Selasa, 31 Januari 2012

Noorman Widjaja: Anak Medan yang Mendunia

NOORMAN WIDJAJA 
Lahir: Medan, 17 Desember 1949
Pekerjaan: Konduktor di Opera House di Dubrovnik, Kroasia, dan Seto Philharmonic Orchestra Jepang
Istri: Anna Barbara
Anak:
- Maximilian Widjaja
- Constantine Widjaja
Pendidikan:
- SMA Setia, Medan
- Music High School Berlin, Jerman

Seorang bocah mengenakan kemeja lengan pendek dan celana panjang. Keduanya bukan setelan mewah. Dengan penampilan yang tak bisa dibilang rapi, si bocah bernama Noorman Widjaja itu tampil memimpin orkestra di hadapan Presiden RI pertama Soekarno.

OLEH FABIOLA PONTO

Sejujurnya, ia belum sekali pun menjadi konduktor, baik dalam latihan maupun acara resmi. Satu-satunya bekal hanyalah pengamatan sehari-hari terhadap sang ayah, Udin Widjaja, selain belajar piano sejak berusia 5 tahun.
     Tak mengherankan bila pada menit-menit awal ia merasa tegang. Bagaimanapun, Noorman tampil di depan orang nomor satu Republik Indonesia.
     Ternyata putra dari musisi Medan itu mampu menyelesaikan tugas tanpa cela. Berbagai komposisi dia tampilkan dengan baik, termasuk lagu nasional favorit Soekarno, "Maju Tak Gentar".
     Darah seni mengalir dalam nadi  bocah yang kini telah mendunia. Bagi Noorman Widaja, kini 62 tahun, musik adalah hidupnya. Lebih dari 30 tahun, ia menjalani hari-hari memimpin orkestra.
     "Sekarang saya aktif di Opera House di Dubrovnik dan Seto philharmonic Orchestra Jepang," katanya.
     Sejak muda, Noorman melanglang buana mendalami musik. Tahun 1969 ia memperdalam ilmu piano di sekolah musik di Berlin bersama Profesor Gerhard Puchelt. Ilmu mengomposisi lagu ia peroleh dari Profesor I Song Jun, dan memimpin orkestra dari Profesor Hans Martin Rabenstein.
     Debut Noorman sebagi konduktor berlangsung pada Opera Tutti di aula konser Philharmonic Verona, Italia, tahun 1994. Penampilannya terbilang sukses  sehingga tahun 1997 ia diundang lagi ke Italia. Sampai kini, ia kerap diundang sebagai pianis atau[un konduktor.

Pulang

     Noorman yakin hampir semua orang Indonesia menyukai musik. Bukti paling kuat, dimana-mana banyak penjual CD bajakan. Mereka bertahan karena dagangannya laris. Ia mengasumsikan kondisi itu sebagai kecintaan masyarakat terhadap musik.
     Sayang kondisi itu tak didukung kehadiran pertunjukan-pertunjukan musik yang melibatkan orkestra. Sejauh ini, pertunjukan umumnya pentas-pentas musik yang populer.
     "Makanya, saya ingin menghadirkan orkestra di Indonesia," kata konduktor yang akan menggelar Ultimate Valentine Opera pada 12 Februari 2012 di Aula Simfonia Jakarta, Kemayoran.
     Sejak tahun 2010 Noorman meluangkan waktu pulang ke Indonesia dan menggelar konser. Bulan Oktober 2010 ia menyajikan Harmony Night di Jakarta. Saat itu ia menggandeng Andrei Pisarev, pemenang kompetisi piano Rachmaninoff dalam Kompetisi Internasional Mozart di Salzburg, Austria.
     Setahun kemudian, ia kembali menggelar konser. Kali ini di kota kelahirannya, Medan, Sumatera Utara. Mengingat Medan belum memiliki tempat representatif untuk konser, semula Noorman berencana mencari pabrik kosong yang akan disulap menjadi ruang konser dadakan. Namun, tak mudah menemukan pabrikkosong yang memenuhi kriteria.
     Bersama beberapa rekan, ia kemudian menemukan Kuil Maha Vihara Maitreya di Jalan Cemara, Medan. "Ternyata di dalam kuil ada patung Buddha. Wah, saya tak bisa main dengan patung Buddha di hadapan saya," ujarnya.
     Tanpa disangka, kuil itu memiliki ruang pertemuan dengan kapasitas 2.000 orang. Mereka akhirnya memutuskan menggelar konser di sini. "Dua hari menjelang hari-H, tiket yang terjual sudah 1.000 lebih. Pada hari-H yang nonton 2.000 orang lebih," cerita Noorman yang saat itu melibatkan 15 pemusik dari Indonesia.

Tularkan ilmu

     Usia Noorman tak lagi muda. Ia berencana pensiun sekitar  lima tahun lagi. Baginya sudah cukup, sepanjang bermusik, ia memimpin lebih dari 400 opera dan mementaskan repertoar, antara lain di Italia, Jerman, dan Perancis.
     "Kalau memimpin orkestra tak terhitung lagi, di Kroasia saja rata-rata 24 kali per tahun, di Macedonia 12 kali per tahun, tetapi di Indonesia baru satu kali setahun he-he-he," ujarnya terkekeh.
     Ia sama sekali bukan menyepelekan Indonesia, apalagi melupakannya. Selain berencana memainkan piano dalam konser pada Februari ini, dia juga akan menggelar konser besar, November 2012, yang melibatkan pemain orkestra dan balerina dari Macedonia. "Saya berharap pemerintah mau memberi dukungan agar konser itu terselenggara," katanya.
     Memang ia menghabiskan banyak waktunya di luar Indonesia, tetapi hal itu tak menghentikan pria yang rambutnya memutih itu untuk peduli kepada negaranya. Seperti ketika gempa bumi dan tsunami melanda Aceh pada 6 Desember 2004. Ia bersama beberapa temannya membuat konser amal di Jakarta, Italia, dan Jerman. Hasil konser amal itu digunakan untuk membangun sekolah di Aceh.
     Begitu pensiun, Noorman ingin pulang ke Indonesia. bagaimanapun ia tak lupa dengan negara asalnya. Bersyukur terlahir di Indonesia, ia bertekad mencari generasi muda yang berbakat. "Orang indonesia berkarakter dan banyak yang berkesempatan. Saya ingin memberi sedikit kesempatan dengan mengajar mereka," ujarnya.

Buka diri

     Segala kesuksesan yang Noorman rengkuh itu tak jatuh dari langit. Semua memerlukan kerja keras, dan ia mengingatkan generasi muda agar selalu membuka diri. "Jangan merasa orang Indonesia, lalu tak mau tahu pada budaya lain yang dianggap ke barat-baratan," pinta Noorman yang sembilan tahun berkarya di Opera House di Nuremberg, Jerman.
     Memahami budaya lain tak berarti menghapus identitas kita sebagai orang Indonesia. Ia lalu berkisah, sebagai orang Indonesia kelahiran Medan, ia punya karakter lugas yang tak terkikis meski puluhan tahun hidup di luar negeri. Misalnya, ia tak segan menegur pemusik yang dia rasa permainannya kurang pas.
     Banyak orang di Jerman yang heran melihat Noorman sebagai orang Asia bisa menjadi pemimpin orkestra. Ia berbagi kunci sukses, yaitu tak pernah menutup diri terhadap budaya asing. "Kita harus saling memahami. Kalau ingin orang lain mengerti, kita juga harus mau mengerti orang lain," ujarnya.
     Oleh karena itu, agar maju dan berhasil, pertukaran budaya dengan negara lain mutlak diperlukan. "Harapannya, dengan mengenal budaya lain, kita lebih menghargai budaya sendiri," tutur Noorman yang menganggap keterampilan dalam musik tak cukup bila dibawakan tanpa gairah dan ekspresi.
     Indonesia bukan sekadar negara kepulauan dengan pemandangan bagus di berbagai daerah. Bukan juga hanya patut dibanggakan dari keragaman kulinernya. "Indonesia memiliki kebudayaan yang luar biasa," ujarnya.
     Dari Medan, Noorman telah mendunia dan menjadi salah satu konduktor terbaik. Terlahir di negara yang memiliki keragaman, ia bercita-cita mendedikasikan sisa hidupnya dengan membagi ilmu bagi generasi muda yang berbakat.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 1 FEBRUARI 2012

Minggu, 29 Januari 2012

Dadang Muhajirin: Menjaga Mangrove di Belawan

DADANG MUHAJIRIN 
Lahir: Pematang Siantar, Sumatera Utara, 20 September 1956
Pendidikan:
- SDN Sampali, Medan, 1971
- SMP PAB Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumut, 1974
- SPG lulus 1979
- Diploma I Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Riama, 
  Medan, Jurusan Biologi, 1984
Istri: Lira Vegira
Anak: Delapan orang dan cucu empat orang
Organisasi:
- Ketua AMPI Kelurahan Belawan Sicanang, 1980
- Sekretaris Komite Nasional  Pemuda Indonesia Kecamatan Medan Belawan, 
  1982
- Ketua Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) Belawan Sicanang,
  1994
- Sekretaris Forum komunikasi Kepala Lingkungan Se-Kecamatan Medan 
  Belawan, 2008
- Kepala Lingkungan 19 Kelurahan Belawan Sicanang, 1991-kini
Pekerjaan:
- Guru SD, 1978-1986
- Kepala SD, 1984-1986
- Wakil Kepala SMP, 1983-1986
- PNS Golongan IIID, 1984-kini

Suhu di sekitar Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, pada musim kemarau saat tengah hari bisa mencapai 38 derajat celsius. Salah satu penyebab adalah minimnya pohon di pesisir pantai.

