Jumat, 12 April 2013

Dewi Kusmianti dan Tonton Paryono: Hidup Sejahtera bersama Sampah

TONTON PARYONO
Lahir: Bandung, 31 Juli 1973
Pendidikan:
- SD Gumuruh 2, Bandung, lulus 1989
- SMP Muslimin 2 Bandung, 1992

DEWI KUSMIANTI
Lahir: Bandung, 20 Juni 1975
Pendidikan:
- SD Bandung Raya, 1988
- SMP Pasundan 7 Bandung, 1991
- SMA Muslimin 1 Pagi Bandung, 1994
Anak:
- Ayu Dwi Yanti (17)
- Muhammad Yusuf Mauliawan (14)
- Tri Septiani (11)
Penghargaan:
- Pengelola sampah Konsep 3 R Hari Lingkungan Sedunia Kota Bandung untuk 
  My Darling, 2011
- Penghargaan Msyarakat Peduli Lingkungan 2012
- Tokoh Dewi Sartika sebagai Ibu Teladan Lingkungan 2012 Jabar
- Pikiran Rakyat Award Kategori Lingkungan, 2013

Suatu hari delapan tahun lalu, corat-coret sisa rapat tentang pemilahan sampah di papan tulis di lembaga swadaya masyarakat Studi Mitra Lingkungan membuat Dewi Kusmianti (38) penasaran. Sebelum dihapus, ia membacanya sampai tuntas. Beberapa inti tulisan dicatatnya.

OLEH CORNELIUS HELMY

Pikiran Dewi lantas melayang pada keluhan suaminya, Tonton Paryono (40). Pengangkut sampah di RW 011 Kelurahan Cibangkong, Kota Bandung, itu kewalahan mengelola timbunan sampah seorang diri.
   "Sampah plastik dipilah dan dibuat kerajinan tangan. Selain meringankan beban suami, juga bisa memberi keuntungan ekonomi," pikir Dewi yang kala itu bekerja sebagai petugas kebersihan di Studi Mitra Lingkungan.
   Setelah dibicarakan dengan suaminya, konsep itu mulai mereka kerjakan pada April 2005. Saat itu, di tempat pembuangan sampah (TPS), timbunan sampah mencapai 4 meter. Sampah berasal dari sekitar 9.000 warga RW 011 yang tak pernah diangkut sejak tahun 1996.
   Selain memilah plastik di TPS RW 011, mereka juga membeli langsung dari warga. Modal untuk itu disisihkan dari penghasilan keduanya sekitar Rp 600.000 per bulan. Sampah anorganik dibeli Rp 400 per kilogram dan sampah plastik bermotif Rp 50-Rp 100 per lembar. Pembayaran dilakukan saat tagihan mencapai Rp 50.000 per orang.
   Cara itu membuahkan hasil manis. Kemampuannya menganyam dari bahan bungkus plastik bekas memberikan penghasilan tambahan. Dalam sebulan Dewi bisa menjual 30 dompet atau tas kecil Rp 5.000-Rp 10.000 per buah. Kerja suaminya sebagai pengangkut sampah juga lebih ringan karena volume sampah berkurang hingga 40 persen setiap hari.
   Peluang ekonomi itu juga dilirik oleh 12 ibu tetangganya di RW 011. Tahun 2009, mereka lantas bergabung dan menamakan diri Masyarakat Sadar Lingkungan (My Darling) untuk memudahkan pembelian sampah dan pemasaran hasil kerajinan.
   "Kelompok My darling terus berkembang. Saat pertama berdiri, keuntungannya hanya Rp 800.000 per 12 orang per tahun. Sekarang setiap anggota bisa untung Rp 500.000 per tahun," ujar Dewi.
   Tak lama kemudian My Darling mendaftar menjadi peserta program Bandung Clean and Green yang digagas Pemerintah Kota Bandung pada 2010. Awalnya hanya ingin memperkenalkan diri, tak disangka konsep My Darling dinobatkan menjadi 15 peserta terbaik.
   Sukses itu membuat Yayasan Sumbangsih Nuansa Indonesia kepincut. Dana bantuan Rp 15 juta digelontorkan untuk memilah sampah. Namun, karena minim pengalaman, uang itu hanya digunakan untuk mengangkut sampah dari TPS.
   Oleh karena tak ada mobil khusus pengangkut sampah, Dewi dan Tonton harus mengeluarkan Rp 450.000 sekali angkut. Sampah masih menggunung, sedangkan uang bantuan ludes dalam enam bulan.
   "Saya banyak belajar. Banyak uang tanpa program yang benar tidak akan menghasilkan apa-apa," katanya.
   Kesempatan kedua datang. Beragam tawaran bantuan mengalir kembali untuk mereka. Tak ingin mengulang kesalahan, anggota My Darling kali ini menolak uang tunai. Mereka meminta bantuan ilmu teknologi dan alat pendukungnya.
   "Sikap itu mendapat apresiasi pemerintah dan kalangan swasta. Kami diberi ilmu pembuatan kompos, energi sampah, hingga mengurangi residu sampah bersama alat pendukung. Total mungkin Rp 100 juta. Tumpukan sampah setinggi 3 meter itu diangkut gratis," kata Dewi yang juga menjadi tukang ojek.

