Rabu, 28 Maret 2012

Nadia Mutia Rahma: Kelom Batik Tembus Eropa

NADIA MUTIA RAHMA
Lahir: Yogyakarta, 12 Juni 1989
Pendidikan:
- SD Muhammadiyah Condongcatur Yogyakarta (1997-2002)
- SMP Al Azhar Bumi Serpong Damai, tangerang Selatan (2003-2005)
- Higashiura Senior High School, Jepang (2006-2008)
- KAI Japanese Language School (2008-2009)
- Esmod Japon, Jepang (2009)
Karier:
- Pendiri dan desainer Kloom (2009-sekarang)
- CEO dan Creative Director PT Kloom Kreasi Indonesia (2011-sekarang)

Usia muda tak menghalangi Nadia Mutia Rahma bergelut merintis usaha di bidang "fashion". Sekitar dua tahun lalu, Nadia memperkenalkan kelom (sandal kayu) buatan dalam negeri sampai kemudian berhasil menembus pasar Eropa.

OLEH SUSIE BERINDRA

Nadia merupakan pemilik sekaligus desainer kelom yang diberi merek Kloom. Selain dijual di Jakarta, kelom-kelom cantik bikinannya juga diekspor ke Inggris, Swedia, Norwegia, dan Denmark. Selain itu, Kloom juga diminati pembeli dari Amerika Serikat dan Australia.
     Usaha kelom yang ditekuni Nadia berawal saat ia tinggal di Jepang, mengikuti ayahnya yang bertugas di "Negeri Sakura" itu. Untuk memperlancar kemampuan berbahasa Jepang, Nadia mengambil program bahasa di KAI Japanese Language School, salah satu sekolah bahasa Jepang di Shinjuku, Tokyo. Ketika mengikuti program itulah, dia bertemu dengan siswa yang berasal dari mancanegara, salah satunya Skandinavia.
     Salah satu budaya dari temannya yang berasal dari Skandinavia adalah memakai clog atau kelom. "Bukan hanya Skandinavia yang punya budaya itu, Jepang juga mempunyai sandal kayu. Di Indonesia sebenarnya juga ada tradisi memakai sandal kayu, seperti kalau di Jawa namanya teklek. Sejak itulah saya berangan-angan membuat kelom yang berbau Indonesia, dan harus dari kayu lokal," kata Nadia.
     Ketertarikannya menjadi desainer membuat Nadia memilih untuk melanjutkan sekolah di Esmod Japon di Tokyo. Meski hanya sempat mengenyam pendidikan di Esmod selama setahun, Nadia merasa mendapat banyak pelajaran. Salah satu pelajaran yang didapatkan terkait dengan produksi sepatu.
     "Setelah setahun di Esmod, saya merasa ingin balik ke Indonesia, dan belum ingin menyelesaikan sekolah di Jepang. Saat memutuskan pulang, saya merasa tertantang dan tertarik untuk mendalami bisnis sepatu," papar putri dari pasangan Nanang Sunarya dan Siti Noerdiyanti itu.
     Tahun 2010, Nadia menyusul orangtuanya kembali ke Indonesia. Ia pun sempat mengambil pendidikan di Akademi Teknologi Kulit di Yogyakarta. Namun, ia hanya bertahan satu semester. Mengenai sekolah yang selalu berpindah, Nadia mengaku mudah bosan dan selalu ingin mempelajari hal-hal yang baru.
     Untuk memulai usahanya, Nadia melakukan survei di sejumlah toko online yang menjual kelom, baik produk lokal maupun internasional. dari situ, Nadia lebih yakin melangkah memproduksi kelom karena belum banyak pengusaha kelom. Ia pun mulai merancang kelom yang bisa dipasarkan ke luar negeri atau pun dalam negeri.
     "Saya memang gambling (bertaruh) untuk usaha ini. Saya berpikir bagaimana membuat sebongkah kayu yang ditempeli kulit supaya bisa menjadi sandal atau sepatu yang menarik dengan harga mahal," katanya.

Dua jenis desain

     Kloom mempunyai dua desain yang berbeda untuk pasar dalam negeri dan luar negeri. Untuk kelom yang dijual di dalam negeri, Nadia memadukan sandal kayu dengan kulit yang diimpor dari Australia. Sedangkan, untuk kelom yang diekspor, Nadia mempermanis sandal kayu dengan kain batik atau kain tenun tradisional. Nadia memegang prinsip bersih, minimalis, dan tradisional dalam setiap desain kelomnya.
     "Konsumen di Indonesia pasti menginginkan desain sandal yang kebarat-baratan. Karena itu, saya menggunakan kulit yang paling bagus supaya terlihat mewah. Sesuatu yang minimalis juga bisa terlihat lebih mahal. Tetapi, untuk kelom dengan kulit, saya tak memproduksi banyak karena kalah dengan buatan Italia," ujarnya.
     Bermodalkan uang Rp 30 juta dari ayahnya, Nadia memulai usaha dengan mencari perajin sandal kayu di wilayah Yogyakarta dan Magelang, Jawa Tengah. Demi kecintaannya kepada negeri sendiri, Nadia menggunakan kayu lokal, seperti kayu mahoni dan kayu sampang. Untuk bahan kulit mentah, dia memang mengimpor dari Australia, tetapi proses penyamakan kulit dilakukan sendiri.
     Produksi kelom pertama kali berjumlah 150 pasang. Setelah itu, jumlah produksi bertambah. Saat ini, dalam setahun Nadia bisa memproduksi 500.000 pasang sandal atau sepatu kayu. "Kenaikan jumlah produksi cukup signifikan. Awalnya 150 pasang, kemudian naik menjadi 400 pasang, dan sekarang sekali produksi bisa mencapai 3.000 kelom," kata Nadia.
     Saat ini, Nadia mempekerjakan 40 perajin kelom yang dianggap mampu membuat sandal kayu sesuai dengan desain Kloom. Mencari perajin yang cocok bukan hal mudah bagi Nadia. Sebagai anak muda, dia harus ngemong para perajin yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas. "Saya berkali-kali ganti perajin. Kebanyakan sudah tua, bahkan ada yang saya panggil simbah. Kadang-kadang saya harus menjaga emosi saat bertemu mereka. Jadi harus pandai membawa diri supaya hasil pekerjaan mereka juga bagus," kata Nadia.
     Untuk menjual produk Kloom di Jakarta, Nadia mempunyai gerai di Plaza Indonesia dan toko di BSD, Tangerang. Selain itu, Kloom juga dijual secara online dengan nama Kloom Clogshop.
     Produk tersebut semakin terkenal saat ikut meramaikan Jakarta Fashion Week. Saat itu Nadia diajak oleh desainer Ayang Cempaka yang mempunyai produk tas berlabel Cocomomo.
     Pesanan dari luar negeri pun terus bertambah. Awalnya permintaan datang dari Swedia sebanyak 250 pasang. Selanjutnya meningkat dengan adanya pesanan dari Denmark, Belanda, dan Yunani yang meminta 100-200 kelom. Akhir tahun lalu permintaan dari Swedia bertambah menjadi 500 pasang kelom.
     "Saat ini kami juga sedang bernegosiasi dengan pengusaha dari Swedia untuk bisa mengirimkan 10.000 pasang kelom per tiga bulan. Kami memang berusaha meningkatkan jumlah produksi yang diekspor, terutama ke Swedia," ujarnya.
     Harga kelom yang dijualnya di Indonesia mulai dari Rp 250.000 sampai Rp 1,7 juta per pasang. Sedangkan yang diekspor mulai dari 40 dollar AS sampai 150 dollar AS per pasang.
     Omzet penjualan Kloom untuk pasar lokal bisa mencapai Rp 300 juta per bulan, yaitu saat menjelang Lebaran. "Tadinya saya berpikir kelom itu akan diminati orang dewasa berusia sekitar 23 tahun ke atas. Ternyata banyak remaja yang juga mencari produk ini," kata Nadia.
   Kini, usaha Nadia memperkenalkan kelom dengan bahan lokal berdesain mewah tak sia-sia. Sandal kayunya diminati banyak kalangan. Dia pun membantu perekonomian perajin lokal.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 29 MARET 2012

Selasa, 27 Maret 2012

ERWIN GUTAWA: Menghadirkan Chrisye dengan Lagu Baru

ERWIN GUTAWA
Lahir: Jakarta, 16 Mei 1962
Istri: Lutfi Andriani Gutawa
Anak:
- Aluna Sagita atau Gita Gutawa (17)
- Aura Aria (4)
Profesi: Musisi, Produser, Penata Musik, dan Konduktor
Pendidikan:
- Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1986
Album dengan Erwin Gutawa Orchestra
- A Masterpiece of Erwin Gutawa 2011
- Rockestra, 2007
- Salute to Koes Plus/Bersaudara 2005
- Orchestra, 2000
Garapan Musik
- Musikal Laskar Pelangi, 2010

Erwin Gutawa (49) menggubah lagu baru "Kidung Abadi" yang akan "dinyanyikan" Chrisye dalam konser "Kidung Abadi Chrisye" di Jakarta Convention Center, 5 April 2012. Lagu itu tersusun dari kumpulan potongan suku kata yang pernah dilantunkan Chrisye.

