Selasa, 26 Februari 2013

Ang Lee: Oscar untuk Asia

ANG LEE 

Lahir: Pingtung, Taiwan, 23 Oktober 1954
Filmografi:
- 1992 Pushing Hands
- 1993 The Wedding Banquet
- 1994 Eat Drink Man Woman
- 1995 Sense and Sensibility
- 1997 The Ice Storm
- 1999 Ride with the Devil
- 2000 Crouching Tiger, Hidden Dragon
- 2002 The Hire
- 2003 Hulk
- 2005 Brokeback Mountain
- 2007 Lust, Caution
- 2009 Talking Woodstock
- 2012 Life of Pi

Ang Lee, sutradara kelahiran Taiwan, mendapat penghargaan Oscar untuk Penyutradaraan Terbaik lewat film "Life of Pi". Saatnya Asia bicara dalam jagat sinema internasional

Ang Lee (58) adalah sutradara asal Asia pertama yang mendapat Oscar, yaitu pada 2006 lewat film Brokeback Mountain. Prestasi itu berulang tujuh tahun kemudian, kali ini dia mendapatkannya lewat film Life of Pi.
   "Terima kasih kepada para dewa film," kata Ang Lee saat menerima Oscar di Kodak Theatre, Los Angeles, AS, Minggu (24/2) malam, atau Senin pagi waktu Jakarta.
   Hadirin pada acara penghargaan Oscar ke-85 itu tergelak dengan gaya "Asia" dari Ang Lee. "Saya perlu berterima kasih kepada Yann Martel yang telah menulis buku hebat dan inspiratif ini," kata Lee melanjutkan.
   Life of Pi diangkat dari novel karya novelis asal Kanada, Yann Martel, yang terbit tahun 2001. Film ini berkisah tentang Pi, bocah India yang terombang-ambing di samudra dalam perahu bersama seekor harimau bernama Richard Parker. Nasibnya terharu biru ombak, setelah perahu yang mengangkut keluarga berikut puluhan binatang koleksi ayahnya tenggelam oleh hantaman badai dalam perjalanan dari India ke Kanada.
   Life of Pi adalah salah satu film Lee yang menggambarkan pertemuan budaya Barat dan Asia. Tokoh-tokoh dalam karya Lee, termasuk dalam Life of Pi, adalah anak-anak dunia yang bisa membawa diri dalam harmoni hidup dua budaya Barat-Timur.
   Tokoh Pi dalam film itu adalah bocah yang berhadapan dengan beragam kultur di India, di mana budaya Timur dan Barat bertemu. Meskipun ada tekanan sosial, termasuk dari keluarga, Pi bisa menempatkan diri.
   "Saya juga perlu berbagi penghargaan ini dengan 3.000 orang yang bekerja keras untuk Life of Pi," kata Ang Lee dalam sambutannya.
   Life of Pi memborong 11 nominasi Oscar dan kebagian Oscar untuk penyutradaraan, sinematografi, lagu asli, dan efek visual. Sebelumnya, film ini juga mengantarkan Lee menerima penghargaan terbaik untuk penyutradaraan dari Golden Globe.
   Lee dipuji sejumlah kritisi film atas kemampuannya mengolah kompleksitas materi dalam novel menjadi suguhan film yang nyaman ditonton. Kritikus film Roger Ebert yang dikenal "pelit" memberi pujian, memberi bintang 4 dari maksimal 4 bintang untuk Life of Pi.
   Ebert menyebut film itu sebagai pencapaian yang hebat dalam cara bercerita dan penguasaan visual. Presiden AS Barack Obama juga memberi acungan jempol sebagai bentuk pujian pada Life of Pi. Kebetulan   Obama sudah membaca novelnya.
   Bukan sekali ini Lee menggarap film berdasar kisah novel. Sebelumnya dia menyutradarai Sense and Sensibility (1995) yang diangkat dari novel berjudul sama, karya sastrawan Inggris Jane Austen (1775-1817).

Nama besar

   Ang Lee masuk deretan sutradara besar di jagat perfilman dunia. Di pentas Oscar tahun ini, dia bertarung dengan nama sutradara dunia seperti Steven Spielberg yang diunggulkan lewat film Lincoln, Michael Haneke (Amour), David O Russell (Silver Linings Playbook), dan Benh Zeitlin (Beasts of the Southern Wild).
   Bukan sekali ini Lee bersaing dengan Spielberg pada ajang Oscar. Tahun 2006, Lee juga menyabet Oscar untuk penyutradaraan Brokeback Mountain. Ia menyisihkan Spielberg yang juga masuk nominasi lewat Munich. Saat itu, Lee pun menyisihkan Bennet Miller, sutradara film Capote, Goerge Clooney (Good Night and Good Luck), dan Paul Haggis (Crash).
   Kemampuan Lee dibuktikan pula lewat posisinya sebagai salah satu dari tujuh sutradara yang pernah mendapat penghargaan dari empat lembaga pemberi penghargaan film untuk penyutradaraan dari Golden Globe, Director's Guild, BAFTA, dan Oscar.
  Lee sejak era 1990-an sudah "bermain-main" di wilayah Oscar. Filmnya The Wedding Banquet (1993) masuk nominasi Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Setahun kemudian, garapannya Eat Drink Man Woman (1994) masuk lagi nominasi Oscar untuk kategori sama. Baru tahun 2000, ia menyabet Oscar lewat Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.
   Oscar bagi Lee seperti kemenangan untuk perfilman Asia. Setidaknya di Taiwan, Oscar yang diraih Lee dirayakan stasiun televisi Taiwan kemarin, dengan menayangkan ulang upacara penyerahan penghargaan Oscar. Saat menerima Oscar, Lee mengatakan, ia tak mungkin bisa menggarap film tersebut, "Tanpa bantuan Taiwan."
   Sebagian proses pembuatan Life of Pi memang dilakukan di Taiwan, yaitu pada penggunaan tangki raksasa untuk adegan laut. Adegan itu diambil di sebuah studio di Taiwan.

