Rabu, 25 April 2012

Suginep: Kader "Bandel" Posyandu

SUGINEP
Lahir: Desa Sokong, 23 Mei 1963
Suami: Raidep
Putra: Tri Ristiawan (10 tahun)
Orangtua: Basaman-Begianom
Pendidikan: SD, lulus tahun 1975;SMP, lulus tahun 1978

Berbagai program kesehatan dan keluarga berencana agaknya tidak bisa berjalan mulus tanpa kehadiran seorang kader pos pelayanan terpadu. Sejak ibu mengandung, memeriksakan kehamilannya ke petugas kesehatan, proses tumbuh kembang anak usia balita, hingga ibu memutuskan memasang alat kontrasepsi tidak luput dari kawalan para kader posyandu.

OLEH KHAERUL ANWAR

"Pendeknya kalau ada ibu hamil dan melahirkan perlu bantuan, kader harus siap mengantar ke puskesmas hingga menjemput kembali ke tempat tidur di rumahnya, baru kami bisa pulang," ujar Suginep, Kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Desa Sokong, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).
     Tugas-tugas itu tampaknya berat, tetapi Suginep menjalaninya dengan tulus, dan kehadirannya mendapat tanggapan dari kalangan ibu. "Saya dibutuhkan orang banyak dan saya ikhlas membantu," kata Suginep yang "berdinas" sejak tahun 1980 hingga saat ini.
    Keikhlasan menjalani tugas selama tiga dekade tampaknya dilatarbelakangi realitas sosial masyarakat kabupaten yang selagi bergabung dengan Kabupaten Lombok Barat seakan merepresentasikan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertinggalan.
     Jaraknya hanya sekitar 40 kilometer utara Mataram, ibukota NTB. Kabupaten ini bentang alamnya berbukit. Lokasi pemukiman penduduknya terpencar, minim sarana dan prasarana transportasi. Fasilitas dari tenaga kesehatan pun terbatas. Sementara kebiasaan masyarakat  yang kurang sejalan dengan perilaku hidup sehat melengkapi prasyarat keterbelakangan dan ketertinggalan daerah tersebut.
     Suginep mencoba memerangi persoalan itu lewat kesibukannya sebagai kader posyandu. Totalitas terhadap pekerjaannya itu diperlihatkan dengan kesungguhan membantu ibu hamil dan melahirkan. Hal itulah yang membuat pesan dan saran yang disampaikan Suginep mendapat respons positif dari masyarakat. "Para ibu kerap bertanya, kapan ada penimbangan, kok imunisasi bayi belum dilaksanakan," ucap Suginep tentang perubahan sikap para ibu di sana.

Dari hati ke hati

     Perkembangan itu jauh berbeda dengan 20-30 tahun silam saat para ibu cenderung pasif. Dua hari sebelum penimbangan dan imunisasi anak balita di posyandu berjalan, Suginep keliling kampung/dusun, berikut mengundang mereka lewat pengeras suara di masjid.
     "Kenyataannya, pada hari pelaksanaannya yangdatang cuma satu-dua orang," kata Suginep. Dia sering kali terpaksa menahan rasa jengkel mendengar celoteh para ibu, "Mereka bilang, 'sombong sekali kader itu, sudah dapat gaji, nyuruh orang ke posyandu lewat pengeras suara lagi'. Maunya, bila ada kegiatan di posyandu, mereka dijemput ke posyandu dan diantar pulang oleh kader," kenangnya.
     Perilaku kaum ibu tersebut dihadapinya dengan pendekatan "dari hati ke hati". Bahwa pekerjaannya itu dilakukan secara sukarela, sekaligus memotivasi para ibu untuk merawat kesehatannya sejak hamil, melahirkan, nifas, hingga menyusui bayi.
     Model pendekatan itu, di samping membikin para ibu proaktif, juga mengantarkan pedagang nasi bungkus ini mengoleksi beberapa penghargaan. Tahun 1987 dan 1997 Suginep meraih penghargaan dari Pemerintah Provinsi NTB sebagai Kader Pos Pembantu KB Desa. Tahun 1987 itu juga Suginep meraih juara I Kader PKK Teladan Provisi NTB dan juara II Lomba Bina Keluarga Balita tahun 1998.
     Di luar tugasnya sebagai kader, Suginep didaulat menjadi komandan peleton pertahanan sipil (hansip) tahun 1987. Kehadiran hansip perempuan merupakan bentuk keterlibatan perempuan dalam ketahanan lingkungan masyarakat. "Waktu itu anak buah saya 15 lelaki dan 15 perempuan," ujarnya.

Menangis

     Pekerjaan Suginep kini lebih ringan, yaitu melayani keperluan 138 ibu di tiga rukun tetangga Dusun Karangsobar, Desa Sokong, setelah desa ini dimekarkan tahun 2005 menjadi tiga desa, yaitu Desa Sokong (kini 9 dusun), Desa Meane (9 dusun), serta Desa Peniga (terdiri atas 5 dusun). Artinya, sebelum pemekaran ada 23 dusun di wilayah kerjanya yang disambangi secara bergilir.
     Suginep umumnya mendatangi dusun-dusun itu dengan berjalan kaki, naik sepeda motor, atau naik sepeda. Jalan-jalan dusun tersebut bergelombang, naik-turun, berdebu di musim kemarau, dan sangat becek di musim hujan.
     Sekali tempo Suginep dan seorang temannya perempuan) nyaris jatuh dari sepeda motor. Keduanya menumpang sepeda motor yang dikemudikan pengojek menuju Dusun Orongtengak, Desa Peniga. Mesin sepeda motor macet di tanjakan tajam, motor pun bergerak mundur. Secara refleks, Suginep dan rekannya meloncat dari kursi sepeda motor.
     Terkadang dia harus menginap di sebuah dusun untuk merekrut akseptor Keluarga Berencana baru dan melakukan deteksi dini status gizi anak balita di dusun terpencil. "Saya sering menangis sebab sudah menginap semalaman tidak satu pun ibu yang mau menjadi akseptor," ceritanya.
     Padahal, dalam melakukan penyuluhan itu, Suginep sudah mengobral "rayuan" dan menjaga tutur kata agar para ibu tidak "tersinggung". Pasalnya, ada dusun-dusun yang perempuannya tidak mau dipanggil inak ('ibu' dalam bahasa Sasak Lombok), tetapi lebih suka dipanggil ibu yang dianggap bergengsi ketimbang inak yang terkesan udik.
     Kali lain, sekitar pukul 02.00, Suginep mendapat laporan, ada ibu yang melahirkan di Dusun Orongtengak, Desa Peniga. Suginep segera melapor ke bidan puskesmas Tanjung, kemudian mereka menggunakan sepeda motor ke rumah si ibu tersebut.
     Mereka mendapati kondisi ibu itu sangat lemah. Bayinya ditidurkan beralaskan pelepah pohon sirih. Dini hari itu juga ibu dan bayinya ditandu beberapa warga dengan berjalan kaki dan tiba di puskesmas menjelang azan subuh.
     Belakangan diketahui, ibu itu melahirkan pukul 23.00. dan mertuanya melarang dia melahirkan di puskesmas. "Jadi keputusan di mana melahirkan, siapa yang menolong, bidan ataukah belian nganak ('dukun beranak' dalam bahasa Sasak Lombok) ada di tangan mertua, bukan suami," tutur Suginep.
     Lantaran peran dominan mertua, dalam kegiatan penyuluhan, pasangan suami-istri termasuk mertua merupakan obyek penyuluhan yang tidak bisa diabaikan. Namun, tidak jarang Suginep bersikap tegas, "mengabaikan" larangan mertua si ibu hamil yang proses persalinannya harus ditolong petugas kesehatan. Dalam kaitan itu, Suginep mengeluarkan uang pribadi untuk ongkos transportasi agar si ibu yang bersangkutan dibawa ke puskesmas.
     Sikap mau berkorban, pemahamannya tentang karakteristik, realitas sosial, dan budaya lokal di kalangan para kader posyandu membuat Suginep dijuluki kader "bandel". Ia dinilai tahan uji menghadapi tantangan di wilayah kerjanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 APRIL 2012

Kliwon: Pembuat Kaki Palsu Berharga Solidaritas

KLIWON
Lahir: 12 April 1966
Pendidikan:
- SD ! Milir, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun 
- SMPN Babat Ponorogo, Jawa Timur
Istri: Sumiati (40)
Anak:
- Reli Kusuma (19)
- Reni Krisnawati (12)
- Rizki (10)
- Rizka (7)

