Senin, 25 Maret 2013

Ahmad Adib Budiman: Mengajak "Berlari" Anak TKI Lewat Lagu

AHMAD ADIB BUDIMAN 
Lahir: Banyumas, Jawa Tengah, 10 desember 1986
Pendidikan:
- MI Maarif 02, Kedung Waringin, Banyumas
- MTs Maarif 01, Jatilawang, Banyumas
- SMA Al-Hikmah Benda, Brebes, Jawa Tengah
- Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Ahmad Adib Budiman tidak mengira awal perjalanannya sebagai guru mengantarkan dia sampai ke Tawau, Sabah, Malaysia. Anak-anak dari para tenaga kerja Indonesia yang menjadi muridnya. Ternyata malah dari mereka pula Adib terinspirasi untuk menciptakan lagu dan lebih merasa menjadi guru.

OLEH LUKAS ADI PRASETYA

Album rekaman yang dirilis Januari 2013  itu bukan album komersial karena sebagian hasilnya unuk disumbangkan. Itu juga bukan album yang dijual di toko-toko CD. Adib dibantu teman-temannya merekam lagu di Yogyakarta. Dia menghabiskan tabungan sekitar Rp 30 juta untuk membiayai ongkos produksi album tersebut.
   Menembus Dunia, demikian judul album yang hanya dicetak 250 keping itu. Gambar sampul album tersebut berupa Adib berjalan di tepi pantai sembari menenteng gitar. Ada delapan lagu bercorak pop ia sematkan, yakni "Guruku", "Menebus Dunia", "Melodi Hati", "Petuah Cinta", "Yakinlah", "Pertama dan Terakhir", "Aku Tak Mengerti", dan Cinta Mimpi."
   Lagu "Menembus Dunia" dan "Guruku", misalnya, berkisah tentang renungan Adib menjalani profesi sebagai guru yang ditugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) di Humana Learning Centre Merotai Kecil, Tawau, setahun terakhir. Humana Learning Centre adalah pusat bimbingan  yang dikelola lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing. Setahun di Tawau, ia menjumpai realitas yang menyesakkan dada.
   Suatu sore datang dua muridnya. Mereka bercerita mengenai persoalan ekonomi keluarga. Seorang siswi bertanya, apakah setelah lulus dia harus melanjutkan sekolah lagi? Siswi itu ingin melanjutkan sekolah. Namun, ibunya menyuruh dia bekerja di kebun kelapa sawit demi membantu keuangan keluarga setelah meninggalnya sang ayah.
   "Pak Guru, banyak kawan saya yang cakap (mengatakan), sekolah itu tak ada masa depannya. Saya disuruh menggantikan pekerjaan abang saya. Sekolah di Indonesia, (saya) tidak tahu. Tak payahlah (usah) kami sekolah tinggi kalau nanti kami bekerja di (kebun kelapa) sawit  juga," kata Adib menirukan ucapan  muridnya.
   Ia terperangah, termenung dan merasakan kepedihan. "Saya dikirim ke sini (Malaysia) untuk apa? Setiap hari saya bilang kepada para murid, mereka harus punya cita-cita yang tinggi. Namun, kata-kata mereka menusuk (hati) saya. Mereka membuat saya terbungkam dan malu menjadi guru," katanya.
   Selepas dua muridnya itu berlalu, Adib masuk kamar dan mengambil gitar. Lelaki kurus berkacamata ini berusaha mencari jawaban apa yang harus dia lakukan.
   "Kami, guru-guru Indonesia, di sini bukan lagi di tapal batas, tetapi berdiri paling depan di wilayah orang," kata Adib, dan terciptalah lagu "Menembus Dunia".
     Sementara lagu "Guruku" ditulis Adib tepat dua bulan setelah ia dikirim ke Tawau. Lirik lagu ini merangkum pergaulan Adib dengan para guru anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI).
   Di sini guru tak hanya mengajarkan semua mata pelajaran kurikulum Indonesia untuk siswa kelas I sampai VI, tetapi juga menjadi penjaga sekolah, pembuka kunci ruang kelas, pengurus administrasi, dan sebagai ustaz.
   Selain lirik-lirik lagu yang menggambarkan suasana hatinya sebagai guru, Adib juga memasukkan pengalaman asmara dalam lagu "Melodi Hati". Lagu itu awalnya untuk kejutan pada hari pernikahannya Desember lalu, tetapi rencana tersebut tak terlaksana.
  Satu lagu lain yang dinyanyikan Adib, "Yakinlah", adalah sumbangan personel Medium Band (Yogyakarta) sebagai bentuk perhatian mereka kepada anak-anak TKI dan dukungan bagi para guru.

