Kamis, 30 Agustus 2012

Djitron Pah: Sasando untuk Indonesia Raya

DJITRON KORIYON PAH
Lahir: 26 Juni 1984 di Desa Oebelo, Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur
Orangtua: Jeremias Pah
Pengalaman:
- Juara I Solo Sasando pada Festival Sasando Piala Presiden di Kupang, NTT
- Tampil di Istana Negara pada acara peringatan Kemerdekaan RI 2009 
- Tampil pada acara televisi "Indonesia's Got Talent 2010", Pemenang ke-5 
  dari 14.000 peserta

Lagu "Indonesia Raya" berdenting dari sasando yang dimainkan Djitron Pah. Permainan lagu kebangsaan itu seperti maklumat Djitron yang ingin memperkenalkan instrumen petik tradisional khas Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

OLEH FRANS SARTONO

Djitron Pah (28), lelaki asal Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, itu datang ke Jakarta dua tahun lalu. Ia ingin mewujudkan cita-cita memperkenalkan sasando kepada kaum muda. Ia tahu benar jalan yang  harus dilewatinya, yakni jalur budaya pop.
   Sasando pun ia keluarkan dari predikatnya sebagai alat musik tradisional. Maka, oleh Djitron, sasando diajak memainkan lagu pop, semisal lagu Beatles "Yesterday" atau "Hey Jude". Ia juga suka memainkan "Imagine" nya John Lennon.
   Sasando, alat petik yang menggunakan daun lontar sebagai resonator itu, di tangan Djitron merdu mendentingkan lagu Michael Jackson, seperti "Heal The world" dan "Black or White".
   Sasando juga diajaknya berkelana ke alam musik R&B lewat lagu Alicia Keys, "If I Ain't Got You". Soal repertoar tentu tergantung di mana Djitron tampil. Pada acara-acara tertentu ia bahkan mengajak sasando-nya mendentingkan lagu dangdut "Alamat Palsu" dari Ayu Tingting.
   "Ya, supaya sasando juga bisa mengikuti zaman. Saya berani menerobos, mencoba untuk memainkan lagu-lagu yang semula saya kira sulit dimainkan dengan sasando," kata Djitron yang tengah menyiapkan diri untuk tampil dalam "Konser Kemerdekaan 2012" di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, 1-2 September mendatang.
   Bukan sekali ini Djitron tampil dalam konser besar. Sebelumnya ia pernah menjadi semacam pemain tamu dalam konser band Padi dan Naif di Kupang.
   Mengapa ia memilih jurus pop? "Saya pengin bikin orang tahu bahwa sasando itu tidak cuma bisa memainkan lagu daerah. Saya ingin sasando bisa masuk ke semua aliran musik," kata Djitron yang namanya mulai dikenal ketika muncul dalam acara televisi Indonesia's Got Talent tayangan Indosiar tahun 2010.
   Respons publik cukup melegakan. "Banyak yang heran dan kaget, ternyata Indonesia punya alat musik seperti ini."
   Lebih lega lagi, ternyata banyak anak muda Jakarta yang berminat belajar sasando. Maka, Djitron pun dengan senang hati bersedia mengajari mereka, termasuk melalui les privat.

Di luar tradisi

   Penampilan Djitron di pentas mengikuti kelaziman panggung hiburan modern. Tak seperti pemain sasando tradisional yang memainkan sasando dengan cara dipangku, Djitron bermain dengan cara berdiri.
Ia menempatkan sasando pada stand atau tiang penyangga seperti halnya tiang penyangga mikrofon.
   Sasando dimainkan menggunakan perangkat elektrik yang bisa dihubungkan dengan alat pengeras suara sehingga alat petik bersuara bening itu terdengar lantang tanpa kehilangan kelembutannya.
   Meski sasando telah diajak masuk dunia pop, Djitron terkadang masih tampil dengan kostum tradisional saat bermain sasando. Ia tetap mengenakan ti'ilangga atau solanga, topi khas Pulau Rote yang terbuat dari daun lontar. Djitron juga berselempangkan tatais, selendang dari kain tenun. Ia memakai sarung tradisional yang disebut lafa.
   "Itu memang sudah wajib bagi setiap pemain sasando. Namun, tidak setiap perform saya memakai pakaian adat itu. Saya menyesuaikan (diri dengan) acaranya."
   Bagaimanapun Djitron tumbuh melewati tahapan kehidupan tradisi pemain sasando. Ia masih terlibat ketika ayahnya, Jeremias Pah (74), seniman dan pembuat sasando, memainkan lagu tradisional dalam acara-acara adat, seperti panen, syukuran, dan perkawinan. Ia memainkan lagu tradisional, seperti "Batu Matia", "Lelendo", dan "Teo Renda" yang dianggap sakral.
   Sebagai generasi baru pemain sasando yang lahir pada era 1980-an, Djitron kecil juga memainkan lagu anak-anak, seperti "Ke Puncak Gunung."
   Persentuhannya dengan pergaulan remaja era 1990-an menjadikan Djitron akrab dengan lagu-lagu pop pada zaman ketika MTV mewabahkan budaya pop sampai ke berbagai sudut bumi.
   Di Jakarta, Djitron berada di luar ranah tradisi yang melahirkan sasando. Ia berhadapan dengan "tradisi baru" dunia modern, dunia industri. Sasando pun ia bawa ke "upacara" yang digelar masyarakat industri, seperti pada peluncuran produk yang diadakan bank atau acara seremonial, semisal pembukaan pameran yang diadakan pemerintah.
   Bahkan, sasando bisa masuk dalam acara makan malam. Pada ranah itulah sasando Djitron mendentingkan lagu-lagu Beatles dan sejenisnya. Prinsipnya, sasando harus bisa bicara di wilayah nontradisi, pada zaman yang berubah.

Turun-temurun

   Djitron lahir dari keluarga besar Pah, seniman dan pembuat sasando asal Pulau Rote. Ayahnya adalah pemain dan perajin sasando yang kini bermukim di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, NTT.
   Ayah Djitron mewarisi kemampuan membuat dan memainkan sasando dari sang ayah alias kakek Djitron, yaitu Aougust Pah. Sang kakek  adalah salah seorang yang ikut mengembangkan sasando di Rote pada awal 1900-an.
   "Kakek saya hidup pada masa ketika sasando hampir berada di titik kepunahan. Beliau adalah salah satu dari sedikit orang yang mempertahankan sasando di Rote," kata Djitron tentang leluhurnya yang berasal dari Desa Lalukoen, Rote Barat Daya.
   Aougust Pah meninggal pada 1972 dan Jeremias pun melanjutkan tongkat estafet sebagai pengembang sasando. Pada 1985, Jeremias hijrah dari Rote ke Desa Oebelo, Kupang Tengah, di Pulau Timor. Kini, muncul generasi ketiga dari keluarga Pah, yang antara lain memunculkan nama Djitron sebagai pemain dan pembuat sasando.
   Bagaimana reaksi sang ayah, Jeremias Pah, atas terobosan Djitron?
   "Ayah saya bilang, "Kalau saya bisa main seperti kamu, saya tidak akan di sini (Kupang) terus. Saya sudah keliling dunia," kata Djitron menirukan ucapan sang ayah.
   Djitron setidaknya telah mewujudkan impian keluarga Pah untuk menjadikan sasando sebagai bagian dari keluarga besar alat musik Indonesia. Dalam konser kemerdekaan, dia akan memainkan "Indonesia Raya".

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 30 AGUSTUS 2012

Selasa, 28 Agustus 2012

Ambrosius Ruwindrijarto: Mendemokratiskan Usaha di Hutan


AMBROSIUS RUWINDRIJARTO
Lahir: Grobogan, Jawa Tengah, 14 November 1971
Istri: Cicilia Debbie (32)
Anak: Lana Maringi Rejeki (5)
Pendidikan, antara lain:
- 2009: Harvard Business School Executive Education, Strategic Perspectives 
  in Nonprofit Management, Cambridge, AS
- 1994: Environment Education Course, North America Association for 
  Environment Education, Washington, DC, AS
- 1989-1996: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Pekerjaan, antara lain:
- 2003-kini: Anggota dan pendiri Samdhana Institute
- 1998-kini: Anggota dan pendiri Forest Watch Indonesia
- 1997-kini: Anggota dan pendiri Yayasan/Perkumpulan Telapak
- 2004-2006: Direktur PT Poros Nusantara Utama
- 2002-2004: Direktur PT Bahtera Lestari
Penghargaan:
- 2012: Ramon Magsaysay Award
- 2010: The Skoll Award for Social Entrepreneurship
- 2008; Ernst Young/Schwab Foundation Social Entrepreneurship of the Year

Menjalankan prinsip kerakyatan dan kelestarian menjadi pedoman Ambrosius Ruwindrijarto untuk mendampingi masyarakat pemangku hutan. Sejak 1996 ia berjuang mendemokratiskan usaha pemanfaatan hasil hutan secara lestari oleh rakyat. Pendiri Yayasan/Perkumpulan Telapak Indonesia ini meraih Ramon Magsaysay Award 2012.