Timur vs Barat

   Lee adalah anak seorang guru yang besar dalam tradisi China di Taiwan. Ia merantau ke AS tahun 1978 untuk belajar penyutradaraan teater di Universitas Illinois. Ia melanjutkan belajar produksi film di Universitas New York. Saat itulah ia pernah menjadi asisten sutradara Spike Lee.
   Awal 1980-an, industri film Hollywood belum terlalu tertarik dengan film berbasis budaya Asia, termasuk China. Bahasa dagangnya, karya Lee belum laku. Ia sempat terpikir untuk pulang kampung ke Taiwan, namun Lee mendapat semangat baru setelah dipercaya menggarap film Pushing Hands pada 1992.
   Pushing Hands menjadi penanda awal bahwa sentuhan Asia-nya mendapat tempat di mata penonton, setidaknya pada Festival Film Internasional di Berlin. Karya Lee tersebut juga mendapat penghargaan pada Festival Film Asia-Pasific.
   Mata penonton barat semakin terpesona menangkap keindahan garapan Lee lewat The Wedding Banquet dan terutama Crouching Tiger Hidden Dragon. Tak hanya piawai menggarap film dengan latar budaya Asia, ia membuktikan diri sebagai sineas "dunia" lewat film berlanskap kultural Barat seperti Sense and Sensibility. Ini film Hollywood mainstream pertamanya dan masuk unggulan Oscar.
   "Kadang hal yang tak menguntungkan itu bisa menjadi menguntungkan. Kenyataan saya berasal dari kultur yang berbeda, membuat saya spesial di sini," kata Lee.
   "Mata Asia" Lee mampu melihat Barat dari sudut pandang yang tak banyak diketahui orang Barat. Itu menjadi salah satu daya tarik film-film Ang Lee, mungkin juga sineas Asia lainnya. (AP/AFP/XAR)

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 26 FEBRUARI 2013

Minggu, 24 Februari 2013

Daud Badu: Dari Pemburu Menjadi Pelestari Maleo

DAUD BADU

Lahir: Gorontalo, 3 Agustus 1969 
Istri: Rosna Patulani (38)
Anak:
- Afiyanto Badu (17)
- Ardi Ismail Badu (8)
- Alif Saputra Badu (1)

Sebelum Januari 2012, Daud Badu (44) dikenal sebagai pemburu telur dan burung maleo ("Macrocephalon maleo") di Cagar Alam Panua, Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Dengan kelebihan langka yang dimilikinya, warga Desa Maleo, Kecamatan Paguat, itu belakangan ini justru menjadi pelindung dan pelestari maleo.

OLEH ARIS PRASETYO

Daud punya kelebihan yang jarang dimiliki orang lain. Dia bisa menebak sarang maleo yang berisi telur. Mungkin hanya sedikit orang yang punya keahlian seperti itu. Pasalnya, burung endemik Sulawesi yang bertelur di tanah itu tak hanya membuat satu lubang galian untuk meletakkan telurnya, tetapi ada dua sampai tiga sarang palsu untuk mengelabui pemangsa. Di Cagar Alam Panua, maleo memilih bertelur di pantai pasir putih Teluk Tomini.
   Hari Minggu (17/2), Daud berjalan menyusuri lokasi peneluran maleo di pantai Teluk Tomini yang ternasuk kawasan cagar  Alam Panua. Berjalan di  sela-sela puluhan sarang maleo di pantai itu, ia berhenti pada salah satu sarang. tangannya menggali pasir sampai kedalaman 50-60 sentimeter. Beberapa saat kemudian, tangan kanannya menggenggam sebutir telur maleo berusia sekitar empat hari.
   Tak hanya jago menentukan sarang maleo yang berisi telur, Daud juga paham membaca jejak di atas pasir. Ia bisa tahu apakah itu jejak maleo, burung gosong, babi hutan, anjing, atau satwa pemangsa lain. bahkan ia juga bisa memprediksi berapa usia jejak itu. Selain maleo, burung gosong (Eulipoa wallacei) juga bertelur di lokasi yang sama.
   "Jejak kaki burung gosong dan maleo itu mirip, tetapi bisa dibedakan. Saya mempelajari semua itu dari ayah saya, sejak masih kecil," kata Daud.