OLEH FRANS SARTONO

Lagu "Kidung Abadi" yang mengalun dari suara Chrisye itu membuat pendengarnya merinding. Itulah suasana di studio Erwin Gutawa, di Jalan Pangeran Antasari, Jakarta Selatan, Senin (26/3) sore. Erwin Gutawa dengan tim kreatifnya tengah memperdengarkan suara Chrisye "menyanyikan" lagu terbarunya. Padahal, kita ssemua tahu, Chrisye meninggal dunia pada 30 Maret 2007.
     Suasana terasa mengharukan ketika lirik buatan Gita Gutawa itu terlantun dengan artikulasi jelas, khas gaya Chrisye. "Lihatlah masa berganti semua, ku di sini dan kau di sana....// Walau kini ku jauh darimu, ku kan selalu tetap bernyanyi/ Kau dengar alunan melodiku, persembahan ini untukmu..".
     Lagu itu belum pernah dinyanyikan Chrisye selama hidupnya. Program Protools dalam komputer memungkinkan rekayasa suara. Prosesnya tampak sederhana: suara Chrisye menjadi semacam pangkalan data (database) komputer. Dari sumber itu, Erwin melakukan semacam rekonstruksi suara Chrisye. Ribuan suku kata yang pernah dilantunkan Chrisye dalam lagu disusun untuk membentuk lagu yang utuh.
     Ini sebuah kerja kreatif, rumit, njelimet, dan perlu ketelitian serta kesabaran tinggi. Tim Erwin, yang antara lain terdiri atas periset, mengumpulkan ribuan suku kata milik Chrisye. Kata "kusadari" yang "dilantunkan" Chrisye di lagu baru itu diambil dari puluhan lagu. Suku kata da diambil dari lagu "Pasar gambir" yang dinyanyikan Chrisye pada album Dekade (2002). Tepatnya da pada lirik yang berbunyi "Da-ri jauh saya kemari.....".
     Diperlukan 1.056 suku kata ku sebagai bahan untuk membentuk kata "kusadari" seperti tertulis dalam lirik lagu "Kidung Abadi". Data suku kata ku itu terdiri dari beragam karakter. Ada ku yang dilantunkan dengan lembut, rendah, tinggi, dan ku yang berteriak, lembut, atau tebal. Erwin lalu menyaring dan mencari ku yang tepat sesuai dengan kebutuhan komposisi lagu. Suku kata ku yang terpilih itu disesuaikan dengan kebutuhan nada (pitch), timbre.
     "Nada dasar bisa dinaikan asal tidak terlalu jauh sebab kalau terlalu jauh akan jadi chipmunk (suara gepeng)," kata Erwin merujuk pada suara tokoh film animasi Chipmunk yang gepeng nyaring itu.
     Erwin berusaha agar nyanyian Chrisye terdengar alami, hidup, dan "berjiwa". Seperti benar-benar sedang dinyanyikan Chrisye. Untuk itu, secara detail ia memasukkan gaya Chrisye ketika ia mengambil napas. "Saya cukup mengenal Chrisye. Pada kata-kata tertentu, ia suka ambil napas pakai ancang-ancang atau kadang ambil napas colongan," kata Erwin.

"Lilin Kecil" sampai "Badai" baru

     Erwin Gutawa baru duduk di bangku SMP ketika Chrisye tengah populer dengan lagu "Lilin-Lilin Kecil" dan lagu-lagu pada album Badai Pasti Berlalu (1977). erwin adalah penggemar Chrisye yang dianggap membawa kesegaran baru dalam musik pop di Tanah air. Erwin saat itu sudah bermain musik dalam acara "Bina Musika" di TVRI asuhan Kak Agus Rusli. Dalam acara itu juga tergabung Cendi Luntungan yang kini menjadi drummer jazz serta almarhum Dodo Zakaria. Kala SMA, ia sudah "naik kelas" menjadi pemetik bas dalam Orkes Telerama, acara musik serius asuhan Isbandi di TVRI.
     Pada pertengahan tahun 1980, Erwin bergabung dengan band Karimata bersama Chandra Darusman dan kawan-kawan. Suatu kali Isbandi memercayai Erwin menggarap aransemen untuk Telerama. Sejak itu, Erwin belajar menajdi penata musik dan pengarah musik.
     "Ketika saya menjadi music director itu, saya menawarkan diri ke Chrisye untuk bikin konser pop, tetapi dengan orkestra. Chrisye cocok. Dia bilang, 'Win kita kerjain gini lagi yuk, tapi untuk album'," kata Erwin menceritakan awal kerja samanya dengan Chrisye.
     Itulah kerja sama Erwin dan Chrisye sampai hari-hari terakhir Chrisye. Erwin antara lain pernah menggarap musik album Chrisye, seperti AkustiChrisye (1996), Kala Cinta Menggoda (1997), Badai Pasti Berlalu-Re-recorded (1999), Konser Tur Legendary (2001), dan Dekade (2002).
     Erwin mengakui, dari album-album yang dibuat bersama Chrisye, album Badai Pasti Berlalu-lah yang terberat. Pasalnya, album Badai Pasti Berlalu versi tahun 1977 garapan Jockie Suryoprayogo dan Eros Jarot sudah menjadi legenda. "Saya memilih untuk tidak membuat seperti album yang dulu. Saya mereinterprestasi lagu-lagu di album tersebut."
     Pada lagu "Matahari", misalnya, Chrisye memasukkan gamelan. Lagu "Semusim" yang pada versi album 1977 dibawakan penyanyi Berlian Hutauruk, oleh Erwin digarap dengan menduetkan Chrisye dengan Waldjinah, superstar keroncong dari Solo itu.

Aura legenda

     Di mata Erwin, Chrisye saat itu sudah legenda. Oleh karena itu, Erwin menyiapkan album dengan standar produksi tinggi. Chrisye kemudian mengizinkan Erwin menggarap albumnya dengan orkestra besar. demi mengejar standar itu, Erwin melakukan proses mixing di Australia yang dianggapnya terbaik pada masa itu. "Album Chrisye harus dibuat dengan standar produksi tinggi karena kelas dia memang di situ. Chrisye harus dihargai, dia itu legenda."
     Selain album, Erwin dan Chrisye juga bekerja sama menggarap konser. Erwin telah tiga kali menyiapkan konser Chrisye, yaitu "sendiri" (1994), "Badai Pasti Berlalu" (2000), dan "Dekade" (2003). Kini setelah Chrisye tiada, Erwin diajak oleh yanti Noor (istri Chrisye) dan Jay Subiyakto untuk menyuguhkan konser "Kidung Abadi Chrisye" yang dipromotori Live Action.
     Erwin menyebut konser tersebut sebagai konser Chrisye yang keempat. "Kami menawarkan sesuatu yang baru, yaitu menghadirkan aura Chrisye di panggung," kata Erwin.
     Aura itu antara lain hadir lewat serpihan-serpihan suara Chrisye yang membentuk sebuah lagu. Chrisye seperti bernyanyi lagi, sementara Erwin Gutawa dengan orkestranya mengiringi dengan musik langsung.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 28 MARET 2012

Senin, 26 Maret 2012

Richard Mainaky: Pelatih Spesial Ganda Campuran

RICHARD MAINAKY  
Lahir: Ternate, 23 Januari 1965 
Istri: Meike P Mainaky
Anak: Maria Kartika Natalia
Pendidikan:
- SD, SMP, dan SMA Fransiskus, Ternate
Prestasi:
- Selama menjadi pelatih nasional, mengantar atlet bulutangkis nasional 
  meraih medali perak Olimpade Sidney (2000), Juara Dunia (2005,2007), 
  tujuh kali  meraih medali SEA Games, juara di sejumlah kejuaraan terbuka 
  internasional, serta juara All England 2012 dan Swiss

Di balik sukses seorang bintang, pasti ada karya orang lain. Demikian juga dengan keberhasilan pasangan ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, yang menjuarai turnamen bulu tangkis paling bergengsi, All England 2012. Hasil fantastis untuk pertama kalinya dalam 33 tahun terakhir ini tak lepas dari pelatih mereka, Richard Mainaky.

OLEH GATOT WIDAKDO

Tontowi Ahmad/Liliyana bukanlah pasangan pertama hasil polesan Richard yang berhasil menjuarai turnamen bergengsi. Ayah satu anak ini sudah menghasilkan beberapa pasangan juara yang mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional. Sebagai contoh, sebut saja ajang super series, kejuaraan Asia, bahkan kejuaraan dunia.
     Gengsi nomor ganda campuran pun ikut naik berkat peran besar Richard. Ganda campuran, yang sebelumnya tak diperhitungkan, dalam 10 tahun terakhir ini ternyata justru banyak menyumbangkan gelar dan sering menjadi penyelamat wajah Indonesia di turnamen internasional.
     Pasangan Tri Kusharyanto/Minarti Timur adalah pasangan pertama polesan Richard yang banyak menghasilkan gelar di turnamen internasional. Pasangan ini bahkan tampil mengejutkan di Olimpiade Sydney (2000) dengan tampil di partai final. Sayang, mereka hanya membawa pulang medali perak sebagai runner-up.
    Belum lagi era Tri Kus/Minarti berakhir, Richard sudah menyiapkan pemain pelapis yang bakal menjadi pemain andalan generasi berikutnya. Ketajaman insting Richard menyatukan pasangan Nova Widianto/Liliyana Natsir. Nova sebelumnya berpasangan dengan Vita Marissa, sedangkan Liliyana bermain di ganda putri, juga bersama Vita.
     Setelah Nova dan Liliyana dipersatukan, ternyata Richard berhasil menggali potensi pemain ini. Gelar juara pun banyak dihasilkan, termasuk gelar Juara Dunia (2005,2007) dan medali perak di Olimpiade Beijing (2008).
     Pertengahan tahun 2010, Richard membuat keputusan kontroversial. Dia melepas Nova dan menggantinya dengan pemain muda, Tontowi Ahmad. Keputusan ini awalnya disesali banyak pihak, termasuk sejumlah pengurus PBSI. Ini bisa dimaklumi karena saat itu Nova/Liliyana merupakan pemain peringkat pertama dunia. Mereka sering tampil sebagai juara, menyelamatkan muka PBSI.
     Akan tetapi, Richard tetap pada keputusannya. "Saya harus membuat transformasi. Nova usianya sudah 33 tahun, sedangkan Liliyana baru 26 tahun. Saya melihat kekuatan fisik Nova sudah mulai menurun. Karena itu, saya harus mendapatkan pemain yang bisa mengimbangi Liliyana," papar Richard.
     Perhitungan Richard tidak meleset. Liliyana kemudian dipasangkan dengan Tontowi yang berusia 23 tahun. Meski saat itu Tontowi masih termasuk pemain yunior, Richard bisa melihat potensi yang dimilikinya. Hasil manisnya pun sudah bisa dipetik di All England meski mereka belum genap dua tahun main bersama.