Bekal keberanian

   Perjalanan Adib ke Tawau bermula dari perekrutan pengajar bagi anak-anak TKI di Sabah oleh Kemendikbud. Lelaki lulusan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta itu mendaftar. Bekalnya waktu itu hanya keberanian dan keinginan menghadapi tantangan.
   Menyisihkan banyak pendaftar lain, Adib pun berangkat ke Sabah. ia ditempatkan di Humana Learning Centre Merotai Kecil, sekitar 30 kilometer dari pusat Tota Tawau. Ketika itu dia sama sekali tak memiliki gambaran tentang kondisi di Tawau dan bagaimana mengajar anak-anak TKI.
   Saat bertemu dengan para murid, Adib kagum pada semangat mereka yang begitu kuat. Mereka bangun pagi, sekitar pukul 05.00, untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Mereka ke sekolah menumpang kendaraan pengangkut kelapa sawit. Menyesuaikan jam kendaraan sawit, murid yang masuk sekolah siang pun harus datang pagi, sama seperti murid yang  masuk sekolah pagi.
   Namun, setumpuk semangat itu belum diimbangi dengan sikap mental mereka. Anak-anak TKI di perkebunan sawit merasa inferior dan menganggap sekolah adalah tahapan hidup sebelum akhirnya mereka melanjutkan pekerjaan orangtua mereka sebagai buruh di perkebunan sawit. Oleh karena itu, wawasan mereka harus dibuka.
   "Anak-anak TKI sebisa mungkin nantinya jangan menjadi TKI juga. Itu yang harus kita tanamkan kepada mereka," ungkapnya.

Dari orangtua

   Kecintaan Adib mejadi guru tampaknya diturunkan kedua orangtuanya, H Mahfudzi dan Hj Chonisah, yang juga guru. Adib, anak ke-6 dari tujuh bersaudara ini, memiliki saudara kembar yang juga berprofesi sebagai guru. Di sisi lain, ia juga punya kecintaan yang sama pada musik.
   "Lagu-lagu dalam album ini awalnya saya rekam dengan ponsel (telepon seluler), lalu saya kirim kepada teman-teman di Yogyakarta untuk diaransemen musiknya. Mereka mengirimkannya kembali. Desember 2012, selama tiga minggu saya ke Yogyakarta untuk proses rekaman," ceritanya.
  Sewaktu masih kuliah, Adib juga menjadi "anak band". Ia bergabung dalam grup Nasyid Justice Voice di Yogyakarta. Pasca-menjadi guru di Sabah, ia meneruskan hobinya bermusik lewat berbagai pentas di sekolah-sekolah. Ia juga tampil di kantor Konsulat RI Tawau.
   Lagu-lagu adib itu beredar dari mulut ke mulut, dari ponsel ke ponsel, sampai ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Pekan lalu, Radio Suara Tribun Indonesia (STI) di Nunukan, kabupaten yang berbatasan dengan Sabah, memutar lagu-lagu Adib untuk pertama kali.
   Adib paham, apa yang selama ini dilakukannya baik sebagai guru maupun lewat lagu untuk anak-anak TKI tak bisa langsung membawa perubahan bagi masa depan mereka. Namun, dia yakin, perjuangan para guru di tanah tetangga itu, sekecil apa pun tak akan sia-sia. "Doakan kami ya," ucapnya.
   Adib pun berharap ia dapat terus mengajak para murid "berlari" menggapai cita-cita mereka agar tak mengulang sejarah hidup orangtuanya. Seperti penggalan lirik "Menembus Dunia",...berlarilah, kau anak manusia. Jangan letih, tetap gigih melangkah. Bermimpilah, demi masa depanmu. Biarkan rintangan ini berlalu. Tetaplah gigih menembus dunia.....


Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 MARET 2013

Selasa, 19 Maret 2013

Siti Rofi'ah: Tidak Boleh Lepas Kebun

SITI ROFI'AH 
Lahir: Desa Siri, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 22 Mei 1967
Suami: AS Hadungboleng
Anak:
- Hendra Handoyo
- Dadang Sudrajat
- Nursyaban
Pendidikan:
- SD di Desa Siri
- Paket B SMP
- Paket C SMA

"Tak boleh lepas kebun". Demikian petuah orangtua yang diterima Siti Rofi'ah. Aktivitasnya menghidupkan kembali dan mengembangkan pangan lokal telah membawa Rofi'ah mendapatkan penghargaan sebagai perempuan pejuang pangan lokal. Semua itu berakar dari petuah tersebut.