Jejak sang ayah
   Daud diperkenalkan dengan satwa di sekitar kawasan yang kini menjadi Cagar Alam Panua oleh sang ayah, Gordon Badu (meninggal pada 2004) yang dikenal sebagai pemburu telur dan burung maleo ulung. Pada 1980-an jumlah maleo terbilang banyak, telur maleo pun melimpah.
   Gordon Badu mencari telur maleo untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Pada saat itu, harga sebutir telur maleo sekitar Rp 2.500. Permintaan telur maleo terbilang tinggi karena masyarakat menganggap bisa menyembuhkan penyakit. Sesekali sang ayah juga menangkap maleo untuk dijadikan lauk.
   Nyaris setiap hari mengikuti ayahnya berburu maleo, membuat Daud kecil secara langsung menyerap "ilmu" sang ayah. Bahkan, hingga kini Daud masih kerap dihubungi orang yang berniat membeli telur maleo. Kini, harga sebutir telur maleo mencapai Rp 250.000.
   "Sejak saya diperbantukan di Cagar Alam Panua oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Gorontalo, saya tidak lagi berburu dan menjual telur maleo kepada siapapun," katanya.
   Daud tidak tergoda iming-iming harga telur maleo yang tinggi. Bahkan, saat istrinya hamil anak ketiga dan mengidam telur maleo, daud tak mengabulkannya. Permintaan sang istri tak mampu meruntuhkan tekad Daud untuk menjaga kelestarian burung langka asli Sulawesi ini.
   "Saya katakan kepada istri, jika telur maleo saya berikan, apa dia rela kalau saya dipecat kantor BKSDA yang sudah mempekerjakan saya? Istri bisa memahami sikap saya," cerita Daud.

Direkrut
   Cerita tentang direkrutnya Daud untuk membantu pelestarian maleo di Cagar Alam Panua, disampaikan Kepala Resor Panua Tatang Abdullah. Kata dia, dengan luas kawasan cagar alam sekitar 36.000 hektar, pihaknya kewalahan mengawasi area tersebut. Apalagi jumlah petugas pun tidak memadai.
   "Hanya saya seorang yang bertugas di Panua. Tentu saja saya kewalahan. Kantor lalu mengizinkan untuk merekrut empat orang dari warga sekitar cagar alam. Tugas mereka adalah membantu pengawasan dan pelestarian di Cagar Alam Panua," ucap Tatang.
   Daud termasuk satu dari empat orang yang terpilih, meskipun dia sebetulnya tidak memenuhi kriteria. Pasalnya, Daud sama sekali tidak mengenyam pendidikan sekolah. Daud sempat nyaris tersisih sebagai tenaga kontrak di Cagar Alam Panua, tetapi Tatang bersikeras. Kepada pimpinan BKSDA, Tatang beralasan bahwa Daud meiliki keahlian mencari telur maleo.
   Jadilah sebagai "ujian masuk" menjadi tenaga kontrak, Daud dites oleh pihak BKSDA. Tes itu terbilang sederhana. Daud diminta mencari sarang maleo yang berisi telur. Tes dilakukan di lokasi peneluran maleo di Cagar Alam Panua. dengan mudah Daud menunjukkan sarang-sarang maleo yang berisi telur. Saat digali, tebakan Daud tak ada yang keliru.
   Mulai Januari 2012, daud yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan memiliki tugas tambahan sebagai pengawas dan pelestari maleo di Cagar Alam Panua. Setiap pagi dan sore, ayah tiga anak itu bertugas memeriksa sarang-sarang maleo dan sarang gosong di lokasi peneluran.
   Jika ditemukan, telur-telur itu lantas dipindahkan ke sarang buatan yang lebih aman dan terlindung dari ancaman pemangsa seperti biawak, babi hutan, atau ular.
   "Selain saya tutupi dengan dedaunan kering, di sekitar sarang buatan itu saya siram air seni agar tidak didekati babi hutan. Tak ada lagi pencurian telur yang dilakukan babi hutan atau biawak di sarang buatan," katanya.
   Sejak terlibatnya Daud, populasi maleo di Cagar Alam Panua dipastikan bertambah. Sepanjang tahun 2012, ia berhasil menyelamatkan 150-an butir maleo. Dari jumlah itu, hampir 100 butir yang menetas lalu dilepas ke alam. Jika tidak diselamatkan, banyak telur maleo yang akan dimakan pemangsa. belum lagi telur yang gagal menetas akibat suhu tanah yang tak menentu.
   Menurut Staf Senior Program Wallaceae pada organisasi Burung Indonesia di Gorontalo, Amsurya Warman, gangguan terhadap kelestarian maleo di Gorontalo terus terjadi. Ancaman itu datang dari pemangsa dan akibat tindakan manusia yang merusak keseimbangan habitat maleo.
   Contohnya adalah penebangan hutan atau alih fungsi hutan. Penebangan hutan di Gorontalo dari tahun ke tahun semakin mempersempit ruang gerak maleo.
   "Maleo dikenal sebagai hewan yang sensitif terhadap semua aktivitas di sekitar habitat mereka. Jika ada gangguan, mereka akan pergi dan pindah mencari habitat baru. Padahal, degradasi hutan semakin mempersempit habitat mereka di Gorontalo," kata Amsurya.
   Maleo memerlukan tempat bertelur dengan suhu tanah sekitar 32-34 derajat celsius. Burung ini bertelur setelah mencapai usia tiga tahun dan dalam setahun bisa bertelur sebanyak 10 butir. Maleo mengubur telurnya pada kedalaman 50-60 sentimeter dan menetas sekitar 60 hari kemudian. Dalam kurun 15 tahun terakhir diperkirakan populasi maleo di Gorontalo berkurang dari 25.000 ekor menjadi 10.000 ekor.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 FEBRUARI 2013