Kerja keras dan disiplin

     Menurut Richard, semua pencapaian ini didapat dari kerja keras dan sikap disiplin yang dia terapkan kepada pemain-pemainnya di Pelatnas Cipayung. Dia mengaku membentuk pemainnya dengan tangan besi. "Dalam melatih, hal yang saya tekankan adalah disiplin dan membentuk mental pemain. Mereka bukan cuma disiplin dalam latihan, melainkan dalam seluruh aspek kehidupan," tuturnya.
     Bagi Richard, sama seperti orang kebanyakan, atlet akan menjalani kehidupan dengan keras. Bahkan, untuk mejadi atlet kelas dunia, kehidupan keras saja tidak cukup, butuh disiplin tinggi dan perjuangan luar biasa. Keringat, darah, dan air mata. Awalnya, kata Richard, agak sulit buat pemain menerima metode latihannya. "Karakter anak sekarang agak berbeda. Mereka lebih manja dan kurang disiplin. Itu sebabnya saya harus keras kepada mereka. Namun, keras saja tidak cukup. Mereka harus terus-menerus dimotivasi agar tetap semangat dan ada kesadaran dalam diri mereka," katanya.
     Untuk urusan memotivasi, pria kelahiran Ternate (Maluku) ini cukup kreatif. Dari beberapa buku bacaannya, dia mengutip kalimat motivasi yang kemudian dia tulis di kertas karton, lalu dibingkai dan ditempel di dinding Pelatnas Cipayung.
     "Jadilah berani dan kekuatan besar akan datang membantu Anda". "Berfokuslah pada kekuatan bukan kelemahan". "Keterbatasan hanya ada dalam jiwa orang-orang yang tidak punya kemauan". Demikian beberapa kalimat yang ditempel di tembok Pelatnas Cipayung.
     "Saya memang sengaja menempel tulisan-tulisan itu agar selalu dibaca pemain seusai latihan. Saya ingin pemain saya punya impian besar dan bisa mewujudkan impian itu dari hasil kerja keras mereka," ungkap Richard.
     Berkarakter saat melatih, Richard pun disegani dan dihormati pemain. Bahkan, buat sejumlah pemain, seperti Liliyana, Richard seperti teman yang enak diajak bicara atau tempat menumpahkan keluhan.
     Ikatan emosional Richard dengan pemain yang dibinanya juga cukup kuat. Itu sebabnya dia tidak segan membela pemainnya jika diperlakukan tidak adil oleh pengurus PBSI atau wasit di lapangan saat bertanding. Karakternya yang keras kadang membuat emosinya sedikit tak terkontrol.
    Seperti pada ajang Indonesia Open 2010, Richard memprotes keras wasit saat pertandingan babak perdelapan final antara Greysia Polii/Tontowi melawan pemain Denmark, Thomas Layborn/Kamilla Rytter Juhl.
     Ia mengambil kok yang jatuh ke lapangan dan menunjukkan ke arah wasit. Richard protes bahwa bola saat itu jatuh di luar lapangan. Aksi Richard ini mendapat dukungan penonton yang meemadati Istora Senayan, Jakarta.
     Meski demikian, Richard tetap mengakui kesalahannya saat melakukan protes berlebihan kepada wasit. "Saat itu saya langsung minta maaf kepada wasit. Semua manusia bisa buat kesalahan. Saya pun bisa buat kesalahan. Intinya saya hanya bela atlet saya. Kasihan mereka sudah capek-capek latihan, kok (diperlakukan), seperti itu," ujarnya.
     Sikap emosional yang demikian diakui Richard, kadang sulit dibendung saat mendampingi pemainnya. Itu sebabnya, pada saat Tontowi/Liliyana tampil di All England, dia memilih tidak mendampingi. "Makanya, saya minta asisten saya Yati Kusmiati yang berangkat. Setiap mereka bertanding, saya hanya kirim pesan melalui Blackberry Messenger kepada Yati, apa yang mesti mereka lakukan. Rupanya, mereka berhasil juara," kata Richard sambil tertawa.
     Sebagai pelatih, Richard telah mencapai kesuksesan yang lebih besar ketimbang ketika menjadi pemain. Meski demikian, dia mengaku belum pernah merasa puas. Olimpiade London menjadi target terdekatnya.
     "Saya selalu percaya rahasia Tuhan. Dengan kerja keras, semua impian akan bisa diwujudkan. Saya tahu prestasi bulu tangkis kita sedang terpuruk, tetapi semua pemain punya kesempatan yang sama," kata Richard.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 27 MARET 2012

Maman Sulaiman: Rumah Pintar untuk Ciwidey

MAMAN SULAIMAN
Usia: 34 tahun
Istri: Ida Maryati (26)
Anak:
- Zahra (10)
- Zahwa (5)
Pendidikan:
- SD Cisandari 2, Kabupaten Bandung
- SMP Pasir jambu
- SMA Baleendah
- Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian
Pekerjaan:
- Karyawan Pusat Penelitian Teh dan Kina, Kecamatan Pasir Jambu, Bandung
- Mengelola Biota, kegiatan wisata alam di Ciwidey, outbound, perkemahan,
  dan sejenisnya

Lima tahun lalu saat Satoe Indonesia-lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi-masuk Ciwidey,, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, membawa program Rumah Pintar, nyaris tak ada warga yang menerima. warga menuding program Rumah Pintar hanya alat memolitisasi warga, yang lain menganggap ini dalih memasukkan aliran kepercayaan baru.

OLEH RENY SRI AYU

Hanya seorang warga yang menyambut program ini secara positif, Maman Sulaiman.Saat itu ia adalah Kepala Badan Permusyawaratan Desa Gambung, Kecamatan Pasir Jambu. Ia bahkan menjadi tameng dengan menjaminkan diri kepada warga desa untuk menerima program tersebut.
     Secara sederhana, Rumah Pintar (Rupin) adalah tempat belajar bagi siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.Komputer, bahasa Inggris, pengembangan bakat, seni, budaya, olahraga, hingga keterampilan dan wirausaha adalah sebagian yang bisa dipelajari di Rupin. Ini ditambah embel-embel gratis. Pengurus dan tutor Rupin dari warga setempat dibantu Satoe Indonesia.
     Kendati awalnya ditentang dan dicurigai, kerja keras Maman bersama Satoe Indonesia tak sia-sia. Lima tahun kemudian, Rupin mendapat "pengakuan" warga saat sejumlah pengurus Rupin yang sebelumnya diberi cap "anak nakal" berubah.
     Mereka yang dulu hanya suka nongkrong atau mabuk berubah menjadi inspirator dan motivator bagi warga. Para remaja ini menjadi motor penggerak ekonomi dan mengubah pola pikir warga untuk memanfaatkan potensi alamnya.
     Sekadar contoh, ada yang menjadi peternak lele sekaligus memproduksi abon lele. Ada pula yang beternak kelinci, menanam sayur sehat, dan memasarkan hingga toko swalayan. Bahkan, bersama warga desa, Maman menjalankan usaha wisata dengan menjadi pengelola kegiatan wisata alam dan outbound.
     Adapun siswa SD, SMP, dan SMA, yang sebelumnya hanya belajar di sekolah dan menghabiskan sisa waktu dengan bermain menjadi betah membaca di perpustakaan Rupin, belajar komputer, hingga erlatih tari, menyanyi, dan olahraga. Kerap anak-anak ini diundang tampil di Bandung dan Jakarta.
     Perubahan ini membuka mata warga sekaligus memupus kecurigaan terhadap aktivitas Rupin. tak sedikit orangtua, yang mengaku sulit membimbing anaknya, dengan sukarela "menyerahkan" anaknya kepada pengurus rupin untuk dibina.
     Bahkan, warga desa lain yang bertetangga dan belum punya Rupin mendatangi Maman dan meminta Rupin masuk desa mereka. Untuk sementara Maman mengakomodasi keinginan warga desa lain dengan sekali sepekan berkunjung ke desa-desa tersebut untuk mengajar sekaligus menyiapkan kader yang bisa mengurus Rupin.
     Pengakuan warga, antara lain, ditunjukkan dengan kalimat "ke Rupin aja" atau "sama pengurus Rupin aja", jika ada tamu di desa itu. Warga desa juga sukarela meminta pengurus Rupin mewakili mereka berbicara di berbagai forum atau menyerahkan kegiatan desa sampai kecamatan diurus Rupin.