OLEH MUMAMMAD HILMI FAIQ

Pada 1970-an, ketika warga kawasan Belawan hendak mencari kesejukan, mereka pergi ke Kelurahan Belawan Sicanang, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan. Jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Pelabuhan Perikanan Samudra Belawan.
     Kelurahan seluas lebih kurang 1.510 hektar ini dikelilingi Sungai Pantai Belawan, Sungai Polu Halia, Sungai Belawan, dan anak Sungai Pantai Belawan. Sungai dan anak sungai tersebut bermuara ke Selat Malaka yang berjarak sekitar 1 kilometer dari permukiman warga Belawan Sicanang.
     Hamparan sawah menghijau dan hutan mangrove di atas lahan seluas 600 hektar di sekeliling desa mampu menghalau udara panas. Suhu pada siang hari saat itu mencapai 25 derajat celsius. Berbagai tanaman produktif, seperti mangga, jambu biji, pisang, dan manggis, mudah ditemukan di kawasan ini.
     Namun, lambat laun kondisi berubah, terutama sejak 1980-an. Peningkatan jumlah warga yang tinggal di Belawan Sicanang mengakibatkan alih fungsi lahan dari persawahan menjadi permukiman. Luas hutan mangrove pun terus tergerus seiring meluasnya usaha tambak udang, ikan, dan kepiting milik warga.
     Luas tambak tersebut muai dari 0,5 hektar hingga 6 hektar per orang. Jumlah mereka tak kurang dari 60 petambak. Warga membangun tambak dengan membabat habis semua mangrove. Konsep ini mereka terapkan sesuai dengan anjuran produsen makanan dan obat-obatan kimia untuk udang, ikan, dan kepiting.
     Dadang Muhajirin merasakan betul betapa perubahan itu membawa banyak kerugian bagi warga. Udara menjadi panas dan air sungai keruh. Tanah warga pun tergerus air laut saat pasang. Gejala yang paling nyata, tergerusnya fondasi rumah warga di Lingkungan 19 dan Lingkungan 5 Kelurahan Belawan Sicanang.Ini juga tampak dari bentuk fisik anak Sungai Pantai Belawan.
     Sekitar 30 tahun lalu, lebar sungai hanya sekitar 15 meter dengan kedalaman air mencapai 5 meter, Kini, lebar sungai mencapai tiga kali lipatnya dengan kedalaman hanya 3 meter.
     "Air sungai yang datang dari laut saat pasang menggerus bibir sungai dan mengendap di dasar sungai. Ini karena mangrove habis ditebang warga," kata Dadang.

Tidak menebang

     Ayah Dadang, mendiang Saridul Halim, juga membuka tambak semasa hidupnya dan kini dilanjutkan oleh anak-anaknya. Namun, dia selalu berpesan agar anak-anaknya tidak menebang pohon mangrove dan sebisa mungkin menanamnya di tepi sungai dan di tengah tambak. Inilah yang dilakukan Dadang sejak kecil meski sebagian besar warga malah menggunduli hutan mangrove.
     Ayah delapan anak ini terus berjuang melestarikan hutan mangrove. Minimal dia mempertahankan mangrove yang tumbuh di tambaknya.
     Hingga tahun 2007, dia berkenalan dengan para aktivis Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu). Yayasan bidang lingkungan itu mengampanyekan pentingnya hutan mangrove sebagai sabuk pengaman lingkungan pesisir. Dari singgungannya dengan para aktivis lingkungan itu, Dadang memperoleh pemahaman baru, mangrove juga bagus untuk peningkatan produksi tambak.
     Pada saat yang sama, bisnis tambak lesu. Banyak warga yang menjual tambaknya kepada orang lain. Dadang memanfaatkan  momentum ini untuk mengkampanyekan penyelamatan lingkungan dengan menanam mangrove. Puluhan petambak pun mengikuti langkah Dadang.
     Mereka merasakan manfaatnya. Udang, kepiting, dan ikan di tambak tak perlu diberi pakan. Berbagai makanan, seperti kupang dan ikan-ikan kecil, muncul secara alami di akar-akar mangrove. Ikan mujair pun tumbuh dan berkembang biak lebih bagus lantaran telur-telur mereka terlindungi akar mangrove.
     "Kami bisa menghemat biaya  makanan dan pemeliharaan tambak sampai Rp 1 juta per bulan per hektar," kata Dadang.
     Dibantu aktivis Yagasu, pria yang pernah menjadi kepala  sekolah dasar ini berkampanye kepada ibu-ibu rumah tangga tentang pentingnya menjaga hutan mangrove. Sebagai Kepala Lingkungan 19, Dadang selalu "mengoceh" dan mengajak warga menanam mangrove. Sedikitnya 2.500 keluarga yang tersebar di enam lingkungan (rukun warga) kini aktif menanam dan menjaga mangrove.

Sumbangan bibit

     Sejak 2007 hingga kini, setidaknya 400.000 pohon mangrove ditanam warga di Kelurahan Belawan Sicanang. Sebagian besar bibit itu sumbangan Yagasu, sebagian lain hasil budidaya warga. Belakangan, berbagai organisasi politik dan pemerintah ikut membantu menyumbang bibit mangrove di kelurahan ini.
     Pegawai negeri sipil (PNS) di Rumah Sakit Kusta Belawan Sicanang inipun optimis, hutan mangrove yang pernah menjadi andalan warga pada 1970-an itu bisa pulih. Dia bertekad konsisten menjaga hutan mangrove.
     Memang masih ada sebagian orang yang menilai hutan mangrove tidak perlu dijaga. Dadang mencatat, dalam sehari, sekitar 20 meter kubik kayu dari hutan mangrove dijarah warga. Kayu-kayu ini untuk bahan bakar, arang, dan gubuk.
     Dia tengah berupaya meminta bantuan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) I Belawan untuk membantu menjaga hutan mangrove. Kebetulan markas Lantamal I Belawan sekitar 3 kilometer dari Desa Belawan Sicanang. Alasannya, para perambah hutan mangrove tidak akan berhenti merusak hutan jika hanya Dadang yang melarang.
     Tahun 2009, Dadang dan warga yang sadar lingkungan menyusun Peraturan Kelurahan Belawan Sicanang tentang Daerah Perlindungan Mangrove. Dalam konsensus tersebut, perambah hutan mangrove dikenai sanksi menanam bibit mangrove sebanyak 10 kali lipat dari yang ditebang. Akan tetapi, peraturan ini tak pernah diberlakukan karena Camat Medan Belawan tidak bersedia menandatangani.
     Dadang berencana mengusulkan lagi peraturan itu kepada camat baru. Peraturan kelurahan itu dinilainya bisa efektif menangkal perusakan hutan mangrove.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 29 DESEMBER 2011

Jumat, 27 Januari 2012

Anwar Lahura: Menjaga "Urat Nadi" Tiga Sungai


ANWAR LAHURA
Lahir: Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, 22 Februari 1956
Pendidikan: Lulusan SMP Negeri 1 lainea (1975)
Pekerjaan: Petani
Istri: Nursiah (49)
Anak:
- Amrin Setiawan (31)
- Heni handayani (28)
- Tri Sartika Dewi (9)
Cucu: Dua orang

Bermula dari krisis air bersih yang menimpa desanya pada tahun 2006, Anwar Lahura memulai suatu gerakan pelestarian hutan berbasis swadaya masyarakat. Petani kecil ini berhasil membangkitkan kesadaran besar kepada orang lain, bahwa hutan adalah sahabat kita yang harus selalu dijaga.

OLEH MOHAMAD FINAL DAENG

Kiprah Anwar bermula dari situasi dan kondisi desanya saat itu. Kesulitan air kala itu merupakan hal yang luaar biasa bagi daerah melimpah air tempat Anwar tinggal di Desa Amoito, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Amoito terletak 24 kilometer arah barat daya pusat kota Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara.
     Sejauh ingatan Anwar, selama berpuluh tahun hidup di desanya, baru pada tahun 2006 itulah air sulit diperoleh warga desa. Sekalipun ada, debitnya kecil dan sudah kotor bercampur lumpur. Dua dari tiga sungai yang mengalir di sekitar desanya, yakni Sungai Wanggu dan Sungai Amoito, juga mengering.
     Dampak kekeringan itu tidak hanya di Desa Amoito, tetapi juga empat desa tetangga, yakni Amotio Siama, Jati Bali, Sindang Kasih, dan Ambaipua. "Lebih dari 10.000 jiwa terkena dampak kesulitan air itu," ujar Anwar saat ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu.
     Warga desa tidak hanya kesulitan air untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, di Desa Jati Bali dan Sindang Kasih, yang sebagian besar merupakan wilayah persawahan, petani mengalami gagal panen. Kondisi yang memprihatinkan itu menyentak hati dan pikiran pria yang sehari-hari berkebun merica dan durian itu.