Rabu, 13 Februari 2013

Ketut Wiranantaja: Kipas-kipas Inovatif dari Sesetan

KETUT WIRANANTAJA 

Lahir: Denpasar, Bali, 31 Januari 1954
Istri: Ni Nyoman Widiati (56)
Anak:
- Wayan Wiraperdhana (31)
- Made Jananuraga (29)
- Nyoman Putra Wijaya (22)
Pendidikan:
- SD Negeri 3 Sesetan, Kota Denpasar
- SMP Widhyapura, Sesetan, Kota Denpasar
- SMEA Negeri Denpasar
- Akademi Pariwisata Perhotelan Denpasar
Penghargaan:
- Joymark Design Tokyo Japan 1990
- Sidhakarya dari Depnaker 1995
- Gold Award "Indonesia Good Design" 2012

Ketut Wiranantaja (59), pria kelahiran Denpasar, Bali, akhirnya menemukan arti hidupnya dalam industri kerajinan Kipas Wiracana yang dibangun sejak tahun 1995. Kerajinan kipas yang tahun 1980-an hanya diukir secara tradisional oleh ayahnya dan sejumlah tetangga, kini menjadi modern.

OLEH AYU SULISTYOWATI

Semua itu terjadi setelah Wira, panggilannya, membuat mesin pengukir kipas. Omzet puluhan juta rupiah per bulan, nama yang mendunia, dan penghargaan Gold Award "Indonesia Good Design" 2012 pun nyata lewat tangan kreatifnya.
   "Satu hal yang menjadi cita-cita dan ingin saya wujudkan adalah menjadikan kipas, budaya, bagi perempuan Indonesia. Bagaimana kipas selalu ada di setiap tas perempuan," kata Wira di galeri Kipas Wiracana miliknya.
   Ia tak akan berhenti berinovasi dan berkreasi dengan kipas. Ia juga bertekad harus ada sesuatu yang khas pada produk kipasnya.
   Berawal dari kegelisahan dia melihat ayahnya dan para tetangga di Sesetan, Kota Denpasar, bersusah payah membuat kipas cendana dengan alat ukir sederhana. Padahal, pesanan bisa lebih dari puluhan kipas.
   Ketika itu, Wira baru kembali dari bekerja di kapal pesiar sekitar tahun 1992. Lulusan Akademi Pariwisata Perhotelan Denpasar itu pun berhenti sebagai pekerja di kapal pesiar. Ia beralih menjadi pebisnis.
   Saat itu bisnisnya relatif maju. Namun, ia merasa tak berguna meski uang berlimpah. Kerajinan kipas cendana milik ayahnya pun tak serius dia garap. Wira terlena dengan bisnisnya sendiri. Memasuki tahun 1995, matanya tertuju pada salah satu peralatan kantor, yaitu alat pelubang kertas.
  "Saya bilang kepada istri, Tuhan menunjukkan sesuatu melalui alat pelubang kertas ini. Saya harus bisa membuat kipas cendana lestari dan diproduksi massal," tuturnya.
   Eksperimen pun dia lakukan. Tiga tahun kemudian, satu mesin dibuatnya. Kipas-kipas cendana bisa dibuat massal dengan cepat, tanpa orang harus satu-satu mengukirnya. Baginya, produk massal tak berarti menghilangkan tradisi. Bentuk ukiran kipas tetap dipertahankan. Kerajinan kipas yang sudah dikenal itu tak boleh punah.