Berawal dari keprihatinan

     Apa yang dilakukan Maman berawal dari keprihatinan melihat anak-anak di desanya menghabiskan waktu bermain sepanjang hari sepulang sekolah. sebagian remaja suko nongkrong dan minum-minum. Warga kurang memaksimalkan potensi alam di Kecamatan Pasir Jambu walau wilayah ini subur.
     "Ketika Satoe Indonesia menyampaikan maksud mereka, saya melihat ini peluang untuk berbuat bagi desa saya. Saat itu mereka punya program dan fasilitas, termasuk siap membangun rumah untuk Rupin. Kendalanya lokasi. Lalu warga desa dikumpulkan dan dijelaskan soal ini, sekaligus minta dipinjami lahan. Tetapi saya ditentang," cerita Maman. 
     Maman paham kondisi sosiologis warga desa dan menggunakan pendekatan personal. Satu per satu tokoh masyarakat dan agama dia kunjungi dan berbicara dari hati ke hati.
     Ia juga mendatangi Pusat Penelitian Teh dan Kina, tempatnya bekerja di Kecamatan Pasir Jambu, untuk minta dipinjami lahan. Pihak perusahaan luluh hingga dibangunlah Rupin di Desa Gambung, yang diberi nama Rupin Gambung.
     Namun, memasuki tahun kedua, satu per satu tutor dan pengurus mundur dengan alasan membantu keuangan keluarga. Tersisa hanya Maman dan satu pengurus lain. Pada saat yang sama ia menghadapi protes putrinya, yang merasa waktu Maman terkuras di Rupin, padahal tak mendapat gaji. Kondisi ini nyaris membuat keluarga Maman bubar. Beruntung sang istri kemudian memahami dan bahkan ikut membantu Rupin.
     "Saya lalu merekrut siswa SMA yang bisa mengajar siswa SD dan SMP. Saya minta izin orangtua mereka dan berjanji urusan sekolah tak akan terbengkalai. Saya minta mereka mengerjakan pekerjaan rumah di Rupin dan sisa waktunya mengajar. Saya pilih siswa SMA dengan pertimbangan, setidaknya kami aman hingga mereka tamat karena belum ada kewajiban mereka mencari uang. Regenerasi juga jalan dan ini berhasil hingga kini," ujar Maman.
     Menyadari Rupin juga menjadi solusi masalah ekonomi, Maman mengumpulkan warga desa untuk pelatihan kewirausahaan.  Upaya ini tak serta-merta berhasil karena mental "bekerja pada orang lain" sudah melekat.
     Maman paham harus ada contoh nyata untuk meyakinkan warga. Dia mengajak pengurus melakukannya. Satu per satu pengurus mulai membuat usaha kecil-kecilan, seperti beternak lele, beternak kelinci, dan menanam sayur. Dalam usaha ini, warga diikutkan sebagai pekerja tetap atau pun harian. Tujuannya, mereka bisa melihat dan belajar.
     Maman mendirikan Biota, usaha di sektor wisata alam. Mereka mengelola kegiatan wisata alam dan outbound dengan memanfaatkan keindahan alam Ciwidey. Warga desa diikutkan dalam kegiatan ini.
     Seorang warga desa lain, Riswati Wahyuni yang semula ikut di Rupin Gambung, dengan sukarela mendirikan Rupin di desanya, Desa Papakmanggu. Dia menjadi pengurus sekaligus tutor dan aktif di desanya. Riswati yang semula pedagang sayur di Pasar Induk Kabupaten Bandung menjadi pemasok sayur sehat ke 13 gerai toko swalayan di Jakarta.
     "Kami ingin membuka mata warga, potensi di desa ini bisa bernilai ekonomis jika dikelola dengan baik. Banyak orang berhasil, yang terpenting mereka sadar arti penting pendidikan dan mau belajar," katanya.
     Pengakuan atas keberhasilan Rupin tak hanya datang dari warga, HSBC Future First lewat HSBC Indonesia ikut mendukung program Rupin. Selain dana, secara rutin tim HSBC ikut membantu kegiatan mengajar dan memberikan pelatihan. Memang tak mudah mendapat kepercayaan dan pengakuan, sama tak mudahnya menjaga kepercayaan itu.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 26 MARET 2012

Selasa, 20 Maret 2012

Tontowi/Liliyana: Harapan Penjaga Tradisi di Olimpade

TONTOWI AHMAD
Lahir: Banyumas, 18 Juli 1987
Klub: PB Djarum

LILIYANA NATSIR
Lahir: Manado, 9 September 1985
Klub: PB Tangkas Alfamart

PRESTASI BERSAMA, ANTARA LAIN
- Juara GP Macau 2010
- "Runner-Up GP taiwan Open 2010
- Juara GP Macau Open 2011
- Juara GP Malaysia Open 2011
- "Runner-Up Indonesia Premier Super Series
- Juara SEA Games 2011
- Juara All England 2012
- Juara GP Swiss Open 2012

Hanya dalam sepekan, pebulu tangkis ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, meraih dua gelar juara. Setelah pekan lalu menjuarai turnamen bergengsi All England, akhir pekan ini mereka menjadi yang terbaik di Grand Prix Gold Swiss Terbuka.

OLEH GATOT WIDAKDO

Hasil ini menggembirakan sekaligus membanggakan di tengah terpuruknya prestasi olahraga Indonesia. Mereka bisa menjadi harapan sebagai penjaga tradisi meraih medali emas di Olimpiade London pertengahan tahun ini.
     Bagi Tontowi/Liliyana, akan menjadi sejarah jika mereka mampu juara di olimpiade. Mereka akan menjadi pemain ganda campuran Indonesia pertama yang meraih medali emas. Sejak olahraga bulu tangkis dipertandingkan di olimpiade pada tahun 1992 di Barcelona, medali emas di sumbang dari nomor tunggal putra dan putri serta ganda putra.
     Tradisi emas dimulai dari Alan Budi kusuma dan Susy Susanti yang juara di Olimpiade Barcelona tahun 1992; ganda putra Ricky Subagja/Rexy Mainaky di Atlanta (1996); ganda putra lewat pasangan Tony Gunawan/Candra Wijaya di Sidney, Australia (2000); pemain tunggal putra Taufik Hidayat di Athena, Yunani (2004); terakhir pemain ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan yang menyumbang emas untuk olimpiade Beijing, China, 2008.
     Mencermati penampilan Tontowi/Liliyana, pasangan yang belum genap dua tahun bermain bersama ini punya kapasitas untuk menjadi juara olimpiade. Keberhasilan mereka menjuarai All England merupakan momentum yang pas serta menjadi lompatan besar dan catatan sejarah buat mereka. Kemenangan ini bak penghapus dahaga gelar yang sudah tidak dinikmati pemain Indonesia sejak tahun 2003 pada ajang bergengsi yang sudah berusia 102 tahun tersebut.
     Bahkan, untuk di nomor ganda campuran, Tontowi/Liliyana merupakan pasangan pertama yang menjadi juara sejak tahun 1979. Artinya, setelah pasangan Christian Hadinata/Imelda Wiguna juara pada 33 tahun silam, baru Tontowi/Liliyana yang melanjutkan.

Prestisius

     Gelar juara di All England hampir sama prestisiusnya dengan menjadi juara olimpiade. Di olahraga tepok bulu, All England punya gengsi yang sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan olahraga tenis, All England seperti Wimbledon, turnamen yang memiliki karisma dengan tradisi dan sejarah yang panjang.
     Itu sebabnya buat pebulu tangkis dunia, prestasi mereka  seakan tak lengkap  jika belum mampu menjuarai turnamen All England. Hal ini pula yang dirasakan Taufik Hidayat dan pasangan Markis Kido/Hendra Setiawan. Meski sudah menjadi juara dunia, Asian Games dan olimpiade, mereka tak pernah mencicipi gelar All England.
     Ironisnya, pada saat mereka masih berupaya memenuhi rasa penasaran, justru Tontowi/Liliyana tampil sebagai juara pada final pertama mereka. Kemenangan di Swiss, Minggu (18/3) lalu, menjadi penegas bahwa mereka layak diperhitungkan.
     Meroketnya prestasi Tontowi/Liliyana sebenarnya tidak diperkirakan bakal secepat ini. Pelatih Richard Mainaky mengatakan, tidak mudah menyatukan pemain berbeda latar belakang itu.
     Liliyana merupakan salah satu pemain senior di pelatnas Cipayung. anak bungsu dari pasangan Beno Natsir dan Olly Maramis itu sejak duduk di sekolah dasar sudah bergabung dengan klub bulu tangkis Pisok, Manado. Pada 1997, saat berusia 12 tahun, Liliyana diterima masuk di PB Tangkas, Jakarta.
     Sebelum main bareng dengan Tontowi, Liliyana pernah bermain di nomor ganda putri di samping ganda campuran. Di ganda putri, pemain kelahiran Manado, Sulawesi Utara, itu pernah bermain bersama Eny Erlangga dan Vita Marissa. Sejumlah gelar didapat dari nomor ganda putri ini, seperti juara SEA Games, China Masters, dan Indonesia Open.
     Adapun di ganda campuran, Liliyana pernah berpasangan dengan Markis Kido dan Nova Widianto. Bersama Kido, mereka menjuarai Kejuaraan Asia Yunior (2002). Sementara bersama Nova,  prestasinya lebih tinggi lagi. Selain juara di beberapa turnamen super series, Liliyana/Nova juga menjadi juara dunia (2005 dan 2007) serta meraih medali perak di Olimpiade Beijing.
     Sementara di All England, keberuntungan belum didapat karena dari dua kali tembus ke final (2008 dan 2010), mereka selalu gagal juara. Perjalanan Liliyana/Nova pun selesai akhir tahun 2010 setelah pengurus Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) tidak memperpanjang kontrak Nova Widianto di pelatnas karena usianya sudah 33 tahun.

Tontowi Ahmad

     Di sisi lain, Tontowi merupakan salah satu pemain yunior di pelatnas Cipayung. Pemain asal klub PB Djarum Kudus ini masih menjadi pemain pelapis seniornya. Tontowi pernah dicoba main ganda putra bersama Muhammad Rijal. Namun, kiprahnya di ganda putra cuma sebentar karena akhirnya dia difokuskan untuk main di ganda campuran.
     Pemain kelahiran Banyumas ini kemudian dipasangkan dengan Shendy Puspa dan meraih gelar di GP Vietnam tahun 2008. Namun, kiprahnya dengan Shendy tak berlangsung lama karena dia kemudian dipasangkan dengan Richi Puspita Dili. Nama Tontowi belum juga bersinar karena tak ada gelar prestisius yang diraihnya.
     Di tengah situasi seperti itu, Liliyana dan Tontowi kemudian dipersatukan. Namun, buat Tontowi mendapat tandem yang sarat pengalaman seperti Liliyana bukan perkara mudah. Dia sering kali merasa minder dan tak percaya diri.
     "Bagaimana tidak minder, Liliyana itu juara dunia dan dia pemain senior. Namun, untungnya situasi ini bisa saya atasi. Liliyana juga banyak membantu memotivasi saya," kata Tontowi.
     Liliyana juga mengaku awalnya tidak mudah ketika dipersatukan dengan Tontowi."Dia itu kurang percaya diri. Namun, saya bisa memahami karena sebenarnya situasi yang dia alami hampir sama ketika saya harus dipasangkan dengan Nova," ujarnya.
     Komunikasi yang baik ini pula yang akhirnya membuat adaptasi mereka menjadi cepat. Tontowi perlahan bisa mengimbangi permainan Liliyana. Hasilnya, pada tahun pertama mereka mampu membuat kejutan dengan tampil sebagai juara di GP Indonesia Open 2010, India Super Series 2011, dan Singapura Open 2011. tahun ini mereka lebih mencengangkan dengan tampil sebagai juara di All England dan Swiss Open.
     Hasil ini semestinya menjadi modal yang bagus menuju olimpiade. Sekarang tinggal bagaimana mereka menjaga konsistensi permainan. Perjuangan mempertahankan tradisi emas olimpiade kini berada di pundak mereka. Saat ini keduanya merupakan pemain Indonesia dengan peringkat dunia tertinggi, yaitu peringkat empat dunia.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 20 MARET 2012

Senin, 19 Maret 2012

Abdul Muhyi: Si Penyambung Lidah Petani Selong

ABDUL MUHYI
Lahir: Kelurahan Kelayu Selatan, Kecamatan Selong, Lombok Timur, tahun 1943
Istri: Inak Zan
Anak: 7 orang
Pendidikan:
- SD lulus tahun 1960
- Madrasah tsanawiyah (tak tamat)

Daripada sebagai petani, Abdul Muhyi lebih populer sebagai "pekasih", petugas yang bertanggung jawab mengatur dan memantau distribusi air irigasi untuk lahan sawah di Lombok Nusa Tenggara Barat. "Pekasih" ini berada di bawah Subak, organisasi pengelola air irigasi yang beranggotakan para petani.

