecewaannya kepada PSSI yang melarang atlet dari luar kompetisi PSSI membela tim nasional.
     Memilih berhenti sebagai pelatih timnas bukan karena Rahmad menyerah. Dia justru menginginkan adanya pemikiran yang cerdas dari para pengurus sepak bola di negeri ini demi menghasilkan pemain terbaik untuk membela timnas.
     Dikotomi antara kompetisi Liga Prima Indonesia dan Liga Super Indonesia menunjukkan, pengurus sepak bola di negeri ini belum bisa menggelar kompetisi yang berkualitas. Hal inilah yang menurut Rahmad menjadi salah satu dari empat faktor penyebab Indonesia kesulitan berprestasi di tingkat  internasional, termasuk di level terendah, yaitu Asia Tenggara.
     Tiga hal lain yang juga diabaikan adalah pengembangan pemain muda, infrastruktur, dan penyiapan tenaga pelatih. Padahal, keempat faktor yang saling berkaitan ini menjadi dasar terbentuknya kekuatan timnas.
     "Dengan kondisi seperti ini, jangankan seorang RD, Jose Mourinho-pelatih Real Madrid, Spanyol- pun akan sulit untuk membawa Indonesia ke Pra PialaDunia karena tidak tersedianya semua elemen untuk membangun sebuah tim," komentar Rahmad.
     Meski selalu kisruh, pelatih yang berpangkat kapten marinir ini masih memiliki harapan kondisi sepak bola Indonesia akan membaik. langkah awalnya adanya pembenahan di tubuh PSSI. Setelah itu, barulah menata empat faktor yang dikatakan  Rahmad.
     Untuk masa depannya sendiri, Rahmad telah menetapkan hati akan tetap berada di jalur teknis. Rahmad memandang dirinya akan tetap menjadi pelatih atau pengurus PSSI yang bertanggung jawab atas hal teknis di lapangan. Ayah dari dua anak ini juga bercita-cita membangun akademi sepak bola.

Filosofi
      Karier Rahmad di dunia sepak bola dimulai dengan menjadi pemain di beberapa klub, di antaranya Persija Jakarta dan Persikota Tangerang. Rahmad juga pernah membela Timnas Indonesia pada 1986-1994.
     Awal kariernya sebagai pelatih dimulai di Kota tangerang, tepatnya bersama Persikota. Rahmad kemudian memperluas pengalaman melatih dengan memilih keluar dari Tangerang dan Jakarta, kota tempatnya meniti karier.
     Sekembalinya mengikuti kursus kepelatihan di Jerman, dia memilih di Persipura Jayapura dan menghantarkan klub ini menjadi yang erbaik di Liga Indonesia 2005.
     Tangan dinginnya juga menghantarkan Sriwijaya FC meraih gelar yang sama, dua tahun kemudian. Tak hanya itu, klub yang bermaskas di Palembang, Sumatera Selatan, tersebut juga menjuarai Piala Indonesia tiga kali berturut-turut, 2007-2009.
     Di samping terkenal sebagai pelatih lokal tersukses, Rahmad juga dikenal sebagai pelatih yang memiliki atlet yang loyal. Ketika memutuskan pindah dari Persikota ke Persipura, misalnya, beberapa pemain mengikuti langkah Rahmad. Begitu pula ketika pelatih yang hobi bernyanyi dan mengoleksi topi ini hengkang dari Sriwijaya  ke Persija. Sebanyak 19 pemain juga memilih mengikuti langkah Rahmad meski akhirnya hanya sembilan orang yang dikontrak Persija.
     "Saya sendiri kaget karena tidak mau dikatakan menggembosi pemain. Saya lalu memberikan pemahaman bahwa mereka tak boleh mengambil keputusan hanya karena ingin ikut saya. Mereka harus memikirkan juga kepentingan sendiri dan keluarga," ungkap Rahmad.
     Rasa hormat yang akhirnya memunculkan sikap loyal pemain terjadi karena filosofi melatih yang selalu dijalankan pria kelahiran Lampung ini. Dia selalu berprinsif pelatih tak akan berarti apa-apa jika tidak ada pemain. Prinsip ini kemudian ditularkan kepada mereka bahwa mereka tak berarti apa pun tanpa pelatih dan sesama rekan pemain.
     Berdasarkan nilai-nilai inilah Rahmad tak menoleransi atlet yang merasa dirinya pemain bintang. Dia tak segan memberikan sanksi kepada mereka yang bersikap tak profesional karena merasa dirinya hebat. Hal ini beberapa kali dibuktikan dengan mencoret pemain bintang dari tim atau tidak menurunkannya dalam pertandingan, baik di klub maupun timnas.
     Rahmad juga selalu berprinsip menggali potensi dan mengesampingkan sejenak nilai negatif seorang pemain. "Ketika ada pemain dengan teknis bagus, tetapi memiliki mental jelek, saya akan memilihnya untuk masuk tim. Di perjalanan, ketika dia menampakkan sifat negatif, saya merangkul untuk diberi pengertian. Ketika dia mengulangi hal yang sama, saya beri sanksi di depan semua anggota tim," tutur Rahmad, memberi contoh.
     Dengan prinsip tersebut, Rahmad berhasil mendekatkan diri kepada pemain dari sejumlah daerah dengan berbagai karakternya. Apalagi, perbedaan karakter kerap muncul di lapangan meski sepak bola sebenarnya memiliki bahasa universal.
     Ketika melatih di Jawa, kata Rahmad lagi, dia memiliki tantangan agar pemain menjalankan program latihan sepenuh hati. Sebaliknya di Papua, tantangannya adalah membuat pemain mau datang berlatih.
     "Ketika sudah datang, setiap pemain Papua akan mengeluarkan kemampuan mereka 100 persen.Motivasi mereka tidak perlu lagi diragukan. DI Papua, setiap orang berkompetisi menjadi pahlawan olahraga karena olahragalah yang mengangkat nama baik mereka," ujarnya.
     Secara tersirat, Rahmad ingin menyampaikan bahwa pengurus olahraga haruslah memahami karakter masyarakat tiap-tiap daerah. "Jadi, hati-hati mengurus sepak bola kalau tidak paham karakter masyarakatnya," kata Rahmad.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 22 DESEMBER 2011.

Kamis, 15 Desember 2011

Sabar Gorky: Satu Kaki Menjejak Puncak Dunia

SABAR


Lahir : Solo, 9 September 1968
Istri : Lenie Indria
Anak : Novalia Eka (9)
Pendidikan :
- SD Gulon, Solo
- SMP Purnama 1, Solo
- SMA Wolter Monginsidi, Solo (tidak lulus)
Prestasi :
- Mencapai puncak gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl), gunung tertinggi di Afrika, 
  13 November 2011
- Mencapai puncak Gunung Elbrus (5.642 mdpl), gunung tertinggi di Eropa,
  17 Agustus 2011
- Peraih medali emas Kejuaraan Panjat Dinding Asia di Korea Selatan tahun 
  2009

Sabar (43) berusaha bangkit. Dengan sisa-sisa tenaga, di tengah terpaan angin dingin beruhu minus 13 derajat celsius, dilangkahkan kedua tongkatnya bergantian meski tertatih. Bendera Merah Putih terikat di tongkat kirinya.