Berbagi

   Bumi seperti runtuh saat Dewi dan Tonton dipecat dari perusahaan konfeksi tahun 2003. Padahal, saat itu mereka butuh biaya besar untuk pengobatan tiga  anaknya. Anak sulungnya sakit diabetes, anak kedua menderita autis, dan si bungsu digerogoti radang otak.
   "Istri saya mengamen di lampu merah. Lamaran kerja yang saya ajukan tidak ada yang mau terima. Bahkan, untuk kontrak rumah saja saya tidak mampu. Kami sering tidur di jalan," kata tonton mengenang.
   Titik balik terjadi saat orang tak dikenal membayar biaya perawatan rumah sakit untuk anak Dewi sebesar Rp 1 juta. Dermawan itu hanya mengatakan, saling membantu adalah kewajiban semua makhluk Tuhan.
   "Saya lantas berpikir, kalau selama ini hanya meminta, suatu saat saya harus bisa memberi. Sampah ternyata jalan yang diberikan Tuhan agar saya bisa berbagi. Tak lama kemudian kami bekerja sebagai petugas kebersihan dan pengangkut sampah," ujar Tonton.

Teladan

   Sukses bersama My Darling tak membuat Dewi dan Tonton berpuas diri. Mereka yakin, semangat ibu-ibu di RW 011 masih bisa dikembangkan.
   Lewat perkenalan dengan beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu, Dewi menggagas sekolah ibu pada 2011.
   Sekolah ini menjadi rumah pelatihan bagi ibu-ibu RW 011 mengelola keuangan, penataan lingkungan, pola hidup sehat, dan pelatihan usaha.
   "Gurunya pakar lingkungan, dokter, hingga analis keuangan. Mereka mau datang tanpa dibayar dan membagi ilmu dengan 12 murid sekolah ibu," ujar Dewi.
   Harapan mereka tak bertepuk sebelah tangan. Semangat ibu-ibu RW 011 membuat keberadaan sekolah ibu menjadi berarti. Tak sedikit ibu-ibu itu mulai membuka usaha pembuatan bakso sehat, penjualan baju, hingga tahu pentingnya hidup sehat dan higienis.
   "Dari sebelumnya menganggur, mereka punya kegiatan positif yang menghasilkan uang untuk keluarga," ujarnya.
   Keringat dan air mata Dewi dan Tonton perlahan menjadi teladan. Kini, ada empat kawasan di Kota Bandung yang sudah menerapkan konsep bank sampah. Ada pula kelompok masyarakat di Kepulauan Riau, Bali, dan Kalimantan Tengah yang juga tertarik mengembangkan hal serupa.
   Puluhan skripsi dan tesis mahasiswa berbagai perguruan tinggi juga lahir dari sampah. Mahasiswa menilai konsep My Darling dan sekolah ibu itu sebagai kemandirian yang menyelamatkan Bandung dari lautan sampah.
   Tak jarang mahasiswa pun menginap di rumah kontrakan Dewi dan Tonton yang berjarak sekitar 200 meter dari TPS selama mereka menyelesaikan tugas. Jarak rumah yang dekat dengan TPS memudahkan penelitian mereka pada My Darling dan sekolah ibu.
   "Kami belum tahu apakah tahun depan masih di sini atau tidak. Pemiliknya mengatakan, saya harus membayar Rp 40 juta atau  pindah karena rumah mau dijual. Mungkin saya belum punya uang saat ini, tetapi kalau mau berusaha pasti ada jalan," kata Dewi.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 11 APRIL 2013

