Kamis, 18 Juli 2013

Mulyo Rahardjo: Tukang Jamu di Tengah Perubahan Zaman

MULYO RAHARDJO 
Lahir: Palembang, 10 januari 1967
Istri: Jeny Rahardjo
Anak:
- Jesslyn Angela Rahardjo
- Matthew JA Rahardjo
Pendidikan:
Radford University Business School, Virginia, AS, lulus 1991
Pengalaman kerja:
- Marketing Manager Distributor PT Deltomed Laboratories Wilayah Jabotabek, 
  1992-1997
- CEO PT Deltomed  Laboratories, 1997-kini
- Komisaris Extract Center Javaplant, 2001-kini
- Direktur Distribusi PT Mulia Putra Mandiri, 2010-kini

Mulyo Rahardjo (46) "jualan" jamu di tengah masyarakat modern yang ingin serba praktis dan sadar higienitas. Bekerja sama dengan petani empon-empon, ia "menjamu" konsumen dengan kekayaan herbal negeri ini.

OLEH MAWAR KUSUMA

Mulyo Rahardjo bergerak dari desa ke desa. Dari Nambangan, Wonogiri, ke Gedangan Salam, Karangpandan, di kaki Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. Di Wonogiri, ia mengurus perusahaan farmasi nasional berbasis herbal PT Deltomed Laboratories.
   Di Karanganyar, ia mengelola Javaplant, perusahaan ekstraksi botanikal. Dua tempat itu saling mendukung. Dari sinilah produknya bablas ke berbagai pelosok Tanah Air.
   "Orientasi kami sejak awal lebih pada jamu modern karena ada tolok ukur dan standarnya. Jika ingin berkembang, kita harus sadar higienitas," kata Mulyo.
   Higienitas produk itu dimulai dari bahan baku semisal jahe dan temulawak, bahkan jauh sebelum jahe dipanen. Untuk menjaga higienitas itu, Mulyo rajin mengunjungi petani jamu yang umumnya tinggal di pedesaan, seperti Wonogiri, Karanganyar, Ponorogo, Trenggalek, dan Madura.
   Paidi (60), petani dari Desa Pucung, Kecamatan Kismantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, adalah salah satu seorang pemasok  bahan baku jahe emprit dan temulawak. Semua petani binaan mendapat pendampingan cara penanaman bahan baku jamu, pemupukan, sampai pemberantasan hama penyakit dengan standar khusus parameter Eropa.
   Empon-empon atau tanaman herbal itu, antara lain, tidak boleh mengandung pestisida atau logam berat dan harus mengandung bahan aktif yang berkhasiat sebagai obat.
   Untuk mengoptimalkan penggunaan bahan aktif itulah, Mulyo mendirikan perusahaan ekstraksi Javaplant. Mulai dari pencucian bahan baku herbal hingga menjadi ekstrak, seluruhnya menggunakan teknologi modern dari Jerman bernama Quadra Extraction System.
   Apalagi, Indonesia memiliki kekayaan bahan baku terbanyak di dunia setelah Brasil. Sadar akan kekayaan herbal dan besarnya potensi jamu Indonesia, Mulyo berinvestasi membangun Javaplant dengan nilai investasi Rp 100 miliar untuk pembelian mesin pada 1998. Padahal ketika itu negeri ini sedang dilanda krisis moneter.
   Sebanyak 20 item bahan herbal mulai dari kayu manis, pegagan, pasak bumi, sampai sambiloto, diekstrak secara rutin untuk memenuhi standar Good Manufacturing Product yang berlaku di Eropa dan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
   Sebanyak 70 persen pelanggan Javaplant berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Amerika Serikat menjadi pelanggan sejak tahun 2006. Konsumen dari Jepang bahkan mengecek pembuatan jamu dari penanaman hingga menjadi ekstrak.
   Seiring dengan makin tingginya kesadaran pelaku industri lokal tentang pentingnya kualitas ekstrak demi kandungan bahan aktif yang terukur, semakin banyak pengusaha lokal yang kemudian menjadi konsumen Javaplant.

Khasiat ampuh

   Krisis moneter rupanya membawa khasiat ampuh untuk usaha perjamuan Mulyo. Alkisah, ia telah menyiapkan iklan televisi untuk produk obat herbal pencegah masuk angin. Dipilihlah model iklan pelawak Basuki yang tahun 1997 terkenal lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Perhitungan memilih Basuki sederhana, tetapi cerdas.
   Iklan yang diluncurkan pada 18 September 1997 dengan "jurus maut" wes-ewes-ewes itu meledak. Namun keburu terjadi kerusuhan Mei 1998. "Itu saat paling sulit. Saya maju mundur antara meneruskan usaha atau tidak," kata Mulyo.
   Ia pun memilih maju terus. Produknya  dikenal luas dan laku keras, sampai membuat bagian produksi kewalahan. Pada saat itulah, ia bertekad memodernkan produknya dengan mesin ekstraksi. Tahun 1998, Mulyo pergi ke Jerman mencari mesin ekstraksi yang kemudian dipasang di Karangpandan.

