Jumat, 29 Juni 2012

Agnes Barabara Kundimgo: Bidan Pelosok Boven Digoel

AGNES BARABARA KUNDIMGO
Lahir: Waropko, Boven Digoel, Papua, 20 Maret 1974
Pendidikan:
- SD Xaverius Mindiptana, Boven Digoel, 1983-1990
- SMP Mindiptana, 1990-1993
- Pendidikan bidan C Merauke, 1993-1996
Suami: Cornelius F Wigo (36)
Anak: Andreas A Erenisan (12), Dorthea B Warawam (9), Rosdianti F Wigo (8 bulan)
Pekerjaan:
- Bidan Puskesmas Pembantu Maryam, Distrik Mandobo, Boven Digoel, 
  1996-2004 
- Bidan Puskesmas Tanah Merah, Boven Digoel, 2004-2011
- Bidan RSUD Boven Digoel, 2011-sekarang

Bertugas pada puskesmas pembantu di pedalaman Boven Digoel, Papua, tidak membuat bidan Agnes Barabara Kundimgo kesepian dan menyerah, ia bahkan menikmati dan tertantang menolong kebiasaan persalinan berisiko yang masih dilakoni masyarakat pedalaman Papua.

OLEH ERWIN EDHI PRASETYA & NASRULLAH NARA

"Memotong tali pusar bayi menggunakan parang, pisau dapur, sampai pecahan kaca itu biasa dilakukan masyarakat di pedalaman," kata Agnes.
   Peralatan seadanya memunculkan faktor risiko infeksi yang dapat mengakibatkan kematian bayi ataupun si ibu. Perdarahan dan infeksi menjadi penyebab lagsung utama kematian ibu melahirkan.
     Masyarakat di pedalaman juga masih memegang tradisi melahirkan harus di luar rumah utama. darah dari persalian dianggap sebagai darah kotor yang tidak boleh mencemari rumah. Jika sampai setetes darah itu mengenai ruma utama, dipercaya kesialan atau musibah akan terjadi.
     Keluarga itu, misalnya, akan susah mendapat buruan rusa di hutan atau ikan di rawa. Karena itu, adat setempat menekankan, perempuan hamil harus bersalin di luar rumah. Biasanya si ibu dibuatkan pondok dari ranting kayu seadanya di halaman belakang rumah atau di hutan.
    Ibu dan bayinya baru boleh kembali ke rumah setelah benar-benar bersih. Persalinan itu biasanya dibantu dukun beranak atau orangtua. "Biasanya setelah seminggu melahirkan, baru ibu dan bayinya dibolehkan masuk rumah," ungkap Agnes.
     Ketika hendak mencegah praktik itu dan menolong persalinan dengan keahlian kebidanannya demi keselamatan bayi dan si ibu, ia justru dilarang dengan alasan adat dan tradisi. Namun, Agnes berkeras tetap mendampingi persalinan dan bersiap-siap jika terjadi kemungkinan terburuk.
     "Mereka jarang memanggil bidan. Kalaupun ada warga yang memanggil bidan, tetap tidak mau dibantu," ujarnya.
     Ia pernah diminta membantu persalinan, tetapi baru dipanggil setelah kepala si bayi mulai keluar. Ia bersyukur persalinan berjalan baik sehingga ibu dan bayinya selamat.
     Pendekatan dan penyuluhan kesehatan pun ia lakukan. Seiring dengan berjalannya waktu, upaya itu berhasil. Masyarakat di tempatnya bertugas mulai percaya kepadanya untuk menolong setiap persalinan.

Panggilan jiwa

     Agnes bertugas di Puskesmas Pembantu Kampung Maryam, Distrik Mandobo, mulai tahun 1994 hingga 2004. Bertugas di puskesmas pembantu kampung pedalaman itu ia jalani dengan sepenuh hati.
     Baginya, menjadi bidan adalah panggilan jiwa. Karena itu, di mana pun ditugaskan, ia berusaha mengabdi sebaik mungkin. Puskesmas Pembantu Maryam, misalnya, berlokasi relatif jauh dari Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel.
     Ia tidak tahu pasti berapa kilometer jaraknya. Yang ia tahu, perjalanan ke Tanah Merah harus ditempuh melalui sungai dan mendayung perahu selama empat hari. Hal itu dijalaninya bersama petugas puskesmas pembantu yang lain setiap kali mereka hendak mengambil stok obat-obatan, menyampaikan laporan kegiatan, atau mengambil gaji bulanan.
     Kalau hari beranjak malam, ia menepi dan menginap di bivak-bivak di pinggir sungai. Beban menjadi lebih ringan saat mereka mendapat bantuan operasional perahu bermotor.
     Tahun 2004-2011, Agnes ditugaskan di Puskesmas Tanah Merah dan mulai tahun lalu bertugas di RSUD Boven Digoel.
     Menjadi bidan adalah keinginan Agnes sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, ia diminta tolong ibunya, Dortea Warawam, yang sedang membantu persalinan kakak perempuan Agnes.
     "Mama bilang, 'Agnes, tolong potong tali pusar dengan gunting.' Itu pengalaman yang luar biasa," ungkapnya.
     Sejak itulah tumbuh kuat dalam dirinya cita-cita menjadi bidan karena ingin  menolong persalinan. Selepas SMP, Agnes remaja lantas mengikuti seleksi pendidikan kebidanan di Merauke dan dinyatakan lulus.
     Selama 16 tahun ia menjadi bidan, sudah tidak terhitung berapa jumlah ibu bersalin yang telah dibantunya. Siang itu, misalnya, di RSUD Boven Digoel, Agnes tengah membantu menolong seorang pasien yang mengalami abortus (keguguran). Ia mengantarkan pasien itu ke rumah sakit dengan menumpang angkutan kota.
    Harap maklum, di Boven Digoel, ambulans adalah barang langka. Sopirnya tidak bisa diminta atau dipanggil saat ada keadaan darurat. Pasien yang sedang hamil tiga bulan tersebut sebulan lalu datang kepadanya untuk memeriksakan kehamilan.
     "Saat itu keluar bercak-bercak darah dari pasien. Kandungannya tidak kuat. Saya sudah melarang dia kerja dulu, tetapi beberapa hari lalu dia mulai kerja lagi," kata istri Cornelius Frans Wigo ini. Kelancaran tugas Agnes ditopang profesi sang suami sebagai mantri di Instalasi Gawat Darurat RSUD Boven Digoel.

Angka kematian tinggi

     Selama ini, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di pedalaman Boven Digoel masih rendah. Hal ini berkaitan erat dengan belum tersedianya fasilitas kesehatan yang bermutu, merata, dan mudah dijangkau masyarakat, juga kurangnya tenaga kesehatan.
     Selain itu, faktor geografis dan transportasi yang sulit pun turut berperan, "Angka kematian bayi di daerah pedalaman masih tinggi," ungkapnya.
     Data Dinas Kesehatan Boven Digoel menunjukkan, tahun 2011, kematian bayi tercatat 21 kasus, abortus 19 kasus, kematian anak balita 9 kasus, dan kematian ibu 2 kasus. Angka ini bisa jadi lebih tinggi karena masih banyak kampung di pedalaman yang jauh dari jangkauan tenaga kesehatan sehingga tak tercatat.
     Kesadaran memeriksakan kehamilan di kalangan ibu hamil juga masih rendah. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Boven Digoel, tahun 2011, kunjungan pemeriksaan kehamilan pada usia kehamilan 0-12 minggu sebanyak 6.052 ibu hamil. Akan tetapi, pada usia kehamilan 3 bulan ke atas, kunjungan pemeriksaan merosot menjadi hanya 730 ibu hamil. Hal itu semakin menambah risiko saat melahirkan.
     Dari 1.036 kunjungan ibu hamil dengan faktor risiko, yang terbanyak adalah jarak kehamilan kurang dari dua tahun, yakni 24,32 persen. Kasus gizi buruk pun semakin menambah deretan persoalan kesehatan di daerah itu. Pada 2011, anak balita gizi buruk tercatat sebanyak empat orang.
     Berbagai persoalan itu masih menjadi tugas berat bagi bidan Agnes dan tenaga kesehatan lain di Boven Digoel. Bagi Agnes, panggilan hidupnya sebagai bidan akan selalu dilakoni dengan semangat pengabdian untuk terus menolong.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 29 JUNI 2012

Kamis, 28 Juni 2012

Yan Rumbiak: Merawat Burung Khas Papua

YAN RUMBIAK
Lahir: Kampung Fodi, Biak, Papua, 20 Januari 1958
Pendidikan: SD Kristen Ipgi, Biak
Istri: Rince Rumansen
Anak: Metu, Yunice, Rosa, Tarianus, Nico

