Rabu, 29 Februari 2012

Stevie Wonder: Buta Itu Anugerah

STEVIE WONDER 
Nama: Stevland Hardaway Judkins
Lahir: Detroit, Michigan, Amerika Serikat, 13 Mei 1950
Lagu Kondang:
- Part Time Lover
- I Just Called To Say I Love You
- Superstition
- My Cherry Amour
- Overjoyed
- Happy Birthday
- You Are The Sunshine Of My Life
- Living For The City
- Lately
- Redemption Song
- All in Love is Fair
- Don't You Worry 'Bout a Thing
- Ebony and Ivory (bersama Paul McCartney)

"Saya berharap lagu-lagu saya menginspirasi semangat perdamaian dan kerukunan dunia," kata Stevie Wonder yang dijadwalkan tampil pada perhelatan musik Java Jazz, Minggu (4/3) malam.

OLEH FRANS SARTONO

Stevie Wonder (61) mengatakan hal itu dalam wawancara lewat telepon dengan harian Kompas dan The Jakarta Post, selasa (28/2) pagi. Saat itu, kepada dia ditanyakan apakah lagu bisa memberikan sumbangsih pada kehidupan yang lebih baik.
     "Ya, saya berpikiran demikian," jawab Stevie di ujung telepon nun jauh dari Los Angeles, Amerika Serikat (AS).
"Yang menarik dari dalam hal ini adalah pengalaman saya sendiri dengan lagu yang saya tulis untuk The King Holiday," kata Stevie.
     Lagu yang dimaksud adalah "Happy Birthday" yang ditulis dan dinyanyikan Stevie pada tahun 1981. King Holiday adalah hari libur nasional di AS untuk memperingati hari lahir pejuang kemanusiaan Martin Luther king Jr.
     Stevie Wonder yang juga aktivis sosial terlibat aktif dalam memperjuangkan penetapan hari libur nasional tersebut. Dalam kampanye perjuangan itu, lagu "Happy Birthday" banyak dikumandangkan lewat konser-konser.
     Dalam salah satu baitnya, Stevie menulis: I just never understood/How a man who died for good/Could not have a day that would/Be set aside for his recognition...."
"dan saya sangat bahagia dengan hal itu karena The king Holiday akhirnya menjadi kenyataan," tutur Stevie.
     Hari libur nasional King Holiday akhirnya memang ditetapkan oleh Presiden AS Ronald Reagan pada 2 November 1983. Lagu tersebut juga dinyanyikan Stevie pada penutupan Olimpiade Atlanta tahun 1996.
     "Jadi saya yakin (musik) bisa. Saya kira dari waktu ke waktu musik akan membantu membawa perubahan. Musik membawa ketenangan pada manusia. Musik menjadikan orang lain mengerti akan apa yang Anda pikirkan," kata Stevie.
     "Musik merupakan ekspresi, alat atau kendaraan bagi hidup saya," katanya menambahkan.

Berharga

     Stevie Wonder terlahir dengan nama Stevland Hardaway Judkins pada 13 Mei 1950 di detroit, Michigan, AS. Stevie yang lahir prematur mengalami kebutaan sejak lahir. Namun, bakat musiknya membuka matabos perusahaan rekaman Motown, yaitu Berry Gordy, akan potensi seorang bocah difabel itu.
     Saat datang ke Motown, Stevie baru berumur 10 tahun. Motown saat itu sudah menaungi bintang-bintang besar yang lebih senior daripada Stevie. Kebanyakan mereka memang keturunan Afrika-Amerika, seperti otis Redding, Marvin Gaye, dan Smokey Robinson. Itu sebabnya Berry Gordy memberinya nama Little Stevie Wonder yang kemudian menjadi Stevie Wonder saja.
     Anda mengatakan kebutaan sebagai anugerah?
     "Oh ya, ini anugerah dari Tuhan. Saya kira saya benar-benar mendapat berkah. Tuhan begitu baik dengan saya selama hidup,"kata Stevie.
     Ia pernah mengatakan, mungkin hidupnya hanya berlangsung sekejap seandainya ia terlahir dengan mata bisa melihat.
    "Sejau yang saya percaya, Tuhan pasti mempunyai rencana tersendiri sehingga saya buta. Menjadi buta membuat saya mempunyai kesempatan agar bisa berbagi dan memberi semangat kepada mereka yang tuli, buta, dan mereka yang etrpinggirkan bahwa mereka berharga."
     Stevie membuktikan keberhargaan itu. Di belantika musik ia termasuk serba bisa. Ia penyanyi, penulis lagu, produser, dan instrumentalis. Ia memainkan keyboards, synthesizer, drum, harmonika, ia menulis tak kurang dari 390 lagu.
     Namanya tertatah di Rock and Roll Hall of Fame pada 1989. Ia telah menerima 26 penghargaan Grammy, termasuk Grammy untuk kesetiaan berkarya (lifetime achievement) pada 2005. Library of Congress pada 2008 mengumumkan nama Stevie Wonder sebagai penerima Penghargaan Gershwin untuk lagu-lagu populer.

"I Just Called to Say I Love You"

     Stevie ditunjuk sebagai Duta Besar Persserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Perdamaian pada Desember 2009. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon menilai, Stevie Wonder adalah seniman yang konsisten menggunakan suara dan lagunya untuk menciptakan dunia yang lebih baik.
     Lewat musik dia membela hak-hak asasi manusia serta mereka yang terpinggirkan. Ia terlibat aktif dalam konser-konser untuk menggalang dana bagi rakyat kelaparan di Etiopia, para korban AIDS, juga anak-anak dengan kebutuhan khusus di Amerika, termasuk Junior Blind of America.
     Sebagai  duta Perdamaian, bagaimana Anda melihat kondisi kaum muda saat ini?
     "Banyak anak muda yang menginginkan perdamaian. Mereka ingin melihat para pemegang kekuasaan berperan aktif menjaga perdamaian. Mereka ingin melihat para pemegang kekuasaan berhenti bicara tentang hal itu, tapi langsung melakukan sesuatu untuk perdamaian dunia. Saya harap lagu-lagu saya menginspirasi semangat perdamaian dan kerukunan itu," katanya.
     Lagu "I Just to Say Call I Love You", yang populer di berbagai negeri dan terkesan sebagai lagu cinta, sebenarnya memuat pesan universal akan nilai kemanusiaan. Itu adalah sikap untuk saling menyapa, berbagi kasih yang, menurut dia, menjadi kunci perdamaian.
     Ditambahkan Stevie, lagu yang dirilis tahun 1984 itu dibuat sebelum kemudian digunakan dalam film The Woman in Red.
     "Saya menulis lagu itu terutama untuk mengatakan bahwa dalam menyatakan cinta, Anda tidak perlu menunggu Tahun baru, atau hari raya. Tak peduli hari apa, setiap hari katakan, cinta saya masih selalu di sana.....," kata Stevie.
     Ketika mengakhiri perbincangan, Stevie bertanya bagaimana mengucapkan kata thank you dalam bahasa Indonesia. Ia dengan cepat menangkap maksud dan mencoba mengucapkan "terima kasih" dengan artikulasi sempurna.
     "Terima kasih! Saya ingin segera ke Jakarta...,"ujarnya.
     Dalam perhelatan bernama Java Jazz Festival itu, ia akan mengajak orang saling menyapa, berbagi kasih lewat lagu termasuk " I Just Called to Say I Love you".
     Ada baiknya kita kutip refrein lagu tersebut sebagai pengingat:
      "I just called to say i love you
     I just called to say how much I care,
     I just called to say I love you
     And I mean it from the bottom of my heart, of my heart....."

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 1 MARET 2012

Selasa, 28 Februari 2012

Meryl Streep and Jean Dujardin: Pesona Menjadi Tua dan Sang Flamboyan

MARY LOUISE (MERYL) STREEP
Lahir: New Jersey, AS, 22 Juni 1949
Penghargaan 1978-2012:
- 17 nominasi Academy Awards, memenangi tiga di antaranya
- 25 nominasi Golden Globe, memenangi delapan di antaranya 
- Tiga nominasi penghargaan Emmy, memenangi dua di antaranya
Filmografi antara lain:
- The Deer Hunter, 1978
- Out of Africa, 1985
- Adaptation, 2002
- Lion for Lambs, 2007
- Doubt, 2008
- Juliee & Julia, 2009
- It's Complicated, 2009 

JEAN DUJARDIN
Lahir: Rueil-Malmaison Hauts-de-Seine, Perancis, 19 Juni 1972
Penghargaan 2006-2012:
- Academy Award 2012, aktor pemeran utama terbaik, The Artist
- Cannes Film Festival 2011, aktor terbaik, The Artist
- Golden Globe 2012, aktor terbaik kategori komedi atau musikal, The Artist
- Etoiles d'Or 2007, aktor pemeran utama terbaik, OSS,117: Le Caire,
  nid d'espions
Filmografi antara lain:
- Les Infideles, 2012
- Lucky Luke, 2009
- Contre-enquete, 2007

Kodak Theater di Hollywood, Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (26/2) malam bergemuruh. Hadirin menyambut Meryl Streep sebagai penerima penghargaan Academy awards 2012 sebagai aktris pemeran utama terbaik dan Jean Dujardin sebagai aktor pemeran utama terbaik.