Keluarga jamu

   Kecintaan Mulyo pada jamu dibangun sejak ia kecil. Ia sering diajak orangtuanya berkeliling daerah, blusukan dari pasar ke pasar untuk melihat rakyat yang membutuhkan jamu untuk kesehatan.
   Mulyo memang anak keturunan "tukang jamu". Ayahnya, Purwanto Rahardjo, adalah pemilik PT Marguna Tarutala. Purwanto pada 1988 membeli perusahaan jamu PT Deltomed Laboratories Jamu Gunung Giri.
   Tahun 1992, Mulyo, lulusan Radford University Business School, Virginia, Amerika Serikat, ditugasi ayahnya untuk mengelola perusahaan yang belakangan disebut PT Deltmed Laboratories.
   Ia ingat, ketika pertama kali bergabung, perusahaan itu masih seperti industri rumahan. "Kami bekerja di satu ruang kecil dan menjadi seperti satu keluarga. Saya belajar dari senior-senior saya, seperti Pak Nyoto," kenang Mulyo menyebut nama Nyoto Wardoyo yang kini Presiden Direktur Deltomed.
   Ada satu nasihat ayahnya yang diingat Mulyo, "Buatlah produk yang dicari orang, jangan produk yang harus mencari pembeli."
   Mulyo dan tim kerjanya kemudian meninjau ulang produk-produk perusahaannya. Mereka memutuskan fokus pada empat produk saja, termasuk obat herbal untuk pencegah masuk angin.
   Dalam bekerja, Mulyo dan kawan-kawan percaya pada proses, kerja keras, dan menjaga hubungan baik antarmanusia. Di atas semua itu adalah niat melayani masyarakat sebaik mungkin.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 18 JULI 2013

Senin, 15 Juli 2013

Faisal Fathani: Penemu Alat Deteksi Dini Longsor

TEUKU FAISAL FATHANI 
Lahir: Banda Aceh, 26 Mei 1975
Pekerjaan:
Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM
Istri: dr Mora Claramita, MPHE, PhD (38)
Anak:
- Cut Karina Fathani (9)
- Cut Farrah Fathani (5)
- Teuku Alamsyah Prawira Fathani (2)
Pendidikan: PhD dari Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang

Hujan lebat berhari-hari mengguyur kawasan rawan longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, sekitar November 2007. Lalu terdengar sirene meraung-raung yang menandakan bahaya segera datang. Dengan komando beberapa warga desa yang terlatih, puluhan orang segera meninggalkan rumah, mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sekitar empat jam kemudian, longsor besar melanda, melumat banyak rumah yang baru ditinggalkan penghuninya. Warga pun bersyukur. Berkat alat pendeteksi dini longsor yang dipasang di kawasan itu, mereka selamat.

OLEH M FAJAR MARTA

Teuku Faisal Fathani (38) tak kalah bersyukur. Alat pemantau dan pendeteksi dini bencana longsor yang ia ciptakan bermanfaat bagi masyarakat. Sejak itu ia makin bersemangat mengembangkan alat pendeteksi longsor dan bencana lainnya.
   Hingga kini, berbagai alat deteksi dini longsor telah ia ciptakan, dari generasi pertama yang sederhana dan dipantau manual, generasi kedua dengan pencatatan data digital, hingga generasi ketiga berupa real-time monitoring berbasis sistem telemetri. Alat-alat itu dia namakan Gadjah Mada-EarlyWarning System (GAMA-EWS).
   "Saya berusaha menumbuhkan kepekaan dan empati, yang memotivasi diri untuk bekerja total guna mengurangi risiko bencana," kata Lektor Kepala Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
   Tak sekadar berfungsi melindungi masyarakat dari bencana longsor, GAMA-EWS juga dirancang untuk memberdayakan warga setempat dalam memitigasi bencana alam. Oleh karena itulah GAMA-EWS bisa digolongkan sebagai sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor berbasis masyarakat. Artinya, pengoperasian dan pemeliharaan alat dilakukan warga setempat.
   Selain itu, dilakukan juga investigasi bersama warga, seperti pembentukan organisasi siaga bencana tingkat desa, pembuatan peta risiko longsor, penyusunan standar operasional evakuasi, dan pelatihan evakuasi.
   "Konsep pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan. Prinsipnya, warga harus menyadari ancaman bencana di lingkungannya. Ini penting agar mereka mampu membangun kesiapsiagaan dan terwujud ketahanan masyarakat," kata ahli geoteknik ini.