OLEH CHAERUL ANWAR

Kepopuleran Amak Zan, begitu panggilan Abdul Muhyi, lebih karena kinerjanya melayani kepentingan petani. Dia dinilai tegas menyelesaikan sengketa kebutuhan air antaranggota. Ia juga rajin memonitor kondisi jaringan irigasi sepanjang tiga kilometer, dan membersihkan sampah yang menghalangi aliran air ke areal sawah warga seluas 114 hektar.
     Tugas Muhyi, warga Lingkungan Kokok Lauk II, Kelurahan Kelayu Selatan, Kecamatan Selong, Lombok Timur, ini kian berat pada musim kemarau, yakni ektika debit air cenderung menyusut, padahal air untuk sawah petani tetap diperlukan.
     Dalam kondisi seperti itu, ia biasa pulang larut malam, bahkan sering harus menginap di bale-bale sawahnya. Pertimbangannya, begitu ada gelagat konflik, dia harus cepat turun tangan menyelesaikannya.
     Ia tak segan-segan meminta tambahan jatah air kepada Dinas Pekerjaan Umum Bidang Pengairan Lombok Timur karena jatah yang diberikan belum cukup untuk mengairi sawah di tempat tugasnya. Ia baru beranjak dari kantor itu bila pihak dinas menjamin permintaannya diterima.
     Lantaran bergelut dengan air dan sawah selama 22 tahun, Muhyi hafal riwayat kepemilikan tanah di wilayah tugasnya. bahkan, pihak kelurahan selalu melibatkan dia sebagai "konsultan" bila ada sengketa dan proses jual beli tanah. Dinas Pendapatan Lombok Timur pun menunjuk dia selaku pemungut pajak tanah sawah di wilayah tugasnya.
     Tak salah bila 250 anggota Kelompok Tani Beruk Mekar I yang diketuainya menyebut Muhyi sebagai "penyambung lidah" mereka. Berkat peran Muhyi pula, kelompok tani tersebut mengukir prestasi.
     Tahun 2010 Kelompok Tani Beruk Mekar I menjadi juara pertama Lomba Kelompok tani menyambut Hari Pangan Sedunia yang dipusatkan di Kota Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat. Sebelumnya, kelompok itu meraih juara ketiga pada Lomba Petani Pemakai Air Kabupaten Lombok Timur.
     Dari berbagai tugas yang diembannya, Muhyi menapat imbalan suwinih (upah) Rp 100.000 per hektar setahun.
     "Dulu, suwinih dalam bentuk barang (hasil tanam). Tetapi, biar kami gampang menghitungnya lalu diganti dalam bentuk uang," kata Muhyi yang memiliki sawah seluas 1,4 hektar.
     Ketulusan hati mengemban aspirasi banyak orang yang mendorong Muhyi tetap bersedia menjadi pekasih. "Masa jabatan seorang pekasih itu biasanya tiga tahun. Tetapi, setiap kali ada pemilihan pekasih, saya terus yang dipilih warga," cerita Muhyi yang sebenarnya berniat mundur sebagai pekasih, tetapi selalu ditolak anggota kelompok tani tersebut.

Menghindari konflik

     Kepercayaan warga yang telah memilih dia sebagai pekasih dijawab Muhyi dengan bekerja semaksimal mungkin. Dia selalu  berusaha mengayomi para petani dan berhasil menyelesaikan persoalan di antara warga secara damai.
     Contohnya, suatu hari sekitar pukul 01.00, Muhyi mendaat laporan dari seorang warga, ebut saja namanya si A. Muhyi langsung menuju lokasi pertengkaran karena ingin mengetahi duduk persoalan yang sebenarnya.
     A mengadu kepada Muhyi bahwa jatah airnya telah diserobot warga lain, sebut saja si B. Dalam pengaduannya, A menyebut B telah membendung saluran.
     Rupanya, petak sawah kedua petani itu bersebelahan. Sawah A berada di bagian hilir, sedangkan sawah B di bagian hulu. Oleh karena B membendung saluran, air yang semestinya mengalir ke sawah A terhenti di sawah B. Padahal, sesuai jadwal saat itu, seharusnya si A yang mendapat jatah air lebih dahulu.
     Namun, berdasarkan pengakuan B, dia berinisiatif mengalihkan aliran air karena air itu menjadi terbuang percuma jika dibiarkan terus mengalir tanpa tujuan. Ketika proses pengalihan air tengah berjalan, datanglah A yang kemudian beradu mulut dengan B.
     Akhirnya disepakati, B diijinkan mengalirkan air sampai selesai, setelah itu giliran A yang memiliki jatah air. Tidak lupa Muhyi mengingatkan agar B tak lagi mengulangi perbuatannya. Sebab apa yang dilakukan B bisa dikategorikan mencuri air.
     "Sanksi untuk pencurian air itu, si pelaku tidak kebagian air dalam sekali musim tanam. A lalu saya nasihati supaya berdisiplin. Dia harus datang di saluran tepat waktu untuk mengalirkan air ke sawahnya. kalau tidak begitu, orang lain akan memanfaatkannya," cerita Muhyi.
     Mencari solusi terbaik dan obyektif, ditambah sikap berpikir positif, ditunjukkan Muhyi saat mengajak anggotanya bergotong royong memperbaiki bendungan irigasi yang ambruk di desa lain. Anggotanya sempat protes karena mereka enggan mencampuri urusan orang lain.
     "Niat kita membantu mereka, setiap niat baik itu pasti ada imbal baliknya," kata Muhyi berargumentasi.
     Apalagi, kelompok tani yang diketuainya pun bergantung pada bendungan tersebut. Ini mengingat jalur ke areal irigasi Kokok Lauk dipasok juga dari bendungan itu.
     "Saya bilang kepada anggota, kelak bila ada kesulitan, kita tidak segan meminta bantuan mereka," tuturnya.

Semangat bersama

     Muhyi bertugas sebagai pekasih resminya tahun 1991, setelah menjadi pembantu pekasih selama setahun (1990). Tugas pekasih sebelumnya dipegang Amak Maslahah. Muhyi menjadi pekasih setelah melewati proses pemilihan.
     "Karena mereka memilih saya, segala persoalan air lalu menjadi tugas saya untuk menyelesaikannya. Saya bilang kepada anggota, mari kita bicarakan persoalan secara terbuka, jangan main hakim sendiri. Semua orang tunduk pada aturan  dan semangat kepentingan bersama harus didahulukan," cerita Muhyi tentang bagaimana dia berusaha memberi pemahaman kepada para pemilihnya.
     Ia lalu membuat awik-awik (aturan) yang disepakati semua anggota Subak. Aturan itu antara lain menyebutkan, petani mau bergotong royong menyumbang tenaga dan materi untuk memperbaiki jaringan irigasi yang rusak. Disebutkan pula, jika terbukti mencuri air, petani harus diberi sanksi berupa tak mendapatkan jatah air sekali musim tanam.
     Ketegasan Muhyi kerap mendapat ujian dari oknum petani yang mencoba menyogoknya. Hal itu misalnya seorang petani mau memberi Muhyi uang agar bisa memilih hari dan jam tertentu untuk jatah airnya. hal itu berarti dia mesti menggeser nama petani lain yang semestinya mendapat giliran itu.
   Muhyi berusaha menolak permintaan itu secara halus. Dia tidak ingin "menjerat" dirinya sendiri dan membuka jalan bagi petani untuk "membudayakan" permainan uang.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 19 MARET 2012

Kamis, 15 Maret 2012

Tirta Nursari: Mengelola Warung Pasinaon

TIRTA NURSARI
Lahir: Brebes, Jawa Tengah, 7 Maret 1973
Suami: Hermawan budi Sentosa (45)
Anak:
- Zavier Raihan Aaf (10)
- Taj Abbad Abdullah (6)
Pendidikan: D-3 Ekonomi Akademi Perdagangan Tjendekia Puruhita, Semarang, 1995  
Penghargaan:
- Juara I Manajemen Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Jawa Tengah, 2009
- Juara I TBM Kreatif Tingkat Nasional, 2011

Ada apa saja di Warung Pasinaon? "Semuanya ada. Mau minta apa saja di sini, kalau dapat memenuhinya, akan kami penuhi. Makanya, kami menamai tempat ini warung. Bedanya, ini warung untuk siapa saja belajar banyak hal," kata Tirta Nursari menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

