Kamis, 31 Januari 2013

Tentrem Sriminarsih: Membawa Kayu Lantung ke Pentas Dunia

TENTREM SRIMINARSIH 

Lahir: Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 8 Agustus 1959
Suami: Joko Susetyanto (53)
Anak:
- Bara Perdana Yustisia (31)
- Dian Aroma Yustisia (30)
Pekerjaan: Perajin kulit kayu lantung
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Genengadal, Purwodadi, grobogan
- SMPN 1 Purwodadi, Grobogan
- SMK Widyawacana, Purwodadi, Grobogan
- Diploma 3 Perhotelan, Akademi Kepariwisataan indonesia, Yogyakarta
Penghargaan:
- Nominasi Inacraft Award, 2009 dan 2011
- Paramakarya, penghargaan kualitas dan produktivitas UKM, 2009
- Upakarti Bidang Kepeloporan, 2010
- Juara I Wirausaha Mikrososial Terbaik, Citigroup Microentrepreneurship 
  Award, 2012

Di tangan orang kreatif, benda yang bagi kebanyakan orang tak memiliki manfaat besar jutru menjadi kerajinan yang bernilai ekonomi. Proses kreativitas itu tak boleh berhenti karena selera dan tuntutan pasar terus berubah. Kalau kita tak mampu berinovasi, berarti mati.

OLEH ADHITYA RAMADHAN

Bengkulu memiliki sumber daya alam melimpah, salah satunya berupa kayu lantung. Akan tetapi, sebagian besar warga hanya menjadikan kayu lantung sebagai kayu bakar. Padahal, lewat proses kreatif , kulit kayu lantung bisa menjadi benda fungsional dan berharga jual ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
   Tentrem Sriminarsih, ibu rumah tangga di Kota Bengkulu, melihat peluang itu. Ia mengolah kulit kayu lantung menjadi barang kerajinan tangan yang diminati pasar luar negeri.
   "Saya prihatin, kayu lantung yang banyak di Bengkulu itu ditebang menjadi kayu bakar. Padahal, kulit kayu ini unik, sayang disia-siakan. jika diolah, kulit lantung bisa dibuat menjadi berbagai kerajinan yang ramah lingkungan," kata Sri, panggilannya.
   Dia lalu memberanikan diri  menjadi perajin dengan bahan baku kulit lantung sejak tahun 2000. Ia membuat berbagai barang kerajinan, seperti tempat tisu, kartu ucapan, bingkai foto, gantungan kunci, topi, dan peci. Ia pula yang mendesain semua produk itu. Lembaran kulit lantung diperolehnya dari petani di Kabupaten Kaur, Bengkulu.
   selain mendesain sendiri, ia juga suka bereksperimen dalam proses produksi. Misalnya, Sri mencoba merebus kulit lantung dengan waktu yang berbeda-beda untuk mengetahui hasilnya, sampai ia menemukan warna kulit lantung yang terlihat bagus jika direbus selama tiga jam. Tekstur kayu lantung yang khas itu muncul meski umur kayu juga ikut berpengaruh.
   Alhasil, Sri digandeng PT Pos Indonesia lewat Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Program ini menjadi pintu gerbang bagi Sri untuk mengikuti pameran kerajinan produk usaha mikro, kecil, dan menengah di sejumlah tempat.
   Selain membuat produk sendiri, Sri juga menularkan ketrampilannya itu kepada orang lain. Ia justru senang jika semakin banyak orang yang merasakan manfaat ekonomi dari kulit lantung.
   Sri membina sembilan pedagang kaki lima di jalan Soeprapto, Kota Bengkulu, untuk membuat barang kerajinan kulit kayu lantung. Ia melatih mereka mulai dari mendesain, membuat, hingga barang kerajinan itu layak jual. Ia juga tak segan memasarkan hasil kerajinan buatan mereka. Pendampingannya kepada pedagang kaki lima itu membuat Sri meraih penghargaan Upakarti Bidang Kepeloporan.

Mengikuti perubahan

   Pengalaman mengikuti pameran membuat pemilik produk kerajinan Askara Art Galery itu dapat melihat tren. Kemampuannya melihat perubahan tersebut membuat dia bisa merancang produk kerajinan yang sesuai dengan selera konsumen.
   "Selera (konsumen) selalu berubah. Kalau kita tak bisa mengikuti, mereka akan bosan dan kabur. Contoh, sekarang lagi tren tablet, jadi saya pun membuat (kerajinan) sarung untuk tablet," ujar Sri.
   Guna meningkatkan kemampuan, Sri menyisihkan sejumlah uang untuk menambah ilmu dan keterampilan mengolah kulit lantung. Misalnya, ia mengikuti pelatihan pewarnaan alami di Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik Yogyakarta. Beberapa kali dia juga mengikuti pelatihan di Pusat Pelatihan Ekspor indonesia.
   "Saya juga mau pintar biar bisa berbagi ilmu dengan sesama perajin," katanya.
   Setelah bertahun-tahun memproduksi berbagai produk kerajinan kulit lantung, belakangan Sri membuat tas berbahan kulit lantung dipadu dengan batik tulis. "Tas kulit lantung inilah yang diminati warga Belanda, Jepang, Italia, China, Jerman, dan Korea.
   Untuk memasarkan produknya ke luar negeri, selain mengikuti pameran, Sri juga kerap menitipkan produknya kepada sesama perajin yang mengikuti pameran di luar negeri.
   "Khusus untuk pembuatan tas kulit lantung tidak sepenuhnya dikerjakan di Bengkulu, sebagian diproduksi di Bantul, Yogyakarta. Kami bekerja sama dengan perajin setempat," kata Sri.

Marak pengijon

   Terdapat tiga lokasi penjualan kerajinan berbahan baku kulit kayu lantung yang dibuat Sri dan perajin setempat. Di Bengkulu, Sri memiliki galeri selain memasarkan produknya di Hotel Grage Horizon, Bengkulu.
  Sementara untuk menangkap konsumen dari luar Bengkulu, dia "menitipkannya" di Galeri Smesco, Jakarta.
   "Agar pemasaran produk ini semakin luas, saya sekarang sedang berusaha mendapat tempat di mal yang lokasinya sekitar kawasan Sudirman, Jakarta," ujar Sri yang mengaku tidak risau mengenai modalnya. Alasannya, sudah beberapa periode ini dia mendapat kredit usaha rakyat dari Bank Tabungan Negara cabang Bengkulu.
   Bagaimanapun, usaha kerajinan yang digeluti Sri tak selalu berjalan mulus. Salah satu kendala yang dia hadapi adalah mulai maraknya pengijon di Bengkulu. Mereka memborong kulit lantung dengan harga murah. Kondisi ini membuat Sri tidak bisa lagi bergantung pada kulit kayu lantung liar.
   Ia khawatir, suatu ketika usahanya bakal kesulitan mendapatkan bahan baku kulit kayu lantung. "Apa saya perlu mempunyai kebun kayu lantung sendiri agar tak perlu bergantung pada lantung liar seperti selama ini?" ucap Sri.
   Dia memiliki beberapa batang pohon lantung yang dia tanam di kebun. Namun, jumlah pohon lantung itu tak cukup memenuhi kebutuhan produksinya. Dalam sebulan, Sri membutuhkan 700 lembar kulit kayu lantung berukuran 90 sentimeter x 120 sentimeter.
   Sekadar contoh, harga tas berbahan lantung bervariasi, mulai Rp 450.000 per buah. Sri memang tak membuat produknya secara massal.
 "Ini produk kerajinan tangan, bukan buatan pabrik," katanya.
   Upayanya  mengangkat derajat kayu lantung dari kayu bakar menjadi produk kerajinan bernilai ekonomi membawa Sri mendapatkan penghargaan. Namun, bukan itu tujuan utamanya.
   "Saya ingin membawa kayu lantung ke pentas dunia. Selain itu, masak dari dulu spanduk pemerintah hanya berbunyi cintailah produk dalam negeri. Seharusnya tak sekadar mencintai, tetapi kita membeli dan memakai produk Indonesia," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 23 JANUARI 2013