OLEH NUR HIDAYATI

Academy Awards, kerap disebut penghargaan Oscar, bagi Meryl Streep ini bukan saja membuktikan kematangan sebagai aktris, melainkan juga kematangannya sebagai perempuan. Menjadi aktris, bagi dia, juga berarti terus berusaha memahami diri sendiri.
     Peran sebagai mantan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher dalam film Iron Lady mengantar penghargaan Oscar untuk ketiga kalinya bagi  Streep. Dua Oscar sebelumnya, dia dapat berkar Kramer vs Kramer (1980) dan Sophie's Choice (1983)
     "Penantian" Streep untuk sampai pada Oscar yang ketiga itu sungguh produktif. Dalam rentang 18 tahun, sejak tahun 2003, Streep, dua belas kali dinominasikan menerima Oscar, juga meraih delapan penghargaan Golden Globe dan dua Emmy.
     Dalam wawancara dengan majalah Vogue (Januari 2012), Streep menggambarkan, The Iron Lady berkisah tentang perempuan, kekuasaan, dan juga rekonsiliasi dengan diri sendiri ketika kekuasaan dan masa keemasan berlalu dalam kehidupan.
     Secara pribadi, ia mengaku selalu terpikat pada fakta bahwa setiap orang menjadi tua. Dalam perjalanan usia itu, selalu ada trauma, drama, dan cinta.
     Menjadi tua juga diperlihatkan Streep sebagai proses alami yang tak melunturkan kecantikannya. Tak heran, ia menjadi aktris tertua yang dipotret untuk sampul Vogue.
     Sebagai aktris, Streep dikenal sebagai perfeksionis yang selalu bekerja keras untuk mempersiapkan peran. Bukan sekadar riset dan latihan-untuk mengubah aksen dan bahasa tubuh misalnya-tetapi juga menjaga stamina fisik dan mentalnya.
     Streep punya alasan tersendiri untuk selalu memacu diri memberikan penampilan terbaik dalam setiap film. "Saya agak dogmatis dan itu bisa jadi sangat buruk. Kalau anda menyadari diri, seperti para aktor, banyak hal seperti terserap masuk, termasuk kritik. Saya tak suka dikritik," ujar Streep kepada The New York Times (23/12/2011).
     Sutradara The Iron Lady, Phylida Lloyd, menambahkan, begitu pun Thatcher. Pada masanya, perempuan perdana menteri itu tak bisa menunjukkan-dan mengakui-kelemahan di tengah sorotan publik yang masih patriarkis. Karena itu, kata Lloyd, memerankan Thatcher membutuhkan semua yang dipunyai Streep, yakni karisma, kehangatan, dan kematangan pribadi.
     Penampilan terbaik itu disuguhkan Streep untuk setiap perannya. Situs film IMDB, misalnya, mencatat, ia berlatih memainkan biola enam jam sehari selama delapan pekan untuk memerankan seorang guru musik dalam Music of the Heart (1999).
     Untuk film yang tak terlalu diperhitungkan dalam ajang Academy Awards, seperti Mamma Mia! (2008), pun, Streep membuktikan komitmen penuh. Ia membuat film itu lekat pada ingatan penggemarnya dengan totalitas bernyanyi dan menari secara begitu atraktif. Padahal, usianya hampir 60 tahun saat film itu dibuat.
     Dalam kehidupan pribadi, Streep dipandang langka di kalangan selebritas Hollywood. Ia adalah ibu empat anak, buah pernikahan yang bertahan lebih dari 33 tahun dengan Don Gummer, pematung. Dalam pidato penerimaan Oscar Minggu malam itu, kepada sang suami Streep mengalamatkan ucapan terima kasih yang pertama.

"Dicuri" Perancis

     Ajang penganugerahan penghargaan Oscar 2012 di jantung Hollywood seolah "dicuri" Perancis ketika penghargaan aktor pemeran utama terbaik diberikan kepada aktor Jean Dujardin lewat perannya dalam The Artist. Bahkan, The Artist, film hitam putih dan bisu itu pun kemudian diumumkan sebagai film terbaik tahun ini.
     Dujardin menjadi aktor Perancis pertama yang memenangi Oscar. Sebelumnya, Perancis hanya "diwakili" sejumlah aktrisnya, seperti Marion Cotillard dan Juliette Binoche, dalam kompetisi Oscar.
     Dujardin dikenal publik Perancis pada akhir tahun 1990-an. Ia memulai kariernya dari film seri televisi, Un gars et une fille, pada 1999-2003. Sebagai pekerja film, kepiawaiannya terbukti bukan hanya dalam ranah berakting, melainkan juga sebagai sutradara dan penulis skenario.
     Masyarakat film yang lebih luas mengenalnya ketika Dujardin berperan dalam Lucky Luke (2009) sebagai si jagoan yang menembak lebih cepat dari bayangannya itu.
     Sebagai aktor, ia lebih dikenal bergelut dalam genre komedi. Namun, The Artist, film arahan sutradara Perancis, Michel Hazanavicius, ini membuktikan bahwa Dujardin lebih dari sekadar jago mengocok perut atau mengundang decak kagum dengan keluwesan gerak tubuhnya menari.
     Memerankan George Valentin, aktor pada akhir era film hitam putih tahun 1920, Dujardin menyuguhkan deskripsi karakter dan emosi tanpa kata-kata. Kekuatan film ini mengikat perhatian penonton ditumpukan pada kepiawaian dia aberakting dengan gerak tubuh, mimik wajah, dan berekspresi lewat sorot mata.
     Lewat The Artist, Dujardin merefleksikan sosok yang dibayangkan publik sebagai pria flamboyan ala Perancis, lengkap dengan senyum dan kerlingan memikat.
     "Orang datang untuk melihat aku, bukan mendengarkanku bicara," begitu sosok Valentin dihadirkan Dujardin.
     Di panggung, ketika menerima penghargaan Oscar, Dujardin mengakhiri ucapan terima kasihnya dengan berseru, "Kalau George Valentine bisa bicara, dia akan bilang......Merci beaucoup!"

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 28 FEBRUARI 2012

Senin, 27 Februari 2012

Ridwan Alimuddin: Mendokumentasikan Maritim Mandar

MUHAMMAD RIDWAN ALIMUDDIN
Lahir: Tinambung, Polman, Sulawesi Barat, 23 Desember 1978
Istri: Hadijah Nurun (32)
Anak: Muhammad Nabigh Panritasagara
Pendidikan:
- SD Negeri 002 Tinambung, 1988
- MTsN Tinambung, 1991
- SMU Negeri Tinambung, 1994
- Jurusan Kelautan dan Perikanan Universitas Gadjah Mada, 1997-2001
Karya tulis:
- Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut, 2004
- Orang Mandar Orang Laut, 2005
- Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara, 2009
- Mandar Nol Kilometer, 2011
Penelitian:
- Riset Teknologi Roppo Mandar di Selat Makassar, 2001
- Riset Perahu Sandeq, 2002-2003
- Destructive Fishing di Segitiga Emas Nusantara dalam International 
  Proceeding Workshop on The Culture Ecological Dyinamic in Wallacea and 
  Establishing, 2004
- Pembicara pada Simposium Internasional Kebaharian di Universitas Kyoto, 
  Jepang, 2006

Dia tampil memaparkan konsep hukum dan pranata sosial nelayan Mandar, Sulawesi, pada simposium di Universitas Kyoto, Jepang, tahun 2006. Kini ia siap-siap mendampingi 12 nelayan Mandar mengikuti Festival Perahu layar Dunia di Brest, Perancis, Juli nanti.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP DAN NASRULLAH NARA

Itu hanya salah satu dari banyak kegiatan yang dilakukan Muhammad Ridwan Alimuddin dalam mendokumentasikan budaya maritim Mandar. Empat buku tentang Mandar ditulisnya dalam 5-6 tahun terakhir.
     Dari segi jumlah, mungkin karyanya belum seberapa. Namun, karya intelektual Ridwan menjadi berbeda karena diperkaya dengan film dokumenter dan fotografi. Pantas jika ia menjadi rujukan bagi pemerhati kemaritiman Mandar, termasuk kalangan media dan akademisi mancanegara.
     Mandar adalah salah satu suku yang mendiami jazirah barat Pulau Sulawesi. Suku yang "kental" dengan laut ini tersebar di pesisir Sulawesi Barat, mencakup Kabupaten Polewali Mandar, Majene, Mamuju, dan Mamuju Utara.
     Suku yang berpopulasi sekitar 1 juta jiwa ini hidup berdampingan dengan tiga suku lainnya di provinsi tetangga, Sulawesi Selatan, yakni Bugis, MAkassar, dan Toraja. Sebagian orang Mandar juga berdiam di Ujunglero, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.
     Inisiatif meneliti budya Mandar berangkat dari keprihatinan Ridwan akan minimnya kepustakaan tentang budaya Mandar. Saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, dia sempat kesulitan mencari referensi untuk membuat skripsi.
     "Waktu itu, satu-satunya buku yang saya temukan di beberapa perpustakaan di Yogyakarta adalah Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan Sulawesi Selatan karya (almarhum) Baharuddin Lopa," kata Ridwan saat ditemui di rumahnya di Desa Pambusuang, Polewali Mandar, sulawesi Barat, dua pekan silam.
     Jika Lopa lebih mengedepankan teori hukum kemaritiman, Ridwan terdorong mendalami peranti teknis nelayan Mandar. Agar fokus pada proses penelitian, tahun 2001, di tengah kuliah yang telah dijalani empat tahun, ia cuti kuliah empat semester.
     Ia memulai penelitian di kampung halamannya, komunitas nelayan Pambusuang, Balanipa, dan Tangnga-tangnga, Tinambung. Ia turut  melaut bersama nelayan demi mendalami teknik penangkapan ikan dengan rumpon, tempat berkumpulnya ikan untuk berbiak yang sengaja dipasang nelayan di laut. Bahannya dirakit dari pelepah daun kelapa, ijuk dan sejenisnya, serta barang-barang bekas.