Menjadi oleh-oleh

   Kipas cendana pernah populer sekitar tahun 1980. Wisatawan yang datang tak lupa membawa oleh-oleh kipas Bali, terutama kipas cendana asli Denpasar. Waktu itu, kipas juga identik sebagai suvenir pernikahan.
   Sayang, bahan baku kayu cendana semakin langka. Oelh karena itu, Wira berpikir, ia tak boleh terkungkung hanya dengan bahan baku kayu cendana. Ia tak berhenti belajar secara otodidak.
   Ia pun tak segan merogoh tabungannya untuk pergi ke Spanyol, Jepang, dan sejumlah negara di Eropa. Wira mencari dan mempelajari sejarah kipas serta fungsi kipas di setiap negara itu.
   Menurut dia, kipas khas Denpasar harus tetap berjaya dengan bahan baku apapun. Kayu mahoni dan lainnya pun bisa. Ia lalu berinovasi dan memodifikasi kipas-kipas itu. Pengetahuan yang dia dapatkan dari bepergian pun tercurah dalam kreasinya setiap hari.
   "Saya berusaha berkarya setiap hari, apalagi teknologi sudah memanjakan kita. Jadi, di mana pun saya berada, di situ saya mendapatkan inspirasi, saya langsung merekamnya," kata Wira.
   Meskipun kipas produksi Wira telah menggunakan perangkat modern, dia tetap yakin sentuhan tangan perajin tak bisa dihilangkan. Alasan dia, justru sentuhan itulah yang menjadi kekuatan kipas produksinya.
   Ia membuat aneka kipas, mulai gaya tradisional dengan seluruh lembaran kipas diukir hingga menggunakan laser. Modifikasi kipas yang lain memakai kain tenun endek dan kain lain sesuai selera pemesan. Wajah pun bisa dilukis menggunakan laser pada batang-batang kipas.
   "Kain yang dipotong pun menggunakan sinar laser agar serat kain tetap rapi," ujarnya.
   Kerapian dan ketelitian menjadi pekerjaan final yang penting pada kipas produksi Wira. Dia juga tak membatasi jumlah kipas yang harus dipesan pelanggan.
   "Orang memesan satu kipas pun, saya layani. Itulah bisnis yang benar, dan itulah rezeki untuk kelanggengan kerajinan ini. Saya tak perlu gengsi," tegasnya.

Kerajinan

   Ia tetap menyebut dirinya perajin kipas. Alasannya, kipas dari Denpasar ini lahir dari kerajinan tangan dan sampai kapan pun tetap memerlukan sentuhan tangan. Bedanya, Wira adalah perajin yang modern dan profesional.
   Setiap menyanggupi pesanan, ia berusaha menjaga kualitas dan kepercayaan pemesan. Wira bisa dikatakan melayani 24 jam konsultasi pelanggan. "Karena tak semua negara memiliki waktu siang dan malam yang sama."
   Ribuan kipas dari tempatnya setiap bulan terkirim ke beberapa negara. Jepang dan beberapa negara di Eropa menjadi pemesan rutin.
   Dia juga terus-menerus membuat batang kipasnya berbeda. Batang kipas itu bisa dibuat dari bahan tulang, gading, serta kerang, polos atau di ukir.
   Tahun lalu, selama sekitar enam bulan ia berpikir keras untuk meraih Gold Award "Indonesia Good Design" 2012. Ia berhasil mendapatkannya pada Desember 2012.
   "saya bersyukur dengan penghargaan ini. Penghargaan ini menambah semangat putra daerah untuk berkreasi mengangkat potensi lokal agar tak kalah bersaing," ujarnya bersemangat. Pada kompetisi itu, ia mengandalkan ukiran Ganesha di atas tulang dan lukisan Ganesha pada kain sutra.
   Selama ini istrinya, Ni Nyoman Widiati, mendukung semangat Wira membangkitkan kerajinan kipas Sesetan, warisan turun-temurun itu. Tiga anak lelakinya pun membantu setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di luar negeri.
 Ia tak menyembunyikan rasa bangga, anak-anaknya mau membangun bisnis kerajinan kipas ini. Hasil jerih payahnya dari kerajinan kipas terbukti mampu menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri dan mencukupi hidup keluarganya.
   Hingga kini, Wira tetap menerapkan disiplin dalam pekerjaan mengelola kerajinan kipas, bersama anak dan istrinya. Apalagi karyawannya kini sekitar 175 orang, dari hanya belasan orang pada tahun 1995.
   Ia terus belajar dan berkreasi. Bagi Wira, sesuatu tak bisa besar jika tak dimulai dari hal yang kecil. Kipas-kipas kreasinya tak bakal mendunia jika ia hanya mengandalkan pasar lokal.
   "Saya tak takut persaingan dengan produk China. Pasar kipas ini peluang pasarnya sedunia. Jadi, mengapa kita harus takut dengan produk China? Mari bersaing, konsumen itu mampu memilih yang berkualitas," kata Wira meyakinkan.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 14 FEBRUARI 2013

Rabu, 06 Februari 2013

Sumartono Hadinoto: Dedikasi pada Kegiatan Sosial

SUMARTONO HADINOTO

Lahir: Solo, 21 Maret 1956
Istri: Meliana Kusyanto
Anak: Wiranti Widyastuti
Pendidikan:
- SD Warga, Solo
- SMP Widya Wacana, Solo
- SMA Warga, Solo
- Akademi Pimpinan Perusahaan Indonesia, Solo (tak tamat)
Organisasi, antara lain:
- Palang Merah Indonesia Cabang Solo
- Perkumpulan Masyarakat Surakarta
- Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari)
- Lions Club Solo Bengawan
- Solo Emergency Response Unit (SERU)
- Yayasan Kesejahteraan Tunanetra
- Panti Asuhan Karuna 
- International Nature Loving Association Indonesia
- Dewan Harian Cabang (DHC)'45 Kota Solo
Penghargaan, antara lain:
- Imlek Award 2013 untuk kategori Tokoh Sosial dari Panitia Imlek Bersama 
  Solo
- Tokoh masyarakat 2007 dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Solo

Pasang surut kehidupan yang dirasakan Sumartono Hadinoto (56) membawanya pada pilihan hidup saat ini. Kesempatan mengembangkan bisnis berseliweran di hadapannya, tetapi ia memilih mendedikasikan diri pada kegiatan sosial. Jalan yang jarang dipilih, termasuk oleh sesama rekannya dari keturunan Tionghoa.