Tumpukan fiber, bedak putih, dan kertas pola berserakan di  bangku panjang di teras belakang sebuah rumah di Desa Milir, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Tepat di bawah bangku, seorang lelaki dengan kaki kiri sebatas paha sibuk mengaduk adonan. Dialah Kliwon, pria dengan tujuh jari tangan yang membuat kaki palsu bagi penyandang cacat dengan harga solidaritas.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Kaki palsu bagi penyandang cacat bagaikan lentera kehidupan. Fungsinya tak sekadar menggantikan organ yang hilang, tetapi juga menjadi penentu masa depan. Hanya dengan menggunakan kaki palsu, mereka bisa beraktivitas layaknya manusia berfisik sempurna.
     Dengan kaki palsu, mereka lebih mudah membaur di tengah masyarakat. Aktivitas mereka menjadi lincah dibandingkan dengan menggunakan penyangga tongkat atau duduk di kursi roda. Pekerjaan juga lebih mudah diraih dengan kaki buatan walaupun itu "hanya" sebagai kuli angkut, kuli bangunan, atau menggarap sawah.
     Sayangnya, di negeri ini baru sebagian kecil penyandang cacat yang maampu menjangkau harga kaki palsu. Di toko alat kesehatan, apotek, dan rumah sakit, harga kaki palsu mencapai puluhan juta rupiah. Belinya pun harus tunai. Lembaga pembiayaan perbankan ataupun non perbankan enggan membuka fasilitas kredit untuk konsumen kaki palsu.
     Ironi itulah yang mendorong Kliwon membuka usaha pembuatan kaki palsu di rumah. Walaupun modal kerja pas-pasan dengan bengkel seadanya, ia tak patah semangat. Di tempat seluas tak lebih dari 3 x 6 meter, yang diapit dapur dan kamar mandi itu, Kliwon menempa diri menjadi pembuat kaki palsu sekaligus pekerja sosial.
     Ia mengandalkan bahan serat fiber yang dikombinaikan dengan bahan lain. Sebelum memulai proses, ia mengukur kebutuhan konsumen. Setelah itu ia membuat pola, menyiapkan bahan, baru memprosesnya. Sebelum diserahkan kepada konsumen, kaki palsu dipoles dengan sentuhan estetika.
     Menekuni usaha ini sejak tahun 2005, ratusan karya dihasilkannya. Dalm sehari ia mampu membuat 2-5 kaki palsu. Ia dibantu dua orang, salah satunya penyandang cacat seperti dirinya.
     Pembeli kaki palsu buatan Kliwon tak terbatas di Jawa Timur. Ia juga mendapat pesanan dari Sulawesi dan Kalimantan. Pria yang orangtuanya meninggal sejak dia berusia tiga bulan ini tak hanya menghasilkan kaki palsu fungsional, tetapi juga kaki yang nyaman dan indah bentuknya.
     "Kaki yang fungsional itu yang penting bisa dipakai jalan meski kenyamanannya kurang. Kalau kita mau nyaman, bahannya harus yang lebih bagus. Bahannya berbeda lagi buat mereka yang ingin ada keindahannya," ujarnya.
     Sebagai perajin, Kliwon harus mewadahi keinginan konsumen yang beragam. Lazimnya, kaki palsu berwarna seperti kulit, tetapi ada pula konsumen yang ingin kaki palsu dengan aneka motif, seperti motif tato dan batik.
     Bicara tentang harga, ia tak hanya memperhatikan bahan, tetapi juga ukuran. Dunia kaki palsu mengenal dua ukuran standar, di bawah lutut dan di atas lutut.
     Harga kaki palsu di bawah lutut lebih murah, Rp 500.000 hingga Rp 6 juta. Selain bahan yang dibutuhkan lebih sedikit, kaki  di bawah lutut juga tak perlu lutut buatan. Lutut buatan berbahan besi dan dirancang dengan fungsi mirip engsel lutut yang bisa ditekuk dan diluruskan.
     Harga kaki palsu di atas lutut mulai dari Rp 7,5 juta. Di toko, apotek, dan rumah sakit, harga kaki palsu itu Rp 5 juta-Rp 30 juta.

Bisa kredit

     Harga kaki palsu buatan Kliwon pun fleksibel. Harga itu bisa ditawar dengan pertimbangan kemampuan ekonomi dan tingkat kebutuhan pembeli. Sering kali hatinyalah yang menentukan harga. Itu karena ia bersimpati pada ketidakberdayaan konsumen.
     "Saya tahu rasanya menjadi orang cacat dan miskin karena saya mengalami keduanya. Itulah kenapa saya sering tak tega melihat mereka. Asalkan cukup untuk mengganti biaya bahan baku, ya, saya suruh bawa," kata penyandang cacat bawaan ini.
     Kliwon juga memberikan fasilitas pembayaran secara kredit meski ia sendiri kesulitan modal. Besar nilai kredit tak dibatasi. Konsumen pun bisa mengangsur sesuai kemampuan. Modalnya hanya rasa percaya dan berpikir positif, tak ada agunan.
     "Alhamdulillah, pelanggan yang mengkredit tak ada yang macet, paling waktu membayarnya molor. Namanya juga rezeki, sulit ditebak. Biasanya mereka kasih kabar kalau belum bisa bayar dan minta waktu lagi," ujarnya.
     Untuk menyiasati minimnya modal usaha, ia menerapkan manajemen subsidi silang. Keuntungan dari penjualan kaki palsu kepada orang mampu ia sisihkan untuk menyubsidi pembuatan kaki palsu penyandang cacat yang miskin. Ia hanya mengambil uang untuk "belanja dapur" keluarganya.
     Kliwon menyelami betul kesulitan ekonomi penyandang cacat. Alih-alih membeli kaki palsu, bisa mencukupi kebutuhan makan saja sudah bagus.
     Kebanyakan penyandang cacat bawaan (sejak lahir) ataupun cacat karena kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja sulit mendapat pekerjaan tetap. Dunia kerja, apalagi sektor formal, jarang yang mau memberikan ruang kepada mereka.
    Ketika lulus SMP, Kliwon sulit mencari kerja. Ia menjadi preman untuk menyambung hidup. Beruntung Tuhan membimbingnya kembali. Tuhan juga mencarikan sumber ekonomi yang halal.
     Bermula dari keinginan Kliwon memiliki kaki palsu agar bisa bekerja, bungsu dari dua bersaudara ini pergi ke Ambarawa, Jawa Tengah. Dia bertemu pembuat kaki palsu yang mau membocorkan ilmunya. Sesampainya di rumah, ilmu itu ia terapkan untuk membantu penyandang cacat di sekitarnya.
     Orang-orang yang dibantu Kliwon inilah yang lalu menyebarkan berita tentang kepiawaiannya membuat kaki palsu. Dari mulut ke mulut, kabar itu menyebar sampai jauh.

Kendala

     Walaupun hasil kerjanya diterima masyarakat, Kliwon merasa karyanya belum maksimal. Salah satu sebabnya adalah keterbatasan peralatan. Hampir 90 persen pengerjaan kaki palsu itu menggunakan cara manual dengan peralatan seadanya.
     Ia ingin membeli peralatan yang canggih agar kualitas karyanya lebih bagus. Kalaupun tak ada bantuan modal yang diberikan cuma-cuma untuknya, Kliwon ingin mendapat pinjaman dengan bunga. Syaratnya, bunga pinjaman tak komersial dan tanpa agunan. "Saya tak punya agunan," ujarnya.
      Ia ingin menggunakan bantuan modal sebagai pijakan awal untuk mengaryakan rekan sesama penyandang cacat. Alasannya, tak banyak pilihan kerja yang bisa mereka geluti, kecuali membuka lapangan kerja sendiri untuk merajut masa depan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 25 APRIL 2012

Senin, 23 April 2012

Rosarita Niken Widiastuti: Menyapa Rakyat, Merawat Tanah Air

ROSARITA NIKEN WIDIASTUTI
Lahir: Yogyakarta, 30 Oktober 1960
Pekerjaan: Direktur Utama Radio Republik Indonesia
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Sosiatri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah
  Mada, 1984
- S-2 Jurusan Sosiologi Komunikasi Fisipol UGM, 2004
Suami: Ir W Priyosembodo (55)
Anak:
- C Rahadian Pradana Swangga (24)
- V Nitya Wikaniswara (20)
-  Y Sista Wikaniswara (18)

Dalam sejarah Radio Republik indonesia, Rosarita Niken Widiastuti tercatat sebagai perempuan pertama yang menjadi direktur utama lembaga penyiaran itu. Niken bersama seluruh angkasawan RRI setia menyapa rakyat di berbagai pelosok negeri setiap hari.