Mendalami "sandeq"

     Ridwan, putra pasangan Alimuddin dan Rahma Yasli, juga mendalami teknik penangkapan ikan dengan pukat cincin di Selat Makassar. Ia merasakan sensasi luar biasa saat ikut berburu ikan tuna dengan sandeq, perahu layar bercadik khas Mandar, yang dapat melaju hingga 40 kilometer per jam meski hanya digerakkan tenaga angin. Pengetahuan navigasi ia serap dari nelayan yang mengandalkan intuisi dan bintang di langit.
     Ridwan tertarik meneliti lebih jauh seluk-beluk perahu sandeq. Ia lantas berkenalan dengan Horst Liebner, peneliti maritim Nusantara asal Jerman yang menggagas festival Sandeq Race sejak tahun 1995.
     "Saya banyak berguru pada Horst, orang Eropa yang amat peduli pada kearifan lokal Mandar," kata anak kelima dari tujuh bersaudara itu.
     Sandeq Race adalah ajang balap sandeq dengan rute Mauju-Makassar. Peserta berlayar sejauh 300 mil laut (sekitar 540 kilometer) selama 10 hari.
     semakin hari, ia kian larut dan menikmati penelitiannya di laut. Ridwan lalu menetapkan hati untuk menjadi peneliti dan penulis agar kebudayaan Mandar mendunia.
     Setahun kemudian, buku pertama Ridwan, Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? , diterbitkan penerbit Ombak, yogyakarta. Buku ini berisi hasil penelitiannya tentang penggunaan bom ikan di Selat Makassar, laut Jawa, dan Laut Banda yang disebutnya sebagai segitiga emas bahari Nusantara. Buku ini ia lengkapi film dokumenter Racun dan Bom Ikan, bekerja sama dengan Studio UMI Jepang.
     Lewat bukunya yang lain, Orang Mandar Orang Laut, ia kembali mengisahkan kemampuan orang Mandar beradaptasi dengan zaman. Buku setebal 143 halaman itu diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2005.
     Berkat ketekunannya, Ridwan pun diundang menjadi pembicara dalam simposium internasional di Universitas Kyoto, Jepang pada 2006. Dalam forum yang diikuti perwakilan lebih dari 20 negara itu, ia memaparkan hukum pranata sosial dalam teknik penangkapan ikan  rumpon di kalangan nelayan Mandar.
     Sepulang dari Jepang, Ridwan kian intens membantu Horst dalam menyelenggarakan Sandeq Race yang rutin digelar setiap tahun. Animo nelayan dalam ajang balapan perahu layar itu cukup besar. Dari semula diikuti 20 perahu, tahun 2011 ajang balapan ini menyedot lebih dari 50 peserta.
     Tahun 2008, Ridwan membantu stasiun televisi Jepang, NHK, membuat film dokumenter tentang perburuan telur ikan terbang. Telur ikan terbang merupakan komoditas ekspor selain ikan tuna.
     Setahun berselang, buku ketiga Ridwan, Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara, dikeluarkan penerbit Ombak bekerja sama dengan Forum Studi dan Dokumentasi Sejarah dan Kebudayaan Mandar serta Yayasan Ad Daras Matakali. Buku ini mengulas rinci bentuk dan filosofi sandeq.
     Ridwan lalu melengkapi informasi tentang kebudayaan Mandar dengan buku Mandar Nol Kilometer yang terbit tahun 2011. Buku setebal lebih dari 300 halaman itu berisi kumpulan esai yang menjelaskan serba-serbi kehidupan orang Mandar pada masa lalu sampai kini.
     Ketertarikan Ridwan pada kebaharian Mandar tak lepas dari pengalaman masa kecil hingga dewasanya. Meskipun sang ayah bekerja sebagai pandai emas, Ridwan hidup di perkampungan nelayan Mandar di Tinambung. Istrinya, hadijah, juga tinggal di kampung nelayan Pambusuang.
     Kini Ridwan tengah merampungkan buku Bingkai Sejarah Kabupaten Polewali Mandar: Alam, Budaya, Manusia, serta Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Mandar.
      Ridwan adalah satu di antara sedikit tokoh muda yang mau peduli pada budaya Mandar.
                                                                         (M FINAL DAENG)

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 24 FEBRUARI 2012

Minggu, 26 Februari 2012

Sukarman: "Lurah" Perjuangan untuk Rawagede

SUKARMAN
Lahir: Karawang, 1 November 1951
Istri: Euis Warnengsih (56)
Anak:
- Asep Kusmana (35)
- Sri Mulyaningsih (34)
Pendidikan:
-Sekolah Rakyat di Karawang, 1962
- Sekolah Menengah Ekonomi Pertama, 1965
- SMA Kesatuan Pelajar, ikut persamaan 1989
- Diploma III Manajemen di Jakarta, 1998
Pekerjaan:
- Kepala Desa Balongsari, 1977-1996
- Anggota DPRD Karawang, 1987-1996
Organisasi:
- Ketua Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat, 1981-kini
- Ketua Yayasan Rawagede, 1996-kini
- Ketua Ikatan Purnabakti

Warga Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, punya pahlawan lokal. Dialah Sukarman, mantan lurah, anggota legislatif, ketua yayasan, sekaligus pekerja sosial yang memperjuangkan Rawagede-selain pengacara andal dari Leiden, Prof Liesbeth Zegveld, dan Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda atau Comite Nederlandse Ereschulden, Jeffry Marcel Pondaag. 

OLEH MUKHAMAD KURNIAWAN

Pada 14 September 2011 perjuangan itu menuai akhir, yakni memenangi gugatan di Pengadilan Den Haag, Belanda, atas peristiwa yang terjadi 64 tahun silam. Hakim memutuskan Pemerintah Belanda bersalah dan harus memebrikan kompensasi kepada para janda dan korban pembantaian Rawagede 1947.
     Selasa pagi, 9 Desember 1947, menjadi hari kelabu bagi warga Rawagede (sejak tahun 1950 Desa Rawagede dimekarkan menjadi empat desa, yaitu Balongsari, Mekarjaya, Purwamekar, dan Sekarwangi). Pasukan Belanda menyerbu desa  yang menjadi basis gerilya Kapten Lukas Kustarjo. Lukas diincar karena sering menyergap tentara Belanda. Karena tak ketemu, tentara Belanda mengumpulkan penduduk, menanyakan persembunyian Lukas dan memberondong mereka hingga tewas.
     Keputusan Pengadilan Den Haag yang memenangkan penggugat membuat Rawagede "terpompa". Monumen Perjuangan Rawagede yang berdiri di tengah permukiman mendadak riuh pengunjung. Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga, di belakang monumen itu, kebanjiran peziarah. Istri, anak, cucu, dan sanak korban rawagede 1947 menerima kompensasi jutaan rupiah.
     Nyonya Tijeng (85), satu dari sembilan janda itu, berniat mewujudkan cita-citanya membangun rumah. Setelah puluhan tahun hidup berhimpitan dengan anak, menantu, dan cucu, dia berkesempatan menambah luas rumahnya. Sementara keluarga Saih bin Sakam (almarhum) akan menggunakan dana kompensasi untuk modal usaha.

