Selasa, 31 Juli 2012

A'ak Abdullah Al-Kudus: Laskar Hijau untuk Gunung Lemongan

A'AK ABDULLAH AL-KUDUS
Lahir: Lumajang, Jawa Timur, 12 Oktober 1974
Pendidikan: Semester III Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, Jawa Timur
Istri: Rida Fitria
Anak:
- Saka ALskar Mohammad
- Divine Zidny Khirsyk
- Soka Taqdis Adekesya
Kegiatan: Pendiri dan aktivis Laskar Hijau 
Organisasi:
- Pendiri Yayasan Anak Adam, lembaga peduli pada persoalan anak, di Paiton,
  Probolinggo, 1998
- Mendirikan Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI), organisasi advokasi
  tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berbasis di wilayah Tapal Kuda Jawa
  Timur dan Madura, 2000
- Mendirikan Sekolah rakyat Merdeka (sekolah alternatif) di sekitar Ranu 
  Klakah, 2005
Penghargaan:
- Satu Indonesia Awards dari Astra Internasional dan "Tempo" sebagai sosok 
  pencinta lingkungan, 2010
- Daun to Earth dari Wakil Gubernur Jawa Timur sebagai tokoh peduli 
  kelestarian lingkungan, 2011

Debit air di Ranu Klakah, Lumajang, Jawa Timur, terus menyusut. Pada 2005, penurunan debit air di Ranu Klakah sampai mencapai 5 meter. Ranu Klakah atau disebut juga Ranu Lemongan terletak di Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Air Ranu Klakah yang biasanya melimpah kala itu sudah tidak bisa mengairi saluran irigasi pertanian di sekitarnya. Dari semua 32 mata air yang ada di sekitar Ranu Klakah atau danau tersebut, ketika itu hanya tersisa 6 mata air. Tanda-tanda kerusakan alam mulai terasa setelah maraknya penjarahan hutan tahun 1998-2002.
   Kondisi itulah yang membuat A'ak Abdullah Al-Kudus, salah satu pemuda di Desa Klakah, tergerak untuk menanami kawasan di sekitar Ranu Klakah dengan pepohonan. Upaya menanami kawasan di sekitar ranu tersebut dilakukannya pada 2005 itu juga.
   Meski sudah tiga tahun berlalu, A'ak merasa belum ada perubahan terhadap debit air di Ranu Klakah. Maka, upaya menanam pohon diperluasnya hingga ke wilayah Gunung Lamongan yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Gunung Lemongan.
   Upaya A'ak menanami wilayah sekitar ranu dan Gunung Lemongan itu diharapkan mampu menahan dan mempertahankan debit air di danau yang mengairi sekitar 620 hektar areal sawah petani di Kecamatan Klakah, Lumajang.
   "Ranu Klakah perannya sangat vital untuk pertanian warga di Kecamatan Klakah. Kalau sampai ranu tersebut mengering, tak ada lagi airnya, lalu dari mana warga Klakah akan bergantung hidup?" ujar A'ak, Senin (23/7), di Lumajang.
   Bukan itu saja, kelestarian Gunung Lemongan juga diyakini A'ak akan menjamin kelangsungan hidup 12 ranu yang ada di wilayah Kabupaten Lumajang dan Probolinggo.
   Tidak hanya menanami pohon di sekitar ranu dan Gunung Lemongan, pada 2008 A'ak juga menyatukan para sukarelawan peduli penghijauan di Gunung Lemongan menjadi organisasi Laskar Hijau.
   Organisasi nirlaba itu memiliki agenda utama menghijaukan Gunung Lemongan setidaknya setiap hari Minggu. Organisasi Laskar Hijau, A'ak menambahkan, juga tidak berafiliasi dengan partai politik atau organisasi tertentu yang memiliki nama sama atau hampir sama.
   Sukarelawan Laskar Hijau umumnya adalah petani yang tinggal di sekitar Gunung Lemongan, seperti warga Desa Salak di Kecamatan Randuagung, Desa Sumberwringin di Kecamatan Klakah, Desa Sumber Petung di Kecamatan Ranuyoso, dan Desa Klakah di Kecamatan Klakah.
   Mereka adalah orang-orang yang secara sadar tergerak untuk mengikuti gerakan menanam pohon yang dipelopori A'ak. Jumlah sukarelawan Laskar Hijau sekarang 20-25 orang. Mereka dengan sukarela mengeluarkan ongkos dari kantong pribadi untuk membiayai setiap kegiatan penanaman pohon di kawasan Ranu Klakah dan Gunung Lemongan.

Memulung

   Dari mana sukarelawan Laskar Hijau mendapat bibit pohon yang akan ditanam di wilayah Ranu Klakah dan Gunung Lemongan? Ternyata mereka mendapatkan bibit-bibit pohon itu dengan cara memulung biji buah-buahan di banyak tempat, seperti pasar atau warung. Biji buah-buahan yang berhasil dikumpulkan tersebut kemudian disemaikan.
   "Misalnya di Pasar Ranuyoso, Kecamatan Ranuyoso, biasanya banyak kami temukan biji buah durian, avokad, rambutan, dan nangka yang dibuang orang begitu saja. Kami lalu mengambilnya untuk disemaikan dan nantinya bisa kami tanam kembali," ujar A'ak yang selain menjadi sukarelawan Laskar Hijau juga memiliki bisnis di bidang televisi kabel.
     Selain itu, Laskar Hijau juga menjalin kerja sama dengan sekolah dan masyarakat untuk mencari bibit tanaman. "Kami biasanya menyumbangkan polybag-nya, sedangkan pihak sekolah yang kemudian meminta siswa-siswinya untuk mengumpulkan biji buah-buahan dari sejumlah tempat," katanya.
   Menurut ayah tiga anak ini, biji buah-buahan yang dikumpulkan para siswa tersebut mereka semai dan tanam sendiri di kawasan Ranu Klakah dan Gunung Lemongan.
   Jenis pohon yang dipilih A'ak untuk penghijauan umumnya adalah pohon bambu dan tanaman buah. Pohon bambu dipercaya mampu menyumbang oksigen sebanyak 82 persen sehingga dapat menciptakan kualitas lingkungan yang lebih baik. Sementara tanaman buah diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih bagi warga setempat.

Kebakaran hutan

   Gerakan menghijaukan Ranu Klakah dan Gunung Lemongan hingga kini diakui A'ak baru bisa menghijaukan sekitar 400 hektar dari 6.000 hektar lahan kritis di kawasan ini.
   "Mungkin masih 20-30 tahun lagi kami baru bisa menanami seluruh lahan kritis di sini. Namun, kalau tidak pernah kita lakukan, apa bisa lahan kritis itu berkurang dengan sendirinya?" tutur A'ak.
   Meski baru sebagian kecil dari areal lahan kritis yang bisa ditanami, hasil upaya mereka selama ini telah dirasakan warga setempat. Debit air Ranu Klakah mulai membaik. Meski dari semula 32 mata air dan kini yang tersisa hanya 6 mata air, debit air yang keluar sudah membesar.
   Menurut A'ak, ancaman gundulnya hutan di Gunung Lemongan kini bukan dari aktivitas penjarahan hutan, melainkan akibat kebakaran. Hampir setiap tahun ada saja areal hutan di Gunung Lemongan yang terbakar. Tahun lalu, 100 hektar hutan di kawasan itu terbakar.
   "Biasanya penyebab kebakaran itu adalah kelalaian manusia. Warga di bawah gunung membakar lahan untuk pertanian. Mereka tidak sadar kalau api bisa merembet ke atas hingga ke Gunung Lemongan," ujarnya.
   Bagi A'ak, gunung Lemongan adalah gantungan hidup banyak orang. Bukan saja warga Kabupaten Lumajang yang bergantung pada gunung itu, melainkan juga warga Kabupaten Probolinggo.
   Begitu bergantungnya warga pada gunung berapi ini, penghijauan di kawasan tersebut bagi mereka amat penting. Selama Laskar Hijau masih menjaga Gunung Lemongan, itu berarti masih ada harapan Lemongan akan tetap hijau......

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 1 AGUSTUS 2012

Minggu, 29 Juli 2012

Fabianus Pagan: "Raja Durian" dari Maumere

FABIANUS PAGAN
Lahir: Kloangpopot, Maumere, Nusa Tenggara Timur, 1931
Pendidikan terakhir: Sekolah Rakyat 
Istri: Laurensia Lodan
Anak: Hilerianus Raga

Empat puluh tahun lalu atau sekitar tahun 1972 merupakan momentum berharga yang membawa perubahan besar dalam kehidupan ekonomi keluarga Fabianus Pagan. Momentum itu juga membuat dirinya mendapat julukan sebagai "Si Raja Durian Maumere".