Peran DAS

     Anwar tidak lantas berdiam diri. Dia yang resah tergerak untuk menyelidiki akar permasalahannya. Anwar akhirnya mengetahui, krisis air yang menimpa wilayahnya disebabkan kerusakan hutan yang terjadi di sekitar desanya  yang sekaligus juga menjadi hulu tiga sungai, yakni Wanggu, Konda, dan Amoito.
     Ketiga sungai tersebut merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) wanggu yang bermuara di Teluk Kendari. DAS Wanggu merupakan sistem sungai terbesar dari 32 sungai yang bermuara di teluk tersebut.
     Oleh karena itu, selain untuk Konawe Selatan, DAS Wanggu juga menjadi sumber air yang penting bagi kota Kendari. Peran DAS itu vital, ibarat urat nadi yang mengalirkan darah segar bagi tubuh.
     Kerusakan hutan di hulu ketiga sungai itu telah mematikan sumber-sumber mata air. selain itu, muncul pula masalah luapan  banjir dan sedimentasi yang mengalir ke sungai akibat hilangnya vegetasi.
     Aktivitas penebangan kayu yang dilakukan masyarakat, baik untuk dijual sebagai material bahan bangunan, kayu bakar, maupun untuk kepentingan ekonomi lainnya, telah menggunduli hutan. Dari perhitungan Anwar, luas hutan yang rusak saat itu sekitar 500 hektar.
     "Penebangan liar itu  mulai marak sejak tahun 2000. Setiap hari lebih kurang 30 meter kubik kayu yang diangkut dari hutan," kata Anwar.

Bergerak

     Kondisi itulah yang menggerakkan Anwar untuk berbuat sesuatu. Tidak bisa tidak, air merupakan kebutuhan pokok yang diperluka setiap manusia. Kesadaran seperti itu semua orang sudah tahu. Tetapi, bagaimana orang bertindak menyelamatkan air merupakan hal lain.
     Anwar pun tidak terpikir sama sekali untuk menunggu tindakan pemerintah. "Mungkin sudah terlalu banyak yang pemerintah urus. Jadi, waktu itu pikiran saya, walaupun upaya kecil, yang penting mulai dulu saja dari diri sendiri," ujarnya.
    Jadilah, pada tahun 2007 Anwar berinisiatif menemui tokoh-tokoh masyarakatdi kelima desa untuk membicarakan masalah tersebut. Ternyata gayung bersambut. Dari tukar pikiran itu, semua tokoh sepakat mengatasi masalah bersama-sama.
     Dengan modal itu, Anwar mulai menyurvei lokasi-lokasi hutan yang mengalami kerusakan terparah. Sosialisasi kepada warga yang melakukan penebangan liar pun dilakukan.
     "Setiap masuk hutan dan bertemu para pelaku penebangan, saya selalu ajak mereka bicara baik-baik dan menjelaskan dampak aktivitas tersebut tanpa menghakimi. Lama-lama mereka mau mengerti dan berhenti," kata Anwar.
     Pada 7 Januari 2008, dia mulai merealisasikan upaya menanami kembali areal hutan yang rusak. Anwar membentuk dan mengetuai organisasi bernama Lembaga Wanggu Lestari yang beranggotakan 21 orang perwakilan dari kelima desa. Kebutuhan dana sepenuhnya diambil dari hasil urunan warga.
     Dari situ, setiap Sabtu, kelompok ini menanami kembali hutan. Dalam dua tahun pertama, Lembaga Wanggu Lestari berhasil menghijaukan kembali areal seluas 20 hektar dengan 10.800 bibit pohon.
     Berbagai jenis pohon seperti beringin, rambutan, nangka, mahoni, dan durian ditanam. Bibit pohon-pohon itu diperoleh dari sumbangan masyarakat ataupun yang dibiakkan Anwar.
     Demi menyelamatkan mata air, Anwar sampai membeli sebidang tanah berbukit seluas 20 hektar, bekas perkebunan kelapa hibrida milik warga, di dalam kawasan hutan. Di bukit tersebut terdapat mata air yang menjadi salah satu sumber Sungai Amoito.
     "Kalau dibeli orang lain, saya takut nanti fungsinya berubah dan akan sulit diselamatkan," ujarnya.
Ia pun membeli lahan senilai Rp 100 juta itu dengan cara mencicil sejak tahun 2009 hingga sekarang, tinggal tersisa cicilan Rp 6juta.

Berbuah manis
     Hasil kerja kerasnya itu berbuah manis. Sejak tahun 2010, mata air di hulu ketiga sungai tersebut hidup kembali. "Air bersih sudah kembali mengalir, jernih dan tidak kotor lagi meskipun belum pulih seperti sebelum kerusakan," kata Anwar.
     Berbagai fauna seperti monyet, anoa, dan burung maleo yang sempat menghilang selama periode perusakan hutan juga sudah mulai terlihat lagi.
     Namun sayang, gerakan swadaya yang sudah berjalan dua tahun itu mulai mengendur pada tahun ketiga. Sudah setahun terakhir ini Anwar mengaku hanya berjalan sendirian.
     Banyak warga yang mulai kehilangan semangat, salah satunya karena tak adanya kepedulian pemerintah setempat untuk membantu upaya reboisasi tersebut. Ada juga yang disibukkan dengan kebutuhan mencari nafkah sehari-hari. 
     Akibatnya, perkembangan pemulihan hutan berjalan sangat lambat. Meski begitu, Anwar mengaku tak putus asa. Ia tetap melanjutkan reboisasi meski hanya bergerak seorang diri.
     Setiap Sabtu ia masih giat masuk-keluar hutan untuk  menanami areal yang rusak. "Biasanya saya membawa empat bibit pohon yang bisa dipikul. Biar sedikit, asalkan ada yang ditanam," katanya.
     Satu demi satu pohon terus ia tanami. Harapannya tak lain agar generasi anak cucu nanti bisa hidup tanpa harus merasakan kesulitan air bersih.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 20 JANUARI 2012

Kamis, 26 Januari 2012

Netty Prasetiyani: Kampanye dan Pemberdayaan Korban KDRT


HJ NETTY PRASETIYANI 
Lahir: Jakarta, 15 Oktober 1969
Pendidikan:
- Jurusan Geografi, Fakultas MIPA Universitas Indonesia
- STBA LIA Jurusan Bahasa Inggris
- Pascasarjana Program Kajian Wanita UI  
- Program Doktoral Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran Bandung
Suami: Ahmad Heryawan
Anak:
- Khobbab
- Salman
- Khodijah
- Abdul Halim  
- Shofia
- Abdul Hadi

Komitmen Netty Prasetiyani memelopori perlindungan anak dan perempuan seperti menemukan jalan di jalur Bandung-Purwakarta-Bekasi. Desember lalu, bersama sejumlah komunitas sepeda atau "Bikers" Bandung, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Jawa Barat ini bersepeda sepanjang 90 kilometer untuk melakukan kampanye "Stop Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak!".

OLEH DEDI MUHTADI

Aktivitas di bawah terik matahari itu menarik perhatian, baik bagi para pesepeda maupun warga yang disinggahi untuk kampanye. Di kota Purwakarta, misalnya, rombongan berhenti istirahat sambil berkampanye di depan keluarga Ikatan Bidan Indonesia Cabang Purwakarta.
     Khusus pesepeda memang memiliki komitmen menyelamatkan Bumi. Namun, ketika mereka dikenalkan pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), banyak yang terkaget-kaget. Misalnya, penelantaran ekonomi seperti tidak memberikan biaya hidup sehari-hari termasuk salah satu tindakan KDRT.
     "Ternyata banyak sekali elemen masyarakat yang belum terpapar dengan KDRT," ungkap Netty, yang juga Ketua Forum Pendidikan Anak Usia Dini Jawa Barat (Jabar) saat evaluasi kinerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) pada awal Januari lalu di Gedung Sate, Bandung. 
     Ketika mereka bergabung dalam kampanye, bikers juga memiliki karakter yang berbeda. Misalnya Jejak (Jelajah Jalan Setapak), yakni komunitas pesepeda yang senangnya mencari jalur-jalur setapak yang kecil. Ada pula komunitas Matador (Manggih Tanjakan Dorong-ketemu tanjakan dorong sepeda), dan Sasusu (Sepeda Suka-suka) dengan sepedanya yang bermacam-macam dan kalau ketemu jajanan di jalan mereka berhenti untuk makan.
     Begitu mendengar tentang KDRT, mereka seperti tersadar dan  beranggapan, begitu pentingnya menyayangi keluarga, menyayangi istri dan anak. Dalam konteks preventif, pengetahuan terhadap KDRT perlu agar seseorang jangan sampai menjadi korban dulu baru tahu definisi kekerasan.
     Jumat (13/1), Netty juga bersepeda dengan komunitas lainnya ke Warung Bandrek (Warban), Dago, Bandung Utara, lokasi yang terkenal di kalangan pesepeda.
     "Mereka tak bisa disatukan sehingga kami harus dekati per komunitas," ujar Ketua Bank Mata Indonesia Cabang Utama Jabar ini.