OLEH SRI REJEKI

Baru berjalan empat langkah, Sabar kembali jatuh tersungkur. Padahal, puncak Elbrus sudah di depan mata. Sabar kembali bangkit, kali ini tujuh langkah terakhir berhasil mengantarkan pria berkaki satu ini menancapkan Sang Merah Putih di puncak berketinggian 5.642 meter itu, satu dari tujuh gunung tertinggi di dunia. Momen mengharukan ini bisa disaksikan di kanal internet Youtube dengan judul Sabar Gorky di puncak Elbrus.
    Prestasi Sabar yang tepat dilakukan pada 17 Agustus 2011 menjadi salah satu kado ulang tahun kemerdekaan RI tahun ini. Ia pun tercatat menjadi tuna daksa pertama yang mencapai Elbrus melalui jalur utara, jalur yang tiga kali lebih panjang dan lebih sulit dibanding jalur selatan.
    "Sebenarnya saya dan seorang teman berniat ikut kompetisi panjat tebing di Italia tahun 2010, tapi batal karena tidak ada biaya. Eh, malah ada yang kasih perhatian dan dukungan sehingga bisa mendaki Elbrus," kata Sabar di sela-sela persiapannya membawa obor ASEAN Para Games di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (13/12).
     Tidak ada yang tidak bisa dilakukan jika kita mau bekerja keras mencapainya". Begitulah moto hidup pria kelahiran Solo ini. Pria yang kehilangan kaki akibat terjatuh dari kereta api saat masih duduk di bangku SMA ini sempat terpuruk selama setahun pasca kecelakaan. Dorongan semangat dari teman dan keluarga membantunya bangkit. "Kalau kita mau berusaha, tidak ada kata tidak bisa," kata Sabar.

Tujuh puncak dunia

     Elbrus menjadi langkah awalnya untuk mencapai Seven Summits, tujuh puncak gunung tertinggi di dunia. Tidak menunggu lama, dari puncak tertinggi di Eropa itu, ia lantas merambah Afrika. Kali ini puncak Kilimanjaro dengan ketinggian 5.895 meter di atas permukaan laut dia jejaki tepat pada 13 November 2011 melalui rute Marangu atau "Coca-cola route". Jika Elbrus di Rusia dicapainya dalam waktu lima hari, dia menyentuh Kilimanjaro, puncak tertinggi di Benua Afrika, dalam waktu empat hari. 
     Asep Sumantri Tole h Tarwan dari Top Ranger and Mountain Pathfdiner (TRAMP), yang menjadi tim teknis Sabar saat ke Kilimanjaro, mengungkapkan, Sabar mendaki sangat cepat, dua kali lebih cepat daripada rekan setimnya yang punya dua kaki. Ia juga selalu ceria dan pantang menyerah. Sabar yang justru muncul sebagai motivator bagi rekan-rekan setimnya. "Orangnya selalu ceria," kata Asep.
     Namun, langkah Sabar melambat, cenderung kesulitan, ketika turun dari puncak gunung. Ia pun kerap jadi sasaran canda rekan-rekannya. "Kami jadi meledek dia dalam arti bercanda, 'Makanya jangan sombong kalau naik'," kenang Asep.
     Sabar sampai dijuluki mafia oleh para pemandu Gunung Kilimanjaro yang dalam bahasa setempat berarti orang yang selalu ceria, easy going, dan selalu berpikiran positif.
     Di Rusia, Sabar mendapat tambahan nama Gorky dari salah seorang staf Kedutaan Besar RI (KBRI) untuk Rusia. Gorky berasal dari Maxim Gorky, nama panggilan pujangga Rusia, Alexey Maximovich Peshkov. MAxim Gorky berarti si empunya hidup pahit yang kemudian berkonotasi positif.
     Sukses Sabar mencapai puncak Elbrus disambut dengan pesta kecil di KBRI di Moskwa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menelpon Sabar, memberikan ucapan selamat.
     Sebelum bertolak ke Rusia, Sabar bertemu Presiden  Yudhoyono selain Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Ketua MPR Taufiq Kiemas, dan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Begitu pula saat ia sukses mencapai puncak Kilimanjaro, sebuah pesta kecil dengan hidangan kambing guling menyambut Sabar dan tim di KBRI di Nairobi, Kenya.
    Kini Sabar dipercaya membawa obor api ASEAN Para Games sambil "terbang" dari atap tribune menuju kaldron. Sabar, yang sejak tahun 1997 menekuni olahraga panjat tebing, mempersembahkan medali emas dari Kejuaraan Panjat Dinding Asia di Korea Selatan tahun 2009.
     "Saya senang dipercaya membawa obor ASEAN Para Games. Apalagi momen ini di kampung halaman sendiri," kata anak dari pasangan Sopawiro dan Sariyem ini.
     Baru dua pekan pulang dari Kilimanjaro, awal Desember lalu Sabar sudah mendaki gunung lagi. Kali ini untuk memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional di puncak Gunung Lawu dengan berbaju batik. Meski begitu, ia hanya tersenyum serba salah saat ditanya bagaimana perhatian pemerintah terhadap difabel, termasuk atlet difabel.

Gemar mendaki

     Kini, Sabar yang hobi naik sepeda, panjat dinding, dan arung jeram menekuni pekerjaan membersihkan kaca gedung-gedung bertingkat dengan high rope serta reparasi tas. Bukan pekerjaan yang mudah dan tentu saja penuh resiko.
     Agaknya, aktivitas berisiko tinggilah yang mampu memenuhi hasrat hidup Sabar. Gemar mendaki gunung sejak tahun 1986, Sabar sempat pesimistis ketika pertama kali hendak mencoba naik gunung kembali pasca kehilangan satu kaki.
     Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur berhasil didakinya, setelah dua kali mencoba. Setelah itu, dia mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur yang baru pertama kali itu ia daki. tahun 1997, Sabar mencapai puncak Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat.
     Tahun depan, dengan dukungan tim yang mengatur persiapan fisik dan keuangan, Sabar sudah menyusun serangkaian agenda. ayah satu anak ini berencana, antara lain, mencapai Mera Peak, salah satu puncak di Pegunungan Himalaya, Gunung Aconcagua di Argentina, Puncak Cartenz di Papua, serta mengikuti triatlon di Gurun Sahara, Maroko.
     Tahun 2006, Sabar berniat mendaki Puncak Cartenz, tetapi gagal karena kendala dana. Padahal, saat itu ia telah berlatih fisik selama tujuh bulan.
     Meski berhasil menorehkan prestasi yang menjadi inspirasi bagi semua orang, Sabar tetap memilih sikap rendah hati. Ketika puncak-puncak tertinggi dunia didakinya, hanya satu yang tebersit di hatinya, kuasa Allah Yang Maha Tinggi.
     "Di situlah saya benar-benar terasa, manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa," kata anak bungsu dari sembilan bersaudara ini.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 16 DESEMBER 2011

Roedhy Poerwanto : Ketika Musim Buah Tiba

ROEDHY POERWANTO

Lahir : Klaten, 18 Juli 1958
Pekerjaan : Guru Besar Bidang Hortikultura (2002)
Istri : Sri Budiarti
Anak : Itidea Adinugraha, Wisesa Nandhi Wardhana
Pendidikan :
- SDN Ngepos 2 Klaten
- SMPN 2 Klaten
- SMAN 1 Klaten
- S-1 Agronomi pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (1977-1981)
- S-2 Hortikultura di Kagawa University, 1985-1987
- S-3 Bioresources Production Science di Ehime University (1990)
Penghargaan :
- Mahasiswa Teladan I IPB, 1980
- Dosen Teladan I IPB, 1992
Organisasi :
- Kepala Bagian Produksi Tanaman IPB
- Sekretaris Dewan guru Besar IPB
- Direktur Tanaman Buah di Departemen Pertanian (2003-2005)
- Ketua Umum Perhimpunan Hortikultura Indonesia
- Ketua Dewan Pakar Himpunan Perbuahan Indonesia
- Anggota Dewan Riset Nasional

Menikmati mangga, durian, dan manggis sepanjang tahun bukan lagi impian. Penelitian Profesor Roedhy Poerwanto (53) dari Institut Pertanian Bogor memungkinkan kita memetik buah di negeri kaya buah ini hampir sepanjang musim.