Tsunami Aceh

   Pergulatan Faisal dalam mitigasi bencana longsor berawal saat ia melakukan survei bencana longsor yang terjadi di daerah perbukitan Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta, dan Banjarnegara, sekitar tahun 2000. Meski kejadian longsor telah menelan korban jiwa, faktanya banyak warga yang tetap tinggal di daerah rawan logsor tersebut.
   "Ini mengusik hati saya, ternyata belum ada upaya mitigasi bencana longsor yang memadai untuk melindungi warga," kata mahasiswa teladan bidang akademik peringkat I se-UGM tahun 1997 ini.
   Faisal lalu menempuh program S-2 di UGM dan S-3 di Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang. Ia mengambil topik riset tentang tanah longsor, terutama yang berkaitan dengan model matematika prediksi bencana longsor. Tekadnya berkiprah dalam mitigasi bencana semakin besar tatkala gempa dan tsunami dahsyat melanda tanah kelahirannya, Aceh.
   "Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh akhir tahun 2004, saya sedang studi S-3 di Jepang. Ini dilema yang berat bagi saya karena keluarga dan sanak saudara menjadi korban bencana tepat ketika saya sedang belajar tentang bencana. Kejadian ini mengubah pandangan hidup saya, memacu semangat dan motivasi untuk berkarya di bidang mitigasi bencana," kata lulusan angkatan pertama SMA Taruna Nusantara, Magelang, tahun 1993 ini.
   Selain motivasi diri sendiri, Faisal juga mendapat dukungan koleganya untuk mengembangkan mitigasi bencana. Profesor Dwikorita Karnawati dari Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM yang mendorong dia dengan menyampaikan kekhawatiran tentang ketergantungan Indonesia pada alat-alat pemantau longsor dari luar negeri. Harga alatnya pun mahal. Lebih repot lagi jika alat tersebut rusak karena harus dikirim ke pabrik pembuatnya di luar negeri.
   Koleganya di UGM berharap Fasial dapat mengembangkan alat pemantau dan peringatan dini bencana longsor yang inovatif, berbiaya murah, akurat, mudah dioperasikan dan dirawat, memanfaatkan sumber daya lokal, serta memiliki fungsi yang selevel dengan alat produk asing.
   "Sepulang dari Jepang, sekitar tahun 2005 saya mulai merancang alat itu," kata Ketua World Centre of Excellence (WCoE) on Landslide Risk Reduction ini.
   Dari inovasi yang telah dia hasilkan, Faisal (sebagai inventor pertama) dan Dwikorita telah mendaftarkan lima paten alat deteksi dini longsor, yakni alat pemantau gerakan longsor manual dan otomatis, upperground dan underground extensometer, serta tiltmeter.
   Extensometer, misalnya, berfungsi mendeteksi jarak keretakan atau kerenggangan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Jika retakan tanah melebar 2-5 cm, alat akan mengirimkan sinyal sehingga sirene berbunyi hingga radius 500 meter. Ini sebagai peringatan dini agar warga segera melakukan evakuasi.
   Extensometer juga mengukur akselerasi keretakan tanah. Jika akselerasinya mencapai level tertentu, sirene akan berbunyi. Potensi longsor juga dideteksi alat tiltmeter yang berfungsi mengukur kemiringan tanah.
   Data pemantauan dikirimkan secara nirkabel ke server lapangan. Dengan mengaplikasikan sistem telemetri, data dapat dipantau secara online (real time).
   Terbukti andal, sejak tahun 2007 lebih dari 100 unit alat deteksi dini longsor buatan Faisal telah dipasang di berbagai daerah rawan longsor. Pada 2012 sistem ini diaplikasikan di kawasan tambang United Mercury Group (UMG) Myanmar. Tahun ini aat itu juga akan diaplikasikan di delapan lokasi Pertamina Geothermal serta bendungan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
   Atas temuan itu, Faisal mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Karyanya telah ditetapkan sebagai salah satu penelitian strategis oleh International Programme on Landslides (IPL-UNESCO) sehingga dia menerima IPL Award of Success dari lembaga tersebut.
   Dinilai telah banyak berkontribusi dalam kegiatan mitigasi bencana di kawasan Asia, Faisal juga mendapat Excellent Research Award dan Award of Appreciation dari International Symposium on Mitigation of Geo-Disasters di Kyoto-Matsue pada Oktober 2012.
   Pada 8 Juli 2013, atas karya dan dedikasinya tersebut, Faisal juga ditetapkan sebagai Juara I Dosen Berprestasi Tingkat Nasional 2013 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 16 JULI 2013

Minggu, 14 Juli 2013

Bibong Widyarti Djaprie: Hidup Selaras dengan Alam

BIBONG WIDYARTI DJAPRIE 
Lahir: Bandung, 13 Juli 1964
Suami: Prakoso Sudarman (51)
Anak:
- Dipa Raditya (23)
- Diaz Adhikatama (21)
Pendidikan: Jurusan Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor, lulus 1984
Kegiatan: Ketua Yayasan Alifa dan pegiat Aliansi Organis Indonesia

Bibong Widyarti Djaprie menjalani aktivitas sehari-hari hampir tanpa bersentuhan dengan bahan kimia sintetis. Sebagai gantinya, dia mendayagunakan berbagai bahan organik. Rumahnya di Depok, Jawa Barat, pun dia kelola sedemikian rupa supaya selaras dengan alam.

Ketertarikan Bibong pada produk organik bermula ketika dia membaca artikel di sebuah majalah tentang Agatho Elsener, seorang pastor asal Swiss yang mengembangkan pertanian organik di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Jabar, sejak tahun 1984.
   Agatho Elsener dikenal sebagai salah seorang pemula pertanian organik di Indonesia. Selain bercocok tanam, dia juga mengadakan pelatihan pertanian organik secara rutin. Kiprahnya yang panjang dalam budidaya tanaman tanpa bahan kimia membuat dia dihormati kalangan petani organik dan para akademisi pertanian.
   Hal itu pula yang tampaknya memikat Bibong. Kebetulan saat itu dia sedang gelisah karena menemukan residu pestisida dalam sayuran yang sering dibelinya di pasar. "Salah satu anak saya suka sekali makan brokoli, tetapi saya mulai curiga karena brokolinya, kok berbau obat," ungkap Bibong, ibu dua anak itu.
  Merasa ada yang tak beres, Bibong lalu memutuskan beralih ke sayuran organik. Sesudah itu, secara bertahap dia kemudian "berburu" berbagai bahan makanan organik lainnya. Mula-mula dia memilih mengonsumsi beras dan buah-buahan, lalu tempe, telur, dan tepung organik. Belakangan, Bibong juga mengonsumsi teh, kopi, dan gula organik.
   Ketika Kompas mengunjungi rumahnya, Bibong menyuguhkan semangkuk spageti, yang dicampur wortel, jagung, dan keju, serta segelas teh. "Semua bahan makanan ini organik, termasuk garam, cabai, dan spagetinya," kata lulusan Institut Pertanian Bogor itu.
   Sejak tahun 2001, makanan, minuman, dan aneka bumbu di rumah Bibong hampir semuanyaorganik. Dia memang belum mengonsumsi daging sapi dan minyak goreng organik secara rutin karena harganya sangat mahal.
   "Kalau minyak goreng, saya memakai yang bahannya dari kelapa, bukan kelapa sawit, karena lebih ramah lingkungan," kata Bibong memberikan alasan.
   Untuk mendapatkan berbagai jenis bahan makanan organik tersebut, bibong "bergerilya" sampai ke banyak tempat. Ia berkenalan dengan komunitas petani organik di sejumlah wilayah, dari yogyakarta, Bali, Tangerang, sampai Padang, sumatera Barat.
  Dari pengalamannya, Bibong menyimpulkan bahwa harga produk organik tidak selalu mahal seperti yang dipersepsikan masyarakat selama ini. "Kalau kita membeli langsung (produk organik) ke petani, selisih harganya tidak terlalu banyak dengan produk pertanian biasa," ungkapnya.
   Hal yang unik, kadang kala Bibong menjadi "kelinci percobaan" untuk berbagai komunitas petani kenalannya. "Misalnya ada komunitas yang  ngeluarin kecap organik, saya menjadi konsumen yang nyoba, lalu memebri mereka saran, ini kurang manis atau asin," ujarnya sambil tertawa.