Kamis, 11 April 2013

Saripuddin: Gerakan Pertanian Organik dari Tarakan

SARIPUDDIN 
Lahir: Sulawesi Selatan, 3 Mei 1977
Istri: Hapita (34)
Anak:
- Rahmat (7)
- Ahmad Setiar (4)
Pendidikan:
- Madrasah Tsanawiyah Kalimbua, Sulawesi Selatan
- Madrasah Aliyah Ak Khairat, Tarakan, Kalimantan Timur

Melakoni pekerjaan sebagai petani barangkali tidak menarik jika kondisi tanahnya kurang cocok, seperti di Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Namun, bagi Saripuddin (35), bekerja keras untuk mencari solusi dari keterbatasan tersebut justru menjadi tantangan tersendiri. Hasilnya, sekarang dia menjadi petani organik dan bangga dengan pekerjaannya.

OLEH LUKAS ADI PRASETYA

"Memang jika dirasa-rasa, awalnya pekerjaan ini, ya berat. Namun, ketika kita ada keinginan untuk maju, entah bagaimana, kesempatan itu selalu terbuka dan tinggal bagaimana menjalaninya. Hal yang penting, jangan sampai kita patah semangat," ujar Saripuddin.
   Tidak berbeda dengan petani-petani lain, Saripuddin, warga RT 007 Kelurahan Mamburungan, Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Timur, itu dulu juga petani konvensional. Dia mengikuti jejak orangtuanya yang juga bermata pencarian sebagai petani konvensional.
   Bertahun-tahun mereka bergantung pada pupuk kimia buatan pabrik. Mereka pun selalu menghadapi kondisi tanah yang kesuburannya terus menurun tanpa tahu apa sebabnya.
   Saripuddin dan teman-teman sesama petani pun hanya bisa saling berkeluh kesah tentang nasib mereka yang tak kunjung membaik. Tanah garapan mereka semakin bantat, hasil panenan pun terus menurun.
   Di sisi lain, harga pupuk semakin mahal dan semakin banyak pula jumlah pupuk yang harus mereka beli. Cacing di dalam tanah sebagai penanda kesuburan juga semakin menghilang dari tanah garapan mereka.
   "Sekitar 50 karung urea sudah cukup untuk sekali tanam. Namun, untuk masa tanam berikutnya, jumlah pupuk itu sudah tidak cukup lagi. Cacing di tanah kami menghilang, sementara hama justru bertambah banyak. Tanah kami sedang sekarat. Kami berpikir, ada apa dengan tanah kami? Padahal, setiap musim tanam, kami harus mengeluarkan biaya banyak. Uang diperlukan untuk membeli pupuk sampai obat tanaman," cerita Saripuddin.
   Tanah di Kelurahan Mamburungan, seperti umumnya tanah di Tarakan, juga berupa lempung berpasir. Menurut Saripuddin, kondisi tanah itu sebenarnya kurang bagus untuk padi. Tingkat PH-nya pun 4,1.
   "Di (Pulau) Jawa, tanah yang dipakai untuk pertanian juga berupa lempung, tetapi PH-nya ideal, yakni 6-7.
Jadi, tanah itu cocok untuk bertanam padi dan sayur-mayur. Saya lalu berpikir, tanah di sini (Tarakan) semestinya juga bisa dibuat agar cocok untuk bertanam (padi dan sayur), tentunya dengan perlakuan yang berbeda (dengan tanah di Pulau Jawa)," katanya.