Selama sekitar 21 tahun, Yan Rumbiak berusaha menjaga dan merawat burung-burung di Papua. Dia dengan setia berusaha agar keanekaragaman burung endemis Papua tetap terjaga. Dengan demikian, mereka yang ingin melihat keanekaragaman burung tersebut bisa bertandang ke taman burung di Biak, Papua.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Di Taman Burung Biak yang terletak sekitar 25 kilometer arah timur kota Biak, atau 30 menit perjalanan dari pusat kota Biak, terdapat 26 jenis burung dengan jumlah keseluruhan 102 ekor. Taman burung itu terletak antara Biak dan Distrik Bosnik.
     "Setiap burung mempunyai perilaku yang berbeda. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri," kata Yan Rumbiak.
     Selama puluhan tahun, pria berusia 54 tahun ini berusaha mengenal dan memahami perilaku setiap jenis burung tersebut. Yan menambahkan, memang masih banyak jenis burung di Papua yang belum menjadi koleksi Taman Burung Biak.
     "Tetapi, dari 26 jenis burung yang ada di sini, minimal pengunjung sudah punya bayangan betapa kaya koleksi fauna, khususnya burung, di Papua," katanya.
   Di Papua ada sekitar 852 jenis burung, tetapi yang sudah didokumentasikan sebanyak 602 jenis. Burung-burung itu bersarang di daratan dan 209 jenis di antaranya termasuk endemis. Di sisi lain, sejak tahun 1970, sudah ribuan burung di Papua yang diperdagangkan dan dibawa ke luar Bumi Cenderawasih.
    Adapun 26 jenis burung yang jadi koleksi Taman Burung Biak itu antara lain burung julang irian (Rycticeros plicatus), beo irian, betet (Laniidae), kakatua rawa (Cacatus pastinator), bayam (Electus roratus), Cenderawasih ekor panjang, cenderawasih merah (Paradisaea rubra), dan cenderawasih berparuh sabit.
     Keakraban Yan dengan burung-burung tersebut membuat dia tak pernah bosan menghabiskan waktunya di taman itu. Ia lalu bercerita tentang kesehariannya.
     "Begitu sampai (di taman burung) setiap pagi, saya disapa burung beo dengan ucapan 'selamat pagi'," ujarnya.
     Sapaan itu bagi Yan ibarat seorang anak yang tengah belajar bicara dengan orangtuanya. Ia juga mengajari burung beo menyapa pengunjung, misalnya dengan ucapan "selamat siang".
     "Sapaan (burung beo) itu memberi kesan tersendiri bagi pengunjung," katanya. Buktinya, jika beo sudah memberi salam, tamu pun tertarik berinteraksi dengan burung-burung di taman itu.
     "Tetapi, tamu dilarang meraba atau mengelus burung-burung yang ada di sini. Ini demi menghindari kemungkinan membuat burung tidak nyaman," katanya.
     Untuk menunjukkan betapa penting keberadaan Taman Burung Biak ini, berkali-kali Yan mengatakan, "Jika ada pejabat, turis, atau siapa saja yang ingin melihat keanekaragaman burung asli Papua, mereka cukup melihatnya di sini, di taman burung," tuturnya meyakinkan.
     Selama ini, taman burung yang didirikan tahun 1991 itu juga menjadi pusat pembelajaran bagi pelajar, mahasiswa, dan peneliti burung. Namun, sebagai salah satu tujuan wisata, sampai kini  keberadaan taman burung tak memberi keuntungan bagi pendapatan asli daerah karena tak ada pungutan bagi pengunjung.

Hasil sitaan

     Burung koleksi taman ini umumnya diperoleh dari hasil sitaan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Biak dan aparat keamanan di Bandara Biak. Satwa tersebut disita saat hendak dibawa keluar Papua melalui udara ataupun laut.
     Ia menuturkan, penyelundupan burung asli Papua ke luar daerah cukup tinggi. Orang umumnya tergiur dengan uang karena di Biak, misalnya seekor burung cenderawasih hidup berharga Rp 300.000-Rp350.000. Sementara burung nuri dihargai Rp 100.000-Rp 150.000 per ekor dan kakatua dihargai Rp 250.000-Rp 400.000.
     Setiap bulan ada penyitaan burung oleh aparat keamanan di Bandara Biak dan pelabuhan. Beberapa ekor dari burung sitaan tersebut lalu diserahkan ke Taman Burung Biak, selebihnya dilepaskan ke alam bebas, habitat aslinya.   
     Setiap hari, Yan membersihkan kandang dari kotoran burung. Kotoran tersebut kemudian dikumpulkan di tempat yang telah disiapkan. Kotoran burung itu lalu diproses agar bisa digunakan sebagai pupuk untuk tanaman di taman burung.
     "Selain memberi makan dan minum burung, saya juga bertugas memperbaiki kandang burung yang rusak. Sambil mengerjakan, biasanya saya mengamati apa ada burung betina yang sedang bertelur atau ada yang sakit," tuturnya.
     Yan mengaku tak pernah bolos memeriksa kandang burung, termasuk pada hari libur.
     "Saya tak mau nanti ada burung yang mati kelaparan," ujarnya. Menurut Yan, makanan burung itu berupa pepaya dan biji-bijian, seperti padi, jagung pipilan, dan kacang-kacangan.

Flu burung

     Yan bercerita, dia sempat khawatir dengan berita serangan flu burung di Indonesia. Namun, sampai kini tak ada penyakit flu burung yang menyerang hewan di taman burung itu. Bahkan, kata dia, Papua dinyatakan bebas dari flu burung.
     "Sebenarnya ada dokter hewan yang khusus bertugas menangani burung yang sakit di sini. Setiap bulan dokter datang. Jika ada burung yang sakit mendadak, saya bisa panggil dokter hewan atau petugas lain yang paham penyakit burung," katanya.
     Dia merasa beruntung karena anak-anaknya pun mau membantu sang ayah merawat burung-burung itu. Hal yang membuat Yan khawatir adalah oknum yang tak bertanggung jawab. Mereka berusaha mencuri atau menembak burung di taman burung.
    "Selalu ada orang seperti itu, mau mencuri burung. Mereka sampai memanjat tembok pagar. Ini membuat saya khawatir," tuturnya.
Di sisi lain, ia merasa bahagia jika ada burung yang bertelur, apalagi saat telur itu menetas. "Anak burung itu kami tunggu sampai berusia sekitar tiga bulan, baru dilepaskan ke alam bebas. Di sini tak ada burung yang diperdagangkan," ujarnya menegaskan.
     Jenis burung yang sering berkembang biak antara lain kasuari, mambruk, kumkum, bayam, dan nuri. "Burung cenderawasih agak sulit berkembang biak di sini. Cenderawasih biasanya memilih lokasi agak tersembunyi, jauh dari sudut taman. Cenderawasih tak suka ditempatkan di lokasi yang ramai manusia atau lalu lintas kendaraan," paparnya.
     Menurut Yan, Taman Burung Biak membutuhkan biaya operasional sekitar Rp 600.000 per bulan. Dana itu diperoleh dari APBD. "Uang itu untuk belanja makanan burung," katanya.
     Sebagai pegawai honorer, Yan mendapat gaji Rp 1,4 juta per bulan. penghasilan itulah yang digunakan untuk menghidupi istri dan kelima anaknya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 28 JUNI 2012

Rabu, 27 Juni 2012

Hadi Utomo: Setia Merawat Bahasa Tegal

HADI UTOMO
Lahir: Batang, Jawa Tengah, 26 Januari 1939
Pendidikan:
- SD dan SMP di Brebes, Jawa Tengah
- SMA B Pekalongan, Jawa Tengah
- Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (Tak Tamat)
Istri: Linda Masyudah (55)
Anak: 2 orang
Pekerjaan: Mengelola radio dan penulis fiksi
Penghargaan:
- Karya Terbaik Masyarakat (Kamus Bahasa Tegal-Indonesia) dari Pemerintah 
  Kabupaten Tegal, 2009 
- Pemerhati Seni Budaya dari Pemerintah Kabupaten Tegal, 2012

Kesadaran bahwa bahasa Tegal memiliki peran penting dan demi menjaga agar bahasa ini tidak punah menjadi penyemangat bagi Hadi Utomo untuk tetap setia merawat bahasa Tegal. Selama lebih dari 10 tahun dia mengumpulkan satu per satu kosakata bahasa Tegal, lalu menyusun menjadi kamus bahasa Tegal-Indonesia.

OLEH SIWI NURBIAJANTI

Meskipun kamus tersebut belum dipasarkan secara terbuka, kehadiran kamus itu sangat berharga, terutama bagi kaum muda Tegal. Kamus bahasa Tegal-Indonesia tersebut dinilai penting agar warga Tegal dan sekitarnya tidak kehilangan bahasa ibu. Dalam kamus itu, terdapat sekitar 5.000 kosakata yang sudah diterjemahkan Hadi Utomo.
     Pria yang lahir di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ini mulai menetap di Tegal tahun 1980. Sekarang dia tinggal di Desa Tembok Luwung, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
     Setelah menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Brebes tahun 1954, Hadi melanjutkan pendidikan di SMA B Pekalongan hingga tahun 1957. ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Publisistik di Jakarta, tetai tidak tamat.
     Saat di Jakarta, Hadi pernah bekerja di salah satu surat kabar. Dia juga menulis untuk sejumlah media cetak hingga tahun 1968. Selanjutnya, Hadi pindah ke Cirebon dan memilih menjadi petani sampai tahun 1980. Baru setelah itu, ia memutuskan pindah ke Tegal dan bekerja mengelola sejumlah radio.
     Hingga kini Hadi masih aktif menjadi penanggung jawab siaran dan berita pada Radio gemilang di Kabupaetn Brebes. Setiap Sabtu sore dia membawakan siaran berbahasa Tegal di radio tersebut dalam acara "Medang Sore" (minum pada sore hari).