Eksperimen

   Sejak tahun 2005, Bibong bergerak lebih jauh dengan memakai bahan organik dalam berbagai aktivitas. Untuk kosmetik, misalnya, dia memilih sejumlah bahan alami seperti minyak kelapa segar (VCO) dan shea butter (sari buah shea), serta produk tabir surya organik.
   Ketika mandi, dia memilih memakai sampo dan sabun organik yang dibeli dari satu komunitas di Bali. Dari komunitas itu pula Bibong membeli detergen khusus yang rendah busa untuk mencuci pakaian berwarna putih.
   Untuk pakaian yang tak berwarna putih, Bibong bereksperimen dengan membuat sabun cuci dari sari buah lerak. Eksperimen juga dilakukannya dengan membuat cairan pembersih lantai dari sari minyak serai, mimba, dan cengkeh.
   Untuk membersihkan kaca, misalnya, Bibong mencampurkan cuka yang sudah dimasak atau sari buah lerak dengan air. "Hasilnya ternyata memuaskan," ucapnya.
   Berbagai eksperimen itu dituturkan Bibong dalam buku Hidup Organik: Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam yang diterbitkan Aliansi Organis Indonesia pada 2010. Melalui buku itu, dia membagi sejumlah tips praktis dalam mengelola rumah agar selaras dengan alam.
   Selain memakai bahan alamiah dalam aktivitas makan, mandi, dan mencuci, kiat lainnya adalah memisahkan sampah organik dan non organik serta menggunakan peralatan listrik yang hemat energi.
   Bibong juga memelihara berbagai jenis tanaman di rumahnya, antara lain tomat, seledri, dan cabai. Untuk pupuk, dia memakai sampah organik di rumahnya, semisal ampas sisa jus buah. Sebagian dari hasil panen dari kebun kecilnya itu dia konsumsi bersama keluarganya.
   Bagi Bibong, pemakaian bahan organik dalam berbagai aktivitas keluarga sehari-hari bukan hanya demi kesehatan pribadi, melainkan juga untuk pelestarian alam.
   "Kalau kita memakai bahan organik saat mandi dan mencuci, tentu limbah rumah tangga yang dihasilkan juga lebih ramah pada lingkungan," ungkap Bibong.

Nilai-nilai

   Sejak mengonsumsi produk organik beberapa tahun lalu, Bibong juga rajin menularkan gaya hidup organik kepada orang-orang di sekitarnya. Suami dan kedua anaknya jelas tidak luput dari pengaruh itu, demikian pula tetangga dan para kenalannya.
   "Saya dan teman-teman sering membeli produk organik secara berkelompok supaya lebih murah," tutur Bibong.
   Sekarang Bibong bukan sekadar konsumen produk organik. selain aktif dalam Aliansi Organis Indonesia, dia juga sering menjadi narasumber untuk berbagai diskusi berkaitan dengan produk organik, menulis di sejumlah media massa, serta tampil di beberapa acara televisi.
   Pada berbagai kesempatan itu, Bibong selalu menegaskan bahwa mengonsumsi produk organik merupakan laku dalam menghayati nilai-nilai tertentu.
   "Menjadi konsumen organik bukan sebatas gaya hidup yang temporer, tetapi mencakup nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, kesederhanaan, dan saling menghargai," ujarnya.
   Bibong mengaku belajar dari banyak pihak tentang nilai-nilai yang terkandung dalam produk organik. Dari Pastor Agatho Elsener, misalnya, dia belajar bahwa pertanian organik menampik sikap egois dan menganjurkan penyesuaian diri seseorang dengan alam.
   Hal itu, misalnya, tercermin dalam siklus alami tumbuhan yang diikuti petani organik. Petani organik tidak membudidayakan tanaman pada musim yang tak sesuai dengan kondisi alami tanaman itu.
   "Sebagai konsumen, kalau pada satu musim kita enggak bisa makan tomat karena memang lagi enggak bisa tumbuh, ya kita harus terima kondisi itu," kata Bibong. (K02)

Dikutip dari KOMPAS, SELASA 9 JULI 2013

Kamis, 11 Juli 2013

Guntur Kadarusman: Memandirikan Anak-anak Luar Biasa

GUNTUR KADARUSMAN
Lahir: Pamekasan, Jawa Timur, 27 Juni 1968
Istri: Idawati
Pendidikan:
- SDN 1 Bagandan, Pamekasan 
- SMPN 1 Gorang Gareng, Magetan
- SMAN 1 Gorang Gareng, Magetan
- SGPLB Surabaya
Penghargaan:
- Juara I Guru Berdedikasi Kabupaten Madiun, Jawa Timur, 2013
- Juara I Guru Berdedikasi Provinsi Jawa timur, 2013