OLEH MAWAR KUSUMA

Roedhy menggunakan bahan kimia pada tanaman durian, mangga, dan manggis. Untuk menginduksi munculnya bunga, tanaman dibuat stres dengan menuangkan bahan kimia paklogutrasol ke pangkal batang. Setelah dua bulan, tanaman disemprot kalium nitrat agar bunga bisa keluar serentak. Setelah itu kita tinggal menunggu datangnya buah.
     Penggunaanbahan kimia yang ditemukan Roedhy dari hasil penelitian tahun 1994-1995 ini telah diadopsi petani mangga di Cirebon, Jawa Barat, dan Probolinggo, Jawa Timur. Seluruh hasil penelitiannya selalu dilaporkan ke bagian penelitian dan pengembangan Kementerian Pertanian. "Saya juga menyampaikan langsung ke petani, dan mereka bebas mengadopsi. Buah lokal tetap bisa berbuah sepanjang musim," katanya.
     Roedhy sejak tahun 1985 aktif meneliti buah lokal. Kemampuannya telah dimanfaatkan oleh negeri lain. Hasil penelitiannya tentang produksi buah jeruk (Citrus sp) sepanjang tahun, misalnya, telah dikembangkan Koperasi Pertanian di Jepang.
     Penelitiannya tentang teknik produksi rambutan di luar musim juga telah diminta Direktorat Jenderal Penyuluhan Pertanian Thailand untuk bahan penyuluhan petani di Thailand.
     Penelitian tentang produksi jeruk sepanjang tahun dijalani Roedhy saat ia mendalami Fisiologi Tanaman di Jepang pada tahun 1985-1987. Ketika itu, ia juga sudah menjadi dosen di Fakultas Pertanian IPB. Buah jeruk di Jepang normalnya berbuah pada September atau pada musim gugur. Hasil penelitian Roedhy memungkinkan jeruk bisa dipanen pada musim panas.
     Khusus untuk rambutan di Thailand, Roedhy mengembangkan teknik pengaturan pembungaan dengan mengupas kulit batang pohon selebar 2 sentimeter. Kulit batang kemudian ditutup selama dua bulan hingga tiga bulan sebelum kemudian diberi kalium nitrat. "Dua minggu sampai satu bulan kemudian, rambutan akan berbuah."
     Sayangnya teknik yang dikembangkan di Jepang sulit diadopsi di Indonesia karena mahal. Sementara teknik yang dikembangkan petani Thailand membutuhkan pemeliharaan yang teliti.

Manisnya manggis

     Roedhy juga sedang meneliti cara mengatasi getah kuning pada buah manggis (Garcinia mangostana L). Getah kuning ini menyebabkan manggis terasa pahit. Akibat getah kuning, eksportir seringkali menolak dan mengembalikan manggis yang sudah dikirim.
     Roedhy juga sedang berupaya memperpanjang daya simpan manggis. Ia berusaha mempertahankan agar buah manggis bisa diekspor dalam kondisi segar, berwarna merah, dan kulit lunak. Dari hasil penelitiannya, Roedhy menemukan bahwa manggis harus disimpan pada suhu di bawah 12 derajat celsius menggunakan kemasan tertentu.
     Pada mangga, ia sedang meneliti pengembangan formula tertentu untuk pencucian agar mangga terbebas dari getah dan tidak cepat membusuk. "Hasil penelitian saya yang terakhir tentang manggis dan mangga ini akan saya patenkan," kata Roedhy.
     Profesor di bidang buah ini juga membina kelompok-kelompok petani buah lewat Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB. Ia termasuk salah satu peneliti yang merintis lahirnya PKBT yang telah melepas beberapa varietas unggul buah lokal seperti pisang unti sayang, nanas pasir kuda, dan pepaya carisya.
     Melalui PKBT, Roedhy turut membina kelompok petani sseperti petni manggis di Leuwiliang, Bogor. Petani buah, menurut Roedhy, harus mulai berkelompok agar bisa maju. Dengan sentuhan teknologi baru yang dikenalkan PKBT, ekspor manggis bisa didongkrak dari sebelumnya kurang dari 5 persen menjadi lebih dari 10 persen.
     Kelompok petani buah menjadi jawaban karena selama ini tanaman buah hanya menjadi tanaman pekarangan. Pohon buah di pekarangan ini sulit tersentuh teknologi karena skala kepemilikan yang hanya 1-2 pohon per petani. Hal ini sangat berbeda dengan negara lain, seperti Australia, yang kepemilikan lahan petaninya minimal 20 hektar.

Salak terbaik

     Buah lokal, menurut Roedhy, memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Buah lokal memiliki nilai gizi yang lebih tinggi karena lebih segar. Kandungan vitamin C buah mangga (Mangifera indica L), misalnya, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan apel impor.
     Salak dari Sleman, DI Yogyakarta, bahkan telah dinobatkan sebagai salak terbaik di dunia karena keunggulan citarasanya. Salak pondoh dari Sleman bisa ditanam dimana saja tanpa perubahan rasa. Perkebunan nanas di Lampung seluas 40.000 hektar juga telah mencatatkan diri sebagai produsen nanas terbesar ke-3 di dunia.
     Volume perdagangan buah internasional didominasi buah tropika seperti, pisang, nanas, dan mangga. Ketertinggalan buah lokal-terutama di perdagangan di pasar-pasar swalayan- disebabkan penampilannya yang kalah menarik. "Budaya mutu yang dikembangkan petani adalah rasa. Di konsumen, tidak hanya rasa, tetapi juga penampilan," kataRoedhy.
     Sistem perdagangan buah di dalam negeri juga lebih berorientasi volume dan harga, bukan mutu. Buah-buah lokal diperdagangkan tanpa seleksi mutu di tingkat produsen. Pengiriman buah bermutu baik dicampur dengan buah kualitas jelek, daun, ranting, bahkan buah busuk. Sebanyak 40-60 persen buah rusak dan harus dibuang.
     Roedhy berharap pemerintah bisa membangun saluran pasar baru yang sama sekali berbeda dengan pasar buah saat ini. Pasar harus lebih mengutamakan mutu dan hanya memasarkan produk buah bermutu.
     Pembangunan kebun baru berskala luas dengan mengundang investor juga harus segera dilakukan. Kebijakan pemerintah, menurut Roedhy, harus berpihak pada perkembangan buah jika ingin menyejahterakan petani. Dari hasil penelitian, pendapatan petani sayur dan buah lebih tinggi hingga 10 kali lipat dibandingkan petani padi.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 15 DESEMBER 2011

Rabu, 14 Desember 2011

Maria Loretha : Pemburu Benih Sorgum Flores

MARIA LORETHA 

Lahir : Ketapang, Kalimantan Barat, 28 Mei 1969
Pendidikan : S-1 Universitas Merdeka Malang
Suami : Jeremias D Letor
Anak : Agostinho Randy, Benedicto Brian, Philipus Letor, Sesilia Letor
Organisasi :
- Ketua Kelompok Tani Cap Sembilan Flores Timur
- Ketua Aliansi Petani Indonesia Flores Lembata (API Florata)
Penghargaan : Pengolah Pangan Lokal dari gubernur Nusa Tenggara Timur, 2010
Sorgum tak asing bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat karena tanaman ini menjadi pangan alternatif bagi warga pada musim kemarau. Namun, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pengembangan beras, sorgum semakin jarang ditanam warga. Bibitnya pun mulai langka. Padahal, kandungan karbohidrat sorgum lebih tinggi dibandingkan beras.