Herry Gunawan: Menjaga Hutan Bambu demi Mata Air

HERRY GUNAWAN
 
Lahir: Lumajang, Jawa Timur, 15 Juni 1954
Pendidikan:
- SDN Gaplek, Kabupaten Lumajang
- SMPN 1 Pasirian, Kabupaten Lumajang
- SMA Katolik Lumajang
Penghargaan:
- Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan, 2002
- Satyalencana Pembangunan bidang Lingkungan Hidup, 2012
 
Sebagian hidup Herry Gunawan (58) didedikasikan untuk merawat hutan bambu Desa Sumbermujur di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur. Sesuai keyakinannya, kelestarian hutan bambu inilah yang membuat mata air Sumber Deling tak henti mengalir ke rumah dan sawah penduduk.
 
OLEH HARRY SUSILO
Hawa sejuk terasa di hutan bambu Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, awal Januari lalu. Suara gemericik air berbaur bunyi serangga terdengar di hutan bambu yang berjarak 40 kiometer arah barat pusat kota Lumajang ini.
   Siang itu Herry masuk ke hutan bambu menenteng kantong berisi butiran jagung. Sembari berjalan, dia berteriak menirukan suara kera. "Biasanya mereka bergelantungan di sekitar sini," ujarnya, menunjukkan batang pohon bambu yang melintang.
   Mereka yang dia maksud adalah sekelompok kera ekor panjang, penghuni hutan bambu. Saat hari mulai sore, kera-kera berdatangan, bergelayutan dari satu batang pohon bambu ke bambu lain. Herry melemparkan butiran jagung, mereka menyambar dan melahapnya.
   Puluhan kera mengelilingi Herry. Kelompok kera ini hanya satu dari beragam fauna yang menjadikan hutan bambu sebagai rumah mereka. Ada kelelawar yang tidur bergelantungan di pucuk bambu, ikan di aliran mata air, burung, serangga, dan hewan lain.
   Ratusan rumpun bambu yang menjulang tinggi membuat kawasan ini rimbun dan sejuk. Di sini mengalir mata air yang menghidupi warga di empat dusun yang mengelilinginya, yakni Umbulrejo, Umbulsari, Krajan, dan Wonorenggo.
   Mata air Sumber Deling di tengah hutan bambu seluas 14 hektar ini menjadi berkah bagi warga, baik untuk keperluan air minum maupun irigasi sawah mereka. Alirannya tak pernah berhenti meski musim kemarau.
   Debit mata air Sumber Deling berkisar 600-800 liter per detik saat musim kemarau. Ketika musim hujan, debitnya mencapai 1.300 liter per detik. Saat di tempat lain kekeringan, kawasan Sumbermujur tak pernah kekurangan air.
   Mata air ini mengaliri 891 hektar sawah di Desa Sumbermujur, Penanggal, Tambakrejo, dan Kloposawit. Saat musim kemarau, 551 hektar sawah ikut dialiri di Desa Pandanwangi, Kecamatan Tempeh, yang berjarak 50 kilometer dari Sumbermujur.
   "Biasanya warga Desa Pandanwangi membawa air dari Sumber Deling dengan mobil tangki," kata Herry.
   Selain mengairi sawah, mata air ini juga dialirkan ke rumah warga untuk air minum, memasak, mandi, dan mencuci. Desa Sumbermujur yang berpenghuni 6.778 jiwa atau 1.872 keluarga ini dianugerahi air yang melimpah.
   Menurut Herry, sekitar  75 persen penduduk Sumbermujur menikmati aliran mata air Sumber Deling, sisanya menggunakan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
   Kondisi di Sumbermujur itu tak lepas dari kerja keras warga yang merawat hutan bambu selama puluhan tahun. Lewat Kelompok Sumber Daya Alam atau KPSA Kali Jambe yang dirintis Herry, warga memelihara hutan bambu.
 
Krisis air
 
   Tahun 1970-an hutan bambu itu habis dibabat. Banyak penduduk yang terjerat kemiskinan. Mereka makan bulgur dan bermata pencarian sebagai pembuat gedek (anyaman bambu) di samping bertani.
   Mereka menebangi bambu untuk sandaran penghidupan sehingga begitu cepat luasan hutan berkurang. Kala itu, dalam satu rumpun hanya tersisa tak lebih dari 20 pohon bambu yang semula mencapai lebih dari 100 batang.
   Hal ini membuat debit mata air Sumber Deling menyusut drastis, dari 800 liter per detik menjadi sekitar 350 liter per detik. Kondisi itu membuat warga harus antre air bersih saat musim kemarau.
   Bahkan, mereka berbondong-bondong menuju pusat mata air saat malam hari dengan membawa obor, lalu menampung air demi kebutuhan esok harinya. Situasi ini membuat warga merugi karena sawah mereka kerap krisis air sehingga gagal panen.
   Herry yang juga petani tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Ia berjuang memberikan pemahaman kepada warga melalui diskusi di pematang sawah dan warung kopi. Ia juga berinisiatif mengumpulkan petani dan merintis kelompok tani Kali Jambe.
   Tahun 1980-1981 masyarakat mulai sadar pentingnya keberadaan hutan bambu. Dimotori kelompok tani yang berubah nama menjadi KSPA Kali Jambe, warga kembali menanam bambu dan membiarkannya tumbuh.
   Mereka juga bergotong royong membangun pelindung mata air dan menjaga hutan bambu secara bergantian agar tak ada orang yang menebang bambu sembarangan. Hutan juga ditata agar orang luar kampung senang berkunjung.
   "Tanaman bambu mudah dirawat dan dikembangkan. Selain menampung banyak air, bambu juga banyak gunanya," kata Herry yang juga Ketua KPSA Kali Jambe.
 