OLEH CHRIS PUDJIASTUTI & FRANS SARTONO

Rosarita Niken Widiastuti rupanya kukuh benar memegang semboyan RRI: "Sekali di udara tetap di udara". Ia rela tinggal terpisah dengan keluarga demi RRI yang telah 30 tahun menjadi bagian dari hidupnya.
     Suami dan anak bungsunya tinggal di Yogyakarta, kota asal Niken dan suami. Anak sulungnya bekerja di Palu, Sulawesi Tengah. Anak keduanya kuliah di Bandung, Jawa Barat. Sedangkan Niken berada di Jakarta. Karena itulah, setiap akhir pekan Niken kembali ke Yogyakarta.
     Keterpisahan ruang bukan masalah bagi seorang angkasawan seperti Niken karena siaran RRI dengan 77 stasiun radio yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia menjangkau berbagai wilayah negeri ini.
     Bukankah tekad menyapa rakyat itu terucap setiap hari dalam pembuka siaran,   ".....Saudara pendengar di seluruh Nusantara atau di mana pun suara kami dapat ditangkap...."
     Itulah yang dilakukan  Niken bersama angkasawan RRI. Bermarkas di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, RRI berusaha merengkuh pendengar hingga ke pulau-pulau terpencil yang boleh jadi belum pernah dijamah orang-orang penting di Jakarta.
     RRI, misalnya, melayani pendengar di Tahuna. Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Sekitar 100.000 warga Tahuna menjadikan radio tak sekadar media massa, tetapi juga sarana komunikasi personal. Warga Tahuna mengudarakan kebutuhan mereka akan semen lewat RRI. lalu, pemasok di Manado mengabarkan pengapalan semen melalui RRI pula.
     "Dari Tahuna ke wilayah Filipina hanya perlu sekitar satu jam dengan speedboat, sedangkan ke Manado bisa sampai sembilan jam," katanya.
     Sedangkan di Pulau Sebatik, Kalimantan Timur, yang berbatasan dengan Malaysia, RRI lebih banyak mengudarakan informasi yang berkaitan dengan rasa kebangsaan. RRI mengudarakan lagu-lagu perjuangan untuk menumbuhkan rasa cinta Indonesia.
     Pasalnya, warga di Sebatik bisa menangkap siaran radio dari Malaysia dengan jelas. Kekuatan pemancar radio Malaysia bisa 25-40 kilowatt, cukup penetratif menjangkau telinga warga di perbatasan itu.
     "Kalau RRI tidak gencar, lalu bagaimana kita bisa menyalahkan warga kalau mereka tidak paham Pancasila, tidak tahu presidennya? apalagi berbagai kebutuhan sehari-hari warga pun praktis tersedia dari Malaysia," cerita Niken.

Sabuk pengaman

     Tak hanya melayani pendengar lewat udara, demi rasa kebangsaan, RRI pun mengadakan berbagai acara di luar studio. RRI mengadakan lomba menghafal Pancasila dan lomba menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan hadiah radio transistor dan bendera Merah Putih.
    "RRI itu bisa dibilang sabuk pengaman informasi di perbatasan. Ibaratnya, kalau patok tanah dipindahkan negara tetangga, rasa kebangsaan kita pasti tergugah," katanya.
     Niken lalu mengajak kita bertimbang rasa bagaimana kalau informasi yang dipancarkan radio negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia, mampu memengaruhi pikiran, karakter, dan perilaku warga negara Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan.
     "Kalau RRI tidak kuat, lalu 'patok pikiran' informasi warga kita di perbatasan itu diambil bangsa lain, ini berbahaya. Ini bisa mengubah pola pikir masyarakat perbatasan terhadap bangsanya sendiri, Indonesia," ujar Niken yang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk penyediaan lahan dan pembangunan stasiunnya.
     Itulah mengapa sejak tahun 2008 pendirian stasiun penyiaran di daerah perbatasan menjadi prioritas RRI. Ini pula yang terus dikembangkan Niken, yang menjadi Dirut RRI sejak Oktober 2010.
    Maka, sejak pendirian stasiun penyiaran di Entikong, Kalimantan Barat, menyusul pula pendirian stasiun di daerah perbatsan lainnya, seperti  Nunukan (Kalimantan Timur), Tanjung Pinang (Riau), Skow, Boven Digoel, Kaimana (Papua), Atambua (Nusa Tenggara Timur), dan Saumlaki (Maluku).
     Selain mendirikan stasiun di daerah perbatasan, RRI juga mendirikan perwakilan di berbagai negara. Perwakilan RRI di Hongkong, misalnya, diperlukan antara lain untuk mewadahi komunikasi bangsa ini dengan warganya yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
     "Kami membuat acara yang memungkinkan mereka berkomunikasi dengan keluarga di Tanah Air. Kami juga memediasi bila terjadi masalah antara TKI dan perusahaan atau pejabat instansi terkait," kata Niken.
     Informasi dari para kontributor itu muncul antara lain lewat acara "Kiprah Anak Bangsa" dan "Kampung Halaman". Para kontributor RRI di luar negeri itu berasal dari latar belakang yang beragam.
     Di Hongkong, misalnya, relawannya TKI lulusan SMP. Di Taiwan, kontributor RRI adalah mahasiswa Indonesia yang tengah studi S-2 dan S-3. Di India, wakil duta besar menjadi kontributor, sedangkan di Jepang, kontributor bergelar doktor dan dosen.

Perempuan pertama

     Niken mengawali karier sebagai penyiar RRI di Yogyakarta selama sembilan tahun sejak 1982. Alkisah suatu kali Niken akan mengikuti lomba menyanyi di RRI. Saat itu secara tak sengaja ia membaca pengumuman tentang lowongan bekerja di RRI. Itulah langkah pertamanya menjadi angkasawati. Karier Niken terus menanjak hingga menjadi direktur utama.
     Kecintaannya pada radio antara lain muncul saat banyak orang mengatakan, RRI tak lagi punya pendengar. Waktu itu, tahun 1987-1988, bersama temannya, Darmanto Kecik, Niken dengan upaya sendiri mengadakan penelitian. Dia menyebarkan 1.000 kuisoner. Hasilnya, 70 persen responden masih mendengarkan RRI.
     Selain menjadi penyiar, Niken juga menjadi penulis naskah, pengarah acara, dan produser. Dia juga suka menyanyi.
     Pindah dari Yogyakarta, Niken menjadi direktur program dan produksi sejak tahun 2005 di Jakarta. Itu pilihan yang sulit karena harus meninggalkan keluarga di Yogyakarta.
     "Tetapi, suami saya bilang, inilah saatnya dia mengurus ketiga anak kami. Sebelumnya memang sayalah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak," ceritanya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 APRIL 2012

Rabu, 18 April 2012

Juliman Messakh: Menanam Mangrove di Tanah Merah

JUKIMAN MESSAKH
Lahir: Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, 15 April 1934 Messakh
Istri: Ribka (64)
Anak: Mince, Alena, Yehezkiel, Gideon, dan Debora
Pendidikan: Sekolah Rakyat (setingkat sekolah dasar)
Pekerjaan: Nelayan

Pesisir pantai Tanah Merah, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sepanjang sekitar 4,5 kilometer terasa teduh. Hamparan hutan mangrove di kawasan itu adalah hasil perjuangan Juliman Messakh selama sekitar 50 tahun terakhir. Pada usia 78 tahun kini, dia tetap bekerja menjaga, merawat, dan menanam mangrove. Baginya, pantai harus dijaga dari bencana abrasi air laut.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Ketika mendatangi tempat tinggalnya di Tanah Merah, awal April, Juliman sedang berada di pantai. Istrinya, Ribka, mengatakan, setiap pagi suaminya pasti pergi ke pantai untuk melihat mangrove. Di kawasan itu, ada saja yang dikerjakan Juliman. Kalau tidak memperbaiki pagar, ia mengusir kambing, membersihkan dahan atau ranting kering, atau menanam mangrove.
     Meski jarum jam baru menunjukkan pukul 09.30 Wita, panas di pantai Tanah Merah terasa menyengat. Juliman tidak mengenakan baju, hanya bercelana pendek selutut. Ia sedang memperbaiki pagar yang rusak. badannya bermandikan keringat.
     "Pagar ini sering diambil orang untuk kayu bakar. Padahal, pagar itu penting untuk menjaga kambing agar tidak masuk ke kawasan mangrove. Kalau ternak sapi tidak merusak, tetapi kambing bisa menghabiskan semua mangrove sampai batangnya," kata Juliman.
    Lokasi Dusun V Desa Tanah Merah yang kini dihuni sekitar 70 kepala keluarga itu nyaris disapu abrasi pada tahun 1962. Ketika itu Juliman berusia 28 tahun. Kala itu, dia melihat sendiri bagaimana ombak mengikis pasir dan membongkar sejumlah tanaman di atasnya. Gelombang tinggi membawa apa pun di daratan yang bisa digapainya ke laut.
     Ketika itu seorang pendeta asal Jerman mengusulkan agar lokasi itu ditanami mangrove agar terhindar dari abrasi. Sang pendeta kemudian membawa Juliman ke Pantai Oesapa, Nusa Tenggara Timur, untuk menunjukkan bagaimana mangrove tumbuh secara alamiah dan mampu menahan abrasi.
     tak perlu menunggu lama, Juliman mulai menanam anakan mangrove di sepanjang pesisir pantai Tanah Merah bersama Ribka yang abru dinikahi tahun itu juga, 1962. Anakan mangrove diambilnya dari pantai Oesapa, sekitar 25 kilometer dari Tanah Merah. Perlahan-lahan tetapi pasti, mangrove di Tanah Merah tumbuh dan berkembang di sepanjang pantai.
     Menanam mangrove tidak emmbutuhkan air. Namun, agar lebih berhasil, biji mangrove disemai lebih dulu, dan saat mulai tumbuh mangrove dimasukkan dalam polybag. Sekitar dua-tiga bulan kemudian, baru anakan mangrove ditanam.
     Budidaya mangrove ketika itu dilakukan Juliman secara alami. Sebelumnya, dia tak pernah mengikuti kursus atau mendapat petunjuk apapun dari pemerintah. Baru pada tahun 1995, ia mengikuti pelatihan mengenai budidaya hutan mangrove di Denpasar, Bali.