OLEH SAMUEL OKTORA & KHAERUL ANWAR
Fakta itu membangkitkan semangat Maria Loretha, petani di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk membudidayakan dan mengembangkan tanaman biji-bijian (serelia) ini. 
     kondisi itu melecut Maria mewujudkan mimpinya mendirikan "bank benih" pangan lokal. Maka, kebunnya seluas 6 hektar dijadikan areal pengembangan beragam jenis tanaman seperti sorgum,jambu mete, kelapa, padi, jagung, dan jewawut.
     Sorgum dan berbagai jenis tanaman lokal lain itu dipilih untuk dibudidayakan karena relatif sudah dikenal warga. Kondisi tanah NTT pun cocok untuk sorgum yang tahan hidup di lahan kering, tahan serangan hama dan penyakit, serta produktivitasnya yang tinggi.
     Dengan motivasi dan kondisi empiris itu, kini Maria memiliki koleksi sejumlah sorgum lokal seperti sorgum merah, sorgum hitam, sorgum coklat, sorgum biji putih menjuntai, sorgum putih kelopak putih, dan sorgum putih kelopak merah yang berasal dari Kalimantan.
     "Sorgum coklat kecil ini, misalnya, diyakini masyarakat adat di Ende punya kemampuan magis sebagai penolak bala," katanya.
     Maria juga memiliki benih jelai merah, jelai putih, empat jenis jewawut (dari 13 jenis jewawut lokal Flores), dan padi hitam yang seratnya mengandung zat antioksidan tinggi. Dia masih memburu sorgum biji merah menjuntai yang terdapat di Pulau Solor, Kabupaten Flores Timur.
     Koleksi benih itu, terutama sorgum, dia buru di berbagai pelosok Pulau Flores. Benih itu dia beli atau didapatkannya secara barter. Benih sorgum dibudidayakan di kebunnya, lalu dia berikan kepada para petani.
    Upaya Maria mengembangkan sorgum cepat tersebar ke ranah Flores. Dia diminta melakukan pendampingan dan sosialisasi guna menggalakkan budidaya sorgum pada sejumlah kelompok tani di Kabupaten Ende, bagian tengah Pulau Flores, sisi timur Flores, hingga Kabupaten Manggarai Barat.
     Tak sebatas Pulau Flores, Maria pun diminta mempresentasikan pengembangan sorgum di NTT dalam Diskusi Regional Forum Kawasan Timur Indonesia pada Oktober lalu di Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Sepiring sorgum merah

     Maria mulai mengembangkan sorgum dan tanaman pangan lokal tahun 2007. "Ini berawal dari sepiring sorgum pemberian tetangga saya, Maria Helan," katanya.
     Sorgum itu dikukus dan ditaburi parutan kelapa. Maria mengakui, semula dia ragu apakah sorgum itu cukup enak sebagai makanan."Apa enak ya sorgum ini?" ceritanya menggambarkan situasi saat itu.
     Ini bisa dimengerti sebab sejak kecil Maria tak pernah makan sorgum. Namun, saat butiran sorgum kukus itu menyentuh lidahnya, rasa gurih membuat dia menyukai makanan tersebut.
     Sorgum tersebut berwarna merah, yang oleh warga disebut wata blolon merah atau jagung solo. Sorgum di Kabupaten Ende disebut osho, sedangkan orang Manggarai menyebutnya lepang, mesak, atau pesi.
     Pengalaman pertama itu membuat Maria penasaran pada sorgum, yang lalu diketahuinya sebagai makanan lokal warga NTT. Ia semakin penasaran sebab sorgum tak mudah diperoleh. Ia lalu mulai memburu benih sorgum merah ke Adonara.
     Maria juga menyeberang laut ke daratan Flores Timur, antara lain ke Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura. Di sini dia mendapatkan 10 kilogram (kg) benih sorgum dan sedikit benih jewawut dan jelai. Benih-benih itu dibelinya Rp 150.000.
     Dia juga menghubungi  sebuah yayasan yang diketahuinya memiliki kebun budidaya sorgum di Flores Timur. Dia gagal mendapatkan benih sorgum karena urusan membeli benih ternyata harus sepengetahuan ketua yayasan yang saat itu tak ada di tempat.
     Meski sempat kecewa, Maria tak putus asa."Apalagi, ketika ke Desa Siru, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, saya menemukan benih sorgum hitam yang populasinya termasuk langka," ujarnya.

Kelompok tani

     Benih-benih sorgum itu lalu dia kembangkan sendiri karena Maria senang bercocok tanam. Ia makin rajin mencari informasi tentang pertanian, terutama berkaitan dengan sorgum dari berbagai bahan bacaan. Ia juga bersahabat dengan para petugas pertanian lapangan.
     "Pada hari libur saya suka ke sawah atau ke kebun," kata Maria, anak sulung pasangan Hieronymus Godang dan Marsiana Idus ini. Kesukaannya berkebun dia peroleh dari sang ayah yang juga gemar bertani.
     Untuk melancarkan pekerjaan di kebun, Maria mengajak warga bergabung. Mereka membentuk kelompok tani "Cap Sembilan", singkatan dari cinta alam pertanian. Ia menjadi ketuanya. Hasil panen sorgum itu juga dibagikan kepada anggota kelompok untuk dikembangkan di kebun mereka masing-masing.
     Sorgum yang dikembangkan kelompok tani Cap Sembilan bisa dipanen dalam empat bulan, bahkan dalam cuaca ekstrem sekalipun.
     "Ini karena sorgum bisa tumbuh subur dalam curah hujan tinggi. Kalau cuacanya terlalu kering pun, panen lebih cepat dilakukan sekitar 3,5 bulan," kata maria yang bisa panen empat kali dalam setahun dengan total sekitar 100 kg.
     Secara ekonomis, sorgum lebih murah daripada beras. Harga sorgum sekitar Rp 5.000 per kg, sedangkan beras Rp 7.000-Rp 9.000 per kg. Bahkan, beras merah di Flores harganya Rp 20.000-Rp 40.000 per kg.
     "Sementara jewawut harganya sekitar Rp 20.000-Rp 25.000 per kg dan wijen sekitar Rp 25.000 per kg," katanya.
     Sebagai sumber pangan, sorgum memiliki kandungan nutrisi dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan beras. Sorgum juga bisa dijadikan bahan industri gula cair, etanol, lem, cat, dan kertas. Sementara batang tanaman sorgum biasa dimanfaatkan untuk pakan ternak.
     Karena itulah, menurut Maria, bila petani di Flores mau fokus pada pengembangan tanaman pangan lokal, keuntungan yang mereka dapatkan bisa diharapkan meningkat.
     "Selain mendapatkan bahan pangan yang murah, pengembangan tanaman lokal  juga memberi keuntungan lebih tinggi ketimbang kami hanya menjual jagung," kata Maria.
     Namun, dia menyadari, perjalanan untuk itu masih panjang. "Untuk menggalakkan masyarakat mau mengembangkan sorgum dan melestarikan tanaman   pangan lokal NTT lainnya diperlukan gerakan ketahanan pangan yang terpadu. Di sini diperlukan peran semua pihak, tak bisa hanya kami (kelompok tani) sendiri," kata Maria.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 13 DESEMBER 2011 

Minggu, 11 Desember 2011

Sumarlan : Lentera Peternak Lele

SUMARLAN

Lahir : Magetan, Jawa Timur, 8 Januari 1954
Istri : Suyatni (55)
Anak :
- Marti Septia Yudi
- Yani Landung Pambudi
Pekerjaan :
- Pensiunan karyawan BRI 
- Peternak lele
- Pengusaha Industri rumahan Telogo Sarangan
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat di Selosari, Magetan, 1960
- SMP Negeri I Magetan, 1967
- SMEA Madiun, 1972
Penghargaan : Juara II Tingkat Nasional Lomba Inovasi Pengembangan Produk Hasil Perikanan kategori umum/usaha mikro kecil menengah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011

Bertahun-tahun para peternak ikan lele ("Ictalurus Punctatus") kesulitan memasarkan sebagian ikannya. Pedagang hanya mau mengambil ikan berukuran sedang dengan dalih lebih disukai pasar dan konsumen. Namun, dengan ide kreatifnya, Sumarlan berusaha mengubah kesulitan itu menjadi peluang usaha yang menggiurkan dan prospektif.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi lewat sedikit ketika Sumarlan menjaring beberapa ikan lele berukuran sebesar lengan orang dewasa, pertengahan November lalu. Ikan-ikan yang dipeliharanya di kolam, di samping tempat tinggalnya di Desa Candirejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, itu di masukkan ke dalam ember plastik dan dibawanya ke dapur.
     Sesampainya di dapur, ikan-ikan itu dia bersihkan dan dipotong-potong. Ada daging ikan yang diiris tipis-tipis, ada pula yang yang diiris tebal. Sumarlan kemudian memisahkan potongan-potongan ikan itu sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, duri dan kulit ikan juga dipisahkan.
     Masing-masing bagian dari ikan lele tersebut kemudian diolahnya menjadi beragam produk makanan siap saji. Pengolahan dilakukan mulai dari prosesnya sederhana hingga melibatkan teknologi modern. Daging lele, misalnya, diolah menjadi bothok presto, garang asem presto, dan pepes.
     Daging lele diolahnya menjadi abon dan keripik. Produksi abon juga bisa dihasilkan Sumarlan dari tulang ikan lele. Adapun kulit lele yang berwarna hitam diolah menjadi keripik yang renyah dan gurih.
     Di tangan Sumarlan, ikan lele benar-benar dimanfaatkan secara maksimal sehingga nyaris tak ada bagian dari ikan lele yang tersisa.