OLEH BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Petuah orangtua yang lain pun melahirkan sikap pantang menyerah bagi Rofi'ah. Petuah itu berkaitan erat dengan kemandirian ekonomi keluarga dan perempuan, yakni hidup harus bermoral, jangan meminta-minta kalau susah.
   Tahun 1983 merupakan titik awal pertanian sawah diperkenalkan ke sejumlah desa di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ribuan hektar tanah milik Desa Siri dibagikan kepada warga desa agar mereka mendapat bagian. Irigasi pun disediakan pemerintah. Musim tanam pertama mereka memberikan hasil melimpah.
   Kebijakan pemerintah berwujud "revolusi hijau" itu secara perlahan menggerogoti nilai-nilai yang sebelumnya dipegang secara kuat oleh warga setempat. Perlahan namun pasti, tata kehidupan warga Desa Siri yang semula mengutamakan kehidupan berkebun mulai bergeser.
   "Musim tanam kedua, orang mulai melepas kebun karena ada padi. Mereka bertanya, 'sudah ada padi kok tetap tanam jagung?'," Rofi'ah bertutur. Umbi-umbian hutan seperti talas, ubi, dan pisang pun ditinggalkan. Biasanya umbi digali lalu disimpan untuk dikonsumsi saat sulit pangan.
   Di tahun kelima mulailah pedagang menawarkan pupuk kimia dan pestisida. hanya dua tahun hasil panen bagus, selebihnya muncul beragam hama, di antaranya wereng coklat, penggerek batang, dan hama putih.
   Tekanan ekonomi muncul, warga mengijon (utang) pangan atau beras. Tak ada yang mengajarkan mereka tentang penggunaan pupuk, cara perawatan padi, dan pengobatan jika ada hama. Utang beras 50 kilogram harus dibayar 75 kilogram. Kemiskinan mulai lahir di sini.
  "Anak tak sekolah, orangtua bertengkar. Mereka meninggalkan kebun. Orang jadi malas. Muncul bantuan bencana alam dan kelaparan akibat gagal panen. Bantuan berupa beras 20 kilogram yang diberikan tiga kali dalam setahun, jelas tidak cukup," kata Rofi'ah.

Kaum ibu

   Ketika ia menjanda, di tengah pandangan sinis dan merendahkan akibat statusnya, Rofi'ah mengumpulkan  kaum ibu. Ada 10 orang bergabung. Mereka adalah ibu dari para murid mengajinya.
   Setiap orang diminta mengumpulkan 1 kilogram beras setiap kali berkumpul (per tiga bulan), dan mengumpulkan beras satu cangkir besar untuk diberikan saat anggota mengadakan perhelatan (perkawinan, pemberian adat belis, dan kematian). , 
Dengan sistem arisan, anggota secara bergilir mendapat uang hasil penjualan beras .
   Tahun kedua mereka dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM). 
"Kami tak butuh uang, tetapi pencerahan, karena kami tak tahu apa-apa," ungkap Rofi'ah. Perkumpulan perempuan itu makin berkembang. Tahun 2004, anggotanya menjadi 50 orang per desa. Perkumpulan ada di delapan desa.
   Perkumpulan tanpa uang itu macet karena ketua tak bisa menjalankan program. Rofi'ah lalu terpilih menjadi ketua meski tak tamat SMA.
"Saya merasa itu beban terberat," kata Rofi'ah yang terus berzikir dan berdoa.
   Ia membagi tugas. Setiap kelompok menjadi satu seksi dan dipilah menjadi seksi lumbung, benih, pemasaran, infrastruktur, pengamatan hama terpadu (PHT). "Harus ada benih yang kami kumpulkan agar tak perlu lagi membeli benih transgenik."
   Dari LSM pendamping, mereka belajar membuat pupuk bokasih dan pupuk organik. Mereka mengumpulkan kotoran sapi, kambing, dan kerbau untuk dibuat pupuk yang sebagian dijual.
  Kelompok perempuan itu menjadi Aliansi Petani Padi Lembor (APPEL). Dengan bantuan Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines), APPEL menanam padi di Desa Sumberlalong seluas 2 hektar dan menghasilkan 18 ton beras.
   Namun, situasi memburuk. Tak ada pasar. Saat panen raya, harga tak bisa tinggi karena dipatok pemerintah. Ketika panen tipis, saat "musim lapar", harga beras tinggi. "Bantuan dari pemerintah hanya bisa turun kalau ada bantuan dari orang dalam atau ada proposal," ujarnya.
   Tahun 2009, mereka kampanye menolak tambang untuk melestarikan kebun. Mereka membacakan 10 rekomendasi di hadapan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda. "Dia marah besar," cerita Rofi'ah sambil tertawa.