Peraturan desa
 
   Alhasil, pertengahan dekade 1980-an, debit mata air Sumber Deling berangsur meningkat. Warga pun semakin yakin, hutan bambu mampu menjaga sumber mata air itu. Ungkapan "ada bambu ada air" yang kerap disampaikan Herry pun terbukti.
   Merasa hutan bambu perlu dipertahankan, warga dan aparat Desa Sumbermujur sepakat untuk merumuskan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2000. Isinya, melarang siapa pun menebang bambu tanpa seizin komponen pemerintah desa dan pengelola hutan bambu.
   Regulasi ini diperkuat dengan Perdes Nomor 6 Tahun 2007 yang memuat larangan untuk mengambil atau merusak flora dan fauna di kawasan hutan bambu. Jika peraturan itu dilanggar, pelanggar akan dikenai sanksi seperti tertera dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup, yakni denda Rp 500 juta.
   "Sampai kini tak ada yang melanggar perdes karena warga juga sadar pentingnya hutan bambu. Tanpa bambu, air susah didapat," ucap Herry yang mendapat penghargaan Kalpataru tahun 2002 karena kegigihannya menyadarkan warga.
   Setiap tahun warga Desa Sumbermujur menggelar Mahesa Suroan, tradisi yang dilaksanakan setiap 1 Suro (1 Muharam) sebagai bentuk ruwatan dan ucap syukur karena berlimpahnya air. Ritual ini diawali dengan memikul gunungan hasil bumi dan diakhiri dengan mengubur kepala sapi di dekat mata air.
   Tradisi ini merupakan salah satu bentuk penghargaan manusia pada alam. Jika tak dijaga, alam akan murka dan menimbulkan malapetaka. Keyakinan itu yang membuat Herry tak henti menjaga lingkungan Subermujur.
   Ia juga menggerakkan petani untuk menghasilkan padi organik di Sumbermujur. Alasannya, konservasi dapat berjalan selaras dengan pertumbuhan ekonomi warga.
   Hutan bambu pun dijadikan wana wisata. Secara swadaya, mereka menata hutan berisi 350 rumpun bambu itu dan membangun gapura sebagai pintu masuk. Warga mendapat penghasilan dari retribusi sukarela dan berjualan makanan ringan.
 
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 31 JANUARI 2013

Jumat, 25 Januari 2013

Keiko Kusakabe: Menghidupkan Teknik Tenun Tertua

KEIKO KUSAKABE

Lahir: 4 September 1947
Pendidikan:
- Jurusan Sejarah Seni The National Tokyo Education University/National
  Tsukuba University, 1972
- Pascasarjana Departmen of Social Anthropology, Tokyo Metropolitan
  University, studi tekstil Sulawesi, 2010-2012
Pekerjaan:
- Guru seni di sekolah dasar Tokyo, 1975-2000
- Pengajar di Kasei Gakuin University, Textile History and Technique, 
  2003-2005
- Pengajar di Kawashima Textile School, Kyoto, 2005-2007

Berawal sebagai pelancong, Keiko Kusakabe mengenal Indonesia. Ia menginjakkan kaki pertama kali di Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun, pada akhirnya ia jatuh cinta pada Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.

OLEH LUSIANA INDRIASARI

Keindahan tenun toraja membuat pensiunan guru sekolah seni di sebuah sekolah dasar di Tokyo, Jepang, ini rela meninggalkan sebagian hidupnya di negara itu. Ia lalu menetap di Toraja.
   "Saya pertama kali ke Toraja tahun 1997, itu 15 tahun lalu," kata Keiko yang ke Jakarta untuk mengajarkan cara membuat tenun teknik kepang toraja atau mangka'bi di Museum Tekstil, akhir tahun lalu.
   Ibu tiga anak ini sering mondar-mandir Toraja-Jakarta-Tokyo. Di Tokyo ia melepas rindu kepada suami dan anak-anak, sekaligus menimba ilmu antropologi di pascasarjana Tokyo Metropolitan University.
 Tenun toraja pula yang membuat ia termotivasi kuliah lagi meski usianya sudah lanjut. Ia mengambil jurusan antropologi agar bisa meneliti tenun toraja. Selain kuliah, Keiko juga mengajarkan cara menenun khas toraja kepada orang Jepang. Ia pun aktif di Toraja Textile Art Research and Collection di Kasei Gakuin University.
  "Tenun toraja memiliki hubungan dengan adat istiadat dan ritual masyarakatnya, seperti pernikahan, kelahiran, dan kematian. Saya harus belajar bagaimana hubungan kain itu dengan relasi sosialnya," ujar Keiko yang kadang sulit menyebut sesuatu dalam bahasa Indonesia.
   Sebelum ke Toraja, ia sudah mempelajari berbagai ragam tenun. Ia belajar dari banyak guru yang menguasai teknik menenun dari berbagai etnik di dunia, mulai dari tenun suku Meow di Thailand hingga tenun Andes di Amerika Selatan.
   "Saya tertarik tenun tradisional. Tenun peninggalan kebudayaan kuno mengandung filosofi pada motifnya. Dari motif itu kita bisa mempelajari sistem kepercayaan dan kehidupan sosial masyarakatnya," ujarnya.
   Sistem kepercayaan itu bahkan terlihat dari tenun kuno yang tidak menampilkan motif, tetapi mengandalkan tekstur kain yang tercipta dari benang yang dianyam.
   Keiko memang mencintai tenun. Selain belajar dan menghidupkan kembali teknik tenun kuno, ia juga mengoleksi tenun langka dari sejumlah negara. Belakangana, koleksinya terbanyak berasal dari Toraja. Ia tak hanya mengoleksi tenun toraja yang langka, seperti tenun Maa, Rongkong, dan Sa', tetapi juga tahu hikayat di balik tenun tersebut.