Otodidak

     Sumarlan bercerita, kepiawaiannya mengolah varian masakan ikan lele tidak didapatnya dari bangku sekolah formal. Kemahiran itu didapatkan melalui proses panjang melakukan uji coba bersama sang istri, Suyatni.
     Setelah menemukan rumusan yang tepat secara otodidak, Sumarlan kemudian mengomunikasikan "resep masakan" tersebut kepada para pekerja harian yang membantunya.
     Sadar dengan teknologi modern, dia pun memanfaatkan peralatan penunjang, seperti oven, mesin penghalus, mesin pengering, dan alat pengemas produk. Hasilnya, produk ciptaannya tidak hanya memiliki cita rasa yang disukai konsumen tetapi juga mendapat sentuhan pengemasan yang menarik dan terkesan bersih.
     Setiap hari puluhan  hingga ratusan kilogram ikan lele diolah di dapur industri rumahan Sumarlan . Ikan-ikan itu tak hanya dijaring dari kolam miliknya, tetapi juga dari kolam-kolam milik peternak di seluruh Kabupaten Magetan.
     Usaha rumahan Sumarlan ini secara tidak langsung telah membuka peluang pasar baru bagi para peternak lele, di luar pasar konsumsi lele hidup yang selama ini serapannya relatif terbatas.
     sebagai gambaran, satu kolam rata-rata mampu menghasilkan 1-2 ton ikan lele hidup dalam satu kali masa panen, yakni setiap tiga bulan. sementara kemampuan pasar menyerap ikan lele hidup hanya sekitar 80 persen dari kapasitas produk peternak.
     Pada musim panen melimpah, kemampuan serap pasar ikan lele hidup bahkan tinggal 50 persen. Jika setiap peternak menyisakan 100 kilogram (kg) ikan setiap kali panen, dari 1.000 peternak terkumpul 100.000 kg atau 100 ton ikan lele.
     Ia sempat merasakan sendiri ketika ikan di kolamnya sisa sekitar 100 kg. Segala upaya dia tempuh supaya ikannya tidak dibuang sia-sia, mulai dari konsultasi dengan dinas peternakan hingga berselancar di dunia maya. Klimaksnya dia menelurkan ide kreatif yang tidak hanya mampu menyerap ikan-ikan lele itu, tetapi juga memberikan nilai tambah.

Kampanye

     Ide awalnya sangat sederhana, yakni bagaimana ikan lele tersebut laku dijual. Ia bersyukur ketika produk-produknya bisa diterima pasar. Sumarlan tidak pernah menyangka, produk olahan ikan lele yang dihasilkannya mampu memperbesar peluang masyarakat untuk menikmati ikan lele sehingga tidak terbatas hanya digoreng, dibakar, atau dimasak kuah.
     Setali tiga uang, produk Sumarlan sekaligus membantu menyukseskan kampanye gemar makan ikan dalam rangka peningkatan gizi masyarakat. Apalagi kandungan gizi ikan lele tidak bisa dipandang remeh. Selain kaya protein, lele juga memiliki kandungan asam amino dan fosfor yang bermanfaat bagi tubuh manusia.
     Produk olahan ikan lele Sumarlan yang diberi label "Telogo Sarangan" bukan hanya jago kandang. Produk tersebut tak hanya laku di Kabupaten Magetan, tetapi juga merambah kota-kota besar, seperti Surabaya dan Tangerang.
     Peluang pasar produk ikan lele semakin luas dan menjanjikan. Pembeli dapat mencicipinya dengan harga mulai dari Rp 2.500 hingga Rp 12.000 per bungkus.
     Sumarlan mengisahkan, usaha peternakan lelenya dirintis ketika ia mendekati masa pensiun. Sebagai orang yang terbiasa menyibukkan diri bekerja rutin, dia khawatir tidak bisa menjalani hari-hari di masa senjanya tanpa aktivitas meskipun mantan karyawan bank ini sudah dikaruniai cucu yang juga menyita perhatiannya.
     Usaha budidaya ikan air tawar dipilih Sumarlan karena lokasi rumahnya dekat dengan Kali Jejeruk yang mengalirkan air dari Dam Jejeruk. Air itu dengan mudah dan berbiaya murah bisa dipompa ke dalam kolam. Total ada sembilan kolam yang ditargetkannya panen setiap 10 hari sekali.
     Kolam-kolam itu memliki sistem seperti akuarium yang menerapkan penggantian air secara teratur dan memperhatikan sirkulasi air seingga menghasilkan ikan-ikan yang sehat, bersih, dan aman dikonsumsi. Teknik budidayanya pun terbilang modern dengan memperhatikan perilaku ikan, penyakit, dan hama sehingga hasil panennya hampir menyentuh 100 persen dari benih yang ditebar.
     Rasanya tidak berlebihan jika kerja keras Sumarlan mengantarkannya meraih Juara II Tingkat Nasional Lomba Inovasi Pengembangan Produk Hasil Perikanan kategori umum/usaha mikro kecil menengah dari Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011.
     Itulah pelajaran berharga bagi Sumarlan, pria yang tidak menganggap purnatugas sebagai kematian dari kreativitas. Sebaliknya, masa pensiun adalah  peluang emas untuk mengasah kreasi yang terganjal karena rutinitas harian pada masa bertugas.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 12 DESEMBER 2011
 

Kamis, 08 Desember 2011

Ucu Suherlan : Demi Keutuhan Adat Kampung Naga

UCU SUHERLAN

Lahir : Tasikmalaya, 15 Mei 1966
Istri : Rini Lasmaniwati (32)
Anak : Irsan Riswanto (15), Rusdan Herdiana (12), Elma (9)
Pendidikan :
- SMA PGRI Salawu (1983-1986)
- Lembaga Kursus ICB Tasikmalaya (1986-1987)
- Lembaga Kursus Mahardika (1987-1988)
- Jurusan Keguruan Bahasa Inggris Universitas Siliwangi (2009-sekarang)

Salah satu daerah tujuan wisata terkenal di Jawa Barat adalah Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya. Setiap hari, apalagi akhir pekan, kawasan itu ramai dikunjungi para wisatawan lokal ataupun mancanegara yang ingin mengetahui keunikan dan kearifan Kampung Naga.

OLEH CORNELIUS HELMY

Padahal, sekitar 30-40 tahun lalu-tahun 1970-1980- tak sembarang orang bisa mengunjungi Kampung Adat Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
     Warga Kampung Naga secara terbatas memberikan izin kunjungan kepada orang asing masuk ke wilayah adat. Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan menjaga kemurnian kearifan lokal dan adat istiadat yang telah diwariskan leluhur Kampung Naga.
     Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, warga Kampung Naga kemudian memaklumi bahwa ketertarikan warga tidak bisa dibatasi. Terletak di pinggir jalan Tasikmalaya-Garut, Kampung Adat Naga dengan segala kekhasannya menjadi magnet bagi wisatawan lokal dan luar negeri. Ada yang ingin sekadar berwisata, tetapi ada juga yang terang-terangan ingin belajar tentang konsep hidup ala Kampung Naga.
     Ucu Suherlan (44) masih ingat pesan ayahnya, mendiang Jajat Sutija yang pernah menjadi kuncen Kampung Naga. Almarhum Jajat aaat itu mengatakan, minat masyarakat, terutama orang asing, sulit dibendung. Karena itu, untuk memudahkan komunikasi dan penyampaian informasi yang benar, Jajat bersiap menghadapi hal itu.
     Salah satu yang harus disiapkan adalah kemampuan berbahasa Inggris untuk melancarkan komunikasi antara warga setempat dan pendatang. Bahasa Inggris diyakini sebagai bahasa universal yang digunakan banyak suku bangsa di dunia.
     "Adat tidak melarang warganya untuk belajar atau sekolah. Bahkan, warga disarankan untuk terus belajar selagi itu bisa diupayakan dengan jalan yang benar. Bapak berharap saya bisa menjadi jembatan agar wisatawan asing paham dengan pola kehidupan masyarakat Kampung Naga," kata Ucu.
     Kemampuan warga berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan turis mancanegara dipastikan akan berdampak positif bagi perkembangan wisata warga Kampung Naga.