Berpacu dengan waktu

     Kampanye bersama komunitas sepeda hanya salah satu cara Netty mengampanyekan perlindungan terhadap perempuan dan anak.P2TP2A harus berpacu dengan waktu secara terus-menerus. Pasalnya, lingkungan masyarakat sudah kecanduan kekerasan.
     Pembina Gerakan Sadar Media ini melihat, betapa ibu-ibu dan anak-anak ibaratnya sarapan dengan darah, golok, dan pisau sebab setiap hari sebelum tidur, mereka juga disuguhi kekerasan di media, terutama televisi. Malam hari sebelum tidur, mereka juga disuguhi kekerasan, termasuk mengkritisi pemerintah lewat kekerasan dengan menganiaya diri sendiri.
     Untuk menurunkan kekerasan memang perlu komitmen dan kemauan politik dari pemerintah. Wujud komitmen itu adalah kelembagaan yang memelopori dan memimpin.
     "Omong kosong kalau kita ingin menurunkan tingkat kekerasan, tapi tidak ada lembaga yang bertanggung jawab atau tak ada leading sektornya," ujar Netty yang juga Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Jabar ini.
     Oleh karena itu, Maret 2010 didirikanlah P2TP2A Jabar yang berupaya menyediakan rumah perlindungan bagi anak. Pendirian lembaga ini didasari banyaknya kasus, misalnya trafficking. Selama tahun 2005-2009, di Jabar terdapat 764 kasus.
     Sejatinya, perlindungan itu harus ada dalam keluarga dan di masyarakat. Namun, ketika kesadaran itu belum tumbuh, perlu lembaga mediator dan fasilitator yang berupaya menurunkan tingkat kekerasan itu.
     Walaupun baru berdiri, P2TP2A harus berkejaran dengan berbagai kasus yang terus bermunculan. Sebagai ketua dan pendiri, Netty berlari kesana-kemari untuk memaparkan tentang pentingnya menyayangi keluarga.
     Dia kerap menjadi pembicara di berbagai strata sosial, mulai dari perguruan tinggi, birokrat, perusahaan swasta, hingga pedesaan. Senin (16/1), misalnya, ia memberikan pengarahan di Kesatuan Gerak PKK Desa Kuta Pohaci, Kabupaten Karawang.
    Selain membangun gerakan bersama mencegah dan menghapus tindakan kekerasan, P2TP2A berupaya membangun jejaring dan menggali potensi masyarakat dalam upaya mencegah dan menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Melalui kerja kerasnya, kini P2TP2A sudah terbentuk di 25 kabupaten/kota di Jabar.

Terbesar "trafficking"

    Sejak P2TP2A Jabar berdiri, mereka telah menangani 215 kasus, sebagian besar trafficking 159 orang , KDRT 33 orang, pelecehan seksual anak 9 orang, sisanya penculikan anak dan perempuan telantar. Lembaga ini dibuat amat ramping dan hanya ditangani delapan ibu, termasuk Netty.
     Ketika ada korban yang dititipkan di shelter P2TP2A, ada konselor dan relawan yang terus mendampingi para korban selama masa rehabilitasi.
     Selama menangani kasus, P2TP2A Jabar memperoleh pengalaman menarik. Adagium yang menyebutkan kekerasan muncul dari kantong-kantong kemiskinan, seperti Indramayu, dan daerah pertanian Karawang, ternyata tak selalu tepat. Kasus sebagian besar justru terjadi di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung.
     Dari kasus KDRT  yang ditanganinya selama 2011, sebagian besar korban tidak bekerja. Alasannya juga sering kali tidak masuk akal. "Malah ada seorang pejabat eselon dua tiba-tiba meninggalkan keluarganya hanya  karena istri yang sudah memberinya tiga anak itu menderita kanker payudara dan divonis harus dioperasi," ungkap Netty.
     Selain itu tingkat pendidikan dari korban yang mengalami KDRT ternyata datang dari golongan berpendidikan tinggi. Jadi, tak sepenuhnya benar jika dikatakan korban KDRT hampir selalu datang dari keluarga kalangan menengah ke bawah.
     Untuk itulah, upaya yang dilakukan P2TP2A tidak hanya menjemput dan memulangkan korban ke rumahnya. Menurut Netty, korban pun memerlukan pemberdayaan ekonomi agar tak kembali menjadi korban KDRT.
     Setelah ditangani dan dinyatakan sembuh secara sosial, mereka dikembalikan kepada keluarga. Korban kemudian diberi pelatihan keterampilan sesuai minatnya. P2TP2A antara lain menyediakan pelatihan wirausaha, tata rias dan memasak, serta pelatihan membordir. P2TP2A juga bekerja sama dengan lembaga pelatihan untuk menyalurkan binaan mereka masuk ke dunia kerja.
     Tugas paling berat dari para relawan P2TP2A, menurut Netty, adalah pemantauan dan pendampingan korban. "Soalnya, ketika mereka diberi bantuan modal, ada yang malah dibelikan sepeda motor dan handphone untuk SMS, Facebook, serta main game."

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT 27 JANUARI 2012.

Haji Ishak: Berhasil Karena Berorientasi Pasar

HAJI ISHAK
Lahir: Bandung, 1 Mei 1965
Istri: Ir Nina Surtiana (46)
Anak:
- Candrika Naisha (16)
- Kirei Azani Yamazaki (11)
Pendidikan:
- SMAN 2 Bandung
- Sekolah magang di Jepang
Pengalama antara lain:
- Anggota Pemuda Tani Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat  
- Magang pertanian di Jepang
- Pengurus KTNA Jawa Barat dan KTNA Nasional
- Anggota Komisi Penyuluhan Pertanian

Rumah-rumah plastik, yang berjajar di antara petak-petak kebun sayur, memang bukan pemandangan baru di dataran tinggi sekitar  Bandung, Jawa Barat. Hal yang membedakan, rumah plastik dan kebun sayur itu berada dalam satu hamparan lima hektar, bukan luasan seperempat atau setengah hektar seperti umumnya ditemui di Indonesia.

OLEH NINUK MARDIANA PAMBUDY

Di dalam rumah-rumah plastik tersebut, tomat ditanam di atas medium tertentu yang di bawahnya mengalir air bercampur hara. Tomat momotaro berwarna merah muda itu dijual eksklusif ke toko swalayan kelas atas di bandung dan Jakarta. Harga buah tomat di kebun hampir Rp 30.000 per kilogram.
     Di sisi lain kebun itu, berdiri tegak jagung manis. Di bagian sayuran, pekerja tengah menyiangi tanaman selada dan brokoli. Gulma dan aun tanaman yang mati dibenamkan ke tanah untuk dijadikan pupuk.
     Di lahan itu, Haji Ishak bersama istrinya Nina Surtiana, dan empat saudara laki-laki Ishak bertani berbagai jenis sayuran dataran tinggi kualitas tinggi. Pelanggan mereka adalah rumah makan Jepang kelas atas serta toko swalayan papan atas di Bandung, Jakarta, dan Surabaya.
     Lahan di Kampung Cibeunying, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, tersebut merupakan warisan dari ibunda Ishak. Berbeda dari banyak keluarga petani yang langsung membagi habis tanah warisan, Ishak dan empat saudara laki-laki serta tiga saudara perempuannya sepakat tetap menjaga tanah tersebut dalam satu hamparan utuh.
     "Dengan cara ini, mengelola lahan menjadi lebih mudah, lebih efisien," tutur Ishak.
     Dengan mengonsolidasi lahan, Ishak pun dapat menjaga kuantitas, kualitas, keajekan pasokan, dan jenis sayuran yang diminati pasar. Oleh karena itu, Ishak dapat menentukan harga dan produk sayuran mereka harus dibeli putus.