Mencari tahu

   Pengetahuan itu membuat Saripuddin mengetahui ada yang salah dari cara bertani mereka selama ini. Dia kemudian mulai berusaha mencari tahu tentang bagaimana memperlakukan tanah lempung berpasir agar bisa mereka gunakan untuk pertanian.
   Setelah emncari informasi ke berbagai pihak, sampailah Saripuddin pada kesimpulan bahwa penggunaan pupuk kimia harus dihentikan. Namun, tak semua temannya sesama petani sekaligus anggota Kelompok Tani Mapan Sejahtera sepakat dengan kesimpulannya itu. Dia lalu memilih melakukan sendiri.
   "Saya bertanya kepada aparat pemerintah daerah dan disarankan untuk meminta bantuan kepada perusahaan migas (minyak dan gas) yang ada di Tarakan," katanya.
   Saripuddin kemudian mendatangi salah satu perusahaan migas itu dan dia diterima dengan baik. Dari perusahaan migas tersebut, dia malah diberi bantuan bibit dan pupuk kandang.
   "Namun, bukan bantuan seperti itu yang kami inginkan. Petani menginginkan ada pelatihan dan pendampingan agar kami mampu mandiri dengan menerapkan pertanian organik," ujar Saripuddin.
   Keinginannya itu kemudian terwujud. Pada 2008, petani setempat mendapatkan pelatihan cara bercocok tanam secara organik. Meski begitu, seusai pelatihan, masih banyak petani yang merasa ragu menerapkan pertanian organik.
   Sementara itu, Saripuddin langsung menerapkan apa yang diperolehnya selama pelatihan. Pupuk dari pabrik berangsur-angsur dihilangkan. Dia merasa mantap menanam padi dan sayuran secara organik.
   "Sekarang padi dan sayuran saya sudah bebas dari pupuk kimia," katanya meyakinkan.

Ragu-ragu

   Di satu sisi, Saripuddin bisa memahami jika sebagian petani rekannya tidak yakin dengan cara bertanam organik. Sebab, pada awal menerapkan pertanian organik, umumnya terjadi penurunan hasil panen.
   "Hal itulah yang membuat banyak petani di sini (Tarakan) ragu-ragu menerapkan pertanian organik. Saya coba meyakinkan mereka, kondisi itu hanya terjadi pada awal kita memulai (pertanian organik). Namun, setelah itu, hasil panen kita akan lebih baik. Istilahnya, kita rugi dulu, untungnya nanti," kata lelaki yang merantau ke Tarakan selepas tamat dari madrasah tsanawiyah di Sulawesi Selatan ini.
   Kini, Saripuddin bisa panen padi tiga kali setahun, padahal sebelumnya hanya satu hingga dua kali. Awalnya per hektar tanah hanya menghasilkan 2 ton padi sekali panen, tetapi lalu meningkat menjadi 4 ton dan kini 8 ton. Tanahnya mulai kembali gembur, cacing-cacing datang, dan hama mulai enggan datang.
   "Dulu, untuk 1 hektar lahan sekali musim tanam, kami mengeluarkan sampai Rp 7 juta. Sekarang biaya itu bisa dipangkas lebih dari 40 persen. Dalam setahun kami panen 2-3 kai, tak lagi hanya sekali. hasil panen kami meningkat 2-3 kali dari sebelumnya," tuturnya.
   Dulu, ia membutuhkan modal Rp 5 juta untuk menanam cabai dan membeli pupuk, dengan hasil panen Rp 12 juta. Kini, ia hanya butuh modal Rp 300.000 dan hasil panennya Rp 17 juta.
   "Cabai dan sayuran yang kami tanam juga lebih sehat dan enak rasanya," kata Saripuddin sambil menunjukkan hamparan sawahnya.
   Apa yang dicapai Saripuddin itu membuat anggota lain Kelompok Tani Mapan Sejahtera penasaran. Mereka mulai tertarik, jadilah Saripuddin dan sejumlah teman mendirikan Pusat Studi Organik Terpadu.
   "Awalnya, kami tak terpikir membuat semacam pusat studi. Namun, ini bisa menjadi tempat bagi mereka yang ingin mempelajari pertanian organik. ada lahan milik kelompok di sini, mari kita sama-sama belajar.
Melihat semakin banyak petani yang mau menerapkan pertanian organik, saya ssenang," ujarnya.
   Di pusat studi itu, sejumlah petani, antara lain, mengolah kotoran dan urine sapi serta kambing dan dedaunan untuk pupuk. Mereka juga membuat pupuk cair dan pestisida cair alami berbahan buah-buahan, dedaunan, dan gula merah.
   Saripuddin mengakui, tak mudah mengajak semua petani mau menerapkan pertanian organik. "Saya dan teman-teman yang sudah mencoba (pertanian organik) tak bisa memaksakannya. Namun, saya yakin, gerakan pertanian organik ini akan menyebar. Satu per satu petani akan beralih pada pertanian organik jika mereka tahu keuntungannya," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 28 FEBRUARI 2013