Tak tergantikan

     Bagi Sukarman, dana kompensasi tersebut hanya satu pencapaian. Jauh sebelum bolak-balik Indonesia-Belanda bersama para janda dan korban kekerasan Rawagede untuk mengikuti persidangan, ia telah berjuang memajukan desa. Sejak terpilih menjadi kepala desa tahun 1977, ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk Desa Balongsari.
     Sukarman terbilang dicintai warganya. Sejumlah terobosannya tak hanya membuat Balongsari menajdi terkenal, tetapi juga membuat posisinya sebagai kepala desa "tak tergantikan". Sukarman didaulat menjadi lurah beberapa periode pada kurun 1977-1996.
     Saat mengupayakan pengobatan gratis bagi warganya yangtak mampu, Sukarman memanfaatkan kemampuannya menggelar acara hiburan. Tahun 1980, misalnya, ia memuar dana sumbangan Rp 750.000 dari dermawan untuk memanggil pelawak Bokir. Acara itu menyedot pengunjung. Saldo dana sumbangan berlipat menjadi Rp 2 juta.
     Untuk program lain, Sukarman memanfaatkan trik serupa. Tahun 1982 ia mengundang pemain sepakbola saat itu, Ronny Pattinasarany, datang dan menghibur warga di lapangan sepakbola Desa Balongsari. 
Acara ini pun melipatgandakan dana kesehatan masyarakat lewat penjualan karcis dari Rp 2 juta menjadi Rp 7 juta.
     Hasil dari berbagai kegiatan kreatif itu digunakan untuk kesejahteraan warga. Selain menggratiskan biaya pengobatan kuli dan buruh di puskesmas desa, dana juga digunakan untuk keperluan lain, seperti kain kafan dan perlengkapan pemakaman.
     Saat menjabat kepala desa, Sukarman menggratiskan kebutuhan pemakaman bagi keluarga miskin. Kebijakan itu berawal dari keprihatinan akan penanganan jenazah warga miskin yang seadanya. Akibat, keterbatasan biaya, jenazah terkadang hanya ditutup kain seadanya.
     "Malu karena tidak punya biaya, warga miskin kadang tak mengabarkan kematian anggota keluarganya kepada warga desa. Pernah suatu ketika saya mendapati warga sudah beberapa bulan meninggal, tetapi saya (sebagai kepala desa) baru tahu saat berkunjung ke rumahnya," ceritanya.
     Atas sejumlah kiprah itu, Desa Balongsari menyabet sejumlah penghargaan dari pemerintah. Pada 1981-1983, misalnya, Balongsari menjadi Juara Gerakan Hidup Sehat dari Departemen Kesehatan. Balongsari juga menjadi juara nasional program Keluarga Berencana tahun 1983.

Telusuri sejarah

     Saat terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karawang, Sukarman masih menjabat Kepala Desa Balongsari. Tugas sebagai lurah lalu dia lepaskan.
     Di luar kesibukannya sebagai lurah, lalu anggota legislatif, Sukarman menelusuri sejarah Desa Balongsari dan menuliskannya. Selain kegemarannya pada sejarah, penelusuran itu didasari keprihatinan akan minimnya pengetahuan kaum muda terhadap tragedi pembantaian di desanya.
     Dalam kurun 1990-1992, Sukarman merampungkan buku Riwayat Singkat Taman Pahlawan Rawagede, hasil penelusuran dan wawancaranya dengan korban dan  saksi tragedi Rawagede serta para tokoh. Tahun 1993 buku setebal 40 halaman itu dicetak dan diedarkan secara terbatas.
     Tanpa disadari Sukarman, bukunya melanglang buana hingga ke Belanda. Stasiun televisi komersial di Belanda, RTL-5, datang ke Rawagede untuk menelusuri jejak tragedi tahun 1947. "Entah dapat darimana, mereka (kru RTL-5) datang ke sini dengan membawa buku itu."
     Tahun 1995 RTL-5 menayangkan film dokumenter peritiwa pembantaian warga sipil di Rawagede. Dokumentasi itu antara lain melaporkan 431 warga Rawagede tewas akibat pembantaian pasukan Belanda pada 9 Desember 1947.
     Menurut Sukarman, buku yang sama juga dibawa Pangdam III Siliwangi saat itu, Mayor Jenderal Tayo Tarmadi, ke desanya tahun 1995. "Beliau menginisiasi pembangunan Monumen Rawagede, yang diresmikan pada 12 Juli 1996."
     Sukarman terlibat langsung dalam proses pencarian dana dan pembangunannya. Monumen dibangun sebagai gerbang masuk Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga. Yayasan Rawagede yang dia pimpin mengelola monumen yang menjadi obyek wisata sejarah itu.
     Ia juga aktif memperjuangkan para janda dan korban Tragedi Rawagede untuk mendapatkan haknya. Dia mencatat, jumlah janda korban yang masih hidup pada 1990 ada 51 orang, lalu 28 orang (tahun 2000), dan 9 orang saat gugatan dilayangkan kepada Pemerintah Belanda tanggal 15 April 2008.
     Pada 2008-2011, selain mengikuti persidangan di pengadilan Den Haag, Sukarman serta beberapa janda dan saksi hidup diundang untuk memberikan kesaksian dan menceritakan kisah pembantaian di beberapa perguruan tinggi di Belanda.
     "Vonis pengadilan Den Haag membuka mata, penanganan pelanggaran hak asasi manusia tak kenal kedaluwarsa meski peristiwanya terjadi 64 tahun lalu," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 27 FEBRUARI 2012

Rabu, 22 Februari 2012

Prof Louhenapessy: Mengembalikan Citra Sagu


JULIUS  ELSEOS LOUHENAPESSY
Lahir: Hatu, Seram, Maluku, 25 Juli 1943
Istri: Jenny Erna Ohello
Anak:
- William Louhenapessy (37)
- Sarah Yolanda Louhenapessy (31)
Pendidikan:
- Sarjana Muda Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, 1969
- Sarjana Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 1975
- Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994
Pekerjaan, antara lain:
- Pembantu Dekan I dan Dekan fakultas Pertanian Universitas  Pattimura, 
  1982-1986
- Pembantu Rektor I Universitas Pattimura, 1995-2004
- Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku, 2004-2009
- Inventarisasi sagu di maluku dan sejumlah kabupaten, seperti Seram 
  Bagian  Timur, Seram bagian Barat, Buru, dan Saparua, 2007-2009
- Pengajar S-1 dan pascasarjana di Universitas Pattimura dan Universitas 
  Kristen Indonesia Maluku, hingga kini
Penghargaan:
- Adikarya Pangan Nusantara dari Presiden RI, 2011

Seakan tak kenal lelah, Prof Julius Elseos Louhenapessy berupaya mengebalikan citra pangan lokal sagu. Berbagai penelitian dibuatnya, begitu pula sejumlah buku. Ditambah kontribusinya dalam berbagai sseminar dan kebijakan pemerintah untuk pemanfaatan dan pengembangan sagu.

OLEH PONCO ANGGORO

"Saya bermimpi nantinya sagu tak lagi dipinggirkan, tetapi mengambil peranan besar guna menunjang ketahanan pangan nasional," kata Louhenapessy mengemukakan alasan di balik totalitasnya itu.
     Totslitas itu pula yang menjadi dasar pria yang mengajar di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, ambon, Maluku, itu memperoleh penghargaan adikarya pangan Nusantara dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir tahun lalau. Ia dinilai telah memeprjuangkan pelestarian, pengembangan, dan pengembalian citra pangan agar bermanfaat.
     Perjuangan itu dimulainya 25 tahun lalu. Pada 1987 ia tertarik dengan sagu setelah terlibat dalam kegiatan inventarisasi sagu di Pulau Seram dan Halmahera-keduanya di Provinsi Maluku-bersama tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan Institut Pertanian Bogor. Inventarisasi bertujuan menyusun kelayakan pembangunan pabrik pengolahan sagu di Seram.
     "Inventarisasi itu membuka mata saya akan manfaat dan melimpahnya sagudi Tanah Air. Sayang potensi itu tak dimanfaatkan. Sagu yang sebelum tahun 1960 menjadi pangan pokok di sejumlah wilayah justru tergantikan beras," katanya.
      Revolusi hijau di Indonesia yang menitikberatkan pada pengembangan padi sejak 1966, ditambah pemberian beras untuk rakyat miskin hingga ke desa-desa yang semula menjadikan sagu sebagai pangan pokok, membuat sagu kian tergeser oleh beras.
      Ketertarikan sekaligus keprihatinan  sagu itulah yang membuat Louhenapessy tahun 1987 mulai meneliti sagu. Penelitian pertamanya di Merauke, Papua. Saat itu, ia menjadi konsultan sejumlah proyek di lokasi transmigrasi yang didanai Bank Dunia.
    "Tugas konsultan memberikan masukan dan mengawasi proyek infrastruktur serta perluasan lahan pertanian di Merauke. Tetapi, karena di Meruke juga banyak sagu, saya habiskan sebagian waktu menelitinya," ujarnya.
     Satu tahun penelitiannya menghasilkan buku Tanah-tanah sagu di Merauke yang mengulas jenis-jenis tanah tempat sagu tumbuh. Setelah itu, ia juga meneliti sagu di sejumlah tempat lain, seperti Gusalaut diMaluku Tengah, Kao di Maluku Utara, dan Arandai di Bintuni, Papua.
     Hasil penelitian itu mengantarkan dia mendapat gelar doktor pada 1994 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan disertasi Evaluasi dan Kesesuaian Lahan bagi Sagu.