Mengubah diri

    Ishak mulai bertani sejak tahun 1986 dan setahun kemudian terpilh ikut program magang ke Jepang. "Saya tinggal bersama petani sayuran. Belajarcocok tanam, kelembagaan petani, hingga ke bidang pemasaran. Petani Jepang merasa adakebutuhan bergabung sehingga koperasi pertanian sangat kuat. Mereka bisa memengaruhi harga dan petani antar wilayah saling berkompetisi," kata Ishak.
     Di Prefektur Gunma, di barat laut Pulau Honshu, itu Ishak belajar pertanian Jepang yang sangat maju karena ada keberpihakan pemerintah. Selain menjaga ketahanan pangan nasional, pemerintah juga memastikan kesejahteraan petani karena suara mereka sangat penting dalam pemilu.
     "Meskipun nilai ekonomi pertanian sangat kecil dibandingkan dengan total ekonomi Jepang, ada kesadaran bersama bahwa ketahanan pangan adalah ketahanan nasional. Jepang tidak gampang menerima produk pertanian dari luar, tetapi mereka tertarik dengan produk Indonesia," papar Ishak yang dipercaya saudara-saudaranya mengendalikan pemasaran dan menentukan produksi.
     Sedangkan Indonesia, menurut Ishak, meski sumber daya berlimpah, tak ada ancangan pasti. Pemerintah belum berpihak pada kesejahteraan petani dan belum sungguh-sungguh mengupayakan ketahanan pangan nasional. Buktinya, impor sayuran dan buah terus meningkat, begitu pula beras yang merupakan pangan utama.
     Menurut dia, masalah di pertanian  harus diselesaikan komprehensif. Ini mulai dari perbaikan penyuluhan budidaya, bantuan kredit, sistem logistik yang sangat lemah seperti gudang penyimpanan hasil pertanian, pengiriman ke pelabuhan, sampai distribusi ke konsumen.
     Namun, Ishak tak mau mengeluh. "Cara keluarnya, petani harus melihat ke luar. Jangan terpaku di lapangan (on farm), kita tidak akan berkembang. Tidak bisa lagi memakai gaya feodalistik orangtua kita. Petani harus membuka diri. Kita tak bisa berhenti hanya di produksi, harus melihat kebutuhan pasar dan terus inovasi," paparnya.

Melihat keluar

     Ishak sudah mempraktikkan keyakinannya. Untuk sampai pada posisi tawar yang kuat seperti sekarang-harga produk dibayar mahal dan sayuran dibayar putus bukan konsinyasi-Ishak belajar banyak dari pengalaman.
     Dia pernah melalui periode memproduksi sebanyak  mungkin tanpa melihat pasar sehingga harga jatuh.
Dia pernah mengekspor buncis ke Singapura melalui eksportir dan paham lemahnya sistem logistik.
     Perlu dua hari untuk mengumpulkan dan menyortir sayuran guna memenuhi kontainer ukuran 22 kaki. Pengepakan pun memakai karton bekas sehingga tidak higienis dan melibatkan banyak orang sehingga tidak efisien. Di jalan menuju pelabuhan pun banyak pungutan liar.
     "Banyak kerja 'kecil' tak efisien sehingga keuntungan petani kurang," kata Ishak yang bekerja bahu-membahu bersama Nina. Mereka juga memiliki lahan pertanian pribadi seluas dua hektar yang dipadukan produksinya dengan lahan utama.
     Tahun 1997, Balai Besar Pelatihan Pertanian Kayu Ambon, Lembang, mengenalkan pembeli dari Jepang. Dari sinilah Ishak belajar memasuki pasar sayuran yang lebih canggih, menuntut kualitas tinggi dan ketepatan pengiriman.
     "Saya jadi tahu kalau konsumen Jakarta saat belanja tidak melihat besarnya uang yang keluar karena gengsi. Saya sentuh sifat itu dengan menawarkan produk berkualitas. Selain itu, saya juga berusaha mencari celah pasar baru. Misalnya, tanam tomat momotaro. kedelai edamame, dan jagung manis jepang," katanya.
     Ishak tak lupa membenahi sisi produksi. Dia bermitra dengan 48 petani untuk memasok sayuran. "Awalnya tak mudah mengajak mereka yang terbiasa hanya menanam satu jenis sayuran dan tidak melihat pasar. Saya mulai dengan petani yang dekat dengan lahan kami. Mereka tertarik ketika harga jelas, barang pasti diambil, dan pembayaran ajek sebulan dua kali," katanya.
     Tak heran Ishak kini jadi salah satu rujukan petani sayuran se-Indonesia. Di kebun sayur itu selalu ada yang belajar, mulai dari sesama petani dari Jawa dan luar Jawa hingga siswa SMK pertanian. Dia menamai tempatnya Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya Tani Mandiri.
     Ishak dan Nina terus memantau pasar. Mereka melihat perkembangan industri kuliner akan membutuhkan sayuran jenis baru. "Kami memproduksi sesuai dengan kebutuhan dan memenuhi standar pasar. Akhirnya keadaan berbalik, pasar yang bergantung pada kami," ujarnya.
    Ishak sudah membuktikan, petani punya motivasi untuk maju. Menjadi tugas pemerintah untuk menularkan kesadaran itu kepada jutaan petani lain supaya kesejahteraan petani di desa meningkat dan  ketahanan pangan terwujud.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 26 JANUARI 2012

Senin, 23 Januari 2012

Aminah Nombong: Populerkan Makassar Lewat Bumbu Dapur

AMINAH NOMBONG 
Lahir: Sungguminasa, Gowa, Sulsel, 21 Februari 1961
Pendidikan: 
- SD Negeri Limbung Putri, 1973
- Sekolah Kejuruan Kepandaian Putri Makassar, 1976
- Sekolah Menengah Kepandaian KeluargaMakassar, 1979
- Akademi Ilmu Gizi YPAG Makassar, 1982
- Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Pancasakti, makassar, 2006
Pekerjaan: Anggota Staf Instalasi Gizi Rumah Sakit haji Makassar, 1983-kini
Penghargaan: Peraih UKM Award dari Kementerian Perdagangan kategori produk UKM bumbu terbaik dan pelestarian nilai tradisi, Bali, 2011

Aminah Nombong tak pernah mengikuti kursus ataupun kontes memasak yang tengah marak belakangan ini. Namun, aneka bumbu hidangan khas Sulawesi Selatan racikannya yang berlabel Al-Minah telah beredar di sejumlah toko swalayan.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP

Bumbu yang dikemas dengan aluminium foil seberat 200 gram itu meliputi 11 jenis makanan khas Sulawesi Selatan (Sulsel), yakni konro, coto, sup saudara, toppa lada (sejenis rendang), pallu basa, pallu kaloa, kari, opor, lombok tumis (sambal tumis), sambal goreng, dan nasi goreng.
     Dalam sebulan, industri kecil yang dirintis Aminah sejak tahun 2003 ini mampu memproduksi 2.000 bungkus bumbu racikan.Sekitar 1.500 bungkus di antaranya dijual di toko swalayan. bahkan, di Baji Pamai, toko swalayan yang cukup dikenal di Makassar, sedikitnya 500 kemasan bumbu seharga Rp 20.000 per bungkus itu laku terjual setiap bulan.
     sekitar 300 bungkus bumbu dijual di sejumlah koperasi dan 200 bungkus sudah dipesan pembeli yang menjadi pelanggan sejak Aminah pertama kali menawarkan produknya, sembilan tahun silam.
     Kala itu, anak pertama dari enam bersaudara pasangan Aleyoran Nombong dan Najarah ini sering menawarkan aneka bumbu racikannya kepada rekan-rekan kerjanya di Instalasi Gizi Rumah Sakita Haji Makassar. Bumbu yang kal itu dibungkus dengan plastik kemasan 250 gram ini dijual Rp 2.500 per buah. 
     "Waktu itu saya cuma iseng menawarkan bumbu konro, coto, dan toppa lada. Ternyata banyak teman yang suka," katanya.
     Ketertarikan mereka tak lepas dari pemanfaatan bumbu yang relatif mudah. Untuk hidangan konro, misalnya, cukup mencampur bumbu kemasan 200 gram dengan 1 kilogram daging sapi, lalu ikuti petunjuk memasak di bagian belakang bungkus. 
     "Tak perlu ditambahkan apa pun karena bumbu diracik dengan komposisi rempah yang pas," kata Aminah yang hampir 30 tahun menjadi pegawai Instalasi Gizi Rumah Sakit Haji Makassar. Pengalaman yang membantu dia meracik bumbu enak tanpa penyedap rasa yang mengandung monosodium glutamate (MSG) ataupun bahan pengawet.
      Bumbu racikan Aminah dibuat dari rempah-rempah, seperti lengkuas, kunyit, serai, lada, dan cabai, yang dicampur dengan garam dan minyak goreng. Di sini ia menekankan pentingnya komposisi rempah-rempah dalam bumbu buatannya.
     "Takaran rempah-rempah itu saya dalami selama tiga tahun berkuliah, lalu dicoba berkali-kali hingga menemukan komposisi yang pas," ungkapnya. Sentuhan resep khusus peninggalan sang bunda menyempurnakan bumbu racikannya.