Mengelola radio

     Hadi mulai tergelitik merawat bahasa Tegal mulai tahun 1990. Sebagai pengelola radio, ia sering mendapati penggunaan bahasa Tegal sebagai materi siaran, materi promosi, dan materi iklan sejumlah perusahaan.
     Bahkan, sebagian besar perusahaan memutuskan menggunakan jingle berbahasa Tegal untuk iklan mereka di radio. Bahasa Tegal juga menjadi slogan di beberapa daerah, seperti "Tegal Keminclong Moncer Kotane", yang menjadi slogan Kota Tegal.
     Hadipun sering diminta, membuatkan jingle untuk iklan perusahaan di radio. Sampai sekarang ia melihat hampir 75 persen perusahaan yang memasarkan produknya di Tegal menggunakan jingle bahasa Tegal untuk iklan mereka di radio. Jumlah jingle berbahasa Tegal yang sudah diciptakan Hadi pun mencapai lebih dari 100.
     Melihat kondisi tersebut, Hadi menyadari bahwa bahasa Tegal memiliki peran penting. Iklan yang menggunakan bahasa Tegal dirasakan lebih mengena dalam masyarakat sehingga pemasaran produknya juga lebih mudah.
     "Bahasa Tegal itu penting sebagai sarana komunikasi, ekspresi, dan budaya," kata Hadi.
     Karena itu, ia kemudian tergerak membuat kamus bahasa Tegal guna merawat keberadaan bahasa tersebut.
Ia sengaja menggunakan istilah merawat, bukan melestarikan. Alasannya, dengan istilah melestarikan, itu berarti ada tanggung jawab bahwa bahasa tersebut tidak mungkin punah.
     Padahal, menurut Hadi, suatu bahasa bisa punah karena pemakainya semakin sedikit. "Jadi, bahasa itu perlu dirawat untuk menunda kepunahan," ujarnya.
     Kamus bahasa Tegal ia susun sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun di antara kesibukannya sebagai pengelola radio. Setiap kata berbahasa Tegal yang ditemukan dan muncul dalam kehidupan sehari-hari ia catat, lalu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
     Selain 5.000 kosakata yang sudah tersusun dalam kamus, Hadi masih memiliki ratusan kata lain yang belum ia bukukan. Kamus yang dibuatnya itu mendapat penghargaan sebagai Karya Terbaik Masyarakat dari Pemerintah Kabupaten Tegal tahun 2009.
     Selain kata-kata, ia juga menemukan beberapa ajaran berbahasa Tegal yang mengajarkan kearifan lokal masyarakat setempat. Seperti ungkapan aja onggrongan yang berarti jangan melakukan sesuatu sekadar untuk mendapat pujian, aja gagahan yang berarti jangan sok gagah atau sok berkuasa, serta aja kadiran yang berarti jangan mentang-mentang.

Kantong budaya

     Hadi menolak anggapan bahwa bahasa Tegal kasar dan tak mengenal unggah ungguh (tata krama). Bahasa Tegal memang berbeda dengan bahasa Jawa yang banyak digunakan di wilayah Yogyakarta dan Solo karena Tegal lokasinya jauh dari pusat budaya keraton.
     Sementara bahasa Jawa halus yang berlaku di wilayah Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya, katanya, merupakan bahasa yang diciptakan dalam sistem budaya Mataram untuk menghormati raja-raja. "Tegal merupakan kantong (budaya) sendiri," tutur Hadi.
   Karena kondisi itu pula, bahasa Tegal cenderung tumbuh liar dan berkembang apa adanya di masyarakat. Bahkan, karena keliarannya, masyarakat Tegal banyak yang membuat bahasa sendiri untuk percakapan sehari-hari.
     Dalam bahasa Tegal pun, kemudian muncul banyak padanan kata untuk satu arti, seperti kata rada, mandan, manda, dan semanda, yang semuanya berarti agak.
     Bahasa Tegal juga lebih bersifat egaliter dan demokratis. Bahasa Tegal tidak mengenal struktur penggunaan bahasa, seperti halnya dalam bahasa Jawa, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko.
     Dalam bahasa Tegal hanya dikenal bahasa ngoko dan bebasan, yaitu bahasa yang digunakan saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati. Seperti kata kowen (kamu) yang kemudian diganti menjadi kata rika atau sampeyan, dan kata durung (belum) yang berubah menjadi dereng.
     Oleh karena itu, di tengah upayanya merawat bahasa Tegal, Hadi berharap ada lembaga resmi yang mau dan mampu menangani perkembangan bahasa Tegal. Keberadaan lembaga tersebut untuk menjinakkan keliaran bahasa Tegal sehingga memunculkan pembakuan dalam bahasa tersebut.
   Dengan adanya pembakuan, bahasa Tegal bisa dimasukkan dalam kurikulum sekolah sehingga bisa dijadikan sebagai mata pelajaran bagi anak didik di Tegal.
     Selama ini pelajaran bahasa daerah yang diterima anak sekolah di Tegal merupakan bahasa Jawa yang biasa digunakan di wilayah Yogyakarta dan Solo.
     Hal itu justru membingungkan siswa karena bahasa yang mereka pelajari tak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 1 JUNI 2012

Nofty Tapilatu: Penakluk Pedalaman Papua

NOFTY TAPILATU
Lahir: Manokwari, Papua, 30 November 1971
Pendidikan: SD, SMP, dan SMA YPK Oikumene Fanindi Manokwari
Istri: Yuliana W Mandatjan (30)
Anak: Gracia A Tapilatu (3)
Pekerjaan:
- Honorer pada Dinas Transmigrasi Manokwari di Bintuni, 1990-1997
- Rental mobil, 1995-kini

Pada awalnya, di Manokwari terdapat dua grup besar yang menyediakan transportasi jalur belantara hutan Papua Barat. Mereka adalah grup Tapilatu dan grup Makalo. Merekalah yang awalnya menyediakan jasa bagi orang-orang yang harus menempuh perjalanan antardistrik. Mereka setia menemani penumpang menghadapi medan berlumpur dan mendaki, tanpa pengerasan jalan.

OLEH ICHWAN SUSANTO

Salah satu di antara mereka adalah Nofty Tapilatu. Mereka yang relatif sudah lama di Manokwari minimal pernah mendengar tentang dirinya. ia memimpin grup Tapilatu yang bermarkas di Wosi, Manokwari.
     Pembangunan infrastruktur di Manokwari pun membawa pengaruh pada rezekinya. Pekerjaan di bidang transportasi luar medan ini dia mulai ketika sedang marak pembongkaran belantara Papua guna membuka jalan antardistrik.
     Ketika itu, dia dipercaya sebagai penyuplai logistik bagi para pekerja. Dia juga menyediakan material untuk para kontraktor yang sedang membuka hutan. Kondisi ini menimbulkan ide di benak Nofty. Dia melihat di sini ada peluang usaha lintas pedalaman dengan menggunakan kendaraan untuk segala medan.
     Ia pernah memiliki sembilan mobil hardtop. Kini, seiring perbaikan kualitas jalan, ia mengganti kesembilan mobil tersebut dengan tiga mobil segala medan yang "mewah", yaitu Toyota Landcruiser, Mitsubishi Strada Triton, dan Toyota Hilux. Ini dia lakukan demi memenuhi  permintaan pasar dan persaingan dengan sekitar 100 rental mobil serupa yang kini menjamur di ibu kota Papua Barat itu.
    Awalnya, tahun 1990, Nofty yang berdarah Maluku memulai pekerjaan sebagai tenaga honorer pada Dinas Transmigrasi Manokwari. Ia ditempatkan di Bintuni (sejak tahun 2004 dimekarkan menjadi Kabupaten Teluk Bintuni). Ketika itu sedang dilaksanakan proyek pembukaan daerah transmigrasi di Bintuni. Ia dipercaya sebagai pengemudi mobil segala medan (bertransmisi ganda atau 4x4).
     "Waktu itu yang bisa menguasai mobil seperti itu di dinas transmigrasi cuma saya," ucapnya.
     Gayung terus bersambut. Di situlah keahliannya menaklukkan jalan berlumpur dan lereng curam terasah. Apalagi pamannya, Chris Mustamo, juga bekerja di dinas transmigrasi dengan tugas merawat semua kendaraan jenis jip.
     Selain bekerja, Nofty pun menyerap pengalaman dan pengetahuan yang diberikan sang paman. Alhasil ia mampu menguasai perawatan dan teknik perbaikan mesin mobil. Hal yang paling ekstrem, beberapa waktu lalu dia memasangkan "kaki-kaki" mobil land cuiser pada hardtop. Mobil itu pun menjadi sempurna karena "kelemahan" pada mobil itu diganti dengan "kaki-kaki" dan rem land cruiser.