Kebun sagu

     Dia juga membuat kebun koleksi sagu di Kampus Universitas Pattimura tahun 1996. Di tanah seluas 1,5 hektar, ia menanam delapan jenis sagu yang tumbuh di Maluku. Di sini ada lima jenis utama, yaitu sagu tuni, ihur, makanaru, duri rotan, dan molat, serta tiga jenis sagu hasil persilangan, yaitu molat berduri, molat merah, dan molat merah berduri.
     "Kebun sagu ini dibuat agar mahasiswa, terutama mahasiswa pertanian, mengenal lebih jauh sagu," katanya. Kebun itu pun menjadi rujukan peneliti luar negeri tentang sagu. Saat konflik sosial tahun 1999, mayoritas kebun terbakar. Pada tahun 2010 kebun dibuka dengan tanaman sagu baru.
     Dibantu pengajar lain di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, ia merehabilitasi hutan sagu menjadi kebun sagu di kawasan tawiri, Ambon, dan akan dilakukan pula di Tulehu, Maluku Tengah. "Rehabilitasi bisa meningkatkan produksi sagu 1,5 kali lipat," ujarnya.
     Dengan rehabilitasi, jumlah tanaman sagu di setiap rumpun dibatasi 6-7. Jarak antar rumpun diatur 7-10 meter. Tanpa pengaturan ini, sagu yang tumbuh di setiap rumpun bisa mencapai ratusan dan membuat produksi sagu induk terhambat karena berebut makanan dengan sagu muda yang baru tumbuh.
     Perhatiannya pada sagu membuat Louhenapessy sering menjadi narasumber pada berbagai pertemuan ilmiah di sejumlah tempat. Tahun 2011 ia diminta menyusun materi muatan lokal tentang sagu untuk siswa SD, SMP, dan SMA.
     Ia ikut merumuskan sejumlah kebijakan pemerintah terkait sagu, termasuk saat Pemerintah Provinsi Maluku menyusun Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu.

Sebelah mata

    Meski demikian, semua itu belum cukup karena impiannya belum terwujud. Keberadaan sagu masih dipandang sebelah mata. "Potensi  pati kering dari tanaman sagu di areal seluas 1,4 juta hektar di Indonesia mencapai 6 juta ton per tahun. Tapi yang dimanfaatkan baru sekitar 10 persen, sisanya dibiarkan mati." 
     Sebagai gambaran, jika 5,4 juta ton pati kering dimanfaatkan, bisa mencukupi kebutuhan seluruh penduduk Indonesia (237.556.336 orang berdasarkan sensus penduduk tahun 2010) selama dua bulan. Asumsinya, tiap keluarga yang terdiri atas lima orang membutuhkan 40 kilogram pati kering setiap bulan.
     Ini berarti bisa menghemat beras selama dua bulan atau 5,3 juta ton (mengacu pada konsumsi beras di Indonesia sebanyak 135 kilogram beras per orang per tahun).
     Pati dari sagu pun bisa diolah menjadi berbagai macam makanan hingga obat-obatan, juga komoditas ekspor. "Kebutuhan pati secara internasional mencapai 50 juta ton per tahun. Angka itu meningkat tujuh persen setiap tahun," ungkapnya.
     "Untuk itu, perlu kebijakan berani dan kreatif dari pemerintah, terutama pemerintah daerah yang di wilayahnya banyak sagu. Ini bisa menangkap peluang pasar, juga mengembalikan pola konsumsi masyarakat pada sagu," lanjutnya.

Penerbang militer

     Selulus SMA tahun 1961, ia bercita-cita menjadi penerbang militer. Namun, ia tak mendapat izin ayahnya, Simon Wilhelmus Louhenapessy. Ayahnya memasukkan dia ke fakultas kedokteran di Makassar.
     Tak suka dengan pilihan itu, ia kembali ke Ambon. Sekitar enam bulan ia menjadi buruh pelabuhan. "Saat sedang bekerja itu, ayah melihat saya. Dia meminta maaf dan menyerahkan sepenuhnya keputusan masa depan saya sendiri. Saya emmilih kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura," ujarnya.
     Kepercayaan sang ayah ia bayar dengan totalitasnya mendalami pertanian. khususnya sagu. Sampai usianya kini, totalitas yang dia janjikan itu tak berubah.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 22 FEBRUARI 2012

Senin, 20 Februari 2012

Irma Suryati: Penyemangat Kaum Difabel dari Kebumen

IRMA SURYATI
Lahir: Semarang, 1 September 1975
Pendidikan: SMAN 1 Semarang
Suami: Agus Priyanto (35)
Anak:
- Zika Kusuma (13)
- Hafiz Al-Mukni (10)
- Eksamutiara Nabila (5)
- Nauli Wyadyaksa (2)
- Pandu Yuda (1)  
 Penghargaan, di antaranya:
- Wirausaha Muda Teladan 2007

Virus polio boleh saja melayukan kaki-kaki Irma Suryati (36) sejak kecil. Nyatanya, kekurangan itu tak dapat merenggut semangatnya untuk terus berkarya. Lewat kerajinan kain perca limbah garmen, Irma tak hanya membuktikan mampu menggapai asa dengan segala keterbatasan. Ia pun tiupkan napas penyemangat bagi kaum difabel sesamanya.

OLEH GREGORIUS MAGNUS FINESSO

Disebuah rumah sederhana di impit sawah menguning, Irma turun dari sepeda motor roda tiga yang didesain khusus untuk memudahkan mobilitasnya, akhir Desember 2011. Di sepanjang jalan aspal sempit, penunggang sepeda onthel yang lalu lalang tak berhenti menyapanya. Di rumah itulah Irma mengembangkan kerajinan tangan dari kain perca. Tak sembarang kerajinan tangan karena usaha beromzet hingga puluhan juta rupiah itu hampir semuanya dibuat oleh para penyandang cacat binaannya.
     Setelah menyandarkan kruk di dinding rumahnya, Irma perlahan duduk selonjor dipapah Agus Priyanto, suaminya yang juga mengenakan kaki palsu. Ya, pasangan suami istri difabel itu menggelorakan semangat pantang menyerah bagi sesamanya dari Desa karangsari, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
     "Kami ingin menyingkirkan stigma bahwa penyandang cacat tidak dapat mandiri. Kami tidak ingin dikasihani. Kami hanya ingin mendapat kesempatan sama," ujar pemilik Mutiara Handycraft itu.
     Selepas lulus dari SMA, Irma tak melanjutkan kuliah. Ia menjalani terapi kaki akibat lumpuh layu sejak kecil di RS Ortopedi Solo. Di tempat itu, Irma jatuh hati dengan sesama pasien yang kini menjadi suaminya.
     Selesai terapi, Irma kembali ke Semarang. Bersama Agus yang telah menjadi suaminya, mereka menggeluti usaha kerajinan pada 1999. Mereka mulai mengumpulkan para penyandang cacat yang kebetulan adalah kawan-kawan semasa mengikuti pendidikan keterampilan di rumah sakit. Usaha di "Kota Lumpia" itu cukup berhasil dan mampu merekrut 50 penyandang cacat.
"Usaha saya sejak awal memang fokus membuat pelbagai alat rumah tangga dari kain perca," tutur ibu lima anak itu.

Sempat terpuruk

     Puncak kejayaan usaha Irma yakni pada 2002. Rumah dan mobil mereka miliki dengan omzet kerajinan mencapai miliaran rupiah per bulan. Rantai produksi dari manajemen hingga pemasaran tertata rapi.
     Namun, kebakaran besar di Pasar Karangjati, tempat lokasi usahanya, tahun 2005 melalap habis usaha mereka. "Kami nyaris tak punya apa-apa lagi. Bahkan, semangat pun nyaris hilang," kenangnya.
     Irma dan suami pun hijrah ke tempat asal suaminya di Kebumen untuk memulai usaha baru.
     Tonggak bersejarah dalam usaha yang dirintis Irma terjadi kala dirinya berhasil menemui Bupati Kebumen saat itu, Rustriningsih, yang kini Wakil Gubernur Jateng. Gayung pun bersambut, Rustriningsih mengundang semua penyandang cacat di seluruh Kebumen yang berjumlah sekitar 300 orang. Terbentuklah paguyuban penyandang cacat yang diketuai Irma.
     Mereka sepakat membuka usaha kain perca. Pemerintah Kabupaten Kebumen memberi modal dan mengontrakkan sebuah rumah di Sruweng, Kebumen, sebagai tempat usaha.
     Dengan pengalamannya, Irma unjuk diri. Ia rangkul penyandang cacat di 17 kecamatan dari 26 kecamatan di Kebumen. "Setelah mulai berkembang, saya memutuskan kembali ke Desa KArangsari sekalian membangun rumah sendiri," katanya.
     Dengan kreativitasnya, kain sisa industri garmen dibentuk menjadi aneka produk keset yang unik. Desain keset berbentuk bunga, karakter kartun, bentuk binatang seperti panda, kupu-kupu, dan katak menjadi sedikit contoh hasil karyanya.
     Tak sekadar dijual di pasar lokal, keset-keset itu juga dipasarkan ke luar negeri. Khusus desain kupu-kupu bahkan dikirim ke Australia seharga 7 dollar per lembar. Omzet usaha Irma setidaknya kini mencapai Rp 50 juta per bulan.
     Selain Kebumen, karyawan Irma tersebar di Kabupaten banyumas, Banjarnegara, dan Purworejo. Dari sekitar 750 karyawannya, sekitar 150 orang di antaranya penyandang cacat, khusus tuna daksa. Sisanya adalah orang normal.
     Awalnya mereka  diajari bagaimana membuat keset. Kemudian setelah mandiri, Irma memasok bahan baku untuk dibuat sendiri oleh karyawannya di rumah masing-masing. "Hasilnya disetor kepada saya untuk dipasarkan," tutur Irma.
     Bagi para mitranya, Irma menjual bahan baku keset berupa kain sisa seharga Rp 1.000 per kilogram. Lalu para mitra menyetor keset dengan harga Rp 3.000 per lembar. Pasar yang masih terbuka membuat Irma bergerilya untuk memperbanyak tenaga kerja. Seperti dicontohkan, kebutuhan keset kain perca dari Jakarta mencapai 60.000 per bulan, tetapi baru mampu dipasok oleh Mutiara Handycraft sekitar 20.000 lembar.