OLEH AMANDA PUTRI NUGRAHANTI

Tirta Nursari adalah pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Warung Pasinaon di Desa Bergas Lor, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Diberi nama warung agar banyak orang tertarik datang ke tempat itu dan pulang dengan "kenyang" ilmu pengetahuan. Sedangkan "pasinaon" dalam bahasa Jawa berarti pembelajaran. Siapa saja yang ingin belajar boleh datang ke warung ini.
     Berawal tahun 2007, Tirta melihat banyak anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya kurang mendapat perhatian orangtua. Sejak daerah itu tumbuh menjadi kawasan industri, sebagian besar warga bekerja sebagai buruh pabrik, terutama kaum perempuan.
     Waktu seorang ibu berada di rumah justru minim. Para ibu pergi bekerja pagi dan pulang pada malam hari. Peran mereka di sektor domestik digantikan kaum bapak. Anak-anak yang kurang mendapat perhatian, pergaulannya pun tak terkontrol. Beberapa anak bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
     Kondisi tersebut membuat Tirta memutuskan berhenti mengelola lembaga bimbingan belajar (bimbel) miliknya. Alasannya, pengelolaan bimbel yang profesional tak mampu menjangkau anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu.
     "Saya putuskan bergerak di bidang sosial saja supaya anak-anak itu bisa memiliki tempat belajar. Saat itu saya membayangkan, anak-anak butuh tempat untuk menyalurkan energi mereka dengan hal-hal yang positif," kata Tirta yang kemudian membuka bimbel Bahasa Inggris gratis untuk anak-anak.
     Keberadaan bimbel bahasa Inggris itu ditawarkannya kepada warga lewat pengumuman di masjid. Proses pembelajaran pun dimulai di masjid. Berawal dari 14 anak yang tertarik mengikuti bimbel, dalam tempo sebulan, jumlahnya bertambah menjadi 40 orang.
     Namun, sebagian warga merasa terganggu dengan keberadaan bimbel tersebut. Saat itu Tirta tinggal di rumah orang tuanya di Desa Talun, Kecamatan Bergas. Jadilah proses belajar-mengajar dilakukan di rumah orangtuanya. Tirta menyertai bimbel itu dengan membuka perpustakaan dengan koleksi buku-bukunya sendiri.
     Meski kegiatan sosial tersebut sempat tidak disetujui sang ayah, saat Tirta mengadakan pengobatan gratis atas bantuan berbagai pihak, hati ayahnya pun luluh. Jadilah kegiatan belajar-mengajar ini dinamakan "TBM Warung Pasinaon". maksudnya, di mana saja dan siapa saja dapat mempelajari sesuatu dan berbagi dengan yang lain.
     "Anak-anak di kampung ini biasanya meminta sesuatu kepada orangtua mereka. Nah, kalau orangtua mereka terlalu sibuk, anak-anak bisa memintanya di tempat ini," ujar Tirta.
     Tahun 2009, Tirta dan suaminya Hermawan Budi Sentosa, bisa membangun rumah sendiri. TBM Warung Pasinaon pun pindah ke rumah mereka. Teras rumah menjadi ruang terbuka bagi siapa saja, dan dipenuhi rak dengan buku-buku yang dapat dipinjam siapa pun.
     Jumlah anak yang belajar di TBM Warung Pasinaon bisa mencapai 200 anak, dari usia taman kanak-kanak hingga SMA. Mereka umumnya datang setelah jam sekolah usai, sekitar pukul 12.30 dan berakhir hingga malam hari.

Merangkul kaum ibu

     Tak hanya anak-anak, tetapi kaum ibu pun belajar di TBM Warung Pasinaon. Mereka adalah ibu-ibu yang mengikuti program Keaksaraan Fungsional guna memberantas buta aksara. Tirta pun menggagas lahirnya sebuah media untuk para ibu agar mereka dapat terus mengasah kemampuan baca tulisnya.
     Kebetulan, kata Tirta, saat itu ada program dari Departemen Pendidikan Nasional (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk pembuatan Koran Ibu. Maka, Tirta dan sekelompok ibu membuat media berbentuk buletin dan menamainya Koran Ibu Pasinaon. Koran itu terbit setiap bulan dengan oplah 1.000 eksemplar dan disebarkan ke sekolah-sekolah ataupun komunitas ibu-ibu di Kabupaten Semarang.
     Sekitar 20 ibu yang sebelumnya buta huruf atau tak lancar baca tulis kini rajin membaca dan membuat tulisan untuk dimuat Koran Ibu Pasinaon. Dari tiap tulisan yang masuk, sebagian dipindai dan dimuat apa adanya, sebagian diedit dan diketik ulang.
     Isi koran itu adalah hal-hal yang dekat dengan kehidupan ibu-ibu, seperti tips kesehatan, resep masakan, dan persoalan kehidupan sehari-hari, misalnya kenaikan harga bahan pokok dan mahalnya biaya pendidikan.
     "Ibu-ibu memiliki pemikiran yang lebih terbuka. Pola pikir mereka pun berubah. Ibu-ibu memilih membaca buku daripada bergosip," kata Tirta.
     Sayang, karena biaya penerbitan setelah dua edisi ditanggung sendiri, koran tidak bisa terbit secara rutin. Kadang koran ini terbit dua bulan sekali, tergantung dananya. Dalam perjalanan, ternyata banyak pihak yang membantu hingga Koran Ibu Pasinaon bisa terbit hingga kini.

Percaya diri

     Sukses dengan Koran Ibu Pasinaon, TBM Warung Pasinaon mencoba menerbitkan media untuk anak-anak berjudul Ekspas singkatan Ekspresi Pasinaon. Penerbitan buletin ini juga diawali bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk penerbitan dua edisi.
     Ekspas berisi tulisan anak-anak yang aktif di TBM Warung Pasinaon. Mereka menulis pengalaman sehari-hari, kiat belajar dengan mudah, puisi, dan cerpen. Media itu juga memiliki tiras 1.000 eksemplar sekali terbit.
     "Sekarang yang menata grafis masih orang lain. Kami ingin semuanya dikerjakan anak-anak supaya betul-betul dari dan untuk anak. Beberapa anak sedang dilatih untuk menguasai program tata letak," ujarnya.
     Setelah mengikuti berbagai kegiatan di TBM Warung Pasinaon, anak-anak kian mandiri. Mereka yang sebelumnya tak yakin akan kemampuannya menjadi lebih percaya diri. Tirta mengatakan, anak-anak hanya membutuhkan ruang untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka.
     Oleh karena itu, Tirta tetap terbuka jika anak-anak meminta sesuatu, sepanjang hal itu baik dan memungkinkan dipenuhi. Ada anak yang minta berenang, misalnya, Tirta akan segera mengusahakan. Dia menghubungi teman-teman dan donatur untuk berpartisipasi membantu mewujudkan hal itu.
     "Ternyata masih banyak orang yang peduli. Saya yakin, kalau kita melakukan hal yang benar, selalu ada jalan terbuka untuk mewujudkannya," tuturnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 16 MARET 2012

Rabu, 14 Maret 2012

Adi W Gunawan: Teknologi Pikiran, Buku, dan Pendidikan

ADI W GUNAWAN
Lahir: Tarakan, Kalimantan Timur, 21 September 1968
Istri: Stephanie Rosaline Chandra
Anak:
- Dyah Ayu Kusumawardhani Gunawan (16)
- Dyah Ayu Kumalasari Gunawan (13)
- Dyah Ayu Permatasari Gunawan (11)
Pendidikan:
- S-1 Teknik Elektro Sekolah Tinggi Teknik Surabaya, Jawa Timur 
- S-2 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
- S-3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang
Pekerjaan, antara lain:
- Direktur dan Kepala Peneliti Adi W Gunawan Institute of Mind Technology 
  (2011-kini)
- Pelatih pada Quantum Life Transformation (2008-kini)
- Konsultan pendidikan 

Adi W Gunawan telah merampungkan tidak kurang dari 18 judul buku yang sebagian besar membahas tentang teknologi pikiran. Buku-buku karangan Adi umumnya laris pula di pasaran, terjual rata-rata lebih dari 6.000 eksemplar.

OLEH SUSIE BERINDRA

Meskipun mengakui tidak mudah menulis sebuah buku, pada saat-saat tertentu, Adi bisa menyelesaikan sebuah buku hanya dalam waktu sekitar tiga bulan. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Sebagian besar buku-buku karyanya yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, 15 judul di antaranya, termasuk yang terlaris.
     "Buku pertama saya berjudul Born to be a Genius. Isinya tentang solusi berbagai permasalahan terkait dengan nilai pendidikan anak-anak di sekolah. Dengan mengujicobakan gagasan yang ada di buku ini, orang tua akan memahami gaya belajar anak, membangkitkan potensi anak, dan akhirnya sadar bahwa anak Anda ternyata jenius," ungkap Adi.
     Setelah itu, buku-buku karya Adi pun mengalir, di antaranya berjudul Genius Learning Strategy, Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan?, Manage Your Mind for Success, dan Kesalahan Fatal dalam Mengejar impian.
     Kebanyakan buku-buku tersebut berisi tentang teknologi pikiran, hipnoterapi, dan pendidikan. Adi mengaku merasa nyaman jika menulis sesuatu yang memang dikuasainya benar. Bahkan, menguasai materi yang hendak dituliskan itu menjadi salah satu syarat bagi dia dalam menghasilkan buku.
     "Buku itu akan menarik jika kita mampu menyajikan tema yang dibahas dengan selengkapnya. Kalau kita tidak sungguh-sungguh menguasai masalahnya, akan langsung tampak dalam tulisan," katanya.
     Adi mengaku, dia pun harus menjadi praktisi di bidang yang ditulisnya, bukan sekadar menulis hasil studi literatur. "Jika kita ingin menulis tentang bagaimana meraih sukses, kita harus sukses dulu. Jika mau menulis buku bisnis, harus punya bisnis dulu dan berhasil. Isi buku akan lebih kaya dan menarik untuk dibaca," tutur Adi.
     Misalnya, buku berjudul Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian. Buku ini berisi kumpulan artikel yang merupakan hasil perenungan dan pencarian Adi belajar dari pengalaman pribadi ataupun pengalaman orang lain. "Sukses yang kita lihat bukanlah sesuatu yang bersifat instan. Sukses membutuhkan proses yang panjang dan berkelanjuan," kata Adi.
     Hal lain yang menurut dia penting bagi seorang penulis adalah disiplin diri. Setiap hari mengharuskan dirinya untuk menulis meskipun terkadang hanya menghasilkan beberapa lembar kertas.
     "Setiap orang punya mood menulis yang berbeda-beda. Bagi saya, waktu yang paling enak buat menulis adalah malam hari. Saat suasana hening, ide-ide saya mudah keluar. Ini membuat saya bisa menulis dengan cepat. kalau sudah begini, dalam sehari bisa menulis satu bab," katanya.