Percaya diri

     Lama-kelamaan rasa percaya dirinya untuk membuka usaha sampingan sebagai penyedia jasa transportasi pedalaman. Tahun 1997 ia membeli mobil hardtop edisi terakhir 1982 sebagai modal. Mobil bekas yang dibelinya dengan pinjaman bank seharga Rp 21 juta ini, lalu dijaminkannya lagi kepada bank.
     Kiprah dan usahanya pun berlanjut. Satu per satu jalan tembus yang dibuka pemerintah didatanginya sebagai pionir. Nofty juga menambah kendaraan dengan membeli mobil hardtop rongsok yang diperbaikinya sendiri.
     Ia mengerjakan mesin dan "kaki-kaki", selebihnya perbaikan badan kendaraan dikerjakan orang lain. Ini dilakukannya sampai ia memiliki sembilan hardtop. Penambahan unit didapatkan Nofty dengan membeli mobil hardtop tua yang sudah rongsok.
     Penghasilannya dari usaha penyedia jasa lintas pedalaman ini terus berkembang. Ia mengaku pernah berpenghasilan bersih lebih dari Rp 70 juta dalam sebulan. Melalui pengoperasian hardtop miliknya, Nofty mengantarkan orang dan barang ke Teluk Bintuni, Anggi, dan Kebar. Sedangkan para pesaingnya, kecuali grup Makalo, hanya beroperasi untuk sekitar Menyanbouw, sekitar satu jam dari Manokwari.
     Meski akses sudah terbuka, kondisi jalan jalur Bintuni tak mulus. Sebagian jalan berlumpur dengan kedalaman lebih dari satu meter. Keterampilan khusus pengemudi diperlukan untuk menerobosnya.
     Oleh karena itu, jarak sekitar 300 kilometer itu ditembus dalam 15 jam. Kini, seiring perbaikan kondisi jalan, daya tempuh bisa dipersingkat menjadi lima jam.
     Saat itu, tarif ditetapkan Nofty dan grup Makalo yang menguasai jasa lintas darat pedalaman. Sebagai gambaran, ketika harga bensin Rp 1.500 per liter, harga tiket ke Bintuni Rp 75.000 per orang. Rute ini kian menjadi primadona seiring kecelakaan pesawat yang melayani Manokwari-Bintuni.
    Hingga kini, rute tersebut tetap ramai. Setiap hari di Terminal Wosi berderet kendaraan segala medan yang siap mengantar penumpang ke Bintuni. Tarifnya Rp 500.000 per orang. Ini lebih murah dibandingkan tiket pesawat terbang Rp 900.000.
   Tantangan berbeda dihadapi Nofty pada trek Manokwari-Kebar atau Manokwari-Anggi. Pengemudi dituntut terampil mengontrol mobil pada kondisi curam dan berbatu. Jika perhitungan meleset, mobil bisa terperosok ke jurang.
     Namun, trek Manokwari-Kebar pun tak menyulitkannya. Sebab, sejak awal pembuatan jalan ini pun, Nofty telah bolak-balik menyuplai logistik ke daerah itu.

Pelayanan prima

     Kiatnya bertahan dengan usaha jasa ini adalah mengutamakan kepercayaan dan kepuasan konsumennya. Dengan demikian, ia berharap akan semakin banyak orang yang menggunakan jasanya.
     Nofty memberi contoh, dari sembilan hardtop miliknya, hanya lima-enam mobil yang dioperasikan. Sisanya, dia persiapkan di Manokwari sebagai cadangan bila ada mobil yang mogok di jalan. Selain itu, kondisi kendaraan juga menjadi prioritas. Ia menjamin 75 persen mobilnya tak akan bermasalah saat digunakan.
     Jika terjadi sesuatu pada mobilnya selama perjalanan, seperti mogok akibat kerusakan transmisi, "kaki-kaki", atau mesin, dia sendiri sering kali yang pergi dengan mobil cadangan. Setelah penumpang bisa meneruskan perjalanan, Nofty memperbaiki mobil yang mogok itu.
     "saya pernah dua malam menginap di hutan, memperbaiki kendaraan," katanya.
     Ia bersyukur, bertahun-tahun menjelajah belantara Papua relatif tak menemui gangguan berarti. Tak ada kelompok bersenjata atau orang yang berniat jahat saat sendirian di tengah hutan.
     Seiring dengan kondisi sebagian jalan di Papua yang membaik, membuat dia sejak tahun 2010 mengganti kesembilan hardtop miliknya dengan mobil lain. Ini dia lakukan guna memenuhi keinginan konsumen yang mau menumpang kendaraan yang lebih nyaman.
     "Selain agar usaha saya tidak tenggelam,' ujar Nofty.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 27 JUNI 2012

Senin, 25 Juni 2012

Mike Toam: Menuai Prestasi dari Ulat Sagu

MIKE JUNETH CHRISTIN TOAM
Lahir: Sentani, kabupaten Jayapura, Papua, 21 juni 1994
Pendidikan:
- SMAN 3 Jayapura, 2009-kini
- SMPN 2 Sentani, 2006-2009
- SD Inpres Abeale 1, 2000-2006
Penghargaan:
- Juara Tiga Kategori Ilmu Alam pada Konferensi internasional Peneliti Muda di
  Nijmegen, Belanda, 2012
- Juara Pertama Lomba Peneliti Belia Papua, 2011

Dari Papua, Mike Toam, anak muda yang bernama lengkap Mike Juneth Christin Toam, berhasil meraih prestasi pada Konferensi Internasional Peneliti Muda di Nijmegen, Belanda, pertengahan April 2012. Prestasi itu diraihnya lewat penelitian ulat sagu dan pengolahannya menjadi bahan campuran beragam makanan.

OLEH KORNELIS KEWA AMA/A PONCO ANGGORO

Spageti, roti lapis (sandwich), serta nasi goreng dan bakso, semua menggunakan bumbu ulat sagu. Itulah kreativitas yang diciptakan Mike, siswi kelas III SMAN 3 Jayapura, yang dilombakan pada konferensi di Belanda. 
     Lewat bumbu ulat sagu, remaja berusia 17 tahun ini meraih juara III kategori ilmu alam pada konferensi yang diikuti 150 pelajar dari 22 negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Eropa.
    Karya Mike terkesan "aneh", tetapi justru dengan cara itu cita rasa baru makanan bisa tercipta. Makanan lebih bergizi dan bisa menghilangkan perasaan jijik, terutama bagi mereka yang tak biasa makan ulat sagu.
     Ulat sagu yang berwarna putih kecoklatan, bertekstur lembut, dan memiliki kepala keras merupakan jenis ulat yang hanya ditemui pada tanaman sagu. Di Indonesia, tanaman sagu banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, yaitu Papua, Maluku, dan Maluku Utara.
     Selain sagu yang menjadi pangan pokok sebagian masyarakat kawasan itu, ulat sagu pun mereka konsumsi, terutama oleh warga di pedesaan. Mereka biasa mengonsumsi langsung ulat itu  ataupun memasaknya lebih dulu.
     Ulat sagu sebagai salah satu makanan khas Papua itulah yang diangkat Mike dan dipopulerkannya. Apalagi kaum muda Papua, terutama yang tinggal di perkotaan, cenderung tak lagi mengenal ulat sagu. Mereka pun tak pernah mengonsumsinya.
     "Sebelum memutuskan mengangkat ulat sagu, saya sempat terpikir mengangkat tanaman sagu. Namun, tak jadi karena banyak orang sudah tahu tanaman itu," ujar perempuan yang menyenangi ilmu biologi ini.
     Mengolah ulat sagu menjadi bumbu makanan dilakukan Mike setelah melalui serangkaian penelitian. Penelitian pertama dilakukan tahun 2011. Mereka mencoba meneliti kadar protein tertinggi pada ulat sagu. Ada tiga bagian ulat yang diteliti, kepala dan kulit, cairan hitam, serta cairan putih. Hasilnya, kadar protein tertinggi ada pada cairan putih. "Kadarnya mencapai 17 persen. Kandungan protein ini melebihi protein pada telur yang hanya 13 persen," tutur Mike.
     Pada cairan putih itu pula Mike bersama empat rekannya menganalisa kandungan lainnya hingga diperoleh data kandungan karbohidrat 3 persen, air 55 persen, lemak 12 persen, dan beberapa kandungan asam amino lainnya.
     Penelitian ini membuat mereka menjuarai Lomba Peneliti Belia Papua Tahun 2011 sekaligus meloloskannya ke lomba serupa di tingkat nasional. Pada lomba ini, kemenangan kembali mereka raih, lalu mengikuti Konferensi Internasional Peneliti Muda di Belanda.
     Menjelang konferensi, penelitian kembali dilakukan. Penelitian yang berlangsung satu bulan ini mengolah cairan putih menjadi bumbu makanan. "Kami ingin menunjukkan, ulat sagu bisa menjadi tambahan makanan hingga gizi pada makanan lebih kaya," katanya.