PSK dan mantan TKI

     Irma juga memberdayakan ibu-ibu rumah tangga, pekerja seks komersial (PSK), para waria, hingga mantan tenaga kerja Indonesia (TKI). Dia pun tak pelit ilmu dengan berkeliling Indonesia menjadi instruktur pelatihan bagi penyandang cacat, mantan TKI, dan PSK.
     "Apalagi kalau yang meminta adalah penyandang cacat, saya usahakan berangkat," kata Irma. Keinginan Irma sederhana. Dia berharap para penyandang cacat hidup mandiri, termasuk secara ekonomi, sehingga kehidupan para difabel sama dengan orang normal.
     Irma tak ingin penyandang difabel mendapat perlakuan tidak menyenangkan hanya karena keterbatasan fisik. Irma mengenang, diskriminasi bagi para penyandang cacat masih dirasakan di seluruh sektor, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
     "Saya ingat waktu selalu ditolak bekerja gara-gara berjalan menggunakan bantuan kruk," ujarnya.
     Semangat, kemandirian, dan dedikasinya memberdayakan para penyandang cacat diakui secara nasional bahkan internasional. Dia pun berperan besar bagi lingkungan dengan mengeolah limbah garmen menajdi aneka kerajinan tangan. Berkat usahanya, Irma mampu mengurangi pengangguran sekaligus mengurangi limbah sekitar 5 ton per bulan.
     Namun, cita-cita Irma tidak mandek sampai di situ. Ia sedang membangun rumah bagian belakang dengan ukuran sekitar 7x9 meter yang hampir selesai dan akan dipakai untuk menampung para penyandang cacat.
     "Kami sedang menyiapkan tempat bagi penyandang cacat yang bekerja di sini dan rumahnya jauh. Saya ingin punya pabrik yang seluruh karyawannya para penyandang cacat," kata Irma.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 20 FEBRUARI 2012

Minggu, 19 Februari 2012

Suwitri: Setia Menjaga Tari Topeng Endel

SUWITRI 
Lahir: Tahun 1948
Pekerjaan: penari topeng  endel 
Pendidikan: kelas 4 sekolah rakyat
Suami: Suharjo (almarhum)
Anak: Sri Purwanti (40), Gatot Sismoro (35), Rismanto (30)
Cucu: 9 orang, 1 orang buyut
Penghargaan:
- Pelestari Budaya dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, 
  1993 
- Penghargaan dari Bupati Tegal atas jasa dan pengabdiannya melestarikan 
  dan mengembangkan seni tari topeng endel khas Tegal, 2004
- Maestro Tokoh Penari Khas kabupaten Tegal, 2010

Kerut-merut tampak jelas pada kulit wajah dan tangan Suwitri, perempuan berusia 63 tahun asal Desa Slarang Lor, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Meski demikian, Sawitri, demikian masyarakat setempat menyebut namanya, masih lincah dan gesit dalam beraktivitas sehari-hari.

OLEH SIWI NURBIAJANTI

Tangan Suwitri tetap luwes memainkan gerakan-gerakan tari topeng endel, yang sejak usia tujuh tahun telah dia geluti. Gerakan patah-patah paa lehernya (pacak gulu) masih luwes sekaligus tegas meski usianya tak lagi muda.
     Suwitri adalah penari topeng endel tertua yang masih aktif menari di sejumlah tempat di wilayah kabupaten Tegal. Dia mewarisi kemampuan menari dari mendiang neneknya, Warmi, juga mendiang ibunya, Waryu, yang meninggal dunia setahun lalu.
     Ibu tujuh anak (empat diantaranya meninggal dunia) ini belajar menari secara otodidak. Dia melihat langsung gerakan-gerakan saat nenek dan ibunya menari. Awalnya Suwitri belajar tanpa menggunakan topeng. Baru pada saat usianya menginjak delapan tahun dia mulai menari menggunakan topeng bersama sang bunda.
    Bagi Suwitri, menari adalah bagian dari napas hidupnya. Selama raga masih kuat untuk menari, dia bertekad terus melakoni takdir kehidupannya sebagai penari topeng endel. Meskipun dari menari dia tidak mendapatkan materi yang berlimpah, Suwitri tak ragu mencintainya.
     Bertahun-tahun setia sebagai penari topeng, Suwitri tinggal di rumah sederhana, berlantai plestr semen, dan berhadapan langsung dengan tembok rumah orang lain. Pada pintu tengah rumah itu tertempel stiker "Rumah Tangga Miskin Penerima BLT" (bantuan langsung tunai).
    Untuk menyambung hidup, sejak lebih dari 10 tahun lalu, setiap pagi Suwitri berjualan bubur. Ia tinggal sendirian di rumah itu sejak suaminya, Suharjo, meninggal dunia 15 tahun silam. Suharjo dahulu bekerja sebagai dalang wayang golek dan wayang orang.
     Ketiga anaknya, Sri Purwanti, Gatot Sismoro, dan Rismanto, sudah hidup mandiri. Sri Purwanti yang rumahnya berlokasi di sebelah rumah Suwitri rupanya mengikuti jejak ibunya sebagai penari topeng.

Penari mandiri

    Saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu, Suwitri baru pulang dari berbelanja sayuran untuk persiapan berjualan bubur esok harinya. Ia lalu bercerita tentang awal perjalanan hidupnya sebagai penari.
Suwitri masih ingat betul bagaimana untuk pertama kali dia harus menari di hadapan publik pada acara tahun baru China.Ketika itu, pada usia tujuh tahun, ia menari menemani ibunya. Ia berlenggak-lenggok di samping sang ibu yang waktu itu masih menjadi penari topeng aktif.
     Hingga usia 30 tahun, Suwitri masih menari sebagai pendamping ibunya yang menjadi penari utama. baru setelah ibunya merasa lelah dan memutuskan berhenti menari, dia menjadi penari mandiri. Suwitri tampil dari satu panggung ke panggung lain.
     Perjalanannya sebagai penari tak mudah. Beberapa kegagalan yang justru dianggapnya sebagai pengalaman lucu pernah dia alami. Salah satunya saat ia berusia delapan tahun dan baru pertama kali menari menggunakan topeng. Seperti umumnya anak-anak, sebagian gigi Suwitri kala itu ompong.
     Padahal, topeng yang digunakan untuk menari harus digigit agar menempel pada wajahnya. Namun, karena gigi Suwitri ompong, ia tak kuat menggigit topeng. Topeng yang dipakainya jatuh dan terbelah.
     Baginya, menari topeng tak semudah menari tanpa topeng. Seorang penari topeng harus berkonsentrasi pada dua hal, yaitu topeng yang dikenakan dan gerakan-gerakan tari.
     "Kalau menari kosongan (tanpa topeng),  tak ada pakem gerakan. Tetapi, kalau kita menari topeng, ada urutan-urutan gerakan," ujarnya.
     Dari 12 jenis taari topeng, ia menguasai enam diantaranya, yaitu tari topeng endel, topeng kresna, topeng panji, topeng punggawa, topeng lanyapan alus, dan topeng kelana atau minakjingga. tari topeng endel menajdi tarian yang disukai banyak orang dan hingga kini menjadi ikon tari tradisional wilayah Tegal.
     Tari topeng endel menggambarkan sosok perempuan genit yang suka berlenggak-lenggok. Gerakan-gerakan tarinya "menggoda". Tari topeng endel biasa ditampilkan sebagai tarian penyambut tamu dalam acara resmi. Adapun tari-tari topeng lainnya cenderung menampilkan unsur kegagahan.