Menjadi pembaru

   Keiko berkenalan dengan tenun toraja tanpa sengaja. Tahun 1994 ia diajak temannya ke Indonesia. Mereka pergi selama dua minggu ke Sumba, Nusa Tenggara Timur. Di daerah ini ia mengenal tenun ikat sumba. Meski tertarik pada tenun sumba, ia tak lantas mendalaminya karena ada Machiko Watanabe, teman Keiko, yang menekuni tenun sumba.
   "Saya tak ingin mengekor orang. Saya ingin menjadi pembaru tenun dari daerah lain di Indonesia," katanya.
   Tiga tahun kemudian ia kembali ke Indonesia sendirian. Tanpa memberi tahu siapa pun, ia berkunjung ke Toraja, daerah yang diketahuinya dari buku petunjuk untuk wisatawan.
   Dalam buku itu digambarkan kehidupan masyarakat Toraja dan tradisinya. Ia pun mengemas ranselnya, kemudian terbang ke Makassar, lalu ke Sengkang, Palopo, baru ke Tana Toraja.
   "Begitu sampai di Toraja, saya seperti tinggal di negeri dongeng. Ada 'dunia kecil' dimana orang-orangnya hidup dengan tradisi yang kuat," ujarnya.
   Toraja adalah nama etnik lokal yang mendiami wilayah pegunungan di Sulawesi Selatan. Populasi etnik ini diperkirakan sekitar 650.000 orang. Dari jumlah itu, sekitar 450.000 orang tinggal di dua kabupaten, Tana Toraja dan Toraja Utara. Sisanya menyebar hingga ke Sulawesi Barat. Kebudayaan suku Toraja termasuk teknik menenun, menyebar ke sejumlah wilayah lewat migrasi.
   Di mata Keiko, Tana Toraja adalah daerah kecil dengan banyak penduduk. Namun, masyarakat Toraja tak kehilangan semangat persaudaraan. Orang Toraja sering berkumpul akrab.
   Ketika berkunjung ke toko suvenir, ia melihat kain tenun yang ternyata berasal dari Kalumpang. Ia kemudian melacak keberadaan para penenun Kalumpang.
   "Banyak penduduk Toraja yang tak tahu letak Kalumpang," katanya. kalumpang secara administratif berada di Sulawesi Barat, tetapi budaya mereka lebih dekat dengan Toraja.
   Ditemani pemandu wisata, Keiko tiba di Kalumpang. Ia melihat banyak perempuan membuat tenun ikat. Penenun biasanya menjual hasilnya ke daerah Sa'dan, Toraja Utara, dengan berjalan kaki selama 2-3 hari menembus hutan.
   Seusai melancong, ia kembali ke Jepang. Namun, hatinya seperti ditarik kembali ke Toraja. Tahun 2000 ia kembali ke Toraja. Kali ini ia tinggal di Toraja karena sudah pensiun. "Saya punya banyak waktu untuk tenun toraja," kata Keiko yang anak-anaknya sudah mandiri.
   Di Toraja, ia terus mencari dan menelusuri tenun dengan beragam teknik pembuatan, seperti teknik kepang dan mangka'bi. Sebagian teknik itu nyaris punah. Ia tinggal bersama penduduk dengan membayar Rp 100.000 per hari. Keiko juga tekun belajar bahasa Toraja.
   Hampir setiap hari ia masuk-keluar pelosok desa dengan berjalan kaki, naik ojek, menyeberangi sungai dengan perahu, hingga naik kuda. Ia melacak tenun toraja hingga ke Mamasa, Sulawesi Barat.
   Keiko kaget menemukan fakta bahwa penenun Mamasa masih mempraktikkan tenun kartu (tablet/card weaving). Tenun kartu adalah teknik menenun tertua di dunia. Tenun ini dikerjakan dengan kartu berbentuk segi empat yang terbuat dari gading atau tulang. Bagian ujungnya dilubangi untuk masuk-keluar benang berwarna-warni.
   "Tenun kartu pernah ada di Toraja karena karya tenunnya ada dan diwariskan dari generasi ke generasi sebagai harta keluarga. Karena kesulitan ekonomi, tenun langka itu ditawarkan kepada turis, termasuk saya," cerita Keiko yang memiliki 500 kain tenun dari Sulawesi.
   Ia memperdalam teknik tenun kartu dari para tetua di Mamasa. Di sini penenun dengan teknik kartu semakin berkurang, tinggal belasan orang. Ia lalu mengajarkan kembali teknik tenun itu kepada anak muda di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
   Ia tak hanya mengajarkan teknik tenun toraja di daerah asalnya, tetapi juga di Jakarta, Tokyo, dan Osaka.
   Keiko menulis buku tentang tenun toraja dalam bahasa Jepang dan inggris.
   Jepang adalah negara tempat dia lahir. Namun, bagi Keiko, Toraja adalah tanah air keduanya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 25 JANUARI 2013

Selasa, 22 Januari 2013

Pinta Manullang: Sahabat Anak Penyandang Kanker

PINTA MANULLANG PANGGABEAN 

Lahir: Jakarta, 14 januari 1963
Pendidikan:
- SD Negeri 3 Slipi, Jakarta
- SMP Negeri 16, Jakarta
- SMA Negeri 9 Bulungan, Jakarta
Suami: Sabar Manullang
Anak:
- Andrew David Maruli Manullang (Anyo, almarhum)
- Andri Manullang
- Abdi Manullang

Pinta Manullang Panggabean menyayangi anak-anak. Demikian pula sebaliknya, banyak anak-anak yang menyayangi dia. Terlebih anak-anak yang tinggal bersama dia di "Rumah Anyo". Itu adalah sebutan untuk rumah sementara bagi anak-anak penyandang kanker. Lokasi rumah tersebut di Jalan Anggrek Neli Murni, kawasan Slipi, Jakarta Barat.

OLEH LUKAS ADI PRASETYO

Rumah itu adalah rumah pribadi milik Pinta. Sebagai nyonya rumah, dia berusaha selalu ramah menyambut siapa pun penghuni baru di rumah tersebut. Di rumah ini tidak ada nuansa "rumah sakit".
   Di Rumah Anyo yang terlihat adalah segala macam benda yang biasanya disukai anak-anak. Di sini ada berbagai mainan dan boneka. Di tempat itu juga terdengar suara ceria anak-anak yang tengah menonton televisi, bermain komputer, dan bercanda. Sebagian anak-anak lainnya tengah asyik membaca buku. Itulah aktivitas sehari-hari anak-anak di Rumah Anyo.
   "Aduh, jangan lagi ada istilah 'penderita kanker' ya. Mari  ubah definisi kita dalam menyebut mereka. Akan lebih nyaman kalau kita menyebut mereka sebagai penyandang kanker atau yang hidup dengan kanker. Kita sendiri mendengarnya pun lebih nyaman," ujar Pinta.
   Di Rumah Anyo, beberapa tempat tidur rapi berjejer di kamar, dengan seprai dan sarung bantal berwarna cerah. Sebuah lampu baca digantungkan pada setiap tempat tidur. Kamar dan semua ruangan di rumah berlantai dua tersebut selalu bersih dan wangi. Di rumah itu juga ada organ untuk penghuni yang ingin memainkannya. Anak-anak itu tinggal sementara di Rumah Anyo, ditemani orangtua mereka.
   Selama menjalani kemoterapi di rumah sakit, mereka bisa tinggal sepanjang  mereka inginkan di Rumah Anyo. Sesudah menjalani kemoterapi yang biasanya tidak nyaman bagi anak-anak, inilah rumah yang nyaman bagi mereka untuk menjalani hari-hari selanjutnya. Di rumah tersebut, anak-anak itu bisa mengisi waktu dengan hal-hal yang relatif menyenangkan.
   "Apa yang kami lakukan di sini semata-mata untuk mengembalikan serta mewujudkan hak anak-anak untuk bergembira dan bermain. Saya pun pernah mengalami hal yang sama, seperti orangtua-orangtua lain yang anak-anaknya menyandang kanker. Saya mencoba berbagi di sini," tutur Pinta ketika ditemui pada awal Januari lalu.