Gunung dan sorgum

   Untuk menyelamatkan sumber pangan lokal yang terancam "hilang", Rofi'ah berjalan ke gunung-gunung mencari benih sorgum merah, hitam, dan putih. Benih sorgum sudah lama tak dijaga.
   "Begitu ada informasi benih sorgum, saya langsung mencari rokok dan gula untuk ditukar benih,"  katanya. Saat tambang bisa dicegah masuk, warga mulai menanam sorgum di musim kering. Benih itu disebarkan juga ke Kecamatan Sananggoang, yakni di Desa Golondari, Nangabere, Benteng Dewa, Wewako, dan Desa Firu.
   Ketika ada tanah seluas 8 hektar, APPEL membuat program percontohan pangan lokal. Ini swadaya, meski mereka harus berutang. Mereka membuat pagar, menyiapkan lahan, dan semua proses lain dengan biaya sendiri.
   "Saya menjual sapi untuk biaya kesana kemari," kata Rofi'ah. Hasilnya, Sabtu, 12 November 2011, Bupati Fidelis Pranda melakukan penanaman sorgum secara simbolis.
   Dari kiprahnya itu, Rofi'ah dijanjikan piagam oleh bupati. Ia menolak. "Siapa yang akan ke kamar tamu saya untuk melihat piagam itu?" kata Rofi'ah mengulang ucapannya kepada Bupati. Sebagai penukar, ia minta bantuan untuk menyiapkan lahan. Janji meminjami traktor Bupati batal terwujud karena traktor rusak. Selain itu, tak ada lagi bantuan pemerintah.
   Namun, tak semua upayanya terlaksana karena tiadanya pasar, sedangkan petani tetap memakai pupuk kimia dan pestisida. Pengguna pupuk organik semakin menyusut.
   Kini Rofi'ah tinggal di Lembata, Kabupaten Lembata, mengikuti suaminya. Ia membantu menghidupkan kembali Kelompok Petani Penyangga Abrasi Laut Darat (Klomppald), organisasi suaminya yang sejak 2007 mati suri.
    Klomppald menyelenggarakan peringatan Hari Pangan Sedunia dengan  seminar dan pameran pangan lokal.
   "Semula para ibu menolak, namun saya terus katakan, pangan lokal membua kita mandiri, tak bergantung pada pihak lain," kata Rofi'ah. Mereka memamerkan pangan lokal yang antara lain berbahan dasar sorgum merah, sorgum putih, jelai, jagung pulut, dan jewawut.
   Setelah mendapat penghargaan sebagai salah satu dari tujuh perempuan pejuang pangan lokal dari Oxfam yang berkolaborasi dengan Aliansi Desa Sejahtera pada 8 Maret 2013, ia mengatakan, "saya melakukan ini bukan untuk mencari tenar. Saya hanya fokus mengembangkan pangan lokal, pemberdayaan perempuan, dan isu jender."
   Rofi'ah berharap pemerintah mendukung inisiatif masyarakat untuk mengembangkan pangan lokal. Ketergantungan pada beras hanya berujung pada bantuan raskin (beras untuk rakyat miskin) yang mengakibatkan warga malas dan manja.
   "Lepas kebun berarti kita mau melepaskan hidup," kata Rofi'ah, yang juga mendorong hidupnya kembali tenun lokal.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 19 MARET 2013

Lili: Memopulerkan Pisang Mas Kirana

LILI 
Lahir: Sumedang, Jawa Barat, 6 Juni 1962
Pendidikan: S-2 Agribisnis Universitas Islam Kadiri, 2007
Pekerjaan: Penyuluh pertanian Kabupaten Lumajang, Jawa Timur
Istri: Endang Sulistyowati
Anak: Nina Amelia, Arika Desilia, Hani Yuia
Penghargaan:
- Penyuluh Pertanian Berprestasi dari Kementerian Pertanian, 2007
- Penyuluh Teladan III kategori penyuluh pertanian yang bertugas di
  kabupaten, dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2012
- Pembina Kelompok Tani Berprestasi dari Dinas Pertanian Jawa Timur, 2006

Pisang mas kirana adalah pisang unggulan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Awalnya, jenis pisang ini tidak mendapat tempat di hati umumnya warga Lumajang. Namun, karena Lili terus-menerus memopulerkannya, kini pisang mas kirana menjadi idola.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Pisang mas kirana memiliki nilai jual tinggi dan merambah berbagai pasar swalayan di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan, pisang ini juga menjadi sajian di Istana Negara. Pisang mas kirana berbentuk panjang bulat (gilig) sekitar 9 sentimeter dengan warna kulit kuning. Pisang ini sebenarnya sudah lama tumbuh di Lumajang, tetapi tidak bernilai jual.
   Awalnya, harga pisang mas kirana hanya Rp 5.000-Rp 7.000 per tandan. Namun, kini harga pisang suguhan di istana kepresidenan itu bisa mencapai Rp 75.000 per tandan. Melejitnya harga pisang mas kirana, salah satunya, dipelopori Lili, penyuluh pertanian di Kecamatan Senduro, Lumajang, sentra pisang mas kirana.
   Lili risau saat petani di Senduro memandang sebelah mata terhadap pisang mas kirana. Pisang ini hanya menjadi tanaman pengisi kebun atau halaman rumah. Padahal, potensi pisang ini amat bagus. Selain rasa manis dan bentuk mungil, pisang ini juga banyak ditanam di kebun warga. Sayang, jika pisang ini tak dijadikan sumber penghasilan.
   Itu sebabnya, pada 2001 Lili bersama teman berusaha memasarkan pisang mas kirana ke pasar. Saat itu, dia membawa tujuh tandan pisang dan memberanikan diri menembus perusahaan agrobisnis di Surabaya. Usaha itu berhasil. Meski hanya dihargai Rp 1.600 per kilogram, permintaan mulai mengalir.
   Pasar merespons keberadaan pisang mas kirana. Lili pun mendapat pesanan 20 tandan pisang dari perusahaan itu. Setahap demi setahap pesanan naik, hingga pada 2002 pesanan pisang mas kirana mencapai 150 tandan. Pisang dia dapatkan dari sejumlah petani yang berminat memasarkan pisang mas kirana.