Tulis surat

    Ucu yang saat itu duduk di bangku kelas II SMP mulai memikirkan bagaimana belajar bahasa Inggris dengan benar. Tahu bahwa materi pelajaran bahasa Inggris di sekolah tidak terlalu membantu, ia mencari alternatif lain. Salah satunya belajar lewat program belajar bahasa Inggris radio asing, seperti ABC dan BBC. Ia juga menulis surat berbahasa Inggris pertamanya kepada ABC untuk memohon 12 buku panduan belajar. Permohonannya dikabulkan meski Ucu mengatakan tata bahasanya masih tidak sempurna.
     "Lulus SMA, saya melanjutkan ke lembaga kursus bahasa di Garut dan Jakarta mengambil jurusan pariwisata. Saya biayai sendiri dari uang memandu wisatawan yang singgah ke Kampung Naga yang sudah dijalani sejak SMP," katanya.
     Sempat seminggu menjadi pemandu wisata di Jakarta, ia teringat pesan ayahnya. Ia memilih pulang dan menemukan kenyataan banyak wisatawan asing datang mengunjungi Kampung Naga. Keteguhan masyarakat adat Kampung Naga  menjaga hutan, sumber air, dan hidup dalam kesederhanaan menjadi salah satu daya tariknya.
     "Saat itu tidak ada pemandu wisatawan asli Kampung Naga yang bisa berbahasa Inggris. Semuanya hanya lulusan SD dan tidak pernah mendapat pelajaran bahasa Inggris. Mereka sempat kesulitan ketika harus menerangkan perihal adat istiadat kampung mereka," katanya.

Mahir

     Ucu tidak hanya berhenti dengan mengaku prihatin atas keadaan tersebut. Dia pun mengajak pemandu wisatawan asli Kampung Naga untuk belajar bahasa Inggris. Peminat untuk bergabung dan belajar bahasa Inggris ternyata sangat banyak. Pertemuan pertama diikuti 23 warga yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Belakangan, ia juga menajdi "guru" bagi 30 anak-anak Kampung Naga.
     Untuk memudahkan pengajaran, Ucu fokus pada materi percakapan seputar pengenalan diri dan kawasan sekitar Kampung Naga, seperti rumah adat atau sawah organik. Pelajaran diberikan berpindah-pindah. Rumah pribadi Ucu, rumah warga lainnya, hingga Bale Ageung Kampung Naga.
     Sesekali materi pelajaran langsung diberikan di lapangan, seperti sawah atau hutan. Setiap akhir bulan, setiap murid diuji untuk berdialog dan memaparkan kemampuannya bercerita dalam bahasa Inggris di depan murid lainnya.
     Buah dari keseriusan mempelajari bahasa Inggris kini sudah terasa. Dari 21 pemandu wisata asli Kampung Naga, delapan orang sudah mahir berbahasa Inggris, sedangkan 12 pemandu lainnya masih harus terus belajar.
     akan tetapi, lanjut Ucu, kegiatan belajar terpusat di kelas terpaksa dihentikan tahun 2009. Untuk sementara, ia memperdalam teknik pengajaran bahasa Inggris di bangku perguruan tinggi. Sejak tiga tahun yang lalu, ia terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Keguruan Bahasa Inggris, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Tujuannya, memiliki metode pengajaran yang tepat dan mudah bagi masyarakat Kampung Naga.
     "Saya terpaksa menghentikan pengajaran karena tidak ada lagi yang bisa mengajar, sementara saya harus kuliah dan tetap menjadi pemandu wisata. Namun, hingga kini masih ada yang bertanya tentang bahasa Inggris dan saya selalu siap berbagi ilmu," katanya.

Tidak memberatkan

     Selepas lulus, Ucu berjanji untuk menghidupkan kembali kursus bahasa Inggris dengan metode yang lebih baik. Ia yakin bahasa Inggris tidak hanya akan berguna ketika memandu tamu, tetapi dikembangkan ke berbagai sektor lain, terutama peningkatan ekonomi.
     Kini beberapa warga bisa memasarkan barang kerajinan dan anyaman berbahan bambu khas Kampung Naga yang ternyata diminati konsumen dari Belanda. Penguasaan bahasa Inggris juga akan memudahkan warga untuk mencerna berbagai peristiwa yang terjadi tanpa harus melenceng dari aturan adat Kampung Naga.
     "Kami percaya bahwa ilmu tidak akan merepotkan ketika dibawa kemana-mana. Selain itu, kami juga yakin, semakin banyak ilmu yang kami dapatkan, akan semakin terang jiwa dan perilaku seorang manusia. Penguasaan bahasa asing menjadi salah satu ilmu yang bisa membuat kami menjadi lebih maju," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 9 DESEMBER 2011

Rabu, 07 Desember 2011

Indra Cahyono : Perekayasa Teknologi Budidaya

INDRA CAHYONO

Lahir : Semarang, 27 Desember 1970
Istri : Sri Mulyani (42)
Anak :
- Abraham Indra Altitovelis (14)
- Jonathan Indra Chelidivano (10)
Pendidikan :
- SD Negeri Krapyak I Semarang (1983)
- SMP Negeri 18 Semarang (1986)
- SMA Negeri 8 Semarang (1989)
- Sarjana Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Cokroaminoto, Makassar (1999)
- Magister Manajemen Sumber Daya Pesisir Universitas Muslim Indonesia,
  Makassar (2004)
- Doktor Pertanian Konsentrasi Perikanan Universitas Hasanuddin (2008-
  sekarang)
Pengalaman kerja :
- Teknisi hatchery udang windu PT Biru Laut Khatulistiwa (1991-1992)
- Teknisi pembenihan kerapu PT Hema Karuna Citra (1992-1993)
- Teknisi pembenihan udang windu PT Mutiara Biru (1993-1994)
- Teknisi pembenihan udang windu PT Khensunindo (1994-1995)
- Manajer Operasional Hatchery PT Sulawesi Agro Utama (1995-1996)
- Balai Budidaya Air Payau Takalar (1996-2010)

Indra Cahyono (41) menghabiskan separuh hidupnya dalam dunia perikanan budidaya. Selama 15 tahun di antaranya ia merekayasa teknologi budidaya di pesisir Galesong, Sulawesi Selatan, hingga Papua. Ratusan budidaya udang windu, ikan kerapu, dan rajungan kini menghiasi tepian pantai sepanjang ribuan kilometer.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP

Indra bukan sekadar peneliti. Dia turut mendampingi nelayan untuk memastikan hasil penelitiannya dapat diterapkan. Ia tak segan merekayasa teknologi agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan kondisi di lapangan.
     Pada 1996, misalnya, Indra berhasil memijahkan ikan kerapu batik (Epinephelus maccara) dalam bak berkapasitas 1 ton. Dia melakukan pemijahan dengan memberikan asupan taoge yang kaya vitamin E. Hasil rekayasa tersebut cukup fenomenal, mengingat selama ini pemijahan kerapu batik dilakukan dalam bak berdaya tampung 300 ton menggunakan berbagai jenis hormon berbiaya jutaan rupiah.
     Setahun berselang, Indra menemukan pemijahan ikan napoleon (Cheilinus undulatus) dan ikan lele tanpa bahan antibiotik. Pembiakan kedua ikan tersebut menggunakan asupan tumbukan halus bawang putih dan kunyit. Dari hasil rekayasa ini Indra akhirnya memahami budidaya tak melulu membutuhkan bak bervolume besar yang berbiaya tinggi.
     Dia pun kian bersemangat merekayasa teknologi budidaya pada bak berdaya tampung 1 ton. "Selain menghemat anggaran, sistem budidaya ini juga sangat cocok diterapkan karena nelayan umumnya hanya memiliki bak berkapasitas kecil," ungkap putra pasangan Dirin dan Dewi Larasati ini.
     Tahun lalu, Indra merekayasa teknologi pemijahan kerapu tikus (Cromileptis altivelis) dengan meregangkan tulang belakang di pesisir Raja Ampat, Papua Barat. Proses peregangan tulang belakang membuat kondisi ikan rileks sehingga lebih mudah merangsang kesuburan. Pengembangbiakan di dalam bak 1 ton itu merupakan yang pertama kali sejak pemijahan kerapu tikus dimulai pada 2003.
     Kala itu pemijahan kerapu tikus hanya sukses dilakukan dalam bak kapasitas 25-30 ton. Itulah mengapa sekitar 50 nelayan setempat langsung tertarik mencoba karya inovatif Indra.

Rajungan Galesong

    Belum lama ini Indra mendorong pembudidayaan rajungan (Portunus pelagicus) di pesisir Galesong, Kabupaten Takalar, sekitar 30 kilometer arah selatan Makassar, Sulawesi Selatan. Budidaya itu untuk menjawab fenomena menyusutnya populasi rajungan di perairan Galesong selama dua tahun terakhir.
     Padahal, bagi nelayan di pesisir Galesong, rajungan bernilai ekonomis tinggi. Kepiting jenis itu pasti dibeli pedagang pegumpul seharga Rp 120.000- Rp 125.000 per kilogram.Dagingnya di ekspor ke Jepang.
     Namun, keuntungan yang menggiurkan itu kian sulit diperoleh akibat merosotnya populasi rajungan. Satu demi satu pengusaha pun gulung tikar hingga saat ini tersisa tiga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari 10 usaha yang masih eksis tahun lalu. Itulah mengapa Indra berupaya memulihkan populasi rajungan guna menggiatkan kembali ekonomi di kawasan pesisir Galesong.
     Pembenihan rajungan memanfaatkan sejumlah backyard bekas budidaya udang windu di Desa Aeng Batu-batu, Kecamatan Galesong Utara. Di desa itu banyak terapat  backyard yang dibiarkan warga menganggur setelah seragan virus bintik putih thun lalu. Backyard milik nelayan Galesong umumnya terdiri dari 6-8 bak dengan kapasitas masing-masing 1 ton.
     Di bak-bak itulah Indra membenihkan rajungan hingga mendesain bak untuk pertumbuhan benih rajungan. "Kalau induk rajungan tidak stres akan memengaruhi banyaknya benih yang tetap hidup," ujar lelaki yang tengah menempuh program doktoral Program Studi Pertanian Konsentrasi Perikanan di Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
     Dalam pembenihan rajungan Indra mendapat bantuan dari Profesor Yushinta Fujaya yang lebih dulu malang melintang di dunia budidaya kepiting. Pembenihan secara sederhana tersebut rupanya mampu meningkatkan jumlah benih yang hidup setelah ditetaskan. Sekitar 70 persen dari 150.000 bibit yang dihasilkan seekor induk rajungan tetap hidup di dalam bak berkapasitas 1 ton.
     Setelah berusia 45 hari, benih-benih tersebut siap dilepaskan ke laut lepas. Pada Septembeer lalu, sekitar 300.000 benih rajungan dilepas di area zona inti perairan Galesong. Apabila hal ini berlangsung secara terus-menerus, populasi rajungan diperkirakan akan kembali pulih pada dua hingga tiga tahun mendatang.

Rumput laut

     Status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Balai Budaya Air Payau Takalar sejak 1996 tak menghambat aktivitas Indra di lapangan. Lelaki yang kini mengajar di Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan ini justru asyik mendampingi nelayan di wilayah Indonesia timur ketimbang meneliti di laboratorium.
    Kepedulian itu ia tunjukkan ketika dipercaya Pemerintah Kabupaten Serui, Papua Barat, untuk membudidayakan kerapu tikus, empat tahun silam. Kala itu Indra diberi anggaran Rp 408 juta untuk membeli 24.000 benih kerapu tikus. namun, ia mampu mendapatkan 24.000 benih dengan harga Rp 288 juta.
     Sisa uang Rp 120 juta kala itu digunakan Indra untuk membeli sekitar 5 juta bibit rumput laut. Ia lantas mengajak 17 pembudidaya rumput laut dari Galesong ke daerah Teluk Cenderawasih dengan menyewa pesawat Hercules milik TNI Angkatan Udara. Dia mengajrai penduduk setempat sehingga saat ini kawasan Teluk Cenderawasih dipenuhi hamparan rumput laut.
     Pesatnya pertumbuhan budidaya rumput laut di Papua Barat tak lepas dari upaya Indra mendekatkan nelayan pada layanan perbankan. Bank Rakyat Indonesia akhirnya mengucurkan dana pinjaman Rp 2,3 miliar untuk 20 kelompok budidaya rumput laut. Indra pula yang membantu 17 kelompok nelayan di Galesong mendapatkan bantuan kredit Rp 2,7 miliar tahun lalu.
     Sejumlah rekayasa teknologi itu adalah bagian dari 22 karya penelitian Indra sejak 1991. Upayanya mengawal hasil rekayasa sekaligus membantu permodalan nelayan itu berbuah penghargaan Adibakti Mina Bahari  tahun 2010 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Konsultan Keuangan Mitra Bank Tingkat Nasional.
     Kepedulian terhadap nelayan tidak lepas dari pengaruh sang ibu, Dewi Larasati. Indra mengagumi semangat ibunya dalam mengelola usaha katering yang memberdayakan warga sekitar di kawasan Krapyak, Semarang, Jawa Tengah.
     Indra pun mengambil keputusan berani agar lebih leluasa mendampingi nelayan. Ia mengundurkan diri sebagai PNS di balai Budidaya Air Payau Takalar. "Saya ingin lebih serius membenahi kawasan pesisir di Indonesia timur," ujar lelaki yang belum lama turut menggalakkan pembenihan berbagai jenis kerapu di kawasan Raja Ampat.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 2 DESEMBER 2011

Senin, 05 Desember 2011

"Tangan Dingin" Djoko Pramono

MAYOR JENDERAL (PURNAWIRAWAN) DJOKO PRAMONO

Lahir : Surabaya, 5 Agustus 1942
Istri : Pudja Riah, SH
Pendidikan :
- 1956-1966 : SD-SMA di Bandung
- 1966 : Akademi Angkatan Laut XII, Surabaya
Pekerjaan, antara lain :
- 1970: Instruktur Pendidikan komando dan Hutan, Pusat Pendidikan Korps
  Komando (KKO)
- 1994-1996 Komandan Korps Marinir
- 1998-1999 Inspektur Jenderal Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
- 1999-2000 Sekretaris Jenderal departemen Pariwisata, Seni dan Budaya
Riwayat keolahragaan, antara lain :
- 1972-1975 Sekretaris Persatuan Bola Voli Seluruh Indonesia (PBVSI) Jakarta
  Selatan
- 1979-1981 Ketua Cabang Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) 
  Surabaya
- 198902000 Sekretaris Jenderal Persatuan Angkat Berat Seluruh Indonesia
  (PABBSI)
- 1996-2007 Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Olahraga Selam Seluruh 
  Indonesia (POSSI)
- 1996-1997 Komandan Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) SEA Games,
  yang membawa Indonesia juara umum
- 2001-2006 Pembina Olahraga Air dan Wisata Bahari di Nongsa, Batam
- 2003-2007 Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Komite Olahraga Nasional 
  Indonesia
- 2003 Komandan Pelatnas SEA Games, Vietnam
- 2005 Komandan Pelatnas SEA Games, Filipina 
- 2002-2007 Wakil Ketu Umum KONI Pusat membidangi Pembinaan Prestasi 
  dan Penelitian Pengembangan
- 2007-2011 Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Olahraga Layar Seluruh 
  Indonesia (PB PORLASI)
- 2007-2008 Komandan Pelatnas 1st Asian Beach Games Bali 2008

Hiruk pikuk perhelatan SEA Games XXVI/2011 usai sudah. Gegap gempita di arena pertandingan tak lagi terlihat. Kehidupan kembali normal seperti sediakala. Keramaian selama 11 hari, 11-22 November 2011, yang didahului persiapan dan ditutup dengan gelar juara umum bagi kontingen tuan rumah Indonesia, tak lepas dari peran Djoko Pramono. Bisa dikatakan dialah "otak" perhelatan itu.