OLEH SAMUEL OKTORA

Tidak mengherankan kalau Fabianus Pagan mendapat julukan "Raja Durian", mengingat saat panen raya durian, dia bisa mengantongi sekitar Rp 70 juta. Seperti pada akhir Maret lalu, yang merupakan masa akhir panen raya durian di Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
    Pada panen kali ini Fabianus menyetorkan uang Rp 70 juta untuk disimpan  pada Koperasi Kredit Obor Mas Maumere. Uang itu merupakan hasil penjualan ribuan durian dari kebun miliknya di Desa Kloangpopot, Kecamatan Doreng, Sikka.
   "Memang baru 50 pohon yang berbuah, tetapi hasilnya sangat menjanjikan," katanya.
    Keluarga besar Fabianus adalah pelopor penanaman durian di Kloangpopot, Kecamatan Doreng. Dari 21 kecamatan di wilayah Sikka, daerah yang menghasilkan durian hanya dua kecamatan, yakni Doreng dan Hewokloang, dengan total area sekitar 10 hektar.
   Di Kecamatan Doreng, desa penghasil durian terbesar adalah Kloangpopot. Di sini Fabianus menjadi warga yang mempunyai pohon durian terbanyak, yakni sekitar 500 pohon.
     Namun, Fabianus mengaku, belakangan ini dia terpaksa menebang sekitar 200 pohon durian. Alasannya, dia merasa kewalahan mengurus kebunnya seorang diri.

Merantau

    Awal yang membawa bibit durian ke Kloangpopot adalah almarhum Yohanes Pajung, kakak Fabianus Pagan. Bibit durian itu dibawanya dari Makassar, Sulawesi Selatan.
   Fabianus yang kemudian merantau mulai tahun 1954 pun mengikuti jejak sang kakak. Dia juga membawa bibit durian dari tempatnya merantau.
   Pria yang menikah pada 1962 itu mengadu nasib dengan menjelajahi sejumlah wilayah Indonesia, di antaranya Makassar, Bali, Pulau Jawa, kalimantan, Sumatera, Maluku, dan Papua. Berbagai jenis pekerjaan pernah dicobanya, mulai dari pembantu rumah tangga sampai penjaga toko.
    "Waktu itu saya memutuskan merantau untuk memperbaiki nasib, selain mau mencari pengalaman sekaligus menambah wawasan dari luar kampung. Setelah menikah, saya pamit sama keluarga untuk merantau sekitar empat bulan. Lalu saya kembali lagi, begitu seterusnya," ungkapnya.
   Selama di perantauan, Fabianus memilih bergaul dengan kalangan orang tua untuk bertukar pengalaman. Lelaki yang mempunyai hobi mendengarkan siaran berita dari radio asing itu juga lebih suka berada di daerah pedesaan yang alamnya  mirip dengan kondisi di kampungnya.
   Di daerah perantauan dengan alam yang subur serta ragam tanaman buah dan tanaman perdagangan yang memberikan dampak ekonomi bagi petani, Fabianus pun termotivasi untuk menanam tanaman serupa di kampungnya. Ia punya kebun di Kloangpopot.

Mengumpulkan bibit

   Fabianus mulai mengumpulkan bibit tanaman buah. Ketika dia kembali ke Sikka, bibit itu dibawanya. Di kebunnya kini tumbuh tak hanya pohon durian, tetapi juga rambutan, nanas, salak, nagka, ubi kayu, kelapa, kakao, dan sekitar 280 pohon cengkeh.
   "Saya masih ingat, bibit kecapi, nanas, dan rambutan dibawa dari Kampung Sawah, Jakarta. Dulu, saya juga mempunyai kebun kopi yang luas, sampai mendapat julukan 'Raja Kopi' di Maumere, ha-ha-ha. Tahun 1982 semua pohon kopi saya tebang karena kesulitan pasar," katanya.
   Tahun 1972 ia mengumpulkan biji durian di Surabaya, Jawa Timur, hingga sekantong besar. Biji durian itu dia kumpulkan dari kerabat yang makan durian. Ketika kembali ke Sikka, bibit durian itu dia bawa dan ditanamnya.
   Tahun 1980, pada usia 49 tahun, Fabianus memutuskan tak lagi merantau. Ia ingin fokus mengembangkan kebun buah dan tanaman perdagangan. Langkah kakek dari delapan cucu ini menanam durian tidak sia-sia. Dalam kurun waktu sekitar tujuh tahun, pohon durian di kebunnya berbuah. Ia sampai kehabisan tenaga mengurus kebun durian itu.
   Pasalnya, saat panen, dia mesti berkeliling memantau dan mengambil buah durian yang telah masak di pohon dan jatuh ke tanah. Padahal, ia merasa tak lagi muda.
   "Itulah rahasia durian Maumere terasa enak. Umumnya pemilik durian di desa ini tidak mau memetik buah yang masih di pohon. Mereka hanya mengambil buah yang sudah jatuh ke tanah," tutur Fabianus.
   Durian cocok di daerah beriklim sejuk dan bertumbuh baik di dataran tinggi yang terletak lebih dari 500 meter di atas permukaan laut. Oleh karena itu, durian yang ditanam di Kloangpopot tumbuh baik karena desa yang terletak sekitar 25 kilometer dari kota Maumere ini berada pada ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut.
   Warna daging durian Maumere ada yang kuning dan putih, tebal, berbiji kecil, rasanya manis, lembut, serta berkulit tipis. Berat durian Maumere 1,5-2,5 kilogram. Durian berwarna kulit hijau dan kuning kecoklatan itu dijual dengan harga Rp 15.000-Rp 35.000 per buah.

Melibatkan warga

  Ketika panen, Fabianus biasanya meminta jasa warga setempat untuk mengumpulkan dan mengangkut durian dari kebunnya untuk dibawa oleh tukang ojek. Ia memberi mereka upah sekitar Rp 1.000 per buah. Dengan ojek, buah durian dinaikkan ke mobil bak terbuka yang parkir di jalan desa.
   "Upah untuk tukang ojek sekitar Rp 10.000 per 30 durian," katanya. Ada pun untuk jasa transportasi mobil bak terbuka dari desa ke pasar sebesar Rp 50.000 per 100 buah.
   Selama ini hasil penjualan durian terbukti dapat menopang ekonomi keluarga. Di tanah warisan miliknya di Maumere, Fabianus membangun dua rumah dan 12 kamar indekos. Dua rumah itu ia kontrakkan dengan sewa masing-masing Rp 25 juta per tahun dan tarif indekos Rp 1,5 juta per kamar per tahun.
   Pohon durian berusia puluhan tahun dapat menghasilkan 800-1.000 buah. Jika durian kecil dari Kloangpopot bisa dijual Rp 25.000 per buah, dan setiap pohon durian menghasilkan 800 buah, berarti sekali panen untuk satu pohon saja Fabianus memperoleh sekitar Rp 20 juta.
    Bisa dibayangkan apabila Fabianus mempunyai 300 pohon durian yang produktif, tentu keuntungan berlimpah dalam genggamannya. Apalagi peluang bisnis atau permintaan durian di Maumere ataupun Flores cenderung tinggi karena lahan kebun durian di kawasan ini masih terbatas.
   Keberhasilan Fabianus mengembangkan durian telah menginspirasi dan memotivasi warga Desa Kloangpopot dan sekitarnya. Warga pun berlomba-lomba menanam pohon durian. Bahkan, sejumlah warga Kloangpopot sudah ada yang berhasil mengikuti jejak Fabianus.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 25 JULI 2012

Jumat, 27 Juli 2012

Cecilia Susiloretno: memperjuangkan Hak Pekerja Rumahan


CECILIA SUSILORETNO
Lahir: Malang, Jawa Timur, 6 Februari 1960
Pendidikan: S-1 Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang
Suami: Margowiryono
Anak: Rangga Ratno Amiwirantyo, Radityo Ratno Amidarma
Riwayat pekerjaan:
- Sekretaris Jenderal Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI)
- Koordinator Nasional Homenet Indonesia
- Koordinator Homenet Asia Tenggara, 2006-kini Pendampingan masyarakat:
- Sebagai sekretaris dan bendahara turut mewujudkan perlindungan sosial 
  bagi wanita pekerja rumahan di Kabupaten Tulungagung, Sidoarjo,
  Pasuruan,  dan Malang, 1990-1995
- Sebagai sekretaris dan bendahara turut memberi perlindungan sosial bagi 
  Tenaga Kerja Indonesia/Wanita di Luar Negeri (TKIW-LN) dan keluarga yang 
  ditingal di Kabupaten Ponorogo dan Madiun, 1995-1998
- Pendampingan Anak pada Program Perlindungan Sosial bagi TKIW-LN dan 
  Keluarga yang ditinggal di kabupaten Ponorogo dan Madiun, 1996-1997
- Himpunan Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (HWPRI) Jawa Timur,  
  1996-kini
- Sebagai Pimpinan Pelaksana Program Aksi Penanggulangan Perdagangan 
  Perempuan dan anak Indonesia ke Luar Negeri, 2003
- Community Coordinator for Indonesia Home-based Workers, 2002-2005