Modal terbatas

     Mangrove yang ditanam sepanjang pesisir pantai Tanah Merah sampai Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, itu terbukti telah berhasil membendung air laut merembes ke lahan daratan. Pohon kelapa, lontar, asam, dan rumah-rumah penduduk di sepanjang pesisir itu pun aman, tidak terancam abrasi pantai.
     Juliman selalu mengingatkan para tetangga yang mendiami kawasan pesisir Tanah Merah dan Oebelo agar tidak menebang mangrove. Ia juga meminta mereka tidak melepas ternak kambingnya ke kawasan mangrove. Juliman pun tetap rajin menanam kembali bila ada mangrove yang rusak atau mati. Alhasil areal seluas sekitar 50 hektar pun terhindar dari bencana abrasi pantai.
     Di kawasan hutan mangrove itu, Juliman pernah mencoba membudidayakan udang dan kepiting. Akan tetapi, keterbatasan modal membuat dia tidak mampu membuat bedeng penghalang sehingga udang dan kepiting yang dibudidayakannya pun hanyut ke perairan luas.
     Juliman bercerita, sejak memulai menanam mangrove puluhan tahun lalu, dia sebenarnya telah mengajak serta penduduk setempat untuk mengikuti jejaknya. Dia berharap cakupan areal penanaman mangrove bisa meluas sampai ke kawasan pesisir sebelah barat dan timur dari lokasi yang telah dihijaukan di Tanah Merah dan Oebelo.
     Sayangnya, warga tak menyambut positif ajakan Juliman. Mereka beralasan, tidak ada pekerjaan yang dilakukan secara gratis. Meski penghijauan sekalipun, mereka meminta bayaran. Sesuatu yang tak mungkin dia wujudkan.
     "Saya tetap bekerja meski tidak mendapat keuntungan langsung dari kegiatan ini (menanam dan memelihara mangrove). Saya menghidupi keluarga dari hasil menjadi nelayan, dan tanaman di lahan ini, seperti kelapa, asam, pisang, jagung, dan umbi-umbian," kata Juliman.

Tak ditanggapi

     Tahun 2006, salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kota Kupang meminta Juliman mengadakan 30.000 anakan mangrove dalam polybag. Ia meminta bantuan para tetangga untuk memenuhi permintaan tersebut. Dari pihak LSM, Juliman mendapat uang Rp 1.500 per anakan mangrove. Dari jumlah itu, Rp 1.000 dibayarkannya untuk jasa para pekerja.
     "Kalau dihitung-hitung, tidak ada keuntungan saya di sini. Bahkan, untuk membeli polybag, saya memakai uang pribadi, Rp 25.000 untuk satu kilogram polybag," ujar Juliman.
     Dia lalu bercerita, selama puluhan tahun menanamm mangrove, dananya dari kocek pribadi. "Bupati Kupang tidak pernah mengunjungi daerah ini. Kepala desa memang sering datang, tetapi tidak ada bantuan atau sumbangan apa pun."
     Juliman tetap bersemangat memelihara mangrove dengan harapan generasi berikutnya akan melanjutkan apa yang telah dirintisnya.
     "Semoga tidak hanya di kawasan pesisir ini, tetapi juga di sepanjang pesisir pantai Kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Di Kota Kupang seakan tak ada yang peduli abrasi. Lihat saja di Kota Kupang lama, air laut telah merobohkan beberapa rumah dan pertokoan, tetapi tak ada kepedulian pemerintah maupun masyarakat."
     Juliman mengatakan, pada masa  pemerintahan Wali Kota Kupang Samuel Kristian Leryk tahun 1997-2007, ia pernah mengajukan proposal untuk melakukan pengerukan tanah, pengadaan bibit mangrove, polybag, dan menyewa tenaga guna menanam mangrove di kawasan Kota Kupang. Sayangnya, usulan itu tak ditanggapi hingga kini.
    Pemerintah, terutama pemerintah daerah, seakan tak peduli pada masalah abrasi pantai. Meski "tugas" yang dilakukan Juliman di Tanah Merah telah mendapat penghargaan dan kunjungan dari perwakilan Pemerintah Belanda tahun 1997. Ironis!

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 17 APRIL 2012

Barlian: Perjuangan Mantan Pembalak Liar

BARLIAN
Lahir: Mukomuko, Bengkulu, 7 November 1971
Pendidikan: Paket C (setara SMA)
Istri: Dahlia (35)
Anak:
- Selvi Lia Utami (16)
- Wines Krismone (13)
- Novelia Sagita (9)
Pekerjaan: Petani
Organisasi:
- Koordinator Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) Network
- Dewan Daerah Walhi Bengkulu
- Ketua Generasi Sungai Ipuh dan sekitarnya (Genesis) Mukomuko

Masa reformasi yang berlanjut dengan krisis moneter tahun 1997-1998 membuat Barlian mulai menjadi pembalak liar. Tidak tanggung-tanggung, dia menebangi pohon-pohon yang tumbuh di Taman Nasional Kerinci Seblat, Bengkulu. Tetapi, si pembalak liar itu kemudian insaf, sekarang justru berjuang demi kelestarian hutan.

OLEH ADHITYA RAMADHAN 

Semula Barlian bekerja sebagai tukang survei kayu yang biasa diperintah cukong kayu untuk mencarikan lokasi pembalakan. Sebagai tukang survei, dia juga menjamin agar kayu tebangannya bisa dibawa keluar dari hutan. Namun, seiring berjalannya waktu, Barlian kemudian menjadi pembalak liar.
     Ia bergabung dalam satu kelompok beranggotakan lima warga Desa Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
Mereka menebangi pohon di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
     "Sekali mencari kayu, kami bisa sampai 15 hari di dalam hutan. Hasilnya, 15-20 meter kubik kayu biasa kami peroleh dalam sekali masuk hutan. Kayu yang umumnya berdiameter sebesar antena parabola itu kami hanyutkan di sungai, menuju pabrik pengolahan kayu milik cukong," ceritanya.
     Dalam kurun satu-dua bulan, Barlian bisa mendapat 50 meter kubik kayu. Keuntungan bersih yang dia peroleh dari per meter kubik kayu Rp 100.000-Rp 200.000. Dengan uang hasil pembalakan liar itulah, ia menghidupi keluarganya. Menurut dia, ketika itu mendapatkan uang puluhan juta rupiah pun bukan perkara sulit bagi seorang pembalak liar.
     Menjadi pembalak liar selama lima tahun membuat hidup Barlian dan keluarga lebih dari cukup untuk ukuran penduduk desa. Bahkan, karena uangnya banyak, Barlian sering meminjamkan uang kepada tetangga yang membutuhkan.
     Kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Ipuh tahun 2004 menjadi titik balik bagi Barlian. Ketika itu, ia bersama warga di desanya bertekad menolak perusahaan yang dianggap akan mencaplok kebun kayu manis dan karet masyarakat. Luas areal yang dibutuhkan perusahaan perkebunan kelapa sawit waktu itu mencapai 4.000 hektar.
     Setahun penuh Barlian berjuang bersama masyarakat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu menolak kehadiran perusahaan itu. Perampasan alat-alat milik perusahaan dan pengusiran karyawan perkebunan menjadi hal yang kerap terjadi.
     Selama itu pula Barlian tidak pergi ke hutan menebangi pohon. Uang hasil dari pembalakan liarnya pun tersedot habis untuk  perjuangan menolak perkebunan. Ia hanya mengandalkan hasil panen dari sawah seluas 0,5 hektar. Tak ada lagi penghasilannya dari menjual kayu.
Pengorbanan mereka tidak sia-sia. Setelah setahun berjuang, akhirnya izin perusahaan perkebunan itu dicabut.