Penghargaan

    Upaya Aminah menjaga kualitas rasa bumbu makanan khas Sulsel ini berujung pada penghargaan UKM  Pangan Award 2011 dari Kementerian Perdagangan, November lalu di Bali. Dia mendapat penghargaan untuk dua kategori, yani produk UKM bumbu terbaik dan pelestarian nilai tradisi.
     Ia mengenang, promosi produknya berawal dari "mulut ke mulut". Respons positif dari teman sekantor membuat Aminah menetapkan hati membangun usaha dengan modal uang tabungan Rp 5 juta untuk membeli dua kompor gas, alat penggilingan sederhana, dan lemari pembeku (freezer).
     Ia dibantu 10 ibu rumah tangga untuk mengerjakan produk bumbu racikan itu di rumahnya, Jalan Ballalompoa, Kelurahan Limbung, Gowa, 25 kilometer arah selatan Kota Makassar.
     Dlam sehari rata-rata ia menghasilkan 50 bungkus bumbu dengan dua jenis rasa. Produksi itu bisa meningkat dua kali lipat menjelang bulan puasa dan Lebaran.
     Industri rumah tangga Al-Minah pun berkembang seiring dengan meningkatnya pesanan. Harga jualnya pun perlahan-lahan meningkat hingga Rp 10.000 per bungkus. Ia sempat menjual bumbu racikannya seharga Rp 30.000 saat mengganti kemasan dengan stoples plastik seberat 400 gram pada 2010.
   Namun, penjualan itu hanya bertahan beberapa bulan. Aminah lalu beralih pada kemasan aluminium foil hingga kini. Kemasan aluminium foil membuat bumbu yang diracik tanpa bahan pengawet itu bisa tahan hingga delapan bulan jika disimpan dalam freezer.
     Aminah lalu mendaftarkan produknya ke Balai Pendidikan Pelatihan dan Promosi Ekspor Daerah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulsel. Balai ini turut membimbing Aminah dan pekerjanya dalam mengembangkan usaha.
     Dengan bantuan Pemerintah Kabupaten Gowa, Aminah mendapat pinjaman lunak Rp 500 juta dari Bank Negara Indonesia pada Juni 2010. Dia juga diundang mengikuti Trade Expo Indonesia 2010 dan Pameran Pangan Nusa di Jakarta.
     "Waktu itu saya diminta memasak konro, pallu basa, coto, dan sup saudara di Istana Wakil Presiden Boediono," ceritanya seraya menunjukkan fotonya bersama sang wapres.

Semakin populer

     Bumbu racikan Aminah pun kian populer. Suntikan modal dari BNI dia gunakan untuk mengembangkan usaha. Pertengahan tahun lalu Aminah mengontrak rumah di depan tempat tinggalnya seharga Rp 10 juta setahun. Ia juga membeli peralatan untuk menggiling, memasak, dan mengemas bumbu seharga Rp 200 juta, dengan kapasitas produksi 700 bungkus per hari.
     Meski hampir semua proses dikerjakan mesin dan 10 ibu, Aminah tetap meracik sendiri setiap jenis bumbu. Para ibu itu bertugas mengiris rempah-rempah dan mengoperasikan alat penggilingan hingga pengemasan. Omzetnya sekitar Rp 40 juta per bulan.
     Kini, pegawai negeri sipil golongan III D ini menanti proses pembuatan sertifikat merek dagang (MD) dari Kementerian Perdagangan sebagai syarat untuk mengekspor produk. Setidaknya, Afrika Selatan, Etiopia, dan Uni Emirat Arab siap menampung bumbu racikan aminah hingga 10.000 bungkus per bulan.
Aminah pun memesan mesin pengering karena negara-negara itu menginginkan bumbu dalam kondisi kering agar lebih awet dan aman saat dikirim.
     Upaya pengembangan usaha tersebut tak semata-mata dilakukan Aminah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
     "Saya ingin memberikan ruang berkarya seluas-luasnya bagi para ibu rumah tangga di kampung ini," ujar  Aminah yang memberikan upah Rp 600.000-Rp 750.000 per bulan bagi ibu rumah tangga yang membantu dia memproduksi bumbu racikannya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 JANUARI 2012

Kamis, 19 Januari 2012

Sri Sumarti, Perempuan Gunung Api


SRI SUMARTI
Lahir : Yogyakarta, 6 Juli 1961
Pendidikan : Jurusan Kimia, FMIPA UGM, pernah menempuh jenjang S-2 di Utrech University, Belanda
Karier : Kepala Seksi Gunung Merapi, Balai Penyelidikan dan pengembangan Teknologi Kegunungapian-Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-Badan Geologi

Air danau Kawah Ijen itu putih kehijauan, memberikan peringatan tentang derajat keasamannya yang mencapai nol. Asap tipis menguar dari atasnya, baunya menusuk hidung. Nyaris tak ada kehidupan yang sanggup bertahan di sana.
     
OLEH AHMAD ARIF & INDIRA PERMANASARI

Jangankan manusia biasa, Gatotkaca-sosok sakti mandraguna dalam dunia pewayangan-yang berotot kawat dan berkulit baja niscaya akan lumer jika tercemplung di danau asam terbesar di dunia itu. Kadar asam danau tersebut sanggup merontokkan besi.
     Namun, pada tahun 1996, Sri Sumarti selama hampir satu bulan mengarungi Kawah Ijen dengan perahu karet yang dibungkus terpal plastik. Tiap hari, bersama peneliti dari Jepang, Belgia, dan Rusia, dia mengarungi kawah itu untuk membuat peta batimetri. Dia merupakan satu-satunya perempuan di tim gabungan tersebut.
     "Awalnya, orang-orang Jepang dan Rusia itu keberatan karena PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) mengirim saya untuk pekerjaan yang mereka anggap tidak cocok buat perempuan," kisah Sri. Lalu, ketua timnya, Profesor Takano dari Jepang, bertanya kepada Sri, "Apakah kamu berani berlayar di kawah itu?" Sri menjawab mantap, "Kalau kalian berani, kenapa saya tidak."
     Sesaat sebeum berlayar, Sri sebenarnya mengaku jerih. Walaupun seluruh tubuh, kecuali muka, dibungkus pakaian kedap air, tetap saja bayangan "air aki" itu begitu menakutkan. "Kami tidak boleh membuat kesalahan, apalagi sampai kecemplung, karena pasti tidak ada yang bisa menolong. Helikopter saja tidak akan berani terbang di atas Kawah Ijen," katanya.
     Namun, Sri menyelesaikan tugasnya dengan baik sekalipun wajahnya seperti terbakar karena sebulan terpapar uap air kawah. Bahkan, pengalaman itu kemudian membuat Sri meneliti Kawah Ijen lebih lanjut. Tak hanya meneliti kawah, dia juga menelusuri desa-desa di lereng Ijen yang tercemar dengan air asam. Sri menajdi salah satu dari sedikit ahli di Indonesia yang memahami soal Ijen.
     Kepala PVMBG Surono pun langsung menunjuk nama Sri Sumarti sebagai salah satu peneliti andalan dari lembagnya, terutama jika terkait dengan Ijen. "Dia salah satu anak buah andalan. Gigih dan berdedikasi," kata Surono saat diminta memberikan rekomendasi tentang peneliti Ijen.

Berisiko

     Satu bulan mengarungi danau Kawah Ijen yang memiliki tingkat keasaman (PH) nol hanyalah satu contoh ketegaran Sri, sedikit dari perempuan yang ebrani memilih bekerja sebagai peneliti gunung api. "Saya sadar sepenuhnya risiko bekerja di gunung api." kata Sri, yang awalnya hanya tertarik meneliti soal-soal kimia gunung api saat kuliah di Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. "Lama-lama saya menikmati jalan-jalan di gunung."
     Sri kemudian meintis karier sebagai peneliti di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), lembaga di bawah PVMBG, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak tahun 1990.
     Sebagai peneliti gunung api, Sri kenyang dengan pengalaman hidup sempadan maut. Tahun 1994, Gunung Merapi berstatus Siaga. Para peneliti BPPTK, termasuk Sri, dikirim ke gunung itu untuk meneliti peningkatan aktivitas guna menentukan langkah mitigasi yang harus diambil.
     Sri dan seorang rekannya bertugas mengambil sampel air di Kawah Gendol, di pusat aktivitas Merapi. Sementara beberapa yang lain, termasuk atasannya, mengganti alat-alat pemantauan yang rusak di sekitar Puncak Garuda-titik tertinggi Merpi sebelum letusan 2010.
     Ketika masih sibuk mengambil sampel, tiba-tiba dari Puncak Garuda, Sri melihat rekan-rekannya memberikan tanda seperti melambaikan tangan. "Radio panggil tidak bisa bekerja di sekitar Kawah Gendol. Hanya mereka yang berada di Puncak Garuda yang dapat memantau keadaan," katanya.
     Sri mengira lambaian tangan itu sebagai tanda kawan-kawannya di Puncak Garuda sudah selesai dengan tugasnya. "Silahkan pulang duluan, saya belum selesaai," Sri berteriak dari dasar kawah.
     Melihat Sri bergeming, tiba-tiba rekannya langsung berlarian menuruni jurang terjal menjemput Sri. "Padahal dinding itu sangat curam. Tapi mereka nekat berlari turun, pasti ada sesuatu yang sangat penting," kisah Sri. Benarlah, begitu sampai di bawah, mereka mengabarkan  bahwa Merapi diperkirakan akan segera meletus. "Mereka berlarian untuk menyelamatkan kami," kisah Sri.
     Bergegas Sri dan rekan-rekannya meninggalkan Kawah Gendol. Hanya berselang sekitar sejam kemudian, Merapi meletus dan mengirimkan awan panas. "Letusan tahun itu menimbulkan banyak korban jiwa. Kami beruntung bisa selamat," kata Sri.