Fenomena pekerja rumahan di Indonesia, khususnya Malang Raya, semakion marak terjadi. Pekerja rumahan adalah buruh subkontrak yang mengerjakan order dari perusahaan dengan sistem lepas.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Sistem pekerja rumahan tersebut sangat ekonomis dan efisien bagi pengusaha. Di sini pengusaha tak perlu mengeluarkan dana untuk tunjangan hari raya (THR), Jamsostek, gaji tetap, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lain seperti kewajiban yang harus diberikan perusahaan kepada karyawan resmi. Namun bagi pekerja, sistem rumahan dianggap tak manusiawi.
     "Kalau model kerja seperti outsourching (alih daya) dianggap merugikan pekerja, sistem pekerja rumahan bisa dibilang lebih buruk," ujar Cecilia Susiloretno, Sekretaris Jenderal Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia atau MWPRI, Selasa (24/7), di Malang.
     "Pekerja rumahan tidak bernaung dalam lembaga tertentu. Mereka tak terikat kontrak. Hubungan kerjanya sebatas barang yang dikerjakan," ujarnya.
     Jasa pekerja rumahan biasanya dihargai sangat murah, sekitar sepersepuluh (1/10) dari harga jual produk buatannya. Semisal harga sebuah kalung manik-manik dari kayu Rp 10.000, maka di tangan pekerja rumahan itu, setiap kalung dihargai Rp 1.000.
     Contoh lain, pemetik kecambah yang biasa disetorkan ke pasar hanya memperoleh upah Rp 700 untuk satu kilogram kecambah yang dia bersihkan.
     Kondisi itu dimungkinkan karena semua bahan baku produksi yang mereka hasilkan disediakan oleh pemberi order. Pekerja rumahan "hanya" bertugas merangkainya.
     Padahal, kalau terjadi sesuatu terhadap barang itu, misalnya rusak atau tak sesuai pesanan, biasanya yang harus menanggung pekerja rumahan. Mereka juga terpapar cat berbahaya dari bahan kimia yang dipakai dalam pembuatan produk," katanya.
     Di sini, pekerja rumahan harus menanggung sendiri akibatnya. Mereka tak punya jaminan kesehatan atau kecelakaan kerja. "Hal-hal seperti itu nyaris tak pernah diperhatikan."

Berbagai usaha

    Berdasar penelitiannya, setidaknya 50 persen dari total pekerja informasl adalah pekerja rumahan. Di Malang, sistem kerja itu dianut berbagai jenis usaha, seperti konfeksi, rokok, bordir, dan sepatu. Di Malang Raya misalnya, banyak bidang usaha yang beralih pada model pekerja rumahan.
     Salah satu perusahaan sepatu di Malang misalnya, menurut Cecilia, dari 800-an karyawan sebelumnya, kini hanya mempekerjakan sekitar 200-an orang. Selebihnya diberikan kepada pekerja rumahan, mereka yang tak masuk catatan resmi karyawan perusahaan.
     Tergerak untuk membela hak perempuan pekerja rumahan, ia mengajak pekerja rumahan untuk berhimpun dalam Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia tahun 1996.
     MWPRI adalah organisasi yang menjadi mitra pekerja rumahan. Mereka melakukan advokasi hukum dan pendampingan bagi pekerja rumahan. Mereka juga mencoba membangun penyadaran bagi pekerja rumahan, untuk membuka usaha mandiri.
    Keterlibatan Cecilia dengan pekerja rumahan bisa dibilang tak sengaja. Pada 1989, kala ia menjadi peneliti di LSM Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP), tugasnya antara lain meneliti pekerja rumahan. Dari penelitian itu, ia mendapati fakta, sebagian besar mereka adalah perempuan. Pendapatan mereka pun minim.
     Usai penelitian itu, ia lebih intensif berhubungan dengan perempuan pekerja rumahan. Sebagai sekretaris pada LSM YPP, ia mulai mengorganisasi mereka.
     "Awalnya kami minta bantuan kepala desa untuk mengumpulkan mereka. Namun lama-lama cara itu tak efektif, karena satu per satu mulai tak datang. Mereka beralasan harus menyelesaikan order," ujar Cecilia yang pernah menjadi dosen pada beberapa universitas di Kota Malang pada 1990-an.
      Jadilah dia dan teman-teman LSM itu melakukan pendekatan personal. Mereka tinggal sebulan di desa pusat pekerja rumahan demi mendapat kepercayaan. "Akhirnya, mereka percaya, kami serius mau membantu," ujar Cecilia yang berhenti menjadi dosen agar fokus mengurusi perempuan pekerja rumahan.
   Sejak itu ia terus mendorong isu perempuan pekerja rumahan agar pemerintah daerah membuat peraturan perlindungan pekerja rumahan. "Namun pemerintah daerah butuh aturan untuk melangkah, jadilah kami membawa isu ini ke pemerintah pusat."

Berorganisasi

     Dalam naungan MWPRI, perempuan pekerja rumahan diajak berorganisasi, didorong membuat serikat buruh, diberi pelatihan keterampilan dan manajemen, serta koperasi.
     "Koperasi bersama dengan sistem tanggung renteng ini, penting. Melalui koperasi, pekerja rumahan yang ingin memperoleh modal usaha bisa mendapatkannya, meski tanpa agunan. Jaminannya, persetujuan dari kelompoknya," ujar Cecilia.
     Upaya pemberdayaan itu dinilai mampu mendorong pekerja rumahan yang awalnya hanya buruh subkontrak, menjadi pengusaha kecil.
     Upaya Cecilia dan rekan-rekannya di MWPRI untuk memutus rantai sistem pekerja rumahan, tak sia-sia. Telah banyak perempuan pekerja rumahan yang bisa melepaskan diri dari perusahaan. Mereka bisa mandiri dan mampu mendirikan usaha sendiri.
     "Satu hal yang menggembirakan, perjuangan kami mengangkat masalah pekerja rumahan menjadi isu nasional itu menunjukkan hasil. Kini ada draf final peraturan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan yang khusus untuk perlindungan perempuan pekerja rumahan," tutur Koordinator Homenet Asia Tenggara, organisasi untuk perlindungan pekerja rumahan ini.
     Jika peraturan menteri itu sudah resmi, ia berharap diteruskan ke Kementerian Perdagangan. Berikutnya, perlindungan pekerja rumahan diharapkan tak hanya berlaku kepada perempuan, namun juga lelaki.
     "Setiap daerah bisa menjadikannya dasar peraturan daerah perlindungan pekerja rumahan. Semoga dengan ini, hak-hak pekerja rumahan mulai diperhatikan,' ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 27 JULI 2012

Rabu, 25 Juli 2012

Edi Diana: Hidup Baru Bersama Ayam Sentul

EDI DIANA
Lahir: Ciamis, Jawa Barat, 1 September 1968
Istri: Imas Siti (43)
Anak:
- Muhammad Lukman (15)
- Asisyah Sarah Azahra (7)
Pendidikan:
- SD gayam Ciamis, lulus 1982
- SMP 1 Ciamis, 1985
- SMA PGRI Ciamis, 1988
- Fakultas Olahraga, Universitas Pasundan, Bandung, 1993

Tahun 2004 menjadi masa suram dalam hidup Edi Diana, peternak ayam asal Kampung Karang, Desa Ciamis, Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Ratusan ayam arab miliknya mati akibat imbas munculnya flu burung. Bukan tertular virus avian influensa, ayam arab miliknya mati karena kekurangan makanan. 

OLEH CORNELIUS HELMY

"Adanya flu burung membuat pembeli ayam turun drastis. Akibatnya, saya tidak punya uang untuk membeli pakan. Dari 2.600 ekor ayam saya, hanya tersisa 40 ekor. Bahkan, saking kesalnya pernah saya pecahkan sekitar 650 telur ayam yang tidak laku dijual. Saya bangkrut dengan utang Rp 80 juta," kata Edi.
     Roda kehidupan Edi tidak pasti pascabangkrut. Ia mencoba berjualan rumput laut hingga panci penggorengan. Tidak ada satupun dari usaha yang digelutinya itu membuat dia berpenghasilan ideal dan mampu memberi semangat hidup.
     "Susah dan pahit kalau mengingat kehidupan waktu itu," kata Edi dengan mata berkaca-kaca. 
     Sampai dia kemudian mengenal ayam sentul sekitar tahun 2007 dari Yanto Supriyanto, rekannya yang bekerja pada Dinas Peternakan Kabupaten Ciamis. Ayam sentul adalah turunan ayam hutan asal Ciamis yang telah didomestifikasi. Ciri khasnya, dominasi abu-abu dengan postur mirip ayam petarung.
     Tercatat ada lima jenis ayam sentul, yaitu sentul batu, abu, debu, emas, dan sentul geni. Seekor ayam sentul bisa mencapai bobot 9,5 kilogram dalam tiga bulan, dengan produktivitas telur 12-30 butir.
     Akan tetapi, Edi sempat ragu dan takut pengalaman buruknya saat memelihara ayam arab bakal terulang. Apalagi dia belum mengenal seluk-beluk budidaya ayam sentul.
     Tetapi, semangat yang diberikan Pak Yanto membuat saya tertantang. Saya melihat ada potensi yang belum dikembangkan dari ayam sentul," katanya.