Wawasan terbuka

     Interaksi yang intensif bersama Walhi dalam upaya menolak perusahaan  perkebunan kelapa sawit membuat wawasan Barlian yang tidak lulus SMA menjadi lebih luas. Dia pun sadar, pembalakan liar akan merusak hutan dan berakibat buruk pada lingkungan. Berbagai seminar dan pelatihan yang diadakan Walhi lalu diikutinya. Dari sinilah pengetahuan dan kesadarannya akan pentingnya kelestarian hutan mulai terbangun.
     "Waktu menjadi pembalak liar, saya benar-benar tidak terpikir akan seperti apa dampaknya kalau hutan kita rusak. Waktu itu, saya hanya berpikir bagaimana menafkahi keluarga, itu saja," ujarnya.
     Memang BArlian mengaku sempat pulaterpikir untuk kembali menekuni pekerjaan sebagai pembalak liar. Namun, pikiran itu dia buang jauh-jauh saat mengingat dampak yang diakibatkan. Kerusakaan lingkungan pasti akan terjadi dan membawa akibat buruk bagi desanya. Apalagi, Barlian menambahkan, uang hasil penjualan kayu ilegal itu "panas". Ia bisa cepat mendapatkannya, tetapi cepat pula habisnya.
     Selain itu, akibat pembalakan liar pun sudah terasa di desanya. Sungai Selagan di Desa Sungai Ipuh, yang dulu airnya deras, belakangan ini debitnya menurun jauh. Padahal, kawasan Kecamatan Selagan Raya, termasuk Desa Sungai Ipuh, merupakan salah satu sentra produksi beras di Kabupaten Mukomuko.
     Maka, hari-hari Barlian sebagai pembalak liar kayu pun berakhir. Ketika waktunya bercocok tanam, dia mengolah sendiri sawahnya di desa yang luas tak sampai satu hektar. Di luar itu, dia menggunakan waktunya untuk mengadvokasi masyarakat tentang TNKS melalui lembaga Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) Network.
     Barlian termasuk sosok yang gencar menyadarkan masyarakat  di desanya untuk peduli dan ikut menjaga hutan. Pertemuan warga di desanya, atau saat berkumpul dengan warga desa lainnya di warung, ladang, pesta pernikahan, dan khitanan pun, dia jadikan sarana penyampaian gagasan yang efektif.

Menjelajah TNKS

     Walaupun usianya tak lagi muda, semangat Barlian melindungi TNKS dari kerusakan patut diacungi jempol. Sudah hampir semua batas-batas TNKS seluas lebih kurang 1,3 juta hektar di empat provinsi, yakni Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, dan Bengkulu telah dijelajahinya.
     Dengan menggunakan sepeda motor, dia berkeliling untuk menjaga hutan. "Sudah habis dua motor saya. Motor saya hancur untuk menjelajahi hutan," ujar Barlian sambil tertawa.
     Belakangan ini, ambisi sejumlah pemerintah daerah yang ingin membangun 33 ruas jalan menembus TNKS menjadi fokus perhatian Barlian bersama AKAR Network. Menggunakan uang pribadi, dia pergi ke berbagai tempat guna membangun jejaring sosial penolakan ambisi politik para elite daerah itu. Hal ini termasuk berjuang ke Kementerian Kehutanan di Jakarta.
     Hasilnya, sementara ini ruas Kambang-Muara Labuh sepanjang lebih kurang 40 kilometer, yang menghubungkan Kabupaten Pesisir Selatan dan Solok Selatan di Sumatera Barat, telah ditolak Menteri Kehutanan. Namun, masih ada 32 ruas jalan tembus TNKS yang masih perlu mereka perjuangkan.
     "Di atas semua itu, saya bangga karena kesadaran warga desa akan pentingnya pelestarian hutan sudah tumbuh," kata Barlian.
     Kampanye pelestarian taman nasional yang dilakoninya, bagi Barlian, tak akan pernah menemui kata akhir. Alasannya, laju kerusakan hutan masih terlalu cepat dibandingkan dengan upaya pemulihannya.
     "Tampaknya akan selamanya hari-hari saya diisi dengan penyadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian hutan," kata Barlian menegaskan tekadnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 APRIL 2012

Selasa, 17 April 2012

Yusuf Kristian Bobo: Pengubah Kawasan Gersang Elopada

YUSUF KRISTIAN BOBO
Lahir: Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, 20 Desember 1957
Pendidikan: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cendana, Kupang, NTT, 1983
Istri: Elisabeth Louro
Anak:
- David
- Benyamin
- Yosua
- Hana Wini Ledu
Pekerjaan: Kepala SMK Negeri 1 Wewewa Barat, NTT

Elopada adalah kawasan di tepi utara wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Bila diterjemahkan secara bebas, "Elopada" sesuai kondisi riilnya hingga tahun 1980 berarti padang gersang sejauh mata kita memandang. Kini nama itu layaknya diganti menjadi "morololo" karena perkampungan dan kawasannya sudah berubah menjadi hijau dan produktif pula.

OLEH FRANS SARONG

Sampai sekarang daerah itu tetap bernama Elopada meskipun sekarang kondisinya telah berubah. Dalam bahasa Wewewa atau bahasa setempat, "morololo" berarti hijau segar. "Morololo" memiliki arti sebaliknya dari "Elopada" yang ebrmakna padang gersang nan luas.
     Saran perubahan nama itu semata-mata karena kawasan tersebut tak lagi berupa padang gersang, tetapi sudah berbalut berbagai jenis pohon. Ini termasuk sejumlah pohon yang bermanfaat ganda, yakni menghembuskan kesejukan sekaligus bermanfaat secara ekonomi, seperti kopi, nangka, kelapa, kemiri, pinang, dan pisang.
    Di samping itu, tiga sumber air di bagian hilir kawasan tersebut sejak awal 1990-an juga mampu bertahan hidup atau tetap mengalir sepanjang tahun. Dengan demikian, krisis air bersih yang menimpa masyarakat di sekitarnya sejak lama-terutama di puncak kemarau-dapat teratasi. Ketiga sumber air itu adalah We'e Rambo, We'e Cewel, dan We'e Memala.
     Sumber-sumber air yang bisa tetap bertahan dan kehijauan di Elopada terwujud antara lain berkat campur tangan Yusuf Kristian Bobo. Tak ada yang menyangkal kalau Ama David-panggilannya sesuai kebiasaan setempat yang menunjukkan Kristian adalah ayah David, putra pertamanya-adalah sosok utama di balik keberhasilan tersebut.
     "Perubahan kondisi pada areal lebih dari 100 hektar kawasan Elopada menjadi hijau itu merupakan usaha bersama. Perubahan itu melibatkan hampir semua warga di kawasan ini. Namun, siapapun pasti mengakui bahwa Ama David adalah pembuka jalan. Dia perintisnya. Kami hanya mengikuti jejak Ama David," tutur Yakob Palaka (42), warga di Kampung We'e Rambo, Desa Kalimbu Ndara Manu, Kecamatan Wewewa Barat, yang merupakan bagian dari kawasan Elopada.
     Seperti umumnya kawasan lain di Pulau Sumba, Elopada sepanjang ingatan warga setempat berwujud padang pengembalaan lepas bagi hewan-hewan piaraan, seperti kuda, sapi, dan kerbau milik masyarakat setempat.

Sistem paron

     Kristian bercerita, ketika duduk di bangku STM Negeri Kupang sekitar tahun 1970, dia berkesempatan melihat model pemeliharaan sapi dengan sistem paron di Noesina, Kabupaten Kupang. Di tempat itu, sapi  biasanya ditambatkan di bawah pohon di sekitar rumah pemiliknya. Sementara kebutuhan pakan dan air untuk hewan tersebut didatangkan oleh pemiliknya.
     Pola itu terbukti memberikan keuntungan ganda, yakni proses penggemukan sapi bisa berlangsung lebih cepat, dan limbahnya bisa dijadikan pupuk organik sekaligus menekan potensi kerusakan lingkungan.
     Kristian remaja pun tertarik dengan model penggemukan sapi sistem paron tersebut. Maka, ketika dia kembali ke Elopada pada waktu liburan sekolah, Kristian secara perlahan-lahan mulai mengikuti apa yang dilihatnya sewaktu berada di Kupang.
     Dia lalu menanam rumput gajah  dan kaliandra di kawasan sekitar tempat  tinggalnya sebagai pakan bermutu tinggi. Namun, usahanya itu baru benar-benar ditekuninya setelah Kristian menyelesaikan kuliahnya pada Jurusan Arsitek, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Cendana, Kupang, tahun 1983.
     Kristian, anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan almarhum David Dairo Bobo dan Esther Bobo Louro itu bercerita, setelah lulus kuliah, selain  usaha beternak sapi dengan sistem paron, dia juga menanam kopi.
     Pada awalnya sekitar 10.000 anakan bibit kopi itu didatangkan dari Bali. Pada saat hampir bersamaan, di hamparan lahan milik keluarganya yang belum didayagunakan, Kristian menanaminya dengan berbagai jenis pohon, seperti mahoni, lamtoro, jati, jati putih, dan meranti atau lare.
     "Beberapa jenis pohon tersebut sebenarnya saya andalkan sebagai pelindung untuk tanaman kopi. Memang beberapa pohon itu sekaligus bisa mendukung penghijauan di sini," tutur Kristian sambil menikmati kawasan penghijauannya di Elopada.
     Ayah empat anak itu bercerita, usaha penanaman kopi dan berbagai jenis pohon lainnya itu pada awalnya meliputi areal sekitar lima hektar.
   "Kalau kawasan penghijauan yang berasal dari usaha saya sendiri hingga kini mencapai 50 hektar. Namun, penghijauan ikutan warga oleh warga lain di Elopada ini seluruhnya menjadi mungkin sudah mencapai lebih dari 100 hektar," ujarnya.