OLEH SRI REJEKI

Sumartono berpembawaan ceria, suka membantu, dan supel bergaul. Dengan modal jaringan yang luas, ia menjadi konektor banyak pihak yang saling membutuhkan. Ia menjungkirbalikkan citra negatif yang selama ini ada, seperti etnis Tionghoa tak suka berbaur dan mementingkan materi.
 Bukan sekadar gaya jika pria yang lahir dengan nama Khoe Liong Hauw ini aktif dalam 12 organisasi sosial. Posisinya mulai dari bagian humas, bendahara, sekretaris, ketua umum, hingga penasehat di sejumlah organisasi. Selain mencurahkan pikiran, tenaga, dan waktu, ia juga tak segan mengeluarkan isi kocek. Baginya, harta yang dimiliki hanyalah titipan Tuhan.
   "Ibarat pipa paralon yang dilewati air, kalau kita sumbat lubangnya, lama-lama akan jebol. Namun, kalau kita biarkan mengalir, air lancar dan pipa basah terus," katanya saat dijumpai seusai rapat di kantor Palang Merah Indonesia Cabang Solo, Jawa Tengah, pekan lalu.
   Pria yang akrab dipanggil Martono ini tercatat sebagai Sekretaris sekaligus Komandan Satuan Penanggulangan Bencana (Satgana) dan Direktur Medical Action Team di PMI Cabang Solo. Martono yang pernah menjadi Presiden Lions Club Chapter Solo Bengawan ini juga mengemban tugas sebagai Ketua Humas dan Bidang Umum Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).
   Organisasi sosial lain yang dia geluti, antara lain, Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari), Dewan Harian Cabang '45, Solo Emergency Response Unit (SERU), Yayasan Kesejahteraan Tunanetra, Panti Asuhan Karuna, dan International Nature Loving Association Indonesia.
   Ia juga pernah menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Cabang Solo 2009-2011. Manajer Persis Solo tahun 2006, dan Bendahara Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia Cabang Solo. Aktif di berbagai organisasi memberinya keuntungan jaringan yang luas.

Masih berguna

   Meski menyandang jabatan di organisasi, Martono tak segan turun langsung mengecek kondisi lapangan. Ia tak marah meski ditelepon pukul 02.00 dini hari untuk dimintai bantuan. "Justru senang karena berarti saya masih berguna untuk orang lain," katanya.
   Ia bahagia bisa berkiprah dalam organisasi kemanusiaan, seperti PMI dan PMS. Bersama pengurus lain, PMI Cabang Solo berhasil menyediakan ambulans 24 jam, stok darah 1.000 kantong per hari, dan terbentuknya SERU.
   "Pengalaman saat akan erupsi Gunung Merapi, semua orang datang padahal erupsi belum terjadi. Akibatnya kami rugi tenaga, waktu, dan biaya. Dari sini kami berpikir, akan lebih baik kalau Orari dulu yang datang. Setelah terjadi erupsi, baru kami panggil SAR, dapur umum, dan PMI," ceritanya.
   Meski lahir dari keluarga saudagar batik kaya, Martono pernah mengalami masa sulit. Cita-citanya bersekolah ke luar negeri, seperti ayah dan saudara sepupunya, kandas. Sang ayah, Winarso Hadinoto, meninggal saat Martono di kelas III SMP.
   Sebagai satu-satunya anak lelaki, ia harus membantu sang ibu, Kusmartati, menjalankan usaha batik keluarga, mulai produksi hingga pemasaran. Ia menempuh bangku SMA sambil bekerja.
   Martono memasarkan batik sampai ke Bandung. Dari Solo ia menumpang bus, di Bandung ia naik motor bersama teman berkeliling ke sejumlah tempat menawarkan batik. Namun, hasil usaha tersebut belum memuaskan.
   Cobaan kedua terjadi saat rencana pernikahannya gagal, padahal undangan telanjur disebar. Sang kekasih tiba-tiba pergi ke Jerman, meninggalkannya. Martono mengurung diri sampai tiga bulan, sempat terpikir untuk bunuh diri, tetapi tak jadi dia lakukan mengingat ada seorang teman yang justru menjadi cacat seumur hidup.
   Peristiwa ini menjadi titik balik kehidupannya. Dia lalu bekerja di toko variasi mobil selama lima tahun. Pada waktu luang, ia bergabung dengan Orari.
   Sejak itu muncul kesukaannya berorganisasi. Ia bergabung dengan PMS, organisasi leburan dari enam organisasi kelompok Tionghoa di Solo. Di sini ia digodok menjadi organisasi yang tangguh.
   "Saya ingat pesan Ketua PMS Budi Mulyono, berbuat sesuatu itu yang penting niatnya. Kalau kita membantu itu jangan pilih-pilih," Martono menirukan ucapan Budi saat itu.