Dunia kerja di sektor formal yang tak memberikan banyak peluang bagi anak berkebutuhan khusus membuat Guntur Kadarusman prihatin. Ia bertekad menularkan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan kepada anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka mampu mengukir masa depannya sendiri.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Hari menjelang siang ketika kami bertemu guntur (45) di tempatnya mengajar, Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Wanita di Desa Jiwan, Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Dengan santun dan ramah, dia menyapa tamu.
   Di ruang kelas yang kosong, kami mengobrol. Perbincangan mengalir meski ditingkahi suara keras murid-murid yang tengah belajar menyanyi dan bermain musik di kelas sebelah.
   "Mengajar anak-anak berkebutuhan khusus tak pernah membosankan. Sebaliknya, setiap hari penuh kejutan karena ada saja tingkah mereka yang membuat kita tersenyum," ujarnya.
   Guntur seperti umumnya guru yang bekerja dan mengharap gaji untuk bekal menapaki kehidupan. Bahkan, motivasinya memilih belajar di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa di Surabaya pun dilandasi keinginan mendapatkan lapangan pekerjaan.
   Dasar pemikirannya sederhana. Guru sekolah umum pasti banyak peminat sehingga persaingannya ketat.Menjadi guru SLB relatif kurang peminat sehingga kesempatan berkarier lebih terbuka.
   Namun, seiring dengan berjalannya waktu, makin sering berinteraksi dengan anak-anak luar biasa, ia makin jatuh hati. Tak sekadar menularkan ilmu akademik, guntur pun tergerak memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi penyandang tunarungu, autis, dan tunagrahita.
   Keinginan itu memuncak saat dia memperhatikan murid-murid yang lulus sekolah. Dari tahun ke tahun tak banyak lulusan SLB yang bisa bekerja di sektor formal. Ini sekalipun para guru telah berupaya keras mencarikan mereka pekerjaan, bahkan mendampingi saat seleksi.
   "Padahal, pihak sekolah sudah kerja sama dengan sejumlah perusahaan. Tetapi, yang diterima itu 1:100, artinya dari 100 anak yang lulus, hanya satu yang bekerja di perusahaan," katanya.
   Hati guru mana yang tidak pilu melihat murid-muridnya menganggur. Kalaupun bekerja, mereka menjadi buruh tani dan kuli bangunan. Pekerjaan itu tak setara dengan pendidikan yang telah mereka jalani.
   Apalagi mengingat perjuangan anak-anak untuk bersekolah menengah atas. Hampir semuanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Orangtua mereka membantung tulang demi memenuhi biaya mereka.

Semakin gelisah

   Guntur kerap bertanya sendiri mengapa pemerintah tak menyediakan sekolah kejuruan untuk anak-anak luar biasa? Mereka juga membutuhkan pendidikan keterampilan seperti anak-anak biasa.
   Ia tak jua menemukan jawaban walaupun telah bertahun-tahun menjadi pengajar di SLB. Sebaliknya, Guntur semakin gelisah melihat  masa depan murid yang makin suram. Mereka  tak mampu melanjutkan pendidikan tinggi karena ekonomi orangtuanya terbatas.
   Dari kegelisahan itu, Guntur lalu mengjari para murid berwirausaha, mulai dari beternak ayam kampung, beternak lele, hingga budidaya hortikultura. Ternyata usaha itu terlalu rumit bagi anak berkebutuhan khusus.
   Suatu ketika, Guntur bertemu dengan petani jamur tiram di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Setelah melihat proses budidayanya, dia merasa usaha ini cocok untuk mereka. Selain perawatannya mudah, nilai ekonomisnya tinggi.
   Petani itu kemudian datang ke sekolah agar siswa dapat menyerap ilmunya secara langsung. Apalagi anak berkebutuhan khusus lebih suka ilmu terapan dibandingkan teori. Guntur lalu membangun laboratorium jamur tiram mini di sekolah sebagai tempat praktik. Sekitar 300 baglog sebagai media tumbuh bibit jamur tiram ditata di rak.
   Baglog siap tumbuh banyak dipasarkan. Ini memudahkan anak berkebutuhan khusus membudidayakan jamur tiram. Baglog berisi campuran serbuk kayu, bekatul halus, kalsium, dan glukosa. Pemeliharaannya sederhana. Mereka tinggal menyiram bagian bawahnya agar pertumbuhan jamur lebih maksimal.
   Selain perawatan yang mudah, pemasaran jamur tiram pun relatif tak terkendala. Banyak pedagang yang membeli jamur tiram dari rumah-rumah pembudidaya. Industri rumah tangga di Madiun juga mau menyerap jamur tiram. Mereka mengolahnya menjadi aneka makanan, seperti keripik jamur, pepes jamur, botok jamur, sop jamur, dan oseng jamur.
   Harga di tingkat petani cukup kompetitif, sekitar Rp 10.000 per kilogram. Jamur ini bisa dipanen setiap hari selama 3-4 bulan. Sebagai gambaran, setiap 2.000 baglog bisa menghasilkan 10-15 kilogram jamur.'