Sikap sinis

     Kristian lalu mengenang masa awal dia menekuni usahanya itu, ia sering kali harus menghadapi sikap sinis masyarakat di sekitarnya. Sebagian warga beranggapan bahwa usaha Kristian adalah kesia-siaan. Hal itu karena selama ini mereka bukan penggarap ladang yang menghasilkan padi, jagung, atau umbi-umbian untuk kebutuhan makan sebagaimana dilakukan petani pada umumnya. Namun, Kristian terus menekuni usahanya.
     Lahan yang kosong dia tanami berbagai jenis pohon. Tidak lama kemudian apa yang dia lakukan mulai diikuti penduduk di sekitarnya. Ini setelah mereka melihat sendiri manfaat yang didapat seperti saat Kristian panen kopi, pinang, dan kelapa. Mereka pun menikmati kehijauan yang menyejukkan.
     "Sikap penduduk yang awalnya negatif kemudian berubah total. Mereka mau mendukung upaya saya, terutama setelah melihat tiga sumber air di bagian hilir kawasan penghijauan terus mengalir sepanjang tahun. Padahal, sebelumnya ketiga sumber air itu biasanya mengering saat memasuki musim kemarau," katanya.
     Bagi Kristian, upaya menghijaukan Elopada memang memerlukan semangat juang tersendiri. Betapa tidak, penghijauan itu adalah kerja keras yang dia lakukan seusai tugasnya sehari-hari sebagai guru sekaligus pegawai negeri sipil berakhir.
     Semangat juang Kristian juga menghasilkan penghargaan bagi dirinya. Dia mendapat penghargaan sebagai penyelamat lingkungan tingkat Kabupaten Sumba Barat 2007, dan penghargaan sebagai perintis lingkungan tingkat Provinsi NTT tahun 2011.
     Apakah nama daerah Elopada semestinya kini berubah menjadi Morololo? "Ha-ha-ha, apakah itu perlu ya? Bagaimanapun, sebutan Elopada sudah ada sejak lama, Elopada seakan sudah melekat dengan kawasan ini," jawabnya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 16 APRIL 2012

Minggu, 15 April 2012

Pujianto: Menyatukan Pembuat Logam Mayangan

PUJIANTO
Lahir: Kediri, Jawa Timur, 23 Januari 1969
Pendidikan: Sekolah menengah atas
Istri: Nur Inayah
Anak:
- M Khoirul Anwar
- M Latif Sarbini
- M Ikhsan Al Karomi
Kegiatan: Ketua Dewan Pengurus Pasindo, komunitas pelaku UKM logam di Mayangan, Pasuruan, Jawa Timur

Menjadi pengusaha logam bukan hal mudah. Persaingan dengan produk asing menyebabkan kualitas dan akurasi produk dalam negeri menjadi prioritas. Hal itu yang diusahakan Pujianto dan rekan-rekan dalam Para Amerta Sejahtera Indonesia, komunitas pelaku usaha kecil menengah logam di kelurahan Mayangan, Pasuruan, Jawa Timur.

OLEH DAHLIA IRAWATI 

Mereka harus mengusahakan akurasi dan kualitas produk lebih baik dibandingkan produk asing. Pengusaha logam pun berhimpun untuk berbagi informasi order kerja, info standar kualitas produk, pelatihan, dan upaya logam lainnya.
     Kampung logam Mayangan, Pasuruan, ada sejak zaman kolonial. Orang pribumi awalnya hanya bekerjadi PT Bosto, yang kala itu merupakan perusahaan pembuatan komponen dan onderdil dari besi. Saat sudah tak bekerja, penduduk membuat sendiri onderdil berbagai mesin dan peralatan. Kemampuan itu diturunkan dari generasi ke generasi hingga kini. Perajin logam itu jumlahnya ribuan orang. "Kami ingin pembuat logam punya posisi tawar di hadapan pembeli sehingga kami berhimpun untuk menghasilkan produk logam terbaik," ujar Pujianto yang menjadi Ketua Para Amerta Sejahtera Indonesia (Pasindo).
    Ia gencar mengajak pelaku usaha logam lain berbenah, baik dalam pembuatan produk agar mendekati standar nasional maupun manajemen usahanya. Selama ini perajin logam Mayangan menjalankan usaha secara tradisional.
"Usaha dikelola tak profesional, kadang mereka tak memikirkan kelangsungan usahanya," ujar pria yang akrab dengan usaha logam sejak tahun 1990-an itu.
     Manajemen usaha kala banyak order ataupun sepi pesanan ini perlu ditata. Biasanya apabila banyak order, perajin dengan mudah berbelanja berbagai produk tnpa memikirkan modal untuk order berikutnya. Dampaknya, kelangsungan kerja mereka berikutnya terkendala.
     Mengajak mereka berbenah diri tidaklah mudah. Sindiran negatif kerap diterima Pujianto. Namun, berkat ketekunannya, sekitar 310 perajin mau berhimpun dalam Pasindo.
    Dengan berhimpun, ia yakin posisi tawar perajin logam Mayangan lebih baik. "Berhimpun tak sekadar kumpul-kumpul, kami berusaha mendapat pengetahuan, baik mengenai produk, pelatihan, hinga mencari dan berbagi order.
     Perajin logam umumnya membuat produk yang sama. Mereka tak dibedakan dalam produk, tetapi dalam prosesnya. Ada di antara perajin yang khusus membuat produk dengan mesin bubut, dan ada pula yang melapisi dengan cairan antikarat.
     Kemampuan yang diperoleh turun-temurun itu membuat perajin piawai membuat onderdil mesin, seperti mesin tenun dan onderdil kendaraan bermotor, misalnya lampu spion, rem tangan, dan setang. Beragam onderdil itu dibuat dengan proses cor logam, kuningan, aluminium, besi atau menggunakan mesin bubut, pres, dan bor.
     Harga jual produk perajin bervariasi, mulai dari Rp 1.000 per buah seperti tutup pentil hingga jutaan rupiah untuk komponen mesin. Produk mereka dipasarkan ke sejumlah kota, seperti Banjarmasin, Makassar, Pati, Jakarta, dan Surabaya.

Sering tertipu

     Ide berhimpun dalam Pasindo berawal dari seringnya perajin tertipu oleh pembeli. "Beberapa kali pembeli membayar perajin dengan giro kosong. Dari pengalaman menyakitkan itu, kami sepakat mencegah penipuan itu terulang," katanya.
     Adanya Pasindo diharapkan bisa mengatasi penipuan tersebut. "Pembeli tak bisa main-main. Kalau seorang perajin tertiu, berarti semua perajin di sini tahu kasus itu. Kalau kami berjalan sendiri-sendiri, selain rawan tertipu, kekuatan tawar perajin relatif rendah," katanya.
     Awalnya Pasindo dibentuk sebagai pembaga berbagi pengalaman sesama perajin. Seiring dengan waktu, Pasindo berkembang menjadi lembaga untuk meningkatkan kapabilitas perajin. Sejumlah pelatihan keterampilan sampai manajemen pun diadakan.
     Pujianto bercerita, pada awalnya mengajak perajin untuk bergabung tak mudah. Tahun 2002 ia mulai mendekati para perajin. "Setiap hari saya mendatangi satu orang, mengobrol dan mendengar curhat mereka." Pada kunjungan-kunjungan berikutnya barulah dia mengajak perajin itu bergabung.
     Namun, tak jarang perajin curiga kepadanya. Ia dinilai mau memata-matai atau mencuri ilmu perajin lain.
Namun, karena perajin terus tertipu dan kesulitan mendapatkan akses modal perbankan, ajakan Pujianto pun dilirik.
     Dengan mengantongi akta organisasi perajin logam berbadan hukum, Pasindo bisa mengakses permodalan ke bank, diterima di beberapa perusahaan, dan memiliki posisi tawar lebih baik.