Pengalaman pribadi

  Perhatian yang tercurah dari Pinta untuk anak-anak penyandang kanker berawal dari pengalamannya sendiri kala mendampingi putra sulungnya, Andrew David Maruli Manullang. Anyo, nama panggilan anaknya itu, melawan leukimia sejak berusia 11 tahun.
   Pada Desember 2008, Anyo meninggal saat berusia 19 tahun. Setelah bertahun-tahun berpeluh dan berupaya maksimal demi sang buah hati, Pinta harus merelakan Anyo pergi untuk selamanya. 
   Namun, kepergian Anyo tidak sia-sia. Pinta seakan semakin memiliki energi yang luar biasa untuk terus "mengetuk" pintu hati masyarakat agar mereka lebih peduli pada kanker. Terlebih lagi kepada anak-anak penyandang kanker.
   Pinta seakan tak kenal lelah membagi cerita dan pengalamannya sendiri. Dia berbagi pengalaman tidak hanya kepada orangtua yang anaknya menyandang kanker, tetapi juga kepada semua orang yang bertanya atau ingin tahu tentang kanker.
   "Anyo adalah penyemangat saya," ujar Pinta, seraya memperlihatkan foto sang buah hati saat masih kanak-kanak.
   Kemudian dia tunjukkan pula foto Anyo pada saat-saat terakhir. Dalam foto itu, Anyo tampak tertawa. Perjuangan Anyo melawan sekaligus "menikmati" kanker hingga akhir usianya adalah amunisi semangat bak lautan yang tak ada habis-habisnya bagi Pinta.
   Sejak Anyo diketahui terkena leukimia, Pinta mulai terjun dalam banyak kegiatan yang berkaitan dengan kanker. aktif di sebuah yayasan kanker selama bertahun-tahun, sejak Juni 2012 Pinta memisahkan diri. Dia lantas mendirikan Yayasan Anyo Indonesia (YAI) bersama suami dan mengonsep Rumah Anyo. YAI dan Rumah Anyo dijalankannya bersama beberapa relawan.

Silih berganti

   Pinta mendampingi Anyo menjalani perawatan selama di Tanah Air, sampai anaknya menempuh studi di The Hague University, Belanda. Tahun 2000, ketika berada di Belanda, selama beberapa bulan Pinta tinggal di Ronald McDonald Huis, salah satu shelter khusus untuk anak-anak penyandang kanker.
   Shelter itu tak semata rumah singgah karena lebih mirip dengan rumah yang dirancang senyaman mungkin bagi anak-anak. Mereka bebas ditemani orangtua masing-masing, sampai waktu yang tak terbatas.
   Mereka tidak perlu cemas tentang biaya, kebutuhan makan, dan pernak-pernik lain. "Shelter itu nyaman sekali, bersih, rapi, tertata, dan menyenangkan bagi penghuninya," katanya.
   Hubungan shelter dan rumah sakit khusus kanker pun erat. Ibaratnya, saat terjadi sesuatu pada anak-anak di shelter dan mereka membutuhkan perawatan, kita tinggal menelepon rumah sakit. Dalam waktu singkat, ambulan pun meluncur ke shelter berikut tenaga medisnya.
   Konsep itulah yang ingin dibawa Pinta ke Indonesia, dan dia coba wujudkan lewat Rumah Anyo. Rumah itu kini ditempati 12 anak berikut orangtua masing-masing. Penghuni rumah ini silih berganti. Ada penghuni yang keluar (meninggal), ada pula yang masuk. Sebagian di antara mereka tahu keberadaan Rumah Anyo dari informasi para orangtua yang sebelumnya tinggal sementara di rumah tersebut.
   "Kami ikut mencari sebisa mungkin apa yang dibutuhkan penyandang kanker, entah itu informasi, obat, apa pun. Jika bisa mendapat obat gratis, kami berikan juga. Akses jejaring untuk itu kami bangun sampai ke luar negeri. Kami ingin menjadi jembatan bagi semua," kata Pinta.
   Di balik semua itu, tentu ada biaya yang mesti dikeluarkan. Namun, menurut Pinta, pertolongan Tuhan selalu ada tanpa diduga. "Tuhan itu luar biasa. Ketika saldo tabungan yayasan menipis, ada saja donatur yang memberi. Ketika keuangan berat untuk membeli 'sembako', ada saja orang yang memberi," ujarnya.
   Salah satu impian Pinta adalah membuat Indonesia memiliki rumah sakit kanker khusus anak-anak agar mereka dapat berobat dan dirawat sebaik mungkin demi kesembuhan mereka. Jaminan sosial, apa pun namanya, Pinta menambahkan, idealnya bisa mereka peroleh dengan cepat.
   Bagi Pinta, anak-anak penyandang kanker berhak mendapat kegembiraan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Anak-anak itu memang membutuhkan bantuan, tetapi mereka bukan sosok lemah yang tak bisa dijadikan teladan. Buktinya, justru dari anak-anak penyandang kanker, Pinta belajar bagaimana hidup dijalani dengan senyum.


Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 22 JANUARI 2013

Selasa, 15 Januari 2013

Kalfin Saya: Nasionalisme di Tapal Batas

KALFIN SAYA
Lahir: 26 November 1964, Halmahera, Maluku Utara
Pendidikan:
- SD Gereja Masehi Injil Halmahera
- SMPN 1 Galela, Halmahera
- SMAN 1 Galela, Halmahera
- Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Pattimura
Istri: Jospina Mandarasi (39)
Anak:
- Friska Julia (15)
- Farah Grei (3)
Pekerjaan:
- Guru Honorer SMAN 2 Merauke (1995-1998)
- Guru SMP Negeri 11 Merauke 1998-2004
- Kepala SMKN 1 Sota 2004-sekarang
Penghargaan:
Kalfin memperoleh penghargaan dari Pemerintah Papua Niugini atas dedikasi bidang pendidikan terhadap siswa-siswi PNG di SMK 1 Sota

Lupakan sejenak kisah buram seputar sertifikasi guru dan kehidupan guru-guru di daerah terpencil. Kiprah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota, Merauke, Papua, bisa jadi pelipur lara di tengah karut-marut pendidikan nasional yang sarat kebijakan akrobatik. Kepada para siswa yang mengenyam pendidikan di ujung timur Tanah Air itu, Kalfin Saya konsisten mengajarkan nasionalisme.