Rasa baru

     Hasil olahan dicampur pada nasi goreng, bakso, dan keripik. Makanan ini lalu dicoba kepada sejumlah orang, dan hasilnya lebih enak. Mike lalu mencobanya pada spageti dan roti lapis.
     "Kami akan bertanding di luar negeri yang tidak tahu bakso dan keripik. Makanya, kami coba campur dengan spageti dan roti. Ternyata hasilnya memuaskan. Ada rasa baru dari kedua makanan itu," ujarnya.
     Serangkaian penelitian dilakukan Mike dibantu empat rekan yang juga pelajar SMA di Papua, yaitu Richard Antonius Mahuze (SMAN 3 Merauke), Yulian Marco Awairaro (SMAN 1 Serui), Darius Ohee (SMAN 3 Jayapura), dan Agustina Padama (SMAN 3 Jayapura).
     Penelitian mereka dibimbing tiga pengajar Surya Institute, Tangerang, yaitu Lies Dwiarti, Lindawati, dan Yalun Arifin. Mike adalah satu dari 150 pelajar Papua yang terpilih untuk dilatih ilmu sains di Surya Institute.
     Setelah penelitian tuntas, Mike dipilih untuk membawa hasil penelitian ke Konferensi Internasional Peneliti Muda di Belanda. Ia berangkat bersama 11 pelajar lain dari sejumlah daerah di Indonesia, yang juga mengenyam pelatihan di Surya Institute.
     Presentasi penelitian ulat sagu dan produk olahannya, ditambah jawaban atas pertanyaan dari juri berlangsung 15 menit. Semua itu dipaparkan Mike dalam bahasa Inggris.
     "Sejak kelas III SD, Mike belajar bahasa Inggris. Saat SMPN 2 Sentani, dia masuk kelas bilingual sehingga fasih berbahasa Inggris," kata Alphius Toam (48), ayah Mike Toam.
     Mike pun berhasil meyakinkan ketujuh juri yang berasal dari tujuh negara, di antaranya Belanda dan Amerika Serikat. "Tidak terbayang bisa meraih penghargaan, apalagi sebelumnya saya terancam tidak bisa mengikuti lomba," kata anak pertama pasangan Alphius dan Amelia Ibo (46) ini.
   Konferensi di Belanda digelar bersamaan dengan waktu ujian nasional (UN) SMA, 16 April lalu. Pihak sekolah sempat tak mengizinkan pergi karena Mike bisa tak lulus jika tidak mengikuti UN. Izin baru ia peroleh setelah ada surat izin dari Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang menyatakan Mike bisa mengikuti ujian susulan pada 1-4 Mei di Jakarta.
     Tak terbayangkan pula penghargaan itu diraih saat Mike mempersiapkan diri menghadapi UN. "Waktu saya banyak tersita untuk mempersiapkan UN, ditambah ujian sekolah dan ujian praktik," ujarnya.
     Bagi Papua, prestasi Mike menambah daftar anak-anak Papua yang bisa berprestasi di tingkat internasional. Sebelumnya, Septinus George Saa yang juga mengenyam pendidikan di SMAN 3 Jayapura menjadi juara pertama lomba riset ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat internasional tahun 2004.
     "Jika ada peluang mengembangkan diri, anak-anak Papua bisa mencapai prestasi tinggi. Peluang itulah yang selama ini tertutup. Ini membuat Papua tertinggal dari daerah lain," kata Kepala SMAN 3 Jayapura Paulus Gandeguai.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 JUNI 2012

Minggu, 24 Juni 2012

Sitti Joleha Fatagar: Kader Bermodal "Seratus Juta"


SITI JOLEHA FATAGAR
Lahir: Kokas, Papua Barat, 22 Februari 1976
Pendidikan:
- SMPN 1 Kokas, Papua Barat
- Lulus ujian kesetaraan SMA
Pekerjaan: Kader Posyandu Desa Nenbura, Kecamatan Doreng, Kabupaten  Sikka, Nusa Tenggara Timur, sejak 1994
Penghargaan: Juara Ketiga Lomba Penyuluhan Tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur

Di pekarangan rumah-rumah di Desa Nenbura tumbuh sayur beragam jenis. Warga desa yang termasuk Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, itu pun tak perlu jauh-jauh mendapatkan sayur-mayur. Mereka bisa memetiknya di pekarangan. Hijau sayur di pekarangan rumah itu tak lepas dari aksi dan kerja keras Sitti Joleha Fatagar, kader posyandu desa tersebut.

OLEH INDIRA PERMANASARI

Usaha Sitti memopulerkan kebun gizi itu tak mudah. "Selama ini masyarakat tak biasa makan beragam sayuran, selain yang mereka ambil di kebun sendiri. Ini pun biasanya jauh dan jenisnya terbatas, daun singkong dan pepaya. Tak pernah terbayang mereka menanam sayur di pekarangan," ujarnya.
     Ia lalu menyusun strategi. Ia mengajak beberapa warga lanjut usia, tetangganya, membuat lubang-lubang galian sebagai tempat sampah rumah tangga. Setelah sampah di lubang galian itu membusuk menjadi pupuk, Sitti membeli banyak benih sayur.
     "Saya ajak kader posyandu lain yang punya kebun gizi patungan membeli benih sayur. Benih-benih itu saya bagikan kepada para lansia untuk ditanam dan ternyata pohon sayur tumbuh subur," ujarnya.
     Sitti kemudian membeli sebagian sayur itu sekaligus menganjurkan mereka mengonsumsi sayur dari pekarangan masing-masing. Pasar terdekat, tempat warga membeli sayur di Desa Nenbura, harus ditempuh warga dengan ojek Rp 10.000 sekali jalan. Pasar pun hanya buka satu hari dalam seminggu.
    "Saya beli sayur itu supaya mereka tertarik dan merasa ada manfaat dari kebun gizi," ujarnya.
     Pancingan itu berhasil. Tak butuh waktu lama, tetangga lainnya membuat kebun gizi sendiri walaupun Sitti tak mesti membeli hasilnya. Mereka merasakan manfaat memasak hasil panen kebun sendiri. Pemberian makanan tambahan untuk bayi di desa itu pun dari kebun gizi.
    Jika awalnya hanya dua rumah dengan kebun gizi di pekarangan, kini ada 25 rumah. Sitti juga mengorganisasi pembuatan kebun bibit dengan bergotong royong, bergiliran dari rumah ke rumah.

Deretan masalah

     Penyadaran gizi hanya satu dari tugas Sitti sebagai  kader posyandu di daerah terpencil. Rentetan persoalan kesehatan hadir di desa yang sekitar 70 persen warganya penerima beras miskin itu. Sebagian besar warga hanya mengecap pendidikan dasar enam tahun, terutama para perempuan.
     Kekurangan gizi, kebersihan lingkungan, dan kesehatan ibu hamil dan anak menjadi pergulatan sehari-hari. Dalam sosok Sitti tampak nyata betapa kader posyandu menjadi ujung tombak dan pemimpin komunitas dalam membangun kesehatan.
     Ia bersama empat kader posyandu lain di desa itu rutin berkeliling dusun menggelar kegiatan, mulai dari menimbang bayi, memberikan sosialisasi seputar masalah kesehatan, hingga pemberian makanan anak balita.
     Dusun Hebar yang berjarak sembilan kilometer dari tempat tinggal Sitti adalah dusun terjauh. "Untuk ke Hebar, saya berjalan kaki karena tidak ada transportasi. Kalau hujan, jalannya licin dan mendaki," ujarnya.
     Selain itu, tak semua ibu juga mau ke posyandu. Sitti mesti rajin mengunjungi mereka dan bayinya ke rumah-rumah. Dalam satu bulan, biasanya tiga kali Sitti mengunjungi para ibu yang "bolos" ke posyandu atau perempuan dan anak yang bermasalah kesehatannya.
     Ia harus bekerja keras mengajak warga Desa Nenbura hidup sehat. "Kader posyandu tidak boleh bosan, harus terus memberi tahu masyarakat," ujarnya.
    Terbiasa memberikan penyuluhan, membuat Sitti melenggang ke lomba penyuluhan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur dan menjadi juara ketiga. Saat ditanya "modalnya" sebagai kader posyandu, Sitti menjawab penuh semangat, "seratus juta alias senyum, ramah, tulus, jujur, dan tawakal."
   Honornya sebagai kader posyandu Rp 25.000 per bulan tak dapat mengganjar kerja kerasnya, apalagi menggantikan "modalnya". Uang untuk menebus ijazah sebagai bukti kelulusan mengikuti program setara SMA, yang ditempuhnya sebagai syarat pembina pendidikan anak usia dini di posyandu pun Sitti tak punya.