Kalah bersaing

     Namun, berbagai kendala menyebabkan produk perajin logam Mayangan belum menjadi tuan di negeri sendiri. Produk mereka kalah bersaing dengan produk impor dari China yang harganya lebih murah. Persoalan seperti keterbatasan modal, kesulitan bahan baku, dan belum terstandardisasinya produk menjadi persoalan yang mesti diatasi.
     "Saya ingin semua perajin Mayangan bersatu sesuai keahlian masing-masing. Kelebihan perajin yang satu bisa menutupi kekurangan perajin lainnya. Ini lebih efisien, membuat proses kerja lebih cepat," ujar pria yang membuka usaha logam sendiri tahun 1997 setelah sempat bekerja pada perajin logam lainnya.
     Persatuan perajin logam Mayangan diharapkan membawa kebaikan bersama. "Pengetahuan kami sebagai pengusaha kecil tentang standar produk agar sesuai spesifikasi pasar sangat kurang," katanya.
     Melalui Pasindo, perajin logam yang menjadi anggotanya bisa mendapatkan pelatihan teknis produk dan manajemen usaha. Misalnya, bagaimana mengelola usaha agar terus bertahan dan bagaimana menjadikan produk logam mendekati standar nasional.
     "Perajin logam umumnya bisa membuat produk karena terbiasa. Padahal, produknya tak sesuai standar teknis. Perajin juga melupakan akurasi waktu penyelesaian seperti yang dijanjikan. Dampaknya, order tak bertahan lama," katanya.
     Contohnya, ada perajin logam Mayangan memasok komponen otomotif kepada agen tunggal pemegang merek. Namun, order itu tak bertahan lama karena penyelesaian produk molor dari waktu yang disepakati. "Perajin logam harus profesional agar sentra logam ini bisa bertahan."
     Usaha Pujianto dan rekan-rekan di Pasindo tak sia-sia. Kini dengan mudah mereka mengakses berbagai lembaga untuk menawarkan produk. Saat gema mobil nasional tengah menghangat, misalnya, Pasindo bekerja sama dengan SMKN 2 Pasuruan untuk membuat onderdil otomotif yang dibutuhkan. Pasindo juga bekerja sama dengan PT Inka membuat mobil Gea versi PT Inka.
     "Semoga momentum mobil nasional ikut mengangkat perajin logam Mayangan," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 13 APRIL 2012

Kamis, 12 April 2012

Ida Ayu Rusmarini: Mengembalikan Bali ke Alam

IDA AYU RUSMARINI
Lahir: Denpasar, Bali, 9 Nopember 1960
Suami: I Wayan Damai
Anak:
- Agus Pradita Dalem
- Ayu Rosita Dewi Dalem
- Jimmy Darusman Dalem
Pendidikan: Program Magister Pertanian Lahan Kering Universitas Udayana
Pekerjaan:
- Anggota staf Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, 1985-2000
- Anggota staf Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2000-2007
- Anggota staf Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Gianyar, 2007-kini
Penghargaan: Kehati Award 2012 kategori Peduli Lestari bersama kelompok Putri Toga Turus Lumbung Puri damai

Sejak 20 tahun silam, Ida Ayu Rusmarini mulai mengumpulkan berbagai jenis tanaman di rumahnya. Bukan sekadar menghiasi dan menyejukkan pekarangan rumah, tanaman itu juga digunakan untuk mengobati orang sakit, membangkitkan perekonomian warga, sekaligus mendidik anak-anak.

OLEH HERPIN DEWANTO PUTRO

Rumah Ida Ayu Rusmarini, atau Dayu panggilannya, terletak di Banjar Tumon, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Rumah di lahan seluas sekitar 1 hektar itu dikelilingi sawah, khas suasana alam di Ubud yang sejuk. Untuk mencapai rumah itu, orang harus melewati jalan pedesaan yang hanya bisa dilalui satu mobil dan jalan tanah di tepi sawah.
     Di areal rumah itu terdapat beberapa bangunan, seperti rumah belajar, unit pengolahan tanaman, dan bangunan untuk terapi penyembuhan herbal. Di pekarangannya terdapat berbagai tanaman obat, seperti cakar ayam, rumput mutiara, dan keladi tikus. Ada pula tanaman untuk sarana upacara agama Hindu, seperti daun sirih, daun puring, dan bunga cempaka. Total di sini ada 387 jenis tanaman.
     Konsep rumah itu dibuat sedemikian rupa karena sejak 1997 Dayu membentuk kelompok Putri Toga Turus Lambung Puri Damai. Melalui kelompok itu, ia membina perempuan, terutama kaum ibu, untuk berlatih mengenali berbagai jenis tanaman obat.
     Mereka juga mempraktikkan teknik pemijatan dan mencoba mengembangkan usaha dalam bidang penyembuhan tradisional. Awalnya, Dayu melatih 37 perempuan, kini sudah berkembang menjadi 150 perempuan.
     "Saya melakukan upaya ini karena ingin Bali kembali ke alam," kata Dayu.
     Masyarakat Bali, ia melanjutkan, harus kembali diingatkan bahwa alam telah memberikan semuanya. Dengan merawat dan mengambil manfaat dari alam, manusia pun dapat menyejahterakan diri.
     Awalnya, para ibu di Desa Singakerta mengeluh, mereka umumnya tidak mempunyai uang. Anak-anak terancam putus sekolah. Melihat kondisi itu, Dayu mencoba memberdayakan kaum ibu dengan memanfaatkan sumber daya alam berupa tanaman obat yang dia miliki.
     Selain mengajarkan teknik memijat, dia juga mengajari mereka tentang berbagai tanaman yang bisa diolah untuk membantu penyembuhan.
     Seiring dengan waktu, sebagian besar anak didik Dayu pun sukses. "Ada ibu yang sudah punya spa sendiri dan ada pula yang sukses menjadi penjual bibit tanaman," katanya.

Pendidikan anak

     Kreativitas Dayu memberdayakan warga desa tidak berhenti di sini. Tahun 2010 dia membuka program pendidikan anak usia dini. Saat awal terbentuk hanya ada tujuh siswa. Kini sekitar 50 anak belajar di tempat ini.
     Keistimewaan proses belajar di tempat itu adalah anak-anak langsung belajar dari alam. Misalnya, untuk belajar berhitung anak-anak akan diajak berlari menuju ke sebuah tanaman dan mencoba menghitung daunnya. Mereka juga berlatih membaca dengan mengeja kata-kata sederhana seputar tanaman, seperti "daun", "akar', atau "kayu".
     "Anak-anak itu dengan cepat bisa menangkap pelajaran dengan cara seperti ini," katanya.
     Dalam program belajar-mengajar itu, Dayu dibantu enam sukarelawan. Di antara mereka ada yang berasal dari Amerika Serikat dan Inggris. Rencananya, anak-anak juga akan mendapat program belajar bahasa Inggris, tetap dengan media belajar alam.
     Untuk mendukung semua kegiatan tersebut, Dayu antara lain membuat fasilitas terapi pengobatan tradisional. Di tempat itu terdapat berbagai ramuan obat herbal yang sudah dikemas. Di sini Dayu dan suaminya I Wayan Damai, menangani pengobatan dengan cara pijat dan konsumsi ramuan obat herbal. Setiap minggu ada 60-70 orang yang mereka tangani.

Dari kegagalan

     Semua usaha Dayu tersebut bermula dari kegagalannya menjadi seorang dokter. Sejak kanak-kanak, Dayu begitu terobsesi menjadi dokter karena Cening Karana, ayahnya, adalah seorang dokter, sedangkan sang bunda Ida Ayu Kartika, berprofesi sebagai bidan. Saat Dayu remaja, orang tuanya memiliki klinik di Denpasar.
     Namun, Dayu tidak diterima saat mendaftar pada Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Dia lantas memilih belajar pada Fakultas Pertanian di universitas yang sama. Meski demikian, sang ayah tetap memberikan dukungan kepada Dayu.
     "Walaupun dari pertanian, jangan putus asa. kamu tetap bisa mengobati orang dengan ilmu pertanian yang kamu miliki," kata Dayu menirukan ucapan ayahnya ketika itu.
    Dukungan serupa datang dari sang ibu. Dayu mendapat pesan dari ibunya untuk terus mencintai dan selalu memperhatikan lingkungan sekitarnya.
     Setamat kuliah tahun 1985, Dayu bekerja sebagai anggota staf Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. Sekitar satu tahun kemudian, Dayu diberi tantangan pimpinannya untuk menghijaukan kawasan Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pada waktu itu, kawasan tersebut merupakan bukit kapur yang tandus.
     Dayu lalu berusaha mengajak warga di Jimbaran untuk menghijaukan lahan mereka. Dia berusaha menularkan semangatnya kepada warga di Jimbaran dan meyakinkan mereka bahwa lahan tandus itu dapat diubah menjadi lahan hijau.
     Berbekal ilmu yang dimilikinya, Dayu mengajari warga setempat cara menanam pohon di bukit kapur dengan membuat lubang-lubang kecil yang selanjutnya diberi tanah. Tanaman untuk daerah kering pun disiapkannya, seperti albasia dan bidara laut.
     Dalam waktu sekitar lima tahun, lahan di Jimbaran tersebut menjadi hijau. Di kawasan itu sekarang, antara lain, terdapat gedung Kampus Universitas Udaya dan perumahan.
     Pada tahun 1997 Dayu juga diminta membantu mengembangkan tanaman jempiring sebagai maskot Kota Denpasar.
     Tahun 2000 Dayu berpindah tugas, dia menjadi anggota staf Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Di sini dia membidangi unit kesehatan tradisional. Sejak saat itulah Dayu mulai fokus mengembangkan dan memanfaatkan berbagai tanaman obat.
     Ketika merasa jenuh tinggal di kota (Denpasar), Dayu memutuskan kembali ke kampungnya, Gianyar, pada 2007. Sejak saat itu pula dia bekerja di Badan Lingkungan Hidup Gianyar sebagai Kepala Seksi Laboratorium Darat, sekaligus mengurus kelompok Putri Toga Turus Lumbung Puri Damai hingga kini.
     Berkat kerja kerasnya selama ini, Dayu bersama kelompoknya tersebut mendapat penghargaan untuk kategori Peduli Lestari dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) pada Februari 2012. Meski demikian, Dayu merasa usaha mereka untuk mengembalikan Bali ke alam masih panjang...