OLEH ERWIN EDHI PRASETYA & NASRULLAH NARA

Kalfin boleh disebut visioner dalam mengatasi kerawanan keamanan di wilayah area perbatasan negara Republik Indonesia-Papua Niugini (PNG). Upayanya merangkul siswa dari negara tetangga PNG setidaknya meredam potensi konflik lintas batas RI dan PNG.
   Sejak Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota, Merauke, itu berdiri pada 2004, Kalfin selaku kepala sekolah tampil memotori perekrutan siswa warga negara PNG. Setiap tahun, 20-30 anak dari negara tetangga itu diajak mengenyam pendidikan sekaligus diajak bergaul dan membaur bersama anak-anak Indonesia.
   Kalfin menyebut sekolah tersebut sebagai "istana damai". Disitulah, dibawah "satu atap" sekolah, anak-anak beragam suku bangsa ikut mengenyam pendidikan. Anak-anak PNG mengakrabi Indonesia melalui pergaulannya dengan siswa Indonesia yang terdiri dari beragam suku di Papua serta beragam suku dari Pulau Jawa-Bali. Untuk diketahui, kawasan Sota memang terletak tak jauh dari lokasi transmigrasi di Merauke.
   Pendekatan kultural yang diwujudkan dalam tindakan nyata berupa pemberian bekal kecakapan hidup kepada anak-anak lintas negara di Tanah Papua itu dengan sendirinya mengangkat citra Indonesia di mata dunia internasional.
   Kalfin-lah yang berupaya mewujudkan hal tersebut. Atas berbagai upayanya itu, tak keliru jika tahun lalu Pemerintah PNG secara khusus memberikan penghargaan dedikasi pendidikan kepada Kalfin. Pria berdarah Halmahera, Maluku Utara, ini dianggap mendorong kemajuan hubungan bilateral RI-PNG melalui bidang pendidikan.
    Dalam perbincangan dengan Kompas, beberapa waktu lalu, ayah dari dua anak itu mengakui miris setiap kali mendengar atau membaca seputar kehidupan masyarakat di area perbatasan RI-Malaysia, khususnya di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Isi berita tersebut didominasi kisah yang melorotkan harkat bangsa di mata negara tetangga dan dunia internasional.
   "Bayangkan, warga RI berbondong-bondong mencari nafkah ke Malaysia karena ekonomi setempat berkiblat ke negeri jiran itu. Akibatnya, anak-anak lebih mengenal dan bangga pada Malaysia ketimbang Indonesia, negerinya sendiri. Di sini, anak-anak negara tetangga malah antusias belajar mengenai Indonesia," ujarnya. Keprihatinan Kalfin tidak berhenti di wacana atau pembicaraan sesaat, tetapi dia mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
   Berlatar belakang pendidikan biologi dari Universitas Pattimura, Ambon, Kalfin menekankan pembekalan kompetensi dan kecakapan hidup yang berbasis pada alam sekitar terhadap siswanya.

Kekerabatan

   Perjalanan Kalfin dalam dunia pendidikan di Papua memang cukup panjang. dia turut merancang dan membidani lahirnya SMKN 1 Sota Tapal Batas RI-PNG pada 2004. Pengalamannya mengajar selama enam tahun di SMPN 11 Merauke yang juga berada di perbatasan Merauke-PNG, membuat Kalfin dipercaya menjadi Kepala SMKN 1 Sota sejak 2004 hingga sekarang. SMKN 1 Sota kini memliki dua jurusan, yakni Agribisnis Ternak Unggas (ATU) dan Agribisnis Pembibitan dan Kultur Jaringan (APK). 
   Sekolah yang berada di pinggir Taman nasional Wasur Merauke ini memiliki siswa dari kelas I hingga III sebanyak 116 orang. Dari jumlah itu, 47 diantaranya merupakan siswa asal negara tetangga, PNG, sebanyak 25 siswa PNG menempuh pendidikan di jurusan APK dan 22 siswa lain di jurusan ATU.
   "Sejak menerima pelajar asal PNG pada 2006, SMKN 1 Sota telah meluluskan 20 siswa-siswi asal PNG," kata Kalfin.
   Semua pelajar asal PNG tersebut kini tinggal di asrama sekolah bersama 30 siswa-siswi setempat. Hubungan mereka terjalin baik meski belum lancar berbahasa Indonesia. Selama menempuh studi di SMKN 1 Sota, mereka mendapat bantuan dana pendidikan dari Pemerintah PNG.
   "Siswa asal PNG selalu kami ajarkan berbahasa Indonesia agar bisa menyesuaikan diri dengan baik," kata Kalfin.
   Umumnya siswa-siswi PNG yang bersekolah di SMKN 1 Sota berasal dari kampung-kampung di Distrik Morehead yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Merauke. Secara tradisional, mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat suku Marind di Merauke yang tinggal di sekitar daerah perbatasan kedua negara.
   "Sekolah di SMKN 1 Sota ini adalah pilihan paling dekat secara geografis daari tempat tinggal mereka," katanya.
   Kalfin tak pernah lelah mengingatkan anak didiknya untuk tekun belajar dan menyelesaikan studi. Seperti saat Kompas berkunjung ke SMKN 1 Sota, ayah dua putri itu sedang mengumpulkan anak didiknya. Dia memberi nasihat agar mereka disiplin bersekolah, tidak putus sekolah, dan tidak tergoda untuk menikah sebelum lulus.
   Bagi Kalfin, tantangan terbesar di daerah perbatasan itu adalah meyakinkan orangtua dan siswa untuk sekolah. "Di kampung, mereka adalah tenaga produktif untuk berburu di hutan menangkap rusa atau mencari ikan arwana. Hasil berburu bisa dijual dan mereka menapat uang tunai yang cukup besar. Itu godaan bagi anak-anak," katanya.


Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 8 JANUARI 2013

Kamis, 10 Januari 2013

Ni Kadek Eka Citrawati: Meramu dan Memopulerkan Boreh Bali

NI KADEK EKA CITRAWATI

Lahir: 18 Agustus 1977
Pendidikan:
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana, Denpasar, Bali
Suami: I Putu Katra (32)
Anak:
- Putu Kay Kiandra (8)
- Kadek Kesahwa Keano (5)

"Saya tidak bisa menari. Gerakan saya kaku. Setiap kali ada acara di pura, saya lari karena malu kalau sampai diminta menari." Ucapan itu mungkin biasa saja bagi orang kebanyakan. Namun, bagi perempuan Bali, tidak bisa menari sungguh perkara besar. Itulah yang menimpa Ni Kadek Eka Citrawati (35).