Permintaan melonjak

     Ketika itu, untuk mendapatkan induk atau bibit ayam sentul bukan pekerjaan mudah karena jenis ayam itu belum menjadi primadona. Pada tahun 2007, selama berbulan-bulan Edi harus mendatangi berbagai pelosok Ciamis. Namun, upayanya itu hanya menghasilkan 40 ekor ayam sentul.
     Akan tetapi, pengalaman itu memberikan pelajaran baru bagi Edi. Hasil diskusi dengan beberapa pakar unggas membuat dia bisa menyimpulkan bahwa ayam sentul berada di ambang kepunahan karena minimnya perhatian semua pihak.
     Data Dinas Peternakan Jawa Barat menyebutkan, ayam sentul jumlahnya hanya 1 persen dari total ayam kampung di Ciamis yang populasinya sekitar 2,7 juta ekor.
     Namun, fakta itu justru membuat Edi semakin tertantang. Belajar dari buku dan para peternak senior, dia mengatakan pembudidayaan ayam sentul tidak berbeda dengan ayam kampung lain pada umumnya.
     Salah satu pembedanya adalah kandang ayam sentul sebaiknya dengan suhu hangat, sekitar 36 derajat celsius. Untuk mendapatkan bobot ideal dalam waktu tiga bulan, ia memberikan konsentrat dicampur dengan dedak dan jagung.
     Selain makanan pokok, "senjata rahasianya" adalah pemberian ramuan organik guna meningkatkan nafsu makan dan stamina ayam. Bahan seperti jahe, bawang putih, bawang merah, dan kunir diracik menjadi minuman bergizi. Cara itu disebut Edi sebagai pencegahan berbagai penyakit.
    "Pengelolaan kandang juga dilakukan intensif dengan fokus memperhatikan kesehatan dan kebersihan kandang. Peternak lainnya juga ikut diajak dan diperkenalkan pada budidaya ayam ini," kata Edi.
     Akan tetapi, usahanya untuk membangkitkan potensi ayam sentul ternyata tidak lepas dari nada sumbang. Beberapa peternak hingga pejabat Dinas Peternakan Ciamis meragukan usahanya. Kerugian yang dialami Edi saat mengelola ayam arab pun diungkit kembali.
     Tak putus asa, hal itu justru digunakan Edi sebagai penyemangat untuk maju. Ia bahkan menggagas pendirian Gabungan Kelompok Ternak Ayam (Gapoktan) Sentul Ciung Wanara.
     Gapoktan tersebut menjadi rumah bagi sekitar 30 peternak ayam sentul di Ciamis, baik untuk membicarakan cara budidaya maupun meningkatkan kesejahteraan petani dan budidaya berkelanjutan.
     Usahanya itu membuahkan hasil. Memasuki tahun 2009 permintaan ayam sentul melonjak drastis. Pesanan datang dari Aceh, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Kalimantan Barat, hingga Papua. Banyak pesanan terpaksa mereka tolak karena keterbatasan ayam.
     Peternak hanya mampu memenuhi permintaan sekitar 2.000 ekor per bulan, dengan harga ayam dewasa Rp 23.000-Rp 30.000 per ekor. Kondisi itu jauh dari permintaan konsumen yang mencapai sekitar 1.000 ekor per hari.
     "Mayoritas ayam sentul masuk ke restoran hingga supermarket di Jakarta dan Bandung," kata Edi.

Mengajak generasi muda

     Sukses mengembangkan ayam sentul, Edi tidak ingin berlari sendiri. Berkaca pada pengalaman pernah susah, dia berinisiatif mengajak anak muda yang duduk di bangku SMA atau sedang menganggur untuk turut memelihara ayam sentul.
     Ia melihat masih banyak anak muda Ciamis yang memilih hijrah ke Jakarta atau Bandung selepas SMA. Bekerja di pabrik atau sektor informal dengan gaji kecil di kota besar masih menjadi pilihan mereka di tengah terbatasnya kesempatan kerja di Ciamis.
     Pendampingan intensif pun dia lakukan. Selain memberikan bibit, ia juga menyediakan diri sebagai tempat bertanya seputar pemeliharaan ayam senntul. Edi mengklaim, dari 30 pemuda yang dia ajak, sekitar 50 persen kini menekuni budidaya ayam sentul.
     "Bahkan, ada anak muda yang lalu melanjutkan pendidikan ke Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran agar semakin mahir mengembangbiakkan ayam sentul," katanya.
     Beragam kalangan juga mengakui keberhasilan Edi bersama Gapoktan Ciung Wanara. Kiprahnya dijadikan bahan penelitian, skripsi, disertasi, hingga tesis mahasiswa dari dalam dan luar negeri.
     Penghargaan tingkat provinsi dan nasional pun datang silih berganti diterima Edi. Penghargaan itu antara lain sebagai Juara 1 Lomba Kelompok Agrobisnis Peternakan Jawa Barat tahun 2009, Juara 1 Lomba Kelompok  Agrobisnis Peternak Komoditas Ayam Buras Tahun 2009, dan Juara 1 Ketahanan Pangan melalui Pengembangan Agrobisnis Pangan tahun 2009.
     "Kami tidak ingin berhenti sebelum ayam sentul menjadi raja di tempat asalnya Ciamis. Penambahan populasi ayam sentul pasti akan memberikan penghasilan lebih besar bagi penduduk Ciamis," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 26 JULI 2012

Senin, 23 Juli 2012

Yustina Jut: Penggagas Kelompok Perempuan Mandiri Desa

YUSTINA JUT
Lahir: Lembor, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 29 September 1969
Pendidikan: SMA
Suami: Fransiskus Ria
Anak:
- Silvester Nuh
- Irfan Wea
- Hendra Jebarut
- Constantinus
Pekerjaan: Ketua Kelompok Perempuan Mandiri Desa di Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur

Kesulitan ekonomi keluarga membuat para ibu rumah tangga merasa resah. apalagi jika sang suami tidak peduli atas persoalan tersebut. Yustina Jut dari Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, menyadari masalah ini. Dia kemudian mengumpulkan para ibu rumah tangga untuk membentuk kelompok kerja. Kelompok ini disebut Perempuan Mandiri Desa.

OLEH KORNELIS KEWA AMA & SAMUEL OKTORA

Perempuan Mandiri Desa (PMD) lahir bulan April 2004 dan beranggotakan 15 orang. Dari jumlah tersebut, 10 orang di antaranya adalah "orangtua tunggal" karena suami mereka merantau ke Malaysia tanpa kabar berita.
     "Ketika itu kondisi ekonomi keluarga kami morat-marit. anak-anak menuntut uang jajan, pakaian baru, dan kebutuhan lain. Ini membuat biaya hidup kami terus meningkat. Padahal, para suami yang pergi bekerja sejak pagi dan pulang sore hari tetap tidak jelas penghasilannya," ungkap perempuan yang akrab dipanggil Jut ini.
     Apalagi para ibu rumah tangga di kampungnya terbiasa hidup dengan bergantung sepenuhnya secara ekonomi kepada suami masing-masing.
     Jut kemudian memimpin musyawarah para ibu rumah tangga. Kegiatan awal PMD di mulai tahun 2004 itu pula dengan menanam jahe di area seluas sekitar 5.000 meter persegi. Ketika itu ada informasi bahawa harga jahe Rp 10.000 per kilogra (kg) dan ada investor yang mau membeli jahe mereka langsung di Bajawa.
     Ternyata informasi itu tidak benar. Panen jahe mereka sekitar 35 kg hanya terjual dengan harga Rp 3.000 per kg. Namun, Jut tidak ingin para ibu menyerah.
     Dia berusaha terus meyakinkan para anggota PMD agar melakukan sesuatu yang menghasilkan uang. Mereka lalu beralih menanam kentang tetapi gagal total. Jut lalu mengajak para ibu menanam kacang kedelai karena pusat kedelai Flores berada di Ngada.
     Mereka membeli bibit kedelai dengan harga Rp 10.000 per kg, tetapi setelah dipanen dan dijual ternyata hanya dihargai Rp 7.000 per kg. Tak putus asa, PMD berganti menanam kacang merah. Akan tetapi, harga jual kacang merah pun hanya Rp 7.000 per kg.
     "Harga hasil pertanian itu ternyata tak berpihak kepada petani. Tetapi, saya harus tetap berpikir optimistis. Dalam kelompok ini, kami tak sekadar mengejar keuntungan ekonomis, tetapi menjadikannya wadah saling tukar pengalaman, curhat, dan meringankan pekerjaan antar ibu," ujarnya.