Meluangkan waktu

   Ketika seorang pengusaha aplikator aluminium berniat pindah ke Amerika Serikat, ia meneruskan usaha tersebut. Selain aplikator aluminium, usaha itu juga meliputi kaca arsitektur, perlengkapan interior, dan papan gipsum. Tokonya dibuka bersamaan dengan kelahiran putri semata wayangnya, Wiranti Widyastuti.
   "Setelah melewati semua itu, saya sadar apa yang saya alami bukan cobaan, tetapi tahapan yang disiapkan Tuhan untuk membentuk saya menjadi seperti ini," kata kakek dua cucu ini.
   Selama 10 tahun mengembangkan usahanya, Candi Alumunium, Martono yang lebih terpanggil mengabdikan diri di bidang sosial sepakat dengan istrinya, Meliana Kusyanto. Usaha dipegang Meliana dan Martono berkegiatan sosial.
   Namun, kepercayaan orang tak datang sekejap. Martono sempat merasakan tatapan "miring" mereka yang sinis melihat kegiatannya di bidang sosial. Awalnya ia pun merasa "berbeda" karena satu-satunya keturunan tionghoa di sebuah organisasi.
   "Mungkin karena Tionghoa, dikira saya hanya menjadikan organisasi sosial sebagai sarana mencari proyek," katanya.
   Bagi Martono, kebahagiaan muncul saat seseorang bisa bersyukur dan berbuat ikhlas. Kuncinya berkegiatan sosial adalah kemauan meluangkan waktu. "Energi itu akan muncul dari semangat dan ketulusan kita."
   Ia berharap semakin banyak keturunan Tionghoa yang mau berkegiatan sosial. ia menyadari, perlakuan diskriminasi yang diterima etnis Tionghoa sejak masa penjajahan Belanda hingga Orde Baru membuat sebagian mereka memilih berkiprah di bidang ekonomi.
   "Saatnya keturunan Tionghoa mengubah pandangan dan memikirkan apa yang bisa kita perbuat untuk bangsa ini," katanya.


Dikutip dari KOMPAS, RABU, 6 FEBRUARI 2013

Senin, 04 Februari 2013

Maria Ulfah: Pendobrak Kemandirian Energi

MARIA ULFAH

Lahir: banda Aceh, 28 maret 1971
Suami: Agusman (43)
Anak: Afif Kholish
Pendidikan:
- SD Negeri 24, Banda Aceh, lulus 1983
- SMP Negeri 6, Banda Aceh, 1986
- SMA Negeri 3, Banda Aceh, 1989
- S-1 di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 1996
- S-2 di Institut Teknologi Bandung (ITB), 2003
- S-3 di ITB, 2011

Lewat tangan Dr Maria Ulfah, ketergantungan pada katalis impor guna mempercepat reaksi penghilangan senyawa pengotor dalam minyak mentah selama bertahun-tahun mulai diakhiri. Katalis untuk proses "hydrotreating" bernama TN100-2T itu juga dipergunakan pada Refinery Unit II Dumai yang dijalankan PT Pertamina (Persero). Jumlahnya memang baru 5 ton atau 0,25 persen dari total kebutuhan katalis "hydrotreating" yang mencapai 2.000 ton per tahun.

OLEH INGKI RINALDI

Hydrotreating merupakan proses untuk menghilangkan senyawa-senyawa pengotor sekaligus menjenuhkan minyak bumi sebelum bisa digunakan.Selain hydrotreating, dikenal pula hydrocracking, reforming, cracking, alkilasi, dan isomerasi dalam pemrosesan minyak bumi dengan jenis katalis yang dibutuhkan relatif berbeda.
    Katalis yang ditemukan Ulfah dalam studi doktoralnya di Institut Teknologi Bandung (ITB) telah meretas jalan baru pada persoalan energi nasional. Karena sudah dipakai dalam skala industri, kualitas katalis temuan staf pengajar Jurusan Teknik Kimia di Universitas Bung Hatta, Kota Padang, Sumatera Barat, itu bisa diandalkan.
   Bahkan, dalam beberapa parameter, kinerja TN 100-2T lebih unggul dibandingkan dengan katalis yang diimpor dari Eropa. Pengujian di skala industri membuktikan TN 100-2T menyingkirkan senyawa nitrogen dalam proses hydrodenitrification (HDN) lebih baik dibandingkan dengan katalis impor.
   Nitrogen yang menjadi salah satu pengotor minyak bumi bisa dienyahkan sebesar 97,25 persen dengan TN 100-2T. Sementara memakai katalis impor, senyawa nitrogen yang lenyap hanya 66,67 persen.
   Adapun kinerja untuk menghilangkan senyawa sulfur dalam proses hydrodesulfurization (HDS), TN 100-2T setara dengan katalis impor. Kedua katalis mampu 99 persen menyingkirkan senyawa sulfur.
   Target operasi PT Pertamina Refinery Unit II Dumai, kata Ulfah, untuk mengurangi kandungan sulfur dari 34 part per million (ppm) menjadi 0,5 ppm juga tercapai. "Kinerja ini sesuai standar yang ditetapkan dalam proses hydrotreating nafta, kandungan sulfur harus 0,5 ppm," kata Ulfah.
   Keunggulan lain katalis tersebut adalah tercapainya tingkat penurunan tekanan yang tak terlalu besar. Besaran penurunan tekanan relatif rendah ini diperlukan agar tekanan dalam satuan atmosferik tertentu yang dibutuhkan pada proses selanjutnya tercapai.