OLEH NAWA TUNGGAL

"Usaha kerakyatan menekankan usaha yang dimiliki kolektif rakyat dengan semangat gotong royong, berorientasi memenuhi kebutuhan dasar komunitas. Prinsip kelestarian menjadikan bisnis pengelolaan alam itu berkelanjutan," kata Ruwindrijarto, Kamis (16/8), di Kedai Telapak, dekat Terminal Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat.
   Kedai telapak yang berupa kedai makanan dan minuman itu sekaligus kantor Telapak. Ini tempat rapat, juga untuk menerima para tamu Telapak. "Model bisnis ini untuk menjaga kesinambungan berorganisasi," katanya.
   Mendemokratiskan usaha di hutan secara lestari oleh rakyat, tak hanya konsep yang terus dibicarakan saja. Inti demokrasi itu partisipasi.
   Ruwi, panggilannya, membuktikan. Bahkan, ini menjadi perlawanan ketika pemerintah justru memintas usaha pengerukan habis-habisan dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada segelintir pemodal.
   Ruwi menempuh studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor tahun 1989-1996. Setelah lulus, ia bersama lima rekannya mendirikan organisasi Telapak. Setahun kemudian, lembaga ini berbadan hukum yayasan. Lima rekannya yang turut mendirikan Telapak adalah Hapsoro, Rita Mustika Sari, Arbi valentinus, Mohammad Imran Amir, dan Hermanto Effendy.
   "Badan hukum Yayasan Telapak menjadi kurang demokratis karena kekuasaan tertinggi di tangan pendiri. Pada 2002 diubah menjadi perkumpulan dengan kekuasaan tertinggi pada anggota," katanya.

Menoreh

   Orangtua Ruwi tinggal di Pegunungan Menoreh. Persisnya di Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta. Ini menjadi salah satu titik awalnya mewujudkan gagasan mendemokratiskan usaha pengelolaan hutan yang tersisa secara lestari oleh rakyat kolektif.
    "Saat saya pulang, sering berdiskusi dengan teman-teman di Samigaluh tentang kegiatan dan tujuan Telapak. Mereka bisa menerapkan dan menjadi pemimpin lokal," katanya.
   Di Samigaluh, Ruwi berpartisipasi mendirikan Koperasi Wana Lestari Menoreh pada 2006. Semula hanya beranggotakan 50 keluarga. Kini melampaui 1.000 keluarga anggota yang tersebar di enam kecamatan. Mereka mengelola dan mengolah kayu hasil hutan, seperti jati, mahoni, sonokeling, dan sengon. Budidaya empon-empon juga menjadi andalan pendapatan untuk bahan jamu industri farmasi.
   Koperasi ini meraih sertifikat dari Forest Stewardship Council (FSC) yang berpusat di Bonn, Jerman, pada 2010. FSC adalah lembaga independen yang mempromosikan pengelolaan hutan lestari di dunia.
   "Keberadaan koperasi di antaranya mampu menghilangkan praktik ijon kayu atau tebang kayu belum layak dengan menjadikan pohon sebagai jaminan kredit," katanya.
   Koperasi Wana Lestari Menoreh tumbuh menjadi dua jalur, yaitu mengurusi produksi dan keuangan. Untuk jalur produksi, koperasi ini membentuk PT Poros Nusantara Utama Jogya yang menerima kayu gelondong dari anggota koperasi sebagai bahan mentah mebel. Lalu, bekerja sama dengan Koperasi Kredit Carisma Tali Asih untuk melayani jalur keuangan.
   "Pohon bisa dijadikan agunan kredit," kata Ruwi.
   Jejak Telapak juga ada di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Pada 2003, beberapa aktivis Telapak yang juga mendirikan lembaga swadaya masyarakat Jaringan untuk Hutan (Jauh) membentuk Koperasi Hutan Jaya Lestari. Ini koperasi yang pertama kali memperoleh sertifikat FSC tahun 2005 dan terus tumbuh dengan anggota lebih dari 8.000 keluarga.
   Di Lampung, didirikan Koperasi Giri Mukti Wana Tirta yang didampingi Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS). Aktivis YKWS juga anggota Telapak. Pada 2011, koperasi ini memperoleh sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK adalah sistem pelacakan untuk memastikan legalitas sumber kayu. Kementerian Kehutanan menentukan mulai 2013 setiap kelompok usaha atau perusahaan kayu harus memiliki SVLK.
   "Kayu legal berasal dari kawasan hutan produksi yang sah," katanya.
   Ruwi meneruskan pendirian model koperasi untuk usaha hasil hutan lestari secara kolektif. Sejak 2010 ia merintis pendirian koperasi serupa di Sorong Selatan, Papua Barat, dengan dukungan Persekutuan Adat Knasaimos. Di Kabupaten Maybrat, Papua Barat, ia juga merintis Koperasi Shywa.

Ramon Magsaysay

   Pada 26 Juli 2012, Presiden Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF) Carmencita Abella menelepon Ruwi. Carmencita menyampaikan, Ruwi dinyatakan sebagai salah satu peraih Ramon Magsaysay 2012 atas segala usahanya untuk menyelamatkan hutan di Indonesia. Penghargaan akan disampaikan di Manila, Filipina, 31 Agustus 2012.
   Bersama para aktivis Telapak, Ruwi mengembangkan berbagai investigasi pembalakan hutan secara liar. Ia bekerja sama dengan Badan Investigasi Lingkungan Hidup (EIA) Inggris dan tahun 1999 melacak serta membongkar jaringan pembalakan kayu ilegal, terutama di Kalimantan. Tak pelak, Ruwi beberapa kali menerima ancaman fisik, bahkan pembunuhan, oleh pihak-pihak yang terlibat pembalakan kayu ilegal di hutan Kalimantan.
   Selain Ruwi, peraih Ramon Magsaysay Award tahun ini adalah Chen Shu-Chu dari Taiwan. Romulo Davide dari Filipina, Kulandei Francis dari India, Syeda Rizwana Hasan dari Banglades, dan Yang Saing Koma dari Kamboja.
   Ruwi menjadi bagian dari 21 tokoh Indonesia yang sebelumnya menerima penghargaan ini, antara lain Pramoedya Ananta Toer, Abdurrahman Wahid, Ali Sadikin, dan Ahmad Syafii Maarif.
  Ruwi menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Telapak Indonesia pada 1999-2002. Ia juga memimpin beberapa perusahaan yang didirikan untuk menopang usaha hasil hutan lestari. Ia memimpin PT Bahtera Lestari pada 2002-2004, lalu memimpin PT Poros Nusantara Utama pada 2004-2006.
   Tahun 2005-2006 ia memimpin lembaga Samdhana Institute untuk penyelamatan keanekaragaman alam, budaya, dan spiritual. Pada 2006-2012, ia menjadi Presiden Telapak.
   "Penghargaan Ramon Magsaysay bagi saya ibarat durian runtuh," ujarnya.
   Ruwi tak berharap penghargaan atas kegiatannya menyelaraskan kehidupan rakyat dan hutan agar lestari. Dia berharap ada perubahan sosial dalam menata produksi kayu dan hasil hutan lain secara demokratis dan lestari. Usaha yang tak menghamba keserakahan dan menghancurkan hutan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU 29 AGUSTUS 2012

Senin, 27 Agustus 2012

Oky Setiarso: Kelas Belajar untuk Anak-anak Marjinal

OKY SETIARSO
Lahir: Jakarta, 21 Oktober 1977
Pendidikan:
- Akademi Gizi Depkes RI, 1995-1998
- Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas 
  Indonesia, 1999-2002 
Kegiatan:
- Karyawan Bank BTPN, Maret 2012-kini
- Talenta Asia Foundation, Januari 2012-kini
- Oxfam International, Oktober 2005-April 2006 dan Februari-April 2010
- Indonesian Bussines Coalition on AIDS (IBCA), Agustus 2008-Desember 2009
- Care International, Maret 2007-2008
- Project Concern International Indonesia, 2006-2007
- World Vision International, 2000-2005
- Mengajar pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta

Puluhan bocah yang berkumpul di lapak barang rongsokan milik Kartini (50) di Jalan Bintaro Permai 3, Jakarta Selatan, Sabtu (14/7), bernyanyi dengan lirik tentang  pentingnya kebersihan tubuh. Suara kereta api yang melintas di belakang lapak tak mengganggu aktivitas mereka.