Penghargaan

     Saat masih muda, Suwitri aktif menari di berbagai acara. Ia tak hanya tampil di wilayah Tegal, tetapi juga hingga Jakarta, Semarang, dan kota-kota besar lain di Pulau Jawa.
     Ia memenuhi permintaan untuk menari di berbagai kesempatan, mulai dari pengundang yang akan memenuhi nazar mereka, seperti nazar karena berhasil menjodohkan anak atau anaknya sembuh dari penyakit. Ia juga tampil bersama para penari topeng dari daerah lain, antara lain penari topeng cirebon.
     Suwitri juga mengajari menari siapa pun yang ingin belajar menari topeng meski ia belum memiliki sanggar sendiri. Biasanya para murid datang dan berlatih di rumahnya. Tak ada jadwal pasti, kapan pun mereka datang dan ia lega, latihan pun digelar. Tak ada iuran pasti, sebagai tanda terima kasih, murid suka memberinya makanan.
     Dia tak ingat berapa banyak murid yang sudah diajarinya menari topeng. Selain Sri Purwanti, ada dua murid Suwitri yang dianggapnya sudah bisa tampil mandiri.
     Dibandingkan dengan saat mudanya, belakangan ini ia jarang tampil  menari. Meski begitu, kata Suwitri, jiwanya tetap menari bersama aktivitas sehari-harinya. Karena itu, kapan pun mesti tampil, ia selalu siap.
     Kesetiaan dan kecintaannya pada tari topeng endel membuat Suwitri mendapat peghargaan. Selain sebagai Maestro Tokoh Penari Khas Kabupaten Tegal pada 2010, ia juga mendapat penghargaan dari Bupati Tegal atas jasa dan pengabdiannya melestarikan dan mengembangkan tari topeng endel khas Tegal. Sebelumnya, ia mendapat penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah sebagai pelestari budaya.
     Namun, bukan karena semua penghargaan itu Suwitri terus menari, melainkan karena tari adalah jiwanya. Meski harus berjualan bubur untuk menyambung hidup, hidup yang sesungguhnya bagi dia adalah menari.
     Selama lebih kurang 56 tahun Suwitri telah membuktikan cinta, kesetiaan, dan totalitasnya pada tari topeng endel. Kesetiaan yang membawanya pada sebuah pengabdian tanpa pamrih.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 8 DESEMBER 2011

Jumat, 17 Februari 2012

Mateus Krivo: Penggerak Lumbung Pangan Kampung


MATEUS KRIVO
Lahir: Wolowaru, Ende, 21 September 1972
Pendidikan: STF Katolik Ledalero, Maumere, Flores
Istri: Consolastri Maria Adelheid
Anak: Yordan (5) dan Sismendi (3)

Kasus gizi buruk, kematian ibu melahirkan, kematian anak di bawah usia lima tahun, yang akhirnya bermuara pada rendahnya sumber daya manusia,, terus menimpa warga Nusa Tenggara Timur. Persoalan memprihatinkan terebut selalu mendominasi maslaah kemanusiaan di daerah itu, dari tahun ke tahun. Dua tahun terakhir ini, kasus-kasus itu mulai teratasi.  

OLEH KORNELIS KEWA AMA

"Tetapi pemerintah cenderung mengabaikan masalah serius ini," kata Mateus Krivo, Direktur yayasan Animasi Timor Tengah Selatan, dalam pertemuan tematik membahas peran perempuan dalam ekonomi lokal di Kupang, Nusa Tenggara timur (NTT), Kamis (9/2). Saat itu, kelompok binaannya memamerkan aneka produk pangan lokal hasil karya mereka. "Persoalan pangan di Nusa Tenggara Timur sangat sserius," tambah Krivo.
     Dia menelurkan gagasan untuk menjadikan kampungnya sebagai lumbung pangan. Kampung dijadikan tempat simpan pangan dengan cara mulai menanami kebun warga dengan aneka tanaman untuk kebutuhan setiap waktu, kintal dan  padang ternak, hingga rekening bank/dompet dan koperasi. Definisi ini kemudian direalisasikan dengan membuka kebun pangan luas, yang ditanami aneka tanaman di dalamnya, untuk kebutuhan rumah tangga dan pasar.
     "Kalau masyarakat cukup pangan, masalah kemanusiaan yang kita resahkan tiap tahun dan masalah kriminal lain dapat ditekan," kata Krivo.
Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjutnya, semua sudah tersedia di kampung.
     "Potensi sumber daya alam sudah ada. Sekarang tinggal bagaimana kita memberdayakan potensi yang ada bersama masyarakat lokal itu sendiri," tambahnya.
     Krivo bersama lima anak buahnya memulai kegiatan pemberdayaan dan pengadaan lumbung pangan kampung tahun 2009. Mereka memulainya dari awal dengan berbagai penjajakan. Desa impian masa depan yang bertumpu pada potensi lokal yang ada di dalam desa itu pun mereka coba rumuskan.
     "Kami mulai mendata potensi lokal di 10 desa binaan dengan 36 kelompok tani di dalamnya. Kemudian dilakukan pemberdayaan murni terhadap kelompok binaan tadi," ujar Krivo.
     Kelompok-kelompok tani tersebutkemudian mengembangkan berbagai pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, sorgum, pisang, sayur-sayuran, serta buah-buahan. Ke-10 desa binaan itu adalah Noeneto, Oof, Naukae, Nusa, Enoneontes, Olais, Oeekam, Naip, Nonkae, dan Desa Oefliki.
     Krivo dan kawan-kawan memilih dessa-desa yangtersebar di enam kecamatan tersebut karena di sana sering terjadi kasus rawan pangan.

Embung swadaya

     Pada tahun 2010/2011, sebanyak 36 kelompok tani di 10 desa itu masing-masing memiliki satu embung. Embung berukuran 4 atau 5 meter persegi tersebut berisi 2.000-3.000 liter air. Dari 10 desa itu, enam desa di antaranya memiliki embung hasil swadaya masyarakat, sedangkan embung di empat desa lain merupakan bantuan dari pemerintah setempat.
     Air embung tersebut sebagai stok untuk menghadapi musim kemarau. Setidaknya digunakan untuk menyiram sayur-sayuran atau tanaman bumbu maupun jenis tanaman palawija seperti kacang-kacangan. Sedangkan ternak sapi dan kerbau dapat diikat di sekitar embung untuk memanfaatkan limbah air tersisa.
     Kondisi rawan pangan biasa terjadi September-Januari. Pada masa ini, Krivo selalu melakukan pemantauan ke desa-desa. Jika terjadi puncak rawan pangan, dia mengantisipasinya dengan berbagai kegiatan, termasuk memanfaatkan air embung tersisa serta menanam sayur dan kacang-kacangan.
     "Sayur dan kacang-kacangan sangat cepat tumbuh dan dipanen. Dua jenis tanaman ini sangat membantu warga untuk keluar dari tekanan paceklik yang biasanya berakhir dengan gizi buruk dan kematian," papar Krivo.
     Dari 10 desa binaan itu, empat desa sudah cukup mandiri dalam ketersediaan pangan pengganti beras. Keempat desa tersebut, yakni Enoneon, Tes, Neometo, dan Nusa. Masyarakat setempat sudah memiliki keterampilan mengolah hasil pascapanen secara lebih bernilai gizi, efisien, dam ekonomis.
     Di empat desa ini juga sudah terbangun lumbung pangan desa. Di lumbung pangan ini tersimpan sejumlah pangan substitusi seperti jenis umbi yang bertahan sampai 5-6 bulan, jagung kacang-kacangan,  dan padi. Makanan ini dikumpulkan oleh anggota kelompok sesuai dengan kesepakatan.
     Satu keluarga mengumpulkan 17.000-20.000 tongkol jagung. Itu belum termasuk umbi-umbian, kacang, pisang, sorgum, labu kuning kering, ternak ayam, dan lainnya. Sebagian dari mereka mencoba mengusahakan kerajinan tenun ikat dan usaha bawang putih atau bawang merah. Petani menjual hasil panen ini di pasar sebagai penambah penghasilan. Sebagian lain disimpan di lumbung pangan kampung, sesuai kesepakatan.
     "Kesepakatan itu meliputi kapan dimanfaatkan, siapa penanggung jawab, bagaimana kalau dijual kepada masyarakat umum, atau prioritas untuk anggota kelompok saat paceklik," kata Krivo. Tetapi satu kesepakatan utama adalah anak-anak di dalam desa itu tidak boleh mengalami kasus gizi buruk atau rawan pangan. "Untuk kebutuhan anak-anak ini, kesepakatan bisa diintervensi lebih intensif dan mudah," lanjutnya.
     Berkat upaya Krivo dan kawan-kawan, sejak 2010-2011 tidak ada kasus rawan pangan atau gizi buruk di desa-desa binaan itu. Petani kelompok binaan tersebut sangat kompak. Mereka saling memberi informasi mengenai perkembangan harga hasil pertanian di pasar-pasar.
     Krivo juga mendorong desa-desa yang sukses untuk memotivasi desa-desa binaan lain yang belum sukses melalui informasi dan contoh nyata. Jaringan ke pasar-pasar terdekat juga dibangun.
     Para petani didorong mendayagunakan bibit lokal. Bibit ini lebih tahan terhadap serangan hama karena sesuai dengan karakter tanah, iklim, dan cuaca ketimbang bibit dari luar. "Kami juga mendorong mereka mengembangkan pupuk organik sendiri. Pupuk jenis ini mudah didapatkan. Mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pupuk dari pedagang," katanya.
     Krivo mengakui, tidak mudah membimbing petani yang sudah ratusan tahun hidup dengan pertanian berpindah-pindah tempat. Petani biasanya menebang pohon, membakar lahan, kemudian menanam setelah hujan turun.
     "Soal ini pun saya harus beri pemahaman dan pengertian kepada mereka. Cara berpikir petani sangat terbatas. Mereka hanya berpikir, bagaimana mendapatkan makanan hari ini. Dan hari esok, mereka cari lagi. Ketika mereka selesai panen, biasanya mereka beristirahat sampai hasil panen itu habis dikonsumsi, kemudian mereka cari lagi," cerita Krivo.
     Petani jarang berpikir masa depan yang lebih baik, melalui persiapan hari ini. Kondisi yang demikian membuat mereka sangat sulit berkembang.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 16 FEBRUARI 2012