OLEH HELENA F NABABAN DAN MAHDI MUHAMMAD

Bayangkan saja, hingga beberapa hari menjelang pesta olahraga yang tak lain perhelatan bangsa indonesia ini, arena belum siap. Peralatan,khususnya pencatat waktu dan skor, belum terpasang semuanya. Belum lagi masalah teknologi informasi terkait dengan proses akreditasi atlet dan kontingen yang juga tak berlangsung mulus.
     Panitia kalang kabut. Djoko yang bertanggung jawab membidangi Sport dan Venue pada Panitia Penyelenggara SEA Games XXVI/2011 bertindak. Menggunakan sistem tekonologi informasi, akreditasi dilakukan setengah manual.
     "Mau enggak mau, suka tidak suka, saya harus cepat mengambil tindakan. Kalau enggak, semua berantakan," katanya.
     Keluhan juga menghampirinya saat pelaksanaan. Ketika SEA Games berjalan pun telepon Djoko tak berhenti berdering. Mulai dari pengaduan masalah penginapan dan uang saku atlet hingga masalah medali yang belum selesai disepuh.
     Hasilnya, perban yang membalut sisa suntikan infus masih terpasang di tangan kanannya saat kami berkunjung ke ruang kerjanya di gedung KONI Pusat lantai 11, Jakarta, awal pekan ini.

Sigap dan cepat

     Bisa dikatakan, tanpa Djoko, seluruh penyelenggaraan pesta olahraga itu bakal kocar-kacir. Ia bisa langsung memutuskan bagaimana peralatan diadakan.
     Bagi purnawirawan jenderal TNI Angkatan Laut ini, tanggung jawab yang diembannya kali ini memang berbeda dengan tanggung jawabnya saat SEA Games 1997 ataupun SEA Games 2003 dan 2005.
     Pada ketiga persiapan dan pergelaran SEA Games itu, Djoko didaulat menjadi komandan pelatnas. Dia langsung mengawasi persiapan dan latihan para atlet. Selain mengawasi, dia juga bertanggung jawab untuk memotivasi para pejuang "Merah Putih".
     Kesigapannya dalam menyelesaikan permasalahan seputar persipan acara tidak lain karena ditempa selama berkarier di jalur militer. Tidak ada dalam kamusnya sikap plin-plan dalam menyikapi dan menyelesaikan satu persoalan. Apalagi semangat perjuangan seorang atlet berbalut jiwa Marinir yang kukuh bertekad membela bangsa.
     "Kalau dulu saya betul-betul hanya memperhatikan atlet, berbeda dengan sekarang. Saya terfokus di arena pertandingan dan tidak kepada para atlet," ujar Djoko.
     Tugas lebih fokus mengurusi arena rupanya tetap membebani pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur, itu. Ia tetap terpacu mengupayakan segala daya dan asa untuk menyelesaikan arena yang kacau-balau. Sentuhan "tangan dinginnya" ibarat obat mujarab bagi persiapan yang tak kunjung beres.

Dari atlet untuk atlet
     
     Olahraga bagi Djoko bukan barang baru. Menjalani masa muda hingga usai pendidikan menengah atas di Bandung; renang, basket, dan judo adalah menu harian. Struktur tubuh yang tinggi tegap memungkinkan dia menjadi atlet dari cabang itu.
     Adalah MF Siregar, yang biasa dipanggil Opung olehnya, meminta Djoko memfokuskan diri untuk memperdalam kemampuan dalam cabang olahraga polo air.
     "Kata Opung, teknik renang dan cara menggolkan bola ke gawang saya sudah bagus. Cuma perlu terus dipoles,' tuturnya mengenang almarhum.
     Meski besar di "Kota Kembang"' dia tak sempat memperkuat Jawa Barat. Kariernya di olahraga dimulai ketika Djoko menjalani pendidikan di Akademi Militer TNI AL di Surabaya, 1962-1966.
     Dia kembali ke "habitatnya" di polo air. Ia sempat dikenal sebagai goal getter bagi skuad polo air TNI AL. Kemampuannya menjebol gawang inilah yang kemudian membuatnya dilirik untuk memperkuat kontingen PON Jawa Timur.
     Tugas teritorial yang diemban tahun 1966-1980, termasuk Operasi Seroja di Timor Timur (1977), membuat Djoko banyak meninggalkan kegiatan keolahragaan.
     Namun, saat bertugas sebagai Komandan Kompi Protokoler Departemen  Pertahanan Keamanan (1970-1974), dia memoles tim bola voli protokoler Hankam.
"Bersama saya, voli di Hankam itu (maju) pesat. Kalau ada pekan olahraga antar-angkatan, kami selalu menang," ungkapnya.
     Kemampuan itu mengangkatnya menjadi Sekretaris PBVSI Cabang Jakarta Selatan. Seusai kegiatan teritorial, ia kembali ke Surabaya dan didaulat menjadi Ketua Klub Renang Hiu Surabaya. Banyak perenang andal Indonesia muncul dari klub ini.
     Tak hanya moncer dalam karier militer, yang membuat Djoko diangkat menjadi Komandan Korps Marinir (1994-1996) dan kemudian sebagai inspektur jenderal (1996-1998) dengan pangkat mayor jenderal, karier keolahragaannya pun terus melesat. Bersama Bob hasan, taipan masa Presiden Soeharto, ia berhasil membesarkan olahraga angkat besi.
     Mendampingi Bob Hasan di PB Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia sebagai sekjen, Djoko tertantang membuat cabang di luar cabang olahraga tradisional penghasil medali, bulutangkis, itu tampil di olimpiade. Angan-angan suatu ketika lifter Indonesia bisa tembus ke olimpiade bukan kecap saja.
     Seperti diakui Djoko, dengan pembenahan sistem pembinaan, mulai dari perhatian soal makanan, asupan nutrisi, hingga pola latihan selama enam tahun mulai 1994, tiga lifter putri berhasil menembus Olimpiade Sydney 2000. satu perak dan dua perunggu berhasil dibawa pulang oleh kontingen "Merah Putih" dari cabang angkat besi.
     Kemampuan memoles cabang olahraga dari nol menjadi berhasil itulah yang membuat dia semakin dipercaya memegang posisi penting di organisasi induk olahraga. Sesudah angkat besi dan binaraga, dia didaulat memegang olahraga selam.
     Kini, di tengah kesibukannya berkaitan dengan SEA Games beserta segala karut-marutnya itu, dia dipercaya memegang induk cabang olahraga layar (PB Porlasi) untuk kedua kali.
     Perhelatan dua tahunan telah usai dan Djoko pun kembali pada kesibukannya semula, mengurus olahraga layar. Sekali lagi dia menginginkan para atlet muda layar bisa berlaga di olimpiade, menyusul I Made Oka Sulaksana yang berkali-kali mencicipi perhelatan empat tahunan itu.
     Memunculkan atlet layar muda Indonesia ke pentas dunia menjadi obsesinya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 6 DESEMBER 2011