OLEH IDA SETYORINI

Padahal, semasa kecil, orangtua Kadek sampai memasukkan dia ke tiga sanggar tari berbeda dengan harapan dia pandai menari seperti keeempat kakak dan teman-teman sebayanya.
   Impian itu tetap gagal terwujud. Alhasil, Kadek kecil memilih mangkir dari kegiatan tari dan menyibukkan diri dengan memetik dedaunan, bunga, aneka tumbuhan, dan meracik ramuan.
   Sejak usia empat tahun, Kadek senang mengikuti neneknya yang pandai meramu dan mengolah bahan alami menjadi boreh alias lulur tradisional. Kadek takjub melihat sang nenek berjalan-jalan ke kebun dan tepi sungai, lalu memetik aneka daun, kemudian menghasilkan produk untuk keramas, mandi, dan melulur tubuh. Dia pun ikut-ikutan meramu dan mencatat resep dari sang nenek.
   "Semua produk yang saya buat, gagal. Penasaran, saya tanya lagi ke nenek. Catat lagi, bikin lagi, dan gagal lagi. Menurut nenek, resep saya salah, kurang ini kurang itu. Namun, tetap saja saya gagal. Terus begitu. Lama-lama saya sadar, nenek tidak bisa mengeluarkan kemampuannya jika hanya menyebutkan, apalagi menuliskan resep ramuan tersebut. Dia bekerja berdasarkan ingatan dan nalurinya," tutur Kadek di galerinya di Jalan Wibisana Barat, Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.
   Jadi, dia melihat tangan si nenek dan mencatatnya tanpa menanyakan resep. Sejumput bahan ini dan sejumput bahan itu, tanpa takaran pasti. Semua berdasarkan perasaan. Ternyata, kalau diminta menyebutkan atau menuliskan resep, sang nenek sulit berkonsentrasi. Nenek malah melupakan bahan baku yang dipakai serta berapa jumlah takarannya.
    "Dengan cara mengamati nenek seperti itu, saya baru berhasil membuat satu produk. Senangnya!" ujar perempuan bertubuh mungil itu dengan mata berbinar.
   Berhasil membuat boreh, Kadek pun kian semangat mencoba-coba. Apalagi banyak orang, seperti keluarga dan teman-temannya, senang dengan boreh buatan Kadek. Mereka menilai, boreh buatan Kadek hangat dan memiliki kekentalan yang pas. Dia ingin serius menekuni ilmu tersebut. Namun, apa daya, di negeri ini tidak ada sekolah untuk membuat produk alami seperti yang dia inginkan.

Kuliah arsitek

   Sepanjang ingatannya, banyak penduduk kampungnya yang memanen dedaunan, rempah-rempah, dan aneka hasil bumi lain untuk diekspor ke luar negeri sebagai bahan baku kosmetik perawatan tubuh. Dia pun galau karena tahu persis orang Indonesia juga mampu membuat produk yang sama atau bahkan lebih kualitasnya.
   Selain itu, orangtuanya, terutama sang ibu, juga tidak mengizinkan dia sekolah di luar negeri. Keempat kakaknya sempat mengenyam pendidikan di mancanegara dan berjodoh dengan orang luar Bali. Karena itu, jika diizinkan bersekolah ke luar negeri, sang ibu takut Kadek juga akan menikah dengan orang luar, apalagi orang asing.
   "Ya ampun, ada yang mau sama saya saja sudah bagus. Lha, saya tidak ada apa-apanya dibandingkan semua kakak saya. Mereka lebih tinggi, lebih cantik, sementara saya kecil begini," ujar Kadek diiringi tawa meriah. Wajah mungilnya bersinar riang.
   Alhasil, dia pun studi di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Ketika kuliah, Kadek tetap semangat membuat ramuan dan meluaskan pemasaran kepada teman-teman keempat kakak perempuannya. Dia keranjingan menawarkan diri kepada semua kerabat, teman kuliah, dan teman kakaknya untuk menerima perawatan darinya. Kadek rela tidak dibayar ketika ada teman atau teman kakaknya yang mau dilulur sebagai perawatan menjelang pernikahan.

Promosi Bali Alus

   Selepas kuliah, Kadek serius berbisnis produk spa pada tahun 2000. Namun, jangan dikira semua serba mudah. Dia memang pandai meramu, tetapi belum serius memikirkan bagaimana meluaskan pemasaran, membuat kemasan yang menarik, cara membuat produk alami yang awet, dan mempromosikan produk agar dikenal luas.
   Untuk urusan bahan baku, Kadek beruntung dapat meminjam bahan mentah kepada keluarga dan banjarnya, tanpa membayar uang muka atau jaminan.
   "Saya meminjam apa saja, seperti sekarung beras atau sekeranjang lidah buaya kepada mereka. Saya baru membayar ketika produk saya laku. Jadi, modal saya tidak terlalu besar. Modal besar hanya untuk kemasan," tuturnya merendah.
   Kadek memasang merek Bali Alus untuk produknya. Dia menghasilkan produk untuk wajah (masker, sabun, serta kompres wajah dan kompres mata), produk untuk tubuh (masker, losion, pelembap, lulur, sabun mandi, sabun tangan, dan krim pencerah kulit), untuk rambut (sampo, kondisioner, ratus, dan krim creambath), serta berbagai produk aromaterapi.
   Saat memasarkan produknya, Kadek giat menawarkan ke banyak tempat spa yang ada di Bali. Tentu saja langkahnya tak  mudah karena semua pengelola spa menetapkan standar kualitas tertentu dan tidak percaya produk buatan Kadek mampu memenuhi standar tersebut.
   Pantang menyerah, Kadek memberikan sampel untuk dicoba. Sambutan konsumen spa atas produk Bali Alus sangat positif sehingga pengelola spa pun mulai berani memesan produk tersebut.
   Ketika permintaan dari spa, salon, dan konsumen terus meningkat, Kadek kembali menemui kendala. Dia menyadari, perempuan Bali senang bekerja. Namun, mereka tidak dapat bekerja penuh karena memiliki kewajiban di rumah dan keluarganya, seperti menyediakan canang setiap pagi-sore serta keperluan upacara lain. Oleh karena itu, sebagian pekerjanya dari luar Bali.
   "Karyawan saya sebagian asli Bali. Namun, mereka membuat produk yang tak terlalu cepat laju penjualannya, seperti dupa," kata Kadek yang kini memiliki 30 karyawan. Kebanyakan dari mereka adalah warga kampung sekitar tempat produksi usaha Kadek. Bahan baku pun diambil dari desa-desa sekitar.
   Kadek pun belajar hingga ke Belanda untuk membuat produksi alami yang tidak mudah rusak. Produknya mampu bertahan delapan bulan hingga dua tahun.
   Jerih payah Kadek menggali dan memopulerkan kekayaan Bali tersebut mendatangkan banyak penghargaan di tingkat provinsi hingga nasional. "Ambisi saya, menuliskan semua resep warisan nenek dan resep lain yang saya kuasai. Saya ingin mengabadikan kekayaan Bali berupa resep perawatan tubuh dari bahan-bahan alami. Pokoknya, ingat spa ingat Bali," katanya serius.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 11 JANUARI 2013

Minggu, 06 Januari 2013

Triyono: Mimpi Empat Triliun Rupiah

TRIYONO 
Lahir: Sukoharjo, Jawa Tengah, 21 Juni 1981
Pendidikan:
- SD Mancasan 2, Baki, Sukoharjo
- SMP 1 Baki, Sukoharjo 
- SMA 3 Sukoharjo
- S-1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret 
  (UNS) Solo
Penghargaan: Finalis Wirausaha Muda Mandiri 2010
Orangtua: Priyono (ayah) dan Marinah (ibu). Ia anak ke-3 dari 4 bersaudara (2 kakaknya meninggal dunia).

Kakinya yang lumpuh membuat dia harus dibantu dua kruk untuk berjalan. Namun, kondisi itu tak mampu mengalahkan bara semangat Triyono (31) untuk menggapai cita-cita. Ia bermimpi dalam dua-tiga tahun mendatang, perusahaan yang ia rintis sudah beromzet Rp 4 triliun.