Teknologi pikiran

     Sebelum dikenal sebagai salah seorang penulis buku laris, Adi berprofesi sebagai hipnoterapis klinis. Dengan mempelajari teknologi pikiran, Adi mengetahui berbagai ilmu mengenai sifat-sifat pikiran, bentuk-bentuk pikiran, dan proses berpikir.
     Adi yang berlatar pendidikan teknik elektro mengaku tertarik dunia hipnoterapi sejak lulus kuliah dari Sekolah Tinggi Teknik Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, Adi membantu bisnis ayahnya yang tinggal di Tarakan, Kalimantan Timur.
     "Seharusnya, sebagai anak tertua, saya diminta meneruskan bisnis ayah saya. Tetapi saya ingin menjalani bisnis yang berbeda. Saat itulah, saya tertarik dengan dunia pikiran,"ujarnya.
     Pada 1993, Adi memutuskan belajar hipnoterapi dengan Silva Method di Surabaya. Silva Method merupakan teknik mengolah pikiran dengan relaksasi. Adi memperdalam pengetahuan dan kemampuan aplikasi praktis teknologi pikiran dengan mempelajari teknik peningkatan dan pemberdayaan potensi manusia, khususnya dalam bidang pendidikan, di The Accelerated Learning Institute and Training Centre, Las Vegas, Amerika Serikat, pada 2002. 
     Pada 2007, Adi memutuskan mendirikan Quantum Hypnosis Indonesia (QHI). Lembaga pendidikan ini merupakan wadah bagi siapa saja yang tertarik mendalami bidang hipnoterapi. Workshop pertama diselenggarakan pada Maret 2008. Saat itu, Adi telah mempunyai pengalaman memberikan terapi kepada pasien selama empat tahun. "Saya berpikir, seandainya ada minimal 10 orang yang mampu melakukan apa yang bisa saya lakukan, akan ada lebih banyak orang yang bisa kami bantu," katanya.
     Seiring berjalannya waktu, QHI telah mengajarkan peserta sampai 13 angkatan. Saat ini, Adi mempunyai program seratus jam hipnoterapi klinis dengan biaya Rp 40 juta. Murid QHI sudah mencapai ratusan orang. Bahkan, banyak murid yang juga membuka praktik hipnoterapi klinis.
     "Saya berusaha memperbarui materi pengajaran di kelas karena ilmu hipnoterapi terus berkembang," kata pengajar tunggal bagi murid-muridnya itu.

Beban sekolah

     Perhatiannya kepada pendidikan dimulai dari seringnya Adi mendengar keluhan siswa sekolah formal yang harus belajar dari pagi sampai sore hari. "Dari siswa SD sampai SMA suka mengeluh beratnya tugas belajar mereka. Ini pun masih ditambah dengan pekerjaan rumah," katanya.
     Jadilah pada 2004 bersama sang istri, Stephanie Rosaline Chandra, Adi mendirikan Sekolah Anugerah Pekerti yang melayani siswa playgroup sampai SMP. Dia lalu bercerita tentang cara mengajar di Sekolah Anugerah Pekerti yang berbeda dari sekolah pada umumnya.
     "Biasanya guru masuk kelas dan langsung mengajar, padahal belum tentu semua siswa sudah siap menerima pelajaran," katanya. Siswa dipersiapkan lewat cara yang dianggap bisa menarik konsentrasi mereka belajar. Misalnya, guru menarik perhatian siswa dengan bermain sulap atau mengajar dengan bercerita dan lewat permainan.
     "Guru juga bisa membuat jembatan keledai atau singkatan untuk membantu siswa dalam menghapal," kata Adi. Kata "mejikuhibiniu", misalnya, untuk menghafalkan urut-urutan spektrum pelangi (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu).
     Agar siswa berkembang maksimal, sekolah pun menjalin komunikasi dengan orangtua siswa."Minimal dua kali dalam setahun kami mengumpulkan para orangtua siswa untuk memberikan materi bagaimana membantu anak-anaknya belajar," kata Adi.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 13 MARET 2012

Minggu, 11 Maret 2012

Herlin Susilowati: Merengkuh Dunia dari Kursi Roda

HERLIN SUSILOWATI
Lahir: Madiun, Jawa Timur, 11 September 1979
Suami: Didit Juniawan (29)
Pendidikan:
- SDN Klegen 5 Kota Madiun
- SMPN 3 Kota Madiun
- SMAN 5 Kota Madiun

Tumpukan kertas bekas, cat air, dan kuas berserakan di meja di teras sebuah rumah di Gang Jati Subur, Jalan Imam Bonjol, Kota Madiun, Jawa Timur. Menempel  di samping meja seorang perempuan berkursi roda dengan posisi tangan sibuk menatah kulit sapi. Dialah Herlin Susilowati, perajin wayang kulit mini yang karyanya melanglang buana antara lain ke Amerika Serikat dan Perancis. 

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Sebagai perajin, Herli bangga karyanya diterima masyarakat. Apalagi kerajinan yang ditekuninya tergolong tak populer. Bahkan seni kerajinan ini cenderung ditinggalkan perajin karena dinilai kurang prospektif sebagai mesin uang.
     Kelesuan pasar wayang kulit itu melecut semangat Herlin melakukan inovasi produk agar pasar yang sebelumnya terbatas pada dalang dan pencinta seni wayang kulit bisa meluas. "Alhamdulillah, permintaan di sanggar kami terus mengalir. Semoga ini pertanda baik. Masih banyak orang tertarik dengan seni wayang kulit," katanya.
     Setiap hari Herlin menghasilkan 5-10 wayang kulit mini. Beragam tokoh cerita pewayangan dia ciptakan. Sebut beberapa yang populer, seperti Rama, Shinta, Arjuna, Srikandi, serta tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
     Dikatakan mini karena panjang wayang kulit karya Herlin seukuran kartu nama atau sekitar 10 sentimeter hingga setinggi penggaris mika (sekitar 30 sentimeter). Ukuran ini berbeda dengan wayang kulit biasa yang pajangnya hampir setengah badan orang dewasa. Setidaknya ada dua bentuk wayang yang ia tawarkan sebagai gantungan kunci dan wayang garanan.
     Wayang garanan berpenyangga kayu. Fungsi kayu untuk menancapkan di batang pisang agar mudah dimainkan sang dalang. Kayu juga digunakan untuk menggerakkan wayang sehingga pementasan menjadi atraktif karena tokoh yang diperankan seakan hidup.
     Herlin juga membuat wayang kertas, berbahan baku kertas bekas, karton, dan  kardus. Untuk endapatkan bahan bakunya, dia memanfaatkan limbah perajin wayang kulit dan kertas dari tukang loak.
     Dari kertas bekas yang dia beli Rp 3.000 per kilogram, ia menghasilkan 10 wayang kertas seharga Rp 100.000. Rata-rata wayang kertas karyanya dijual Rp 10.000 per tokoh dengan ukuran setinggi penggaris mika. Bisa dibayangkan nilai tambah yang diberikan Herlin pada kertas bekas tersebut.
     Namun, harga itu tak berlaku untuk wayang kulit mini karena bahan yang dipakai kulit asli sapi atau kambing. Harga wayang kulit mini kayanya Rp 30.000-Rp 100.000 perwayang tergantung dari besar kecilnya. Wayang yang berbentuk gantungan kunci harganya Rp 3.000-Rp 5.000 per wayang.
     Harga wayang buatan Herlin relatif tak mahal. Nominal itu bisa dikatakan tak sebanding dengan nilai kreativitas dan kerja kerasnya.
"Ini karena tujuan saya tak semata-mata uang, tetapi bagaimana melestarikan wayang di tengah arus modernisasi agar generasi muda khususnya tak asing dengan budayanya sendiri," kata Herlin yang belajar membuat kerajinan secara otodidak.

Menjual aksesori

     Meski harus bergerak dari kursi roda, ia tak rendah diri. Sikap itu tercermin dari kegigihan menapaki kehidupan dengan keterbatasannya. Putri pasangan Sujito (67) dan Suwarsini (50) ini mengalami kelumpuhan saat berusia 16 bulan karena serangan polio.
     Dia lumpuh pada kedua kakinya. Ini membuat Herlin tak bisa berjalan tanpa kursi roda. Untuk berpindah tempat, ia digendong ayahnya. Pun ketika Herlin bersekolah, mulai SD hingga SMA, Sujitolah yang menggendongnya setiap pergi dan pulang sekolah.
     Selama 12 tahun itu pula Herlin dengan sabar menghadapi cibiran sebagian temannya. Baginya, pandangan negatif yang didasarkan pada kekurangan fisik  menjadi cambuk untuk giat berusaha. Ketika masih pelajar SMA, bukannya rendah diri, Herlin malah berjualan aksesori di sela-sela waktu belajar.
     Semangat pantang menyerah juga ia perlihatkan saat lulus SMA tahun 2000. Dengan tegas ia menolak meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Alasannya, sang ayah sudah berusia lanjut. Ia tak tega membuat ayahnya harus menggendong dan mengantarkannya ke kampus. Penyuka seni lukis ini memilih berwirausaha untuk membangun masa depannya.
     Ide membuat wayang kulit mini muncul saat ia melihat potongan kulit sapi dan kambing terbuang setiap hari. Kulit hewan itu adalah isa  industri kerajinan wayang kulit yang ditekuni ayahnya. Sejak pensiun dari Dinas Pengairan Kabupaten Madiun, Sujito "banting setir" sebagai perajin wayang kulit untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
     Limbah kulit hewan itu dirangkai Herlin menjadi wayang kulit mini. Untuk mencuri perhatian pembeli, ia membubuhkan cat minyak dan cat air sebagai hiasan pada tokoh wayangnya. Dengan beragam hiasan itu, karakter tokoh yang ditampilkan semakin kuat.
     "Kesulitan saya biasanya sewaktu membuat detail seperti mata, hidung, mulut, dan gelungan rambut wayang. Karena media pahat dan media lukisnya kecil, tingkat kesulitan untuk menonjolkan detail juga tinggi.  Saya suka dikritik orang karena alis wayangnya kurang pas," ceritanya.
     Sampai kini, Herlin sering mendapat pesanan membuat wayang kulit mini untuk suvenir siswa berprestasi yang mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri. Di samping itu, sejumlah pengusaha juga memesan karyanya dan digunakan sebagai cendera mata. Jadilah wayang kulit mini karya Herlin sampai keluar Madiun, seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, bahkan Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat.
     Belakangan ini banyak wisatawan asing yang berkunjung ke rumahnya, melihat langsung proses pembuatan wayang kulit mini, lalu membeli sejumlah karya Herlin. Untuk memperluas pemasaran, Didit Juniawan, suami yang menikahinya pada 24 November 2010, turut berpromosi lewat jejaring sosial bekerja sama dengan biro perjalanan wisata.
     "Saya ingin membesarkan usaha ini. Bukan hanya karena bisa mengubah limbah menjadi rupiah dan setidaknya ikut melestarikan budaya bangsa Indonesia, tetapi usaha ini juga bisa membuka lapangan kerja," tambah Herlin.
     Dia berharap, lewat wayang kulit mini, terutama rekan-rekannya sesama penyandang cacat fisik punya kesempatan bekerja dan mandiri. "Penyandang cacat di negeri ini masih sulit mendapatkan pekerjaan. Kami tak diterima di sektor formal. Padahal, kami punya kemampuan yang hampir setara dengan orang biasa."
     "Saya ingin memperluas pemasaran dan memperkuat modal usaha biar bisa membuka lapangan kerja. Sampai sekarang saya masih berinovasi, berusaha memperbanyak varian produk, seperti wayang lukis kaca, wayang melamin, dan boneka dari kain perca," kata Herlin menegaskan tekadnya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 12 MARET 2012