Pengalaman pribadi

     Sitti menjadi kader posyandu Desa Nenbura sejak tahun 1994. Saat itu, Sitti yang aslinya warga Fakfak, Papua baru menjadi warga Nenbura mengikuti sang suami, Petrus Mahin, yang berasal dari Desa Nenbura.
     Sejak itu, ia setia mengabdi sebagai kader posyandu. Terlebih setelah suaminya menjadi Kepala Desa Nenbura pada tahun 1999, ia mendapat peran tambahan sebagai "ibu desa". Ia harus menjadi panutan bagi kader lain.
     Semangat sebagai kader posyandu tak lepas dari pengalamannya sendiri. "Saya merasa perempuan sering dalam posisi lemah. Saya ingin memotivasi para ibu dan perempuan di desa," ujarnya.
     Terlebih ketika dia hampir kehilangan putra bungsunya. Ia berkisah, putranya lahir dengan berat 1 kg 4 ons atau lahir dengan berat rendah. Banyak orang berpendapat, bayi itu tak akan bertahan hidup.
     "Kulitnya seputih kain dan napasnya sempat hilang. Saya berdoa dan anak itu bernapas lagi, lalu dibawa ke rumah sakit. Selama di ruang NICU (neonatal intensive care unit), ASI saya peras dan minumkan dengan sendok. Pengetahuan tentang ASI saya dapat waktu menjadi kader posyandu. Anak itu selamat dan tumbuh sehat."
     Pengalaman itu semakin menyadarkan Sitti akan pentingnya posyandu dalam mendidik ibu. Agar para ibu melahirkan anak yang berat badannya baik, semangat memberikan ASI, dan menjaga kesehatan keluarga.
     Pada dasarnya, kesehatan dan kesejahteraan itu kuncinya di tangan ibu, termasuk melindungi anak dari kebiasaan tak sehat orang-orang di sekitarnya. Dia masih mengingat bagaimana harus bernegosiasi dengan suaminya yang perokok demi menjaga kesehatan diri dan bayinya selepas perawatan NICU.
    Seperti umumnya lelaki di Nenbura, suaminya pun perokok berat. "Waktu itu, sehari dia bisa merokok sebungkus. Itu kalau tidak ada tamu. Saya minta dia mengurangi rokok menjadi dua bungkus dalam seminggu. Uang sisa "jatah" rokok saya belikan telur dan sayur karena belum ada kebun gizi. Kami senang berat badan anak terus membaik," ujarnya.
   Sitti tahu tidak mudah mengajak seseorang hidup sehat. Pentingnya kesehatan sering baru dirasakan saat diri atau anggota keluarga terbaring sakit.
    "Kader posyandu tidak boleh bosan memotivasi dan mendorong masyarakat untuk mengubah   hidup agar lebih sehat. Kalau satu kali kita ngomong dia (warga) belum ikut, kita harus omong terus. Kita beri masyarakat 'seratus juta'," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 22 JUNI 2012

Kamis, 21 Juni 2012

Abdul "Jambu" Kurnaen: Pelopor Intensifikasi Lahan Kering

ABDUL KURNAEN
Lahir: Kendal, Jawa Tengah, 5 Januari 1955
Istri: Asni Nurlaila
Anak:
- Fadkul Kolid Qodri
- Farisna Bihan Rizaq
- Fahim Wildan Nofia
Pendidikan: SMA Persamaan, 2000
Pekerjaan: Kepala Urusan Umum Desa Pagersari, Kabupaten Kendal
Organisasi:
- Ketua Kelompok Tani Margo Tirtosari II Desa Pagersari, 2000-kini
- Ketua Klaster jambu Merah Kendal, 2008-kini

Saat panen raya jambu getas merah awal tahun 2012, Abdul Kurnaen, petani sekaligus Ketua Klaster Jambu Merah di Dusun Bungkaran, Desa Pagersari, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, tak  menyangka puluhan kuintal jambu dibuang petani. Kalaupun dijual, harganya anjlok hanya berkisar Rp 500 per kilogram.

OLEH WINARTO HERUSANSONO

Data Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Kendal 2010 menyebutkan, budidaya jambu bagai virus menjangkiti kebun dan lahan tadah hujan di lebih dari 50 desa yang tersebar di Kecamatan Sukorejo, Kecamatan Patean, Kecamatan Pageruyung, dan Kecamatan Plantungan.
     Total area tanaman jambu mencapai 2.000 hektar (ha). Jika satu hektar lahan ditanami 400-500 batang, jumlah pohon jambu tersebut lebih dari 800.000 batang. Bisa dibayangkan bila panen, lebih dari 1.300 ton per bulan dihasilkan, sebagian mengalir ke sejumlah kota.
   Dampak keberhasilan kampanye budidaya jambu merah itu mengkhawatirkan Abdul Kurnaen. Anjloknya harga jambu di pasaran langsung memukul petani jambu. Banyak petani frustasi dan menebangi pohon jambu getas merah.
     Aksi penebangan pohon ini terus terjadi hingga mencapai areal 500 ha. Itu berarti lebih dari 200.000 batang jambu ditebang. Kebun yang sudah tak ditanami jambu lalu beralih ditanami padi, kopi, atau cengkeh.
     Saat petani menebang pohon jambu secara massal, Abdul Kurnaen selaku pelopor pengembangan jambu getas merah tak sedih. Pengurangan itu membawa kebaikan bagi petani. Alhasil, begitu banyak pohon berkurang hingga harga jambu awal Mei 2012 terendah Rp 3.200 per kilogram (kg).
     "Kalau petani punya 125 pohon saja, hasil panen itu setidaknya memberi tambahan penghasilan Rp 2 juta per bulan," kata Abdul Kurnaen, Ketua Kelompok Tani Margo Tirtosari II yang punya 65 anggota petani di desanya.
     Dalam benaknya, petani mana yang tak tergiur menanam jambu yang dalam 8-9 bulan sudah panen. Apalagi jambu bisa panen sepanjang musim. Malah, petani leluasa mengatur pilihan panen, mau secara periode tiap bulan atau panen tahunan.
     "Panen melimpah juga bukan salah pohon jambu. Petani yang belum mahir tidak memperhatikan kematangan buah. Jambu yang siap panen warnanya dominan hijau dengan ranum kekuningan. Kadang ada jambu yang tampak besar, 2-3 ons, tetapi belum siap petik. Petani suka memanen semua buah di pohon," ujarnya.

Pengganti padi

    Keberhasilan budidaya jambu getas merah di Patean dan sekitarnya tak lepas dari peran Abdul Kurnaen. Petani yang merangkap pamong masyarakat di Desa Pagersari ini awalnya hanyalah petani padi di lahan tadah hujan seluas 1 ha. Dari dua kali panen padi, penghasilannya Rp 7,5 juta-Rp 10 juta.
     Tak puas lahan keringnya hanya ditanami padi, tahun 1998-2000, dia membudidayakan pisang raja. Namun, usaha ini tak bertahan lama akibat virus yang mematikan pohon pisangnya, ia lalu beralih membudidayakan ikan hias air tawar, seperti louhan, koi, dan arwana. Modalnya waktu itu Rp 15 juta. Namun, ia kerap merugi dan usaha ini pun tak berlanjut.
     Setelah sempat menanam padi kembali, keinginan Abdul Kurnaen untuk memaksimalkan lahan tadah hujan di daerah pegunungan itu tak berhenti. Tahun 2005 ia tertarik pada artikel tentang jambu varietas Citaya asal Bogor, Jawa Barat, di majalah Trubus. Ia lalu membeli bibit jambu jenis itu seharga Rp 15.000.
     "Pertama kali saya menanam 150 pohon jambu, tetapi hanya 90 pohon yang hidup subur. Waktu itu, beberapa pemilik lahan di sekitar kebun saya mencibir. Mereka bilang jambunya bisa bernasib seperti usaha ikan atau tanam pisang," ujarnya.
     Namun, Abdul Kurnaen justru terpacu mempelajari pola pertumbuhan jambu getas merah. Setelah dua tahun membudidayakan pohon jambu, panen perdananya mengagetkan. Hasil panennya bagus, jambu sekitar 3-4 ons dan daya simpannya 6-8 hari.
    Jambu memberi keuntungan besar besar karena harga pasaran mencapai Rp 7.000 per kg. Ini menjadi daya tarik, kemudian petani lain mengikutinya menanam jambu. Dari modal 90 batang, jambu di kebunnya berkembang menjadi 1.400 batang di lahan seluas 3 ha.
     "Dari kebun  satu hektar saja, saya bisa panen tiga hari sekali rata-rata 3-4 kuintal. Kalau harganya Rp 2.000 per kg saja, tiga hari sekali saya berpenghasilan Rp 6 juta," ujar Abdul Kurnaen.
     Kesuksesannya mengembangkan jambu merah ini cepat menyebar dari desa ke desa. Semua petani dalam kelompok taninya beralih bertanam jambu. Lahan kering, sawah tadah hujan tanpa irigasi, dan kebun yang kurang produktif ditanami jambu. Tak butuh waktu lama, jambu menjadi tanaman unggulan. Kalau kita menyusuri kebun petani di Patean, Sukorejo, dan sekitarnya, kebun jambu berdampingan dengan hamparan tanaman kopi, cengkeh, dan padi.
     Bahkan, petani dari luar kecamatan di Patean pun berminat menanam jambu. Di Kecamatan Plantungan, petani menanam jambu, pengganti tembakau.
     Bagi Abdul Kurnaen, kuatnya petani menanam jambu juga peluang bisnis. Dia menyediakan bibit, yang dijual Rp 25.000 per batang. Ia tak ingat lagi sudah berapa ribu bibit yang dijualnya.
     Kegigihan Abdul Kurnaen membudidayakan jambu menyebabkan dia sering diminta instansi pemerintah melakukan penyuluhan tentang jambu di kecamatan lain. Tahun 2008  ia ditunjuk menjadi Ketua Klaster Jambu Merah di Kabupaten Kendal untuk ribuan petani jambu. Hasilnya, klaster ini menyabet penghargaan klaster terbaik di Jawa Tengah pada  tahun 2010.
     Sebagian orang menyebut Abdul Kurnaen "bapak"-nya jambu getas merah, sebagian lagi menganggap dia pelopor intensifikasi lahan kering.
     Belajar dari buruknya panen yang berlimpah, Abdul Kurnaen kini melakukan penjarangan buah agar  jambu yang dihasilkan berkualitas tinggi dan makin segar. Umumnya, pucuk jambu akan menghasilkan 2-6 kuntum bunga, maka 1-2 kuntum saja yang dipertahankan.
     "Seleksi buah menghasilkan jambu yang dipanen berkualitas, besar dan aman dikonsumsi langsung. Panen bisa diatur tanpa petani menebang pohon. Kami juga mendorong perempuan petani tak hanya menjual buah segar, tetapi juga mengarah pada usaha olahan makanan dan minuman berbahan jambu," kata Abdul Kurnaen.
     Meski sukses, Abdul Kurnaen tetap hidup sederhana. Tetapi, dia bangga, jambu getas merah telah menjadi bagian kehidupan petani Kendal.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 21 JUNI 2012