Anggota bertambah

    Cara memimpin Jut membuat jumlah anggota PMD terus bertambah sampai menjadi 50 orang pada 2005-2006. Ia kemudian membagi PMD menjadi dua kelompok, masing-masing dengan 25 anggota. Kelompok kedua disebut PMD2. Ia membina kedua kelompok ini selama beberapa bulan, lalu menyerahkan pembinaan PMD2 kepada orang lain. Sayang, PMD2 tak bisa bertahan. Melihat kesungguhan Jut dan anggota PMD, pihak pemerintah setempat selalu menghubungi mereka jika urusannya berkaitan dengan perempuan.
     Tahun 2007, PMD bergabung dalam kelompok kopi Arabica Organic di bawah pembinaan Unit Pengolahan Hasil (UPH) FA Masa, Bajawa (kini berubah menjadi Koperasi Serba Usaha Fa Masa). Di sini, mereka mulai menemukan jati diri berorganisasi dan bisa membantu meringankan beban ekonomi keluarga.
     Kopi yang semula dibeli tengkulak dengan harga Rp 1.000 per kg dijual ke UPH Fa Masa dengan harga Rp 5.000 per kg untuk jenis gelondongan. Sementara kopi biji (beras) yang sebelumnya hanya dihargai tengkulak Rp 38.000 per kg dijual Rp 51.000 per kg kepada UPH Fa Masa.
     Mereka hanya menjual kopi berkualitas kepada UPH, sedangkan kopi yang berwarna hitam, rusak, pecah, bubuk, dan kurang matang dijual kepada tengkulak sekitar Rp 2.000 per kg dan kopi biji (beras) Rp 15.000 per kg.
     Sebelum ada UPH Fa Masa, tengkulak berperan besar di sini. Mereka dengan sesuka hati menawar harga kopi petani. Bahkan, sebelum kopi dipanen, mereka sudah memborongnya.
     Buah kopi yang masih di pohon seluas 1-5 hektar juga sudah diborong tengkulak dengan harga Rp 2 juta-Rp 5 juta. Sekarang, tengkulak masih beroperasi di sini, tetapi mereka hanya mendapatkan kopi yang berkualitas jelek," katanya.
     Dari hasil penjualan kopi itulah anggota PMD dapat membantu menyekolahkan anak, menyediakan biaya kesehatan, dan memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan ekonomi rumah tangga pun lebih mudah diatasi ketimbang sebelumnya saat mereka hanya bergantung kepada suami.

Menanam kopi

     Kelompok PMD menanam kopi sesuai dengan pembinaan dari UPH Fa Masa atau langsung dari dinas perkebunan setempat. Kini, total luas lahan kopi milik PMD sekitar 20 hektar. Masing-masing anggota memiliki 250 are sampai 1 hektar lahan.
     Di kalangan masyarakat Flores, yang punya kebun kopi itu biasanya lelaki. Tetapi, di sini, kami perempuan pun punya tanaman kopi sendiri. Kami tidak hanya menanam, tetapi juga merawat, menyemprot hama, memanen, dan membuat pagar keliling kebun. Itu sebetulnya pekerjaan suami, tetapi kami juga bisa," kata Jut.
     Mereka bekerja secara gotong royong. Semua anggota PMD bekerja giliran. Setiap anggota mendapatkan jadwal kerja. Dalam satu hari, empat anggota kebagian kerja sekitar delapan jam, pukul 08.00-16.00 Wita.
     Berbagai pekerjaan dilakukan kelompok Jut. Mereka membersihkan rumput di kebun kopi, memangkas cabang kopi yang rusak, membersihkan ladang jagung dan umbi-umbian, menanam jagung, sampai mengaduk campuran semen untuk membangun rumah.
     "Jika kami bekerja berkelompok terasa ringan dan tak butuh biaya. Jika kami menyewa tenaga orang lain, satu tenaga harus dibayar Rp 7.500 per hari, belum termasuk makan, minum kopi, dan rokok. Totalnya bisa sampai Rp 25.000 per hari untuk satu orang. Kalau kami bekerja berkelompok, setiap anggota membawa bekal sendiri dari rumah," tuturnya.
     Pekerjaan berkelompok anggota PMD tak terbatas pada urusan mengelola kebun kopi. Setelah musim panen kopi pada bulan Mei-Oktober, mereka beralih menyiapkan lahan untuk menanam jagung, padi, singkong, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Penanaman di lahan ini pun mereka kerjakan bersama-sama sampai masa panen tiba.
     "Kami tidak pernah berhenti bekerja. Selalu ada pekerjaan yang harus diselesaikan kelompok dalam satu tahun. Bekerja juga menghilangkan stres karena dalam kelompok ini kami sering berbalas pantun, bergosip ringan, sampai membahas tentang pemilu dan pemilihan bupati," papar Jut sambil tertawa.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 16 JULI 2012

Rudiah: Maestro Pembuat Gerabah "Ceret Maling"

RUDIAH
Lahir: Dusun Banyumulek Timur, Desa Banyumulek, Lombok Barat, 
Nusa Tenggara Barat
Usia: 60 tahun
Suami: Wahidudin (almarhum)
Anak: Tujuh orang

Stroke telah mengakibatkan tubuh bagian kanan Rudiah lumpuh dan mulutnya miring ke kanan. Stroke membuat dia harus menjalani rawat inap selama lima hari di Puskesmas Kediri, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Namun, rupanya Tuhan "berkata lain". Rudiah bisa pulih dan perlahan-lahan dapat kembali menekuni pekerjaannya sebagai perajin gerabah, khususnya membuat "ceret maling".

OLEH CHAERUL ANWAR

Rudiah bisa dikatakan sebagai maestro pembuat ceret maling (semacam kendi) dari sekitar 3.000 perajin di sentra kerajinan gerabah Desa Banyumulek, Lombok Barat. Tidak sedikit perajin di desa berjarak sekitar 11 kilometer arah selatan Kota Mataram  itu yang berguru teknik membuat ceret maling dari Rudiah.
     Memang belakangan ini ada beberapa perajin yang bisa membuat ceret maling kendati mereka kemudian "mundur pelan-pelan" lantaran kurang tekun menjalani pengerjaannya. Membuat ceret maling memerlukan konsentrasi dan keterampilan khusus dari perajin.
     Selain itu, pembuatan kendi itu pun memerlukan waktu relatif lama. Di sisi lain, kemampuan perajin membuat ceret maling dinilai orang sebagai "puncak" keterampilan seorang perajin gerabah.
     "Membuat ceret maling itu ruwet, terutama waktu kita membuat pipi bejananya. Di sini perlu konsentrasi perajin," kata Rudiah.
     Keterampilan khusus dan konsentrasi yang dimaksud Rudiah adlaah saat perajin membuat bagian kendi berupa semacam pipa bejana yang mengerucut kian ke atas. Ini merupakan bagian yang "khas" dari ceret maling.
     "Agar tidak retak saat pembuatan dan pembakarannya serta ikatannya pun kuat, tanah liat harus direkatkan setelah agak kering," tutur Rudiah menambahkan.
    Dibandingkan teko atau kendi lain yang biasanya dilengkapi lubang terbuka pada bagian atas, ceret maling justru sebaliknya. Pada bagian atas kendi itu justru buntu, sementara di bagian bawah terdapat lubang memanjang dari wadah penampung air itu hingga bagian atasnya.
     Lubang itu sebagai jalan atau saluran memasukkan air. Jika kendi itu dibalik atau dalam keadaan berdiri, air dalam ceret tidak tumpah. Jalan mengisi airnya yang "tersembunyi" dan bisa "menipu" itulah agaknya yang membuat bentuk kendi tersebut dinamakan ceret maling.

Prosesnya rumit

     Proses pembuatan ceret maling yang rumit menuntut perajin harus tahan duduk belama-lama. hal ini pula yang membuat kebanyakan perajin malas membuat ceret maling.
     Sebagai bayangan, untuk menyelesaikan dua ceret maling diperlukan waktu pengerjaan sampai sekitar lima hari," ujar Rudiah.
Tak heran jika kebanyakan perajin lebih memilih membuat selao (gentong), kekete (sagon), kemek (periuk), dan produk gerabah lain yang relatif bisa mereka selesaikan dalam waktu singkat. Untuk produk gerabah seperti itu, perajin bisa menyelesaikan ima buah dalam sehari.
     Kondisi tersebut masih ditambah desakan tuntutan untuk mutu dan ketepatan waktu untuk menyelesaikan produk kerajinan gerabah. Hal yang tak mungkin dilakukan perajin ceret maling karena kendi itu tak bisa dikerjakan dengan terburu-buru.
     Namun, Rudiah tak menggubris tuntutan mutu dan ketepatan waktu tersebut. Ia tetap dengan irama kerjanya. Alasan dia, ceret maling tak hanya benda fungsional, tetapi juga barang seni yang memiliki keindahan  tersendiri.
     "Lamun lenge hasil pegawean, te wade isi batur (jika hasil kerja kita jelek, malah dicela oleh orang lain)," ujar Rudiah dalam bahasa Sasak, Lombok.
     Rudiah mengakui, sering kali dalam proses kerja itu ceret maling ada yang retak (apkir) seusai melewati tungku pembakaran. Apalagi jika dari awal pengerjaannya sembarangan, selain bisa dipastikan ceret maling itu bakal  apkir, energi perajin juga terkuras sia-sia.
     Guna menghindari masalah itu, Rudiah mempertahankan ritme kerjanya. Pilihan itu tak salah, terbukti sampai kini dia tak kehilangan konsumen. Banyak pemesan yang sebelumnya tidak disanggupinya karena memesan ceret maling dengan menentukan jumlah dan batas waktu tertentu justru kembali minta jasa Rudiah.