Kamis, 16 Februari 2012

Arsyad Indradi: Penyair "Gila" dan Bloger Tertua

ARSYAD INDRADI
lahir: Barabai, 31 Desember 1949
Istri: Misrah (56)
Anak:
- Indra Indradi (31)
- Rahfini Indradi (30)
- Aprina Indradi (27)
Pendidikan:
- SR 9 Barabai, Hulu Sungai Tengah (1963)
- SMP 2 Barabai (1967)
- SMA 3 Banjarmasin (1970)
- PGSLP Banjarmasin (1973)
- S-1 universitas Lambung Mangkurat (1989)
- S-1 STKIP Banjarmasin 1989
Penghargaan:
- Bidang tari dari Majelis Bandaraya Melaka bersejarah pada Pesta Gendang 
  Nusantara VII Malaysia (2004 an 2009)
- Bidang tari dari Wali Kota Banjarbaru (2009)
- Bidang sastra dari Wali Kota Banjarbaru (2010) 
- Bidang sastra dari gubernur Kalimantan Selatan (2010)

Pada usianya yang ke-63 tahun, Arsyad Indradi terus berkarya. Lebih dari 1.000 judul puisi telah ia hasilkan. Sejumlah rekan menjulukinya sebagai penyair "gila". Baru-baru ini komunitas bloger di Tanah Air juga telah menobatkan dirinya sebagai bloger tertua di Indonesia.

OLEH DEFRI WERDIONO

Abah Arsyad, begitulah ia biasa dipanggil. Di kalangan sastrawan Kalimantan Selatan, sosok pensiunan pegawai negeri yang beken dengan rambut panjang ini sudah tidak asing lagi. Ia sudah malang melintang di dunia sastra sejak puluhan tahun silam.
     Ditemui di rumahnya diJalan Pramuka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Minggu (12/2), Abah Arsyad menunjukkan delapan buku hasil karyanya. Buku-buku yang ditulisnya itu, antara lain, berjudul Nyanyian 1.000 Burung, Anggur Duka, dan Risalah Penyair Gila.
     Selain itu ada juga buku yang berjudul Kalalatu, Narasi Musafir Gila, dan tidak ketinggalan Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Buku-bukunya tersebut dicetak sejak awal tahun 2007. Abah Arsyad ternyata tidak mencetak buku-buku itu melalui penerbit atau percetakan buku yang umumnya mematok harga mahal. Dia mencetak sendiri dengan cara manual.
     Bisa dibayangkan bagaimana ribet-nya. Ia harus menulis ulang di komputer, membuat tata wajah (lay out), dan mencetak isi buku itu halaman demi halaman. Setelah itu baru dirapikan dan dijilid dengan tangan. Padahal, tidak semua buku tergolong tipis. Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara, misalnya, memiliki tebal 728 halaman.
     Menurut Abah arsyad, semua yang dilakukan itu semata-mata lantran dirinya ingin menerbitkan buku sastra. Sementara menerbitkan lewat jalur yang lazim melalui percetakan modern biayanya cukup tinggi. "Mencari sponsor untuk menerbitkan buku sastra juga cukup sulit," ujarnya.
     Yang menjadi catatan, sebelum menerbitkan sendiri buku-bukunya itu, Abah Arsyad ternyata tidak menguasai komputer. Jangankan mengetik, mematikan dan menghidupkan peranti modern tersebut dirinya mengaku tidak bisa. "Memang di rumah saya ada komputer milik anak, tapi saya sebelumnya tidak bisa menggunakannya," ujarnya.

Gayung bersambut

     Buku pertama yang diterbitkan adalah Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Seperti bunyi judulnya, buku itu berisi puisi karya 142 dari 186 penyair di Indonesia. Mereka antara lain Ahmadun Yosi Hertanda, D Zawawi Imron, dan I Made Suantha.
     Sebelum membuat buku itu, Abah Arsyad terlebih dahulu mengumpulkan berbagai bahan. Bukan hal mudah, perlu upaya. Abah arsyad memulai proses pengumpulan naskah dengan cara enghubungi teman secara beranting. Ia juga dibantu seorang kawan yang bekerja di salah satu media massa. Di media tersebut, ia mengumumkan bahwa Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (komunitas sastrawan yang ia dirikan) hendak membukukan karya-karya puisi dari para penyair menjadi sebuah antologi.
     Rupanya gayung berambut. Selama dua bulan, lebih dari 100 penyair mengirimkan karya mereka. Bahkan, ada beberapa penyair yang mengirimkan karya di luar batas waktu yang telah ditentukan. Pengirimannya pun menggunakan cara tradisional yakni melalui surat.
     "Karena tidak bisa komputer dan tidak memiliki e-mail, pengirimannya pun dilakukan melalui surat," ujarnya sambil tertawa.
     Begitu bahan terkumpul, Abah Arsyad masih dibantu oleh kawannya menyalin karya dari wujud kertas surat menjadi dokumen di komputer untuk dibuat buku master.
     Ia mengaku butuh waktu empat bulan untuk belajar mengoperasikan komputer. Caranya otodidak sembari kadang-kadang menanyakan kepada teman. Dia tidak hanya mempelajari mengetik dengan komputer, tetapi juga belajar membuat grafis dengan menggunakan perangkat lunak komputer.
     Abah Arsyad berhasil mencetak buku pertamanya pada awal tahun 2007. Dari 350 eksemplar hasil cetakan, sebagian diberikan kepada penyair yang mengirimkan puisi. Sebagian buku lainnya disumbangkan ke perpustakaan, baik yang ada di daerahnya maupun di beberapa perguruan tinggi, secara cuma-cuma. Keberhasilan mencetak buku pertama kemudian diikuti buku-buku selanjutnya.
    Sebenarnya, sebelum membuat delapan buku, yang bersangkutan telah membuat sejumlah antologi puisi karya bersama. Beberapa karya di antaranya berjudul Jejak Berlari, Edisi Puisi Bandarmasih, Tamu Malam, Jendela Tanah Air, Pedas Lada Pasir Kuarsa, dan Kenduri Puisi.
     Lantas, bagaimana keterlibatan Abah Arsyad dalam dunia blog? Menurut ayah tiga anak ini, keterlibatannya dalam dunia blog dan menjadi bloger adalah tindak lanjut setelah dia mencetak buku. Ia ingin bisa mengenal lebih jauh tentang internet dan dunia maya.
     Perlahan namun pasti, ia mulai bersinggungan dengan e-mail, blog, dan media jejaring sosial lain. Melalui media internet pula, ia menuangkan karya-karyanya, termasuk menawarkan dan menjual buku cetakannya kepada penikmat sastra di Tanah Air. dari situlah kemudian permintaan buku dari sejumlah daerah terus berdatangan hingga sekarang.
     Abah Arsyad mengaku saat ini memiliki 60 blog, mulai dari situs penyair Nusantara (penyairnusantara.blogspot.com) yang menghimpun para penyair di Nusantara dan beberapa negara lain hingga situs yang khusus memuat karyanya. "Saat ini adalah zaman teknologi. Jadi, tidak ada salahnya seorang pelaku sastra mengikuti perkembangan yang ada," ujarnya.
     Akibat aktivitasnya di dunia maya inilah, ia dikukuhkan menjadi bloger tertua dalam acara Kopi Darat Bloger Nusantara 2011 di Sidoarjo, Jawa Timur beberapa waktu lalu.
     Keterlibatan mantan Kepala SMK 1 Gambut (salah satu sekolah di Kabupaten Banjar) ini terhadap dunia sastra sebenarnya sudah berlangsung sejak SMP. Saat itu ia sudah mulai menulis puisi. Tema puisinya beragam, mulai dari budaya banjar, kekayaan alam Kalimantan, kritik sosial, hingga yang berbau religi.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 17 FEBRUARI 2012