Kendala

   "Kalaupun harga turun, biasanya masih sekitar Rp 9.000per kilogram. Harga itu tergolong ekonomis karena memberi margin yang cukup untuk petani. Mereka tidak sampai merugi," kata Guntur.
   Sebagai gambaran, petani harus membudidayakan minimal 2.000 baglog. Jika membeli jadi, harganya Rp 2.500 per baglog atau butuh modal Rp 5 juta. dengan asumsi per hari menghasilkan 8-10 kilogram dan harga jual Rp 10.000, pendapatan kotor petani selama empat bulan Rp 12 juta-Rp 15 juta.
   Singkat cerita, pendapatan bersih petani per bulan Rp 1 juta-Rp 2juta. Angka penghasilan tersebut melebihi upah buruh tani yang besarnya sekitar Rp 600.000 per bulan. Apalagi kalau mereka hanya mengandalkan diri dari bantuan langsung tunai masyarakat yang disalurkan pemerintah sebesar Rp 150.000 per bulan.
   Mudahnya pemeliharaan jamur tiram membuat petani bisa bekerja sambilan, seperti menjadi buruh tani di sawah atau kuli bangunan. Petani jamur juga berpeluang menciptakan industri makanan olahan berbahan baku jamur.
   Namun, di balik keberhasilannya menciptakan lapangan kerja bagi anak berkebutuhan khusus, ada kegelisahan yang menyelimuti Guntur. ganjalan itu adalah permodalan. "Sebab, modal jadi syarat wajib untuk memulai usaha bagi siswa kelak."
   Namun, mengingat kemampuan mereka terbatas, akan sulit untuk mengakses pinjaman keuangan di bank. Dengan mudah pihak bank akan menyatakan mereka sebagai pihak yang tak memenuhi kriteria sebagai kreditor perbankan.
   "Kami berharap ada pihak, baik pemerintah maupun perusahaan swasta, yang bersedia membantu permodalan anak-anak berkebutuhan  khusus. Tentunya bantuan itu disertai dengan beragam kemudahan," ucapnya.
   Atas perhatiannya terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, Guntur mendapat penghargaan sebagai guru berdedikasi. Tak hanya di tingkat Kabupaten Madiun, dia juga menjadi juara pertama untuk tingkat Provinsi Jawa Timur tahun 2013.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 12 JULI 2013

Jumat, 05 Juli 2013

Suno: Dari Tukang Sol Sepatu Menjadi Produsen

SUNO
Lahir: Mojokerto, Jawa Timur, 8 Februari 1955
Istri: Lilik (48)
Anak:
- Rudiyanto (33)
- Irawati (29)
- Ahmad Yusuf (27)
- Sugianto (23)
Pendidikan: Tidak tamat SD
Pencapaian: Pemilik usaha sandal Expo di Desa Karang Kedawang, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto

Sejak masih jejaka, Suno (58), warga Desa Krang Kedawang, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sudah akrab dengan usaha persepatuan walau kala itu "sekadar" sebagai tukang sol sepatu. Kini, ia menjadi salah satu pelaku usaha kecil dan menengah dengan produksi sampai 70 kodi sandal per hari.

OLEH ABDUL LATHIF

Sebagai tukang sol sepatu, Suno yang memulaimembuka usaha sendiri pembuatan sandal dengan merek Expo, enam tahun silam, telah malang melintang dari satu tempat kerja pembuatan sepatu ke tempat pembuatan sepatu lain.
   "Awalnya saya bekerja menjadi tukang sol sepatu di Surabaya, tepatnya di Petemon, lalu pindah ke Rangkah, dan terakhir kerja di pabrik sepatu di Sukomanunggal," katanya.
   Suno adalah salah satu dari sekitar 1.300 pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di wilayah krja Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Cabang Mojokerto yang menjadi nasabah sekaligus binaan bank ini.
   Sejak tahun 2010 Suno mendapat kucuran kredit Rp 30 juta untuk tambahan modal sekaligus pengembangan usahanya. Setahun berikutnya, Suno kembali mendapat kucuran kredit Rp 60 juta. Pada 2012, dia mendapat kredit lagi sebesar Rp 98 juta.
   "Sebelum kucuran kredit dari BTPN sampai tiga kali, modal awal untuk membuka usaha sandal ini saya pinjam dari koperasi sebesar Rp 10 juta," kata Suno.
   Setelah menjadi binaan BTPN dan mendapat pelatihan, khususnya menyangkut manajemen keuangan dalam pengelolaan usaha kecil, usaha sandal Suno berkembang cepat.

Rugi

   Suno bercerita, awal memulai usaha, dia sering menyerahkan pengerjaan pembuatan sandal kepada orang lain. "Istilahnya, saya men-sub-kan pesanan ini kepada perajin sandal lain," ujarnya.
   Namun, hasilnya justru tak menguntungkan, bahkan Suno menelan kerugian. "Saya sempat tak mengerjakan sendiri pesanan sandal itu. Hasilnya dalam dua bulan saya rugi sekitar Rp 3,5 juta."
   Pengalaman pahit itulah yang memaksa Suno mengerjakan sendiri produk sandal Expo miliknya. Seiring berjalannya waktu, usahanya tumbuhdan berkembang. Pesanan dari pedagang grosir di Pasar Turi, Surabaya, misalnya, terus meningkat.
   "Sekarang saya sudah bisa membayar orang. Di sini ada tujuh karyawan dari tukang sol, tukang kap, dan seorang sekretaris," kata Suno.
   Dibantu anaknya yang masih lajang, Sugianto, untuk memasarkan produknya, Suno bangga bisa memberikan lapangan pekerjaan kepada orang lain.
   "Rata-rata setiap hari usaha saya ini bisa memproduksi 30 sampai 50 kodi sandal. Kalau pesanan sedang ramai, dalam sehari bisa mencapai 70 kodi. Kalau sudah begini, saya juga menyerahkan pengerjaan pembuatan sandal kepada enam tukang sol, tukang kap, dan tukang katokan di rumah. Mereka mengerjakan pesanan itu di rumah masing-masing, saya mengontrol hasilnya," kata Suno.