Jumat, 09 Maret 2012

Wahudin: Tak Gentar Kembangkan Rumput Laut

WAHUDIN
Lahir: Indramayu, Jawa Barat, 4 April 1980
Istri: Wasiah (27)
Anak:
- Adinda Putri (6)
- Putri Azzatus Sholihah (7 bulan)
Penghargaan:
- Pemuda Pelopor Bidang Kelautan dan Kebaharian Jawa Barat, 2010
- Masyarakat Peduli terhadap Lingkungan Hidup (Balad Kuring) Jawa Barat, 
  2010  
- Penyuluh Perikanan Swadaya Jawa Barat, 2010
- Pemuda Pelopor Bidang Kelautan dan Kebaharian Kabupaten 
  Indramayu,2011

Jalan kampung itu berbatu dan berdebu. Di sepanjang jalan terlihat rumah-rumah nelayan yang sederhana, berupa bangunan semipermanen beralas tanah dan dinding dari anyaman bambu. Aroma kemiskinan menyeruak, bercampur antara debu jalan rusak dan bau amis ikan asin yang sepi pembeli.

OLEH RINI KUSTIASIH

Kemiskinan itulah yang selama ini mengusik Wahudin (31). warga Desa Cangkring, Kecamatan Cantigi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Pemuda lulusan SMA ini tak tahu bagaimana cara memperbaiki kondisi tersebut, sampai kesempatan datang enam tahun lalu.
     "Dulu saya nelayan dan tukang bikin jaring yang dijual kepada nelayan lainnya. Saya juga suka berkumpul dan aktif dalam kegiatan apa pun," kata Wahudin, yang kini menjadi salah satu pembudidaya rumput laut jenis Gracilaria di Indramayu. Sebanyak 30 orang menjadi anggota kelompok taninya dan satu per satu menyerap ilmu secara gratis dari dia.
     Wahudin menunjukkan petak-petak tambak yang dia kelola. Kami berboncengan dengan sepeda motor buatan tahun 1990-an. Jalan yang harus kami lintasi berupa pematang tambak yang licin dan berlumpur sehabis hujan, dengan lebar kurang dari 1 meter.
     "Saya biasa naik motor ini saat subuh, waktu hari masih gelap. Petambak lain datang ke sini sekitar pukul 07.00. Saya terbiasa mengecek lebih awal, siang banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakan," katanya.
     Sampai di petak yang dikelolanya, terlihat warna permukaan kolam kehijauan seperti dipenuhi lumut. Beberapa talus menonjol ke permukaan.
     "Ini tanda rumput laut sudah bisa dipanen," kata Wahudin sembari memasukkan tangan ke kolam dan menjumput beberapa talus. "Besok, kalau cuaca baik, saya akan memanennya."
     Dia memperhatikan kondisi rumput laut di tambaknya. Tak hanya sepetak, ia kini mengelola sekitar 10 hektar tambak. Tak satu pun dari tambak itu yang dia miliki. "Saya sewa rata-rata Rp 6 juta per hektar per tahun," katanya.
     Itulah, antara lain, yang membuat perih hatinya. Warga kampungnya malas mengelola sendiri lahan mereka. Dengan menyewakan lahan, mereka mendapatkan keuntungan instan. Khusus tambak yang ditanami rumput laut, pemilik lahan beruntung karena mereka tinggal menikmati perkembangan rumput laut di kolam setelah ditinggal penyewanya.
     "Pemilik lahan tak perlu susah payah mengembangkannya dari awal. Sekali bisa tumbuh, talus-talus rumput laut akan tumbuh terus tanpa perawatan macam-macam," katanya.
     Tantangan terberat adalah menumbuhkan bibit rumput laut di awal budidaya. Tak semua petambak telaten mengawasi tanamannya setiap hari, sebagaimana dilakukan Wahudin.
     Bahaya terbesar ialah lumut sutra yang jika dibiarkan tumbuh bisa menyelimuti rumput laut. Akibatnya, rumput laut tak bisa berkembang dan mati. Untuk mencegah hama itu tumbuh setiap sore Wahudin terjun ke kolam dan "mencuci" rumput laut.

Buah ketekunan

     Ketekunan itulah yang membuat Wahudin sukses mengelola rumput laut. Tahun 2006, dari 40 anggota Perhimpunan Petani Tambak Pantura (PPTP) Indramayu, ia yang oertama kali berhasil mengembangkan rumput laut. Saat itu, PPTP mendapatkan bantuan 1,5 ton bibit untuk dikembangkan di lahan 0,25 hektar.
     Dalam waktu tiga bulan, Wahudin memanen 350 ton rumput laut basah atau setara dengan 3,5 ton rumput laut kering. Selanjutnya, setiap 45 hari ia panen kembali. Sepanjang tahun itu panennya melimpah. Ia gembira bukan main. Begitu juga kalangan dinas setempat yang sejak 2003 mencoba membudidayakan rumput laut di Indramayu tetapi gagal. Keberhasilan ini menajdikan Cantigi sebagai sentra rumput laut.
     Wahudin lalu mengajari petambak lain. Yang pertama berhasil mengikuti jejak Wahudin ialah Kari (54), tetangganya yang semula membudidayakan bandeng dan udang windu. Pamor bandeng dan udang windu lama-kelamaan surut di Cantigi.
     Sejak pertengahan 1990-an, usaha uang windu yang dulu berjaya dan membawa kesejahteraan bagi petambak kian redup seiring dengan ganasnya virus yang mematikan udang petambak.
     Bandeng pernah menjadi gantungan hidup petambak. Namun, keuntungan dari beternak ikan ini minim dan baru bisa dirasakan ketika panen 5-6 bulan sekali.
     Keberhasilan Wahudin mengembangkan rumput laut seperti angin segar bagi warga pesisir. Apalagi harga rumput laut kering Rp 7.000 per kilogram, dengan hasil 3,5 ton, petambak bisa meraup Rp 24,5 juta sekali panen. dalam setahun, mereka bisa sampai lima kali panen.
     Memang jalan keberhasilan tak mulus. Sampai tahun 2008 budidaya rumput laut terkendala pasar. Rumput laut menumpuk di gudang. Petambak yang latah karena tertarik iming-iming untung besar segera patah semangat dan mematikan rumput laut setelah tahu komoditas itu tak laku. Sebagian orang menganggap ide mengembangkan rumput laut di Indramayu itu gila.
     Namun, Wahudin tak patah semangat. Dengan memanfaatkan koneksi dan jaringannya pada Dinas Perikanan dan Kelautan Jabar, ia menghubungi PT Agarindo, produsen agar-agar. Persoalan pasar pun terpecahkan. Jutaan rupiah setiap kali panen mengalir ke kolam-kolam Wahudin dan menghidupi 30 anggota kelompoknya. "Ini sungguh tak terduga," katanya.
     Rumput laut kembali dilirik. Dari tahun ke tahun luas tambak rumput laut di Indramayu bertambah. Hingga akhir Desember 2011, luas tambak rumput laut sekitar 485 hektar, tersebar di Kecamatan Cantigi (225 hektar), Pasekan (125 hektar), Indramayu (75 hektar), Sindang (25 hektar), Kandangharu (20 hektar), dan Losarang (15 hektar).
     Melihat perkembangan ini, rumput laut jadi harapan baru kesejahteraan warga pesisir pantai utara Jabar. Dalam acara panen raya rumput laut Januari lalu, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menjanjikan dana APBD Perubahan 2012 senilai Rp 2 miliar untuk pengembangannya.
     Ada juga kredit ringan Bank Jabar Banten dengan bunga 9 persen per tahun, lebih murah dibandingkan dengan bunga kredit usaha rakyat yang 14 persen.

Nasib nelayan

     Meski demikian, bukan itu yang dicari Wahudin. Ia tak kurang gelisah dibandingkan dengan enam tahun lalu saat mula-mula mengembangkan rumput laut.
      Kesejahteraan mungkin sudah di depan mata petambak, tetapi bagaimana nasib nelayan? "Bantuan itu untuk petambak yang punya lahan atau yang mampu menyewa lahan. Tapi bagaimana dengan nelayan yang tak bertanah (berlahan)? Setiap kali cuaca buruk mereka pasti tak dapat ikan, juga tak dapat bantuan modal,"  ujarnya menggugat.
     Wahudin lalu bercerita, sungai di depan rumahnya yang bermuara ke laut sejauh hampir 5 kilometer. "Saya terpikir untuk membuat jaring apung di kali itu biar bisa dimanfaatkan nelayan untuk memelihara  ikan kerapu dan kakap putih. Itu bisa menjadi usaha sampingan mereka saat paceklik ikan. Tetapi belum terpikir dari mana bibit dan biayanya," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 9 MARET 2012