Nilai jual

   Awalnya, pisang hanya dibungkus dengan spons dan dibawa kepada pembeli. Namun, dia melihat pasar menyambut baik, Lili pun mengajak petani menangani sendiri pengolahan dan pengemasan pisang mas kirana. Ini untuk menaikkan nilai jual pisang tersebut.
   Pada 2002 dibentuklah tiga kelompok tani yang bergerak di bidang agrobisnis khusus pisang mas kirana. Sejak saat itu, tiga kelompok tani tersebut yang menangani pascapanen pisang mas kirana, mulai pengolahan pisang seusai dipanen hingga pengemasan dan siap dipasarkan.
   Seiring semakin banyaknya permintaan dari perusahaan agrobisnis, Lili juga menyosialisasikan nilai ekonomi pisang mas kirana. Warga Senduro pun menyambut baik. Mereka mulai memberikan perhatian pada pohon pisang mas kirana. Setidaknya ada 11 kelompok tani pisang mas kirana yang kini menjadi binaan Lili.
   Dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Lumajang, intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pisang mas kirana mulai dilakukan. Terbentuklah tiga kecamatan sentra pisang  mas kirana, yaitu Senduro, Pasrujambe, dan Gucialit. Ketiganya merupakan wilayah dengan kontur perbukitan dan pegunungan yang dinilai cocok untuk pertumbuhan pisang mas kirana.
   DiKecamatan Senduro, sebagai sentra utama pisang mas kirana, kini jumlah lahan yang ditanami pisang mas kirana mencapai 425 hektar. Padahal, sebelumnya lahan untuk tanaman pisang mas kirana hanya sekitar 15-20 hektar. 
   Pisang mas kirana semakin dikenal luas. Dari tiga kecamatan itu, produksi pisang mas kirana mencapai 200 ton per bulan. Jika awalnya hanya Rp 1.600 per kg, kini harga pisang mas kirana melejit hingga Rp 5.200 per kg.
   Untuk menguatkan daya tawar petani pisang, Lili mengajak kelompok-kelompok tani berhimpun membuat asosiasi. Dengan berkelompok, petani pisang di Senduro pun dengan mudah mengakses permodalan bank. Ada bank yang menjadi sponsor pengembangan pisang mas kirana di Senduro.
   Beberapa kali pisang mas kirana mencoba menembus pasar luar negeri, seperti Singapura dan taiwan. Namun, persyaratan pasar luar negeri rupanya sulit ditembus petani Senduro yang saat itu masih belajar mengenal pasar.
   "Sebenarnya orientasi ekspor bukan yang utama. Namun, ini menjadi penyemangat agar petani bisa menghasilkan produk unggul yang bisa diterima pasar luar negeri," ujarnya.
   Bagi Lili, pintu untuk memenuhi pasar buah dalam negeri saja masih terbuka lebar. "Konsumsi buah bangsa Indonesia masih 32 kilogram per kapita per tahun. Padahal, yang disyaratkan FAO, konsumsi buah seharusnya 60 kilogram per kapita per tahun. Artinya, pasar dalam negeri masih terbuka, tinggal bagaimana kita mengisinya," ujar Lili yang hingga kini masih menjadi salah satu jalur pemasaran warga Lumajang untuk memasarkan pisang mas kirana.
   pasar pisang mas kirana menembus sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan sampai ke Bali. Pembeli umumnya adalah supermarket. Pisang mas kirana lalu diberi label produk tertentu dan dipajang sebagai produk premium.
   "Saya ingin produk dalam negeri menjadi raja di negeri sendiri. Jangan sampai negara kita hanya dibanjiri produk asing yang kualitas sebenarnya di bawah produk dalam negeri. Itu semua bisa terwujud kalu petani kita kuat," ujar Lili.

Kelembagaan

   Melalui pisang mas kirana, Lili mengajarkan pentingnya penguatan kelembagaan petani. Dengan berlembaga, selain mudah mengakses permodalan, petani pun mampu menembus pasar-pasar besar. Mereka juga lebih mudah mendapat pelatihan peningkatan kualitas produk dari sejumlah institusi.
   Dalam hal pisang mas kirana, Lili merasa berhasil menerapkan tiga tugas yang diemban. Pertama, meningkatkan pengetahuan petani, kedua, meningkatkan keterampilan petani, terutama dalam pengemasan produk. Ketiga, mengubah sikap petani dari apatis menjadi partisipatif.
   Kepedulian Lili kepada petani antara lain karena dia anak seorang petani. Lili paham betul bagaimana menderitanya petani yang sejak awal mesti bekerja keras, tetapi harus kecewa saat panen karena mendapati kenyataan harga jatuh atau bahkan gagal panen.
   "Saya ingin melihat petani berjaya di negeri sendiri. Di luar negeri, petani itu dihormati. Sementara di sini petani masih termarjinalkan. Betapa indahnya kalau suatu saat petani kita benar-benar dihargai di negerinya sendiri," ujar Lili.


Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 18 MARET 2013
 

Rabu, 13 Maret 2013

Kustiyah Gandu: "Pengacara" Kaum Perempuan

KUSTIYAH GANDU 
Lahir: Malang, Jawa Timur, 15 Maret 1969
Suami: Gandu Wahyudi (53)
Anak:
- Nita Yudia ardani
- Fepti Diasantani
- Ira Oktavigara
- Mega Maulida
Jabatan:
- Ketua Community Center Dusun Kekeri Timur, Desa Kekeri Timur, Kecamatan
  Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
- Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa Kekeri Timur
- Kader Posyandu Desa Kekeri Timur

Semula Kustiyah Gandu (44) berjualan nasi. Namun, realitas sosial kalangan perempuan yang umumnya keluarga miskin dan terbelakang dari segala aspek mendorongnya "pensiun" berjualan. Ia kemudian memilih jadi pembela kaum perempuan di desanya. Karena kiprahnya itu, ia dijuluki "pengacara" para ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

OLEH KHAERUL ANWAR

"Sekarang ini kami, para lelaki, tidak berkutik lagi karena ada pembela para istri kami," ujar warga Dusun Kekeri Timur, Desa Kekeri Timur, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, mengutip komentar warga di desa itu.
   Julukan "pengacara" tersebut melekat setelah perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, itu membawa perkara seorang ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya. Selama enam bulan menikah, ibu itu dipukuli suaminya sekali dalam sebulan. Suatu hari, seusai dipukul sang suami, perempuan itu bersikeras bercerai. Dia mengadukan perilaku suaminya tersebut ke Kepolisian Sektor Gunungsari, yang langsung menjebloskan si suami ke sel selama beberapa jam.
   Setelah itu, keduanya disidang didamaikan. Di depan petugas polsek, si suami-yang digambarkan pemabuk-membuat perjanjian tertulis: jika memukuli istrinya lagi, sanksinya adalah cerai talak tiga. Belakangan, si suami mengulangi perbuatannya sehingga suami-istri itu pun berpisah.
   Kasus tersebut menjadi pembelajaran bagi suami, main kasar terhadap istri dan anak ada konsekuensi hukumnya. Penyebab persoalan adalah realitas kehidupan warga: terbatasnya sumber penghasilan dan rendahnya pendidikan suami-istri yang umumnya buta huruf dan tidak pernah sekolah.
   Para istri umumnya mengharapkan hidup dari penghasilan suaminya selaku buruh kasar, buruh tani, dan buruh pemecah batu untuk dijadikan kerikil. Saat terjadi persoalan internal keluarga, suami sering main pukul. Pertengkaran mulut di antara ibu rumah tangga pun sering bermula dari keadaan riil tersebut.
   Realitas itu diamati dan direkam Kustiyah lewat pergunjingan para istri yang curhat saat berbelanja di warungnya. Tidak jarang Kustiyah jadi "juru damai" dan menawarkan solusi, seperti mencarikan pinjaman modal usaha berbunga rendah ke kecamatan atau koperasi. Dengan pinjaman itu, para ibu rumah tangga bisa berdagang sayur-mayur, bakso, atau barang lain. Dengan cara tersebut, para istri bisa menopang penghasilan keluarga, juga punya posisi tawar di hadapan suaminya.

Community center

   Fakta-fakta itulah yang mendorong Kustiyah membentuk Community Center tahun 2006, beranggotakan 30 orang yang kebanyakan dari mereka adalah kader pos pelayanan terpadu (posyandu). Aktivitasnya melayani warga desa yang membutuhkan advokasi. Beruntung, suaminya, Gandu Wahyudi (53), beserta anak-anaknya mendukung kegiatan itu meskipun Kustiyah harus menutup warung nasinya tahun 2010.
   Kustiyah memang sibuk dengan kerja sosial. Sebutlah, seorang warga di desanya yang harus menjalani operasi  karena ada bisul di bagian ususnya. Kustiyah pun berusaha mendapatkan surat keterangan miskin agar warga ini bisa berobat dengan fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Ia acap kali bertengkar mulut dengan perawat rumah sakit.
   Kali lain, seorang gadis usia 19 tahun menderita sakit jiwa dan selama 9 bulan dipasung oleh keluarganya. Berbekal surat miskin, kustiyah merujuk gadis itu untuk dirawat jalan di rumah sakit jiwa menggunakan fasilitas Jamkesmas.
   Terkadang Kustiyah harus berdebat dengan petugas rumah sakit yang mempersoalkan kurang lengkapnya syarat administrasi, seperti tidak adanya foto kopi kartu tanda penduduk calon pasien. Lewat perdebatan kecil, akhirnya disepakati bahwa kesehatan pasien diprioritaskan, soal syarat yang kurang akan dilengkapi sambil jalan.
  Bahkan, untuk mendapatkan syarat administrasi itu, tak jarang Kustiyah perlu merogoh sakunya agar urusan orang yang dibantunya tuntas. Ia maklum kondisi sosial ekonomi warga yang juga miskin akses informasi dan relasi dengan "dunia luar" desanya sehingga mereka bingung jika menghadapi persoalan.