OLEH AUFRIDA WISMI WARASTRI

Anak-anak itu tengah belajar di "Kelas Belajar Oky". Ini bukan kelas dalam arti fisik, melainkan kelompok belajar anak-anak dari keluarga tak mampu yang digerakkan oleh para sukarelawan.
   "Coba kalau setiap orang dewasa bisa meluangkan waktu satu jam saja setiap minggu untuk mendampingi anak-anak, pasti Indonesia lebih baik," tutur Oky Setiarso (35), guru sekaligus pendiri Kelas Belajar Oky, kelas bagi anak-anak yang terpinggirkan.
   Di sini mereka belajar hidup sehat dan mengenal lingkungannya masing-masing. Kelas ini ada di Jakarta, Magelang, dan Solo.
   "Namanya (Kelas Belajar Oky) terlihat narsis, ya, he-he-he, tetapi itu bukan dari saya, mereka yang  menamai," katanya. Mereka yang dia maksud adalah anak-anak di Kelas Belajar Oky berikut orangtuanya.
   Setiap Sabtu dan Minggu, selama sekitar dua tahun terakhir, ia mengajar anak-anak berusia empat hingga 14 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin, seperti pemulung, buruh, dan pembantu rumah tangga. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang bekerja sebagai pengupas kerang dan pengupas bawang. Ada pula anak-anak terlantar yang ditinggalkan orangtua mereka.
   Kelas Belajar Oky ada delapan titik di Jakarta, yakni di pinggir rel kereta api Jalan Bintaro Permai 3; Bintaro Sarmili; kolong Tol Pejagalan, Pluit; Pulau Kandang Kelapa Gading; Kampung Beting; Koja; di belakang Islamic Center, Jakarta Utara; Cilincing; dan RW 10 Pulau Gundul, Johar Baru. ia mulai mengajar Sabtu pagi dan mengakhirinya pada Minggu petang. Setiap kelas mendapat alokasi waktu sekitar 1,5 jam.
   Dua minggu sekali ia pergi ke Solo, tepatnya di Mipitan, Mojosongo, di tepi Bengawan Solo. Di tempat ini, Oky juga mendirikan kelas belajar serupa bersama rekan-rekannya di Solo. Sebelumnya, ia mendirikan kelas belajar di lereng Gunung Merapi, yakni di Desa Banyubiru dan Desa Krinjing, Dukuh, Magelang. Total sekitar 800 anak yang diajarinya setiap minggu.

Berawal dari LSM

   Selama 10 tahun bekerja profesional pada berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional, Oky tak hanya berkeliling sampai ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, tetapi ia pun mendapat banyak pengetahuan. Namun, ia merasa ada yang kurang dalam berbagai program yang selama ini dilakukan.
   "Nah, daripada saya cuma sibuk mengkritik, lebih baik  melakukan sesuatu," kata Oky, seorang ahli gizi.
   Kesempatan itu terbuka saat sang kekasih mendapat beasiswa melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Oky memanfaatkan hari liburnya, Sabtu-Minggu, untuk mengajar anak-anak yang kurang beruntung.
   Ia memulai dengan mendekati anak-anak di daerah yang menjadi kawasan proyek bantuan LSM dimana Oky pernah bekerja. Ketika Gunung Merapi meletus tahun 2010, ia memulai kelas belajar di Desa Banyubiru dan Desa Krinjing, Dukuh, Magelang.
   Di Jakarta, Oky memulai di kolong Tol Pejagalan, Pluit, dengan 10 siswa. "Saya minta izin RT-RW setempat dan mereka terbuka," tuturnya.
   Pendekatan yang dia lakukan kepada warga pun berbeda dengan saat bekerja profesional. "Dulu, saya datang dengan mobil, sekarang memakai motor," katanya. Ia berusaha mendampingi anak-anak yang terpinggirkan itu menyongsong masa depan.
   "Mereka memerlukan pendampingan, tempat di mana ada seseorang yang bisa ditanya, apakah mereka telah melakukan hal yang benar, dan memberi tahu apabila mereka memerlukan jalan keluar," katanya.

Jejaring sosial

   Pelajaran pertama yang dia berikan kepada anak-anak itu sederhana, yakni bagaimana hidup bersih. Kebiasaan itu dia coba terapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari, misalnya mencuci tangan, gosok gigi, dan mandi. Di sela-sela pelajaran ada acara menyanyi dan bermain.
   Ia lalu mengunggah aktivitasnya di jejaring sosial sehingga banyak kawan yang tertarik menjadi sukarelawan. Tercatat 20 sukarelawan yang setiap minggu mengajar di Kelas Belajar Oky. Para sukarelawan itu adalah sarjana dan ahli di bidang masing-masing. Para ibu di lokasi belajar itu pun dilibatkan sebagai kader pengajar.
   Menyadari tak punya latar belakang pendidikan, Oky siap menerima kritik. Sering kali pengkritik itu kemudian ikut terlibat dalam kegiatan sosial ini dan memberi perbaikan dalam operasional pengajaran.
   Salah satu hasil perbaikan adalah dibuatnya jadwal pelajaran. Misalnya, pada bulan pertama pengajaran tentang "Hidup Bersih", bulan kedua soal "Matematika Itu Asyik", dan bulan ketiga adalah "Bahasa Inggris yang Menyenangkan".
   Oky juga membagi kelas berdasarkan umur, yakni prasekolah-TK, SD untuk kelas I-II, Kelas III-IV, dan kelas V-VI. Maka, setiap kali pertemuan ada empat lingkaran anak-anak yang sibuk mengerjakan tugas masing-masing. ia menggerakkan kegiatan itu dengan dana dari donatur, selain merogoh kocek sendiri.
   Pertemanan dan publikasi lewat jejaring sosial membuat aktivitasnya dikenal orang. Bantuan pun datang dari perseorangan dan lembaga. Sabtu (14/7) itu, misalnya, dua ibu datang ke lapak yang dipakai sebagai tempat mengajar dengan membawa buku gambar, buku tulis, sabun, pasta gigi, dan makanan.
   Dari pengalamannya bersama anak-anak, Oky pun memahami karakter anak-anak dari setiap wilayah. Contohnya, anak-anak di Cilincing cenderung lebih aktif dan hasil gambar mereka amat variatif. Sementara anak-anak di Bintaro Permai umumnya lebih santun.
   "Waktu saya minta anak-anak menggambar lambang Jakarta, pilihannya adalah Monas, patung di Pancoran, dan bajaj. Ternyata paling banyak anak yang menggambar bajaj karena bajaj-lah yang paling dekat dengan keseharian mereka," cerita Oky yang berharap suatu hari nanti bisa membawa anak-anak ini ke Monas.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 JULI 2012

Minggu, 26 Agustus 2012

Valentina Anita Andriani: Dokter PTT di Pulau Terpencil

VALENTINA ANITA ANDRIANI
Lahir: Pamekasan,Madura, Jawa Timur, 16 Februari 1987
Pendidikan terakhir: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Jawa Timur 

Murah senyum, itulah salah satu terapi eksternal yang ditampilkan dokter Valentina Anita Andriani. Dia termasuk dokter baru di Puskesmas Rawat Inap Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Meski begitu, nama dokter valentina, begitu warga setempat memanggilnya, relatif dikenal masyarakat.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Pelayanan yang ramah serta kesabaran dan ketekunan mengabdikan ilmunya untuk warga di pulau terpencil itu membuat sosok Valentina mudah dikenal.
   Sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT), Valentina sejak awal bertekad untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik yang dapat dia lakukan untuk warga di pulau terpencil di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.
   Dia langsung tertarik untuk mengabdikan diri di Pulau Adonara, mengingat warga di sini masih jauh dari jangkauan kesehatan yang memadai. Dia bertekad akan tinggal bersama warga di Pulau Adonara setidaknya sampai selesai masa kontraknya sebagai dokter PTT, tahun 2013.
   "Saya melamar sendiri ke Nusa Tenggara Timur. Soal penempatan ke Pulau Adonara, memang ditentukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur. Ini setelah ada penempatan dari Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penempatan saya di Pulau Adonara sesuai kebutuhan dokter di pulau ini," kata Valentina di Waiwerang, Adonara, pertengahan Juli lalu.
   Pulau Adonara memiliki tujuh dokter, empat di antaranya adalah dokter PTT, termasuk Valentina. Ketujuh dokter tersebut ditempatkan di tujuh kecamatan yang ada di pulau tersebut. Tak ada rumah sakit pemerintah di sini, kecuali satu rumah sakit swasta milik biarawati Katolik, Carolus Boromeus, di Witihama, sekitar 10 kilometer dari Waiwerang.
   Perempuan kelahiran Pamekasan, Jawa Timur, ini menuturkan, penyakit utama yang diderita warga di Kecamatan Adonara Timur umumnya adalah infeksi pernapasan akut (ISPA), paru-paru, diare, dan malaria.
   Puskesmas rawat inap di Waiwerang bisa menampung sampai 50 pasien. Akan tetapi, kebanyakan warga yang didiagnosis dokter untuk dirawat inap justru memilih dirawat di RSUD Larantuka. Ini karena fasilitas dan sarana di Puskesmas Waiwerang terbatas.
   Menurut Valentina, diare umumnya menimpa warga di beberapa desa yang kesulitan air bersih, terutama di Kecamatan Ile Boleng. Kesulitan air bersih yang diikuti sanitasi buruk di wilayah itu sering terjadi pada musim kemarau. Tahun ini, misalnya, tak kurang dari 21 orang sudah dirujuk ke Puskesmas Waiwerang untuk dirawat inap karena diare.