Pedagang grosir

  Sekarang, usaha skala kecil yang digeluti Suno dengan produk sandal untuk dewasa dan anak-anak serta sandal perempuan ini tak hanya dipasarkan di Surabaya dan sekitarnya, tetapi juga sudha sampai ke Tulungagung, Jawa Timur, hingga Solo, Jawa Tengah.
   "Selain melayani pedagang bedak (eceran di pasar atau kaki lima), saya juga mendapat pesanan dari para pedagang grosir," kata Suno.
   Seminggu sekali ditemani Sugianto, salah satu anaknya, dengan mobil boks, Suno membawa ribuan pasang sandal menyusuri jalur tengah antara Jawa Timur dan Jawa Tengah.
   Sebagai mitra usaha kecil dan menengah, BTPN Mojokerto telah menyalurkan kredit usaha kecil dan menengah sejak tahun 2009 hingga 2012. Kredit yang disalurkan itu mencapai lebih dari Rp 110 miliar.
   "Ada 30 sampai 40 debitor UKM sepatu dan sandal yang menerima kucuran kredit kami, salah satunya yang berhasil, ya, usaha sandal milik Suno," kata Mashudi, Area Daya Spesialis BTPN Cabang Mojokerto.
   Suno mengakui, sebelum mendapat pelatihan manajemen keuangan dari BTPN, usahanya sekadar berjalan saja. Suno yang tak sempat menamatkan sekolah dasar (SD) itu sama sekali tak mempunyai pengetahuan soal pengelolaan keuangan usaha.
   "Dulu, manajemennya campur aduk tidak karuan, tetapi sekarang pembukuan usaha ini sudah mulai rapi," kata Suno.

Ketangguhan

   Usaha sandal yang digeluti Suno adalah potret ketangguhan lapisan wong cilik yang berhasil dalam mengembangkan usaha. Walau dalam skala kecil, dia bisa memberikan sumber penghasilan dan penghidupan bagi orang lain.
   "Saya masih punya impian untuk memiliki atau setidaknya membuka toko sandal dan sepatu di Pasar Klewer, Solo. Di toko itu tidak hanya menjual hasil produksi saya, tetapi juga hasil produksi perajin lain," tutur Suno tentang harapannya.
   "Keinginan saya ke depan menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja untuk orang-orang kecil dan susah," katanya.
   Soal keuntungan dari hasil usahanya itu, Suno mengaku masih sangat bergantung pada permintaan pasar, selain kelancaran pembayaran dari grosir ataupun pedagang bedak. "Setidaknya dalam setahun saya masih bisa menikmati keuntungan bersih sekitar Rp 20 juta untuk ditabung. Itu kalau semuanya berjalan lancar. Namun, sering pembayarannya molor, bahkan ada yang bayar 50 persen di muka, sisanya baru dibayar satu-dua bulan," tuturnya.
   Suno, sang juragan sandal yang lahir di tanah Majapahit itu, kini bisa bernapas lega walau setiap hari harus berpikir keras untuk menjaga agar usahanya tetap berdenyut dalam situasi politik dan ekonomi yang kurang memihak kepada wong cilik ini.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 5 JUNI 2013

Mesak Keluanan : Pupuk Organik untuk Petani NTT

MESAK KELUANAN
Lahir: Rote, Nusa Tenggara Timur, 19 Februari 1957
Istri: Mety Mesak Keluanan
Anak:
- Heny (34)
- Delfi (32)
- Lidya (30)
- Amran (23)
- Novi (20)
- Asty (15)
Pendidikan: Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Surabaya
Pencapaian: Pemilik dan Pemimpin Lembaga Pertanian Sehat Agrolestari Kupang, Nusa Tenggara Timur

Sekitar dua juta hektar lahan yang kekeringan di Nusa Tenggara Timur antara lain berdampak pada gagal panen. Upaya petani dengan membeli pupuk kimia dan memperluas lahan pun sulit mendapatkan hasil maksimal. Tantangan alam itu mendorong Mesak Keluanan berusaha menemukan jalan keluar dengan pupuk organik.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Pupuk organik yang dia beri nama Bio-Pem itu sudah digunakan ribuan petani di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pupuk tersebut telah beredar di 21 kabupaten atau kota di wilayah NTT. Sekitar 2.750 dari total 8.700 kelompok tani yang ada di NTT telah memanfaatkan pupuk itu.
   Petani begitu antusias karena berbagai jenis pupuk kimia dan obat kimia pembasmi hama yang mereka gunakan selama ini justru tak memberikan hasil optimal.
   Ditemui di Kupang, Mesak Keluanan bercerita, pada tahun 2007, dia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan pembuatan pupukorganik di Yogyakarta sesuai dengan karakter tanah dan iklim daerah tersebut. Dia kemudian memperdalam pengetahuan yang diperolehnya itu melalui internet.
   Setelah melalui berbagai percobaan, dia menemukan pupuk yang bersumber dari berbagai tumbuh-tumbuhan. Pupuk tersebut ternyata sangat efektif untuk membasmi hama dan menyuburkan tanaman.Pupuk itu dia beri nama Bio-Pem, yang berasal dari kata "bio" (artinya tumbuhan) dan "pem" yang merupakan kepanjangan dari pupuk efektif mikroorganisme.
   Bio-Pem berguna sebagai pupuk hayati untuk memperbaiki kondisi tanah, penyubur tanah ddan tanaman. Pupuk tersebut mampu mempercepat proses fermentasi pupuk kompos dan penyerapan unsur hara dalam tanah.
   Pupuk ini dibuat Mesak dengan teknologi agriculture growth promoting inoculants, yakni suatu inokulum campuran berbentuk cair, mengandung hormon tumbuhan organik serta mikroba indigenos (mikroba tanah asli NTT) yang sangat dibutuhkan dalam penyuburan tanah secara  biologis. Fungsinya untuk meningkatkan produktivitas tanaman, memberikan nutrisi bagi tanaman, dan menekan serangan hama. Konsep yang dikembangkan adalah memberi makan tanah sekaligus tanaman.
   Sebagai bioaktivator, pupuk itu meningkatkan ketersediaan unsur hara dan kelarutan deposit dalam tanah sehingga mengurangi penggunaan pupuk NPK dan berguna untuk rekondisi fungsi ekosistem tanah. Pupuk juga menjadi agen pengendali hayati, zat perangsang tumbuh, juga sebagai bakteri pengurai dalam septic tank.