Lebih murah

   Hal itu bisa dicapai berkat bentuk trilobe dalam silinder untuk katalis dengan luas permukaan lebih besar sehingga aliran fluida dalam tungku yang tinggi relatif lebih cepat.
   Meski belum bisa memastikan biaya produksi total, menurut Ulfah TN 100-2T diyakini lebih murah ketimbang katalis impor. Sekalipun sejumlah bahan baku pembuatan TN 100-2T, seperti nikel nitrat, molibdenum trioksida, dan boehmite, masih diimpor.
   "Soal harga saya tidak tahu. Saya fokus meneliti. Namun, ini jelas lebih murah karena dibuat di sini (Indonesia). Saya juga tak tahu persentase perbedaan harganya dengan katalis impor," katanya.
   TN 100-2T yang ditemukan Ulfah secara umum sama dengan katalis impor. Perbedaan terletak pada metode pembuatannya. "Kita tak pernah tahu cara pembuatan katalis impor karena itu rahasia industri," katanya.
   Katalis punya karakteristik yang supersensitif terhadap beragam perlakuan selama proses pembuatan. Maka, sekalipun komposisi dan bahan yang dipergunakan sama, jika metode dan kondisi pembuatannya berbeda, katalis yang dihasilkan pun berbeda sifatnya.
   Katalis TN 100-2T merupakan tipe nikel molibdenum dengan penyangga gamma alumina (NiMo/a-Al203). Selain tipe itu, dikenal sejumlah tipe lain, di antaranya cobalt molibdenum gamma alumina (CoMo/a-Al203), NiMo/a-Al203, Amorf silika untuk katalis hydrocracking, dan platinarenium gamma alumina (Pt-Re/a-Al203) untuk katalis reforming.
   Ulfah menyebutkan, pembuatan katalis untuk proses hydrotreating nafta merupakan tahap awal untuk memlopori industri katalis dalam negeri. Ini dipilih karena bahan bakunya relatif mudah diperoleh, tersedianya sarana pengujian, umur katalis yang relatif pendek, dan pembuatannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan jenis katalis lain.
   Upaya itu juga tak lepas dari kerja sama Program Studi Teknik Kimia ITB dengan PT Pertamina untuk memproduksi salah satu katalis dalam penyulingan minyak mentah. Kerja sama yang dirintis sejak 2005 itu membuahkan hasil setelah Ulfah menyelesaikan disertasi berjudul Hydrotreating Nafta dengan Katalis NiMo Berpenyangga Gamma-Alumina yang dipertahankannya pada Oktober 2011.
   Untuk paten TN 100-2T sampai kini masih dibicarakan. "Karena ini hasil kerja sama antara ITB dan PT Pertamina," ujarnya.
   Upaya memproduksi mandiri katalis tersebut di dalam negeri terkait juga dengan meningkatnya kebutuhan katalis dunia dari 1995 hingga 2005. Itu terjadi karena semakin kotornya kandungan minyak mentah. Di sisi lain, tuntutan untuk menyelamatkan dan melestarikan lingkungan semakin tinggi.

Tantangan

 Tantangan membuat Ulfah fokus pada studi tentang pembuatan katalis penyulingan minyak mentah. Rentetan kegagalan pembuatan katalis oleh sejumlah rekan di masa lalu  semakin melecutnya. "Itu membuat saya tertantang, mengapa kita tak bisa?"
   Dilahirkan sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, Ulfah tak tumbuh dalam tradisi akademik. Ayahnya seorang PNS di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh, dan ibunya adalah ibu rumah tangga.
   Motivasinya menekuni teknik kimia bersemi saat duduk di bangku SMA. Ketika itu ada alumnus tempatnya bersekolah yang menjelaskan tentang cabang ilmu teknik kimia berikut segala peluang kariernya di bidang industri. Alumnus itu memberi gambaran betapa nyamannya bekerja di dunia industri sebagai ahli teknik kimia. "Itu membuat saya tertarik."
   Ia lalu berbelok ke dunia akademik, yang disebutnya sebagai garis takdir. Setelah lulus S-1, ia ke Padang mencari informasi lowongan pekerjaan."Waktu itu ada tawaran di Universitas Bung Hatta (UBH)," katanya.
   Saat itu Jurusan Teknik Kimia baru didirikan di UBH dan membutuhkan pengajar. "Syaratnya, kami mau disekolahkan lagi studi S-2," ujarnya. Ia terima tawaran itu.
   Sekalipun menyukai tantangan, relatif tak ada tentangan yang ditemui Ulfah dari lingkungan sosial selama berupaya memelopori kemandirian bangsa di bidang energi. Keluarga mendukung dia, para mahasiswa pun memberi apresiasi.
   Sejak mengajar tahun 1998, hal yang membahagiakannya adalah melihat keberhasilan sejumlah mahasiswa. Beberapa di antaRa mereka berhasil menembus ketatnya persaingan di sejumlah industri besar dan menjadi bagian di dalamnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 1 FEBRUARI 2013