Serba bisa

     Dari proses kreatifnya itu, Rudiah bisa mengantongi hasil penjualan Rp 20.000 per ceret maling, lebih murah jika dibandingkan ceret maling yang sudah masuk kios cendera mata. Di toko cendera mata, ceret maling harganya Rp 50.000-Rp 100.000 per buah.
     Meski tenaga yang terkuras kurang sebanding dengan hasil materi yang didapat, Rudiah tetap setia sebagai perajin gerabah, khususnya ceret maling. Dunianya seakan sudah menyatu dengan gerabah atau memande, yang ditekuninya sejak ia berusia sekolah dasar.
     Keterampilan perempuan buta huruf itu awalnya dia peroleh dari sang bunda. Kaum perempuan di desa itu umumnya bisa membuat gerabah, seperti kemek, sagon, dan peralatan rumah tangga lain.
     Keterampilannya terus terasah, sampai sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang pernah melakukan program pendampingan di Desa Banyumulek menyebut Rudiah sebagai perajin serba bisa dan produknya berkualitas.
     Persentuhan Rudiah dengan ceret maling sebenarnya baru dimulai sekitar 1990. Ketika itu ada LSM yang meminta dia membuat ceret maling. Hanya berpedoman pada gambar sketsa yang diberikan, ia coba membuatnya hingga berkali-kali sampai mampu mewujudkan ceret maling sesuai standar mutu yang diinginkan konsumen.
     Apabila Anda melihat ceret maling yang dipajang di kios cendera mata di Mataram dan berasal dari Desa Banyumulek, hampir pasti itu adalah karya Rudiah.
     Ia lalu bercerita tentang cobaan berat yang dialaminya. suatu hari, saat bekerja, ia terjatuh karena mendadak merasa lemas. Rudiah pun dilarikan ke puskesmas dan dokter menyatakan Rudiah mengalami stroke. Selain sebagian tubuhnya lumpuh, bicaranya pun tak jelas. Selama lima hari ia dirawat inap.
     Ketika sudah diizinkan pulang dan dalam pemulihan, Rudiah tak tahan hanya dengan tidur seharian. Perangkat kerjanya yang menganggur dan tumpukan tanah liat seakan memberi energi bagi pemulihan kesehatannya.
     Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Rudiah berusaha mengisi masa pemulihan itu dengan kembali beraktivitas. Ia tak menghiraukan peringatan anak-anaknya agar sang bunda tak memaksakan diri membuat ceret maling.
     Rupanya tekad itulah yang justru membuat Rudiah sembuh dari penyakitnya. Tentang pengalamannya bangkit dari stroke, dia berujar, "Pekayunan Allah Taala, dait lamun penyakit te lawan si tindok doang, sere sakit bungkak-awak te (Ini semua kehendak Allah SWT. Kalau penyakit dilawan dengan tidur saja, sekujur tubuh kita justru semakin terasa sakit)."

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 JULI 2012

Jumat, 20 Juli 2012

Toto Fibri Kurniawan: Cita-cita Kaus Tulungagung

TOTO FIBRI KURNIAWAN

Lahir: Tulungagung, Jawa Timur, tahun 1974
Pendidikan: SMA Katolik Santo Thomas Aquino, Tulungagung 

Tulungagung, wilayah kabupaten di selatan Jawa Timur, seolah terlupakan. Maka, obsesi untuk dikenal dan bangga sebagai orang Tulungagung menjadi pikiran sebagian warganya, termasuk Toto Fibri Kurniawan. Meski telah 14 tahun bekerja dan tinggal di Surabaya, hatinya gelisah.

OLEH DODY WISNU PRIBADI

Dulu, Tulungagung adalah salah satu daerah industri rokok, seperti Kediri, Blitar, dan Malang. Kini, banyak pabrik tutup. Industri konfeksi pernah jaya pada dekade 1990-an, tetapi terempas, kalah bersaing dengan tekstil China. 
    Di wilayah selatan pun, di daerah Besole, pernah tumbuh kerajinan marmer. "Para pelaku industri hiasan marmer terjebak perang harga. Kerajinan yang dulu keren, misalnya kuda marmer setinggi 1 meter, lalu diproduksi sembarangan asal murah. Jadinya marmer Besole tak berkilau lagi," cerita Totok, panggilannya.
     Kabupaten Tulungagung kini hanya ditopang ekonomi buruh migran yang sulit diperoleh datanya karena banyak di antara mereka diberangkatkan perusahaan pengerah tenaga kerja dari Malang dan Surabaya. Selebihnya kota ini bertahan dengan ekonomi APBD, menjadikan pegawai negeri sipil seolah strata sosial tinggi di masyarakat.
     Totok yang gelisah, pulang dari Surabaya tahun 2008 karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Berbekal pesangon sekitar Rp 50 juta, ia kembali ke Tulungagung. Ia menghabiskan banyak waktu dengan menjelajah dunia maya. Dari sini dia mendapat ide untuk berbisnis kaus, cendera mata, dan oleh-oleh khas tulungagung.
     Dia sempat tinggal beberapa waktu di Yogyakarta untuk mempelajari bisnis terkait dengan cendera mata dan oleh-oleh khas Yogyakarta. Ia memutuskan membuat kaus, vandel, gantungan kunci, pin, dan pernak-pernik seperti mug. Barang-barang produksinya itu "menjual" budaya dan nilai-nilai masyarakat Tulungagung.
     Totok bermitra dengan temannya, Miswanto yang suka mengumpulkan buku-buku lama, lalu memilihkan tema lukisan dan "kata-kata".
maka, munculah sejenis kata-kata mutiara dan nasihat khas Tulungagung di kaus produknya.
     Desain salah satu kaus itu, misalnya, memelesetkan tulisan Yahoo dengan tipografi yang saa menjadi "Yooh!.. Ngopi", yang merupakan ucapan warga setempat untuk mengajak rekannya ke warung kopi.
    Contoh lain, mug putih dengan tulisan yang tipografinya mirip produk rokok yang kebanyakan iklannya berkata-kata unik. Mug itu, antara lain, bertuliskan "Djian mening", istilah setempat jika melihat sesuatu yang bagus atau perempuan cantik.
     Ada lagi desain tudingan Paman Sam saat memobilisasi generasi muda AS pada 1940-an dengan pernyataan "We want you!". Ide semacam ini sebelumnya marak di Yogya, antara lain lewat pelesetan merek rokok Marlboro menjadi Malioboro. Resep serupa terbukti masih berlaku untuk Totok dan Tulungagung.

Lewat internet

     Totok membuka gerai penjualan suvenir khas Tulungagung di Jalan MT Haryono, Tulungagung, selain memasarkan karyanya lewat Facebook. Produknya berlabel "Gadhe Toeloengagoeng". Gadhe singkatan dari gegayuhan kang gede atau cita-cita yang besar.
     Omzet penjualannya setiap bulan rata-rata masih di bawah Rp 10 juta. Namun, bagaimanapun ini hal baru untuk Tulungagung. Pemerintah Kabupaten Tulungagung langsung memesan kaus darinya. Kaus dan desain produknya itu dijadikan sebagai cendera mata bagi para tamu pemerintah setempat, termasuk saat Tulungagung menjamu rombongan pebalap, ofisial, dan pengurus balap sepeda Tour de East Java (2010).
     Promosi yang dia lakukan, antara lain, membuat semacam halaman khusus bagi pengunjung di Facebook Gadhe. Di sini ia tak sekadar mempromosikan produknya, tetapi juga mengetengahkan aneka kenangan dan kisah tentang Tulungagung. Ia memajang potret kegiatan SMA Tulungagung tahun 1959 dan membumbuinya dengan catatan singkat.
     Facebook dan industri rumahan kaus Gadhe pun tumbuh menjadi komunitas. Situs Gadhe merefleksikan Tulungagung sebagai medan percakapan mereka yang menyukai Tulungagung saling menyapa, saling menengok, dan membentuk ikatan emosional.
    Komunitas Facebook-nya menemukan cara memahami Tulungagung dengan cara berbeda meski mereka tetap berpegang dengan nilai-nilai lokalnya yang disebut "guyub" (rukun). Ini, antara lain, terkait dengan isi pesan pada kaus Gadhe serta gambar-gambarnya yang memotret dan menjadikan penanda Kota Tulungagung agar terangkat dan terpopulerkan melalui kaus Gadhe.
     Totok, antara lain, memajang gambar Terteg Plengkung Mangoensari (terteg=kreteg=jembatan), jembatan di dekat pasar yang biasanya tak dipedulikan orang. Namun, ketika gambar itu "dimediakan", mendadak menimbulkan kenangan dan semangat lokal.
     Inilah yang rupanya penting dilakukan dari sudut pandang perubahan sosial untuk mendorong semangat kolektif lokal. Mereka kemudian membawanya ke arah produktivitas serta pikiran positif tentang bagaimana masyarakat memahami diri dan komunitasnya.