Senin, 08 April 2013

Cak Fu Menerjang Keterbatasan

BAHRUL FUAD 
Lahir: Kediri, 17 Agustus 1975
Pendidikan:
- S-1 Psikologi dari Universitas Darul Ulum, Jombang
- Master of Humanitarian Assistance, universitas Groningen, Belanda
Kegiatan, antara lain: Riset terkait disabilitas, menulis di media massa, merawat blog www.cakfu.info, fasilitator berbagai pelatihan komunitas inklusif, dan membangun koperasi kaum difabel, Paguyuban Daya Mandiri, Surabaya.

Siang itu, seorang jemaah shalat Jumat di Masjid Raya Al-Mashun, Medan, Sumatera Utara, menyodorkan selembar uang Rp 20.000 kepada Bahrul Fuad, MA (37). Bahrul menerima dengan senyum. Setelah si pemberi berlalu, uang itu dia berikan kepada yang dikatakannya lebih berhak.

OLEH MARIA HARTININGSIH

"Saya berikan kepada teman difabel tunanetra di halaman masjid," kata Cak Fu, sapaan Bahrul, di depan teman-temannya, anggota The Indonesian Social Justice Network (ISJN). Sebanyak 25 alumnus-dari 361 alumus dari fellows asal Indonesia-penerima beasiswa International Fellowship Programme (IFP) The Ford Foundation berkumpul di Medan untuk merumuskan langkah ISJN ke depan.
   Sebagai difabel dan pemakai alat penopang untuk berjalan, Cak Fu terbiasa menerima perlakuan seperti itu.
   Pernah, suatu hari saat menunggui istri belanja, oleh pemilik toko ia diberi uang Rp 2.000. Pernah pula teman-temannya anggota Koperasi Paguyuban Daya Mandiri di Surabaya dipaksa menerima Rp 200.000 dari seorang pengendara motor. Untuk sedekah, katanya. Mereka menolak, tetapi si pengendara motor terus memaksa.
   "Saya melarang teman-teman menengadahkan tangan agar stigma ketidakberdayaan bisa ditipiskan," ujar Cak Fu. "Namun, dalam kasus itu, saya bilang terima saja untuk koperasi," ungkapnya.

Stigma itu....

   "Tak mudah menjadi difabel di negeri ini," kata Cak Fu. Kekurangan atau perbedaan yang dimiliki difabel sering diartikan sebagai ketidaksempurnaan oleh mayoritas manusia yang merasa dirinya sempurna. "Akibatnya, perlakuan mereka terhadap kami di bawah standar."
   Ia melanjutkan, "Hampir seluruh sistem tak ramah terhadap difabel. Infrastruktur dan bangunan, termasuk rumah ibadah, tidak akomodatif dan terasa diskriminatif pada kaum difabel. Di sini, orang seperti kami menjadi tontonan, dianggap tak berdaya."
   Persoalan itu menjadi salah satu bahasan dalam Asian People Forum on Defending Rights of Development, di Bangkok, 10-12 Maret 2013. Pertemuan yang diselenggarakan Bank Information Center (BIC) Amerika Serikat itu mengkritisi Safeguard Policies Bank Dunia.
   "Bank Dunia lebih banyak membantu proyek   pembangunan yang justru menutup akses kaum marjinal, melanggar hak-hak mereka, dan semakin memarjinalkannya," ujar Cak Fu yang berangkat sebagai wakil kaum difabel Indonesia.
   Penghargaan kkepada kaum difabel justru ia dapatkan saat menempuh pendidikan lanjutan di Universitas Groningen, Belanda. "Pembimbing saya, Prof Joost Herman, selalu mengantar saya sampai keluar lift untuk memastikan semua baik-baik saja."
   Banyak pengalaman berkesan selama 20 bulan ia belajar di Belanda. "Kalau saya mau keluar kota, telepon stasiun kereta api, kasih tahu jam keberangkatan. Tepat jam itu, gerbong dengan fasilitas khusus tiba. Semua akses mudah dan nyaman," kenangnya.
   Padahal, orangtuanya sempat khawatir ketika dia hendak berangkat ke Belanda. "Ibu takut saya diapa-apain orang. Ibu bilang, itu kan negara bekas penjajah, he-he-he..."