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 12 APRIL 2012

Rabu, 11 April 2012

Aurelien Brule: Program untuk Pelestarian Owa

AURELIEN BRULE
Nama panggilan: Chanee
Lahir: Frejus, Perancis, 2 Juli 1979
Istri: Nurpradawati (32)
Anak:
- Andrew Ananda Brule (8)
- Enzo Gandola Brule (2)
Pendidikan:
- SD Tourettes, Distrik Var, Perancis, 1985-1991
- SMP Fayence, Distrik Var, Perancis, 1991-1994
- SMA Saint Raphael, Distrik Var, Perancis, 1994-1997

Kecintaan Aurelien Brule pada Owa tumbuh sejak dia berusia 12 tahun. Pria yang akrab disapa Chanee ini tidak hanya mengobservasi dan menulis buku tentang owa, tetapi juga memutuskan untuk bermukim di Indonesia demi melestarikan owa.

OLEH DWI BAYU RADIUS

Pria berusia 32 tahun itu mengaku enggan bermukim kembali di negeri asalnya, Perancis, demi melestarikan owa di Indonesia. Sebelumnya, selama bertahun-tahun sejak berusia 12 tahun, ia kerap mengunjungi kebun binatang di kawasan tempat tinggalnya, Distrik Var, Perancis.
     Waktu libur sekolah digunakan Chanee untuk menghimpun berbagai informasi dan mencatat pengamatannya terhadap hewan primata, termasuk owa. Semua hal itu kemudian dibuatnya menjadi buku berjudul Le gibbon a mains blanches (Owa Tangan Putih).
     Penerbit pun terkagum-kagum ketika Chanee yang saat itu remaja berusia 16 tahun mengajukan naskah buku tersebut. Catatan itu dikumpulkannya dari observasi di kebun binatang yang dia lakukan sekitar tiga tahun.
     Ia bercerita, jarak kebun binatang dengan rumahnya sekitar 30 kilometer. Begitu asyiknya, Chanee bisa menghabiskan delapan jam mengamati aneka satwa sejak kebun binatang itu buka hingga tutup pukul 17.00.
     Di kebun binatang itulah kecintaan Chanee terhadap owa mulai tumbuh. Awalnya ia senang mengamati semua primata. Chanee mengenang, ia pertama kali melihat owa secara langsung pada Mei 1992.
     "Kenapa senang owa, saya pun tak tahu. Perasaan itu tumbuh dengan sendiri. Tetapi, saya memang terpana saat melihat langsung owa," ujarnya. Namun, antusiasmenya itu perlahan berubah menjadi rasa iba.
     Menurut dia, owa sering kali harus tinggal sendiri. Padahal, owa seharusnya punya pasangan. Oleh karena itulah, hasratnya untuk melihat langsung owa di hutan begitu besar.
     Sampai suatu hari aktris Muriel Robin membaca buku artikel mengenai buku karya Chanee. Robin terkesan dan bersedia menyokong dana agar Chanee bisa bertolak ke Thailand untuk melihat langsung owa di habitat asli. Di Thailand dia mendapatkan nama Chanee, yang artinya owa dalam bahasa Thailand.
     "Saya ke Thailand karena urusannya paling gampang. Senang sekali meilhat owa hidup di alam. Tiga bulan saya di sana," ujarnya.
     Chanee kemudian mengetahui bahwa jenis owa  paling banyak terdapat di Indonesia. Di dunia ada 17 jenis owa, dan Indonesia punya tujuh jenis di antaranya.
     "Semua jenis owa di dunia terancam punah. Saya lalu memutuskan pergi ke Indonesia," ujarnya.
Dalam perjalanan ke Indonesia, Chanee membaca berita tentang kebakaran hutan di Indonesia. Niatnya beraktivitas di Indonesia pun kian besar. Ia tiba pada Mei 1998 saat kerusuhan dan isu pergantian pemerintahan menghebat. Namun, tekadnya melestarikan owa menaklukkan kerisauan itu.

Kalaweit

     Chanee lalu mendirikan lembaga untuk melestarikan owa. Ia mengajukan izin membentuk yayasan bernama Kalaweit yang berbasis di Kalimantan Tengah. Kalaweit artinya owa dalam bahasa Dayak Ngaju.
     Proses mendirikan  yayasan memerlukan waktu sekitar sembilan bulan. Pegawai Kementerian Kehutanan pun terheran-heran melihat anak muda yang tak lancar berbahasa Indonesia ini mengurus izin tersebut.
     "Bahasa Inggris saja saya belum fasih. Apalagi waktu itu sedang pergantian presiden. Jadi proses perizinan cukup sulit," katanya.
     Chanee pergi ke berbagai tempat dengan transportasi umum karena keterbatasan dana. Setiap dua bulan dia juga harus bolak-balik ke Singapura untuk memperpanjang visa. Kegigihan itu membuahkan hasil.
     "Mungkin karena pegawai Kementerian Kehutanan bosan melihat saya hampir setiap hari, makanya izin diberikan, ha-ha-ha," ujarnya.
     Kini yayasan Kalaweit mempekerjakan 52 karyawan lokal. Selain owa, mereka juga tak menolak satwa lain, seperti kera, piton, kukang, buaya, bekantan, dan beruang madu.
     Kalaweit melakukan tiga aktivitas. Pertama, satwa yang dipelihara warga diusahakan kembali ke alam. Kedua, pelestarian habitat owa dengan mendirikan tempat perlindungan owa seluas 8 hektar di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
     "Kami juga membantu apa pun yang bisa dikerjakan untuk menjaga Cagar Alam Pararawen seluas 5.300 hektar di Barito Utara," katanya.
     Ketiga, petugas Kalaweit berusaha mendekati pemilik satwa untuk melepaskan peliharaannya. Petugas mengimbau agar satwa liar tak ditangkap. Jika sedang berpatroli dan menemukan jerat, mereka mengancurkannya.
     Selain itu, Kalaweit yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palangkaraya sejak tahun 2007 juga berupaya melestarikan kawasan konservasi Hampapak seluas 700 hektar.
     Tempat perlindungan owa juga dibuat di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sembilan tahun lalu. Ini membuat program Kalaweit menjadi pelestarian owa terbesar di dunia. Total 250 owa hidup di tempat perlindungan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat.

Radio dan internet

     Tahun 2003 Chanee melakukan sosialisasi dengan mendirikan Radio Kalaweit berfrekuensi FM 99,1 di Palangkaraya. Ia juga berbagi informasi mengenai owa dan kegiatan yayasan lewat situs internet beralamat www.kalaweit.org.
     "Siaran radio kami tak melulu soal owa, karena tak ada lagu bisa membuat radio ini tidak ada pendengarnya. Siaran kami mengutamakan hiburan, dengan menyisipkan pesan menyayangi satwa," katanya.
     Pengaruh radio ternyata besar. Sebagian besar satwa yang diserahkan kepada Yayasan Kalaweit di Jalan Pinus, Palangkaraya, berasal dari pendengar.
    Chanee mengakui tugasnya tak ringan. Aktivitasnya membuat  waktu yang tersisa untuk keluarga terbatas. Apalagi aktivitas dan siaran Chanee demi mempertahankan kelestarian alam menimbulkan ketidaksukaan beberapa pihak yang merasa terganggu.
     "Ancaman saya terima lewat surat, telepon, sampai bertemu pelaku. Pernah ada orang datang ke kantor dengan membawa pisau," ujarnya.
     Namun, iming-iming imbalan agar kegiatan pelestarian itu dihentikan hingga ancaman pembunuhan tak menyurutkan Chanee melestarikan owa.
     Keinginan lainnya yang belum terpenuhi adalah menjaid warga negara Indonesia. "Saya juga ingin menjadi warga Indonesia. Sudah empat tahun saya mengurusnya, tapi belum berhasil, cukup susah," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 11 APRIL 2012