Akta nikah

   Pernah pula Kustiyah berkeliling Pulau Lombok, mencari empat gadis asal desa itu yang akan dijadikan korban penyelundupan manusia (trafficking) oleh sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Selama sepekan memburu alamat perusahaan yang lokasinya berpindah-pindah, tiga gadis itu akhirnya ditemukan di tempat penampungan mereka di Kota Mataram. Seorang lainnya ditemukan di Lombok Timur. Mereka tergiur janji PJTKI yang akan mempekerjakan mereka di restoran dan mal di luar negeri. Kasusnya sempat ditangani polisi meski belakangan keluarga dan para orang tua gadis itu mencabut pengaduan mereka.
   Suami-istri bisa mengantongi akta nikah adalah peran lain yang dilakoni Kustiyah. Ini karena warga desa umumnya kurang peduli terhadap akta nikah karena proses pernikahan mereka dianggap selesai jika memenuhi syarat agama. Padahal, akta nikah menjadi penting, selain sebagai syarat pencatatan administrasi kependudukan, juga hak waris bagi anak dan istrinya.
   Untuk itu, Kustiyah melobi berbagai instansi supaya warga diberi kemudahan mendapatkan akta nikah. Hasilnya, tahun 2010, ada 38 suami-istri yang mengantongi akta nikah setelah melalui proses persidangan (isbat nikah) di Pengadilan Agama. 
Tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat mengalokasikan  Rp 500 juta untuk melakukan isbat nikah bagi 2.040 pasangan suami istri.
   Meski demikian, banyak suami yang dengan berbagai dalih menolak isbat nikah. Karena itu, sebagai kader posyandu, Kustiyah terus melakukan penyuluhan kepada warga akan pentingnya akta nikah, soal hak anak dan perempuan, serta gizi, selain soal kesehatan, seperti kesehatan reproduksi. Sebab, hingga kini masih ada ibu yang enggan memeriksakan kesehatan diri dan anak balitanya ke posyandu, menolak melakukan persalinan di puskesmas, malah tidak mau rumahnya didatangi oleh petugas puskesmas yang akan membantu proses persalinannya.
   Semua itu adalah tantangan bagi istri Gandu Wahyudi, seorang montir, ini. Toh Kustiyah punya prinsip, "Saya tidak bisa membantu secara materi, tapi melalui tenaga dan pikiran. Bagi saya, menolong orang lain adalah sebuah keberkahan."

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 11 MARET 2013

Minggu, 03 Maret 2013

Nanda dan Iswandi: Dua Sisi Songket

NANDA WIRAWAN 
Lahir: Padang, Sumatera Barat, 19 November 1982
Pendidikan:
- SD Negeri 24 Purus Baru, Padang
- SMP Negeri 7 Padang
- SMA Negeri 2 Padang
- S-1 Teknik Lingkungan, Universitas Andalas, Padang

ISWANDI
lahir: Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 13 Mei 1976
- SD Negeri 100, Canduang, Agam, Sumbar
- SMP Negeri Simpang Canduang
- SMSR Negeri Padang
- Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang
Anak: Mikshalmina Tulus Iswandi (3,5)

Nanda Wirawan dan Iswandi bak dua sisi helai-helai songket lama Minangkabau yang saling memberi harmoni. Pasangan itu adalah generasi kedua yang berkelindan dengan upaya revitalisasi songket-songket tersebut.

OLEH INGKI RINALDI

Sebagian dari songket Minangkabau yang selama ini tersimpan di tangan kolektor ataupun museum, bahkan yang tak lagi terlihat, kembali dibuat ulang. Songket lama itu dikerjakan dengan ketelitian tinggi seperti saat ditenun bertahun-tahun lalu.
   Tak heran jika akhir Desember lalu Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memberi penghargaan kerajinan unggulan untuk songket Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, bermotif Sajamba Makan serta songket gabungan motif Saluak Laka dan Saik Ajik Babungo.
   Semua itu berawal pada 1996 ketika pria berkebangsaan Swiss, Bernhard Bart, bersama istrinya, Erika Dubler, merevitalisasi songket lama Minangkabau. Pasangan itu bertemu Nina Rianti dan almarhum Alda Wimar di Padang.
   Nina dan Alda adalah  orangtua Nanda. Bernhard, Erika, Nina, dan Alda kemudian bersama-sama mewujudkan keinginan besar mereka merevitalisasi songket lama Minangkabau.
   Upaya ini melelahkan karena songket lama Minangkabau tak bisa dipandang sebagai produk sandang belaka. Bernhard dalam buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau (2006) mengatakan, menatap songket berarti melihat sebuah tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
   Songket Minangkabau menjadi pelengkap status sosial seseorang dalam masyarakat, selain sebagai fungsi yang melekat dalam sejumlah upacara adat. Motif dalam setiap lembarnya mengandung makna tersurat, tersirat, dan tersuruk (tersembunyi). Orang Minang menyebutnya alam takambang jadi guru atau alam yang terkembang adalah guru.
 Ketika Bernhard fokus pada detail teknis songket, Alda secara intens meneliti aspek filosofi dan budaya songket.
   Masa itu ditandai dengan perburuan dan percobaan membuat kembali songket lama pada sejumlah petenun. Eksperimen antara lain dilakukan di Tanjung Sungayang, Batusangkar, Kubang, Limapuluh Kota, dan Kotogadang, Agam. "Tak ada yang berhasil," kata Nanda.