Sulit ditangani

   Persoalan di Waiwerang, antara lain, beberapa kejadian luar biasa yang menyerang warga, tetapi sulit ditangani pihak puskesmas setempat, misalnya, ibu yang melahirkan bayi sungsang diikuti pendarahan hebat selama beberapa hari. Setelah itu barulah bidan merujuk si ibu ke puskesmas. Akibatnya, saat tiba di puskesmas, kondisi si ibu tak bisa lagi ditangani dan harus dirujuk ke RSUD Larantuka.
   "Jika sudah begini, terkadang ibu dan bayinya tak bisa lagi diselamatkan sebelum sampai di RSUD (Larantuka) atau hanya salah satu yang bisa diselamatkan, sang ibu atau si bayi," ujarnya.
   Valentina lalu bercerita tentang peristiwa lain, saat seorang warga jatuh dari truk dan mengalami pendarahan hebat. Korban harus dirujuk ke RSUD Larantuka, tetapi meninggal dunia saat masih dalam perjalanan dengan kapal motor. Perjalanan Waiwerang-Larantuka memerlukan waktu empat jam.
   Pulau Adonara membutuhkan rumah sakit pemerintah untuk melayani masyarakat setempat. Pulau ini terdiri dari tujuh kecamatan, jadi sudah layak memiliki rumah sakit. Meski di sini ada puskesmas, kami tak bisa memberikan pelayanan terbaik bagi warga. Adanya rumah sakit dengan sarana dan prasarana kesehatan yang pasti lebih memadai, termasuk tenaga dokter ahli, akan sangat membantu warga di sini," katanya.

Jurus senyum

   Dengan keterbatasan sarana puskesmas, Valentina punya jurus menghadapi pasien yang datang berobat. Senyuman disertai tegur sapa yang ramah dari dokter ternyata bisa membuat pasien merasa diterima, dihormati, dan diakui.
   Meski gaji dokter PTT sebesar Rp 4,8 juta per bulan, untuk masa kontrak satu tahun, Valentina tak keberatan. Ia tetap bertekad mengabdi di Flores Timur. Baginya daerah ini punya daya tarik tersendiri. Selain alamnya yang indah, warganya pun ramah dan mereka memerlukan pelayanan kesehatan. Di sini keuntungan finansial tak lagi jadi yang utama.
   "Orang Adonara itu sopan dan suka membantu. Saat aliran air ke rumah kami terganggu, misalnya, secara spontan mereka menyediakan kebutuhan air. Kami tak harus minta bantuan," ceritanya.
   Terkadang warga berobat sambil membawa ayam, telur, pisang, singkong, atau sayur sebagai ganti "ongkos" dokter. Namun, Valentina tak tega menerimanya cuma-cuma karena mereka umumnya miskin. Ia mengganti barang bawaan pasien dengan uang untuk ongkos transportasi mereka.
   "Setelah setahun mengabdi, saya mau mengajukan permohonan untuk studi lanjut spesialis dan kembali mengabdi di sini. Kalau bukan di Adonara, di daerah lain di Flores Timur pun saya mau," katanya.
   Senyum dan resep obat dari Valentina pun dirasakan warga ampuh mengatasi penyakit mereka. Buktinya beberapa pasien dari kecamatan lain memilih berobat di Puskesmas Waiwerang karena ingin ditangani Valentina.
   Hubungan emosional antara dokter Valentina dan pasien diyakini menjadi salah satu faktor yang mempercepat kesembuhan pasien. Sambil memeriksa, ia suka mengajak bicara pasiennya tentang berbagai hal, mulai dari rasa sakit sampai latar belakang keluarga dan kondisi ekonomi rumah tangga mereka.
   "Tak semua orang ke puskesmas karena punya penyakit. Ada di antara mereka yang terganggu kesehatannya karena beban pikiran terkait ekonomi rumah tangga, anak-anak, masalah dengan pasangan, atau masalah lain dalam kehidupan sosialnya. Di sini pasien membutuhkan senyum dan perlakuan manusiawi," katanya.
   Kini, ribuan pasien telah ditanganinya. Dia mengaku, saat masih menjadi mahasiswa tak pernah mendengar nama Adonara. "Saya hanya tahu Flores dan Larantuka. Saya tahu tentang Adonara baru setiba di Larantuka," kata Valentina yang ingin mengambil spesialis kandungan.
   NTT menjadi tujuan Valentina sebab daerah ini bisa dikatakan rawan bencana kemanusiaan. "Kasus gizi buruk, diare, serta kematian ibu dan anak masih banyak terjadi. Ini menjadi tantangan bagi dokter PTT," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 27 AGUSTUS 2012

Selasa, 14 Agustus 2012

Hadjirah Abudullah: Pelestari Kopiah Karanji


HADJIRAH ABUDULLAH
Lahir: Gorontalo, 5 Oktober 1954
Suami: Edi Ibrahim (57)
Anak:
- Rasyid Edi (38)
- Isa Edi (36)
- Rahman edi (35)
- Rusman Edi (33)
- Nining Edi (32)
- Fatma Edi (30)
Penghargaan:
- Juara II Lomba Cipta Cendera Mata Khas Daerah Sulawesi Utara, 1990
- Perajin Teladan se-Kabupaten Gorontalo, 1992
- Upakarti dari Presiden Soeharto, 1996
- Prama Karya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2007

Selain kain sulam karawo, kerajinan khas Gorontalo lain yang populer adalah kopiah karanji. Di pelosok Desa Pulubala, Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo, Hadjirah Abudullah menjadi pelestari kerajinan kopiah karanji secara turun temurun. Ia dikenal sebagai pembuat kopiah yang dipakai Gus Dur. Kopiah karanji buatan Hadjirah laris dan ia memberdayakan ratusan tetangganya.

OLEH ARIS PRASETYO

Tahun ini usianya 58 tahun. Namun, kedua tangan dan jari-jarinya masih lincah menganyam mintu (sejenis rotan) untuk dijadikan kopiah karanji. Sesekali batang mintu yang sedikit lebih kecil dibandingkan batang lidi itu ia raut halus dengan pisau. Setelah itu, jari-jarinya kembali sibuk menyatukan batang-batang mintu menjadi jalinan indah berbentuk kopiah.
   "Saya belajar menganyam mintu untuk membuat kopiah sejak usia enam tahun. Keterampilan ini saya dapat dari orangtua. Selain orangtua yang perajin mintu, kakek-nenek saya juga melakukan hal serupa," tutur Hadjirah saat ditemui di rumahnya, Jumat (10/8).
   Rupanya menganyam mintu seolah menjadi pilihan hidup nenek dengan 22 cucu ini. Kesibukannya membantu orangtua membuat kopiah kala itu menyebabkan sekolahnya terputus saat ia masih di kelas III SD. Sejak saat itu, Hadjirah kecil semakin sibuk menganyam mintu menjadi kopiah karanji. Selain bermain, hari-harinya sejak pagi hingga senja habis untuk menganyam.
   Hadjirah mulai serius berbisnis kopiah karanji sejak 1976. saat itu ia dibantu suaminya, Edi Ibrahim, dan beberapa sanak saudara. Ia memasarkan kopiah ke toko-toko di Kota Gorontalo. Ia belum lupa kedua toko yang menjadi langganannya saat itu, yakni "Palapa" dan "Matahari" yang masih berdiri hingga kini.
   "Waktu itu, dalam sebulan biasanya saya menaruh barang (kopiah karanji) 15-20 buah. Harga jualnya (tahun 1976) Rp 1.000-Rp1.500 per buah. Waktu itu belum banyak orang yang membuat kopiah karanji. Jadi, kopiah buatan saya terbilang laris," cerita Hadjirah.
   Kopiah buatan Hadjirah semakin dikenal orang, dari mulut ke mulut. Merasa percaya diri dengan kualitas kopiah buatannya, Hadjirah maju pada "Lomba Cipta Cendera Mata Khas Daerah" yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara pada 1990.
   Saat itu Gorontalo masih tergabung dalam Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Hadjirah meraih juara II dan menjadi satu-satunya perempuan yang mendapat penghargaan dalam lomba ini. Hadiah uang Rp 150.000 dan piagam penghargaan pun ia bawa pulang.
   Setelah menjuarai lomba itu, nama Hadjirah sebagai perajin khas Gorontalo semakin berkibar. Pada 1992 ia kembali meraih penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Gorontalo sebagai perajin teladan. Masih pada tahun yang sama, ia beberapa kali diundang ke Jawa untuk bertukar pengalaman antar perajin.
   Pengakuan terhadap ketekunan Hadjirah menganyam mintu memuncak saat ia menerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto, 16 Desember 1996.
Penghargaan itu ia terima dari tangan Soeharto di Istana Merdeka. Semua dokumen dan foto penghargaan yang ia terima masih tersimpan rapi di rumahnya.
   Konon, kopiah yang kerap dipakai mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah kopiah karanji buatan Hadjirah. Saat Gus Dur berkunjung ke Gorontalo tahun 2000, seseorang yang mengaku suruhannya memesan dua kopiah ke rumah Hadjirah.
   "Orang itu memesan dua kopiah yang masing-masing bertuliskan 'Presiden RI' dan 'Mantan Presiden'. Katanya, kopiah itu buat Gus Dur," cerita Hadjirah.