Rabu, 20 Juni 2012

Priyanto: Memandirikan Siswa Miskin


PRIYANTO
Lahir: Malang, 10 Februari 1962
Istri: Sri Lestari (50)
Anak:
- Sriwijaya Kusumawardhani (25)
- Faris Adipradana (19)
Pendidikan:
- SPP-SPMA Malang, 1981
- D-3 Pendidikan Guru Kejuruan Pertanian Politeknik IPB, 1984
- S-1 Sekolah Tinggi Pertanian Jawa Barat, 2006
Penghargaan antara lain:
- Penghargaan sebagai kepala sekolah yang berprestasi, peringkat 1, 2010
- Penghargaan sebagai kepala ssekolah yang berprestasi tinggi dari Dinas
  Pendidikan Jawa Barat, 2002
Pengalaman kerja antara lain:
- Guru SMT Pertanian Subang  yang diperbantukan pada Program Studi 
  Pendidikan Guru Kejuruan Pertanian, Fakultas Politeknik Pertanian IPB, 
  Oktober 1984-Juni 1989
- Tim Monitoring dan Evaluasi Fellowship Guru SMK Pertanian ke Taiwan, 1998
- Koordinator Bidang Lomba Pertanian dan Pelayaran dalam Lomba 
  Kompetensi Siswa Tingkat Nasional, 2002 dan 2007
Organisasi:
- Ketua Asosiasi Sekolah Kepertanian, Kehutanan, dan Kelautan Indonesia
- Ketua Asosiasi Koperasi SMK Indonesia

Tak menolak siswa miskin yang mau melanjutkan ke SMKN 2 Subang, Jawa Barat. Kebijakan inilah yang dijalankan Priyanto, Kepala SMKN 2 Subang, untuk membuat anak-anak dari keluarga tak mampu dapat mengubah nasib keluarga.

OLEH ESTER LINCE NAPITUPULU

Ia tak menyediakan beasiswa bagi siswa miskin. Menurut dia, siswa miskin perlu diajari tak mengandalkan bantuan orang lain untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, jika mengandalkan beasiswa, siswa miskin yang bisa bersekolah di SMK berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional ini juga terbatas jumlahnya.
    Priyanto bersama para guru memikirkan cara untuk menampung sebanyak mungkin lulusan SMP dari Subang. Mereka menemukan solusi dengan menggandeng perusahaan yang mau menerima siswa bekerja.
     Kategori siswa dibagi menjadi siswa mandiri yang tak mampu tetapi nantinya membayar dari hasil keringatnya sendiri. Ada pula kategori siswa reguler yang biaya pendidikannya dibayar orangtua.
    Siswa mandiri SMKN 2 Subang jumlahnya lebih dari 50 persen, sedangkan di kelas jauh yang menginduk ke SMKN 2 Subang lebih dari 70 persen. SMKN 2 Subang mengembangkan kelas jauh di Cipeundeuy (sudah menjadi SMKN), selain di Cikaum, Ciasem, Legon Kulon, Binong, Patokbeusi, Dawuan, Cibogo, Kasomalang, Cisalak, Pagaden dan Pagaden Barat, serta Compreng.
     Gagasan siswa mandiri dan kelas jauh membuat Kabupaten Subang terpilih menjadi salah satu kota vokasi di Indonesia. "Pendidikan di SMK untuk menyiapkan siswa bekerja. Mengapa siswa tak punya waktu kerja berkaitan dengan pendidikan di perusahaan, setidaknya tiga semeter," ujarnya.
     Sekolah meminta perusahaan membayar siswa yang bekerja layaknya karyawan selama 3-4 semester. Siswa tak mampu membayar Rp 100.000, sedangkan yang mampu Rp 150.000 per bulan. Keinginan itu disambut sejumlah perusahaan.
     Siswa mandiri ditanggung di beberapa perusahaan hingga luar Subang, seperti PT East West Seed Indonesia untuk pertanian, PT Banshu Electric Indonesia dan PT Kinenta Indonesia untuk otomotif, PT Puji Utami dan PT Gilontas International untuk pelayaran, serta Hotel Lembah Sarimas untuk pariwisata dan perhotelan.
     "Siswa miskin di sekolah ini diajari membiayai diri sendiri. Ini bertujuan menumbuhkan kepercayaan diri siswa," ujar Priyanto yang menerima siswa miskin tetapi bertekad kuat untuk belajar, tanpa syarat.
     "Dulu, sekolah menghabiskan Rp 40 juta untuk beriklan agar siswa mau sekolah di SMK. Hasilnya tak memuaskan. Setelah ada kelas mandiri, banyak siswa yang berminat," ujarnya.

Pendidikan ketarunaan

     Belajar dari pengalaman kerja siswa mandiri, sekolah memahami kebutuhan tenaga kerja. Dunia industri meminta pekerja yang jujur, sehat, bisa diatur, disiplin, tertib, taat perintah, tak cengeng, dan mampu bekerja dalam tim.
     Untuk membentuk siswa sesuai kebutuhan dunia industri, sekolah menerapkan pendidikan ketarunaan selama enam bulan bagi siswa baru. Pendidikan karakter ini membuat siswa bermental tangguh.
     Rasa puas terhadap kinerja dan karakter siswa SMKN 2 Subang membuat makin banyak perusahaan yang menggandeng siswa. Bahkan, PT Kinenta Indonesia Purwakarta, perusahaan pemasok wiring harness, mengalihkan produksi ke sekolah dengan membuka teaching factory. Di "pabrik" ini siswa bekerja layaknya karyawan, selama 7-8 jam.
     Dalam waktu dekat ada perusahaan Jepang yang akan membuka pabrik di sekolah guna memproduksi 85 jenis sarung tangan. Pada tahap awal dibutuhkan 600 pekerja dari siswa mandiri, lalu berkembang hingga 2.000 siswa.

Tak kaku

     Priyanto tak kaku memaknai proses pembelajaran SMK. Ia bersama para guru mengadaptasi kurikulum sesuai kondisi dan kebutuhan siswa. Tiap program keahlian harus mampu berproduksi guna mendukung siswa mandiri. Ada 12 program keahlian, seperti pertanian, peternakan, perikanan, otomotif, pelayaran, komputer, permesinan, tata boga, dan tata busana.
     Apa yang dikerjakan Priyanto pernah diprotes dinas pendidikan setempat hingga pengawas. Terobosan yang dilakukan sekolah ini dinilai "melanggar" aturan formal SMK.
     "Kesempatan ini saya pakai untuk menjelaskan tujuan pendidikan, terutama SMK. Cara ini justru membantu pemerintah agar indeks pembangunan manusia di Subang meningkat. Siswa SMK yang terbiasa bekerja tak akan menjadi penganggur. Ini sejalan dengan tujuan pemerintah mendirikan SMK," katanya.
     Ia juga pernah didatangi lembaga swadaya masyarakat pembela hak anak. Ia dicurigai mempekerjakan anak di bawah umur. Menghadapi kecurigaan itu, ia balik bertanya, apakah negara yang seharusnya melindungi dan memenuhi hak anak bangsa memenuhinya?.
     "Jika ada perusahaan yang peduli dan memercayai sekolah, apakah kelas mandiri salah? Mereka mampu berdiri tegak tanpa disantuni negara. Sekolah ini hanya ingin agar lulusan SMP bisa sekolah di SMK dan setelah lulus bisa bekerja".
     Setiap tahun ratusan siswa direkrut untuk bekerja di Jepang, Korea, dan malaysia. Siswa miskin yang tidur di lingkungan sekolah mendapat tambahan belajar bahasa Jepang dan Korea agar mereka siap bekerja di luar negeri.
     Priyanto senang melihat siswa berhasil. Contohnya, siswa mandiri asal Temanggung yang tidur di masjid dan membuat pupuk di sekolah mampu bekerja di Korea dengan penghasilan Rp 16 juta-Rp 22 juta per bulan.
     Sekolah pun membantu mencari pinjaman sebagai modal awal siswa bekerja  di luar negeri. Ada Bank Perkreditan Rakyat di Subang yang memberi pinjaman. Alhasil, utang sekolah ini mencapai Rp 678 juta.
     Awalnya, SMK ini hanya diminati sekitar 300 siswa. Saat Priyanto menjadi kepala sekolah tahun 2001, ia menantang para guru bersama-sama memajukan sekolah. Langkah ini membuahkan hasil. Cara yang ditempuh SMKN 2 Subang ditiru sejumlah daerah.
     Priyanto, alumnus sekolah pertanian setara SMK, awalnya memilih pertanian agar bisa bekerja. Ia tak bisa kuliah karena keterbatasan dana. Namun, ia mendapat beasiswa pemerintah untuk melanjutkan pendidikan diploma tiga sebagai guru pertanian di IPB.
     "Dalam hidup ini, saya hanya ingin berarti bagi orang lain. Menjadi guru, saya mempersiapkan siswa lulus dan bekerja. Mumpung menjadi kepala sekolah, saya berusaha membuka akses agar lulusan SMP dari keluarga miskin bisa sekolah," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 20 JUNI 2012