OLEH SRI REJEKI

Menderita polio yang membuat kedua kaki lumpuh sejak usia satu setengah tahun tidak membuat Triyono menjadi sosok yang minder. Orangtuanya, Priyono dan Marinah, memilih membaurkan sang anak dengan anak-anak lain yang normal.
   Orangtuanya menyediakan banyak mainan dan makanan yang membuat anak-anak sekampung senang datang ke rumah mereka dan bermain bersama Triyono dan kakak-adiknya. Triyono pun tumbuh menjadi anak yang percaya diri, berpikiran positif, dan pantang menyerah. Ia aktif bermasyarakat dan berorganisasi, baik di kampung maupun kampus yang mengasah jiwa kepemimpinannya.
   "Kalau teman-teman main sepak bola, saya ikut jadi kiper atau asisten pelatih. Kali lain, saya mencarikan sponsor untuk seragam dan sepatu mereka. Saya bisa berperan menjadi apa saja dan tetap menajdi bagian tim," kata Triyono saat ditemui di rumahnya di Dusun Teplok, Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
   Memastikan diri sejak dini tak ingin menjadi karyawan, Triyono merintis usaha bidang desain bersama beberapa teman saat kuliah pada semester III Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Ia juga menerima jasa mencetak undangan pernikahan, kalender, hingga kaus.
   "Ada teman saya yang bertugas di bidang marketing dan desain. Saya bagian mencari modal, negosiasi harga, dan mencari percetakan," katanya.
   Berjalan setahun, Triyono memilih aktif berorganisasi di kampus. Ia menjadi Sekretaris Jenderal Mahasiswa UNS dan Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa UNS.Bisnis desain dilanjutkan teman-temannya.
   Setahun menjadi aktivis kampus, ia lantas bergabung dengan Yayasan Penyandang Cacat Pelangi Hati dan sempat menjadi Ketua II. Hanya bertahan empat bulan, Triyono mengundurkan diri karena idealismenya berbenturan dengan realitas.

Kembali berbisnis

   Dia kembali berbisnis. Kali ini pilihannya beternak bebek potong. Triyono memberanikan diri mengambil kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp 5 juta. Kandang bebek dibuatnya di kebun samping rumah. Usaha ini hanya berjalan lima bulan karena mendapat protes tetangga yang merasa terganggu dengan bau dari aktivitas peternakan ini.
  Namun, ia merasa beruntung karena hasil peternakannya sudah bisa digunakan untuk mengembalikan kredit. Semua bebek yang berjumlah 500 ekor itu lantas dijual.
   Triyono banting setir menjadi makelar sapi kurban. Ia menawarkan jasa kepada para takmir masjid di Solo dan sekitarnya yang tengah mencari sapi untuk kurban pada Idul Adha. Sebagian takmir itu adalah temannya di kampus.
    Ia juga memanfaatkan jaringan, para peternak sapi. Saat itu, Triyono berhasil menyediakan 66 sapi yang dibawa dengan 11 truk. Dari setiap sapi ia memperoleh keuntungan Rp 200.000-Rp 300.000. Uang itu lantas dibagi dengan dua teman yang membantu. "Saya lalu berpikir, mengapa tidak menyediakan sendiri sapinya," ujarnya.
   Ia lantas menggandeng Joko, pegawai tata usaha di kampus untuk bekerja sama. Joko memiliki lahan di Desa Gentan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, yang cukup untuk menampung 70 sapi.
  Saat itu, akhir 2007, Triyono membangun kandang sederhana dari bambu yang awalnya berisi tiga sapi. Ia lalu membentuk kelompok dengan anggota petani yang punya sapi. Jumlah sapi pun berkembang menjadi 17 sapi.
   Triyono mengajukan proposal program Sarjana Membangun Desa kepada Kementerian Pertanian dan mendapat dana Rp 360 juta. Uang itu untuk membeli 40 sapi dan membangun kandang permanen, termasuk instalasi pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk padat dan cair. Pupuk dijual kepada anggota kelompok tani.
   Sapi dia beri makanan campuran konsentrat berformula tertentu agar kotoran tak berbau. Jumlah sapi berkembang menjadi 90 ekor yang sebagian besar merupakan pembibitan dan sisanya sapi penggemukan.
   Investor yang menitipkan uang untuk gaduh sapi mendapat keuntungan 30 persen dalam dua-tiga bulan. Atas pencapaian itu, ia masuk finalis tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri 2010.

Melirik yang lain

   Namun, harga sapi fluktuatif dan penjualannya pun tak secepat ternak lain. Itu membuat Triyono melirik ayam potong sebagai peluang lain. Ayam potong bisa dipanen dalam 28-33 hari sehingga perputaran uangnya lebih cepat.
   Awalnya, ia memelihara 6.000 ayam potong di lahan milik mitra bisnis di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Ia juga memelihara 6.000 ekor lain di Desa Rejosari, Kecamatan Bendosari.
   Pada 2012, Triyono mendirikan pangkalan ayam di Pulogadung, Jakarta, setelah melegalkan usaha di bawah bendera CV Tri Agra Aurum Multifarm yang disingkat Tama.
   Setiap hari, ia mampu memasok dua-lima truk ayam potong ke Jakarta dengan omzet rata-rata Rp 200 juta per bulan. Setiap truk itu berisi sekitar 150.000 ayam. Selain diambil dari peternakan sendiri, ayam juga didapat Triyono dari daerah lain, seperti Tegal, Madura, dan Jabodetabek. Keuntungan bersih dari setiap truk pasokan ayam Rp 1,8 juta. Usahanya pun kebanjiran investor.
   Bahkan, ada investor yang mau menanamkan uang Rp 5 miliar di bidang ini. Triyono tengah menggodok konsep kemitraan dengan para peternak dan mitra bisnis. Selain itu, dia juga tengah memulai ekspor perdana udang beku ke Osaka, Jepang. Ia membeli udang dari petambak  di Lampung, membawanya ke perusahaan pengolah dan pengemas di Tanjung Priok, Jakarta.
   Di sela-sela aktivitas yang lain, yakni memberi motivasi dari kampus ke kampus, pria lajang ini terus mengejar mimpi. Ia ingin perusahaannya, yang dalam proses menjadi perseroan terbatas, berkembang merambah bisnis lain. Dari pertanian kemitraan meluas menjadi perkebunan, kehutanan, ekspor, hingga perbankan, dengan omzet Rp 4 triliun per tahun. Ia bahkan telah menyiapkan nama banknya kelak, Tama Bank.
   Triyono membuktikan, cacat fisik tak mampu menghalangi cita-citanya. Kekurangan justru menjadi "bahan bakar" untuk terus menghidupkan semangat mengejar mimpi, termasuk menonton klub sepak bola idola, Manchester United, berlaga di Old Trafford, Inggris.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 3 JANUARI 2013