Kebanggaan warga

     Totok mengaku pada awalnya dia tidak berencana membangun sebuah gerakan apapun kecuali sekadar menyelamatkan pesangon PHK-nya untuk dijadikan sebagai bisnis yang menjanjikan. Kebetulan dia masih melajang sehingga bisa berkonsentrasi dengan karyanya.
     Dia tidak menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu adalah upaya membangkitkan emosi lokal yang sudah lama hilang, yakni kebanggaan sebagai warga sebuah komunitas. Sebagai contoh, Totok mengangkat gambar Arca Dwarapala lewat produk kausnya. Arca itu dalam keseharian warga bisa dikatakan seolah sudah lama dilupakan, padahal itu penting sebagai identitas budaya.
     Arca Dwarapala dipastikan sebagai ciri sebuah pusat peradaban. Arca Dwarapala di Tulungagung terasa istimewa karena arca batu setinggi sekitar 1 meter di atas tugu ini berdiri berpasangan di tepian jalan di empat pintu masuk Kota Tulungagung. Jumlahnya delapan buah di seluruh kota.
     Sampai sekarang tak ada informasi arkeologis yang bisa menjelaskan kapan dan mengapa arca ini berada di tempat-tempat tersebut. Gambar arca yang dipajang pada salah satu kaus Gadhe, bersama ikon kota lainnya, seperti jembatan, makanan khas tape, atau toko 555, menimbulkan ikatan sosial baru. Itu semua menjadikannya terangkat dan seolah "dirayakan" kembali.
     Totok pun pintar memilih kalimat kebajikan Jawa pada karya produksi kaus yang dijajakannya. Tulisan ini dia sablonkan pada bagian belakang kaus.
     Salah satunya bertuliskan nasihat "ratu kang watek berbudi bawa leksana ambeg paramarta kusumo rembesing madu wijiling atapa iku mesthi dipundi-pundi dening para kawula", yang artinya kira-kira pemimpin yang rendah hati dan berbudi, seperti bunga yang merembeskan madu, hasil pertapaan yang mendalam, niscaya dia dipuji rakyatnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 20 JULI 2012

Rabu, 18 Juli 2012

Kaiman: "Duta Jamur" Asal Pasuruan

KAIMAN
Lahir: Pasuruan, 17 Agustus 1960
Pendidikan: Kelas II SMP
Istri: Husnia 
Anak:
- Hariyanto
- Neli Afandi
Pekerjaan:
- Pengusaha Jamur Tiram dan Jamur Kuping
- Ketua Paguyuban Jamur di Jawa Timur
Penghargaan:
- Penghargaan dari Provinsi Jawa Timur sebagai pembudidaya jamur dan 
  pemberdayaan masyarakat dengan jamur
- Sampoerna Award sebagai UKM jamur unggulan di Jawa Timur

Ketika situasi ekspor dalam negeri melesu, tidak demikian kondisinya dengan usaha kecil dan menengah jamur milik Kaiman. Dia adalah pengusaha jamur tiram dan jamur kuping asal Desa Bulukandang, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Sudah sekitar dua tahun ini dia berhasil mengekspor jamur ke China dan Korea Selatan sebanyak 6 sampai 10 ton per bulan.

OLEH DAHLIA IRAWATI

"Sekarang ini saya juga sudah dikontrak oleh pembeli dari Korea (Selatan) untuk bisa menyetorkan 16 ton jamur per bulan. Padahal, saat ini saya baru mampu memproduksi 10 ton per bulan. Jadi, saya bertekad bisa menaikkan produksi hingga mencukupi permintaan tersebut," tutur Kaiman, pemilik usaha kecil dan menengah (UKM) jamur tiram dan jamur kuping dengan label Jatiman Food Pasuruan, beberapa waktu lalu.
     Kaiman juga sudah enam bulan ini menjadi tamu kehormatan di negara tetangga, Timor Leste. Dia diundang oleh menteri pertanian negara itu untuk melatih dan menularkan ilmunya kepada warga setempat. Dia diminta  untuk berbagi pengetahuan tentang membuat tahu dan tempe, beternak lele, membudidayakan jamur, serta sejumlah usaha agrobisnis lain.
    Kiprah Kaiman tidak hanya di luar negeri. Di dalam negeri, dia juga terus menularkan ilmunya dalam budidaya jamur kepada siapa saja yang meminta. Bahkan, belakangan ini dia fokus dalam upaya menjadikan desanya yang dahulu termasuk salah satu desa kekurangan agar meningkat menjadi produsen jamur.
     "Ini berawal dari tahun 2005. Ketika itu saya mengajukan pelatihan usaha ke Sampoerna bersama 20 tetangga di sini untuk budidaya jamur. Harapan kami ketika itu, untuk mewujudkan keberadaan desa jamur di Pasuruan. namun, seiring berjalannya waktu, banyak usaha yang rontok. Hanya tersisa tiga dari 20 peserta pelatihan itu yang sampai sekarang masih bertahan membudidayakan jamur," cerita Kaiman.
     Sekarang ini, meski tidak banyak warga di desanya yang membudidayakan jamur, Kaiman tetap bertekad mewujudkan desanya menjadi kampung jamur. salah satu upaya yang dilakukannya adalah mempekerjakan tetangga, saudara, dan kerabatnya dalam UKM jamur miliknya yang terus berkembang.
     Siapa saja orang di desanya yang menganggur dan mau bekerja diterima Kaiman dalam UKM jamur miliknya. Bahkan, bekas preman pun tidak ditolaknya. Untuk menjalankan usahanya, Kaiman sekarang dibantu sekitar 50 karyawan.
     "Saya ingin merangkul semua orang, tanpa terkecuali. Biarpun preman, kalau bisa diajak berusaha, saya tetap yakin selain membuat desa ini aman, cita-cita untuk mewujudkan kampung jamur juga bisa tercapai. Semakin banyak orang terlibat dalam usaha jamur, lama-kelamaan mereka  akan semakin mahir membudidayakan jamur secara perorangan," ujar suami dari Husnia ini.

Menjadi sopir

     Kaiman juga yakin, setiap orang pada dasarnya bisa menjadi pengusaha kalau mau bekerja keras. Dia lalu bercerita, dirinya pun awalnya bukanlah sosok yang dikenal orang. Tahun 1980-an Kaiman bekerja sebagai sopir truk jurusan Surabaya-Bali. Selama sekitar 10 tahun dia menekuni pekerjaannya sebagai sopir truk antarprovinsi tersebut.
     Setelah itu, Kaiman juga sempat berpindah kerja. Dia pernah menjadi sopir bus. Pekerjaan ini dilakoninya selama sekitar tiga tahun.
     Berikutnya, tahun 1999 sampai 2003 adalah masa kelam bagi Kaiman. Ketika itu situasi ekonomi Indonesia semakin susah. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia mengaku sempat menjadi preman.
     "Untunglah kemudian saya sadar. Saya tidak ingin anak dan keluarga saya 'makan' uang haram. Itulah sebabnya, pada 2005 saya mengajukan pelatihan budidaya jamur ke Sampoerna. Syukur alhamdulillah sampai sekarang usaha ini terus berkembang," ujarnya.
     Saat mulai merintis usaha, Kaiman harus berhadapan dengan banyak orang yang sinis terhadap produk jamur yang ditawarkannya. Masyarakat masih merasa khawatir bahwa jamur hasil budidaya Kaiman itu beracun dan tidak higienis. Ketika itu, karyawannya pun masih lima-tujuh orang termasuk dirinya.

Ditolak

     Meski berkali-kali ditolak, Kaiman tidak patah semangat. Ia terus menawarkan jamur hasil budidayanya dengan mengendarai sepeda motor dari kota ke kota, seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Malang. Tidak sekadar menjual, Kaiman juga memberikan resep masakan berbahan jamur. Upaya ini dilakukannya guna menarik minat pembeli yang bingung akan dimasak apa jamur tersebut.
     "Lama-kelamaan orang tahu bahwa jamur tidak beracun dan bisa diolah menjadi makanan yang lezat dan bergizi," ujar ayah dari dua anak ini.
     Pada 2007, permintaan jamur mulai booming. Kaiman tak lagi harus menjajakan jamur dengan sepeda motor dari kota ke kota. Permintaan jamur mulai datang sendiri.
    "Permintaan mulai banyak dan ketika itu pun saya sudah kewalahan. Bagaimana tidak, permintaan banyak sementara produksi saya belum banyak. Saya lalu mendatangi orang-orang yang mau membudidayakan jamur di sekitar desa. Saya ajari mereka bagaimana membudidayakan jamur dan saya pun ikut memasarkannya," ceritanya.
   Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang mau membudidayakan jamur dan Kaiman pun bisa memenuhi pesanan yang masuk.
Meskipun pasokan jamur mulai aman, tetap saja saya belum bisa memenuhi permintaan dari Korea Selatan," ujar Kaiman.
     Berawal dari membudidayakan jamur di lahan seluas 240 meter persegi, kini Kaiman memiliki lahan budidaya jamur seluas sekitar 5 hektar.
     UKM Jatiman Food Pasuruan miliknya mampu memasarkan baglog jamur atau media tanam jamur sebanyak 2.500 unit per hari ke pasar lokal, seperti Bali dan Kalimantan. Produksi jamur mentahnya mencapai 10 ton setiap bulan. Omzet yang diperoleh Kaiman pun bisa mencapai sekitar Rp 350 juta per bulan.
     Kunci berusaha itu adalah jujur dan kerja keras. Saya yakin, usaha ini akan terus berkembang," katanya.
     Jujur, maksud Kaiman, adalah tak memberikan produk yang mengecewakan konsumen. Apa yang telah dibicarakan dan disepakati bersama, itulah yang harus diberikan.
     "Kerja keras artinya kita tidak boleh merasa enggan. Kita harus turun langsung bekerja dan membuka jalan memasarkan produk," katanya.
   Dengan jamur, Kaiman mampu "merangkul" banyak orang. Ia memperkenalkan dan mengajarkan nilai kejujuran dalam berusaha. Dia bisa menunjukkan citra positif bangsa Indonesia di mata bangsa lain. Kaiman menjadi "Duta jamur" Indonesia.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 JULI 2012