Senin, 18 Juni 2012

Marianus Sae: Dari Menanam Pohon Menjadi Bupati

MARIANUS SAE
Lahir: Bobajo, Kecamatan Golewa, Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT),
8 Mei 1962
Istri: Maria Moi
Anak:
- Yulio Rikardo (19)
- Rosa Mistika (17)
- Roberto Carlos (13)
- Gorgonius (11)
-  Angelo (9)
Pendidikan: Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Kegururan dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Nusa Cendana, Kupang, NTT, tak tamat
Pekerjaan: Bupati Ngada, NTT, periode 2010-2015

Kuliahnya sampai semester tujuh. Ijazah SMP pun diraih Marianus Sae setelah empat tahun tak sekolah karena keterbatasan dana. Ia juga pernah melakoni sejumlah pekerjaan, mulai dari bertani, joki kuda pacuan, melayani borongan truk angkutan pedesaan, buruh bata merah, buruh bengkel las, sampai menjadi transmigran di Kalimantan. Semua pengalaman itu menjadi bekal bagi Marianus, yang kini menjadi Bupati Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur.

OLEH FRANS SARONG

Sejak tahun 2010 Marianus menjadi Bupati Ngada. Ia berpasangan dengan Paulus Soliwoa menjadi salah satu dari delapan paket calon yang maju dalam pilkada Ngada, 3 Juni 2010. Kemenangannya jauh dari hitungan politis, terutama karena Marianus hanya berijazah SMA. Ia juga bukan politisi. Ia hanya dikenal sebagai pelaku pariwisata di Bali. Ia tak populer di kalangan elite Bajawa, kota Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.
     Namun, hasil pemilihan kepala daerah Ngada justru membuat Marianus menjadi bupati dalam satu putaran. Ia meraih suara pemilih sampai 48 persen. Jadilah pasangan Marianus-Paulus Soliwoa menggusur petahana Bupati Ngada, Piet Nuwa Wea, yang berpasangan dengan Benediktus Djawa pada urutan ketiga.
     Marianus adalah bungsu dari dua bersaudara anak pasangan petani miskin, Yohanes Da'e dan Virmina Redo, yang tinggal di Bobajo, Kecamatan Golewa, Ngada. Sang ayah meninggal dunia tahun 1980, disusul ibunya pada tahun 1985. Ketika duduk di kelas IV SD Katolik, Bejo, Mengulewa, Marianus sempat berhenti sekolah karena tak ada dana.
     Namun, sang paman, Eman Maghi, yang menjadi guru segera bertindak. Marianus dibawanya ke Bajawa agar bisa bersekolah di SD Katolik I Bajawa dan lulus tahun 1975. Sejak itu, ia menjadi anak asuh keluarga Eman Maghi, yang terus membiayai sekolahnya hingga kelas II SMP PGRI Bajawa.
     Oleh karena sang paman harus berkuliah di Kupang, Marianus tak bisa melanjutkan sekolah. Tahun 1977 ia bekerja menjadi buruh serabutan, termasuk sebagai buruh perusahaan bata merah CV Galeta di Bajawa. Upahnya Rp 250 per hari.
     "Dengan upah harian itu, ditambah sedikit tabungan hasil kerja serabutan selama empat tahun tidak bersekolah, saya bisa melanjutkan belajar di SMP sampai tamat tahun 1982," cerita Marianus di Zeu, Kecamatan Soa, Ngada, awal Juni.
     Di Zeu yang berjarak sekitar 40 kilometer utara Bajawa ini, ia punya kebun. Ia menyambangi kebunnya dengan mobil pribadi. "Saya harus konsisten dengan kebijakan mobil dinas hanya dimanfaatkan untuk kepentingan dinas," ujar bupati yang mengaku menggunakan Toyota Kijang tahun 1995 sebagai mobil dinasnya.

Kuliah sambil bekerja

     Meski tak ada dana pendidikan dari keluarga, semangat belajar Marianus tetap tinggi. Ini antara lain tampak dari tekadnya kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT.
     Untuk membiayai kuliah, dia bekerja pada perusahaan asuransi di Kupang. Tahun 1988 dia memutuskan berhenti bekerja dan meninggalkan bangku kuliah. Dia tertarik bekerja sebagai pelaku pariwisata di Bali.
     Pergilah Marianus ke Bali dan bekerja pada perusahaan kargo yang bergerak di bidang ekspor-impor. Tahun 1990 ia memutuskan mendirikan perusahaan kargo miliknya sendiri. Setelah merasa cukup mengumpulkan modal, ia kembali ke NTT. Sekitar tahun 2006, ia mendirikan PT Flores Timber Specialist dengan bidang usaha penanaman dan pengembangan berbagai jenis kayu bermutu.
     Bersamaan dengan itu, ia juga gencar mendorong dan memotivasi masyarakat di pedesaan Ngada untuk menanam pohon jati emas, mahoni, dan beberapa jenis pohon lainnya. Dia  menyebut tanaman berbagai jenis pohon itu sebagai investasi atau tabungan jangka panjang. Untuk itu, ia merogoh kocek guna mendatangkan berbagai benih pohon dari Jawa Barat.
     Sejak tahun 2007, benih-benih pohon itu disemaikan di Zeu. Tempat persemaian ini menghasilkan sekitar dua juta anakan siap tanam per tahun. Dari hasil persemaian tahun pertama, Marianus menyisihkan sekitar 70.000 anakan untuk ditanam di lahan miliknya seluas 70 hektar di Zeu.
     Sedangkan lebih dari 1,9 anakan hasil tahun pertama dan empat juta anakan, dari persemaian tahun kedua dan ketiga, dia bagikan untuk warga pedesaan Ngada.
     Di kebun miliknya, pohon-pohon itu tumbuh subur. Sebagian pohon sudah bergaris tengah 20-25 sentimeter. Ia memperkirakan, dalam waktu 10 tahun ribuan pohon itu siap dipanen. Menurut dia, satu pohon bisa menghasilkan sekitar satu kubik kayu seharga lebih kurang Rp 16 juta-Rp 17 juta.
     Selain menjadi tabungan jangka panjang bagi pemilik pohon, usaha ini pun memberi keuntungan ganda bagi daerah setempat. Sesuai ketentuan yang berlaku, pembeli kayu wajib menyetor Rp 25.000 per pohon untuk kas desa. Pedagang juga wajib membayar surat izin kayu olahan sebesar Rp 22.500 per kubik untuk pendapatan asli daerah.
     "Itulah mengapa saya serius memotivasi warga Ngada menanam berbagai jenis pohon bermutu. Ini jelas bisa memberi keuntungan bagi warga, desa, juga pemerintah daerah. Pada saat yang sama, lingkungan hidup kita pun terselamatkan," tuturnya.

Paket ternak

     Selain memotivasi dan menyediakan  benih pohon, Marianus juga membagikan sejumlah paket sapi dan babi untuk diternakkan warga setempat. Polanya, bagi hasil secara berimbang. Ini disebut Marianus sebagai program pemberdayaan ekonomi rakyat atau perak.
     "Sekarang sapi hasil program perak jumlahnya sekitar 2.700 ekor. Jumlah itu termasuk 920 ekor punya saya sendiri," kata Marianus, yang maju dalam pertarungan pilkada Ngada karena dipengaruhi sahabatnya. 
     Saat ditanya tentang kekuatannya sehingga bisa meraih suara terbanyak dalam Pilkada Ngada 2010, Marianus tak langsung memberi jawaban.
Dia hanya menduga ini merupakan "buah" dari dorongan dan motivasi yang diberikannya kepada masyarakat pedesaan selama ini, seperti memberi benih pohon gratis serta mengadakan paket sapi dan babi dengan pola hasil berimbang.
     "Saya tidak punya pikiran macam-macam, cuma ingin masyarakat mau menanam pohon bermutu karena ini bisa meningkatkan kondisi ekonomi kita semua," ujarnya.
     Apa yang dilakukan Marianus pada tahun-tahun sebelum dia menjadi bupati itu tanpa titipan pesan apa pun, apalagi terkait pilkada Ngada. Ini rupanya yang justru membuat dia mampu meraih suara terbanyak.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 18 JUNI 2012