"Nrima ing pandum"

   Cak Fu dilahirkan di Desa Klenderan, Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari keluarga guru madrasah. Ia adalah bayi yang sehat, sebelum terserang demam tinggi pada usia setahun. Panasnya turun setelah disuntik, tetapi lalu tak bisa jalan. Sampai usia delapan tahun, ia hanya merangkak.
   Orangtuanya melakukan berbagai upaya, medis dan nonmedis, agar Cak Fu sembuh. "Pernah ada 'orang pintar' nyuruh orangtua kasih saya minum gotri sepeda setiap hari. Dukun lain menyuruh saya minum   pala sampai saya lemas. Ada pula dukun yang mengikat kaki saya dengan kayu dan bambu, digantung di tempat tidur, katanya supaya lurus."
   Cak Fu bisa berjalan ketika main hujan-hujanan dengan sang adik. Tanpa disadari, gandengan adiknya terlepas dan ia tertatih-tatih melangkah. Sang ayah terus menyemangatinya.
   Meski sempat berontak, Cak Fu tak mau meratapi nasib. Perjalanan memaknai konsep Jawa, nrima ing pandum, dalam hidupnya, dimulai. Masa belajar di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, dikenang sebagai periode paling kritis dalam pergulatan spiritualnya.
   "Itulah masa transisi dari penolakan kondisi difabel ke penerimaan," tuturnya.
   Inspirasi sang kiai tentang konsep syukur yang bersifat dinamis dan progresif mengantar dia memahami konsep nrima ing pandum sebagai penerimaan tulus atas semua anugerah dan karunia-Nya, selalu bergerak maju untuk mencapai keadaan lebih baik dengan keterbatasan.
   "Tubuh yang difabel ini adalah pandum yang diberikan Tuhan kepada sya," tuturnya. "dengan kondisi fisik seperti ini, saya berusaha semaksimal mungkin menjalani hidup, berbagi dengan sesama, bekerja menafkahi keluarga, berkarya untuk membantu mewujudkan kebahagiaan orang lain, dan beribadah untuk memelihara rasa syukur atas karunia-Nya."

Penuh berkah

   Dari pesantren, Cak Fu memutuskan kuliah. "Banyak suara yang bilang, orang normal lulus sarjana belum tentu bisa kerja, apalagi cacat. Ayah saya bergeming."
   Saat kuliah, Cak Fu aktif dalam organisasi kaum difabel, banyak ikut pertemuan dan pelatihan yang kaadang diadakan di hotel mewah. "Namun, naik pesawat pertama kali, ya, waktu ke Belanda," ungkapnya.
   Kesempatan mendapat beasiswa yang memberi akses studi lanjutan ke luar negeri-setelah melamar berbagai program beasiswa tetapi ditolak karena cacat-dia dapat dari pengumuman di televisi.
   "Ibu Irid Agoes dari The Indonesian International Education Foundation, IIEF, menjelaskan tentang program beasiswa IFP,"kenang Cak Fu.
   "Beasiswa itu berbeda," ujarnya. "Prinsipnya, memperluas akses ke perguruan tinggi, khususnya bagi kelompok yang aksesnya ke pendidikan lanjutan sangat kecil, menjunjung nilai keberagaman dan mengembangkan pengetahuan yang menuju pada keadilan sosial."
   Cak Fu lalu menulis surat ke IIEF,menceritakan tentang keluarganya, kondisinya, aktivitasnya, dan cita-citanya. "IIEF merespons dengan mengirim formulir pendaftaran. Setelah melalui beberapa tes, saya lolos."
   Beasiswa itu membuka banyak akses untuk menerjang keterbatasan. "Tuhan Mahaadil. Justru karena cacat, saya sampai pada kondisi sekarang."
   Cak Fu yang hobi membaca, berkebun, traveling, dan tekun mendalami teologi kecacatan itu terus aktif dalam upaya pemberdayaan dan perjuangan hak-hak kaum difabel. Ia juga menjadi konsultan pada program disabilitas dan rehabilitas Netherlands Leprosy Relief.
   Didampingi istrinya, Ulfa Azimatul Khoitiyah, dan putri mereka, Ameera Ayesa (2,5), Cak Fu merasakan hidup yang penuh. "I'm so blessed," gumamnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 22 MARET 2013.