Modal nyaris nol

   Selain keterampilan, tak perlu modal besar untuk membuat kopiah karanji. Mamanfaatkan batang mintu yang tumbuh liar di hutan wilayah Gorontalo, Hadjirah memulai usahanya. Pengambilan mintu di hutan merupakan tanggung jawab penuh suaminya yang kadang dibantu anak atau famili lelaki.
   Dalam sehari bisa terkumpul 3-5 ikat mintu. Setiap ikat berisi 200-an batang mintu dengan panjang 80-90 sentimeter. Dari satu ikat mintu, bisa dibuat menjadi 10-15 kopiah karanji.
    Setelah dipotong dengan ukuran sama , mintu yang masih segar lantas dijemur seharian. Mintu yang kering berwarna kecoklatan dan siap diolah. Awalnya setiap batang mintu kering dibelah menjadi enam bagian. Setiap bagian lantas diraut dengan pisau kecil.
   Untuk menghasilkan mintu yang sempurna, batang mintu masih dihaluskan lagi dengan cara sederhana. Caranya, memasukkan batang mintu ke lubang yang dibuat pada tutup kaleng (sebelumnya sudah dilubangi dengan beragam ukuran). Batang mintu pun siap dianyam.
   Kelincahan tangan Hadjirah mampu menghasilkan aneka jenis kopiah karanji. Jenis yang khas atau kerap dibuatnya adalah kopiah berbentuk oval dan bundar. Ia juga bisa membuat topi ala koboi dari bahan mintu.
   Di rumahnya, ia bersama perajin yang lain tengah menggarap pesanan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie sebanyak 150 topi koboi.
   "Selain bermodal keterampilan, bisa dibilang modal kerajinan mintu ini gratis. Mintu tidak perlu kita beli, tinggal mencari di hutan. Kami tak pernah kehabisan bahan baku," ucap Hadjirah.

Berdayakan tetangga

   Ketekunan Hadjirah membuahkan hasil. Selain memberi pekerjaan sampingan bagi 100 lebih tetangga yang kebanyakan ibu rumah tangga, ia juga mempunyai 500-an pohon kelapa untuk dibuat kopra dan 2 hektar ladang jagung.
   Semua itu didapat dari jerih payahnya membuat kopiah. Jika dirata-rata dalam sebulan bisa diproduksi 600-800 kopiah karanji. Harga kopiah ini bervariasi, Rp 50.000-Rp 80.000 per buah, tergantung model dan ukuran. Pendapatan kotor Hadjirah sebulan sekitar Rp 30 juta.
   "Waktu menjelang musim haji, produksi kopiah bisa membengkak sampai 1.000-an setiap bulan. Selain dipasarkan di Gorontalo, kopiah ini juga dijual sampai Manado, Ternate, dan Jakarta," katanya.
   Hadjirah memang tak mengerjakan semua itu sendirian. Selain dibantu anak dan cucu, 100-an tetangganya di Desa Pulubala dan di desa lain pun dilibatkan. Mereka membuat kopiah yang kemudian diberikan kepada Hadjirah untuk dipasarkan. Tentu mereka mendapat upah yang bisa menjadi penghasilan tambahan keluarga.
   "Selama kedua tangan saya masih kuat, saya akan terus membuat kopiah karanji," ujarnya menegaskan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 15 AGUSTUS 2012

Senin, 13 Agustus 2012

Susanti Withaningsih: Sang Pemantau Burung Garuda


SUSANTI WITHANINGSIH

Lahir: Bandung, 19 Mei 1976
Pendidikan:
- S-1 Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran, 1999
- S-2 Ilmu Lingkungan Hidup Unpad, 2002
- Doktor Biologi Unpad, 2012
Pekerjaan:
- Konsultan Bappenas (2003-2004), UNDP (2004-2006), dan Bank Dunia 
  (2009-2010 untuk konservasi lingkungan hidup
- Staf pengelola dan dosen tidak tetap Program Studi Magister Ilmu 
  Lingkungan Unpad, 2006-kini
Prestasi: Peraih predikat cum laude jenjang pendidikan S-1, S-2, dan doktor

"Ada kesenyapan yang aneh. Kemana saja perginya burung-burung? Tiada kicauan dan cericit burung pada musim semi tahun ini. Kesunyian mencekam di padang, hutan, dan rawa yang tak jauh dari kota itu."

Kutipan tersebut diambil dari buku "Silent Spring" yang amat terkenal karya Rachel Carson. Buku itu terbit 50 tahun lalu. Buku itu monumental bagi bangkitnya kesadaran warga dunia tentang pentingnya melindungi kelestarian lingkungan dari penggunaan pestisida, seperti DDT alias "dichloro-diphenyl trichloroethane".

OEH IRWAN JULIANTO & DIDIT PUTRA ERLANGGA R

Walaupun tak sama persis, penelitian Susanti Withaningsih tentang empat jenis elang di Jawa barat memiliki semangat yang sama.
   Doktor biologi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang diwisuda Selasa (7/8) ini memberi peringatan kepada kita bahwa rusaknya ekosistem hutan dan bentang alam yang mengitarinya akan memusnahkan burung pemangsa tersebut.
   Burung pemangsa adalah bagian dari hidup Susanti (36), dosen tidak tetap Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad). Setidaknya 15 tahun dari usianya diabdikan untuk penelitian elang, burung yang bertengger pada puncak rantai makanan.
   Tak hanya memahami perannya terhadap ekosistem, Susanti juga belajar banyak dari burung elang. Salah satunya elang jawa (Spizaetus bartelsi), spesies yang disebut sebagai inspirasi lambang negara Indonesia, Garuda, karena jambul khas di kepalanya. Saat ini, binatang endemik Pulau Jawa ini masuk dalam kategori genting atau terancam punah.
   Pada 10 Juli lalu, Susanti berhasil mempertahankan disertasinya terkait habitat elang jawa dan tiga jenis elang lain. Ia pun lulus dengan predikat cum laude, sama seperti predikat  kelulusan S-1 dan S-2-nya. Ketika diwisuda, ia juga memperoleh penghargaan sebagai Peraih Predikat Cum Laude Jenjang Pendidikan Doktor dari Program Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia memperoleh predikat cum laude walau pendidikan doktor ditempuhnya genap lima tahun. Ini karena publikasinya di jurnal internasional dan penyajiannya di beberapa simposium internasional burung pemangsa.
   "Penelitian saya tentang elang saya rintis sejak masih kuliah di S-1," ujarnya saat ditemui di kantornya, akhir pekan lalu.
   Kantornya dahulu bernama Lembaga Ekologi, lalu berubah menjadi Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Unpad yang dirintis oleh almarhum Prof Otto Soemarwoto, pakar ekologi terkemuka Indonesia.
   Pada 1997, Susanti bersama Yayasan Pribumi Alam Lestari mendampingi kru dari TV Jepang, NHK, membuat film dokumenter pertama tentang elang jawa. "Referensi mengenai elang yang ditulis orang Indonesia baru muncul pada 2006 oleh Dewi Prawiradilaga. Sebelumnya, penelitian elang jawa dan elang-elang lain dilakukan dua orang Belanda yakni Sebastian van Balen dan Vincent Nijman," katanya.
   Dua lokasi yang dipilih untuk pembuatan film dokumenter adalah kawasan Telaga Warna di Desa Cibulao, Puncak Pass, Cianjur, serta hutan Panaruban di Kabupaten Subang. Dari sana, ia belajar mengidentifikasi jenis-jenis elang, melacak titik yang diduga menjadi sarang elang, termasuk sebaran distribusi dan wilayah jelajah elang. Ia jadi terbiasa naik turun pohon di hutan untuk mendapatkan data tentang elang yang biasa bersarang di pucuk-pucuk pohon. Ia bersyukur karena itu menjadi bekal penelitian untuk disertasinya tentang elang jawa, elang hitam, elang brontok dan elang ular.