Orang gunung

     Sebagai peneliti, Sri tak hanya gigih menjelajah gunung, tapi juga berusaha menyelami kehidupan orang-orang gunung, yaitu mereka yang hidup dan tinggal di sekitar gunung api. Awal November 2011, Sri terlihat begitu akrab berbincang dengan para pencari belerang di Kawah Ijen.
     Saat itu aktivitas Ijen mulai meningkat dan Sri sempat mengkhawatirkan jika suatu ketika status gunung ini ditutup karena kenaikan status. Pada 14 Desember 2011 status Ijen dinaikkan dari Normal menjadi Waspada. empat hari kemudian, 18 Desember 2011, status Ijen naik lagi menjadi Siaga. Radius 1,5 kilometer dari kawah disterilkan dari wisatawan dan penambang belerang. "Kenaikan status Ijen berdampak langsung pada ekonomi warga. Ratusan orang hidupnya bergantung pada aktivitas gunung ini," katanya.
     Di lain bulan, pertengahan Desember 2011, Sri terlihat begitu telaten menerangkan kepada guru-guru sekolah dasar di lereng Merapi soal kegunungapian. Sri, yang kini menjadi Kepala Seksi Gunung Merapi, tengah melatih kesiapsiagaan bencana kepada guru-guru. Dia membawa guru-guru sekolah itu ke kawasan Kinahrejo yang terkubur awan panas saat letusan Merapi tahun 2010.
"Harapannya, guru-guru tersebut kemudian menularkan soal kesiapsiagaan ini kepada anak-anak didik dan lingkungan tempatnya mengajar," kata Sri. Kepada guru-guru itu, Sri berkata, "Kami siap 24 jam jika bapak ibu meminta informai soal Merapi dan gunung api. Gratis."
     Untuk gunung api dan masyarakat di sekitarnya, Sri total mengabdikan hidupnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 JANUARI 2012

Selasa, 17 Januari 2012

Masnu'ah : Kebangkitan Perempuan di Kampung Nelayan

MASNU'AH
Lahir : Rembang, Jawa Tengah, 4 Juli 1974
Pendidikan : SD Tasikagung I, Rembang, Jawa Tengah   
Suami : Su'udi (42)
Anak : Vicky Alansyah (17)
Aktivitas, antara lain :
- 2005-kini: Kelompok Puspita Bahari
- 2005-kini: Koalisi Perempuan Indonesia
- 2008: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Paralegal
- 2008: LBH Semarang untuk kasus-kasus perempuan nelayan
- 2010-kini: Forum Masyarakat Peduli Lingkungan
- 2011-kini: Kader rehabilitasi berbasis masyarakat  

Penghidupan sebagai nelayan semakin tak pasti seiring dengan musim tangkapan yang sulit diprediksi. Di tengah penghasilan keluarga nelayan yang tak menentu, Masnu'ah tekun mengangkat kemandirian perempuan nelayan di Kecamatan Bonang, Demak, Jawa Tengah.

OLEH BM LUKITA GRAHADYARINI

Di bawah kelompok Puspita Bahari yang dibentuk Masnu'ah akhir Desember  2005, ia gencar memberdayakan perempuan dan mendorong peningkatan ekonomi keluarga nelayan. Pemberdayaan itu dimulainya dengan mengajak para istri nelayan berperan aktif dalam kegiatan usaha.
   Dengan modal awal Rp 1 juta, Masnu'ah mengawali kegiatan Puspita Bahari sebagai koperasi beras. Mereka membeli beras untuk disalurkan kepada keluarga nelayan dengan mengambil keuntungan Rp 200 per kilogram. Daam setahun koperasi itu meraih untung Rp 2  juta.
     Kegiatan koperasi mulai goyang pertengahan 2006 karena hasil tangkapan nelayan tak menentu. Mereka kesulitan melaut dan ini membuat pembayaran tersendat. Sebagian keluarga nelayan berutang beras, koperasi pun mengalami kredit macet.
     Kegagalan usaha koperasi mendorong Masnu'ah mengupayakan pelatihan usaha bagi perempuan nelayan dengan bantuan lembaga pendampingan usaha buruh tani nelayan. Pelatihan itu di antaranya berupa pembuatan getuk lindri, es krim, mi basah, dan tepung ikan.
     Pelatihan yang berjalan selama 2007-2009 itu kembali tersandung masalah. Produk makanan buatan para istri nelayan tak laku di perkampungan nelayan karena harganya dinilai mahal. Harga gorengan Rp 300 dan donat Rp 500, misalnya, tak terjangkau keluarga nelayan yang miskin.
     "Nelayan memilih makanan yang harganya murah, tapi isinya banyak. Makanan higienis bukan pilihan kami," ujar Masnu'ah, yang juga istri nelayan.
     Masnu'ah tak putus asa. Dengan memanfaatkan sisa pendapatan hasil program pelatihan sebelumnya, ia mengajak perempuan dan anak nelayan menekuni usaha salon dan otomotif dengan binaan dari Koalisi Perempuan Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum. Sayang usaha ini tak didukung keluarga nelayan.
    "Enak miyange (enakan melaut), ben neng omah wae (biar di rumah saja)," kata Masnu'ah, menirukan sejumlah alasan yang dilontarkan keluarga nelayan.

Produk olahan

     Tahun 2009 Masnu'ah kembali mengajak perempuan di kampungnya membuat produk olahan berbahan dasar ikan. Di desa itu, sebagian istri nelayan sudah biasa membuat kerupuk untuk konsumsi sendiri. Lewat Puspita Bahari, ia mengajak istri nelayan membuat produk olahan seperti kerupuk, keripik, dan abon.
     Keterbatasan ruang gerak istri nelayan menyebabkan pembuatan kerupuk dilakukan di rumah masing-masing. Ini membuat standar mutu kerupuk tak seragam. Produk mereka sulit diterima pasar.
     Masnu'ah mengatasinya dengan mengadakan standar resep yang yang seragam. Bahan baku produk olahan mengandalkan ikan segar hasil tangkapan para suami. Modal yang terbatas disiasati dengan pemilihan bahan baku dari jenis-jenis ikan yang harganya relatif murah, seperti belida, tunul, kembung, dan tongkol. Pengolahan sepenuhnya dilakukan secara tradisional.
     "Jenis ikan untuk bahan baku bisa berubah-ubah, sepanjang harga ikannya tak lebih dari Rp 5.000 per kilogram," ujarnya.
     Meski berbahan baku ikan yang berharga murah, Masnu'ah dan kelompoknya konsisten tak menggunakan ikan beku. Mereka khawatir produk ikan beku mengandung formalin atau pengawet.
     Cuaca ekstrem perairan dan hasil tangkapan yang tak menentu menyebabkan usaha pengolahan ikan pun kerap kesulitan bahan baku. Untuk menyiasatinya, pada musim panen ikan mereka memproduksi kerupuk sebanyak-banyaknya sebagai stok untuk dijual saat paceklik bahan baku.
     Kerupuk dipilih sebagai produk olahan utama karena daya tahannya bisa tiga bulan, lebih lama dibandingkan dengan keripik dan abon yang daya tahannya sekitar dua minggu. Pada musim panen, produksi kerupuk mereka mencapai 25 kilogram per hari, dengan harga jual sekitar Rp 5.000 per kilogram. Dari jumlah tersebut, kelompok ini mendapat keuntungan Rp 2.000 per kilogram.
     Kerupuk itu dipasarkan di beberapa kantor pemerintahan, toko-toko, sampai warung-warung. Produksi Puspita Bahari juga dipasarkan ke Semarang, Jawa Tengah. Hasil pengolahan ikan itu membuat perempuan nelayan mendapat penghasilan tambahan.
     Tak berhenti pada usaha pengolahan ikan, Puspita Bahari terjun mengelola sampah, memisahkan sampah organik dan non organik, untuk mengurangi kekumuhan desa nelayan.
     Kegigihan Masnu'ah menggiring Puspita Bahari mendapat penghargaan Kusala Swadaya pada Oktober 2011 sebagai kelompok perempuan nelayan yang berhasil mengatasi kekumuhan di perkampungan nelayan.
     Puspita Bahari juga menjadi mediator bantuan tiga kapal untuk melaut dari Dompet Dhuafa yang disalurkan lewat LBH Layar Nusantara dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Kapal itu untuk kelompok tambak Sidomaju, Paguyuban Nelayan, dan Yayasan Asasubilad.