Uji coba

   Hampir 50 persen lahan di NTT berbahan organik di bawah 5 persen, padahal kandungan bahan organik yang baik harus di atas 10 persen.
   Kondisi itu membuat tanah tak subur, meski sudah puluhan tahun diolah, tetapi tanpa pemberian mikroba di dalam tanah.
   "Saya melakukan uji coba bersama staf dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTT di laboratorium milik mereka. Pupuk ini meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan organisme tanah yang menguntungkan tanaman, yakni bakteri pengurai, penambat N, pupuk fosfat, dan penghasil hormon," kata Mesak.
   Bahan dasar pupuk tersebut, antara lain, berupa bakteri asam laktat, bakteri fotosintesis, dan bakteri acetobacter. Pupuk ini pun telah disahkan Kementerian Pertanian pada 31 Januari 2011.
   Menurut Mesak, pupuk tersebut cocok untuk pertanian lahan kering seperti pada kondisi tanah di NTT.
   Sifat pupuk itu mampu menembus kedalaman tanah mengikuti alur akar tanaman sambil memberikan kemampuan akar untuk menyerap lebih banyak unsur hara di dalam tanah.
   Pupuk ini mulai diperkenalkan kepada petani tahun 2009. Kini, 50.000-100.000 hektar lahan kering telah dikelola dengan menggunakan pupuk tersebut, baik untuk penyubur tanaman maupun pembasmi hama. Total lahan kering di NTT mencapai 2 juta hektar, sedangkan lahan basah sekitar 800.000 hektar.
   "Saya masih kesulitan mendapatkan wadah untuk pupuk 1-4 liter. Untuk pupuk 5 liter ada jeriken sebagai tempatnya, ini pun tak mudah mendapatkannya," ucapnya.
   Mesak mencoba memesan kemasan dari Surabaya, tetapi harga wadah itu relatif mahal. Untuk ukuran 1 liter, misalnya, harganya Rp 8.000, belum termasuk biaya pengiriman. Jika harga jeriken dibebankan kepada petani, harga jual pupuk menjadi Rp 40.000 per kemasan. "Terlalu mahal untuk petani, saya batal memesan kemasan itu,"ujarnya.
   Ia lalu memakai jeriken atau kaleng bekas untuk pupuk setelah disterilkan terlebih dahulu. Akan tetapi, wadah ini pun jumlahnya terbatas. Selain itu, ia juga harus membayar tenaga khusus sebagai pengumpul kemasan bekas tersebut.

Mengusir hama

   Permintaan pupuk itu 40.000-45.000 liter per tahun. Sebagian besar pesanan dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTT untuk kelompok tani dan binaan unit pengelolaan tenis Dinas Pertanian dan Perkebunan. Setiap kelompok memerlukan 100-1.000 liter pupuk per musim tanam.
   Untuk 1 hektar lahan diperlukan 10-15 liter pupuk. Untuk memenuhinya, pupuk sebanyak satu gelas kemasan air mineral (200 mililiter) dicampur dengan 10 liter air, lalu disemprotkan pada tanaman guna mengusir hama. Untuk menyuburkan tanaman, pupuk yang sudah dicampur dengan air disiramkan ke lubang dengan kedalaman 4 sentimeter mengelilingi batang pohon.
   Pencegahan hama dilakukan dengan menyemprotkan pupuk ke daun saat tanaman berusia sekitar dua pekan atau menjelang berbuah. Jika hama penggerek sudah merusak daun, untuk mengendalikannya dilakukan dengan penyemprotan setiap pekan pada hari yang sama.
   Sebelum menggunakan pupuk, produksi jagung petani hanya sekitar 500 kilogram per hektar. Dengan pupuk tersebut, petani bisa menghasilkan 1,2 ton jagung pipilan.
   Untuk memperlancar produksi, Mesak dibantu 10 karyawan. Mereka sekaligus membantu mengirimkan pupuk tersebut ke Flores, Sumba, Timor Barat, Rote, dan Alor.
   "Kami ingin semakin banyak pupuk organik yang bisa digunakan petani agar mereka tidak lagi menggunakan pupuk kimia. Pupuk kimia harganya mahal, juga bisa membahayakan kesehatan konsumen dan tak baik untuk 'kesehatan' tanah kami," katanya.
   Pupuk Bio-Pem relatif ramah lingkungan. Jika orang terpercik pupuk tersebut, termasuk pada anak-anak, hal itu tak membahayakan kesehatan. Bahkan, pupuk jenis ini bisa dimanfaatkan untuk campuran minuman sapi atau jenis ternak besar.
   Mesak yang juga pendiri Lembaga Pertanian Sehat  Agrolestari mengatakan, permintaan pupuk jenis ini relatif tinggi. Ini, antara lain, karena pupuk tersebut mampu mendorong akar menerobos batu karang, kerikil, dan tanah tandus.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 2 JULI 2013