Satu pasangan

   Dari pengalaman selama meneliti elang, Susanti ternyata belajar banyak. Elang yang kerap diperdagangkan secara ilegal ternyata memiliki hal-hal unik yang tidak banyak diketahui orang. Reproduksi elang jawa dan ketiga jenis elang lainnya cukup kompleks. Hanya berlangsung sekitar sekali setahun dan bertelur hanya sebutir.
   Induk elang juga sensitif terhadap perubahan disekitarnya. Pembabatan hutan dan penangkapan liar merupakan ancaman utama bagi populasi elang. Jika ada suara yang asing, elang akan pergi meninggalkan telur sampai busuk dan gagal menetas. Jika pasangannya tidak ada, elang akan berhenti bereproduksi karena mereka adalah makhluk yang monogamus seumur hidup.
   "Itulah yang harus dipikirkan oleh orang yang memburu elang. Satu ekor hilang berarti satu alur keturunan punah sudah," ujar Susanti.
   Padahal, punahnya hewan pemangsa puncak seperti elang menurut ekologi juga membawa dampak ikutan yang tak kalah mengerikan bagi lingkungan. Hilangnya predator mengakibatkan tidak terkendalinya populasi hewan yanga ada di bawahnya dan seterusnya. Merebaknya ulat bulu hingga tomcat adalah akibat hilangnya hewan pemangsa, selain juga karena perubahan iklim yang sudah diperingatkan oleh Prof Otto sejak 1970-an. Ia mengingat sosok Prof Otto yang tahun 2007 pada usia hampir 80 tahun ikut melepasliarkan dua elang di hutan Panaruban, Subang. "Beliau yang mengajarkan kepada saya peringatan Rachel Carson dalam buku Silent Spring," tuturnya.
   Sebagai hewan endemis, Susanti menegaskan bahwa elang jawa hanya ditemui di Pulau Jawa, mencari makanan yang spesifik di Pulau Jawa, dan tidak ikut bermigrasi seperti burung dari Benua Eropa. "Satwa yang terancam punah ini harus diselamatkan, bukan hanya karena menjadi simbol negara kita," ujarnya.
   Tentang statusnya yang hingga kini hanya anggota staf pengajar tidak tetap Program Magister Ilmu Lingkungan di Unpad, Susanti hanya tersenyum dan menyatakan, "Kita harus berupaya tidak berada di zona nyaman agar kita tetap kreatif."
   Yang luar biasa adalah kreativitas dan kegigihan Susanti memperoleh beasiswa serta hibah untuk membiayai kuliah dan penelitiannya yang mencapai lebih dari Rp 500 juta. Dana itu sebagian diperolehnya dari Beasiswa Unggulan, selebihnya yang terbesar dari hibah Strategis Nasional Ditjen Dikti dan beasiswa sandwich ke University of Tokyo untuk pembuatan peta sebaran elang.
   Namun, yang lebih luar biasa adalah kepeduliannya untuk pengembangan sumber daya manusia bagi pelestarian lingkungan hidup. Susanti mengupayakan 10 guru memperoleh beasiswa tersebut untuk studi di Program Magister Ilmu Lingkungan Unpad. Hingga kini jumlah guru yang dibantu Susanti mencapai 32 orang, dua orang di antaranya kini sedang menempuh S-3 di belanda dan Jerman.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 14 AGUSTUS 2012

Kamis, 09 Agustus 2012

Trijono: Kegigihan Guru Sejarah Gaul


TRIJONO
Lahir: Jember, Jawa Timur, 7 Januari 1971
Pendidikan:
- Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udaya, lulus 1997
- Akta mengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri 
  Jember, 1998
Istri: Nani Soengkono
Anak: Istiqlal Widyatama Ihsan Fasya
Pekerjaan: Guru Sejarah Madrasah Aliyah Negeri 1 Tulungagung 
Kegiatan:
- Ketua Kajian Sejarah Sosial dan Budaya Tulungagung
- Pegiat Rumah Belajar Sobontoro, 2009-kini
Penghargaan:
- Guru Berprestasi Se-Jawa Timur pada Gelar Adhikara Budaya, 2008
- Juara IV Lomba Kreativitas Guru Ilmiah Tingkat Nasional LIPI, 2008
- Juara Harapan II Lomba Karya Ilmiah Guru Sejarah Jawa Timur, 2008
Buku:
- Djember 1859-1929, Melacak Sebuah Kota Berbasis Perkebunan di Jawa 
  Timur, 2011
Penelitian, antara lain:
- Kota Jember, dari Kota  Kolonial hingga Republik (1929-1992), 1996
- Sejarah Perkebunan di Jember (1859-1928), 1996
- Akulturasi Masjid Beratap Tumpang dan Budaya Meru di Tulungagung, 2006
- Pengembangan dan Pemberdayaan Candi-candi sebagai Media Pembelajaran
  Sejarah Tulungagung, 2008
- Sejarah makam-makam Tokoh Islam sebagai Obyek Wisata Religi di 
  Tulungagung, 2008
- Folklor, Cerita Desa-desa di Kabupaten Tulungagung, 2010
- Sejarah Terapan: Dari Riset hingga Mengajarkan Ilmu Sejarah (Panduan 
  Tingkat SD, SMP, SMA), 2010

Trijono, alumnus Juusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udaya, Denpasar, ini gagal menyelesaikan studi S-2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebuah insiden membuat beasiswanya terhenti. Ia kembali ke Denpasar, lalu menjadi guru Sejarah madrasah aliyah negeri Tulungagung, Jawa Timur, tahun 2004.

OLEH DODY WISNU PRIBADI

Kecintaannya pada ilmu sejarah tak pernah surut, Trijono bahkan mengombinasikannya dengan penelitian, pendidikan, dan idealisme yang penuh semangat. Semua itu mampu mengobati "luka akedemiknya".
   Kepala Kantor Wilayah Pendidikan Jawa Timur Rasiyo (kini Sekretaris Daerah Jawa Timur), saat mewakili Gubernur Jawa Timur Imam Oetomo, mengaku kagum pada karya dan kerja keras Trijono dalam upayanya mengajarkan sejarah secara "lebih hidup".
   Apa yang dilakukan Trijono melampaui tugasnya sebagai guru Sejarah siswa sekolah menengah. Ia membuat acara wisata sejarah se-Tulungagung yang diikuti siswa SMP dan SMA yang berminat pada pelajaran Sejarah, termasuk guru Sejarah sejumlah sekolah.
   Ia memberdayakan apa yang tak disadari orang dari kota sekecil Tulungagung sebagai salah satu daerah dengan jejak penting dalam sejarah. Ada sembilan situs yang bisa dikaitkan dengan sejarah Kerajaan Majapahit. Candi, arca, dan prasasti, sumber-sumber primer periode keemasan sejarah Nusantara, ada di Tulungagung.
   Seperti umumnya studi sejarah, fakta ini diiringi perdebatan. Namun, sebagai warga baru Tulungagung, Trijono cepat memahami dan mengimplementasikan kekayaan situs sejarah itu sebagai keunggulan Tulungagung.
   Ia tak merasa istimewa dengan sejumlah aktivitas yang berbeda dengan guru Sejarah umumnya. "Sebagai alumnus jurusan sejarah, naluri akademik saya, ya, mengajak siswa melakukan riset langsung ke situs sejarah. Mereka juga senang diajak 'bermain' di lokasi situs, bahkan ada yang saya ajak melakukan ekskavasi."
   sejumlah karya tulisnya mendokumentasikan wilayah riset Trijono yang merentang dari prasejarah hingga era Indies (1940-an). Bukunya yang telah terbit antara lain Djember 1859-19929, Melacak Sebuah Kota Berbasis Perkebunan di Jawa Timur. Pada 1996, ia melakukan dua riset sejarah perkebunan di Tulungagung.
   Ia juga melakukan kodifikasi (pengumpulan data) bangunan budaya Indies era kolonial Belanda saat imperialis Jepang datang, yang masih banyak terdapat di Tulungagung. Ia juga meriset makam tokoh-tokoh Islam dan mengumpulkan banyak cerita rakyat (folklor).
   Trijono pun membuat buku panduan sejarah terapan bagi sejawat guru Sejarah. Ia memperkenalkan bagaimana sejarah bisa menjadi "hidup". Intinya adalah pembelajaran secara multimedia sehingga siswa bisa menghayati, bahkan berimajinasi. "Tujuannya tetap pada pendidikan, agar pesan-pesan seperti cinta Tanah Air dan nasionalisme dipahami siswa," katanya.

Dituduh mencuri

   Sepak terjangnya sempat membuat dia berurusan dengan polisi. Model pendidikan sejarah terapan itu membuat muridnya pun antusias hingga membawa benda purbakala dari desa. Peristiwa ini membawa Trijono dan komunitas pembelajaran sejarah Tulungagung, Kajian Sejarah Sosial dan Budaya, ke desa murid itu.
   Ia juga mengajak komunitas sejarah prasejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan ekskavasi. Kehebohan tim ini di Kecamatan Campurdarat, Tulungagung, membuat Trijono dituduh melakukan pencurian.
   Pada saat bersamaan, ia justru mendapat temuan besar, lanskap luas medan penelitian fosil biota laut purba di Campurdarat. Di sini Trijono dan tim menemukan situs prasejarah dan mendokumentasikannya. Di perbukitan ini, fosil aneka binatang laut dan kerang-kerangan purba hanya tertimbun beberapa sentimeter di bawah tanah.
  Kesal karena dilaporkan aparat birokrasi Pemerintah Kabupaten Tulungagung kepada polisi gara-gara ekskavasi itu, ia lalu bertemu DPRD Tulungagung. Di sini, ia antara lain memberi masukkan betapa pentingnya Tulungagung memiliki Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Benda Cagar Budaya (BCB).
   DPRD dan Pemkab Tulungagung pun sepakat. Jadilah Trijono memimpin tim penulisan naskah akademik Perda Perlindungan BCB. Naskah Perda Perlindungan BCB rampung dan sudah disahkan.