Sempat vakum

   Pada 2004-2006 mereka bekerja sama dengan petenun di Payakumbuh yang bernaung dalam Studio Songket ErikaRianti. Mereka berpameran di Jakarta sebelum vakum lagi pada 2006. Tahun 2008, Studio Songket ErikaRianti berdiri di Jorong Panca, Nagari Batu Taba, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam.
   Namun, mendapatkan petenun tak mudah. Awalnya lima petenun asal Lintau, Tanah Datar, direkrut. Mereka diajari cara menggunakan alat penyimpan motif (karok motif) yang dibawa Bernhard dari Laos. Dari lima orang itu, hanya seorang yang menjadi petenun hingga kini.
   Lalu direkrutlah kaum muda di wilayah Nagari Batu Taba meski mereka bukan petenun. Tahun 2009, selama setahun tujuh anak muda itu diajari menenun songket. "Proses 'cuci otak' untuk menyamakan visi yang berlangsung sampai sekarang. Kami tanamkan pada mereka bahwa proses ini perlu keberlanjutan. Kita harus mencintai dan memiliki pekerjaan serta kebanggaan," kata Nanda.
   Alhasil ada 4 perempuan dan 4 pria petenun berusia 18-26 tahun. Mereka yang mengerjakan songket berukuran 190 cm x 55 cm. Sehelai kain selesai dalam waktu 1,5-2 bulan dan berharga mulai Rp 5 juta.
   Sebagian orang menganggap harga songket itu mahal. Namun, menurut Nanda dan Iswandi, harga itu sepadan mengingat kesulitan dan lamanya membuat songket. Oleh karena itu, selain mendidik petenun, mereka juga"mendidik" konsumen yang datang ke Studio Songket ErikaRianti untuk menghargai songket.
   "Kami memang masih kesulitan memasarkannya, baru tahun 2012 ada surplus. inilah yang membuat biaya produksi tinggi karena gaji petenun terus dibayar penuh," kata Nanda.

Realitas kini

   Belakangan ini Nanda dan Iswandi tak lagi menjadikan revitalisasi songket lama Minangkabau sebagai "isu utama". "Kami harus lebih terbuka melihat perkembangan dunia busana, perubahan yang terjadi setiap tahun, termasuk tren warnanya." kata ISwandi.
   Karena itu, dalam pembuatan songket mereka berusaha menyelaraskannya dengan realitas. Nanda berpandangan, tradisi dan adat merupakan sesuatu yang terus berkembang. "Kita hidup dengan nilai dalam konteks kekinian," ujarnya.
   Penyesuaian itu bisa berupa material yang lebih disukai orang dan sesuai dengan kondisi kini. Misalnya, benang emas yang cenderung dihindari sebagian orang karena gatal dan sulit perawatannya. Penyesuaian juga dilakukan pada ukuran songket, seperti membuatnya sesuai untuk tengkuluak (penutup kepala) sekaligus selendang ataupun syal.
   "Warna bisa sesuai tren, tetapi motif lama tetap kami pertahankan karena di sinilah filosofi songket itu," kata Nanda yang sejak 2010 memakai pewarna alami, seperti kayu manis, pinang, secang, dan lumpur. "Ternyata efek visual (songket) lebih bagus dengan pewarna alam," ujarnya.
   Perubahan itu juga memengaruhi konsumennya. Jika dulu pembeli songket lama umumnya berusia 40-60 tahun, kini konsumen berusia 30 tahun pun menyukainya.
   "Ke depan kami akan lebih menggarap pasar muda usia, juga membuat kampung songket di Canduang (Agam)," kata Iswandi. "Saya ingin anak muda pun merasa bangga memakai songket, tak hanya pada upacara adat," lanjut Nanda.
   Kampung songket ini merupakan cita-cita mereka untuk melanjutkan tradisi. "Dulu, setiap nagari punya hasil tenun yang spesifik. Namun, pada 1920-an hingga 1965 ada generasi pembuat songket yang putus. Akibatnya, banyak motif songket lama yang hialng," ujar Nanda.
   Meski banyak tantangan, keduanya bertekad terus bertahan. Mereka seakan menemukan harta karun setiap kali memperoleh songket lama dengan kisah yang tak terduga.
   "Selalu ada gairah yang meletup-letup. Misalnya ketika kami jalan-jalan ke suatu daerah, selalu ada motif songket 'baru' yang membuat kami berusaha mendalaminya. Selain motif, juga sejarahnya, tahun berapa dibuat, siapa pembuatnya, bahan yang digunakan," kata Iswandi.
   Iswandi pun merasa dititipi "wasiat" untuk merevitalisasi songket sejak menikahi Nanda pada 2008. Apalagi ia pun tak asing dengan tekstil dan motif karena saat belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa Negeri Padang mengambil jurusan kriya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 4 MARET 2013