Penolakan

     Upaya mengangkat perekonomian keluarga nelayan bukan perkara mudah. Kemiskinan yang mendera keluarga nelayan cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marjinal. Mereka tak percaya diri dan kurang gigih menjalankan usaha.
     "Saya masih belajar. Tetapi, karena kondisi keterpurukan perempuan nelayan, saya mengajak mereka untuk aktif," ujar Masnu'ah yang aktif dalam sejumlah organisasi kemasyarakatan.
     Keterpurukan perempuan nelayan itu, menurut Masnu'ah, tak hanya dalam ekonomi, tetapi juga saat mereka harus membuat keputusan. Beberapa dari mereka juga kerap menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
     Masnu'ah bercerita, ia pernah mendapat pengalaman pahit saat membimbing perempuan nelayan yang menjadi korban pemukulan oleh suami. Upaya pendampingan terhadap perempuan korban KDRT ke pengadilan menuai penolakan masyarakat. Ia dinilai terlalu ikut campur urusan rumah tangga.
     Bagaimanapun, kelompok Puspita Bahari terus berjalan di tengah segala keterbatasan, termasuk akses pasar dan modal. Kondisi itu membuat mereka belum bisa berproduksi dalam skala besar.
     "Semua usaha membutuhkan waktu. Pembinaan juga harus dimulai dengan penyadaran hak dan kewajiban perempuan. Saya yakin, perempuan nelayan suatu hari nanti bisa mandiri," kata Masnu'ah.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 JANUARI 2012

Senin, 16 Januari 2012

Kemaludin : Pelita Hangat dari Dokter "Endog"


KEMALUDIN  
Lahir : Tasikmalaya, 20 Februari 1987
Pendidikan :
- Madrasah Ibtidaiyah Sukaratu (1994-2000)
- Madrasah Tsanawiyah Al Muniroh Sukaratu (2000-2003)
- Madrasah Aliyah Sukaratu (2003-2006)
Penghargaan :
- Pemuda Pelopor Tasikmalaya 2011
- Pemuda Pelopor Jawa Barat 2011

Usianya baru 25 tahun. Pendidikan terakhirnya pun hanya madrasah aliyah. Namun, panggilan dokter "endog" alias dokter  telur telah melekat kepada Kemaludin, warga Kampung Sukahurip, Desa Sinagar Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasiennya adalah ratusan penetas telur bebek, peternak bebek, dan petugas dinas peternakan Tasikmalaya.

OLEH CORNELIUS HELMY

Sejak tahun 2009, Kemaludin bak pelita bagi siapa pun yang ingin menetaskan telur bebek. Beragam pertanyaan tentang penetasan telur bebek dijawabnya dengan senang hati, tanpa bayaran. Warung makan, pos ronda, rumah warga, dan tempat tinggalnya sendiri kerap menjadi ruang kelas. Biasanya, ia membawa alat pemeriksaan telur yang dibuat sendiri. Alat itu terbuat dari lampu neon 10 watt yang dibalut kertas tebal.
     Kemaludin mengatakan, ada beberapa hal penting yang selalu ia tekankan untuk memeriksa telur. Hal itu di antaranya menjaga suhu ideal 36-37 derajat celsius, disiplin waktu pemeriksaan telur, serta cara melatih sensor hidung dan tangan untuk memeriksa apakah telur busuk atau tidak.
     Pendampingan itu tidak sia-sia. Sendirian menetaskan telur tiga tahun lalu, kini sekitar 200 warga Sukaratu menekuni bidang ini. Ibu rumah tangga, pemuda pengangguran, dan buruh berpenghasilan minim sudah menikmati keuntungan dari usaha penetasan telur.
    "Satu orang minimal menetaskan 300 telur per bulan dengan modal sekitar Rp 1,5 juta. setelah dijual, biasanya penetas telur  bisa mendapatkan keuntungan Rp 500.000-Rp 600.000 per bulan," ujar Kemaludin.

Minim modal

     Persinggungan Kemaludin dengan penetasan telur dipengaruhi ketiadaan biaya melanjutkan sekolah. Setelah memutuskan bekerja selama tiga tahun di Samarinda, Depok, dan Jakarta, Kemaludin melihat peternak bebek Sukaratu kerap kesulitan mendapatkan anakan. Peternak harus membeli anak bebek ke kecamatan lain di Kabupaten Tasikmalaya, bahkan hingga ke Kota Tasikmalaya.
     "Dari situ saya pikir, peluang itu bisa saya manfaatkan. Modal nekat karena sebenarnya terbentur biaya dan pengetahuan penetasan telur bebek," katanya.
     Akhir tahun 2008, Kemaludin pun mulai mempersiapkan amunisinya. Berbekal uang tabungan Rp 500.000, ia membeli buku mengenai penetasan telur, bertanya kepada peternak bebek setempat, dan survei harga ke pedagang telur dan anakan bebek. Saat itu, kendala terbesarnya adalah kebutuhan akan media penetasan. Bila membeli peralatan penetasan buatan pabrik, dibutuhkan modal Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per unit. Jumlah tersebut tidaklah mungkin ia dapatkan saat itu.
     Otaknya dipaksa berpikir. Hingga suatu waktu ia melihat lemari baju pakaian milik saudaranya yang tak terpakai lagi. Dia pun berkreasi  dengan alat yang ada. Dengan menambahkan tiga lampu berkekuatan 5 watt dan termometer, Kemaludin mengubah lemari itu menjadi media penetasan darurat dengan kapasitas 300 butir telur.
     Awalnya, metode itu tidak berjalan semulus harapan. Setelah 28 hari masa penetasan, hanya 100 telur dari 200 tepur yang menetas.Sisanya busuk dan tidak menetas. Penyebabnya, listrik yang sering putus di Sukaratu. Dalam sehari listrik bisa padam berjam-jam tanpa sebab pasti. Akibatnya, telur tak mendapatkan suhu hangat ideal, sehingga memicu kematian janin.
     "Telur mati atau busuk harus segera disingkirkan karena berbahaya merusak telur lain. Gas amoniak dari telur busuk bisa menular pada telur lainnya," katanya.
     Untuk mengatasi masalah putus sambung  listrik, Kemaludin berinovasi dengan minyak jelantah. Di letakkan di bawah media penetasan, pemanas berbahan bakar minyak jelantah menjadi bahan bakar alternatif penghangat telur. Hasilnya memuaskan. Saat listrik putus, telur mendapat kehangatan dari api berbahan bakar minyak jelantah.
   "Tingkat kegagalan penetasan telur bisa ditekan menjadi 2-3 persen," katanya.

Pemuda pelopor

     Perlahan, jumlah telur yang ditetaskan semakin banyak dan memberikan keuntungan ekonomi lebih besar. Keuntungannya, digunakan untuk membuat media penetasan baru. Pengembangan teknis dilakukan untuk memaksimalkan hasil penetasan.
   Dia pun kemudian memodifikasi media penetasan ala lemari baju itu. Kemaludin membuat lemari kayu khusus tingkat empat berukuran 124 x 70 x 60 sentimeter . Lemari dengan dimensi seperti itu mampu menampung 500-600 telur. Media penetasan baru itu dilengkapi lima lampu berkekuatan 5 watt, termometer, pemutus arus bila suhu terlalu tinggi dan higrometer untuk mengukur kelembaban media penetasan.
     Telur yang ditetaskan bertambah banyak. Dalam sebulan, ia bisa menetaskan 5.000 telur dengan omzet Rp 15 juta per bulan. Bebek hasil penetasan berusia 2-3 hari dijual Rp 6.500 per ekor untuk betina dan Rp 2.500 per ekor untuk jantan. Nyaris tidak ada yang tersisa karena sebelum menetas, telur sudah dipesan peternak bebek.
     "Pernah ada pesanan dari perusahaan katering meskapai penerbangan terbesar di Indonesia. Mereka meminta 1.000 bebek per hari. Terpaksa ditolak karena kami belum mampu menyediakan," kata Kemaludin.
     Keberhasilannya memutar otak dan memberdayakan masyarakat sekitar menimbulkan pengakuan positif. Inovasi pembuatan alat tetas sederhana membawanya merengkuh Pemuda Pelopor Kabupaten Tasikmalaya dan Jawa Barat pada tahun 2011 di bidang teknologi tepat guna. Ia menyisihkan karya pemuda lain bermodal puluhan kali lebih besar.
     Akan tetapi, Kemaludin mengatakan tidak mau tinggi hati. Lewat Kelompok Penetasan Unggas Jaya Mekar Sukaratu yang digagas bersama teman-temannya, ia mengajak pemuda desa yang tak bekerja dan berpenghasilan minim untuk usaha menetaskan telur. Satu media penetasan dihibahkan untuk digunakan semua anggota.
     "Sekarang baru ada satu media tetas yang diputar bergiliran sebulan sekali kepada 30 anggota. Prioritas diberikan  bagi yang belum punya media penetasan.kalau sudah ada uang, saya ingin buat beberapa lagi," katanya.
     Selain itu, ia juga masih belajar tentang peningkatan nilai ekonomi telur bebek, seperti mengolahnya menjadi makanan olahan dan pembesaran bebek.
     "Banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Semoga di tengah keterbatasan modal, kami bisa terus berinovasi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat setempat," kata Kemaludin.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA 17 JANUARI 2012