Manusia purba

   Kecintaan pada sejarah pula yang membuat Trijono menemukan lokasi tempat arkeologi prasejarah zaman kolonial, Eugene Dubois, menemukan tengkorak manusia purba Homo wajakensis, di wilayah Tulungagung.
   Tentang Dubois, Homo wajakensis, dan adanya Kecamatan Wajak di Tulungagung sudah diketahui umum. Namun, di mana persisnya Dubois menggali dan menemukan tengkorak manusia itu masih tanda tanya. Dubois menemukan Homo wajakensis tahun 1889.
   Ketekunan Trijono pun membuahkan hasil. Perjalanan akademiknya sebagai guru Sejarah yang gelisah membuat ia menemukan tugu dari batu marmer yang dicari-carinya di wilayah Kecamatan Wajak.
   Sumber sejarah tentang karya Dubois yang terbit kembali tahun 1995 antara lain buku karya Paul Strom. Buku itu merinci rekaman jejak Dubois, berikut peta dan goanya. Ia mendapati goa tempat Dubois menemukan tengkorak di depan pabrik marmer zaman Belanda di Kecamatan Wajak.
   "Saya mengajak tim prasejarah UGM melakukan penelusuran di goa lokasi penemuan Dubois dan mendapati deskripsi lokasi sama persis dengan dokumen Dubois. Misteri lokasi temuan Homo wajakensis telah ditemukan lagi," ujarnya.
   Trijono senang aktivitasnya telah dilindungi Perda Perlindungan BCB. Saat ditanya apakah lebih merasa sebagai pendidik, sejarawan, atau arkeolog, ia menjawab, "Sebut saja saya arkeolog gaul, seperti kata murid-murid saya, ha-ha-ha."

Dikutip dari KOMPAS SELASA, 7 AGUSTUS 2012

Rabu, 08 Agustus 2012

Fenny Martha Dwivany: "Banana Lady" dan Rahasia Etilen Pisang


FENNY MARTHA DWIVANY 
Lahir: Bandung, 18 April 1972
Pendidikan Terakhir: S-3 The University of Melbourne
Jabatan: Kepala Laboratorium Keahlian Genetika dan Analisis Molekuler Sekolah Ilmu dan Teknologi ITB
Penghargaan:
- 2010, Endeavour Award dari Pemerintah Australia
- 2007, The Best Achievement Category-Asosiasi Akademisi Perguruan Tinggi 
  Seluruh Indonesia (ASASI) Award
- 2007, Indonesia UNESCO-L'Oreal for Young Women in Life Science

Sejak tahun 2004, pisang ambon lumut ("Musa acuminata") tidak pernah lepas dari hidup Fenny Martha Dwivany (40), dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Dia meneliti pisang tersebut, mempelajarinya hingga tingkat gen, demi menjawab pertanyaan: "Mengapa pisang menjadi matang?"

OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Jawaban itu pun didapatkan setelah dua tahun lebih meneliti, yakni keberadaan hormon etilen yang berperan dalam membuat buah pisang menjadi matang.
   Etilen menyebabkan gen-gen lain yang terlibat dalam pematangan buah bekerja dan menghasilkan perubahan pada buah, meliputi perubahan warna, tekstur, aroma, dan rasa.
   Setelah mengetahui runtutan proses pematangan pisang ambon, riset selanjutnya dilakukan untuk menghambat pembentukan etilen agar pematangan buah bisa lebih lama. Dengan risetnya, Fenny berhasil "mengganggu" pembentukan etilen dan akhirnya buah menjadi tidak matang.
   Berkat riset ini, Fenny mendapatkan penghargaan internasional L'Oreal UNESCO for Women in Science serta paper terbaik Hayati Award pada tahun 2009.
   Saat ini, Fenny ternyata masih berkutat dengan riset terkait pisang ambon shingga seorang rekan dengan nada bercanda pernah menjulukinya "Banana Lady", seperti halnya julukan "Iron Lady"  yang disematkan kepada mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher.
   Fenny memiliki segudang alasan mengenai pemilihan obyek risetnya. Alasan pertama, dia dan keluarganya sejak kecil adalah penyantap pisang. Pisang adalah makanan favorit karena mudah diperoleh, murah, dan kaya vitamin yang bermanfaat bagi tubuh. Setelah nasi, gandum, dan jagung, pisang juga menjadi makanan yang paling banyak dikonsumsi di dunia.
   "Di Uganda, setiap orang mengonsumsi 1 kilogram pisang setiap hari," ujarnya.
   Indonesia merupakan negara yang kaya ragam jenis pisang dengan sekitar 200 kultivar pisang. Hal itu menjadikan negeri ini sebagai penghasil pisang yang dominan di Asia, bahkan dunia. Dengan produksi tahunan sekitar 5 juta ton, Indonesia terletak pada peringkat keenam negara penghasil pisang setelah India, China, Brasil, Filipina, dan Ekuador.
   Namun, yang mencengangkan justru data ekspor yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60. Penelusuran yang dilakukan menunjukkan bahwa rendahnya angka ekspor sudah dimulai dari hulu, yakni perlakuan sebelum panen hingga pascapanen. Faktor distribusi hingga penanganan produksi membuat pisang cepat membusuk.
   Berdasarkan riset yang dilakukan, pisang adalah buah yang harus mendapatkan perlakuan khusus sejak distribusi hingga dipajang di supermarket. Selama pengiriman, pisang tidak boleh lebam atau kulitnya tergores karena proses pematangan akan berlangsung cepat. Pengaturan suhu tidak bisa bisa dikenakan pada pisang karena justru merusak fisik buah.
   "Etilen pun bergerak layaknya gas. Jika di satu kontainer ada pisang yang sudah busuk, itu akan menyebabkan pisang lain cepat matang dari seharusnya," kata Fenny.

Transgenik

   Riset yang berhasil mengungkap penyebab pematangan pisang tidak berhenti sampai di sana. Fenny berpendapat, harus ada perbaikan agar petani pisang di Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Riset mengenai peran etilen dilanjutkan dengan rekayasa untuk menghasilkan pisang transgenik dengan pematangan yang terhambat. Saat ini uji coba tengah dilakukan dengan mempersiapkan bibit pisang transgenik yang memiliki karakter pematangan yang terhambat.
   Sebagai Kepala Laboratorium Keahlian Genetika dan Analisis Molekuler SITH ITB, Fenny beranggapan, walau teknik rekayasa genetika yang dilakukan sangat panjang dan membutuhkan baya besar, pada akhir penelitian bibit tanaman pisang transgenik dapat diperbanyak dengan mudah dan menjadi produk agrikultur yang murah.
   "Saya tidak dalam posisi untuk berkata bahwa kita harus mendukung produk transgenik. Biarkan mahasiswa saya membaca dan memutuskan sendiri," ujar Fenny.
   Dia memahami, kata transgenik masih terdengar sumbang di Indonesia karena berbagai ketakutan yang tidak terlalu berdasar, seperti menyebabkan kanker bagi siapa pun yang mengonsumsinya.
   Sebelum diedarkan, produk transgenik harus melalui proses yang ketat oleh berbagai lembaga, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Kementerian Pertanian. Kedelai yang diimpor Indonesia adalah produk transgenik.
   Sembari menanti bibit pisang transgenik rampung, Fenny juga memanfaatkan hasil riset etilen untuk mendesain tempat penyimpanan buah dengan pemberian gas oksigen, karbon dioksida, ataupun nitrogen. Gas karbon dioksida bisa menghambat pematangan buah, sementara gas oksigen mempercepatnya.
   Dengan pengaturan gas tersebut, Fenny tengah mengerjakan purwarupa tempat penyimpanan buah yang bisa dibawa para penjual buah-buahan dengan mudah. Dengan demikian, pisang bisa menjadi lebih awet dan pedagang pun bisa untung.
   Segala kerja keras hanya untuk pisang ambon ini bukan tanpa maksud. "Riset ini menjadi pintu masuk bagi rekayasa pangan untuk buah ataupun sayuran lain," ujarnya.
   Dengan rekayasa seperti ini, buah ataupun sayuran bisa bertahan lebih lama sehingga perjalanan dari petani ke tangan pelanggan terjaga dalam kondisi yang baik. Begitu pula sewaktu dikirim ke daerah lain. Peluang rekayasa genetika di masa mendatang masih terbuka untuk meningkatkan produksi pangan.