Jumat, 13 Juli 2012

Tedi Ixdiana: Memperkenalkan Pesona Panjat Tebing

TEDI IXDIANA
Lahir: Bandung, 22 September 1971
Pendidikan:
- SD Jatihandap, Bandung, lulus 1985
- SMP 4 Bandung, 1987
- SMA 7 Bandung, 1990
- Sekolah Tinggi Teknik Mineral Indonesia, 1990-1993 (tidak lulus)
- Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 1993-1995 (tidak lulus)
- Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Padjadjaran, 1995-1998 
  (tidak lulus) 

Bagi Tedi Ixdiana, tebing menjadi ruang kelas untuk menjaga lingkungan, menyelamatkan korban kecelakaan, hingga meningkatkan penghasilan masyarakat setempat. Sayang jika potensi ini tidak dikenal masyarakat Indonesia.

OLEH CORNELIUS HELMY

Salah satu ruang kelas favorit Tedi adalah perbukitan karet Citatah di Bandung Barat. Dengan batuan kapur yang solid, karst Citatah ideal untuk dijadikan arena pemanjatan. Sebagai pemanisnya, kawasan ini pernah menjadi rumah bagi fosil hewan laut sekitar 27 juta tahun lalu dan kuburan manusia prasejarah sejak 10.000 tahun lalu.
    "Akan tetapi, keberadaannya justru sedang terancam penambangan kapur. Banyak bukit dan gunung kapur rusak akibat bom atau garukan alat berat. Lewat panjat tebing, saya ingin menjaga keberadaan kawasan ini," katanya.
      Mulai tahun 1988, pemanjatan di Citatah mulai dia lakukan bersama beberapa rekannya. Tidak hanya para pencinta alam, peneliti dan seniman juga diajak ikut serta merasakan sensasi yang sama.
     Citatah bahkan kerap digunakan sebagai tempat upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa tebing yang menjadi favorit pemanjat adalah Tebing 125, Pasir Karangpanganten, Pasir Masigit, Pasir Hawu, dan Pasir Manik. Sekarang ada sekitar 200 jalur panjat di kawasan tersebut.
     "Semakin banyak orang yang peduli dan memanfaatkan tebing kapur, pasti akan membuat kelestarian kawasan karst Citatah tetap terjaga," ujarnya.
   Ruang kelas lain bagi Tedi adalah Tebing Siung di Gunung Kidul, Yogyakarta. Meski memiliki bentang alam yang unik, kawasan ini relatif belum terjamah. Padahal, tebing karang yang berbatasan dengan panorama laut selatan Jawa tersebut bisa menjadi paket menarik bagi pemanjat dan wisatawan.
     "Selain buruknya infrastruktur, masyarakat setempat belum paham tentang konsep wisata," kata Tedi.
     Promosi pun dia lakukan dengan membuat 60 jalur pemanjatan dengan tingkat kesulitan berbeda-beda. Bersama pemanjat tebing dari sejumlah daerah, Tedi kerap melakukan pemanjatan bersama untuk lebih memperkenalkan kawasan ini.
     Selain itu, pendekatan wisata juga dilakukan kepada warga setempat. Harapannya, warga mau menyediakan tempat penginapan, rumah makan, hingga memelihara kebersihan di sekitar tebing.
     "Sekarang, dukungan infrastruktur membaik dengan pengaspalan jalan sekitar 6 kilometer menuju lokasi tersebut. Berbagai kegiatan, seperti jambore pramuka, juga kerap dilakukan di Siung. Semoga masyarakat bisa sejahtera, tebing pun terjaga," tuturnya.

Menolong

     Sekitar 25 tahun lalu, dunia panjat tebing hanya dikenal Tedi lewat majalah dan koran. Dari bacaan tersebut dia tahu, pemanjatan tebing tidak hanya memberi seseorang pengetahuan tentang indahnya Indonesia, tetapi juga dapat menyelamatkan nyawa manusia.
     "Dari majalah dan koran itu, saya baca ekspedisi tim Jayagiri di Gunung Eiger serta evakuasi korban kecelakaan di Gunung Salak. Saya kagum karena semuanya dilakukan dengan teknik yang saya belum pernah tahu sebelumnya," kata Tedi.
     Dia lantas tertantang menjajalnya secara otodidak. Ilmu dan pengenalan dasar banyak dia dapatkan dari film dan buku panjat tebing yang didapatnya dari pasaar loak. Tebing Cisanggarung setinggi 60 meter di Kabupaten Bandung pun menjadi arena panjat pertama Tedi bersama beberapa rekannya pada 1987.
      "Peralatan panjat saya dapatkan dari mana saja. Beberapa alat kami buat sendiri, tetapi banyak juga yang dibeli dari pasar loak. Biasanya itu alat bekas tentara," ungkap Tedi.
     Pertemuannya dengan sesama pemanjat membawa dia pada Sekolah Panjat Tebing Skygers, Bandung, tahun 1989. Di tempat ini, Tedi mendapat banyak pengetahuan dasar dan lanjutan mengenai pemanjatan yang aman.
     "Dulu, kalau memanjat tebing, semua alat yang saya punya pasti dibawa. Tetapi, dengan pengenalan teknik di Skygers, saya bisa punya perhitungan alat apa yang harus dibawa sesuai tingkat kesulitannya," katanya.
     Di Skygers, dia bertemu banyak kawan sesama pemanjat tebing dan pencinta alam. Beragam kegiatan, dari pemanjatan bersama hingga tindakan penyelamatan korban hilang atau kecelakaan di gunung, dia lakoni. Seperti cita-citanya dulu, dia mendalami penyelamatan di daerah terjal (vertical rescue) yang bertujuan menolong korban jatuh atau terperosok dalam lubang atau jurang sempit.
     "Mimpi menolong manusia lewat panjat tebing perlahan diwujudkan. Tidak ada kepuasan lebih besar dibandingkan saat kita terlibat menyelamatkan orang lain," ujar Tedi yang kerap ikut melakukan evakuasi korban kecelakaan di Gunung Salak, Gunung Cikuray, dan Gunung Gede.
     Keahlian Tedi dalam vertical rescue mendapat perhatian dari banyak pihak, salah satunya Tentara Nasional Indonesia. Sejak tahun 1993, dia menjadi instruktur pelatihan vertical rescue satuan-satuan elite TNI. Dia memperkirakan, kini ada ribuan personel TNI yang paham tentang dasar dan teknik vertical rescue. Sekali lagi, ruang kelasnya adalah tebing di karst Citatah dan Gunung Parang di Bandung Barat.

1.000 jalur

    Tedi mengatakan, kiprahnya memperkenalkan panjat tebing tidak akan berhenti begitu saja. Dia tak ingin panjat tebing hanya digeluti pencinta alam atau tentara. Jika dikelola dengan baik, panjat tebing bisa menjadi kawasan wisata hingga hobi yang bisa dimanfaatkan siapa saja.
     Dia mencontohkan maraknya aktivitas panjat tebing di Batu Cave, Malaysia, sampai Kerabi dan Phuket di Thailand. Peserta panjat tebing itu beragam, mulai pencinta alam hingga ibu rumah tangga dan anak-anak.
     Bahkan, Singapura yang hanya punya satu tebing alam setinggi 25 meter di Bukit Timah pun ammpu meluluskan 1.000 pemanjat dari berbagai kalangan.
     Oleh karena itu, setidaknya untuk mewujudkan hasil yang sama, Tedi pun giat mendata dan membuat jalur baru pemanjatan tebing di seluruh Indonesia. Targetnya adalah mendata 1.000 jalur pemanjatan yang telah dia lakukan sejak tahun 1983. Hingga Juli 2012, dia sudah mendata 935 jalur pemanjatan di sejumlah daerah di Indonesia.
     "Potensi arena panjat tebing di Indonesia sangat beragam. Di sini ada Batu Layar di Laut Natuna hingga puncak Carstenz di Papua. Keistimewaan tersebut tidak dimiliki negara lain, tetapi belum bisa kita manfaatkan dengan baik," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 13 JULI 2012