Pidato ilmiah

   Pencapaian itulah yang membuat Fenny didaulat untuk memberikan pidato ilmiah pada acara penerimaan mahasiswa baru ITB, akhir Juli lalu. Di hadapan sekitar 3.400 mahasiswa baru, Fenny membawakan pidato ilmiah berjudul "Aplikasi Ilmu Hayati dalam Menjawab Tantangan Pangan di Abad 21", berisi mengenai pencapaian ilmu hayati mulai penemuan mikroskop, rekayasa genetika, hingga biologi sintetis.
   "Saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia punya daya saing dalam perkembangan ilmu biologi," kata Fenny.
   Dalam pidato ilmiah tersebut, Fenny mengaku tidak bisa menerangkan seperti halnya di ruang kuliah yang interaktif dan santai. Dia ingin meruntuhkan kesan, orang yang belajar ilmu biologi itu adalah orang kutu buku yang sulit berinteraksi dengan orang lain.
   Dengan gaya yang santai di hadapan 3.400 mahasiswa baru itu, Fenny dengan lantang berkata, "Biologi itu te-o-pe-be-ge-te (top banget)," dan disambut derai tawa sekaligus tepuk tangan dari para mahasiswa.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 9 AGUSTUS 2012

Selasa, 07 Agustus 2012

Sriana Kristianingrum: Pemberdaya Orang dengan Penyakit Kusta


SRIANA KRISTIANINGRUM

Lahir: Madiun, Jawa Timur, 20 Juli 1979
Pendidikan:
- SDN Gunungsari, Kabupaten Madiun, lulus 1991
- SMPN 1 Nglames, Kabupaten Madiun, 1994
- SPK dr Soedono, Madiun, 1998
- D-3 Keperawatan Universitas Muhammadiyah, Ponorogo, Jawa Timur, 2005
Pekerjaan:
- Tenaga honorer di ruang rawat inap Puskesmas Balerejo, Madiun, 1999-2007
- Calon pegawai negeri sipil di Puskesmas Balerejo, 2007-2008
- Pengelola kusta, TB, dan infeksi menular seksual di Puskesmas Balerejo, 
  2008-kini
Aktivitas:
- Perawat Puskesmas Balerejo
- Koordinator Pemberantasan Penyakit Menular Puskesmas Balerejo
- Pengelola Program Kusta, TB, dan IMS
- Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia Kabupaten Madiun
- Instruktur Senam Aerobik Kabupaten Madiun
- Instruktur Senam Lansia
- Ketua Tim Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Desa Sogo, Balerejo
Prestasi:
- Juara I Senam Lansia Kabupaten Madiun, 2010
- Juara I Kreativitas Kelompok Budaya Kerja Provinsi Jatim, 2011
- Juara III Kelompok Perawatan Dini Kusta Jatim, 2011
- Perawat Teladan Provinsi Jatim, 2012

Merawat penderita kusta menuntut kemampuan mengatasi perasaan jijik dan ketakutan tertular penyakit. Selain itu, rangkulan terhadap mereka juga penting demi sukses pengobatan. Karena itulah, Sriana Kristianingrum memilih pemberdayaan dengan latihan keterampilan dan senam. Ini memadukan terapi, hiburan, dan ruang berinteraksi.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Perasaan senang dan haru mengacak hati Sriana, perawat di Puskesmas Balerejo, Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Beberapa hari lalu dia menerima undangan untuk bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Merdeka pada 17 Agustus 2012 nanti.
   Kesempatan langka itu tidak jatuh dari langit. Prestasinya sebagai juara I perawat teladan tingkat Provinsi Jawa Timur tahun 2012 yang mengantarkan dia menjadi tamu kehormatan. Inilah buah perjuangan panjang nan berliku yang dilaluinya selama mendampingi penderita kusta di Madiun.
   "Saya tak pernah meminta atau berharap imbalan atas apa yang sudah saya lakukan. Niat saya ikhlas, semata membantu para penderita kusta supaya mereka sembuh dan dapat menjalani kehidupan seperti halnya manusia normal lain," ujarnya pada pengujung Juli 2012.
  Sebagai perawat kusta, Sriana sering berhadapan dengan borok yang menjijikkan atau kulit yang menghitam dan menebal. Tak jarang penderita kusta yang ia temui telah mengalami kecacatan fisik permanen, seperti jari tangannya tinggal separuh, jari kakinya hilang, bahkan hidungnya tinggal sebagian.
   Masyarakat awam sering memandang kusta sebagai aib. Mereka cenderung menutupi jika ada anggota keluarga yang menderita penyakit ini. Alasannya, khawatir diasingkan dari lingkungan karena dinilai mengidap penyakit yang menjijikkan.
   "Banyak penderita minta dirahasiakan penyakitnya hanya karena khawatir tak ada tetangga yang mau menghadiri kenduri di rumahnya. Saya tidak bisa menyalahkan mereka. Sebaliknya, saya hanya menjaga amanah mereka," katanya.

Stigma

   Stigma negatif itulah yang menghambat pemberantasan penyakit kusta dan pengobatan bagi penderita. Pasien tak akan datang ke puskesmas apabila Sriana hanya duduk di belakang meja. Ia harus bergerak mencari dan menemukan orang dengan penyakit kusta. Ia pergi mengunjungi setiap rumah.
   Seperti memilah jarum di tumpukan jerami, pencarian penderita kusta tak mudah. Apalagi setelah berhasil menemukan, ia harus memberikan penyuluhan agar penderita bersedia ke puskesmas. Ditolak, bahkan diusir oleh penderita kusta, pernah ia alami.
   Penolakan itu tak membuatnya mundur. Ketika penderita kusta mulai malas berobat, misalnya, ia berusaha mengingatkan. Ia tak henti menyuntikkan semangat supaya pasien tekun menjalani pengobatan. Sebab, hanya dengan ketekunan, pengobatan itu dapat dituntaskan.
   Untuk membangun kebersamaan di antara penderita, istri Sufyan Mashuri ini membentuk Kelompok Perawat Diri Ngudi Sehat. Kelompok ini menghimpun penderita kusta di Kabupaten Madiun tanpa batasan usia. Kegiatannya, mengampanyekan penyakit kusta dan pencegahannya, mendorong pemeriksaan dini untuk mencegah cacat fisik, dan memberikan dukungan moril untuk membangkitkan kepercayaan diri orang dengan kusta.
   "Setiap pertemuan yang diadakan minimal sebulan sekali diisi kegiatan yang bervariasi. Selain perawatan diri, yakni merendam dan menggosok dengan minyak bagian tubuh yang terkena kusta, juga ada pelatihan keterampilan," ucapnya.
   Keterampilan ini menjadi modal membangun masa depan mereka. Karena itu, keterampilan yang diajarkan tak semata mudah dan murah, tetapi bernilai ekonomi. Contohnya, membuat meja lipat anak, sulam jilbab, membuat gantungan kunci, dan memberi motif pada sandal.

Senam khusus

   Sriana merasa keterampilan saja tak cukup bagi penderita kusta. Ia berinovasi dengan menciptakan senam khusus. Berbekal kemampuannya sebagai pelatih senam kebugaran pada kelompok ibu-ibu, ia mengolah beragam gerakan senam agar bermanfaat bagi penderita kusta. Butuh sekitar sebulan untuk menciptakan senam ini.
   Senam ini tak semata membangun kebersamaan dan memberikan hiburan, unsur kesehatan juga sangat diperhatikan. Sasarannya adalah melatih saraf pasien yang terganggu agar berfungsi kembali. Di sini kelelahan atau stres fisik yang bisa memicu reaksi amat dihindari.
   Seperti halnya senam kebugaran, senam kusta dimulai dengan pemanasan sebelum melakukan gerakan inti. Tujuannya mengatur pernapasan dan mempersiapkan tubuh. Setelah itu, pasien masuk pada gerakan inti guna melatih saraf mereka. Gerakannya, antara lain, gerakan tangan, jari tangan, dan kaki.
   Semua gerakan dilakukan perlahan dan hati-hati. Walaupun merupakan bagian dari terapi saraf, senam ini diiringi musik agar menyenangkan. Sriana memilihkan lagu pengiring senam yang menghibur dengan ritme lambat.
  "Terapi murni membuat pasien jenuh. Kalau (terapi) digabungkan dengan senam, mereka menjadi lebih rileks, terhibur, dan bersemangat. Kondisi psikologi penderita yang mengalami perasaan senang ini dapat membantu penyembuhan," ucap Sriana.
   Selain menangani kusta, ibunda dari Althaf Kansava Mashuri, Iqbal Safadhil Mashuri, dan Garneta Fabiana Mashuri ini juga menangani penderita tuberkulosis atau penyakit paru. Sukses menciptakan senam kusta memotivasi dia menciptakan senam TB.
   Salah satu kunci kekuatan Sriana adalah semangat untuk bermanfaat bagi sesama. Semangat ini pula yang membesarkan niatnya melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 Keperawatan. Dengan ilmu yang lebih tinggi, ia berharap bisa berbuat lebih banyak bagi orang-orang di sekitarnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 8 AGUSTUS 2012