Minggu, 25 Agustus 2013

Dipa Tamtelahitu: Nasionalisme Nelayan di Pojok Negeri

DIPA TAMTELAHITU

Lahir: Ambon, 10 April 1965
Pendidikan: D-3 Sekretaris Atma Jaya, Makassar
Aktivitas:
-Direktur PT Maritim Timur Jaya, 2006-kini
- Karyawan Bank Atrha Graha, 1993-2006
- Karyawan Bank Danamon, 1987-1991
Suami: Ir Wilhelm AE Tamtelahitu, MAP (49)
Anak:
- Bryan Joze Tamtelahitu
- Septilia Riscanova Tamtelahitu

Malang melintang di dunia perbankan, Dipa Tamtelahitu pindah profesi mengurusi perikanan di Tual, Maluku. Di pojok tenggara negeri ini, ia berusaha memberdayakan nelayan.

OLEH NASRULLAH NARA

Demi komitmennya untuk perikanan Tual, dalam tujuh tahun terakhir ia rela meninggalkan ruangan kantor yang sejuk. Sebaliknya, udara pesisir pantai yang terik ia akrabi sembari berinteraksi dengan komunitas nelayan.
   Berkat konsistensinya, nelayan setempat tak lagi mengenal masa paceklik. Kesulitan mendapatkan ikan dan tiadanya jaminan pemasaran yang biasanya menghantui nelayan akibat cuaca buruk di perairan Maluku Tenggara berangsur teratasi.
   Lewat perusahaan PT Maritim Timur Jaya yang dipimpinnya, Dipa menjamin ikan tangkapan nelayan setempat terbeli untuk diolah dan disimpan. Sebaliknya, jika nelayan mitranya mendapat order pembelian ikan dari juragan antardaerah, ia siap menjual kembali hasil ikan olahan yang sudah bernilai tambah.
   Contohnya, ikan tembang (Sardinella spp) yang dulu kurang diminati masyarakat karena bertulang serabut belakangan terbeli dengan harga Rp 500 per kilogram. Harga itu bisa menutup biaya operasional pelayaran. Sekali berlayar selama dua pekan, biasanya nelayan membawa pulang 5-10 ton ikan berbagai jenis.
   "Berapa pun dan jenis apa pun ikan hasil tangkapan nelayan, pasti kami beli," ujar Dipa di Dullah Utara, Kota Tual, Maluku.
   Hasil laut yang diperoleh nelayan Tual diolahnya melalui pengembangan industri perikanan terpadu. Ikan segar yang biasa dikonsumsi masyarakat diolah menjadi surimi (bahan bakso ikan), ikan beku, dan ikan kering. adapun ikan yang tidak dikonsumsi masyarakat diolah menjadi tepung ikan.
   Hasil budidaya rumput laut warga pun ia serap dengah harga bersaing. Rumput laut yang dua tahun lalu di pasaran umum berharga Rp 3.500 per kilogram, oleh Dipa dibeli seharga Rp 7.000 per kilogram. Inilah model penjaminan yang memberikan kepastian berusaha nelayan.
   Adapun peralihan pola hidup dari perempuan kantoran menjadi orang lapangan tak menjadi soal bagi Dipa dan keluarganya. Apalagi suaminya, Wilhelm AE Tamtelahitu, adalah sarjana perikanan.

Minim sosialisasi

   Bagi perempuan asal Ambon ini, membebaskan nelayan dari jerat kemiskinan adalah bagian dari nasionalisme. Ia ingin mematahkan pandangan umum, nelayan identik dengan kemiskinan.
   "Nelayan di Maluku mengarungi laut lepas yang berbatasan dengan perairan Australia. Diwilayah jelajah mereka kerap muncul kapal-kapal berbendera asing. Dengan mengangkat nasib nelayan, setidaknya kita mengangkat citra bangsa ini," begitulah tekad yang dilontarkan bungsu dari tujuh bersaudara ini.
   Lahir dan besar dalam lingkungan nelayan, ia memahami betapa nelayan terbentur pada masalah pemasaran dan cuaca. Pengalaman hidup sebagai anak nelayan membekas dalam hidupnya.
   Apalagi semasa kecil, orangtuanya, Zeth Lumalessi dan Meltina Lumalessi, selalu mengajak dia turut menghitung dan membersihkan ikan hasil tangkapan di perahu.
   "Kala cuaca bersahabat, ikan melimpah. Tetapi, hasil tangkapan itu banyak terbuang karena sulitnya pemasaran. Giliran cuaca buruk, nelayan tidak melaut. Nasib nelayan itu takluk pada keadaan, harus ada cara untuk mengatasi persoalan klasik ini," ujarnya.
   "Perpisahan" Dipa dengan dunia nelayan dan ikan saat dimulai saat dia dikirim orangtuanya ke Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1983. Di kota itu, ia belajar kesekretariatan selama tiga tahun.
   "Mungkin orangtua tak ingin anaknya terus bergelut dengan laut sehingga mengarahkan saya bekerja sebagai orang kantoran," katanya.
   Alhasil, tahun 1986, Dipa terjun ke dunia kerja yang tak bersentuhan dengan laut. Ia menjadi karyawan bank swasta yang berkedudukan di Ambon. Empat tahun kemudian, ia pindah bekerja ke perusahaan lain dalam lingkup jaringan usaha Artha Graha. Kali ini, ia juga menjadi penghubung Artha Graha untuk berbagai keperluan di Ambon dan sekitarnya.
   Kesibukan rutin itu tak membuatnya terjebak sebagai pekerja kantoran saja. Dalam urusan kredit, misalnya, ia mencermati betapa nelayan kesulitan akses mendapatkan bantuan modal lantaran tak biasa berorganisasi.
   Di sisi lain, Dipa melihat minimnya sosialisasi dari perbankan tentang fasilitas kredit. Jadilah nelayan tak paham akan fungsi bank. Pemerintah pun seolah abai pada nelayan sehingga tak ada perlindungan terhadap mereka.
   "Belum terlihat tindak lanjut nyata dari program minapolitan dari pemerintah yang menempatkan pemangku kepentingan sebagai bapak angkat nelayan," katanya.

Kembali ke habitat

   Tahun 2006, Dipa menjadi salah satu direktur di Maritim Timur Jaya. Lewat perusahaan yang berbasis di Dullah Utara, Tual, itulah, ia kembali terjun ke habitatnya sebagai warga nelayan. Ia mempelajari bisnis perikanan berskala ekspor dengan melibatkan nelayan sebagai komponen utama. Konseksuensinya, ia harus meninggalkan Ambon, terpisah dari keluarga. "Ini tantangan dan peluang untuk mengubah nasib nelayan."
   Didukung fasilitas perusahaan dengan lahan 160 hektar di Desa Ngadi, Dullah Utara, ia berusaha mengoptimalkan pengembangan industri perikanan dengan melibatkan nelayan sebagai pemasok bahan baku.
   Di sini ada pelabuhan dan dermaga sepanjang 300 meter, tangki penampung solar sebanyak 1.500 kiloliter, pembangkit tenaga listrik, gudang pembekuan berkapasitas   1.700 ton, pabrik surimi, pabrik tepung ikan, pabrik es, dan sarana budidaya rumput laut. Hasil tangkapan ikan dari 70 kapal milik Maritim Timur Jaya diolah bersama hasil tangkapan nelayan.
   Ia juga memberdayakan angkatan kerja terdidik di Maluku. Mayoritas dari 1.000 pekerjanya adalah putra asli Maluku. Di sini terbangun nasionalisme dan kesadaran untuk mengoptimalkan pemberian nilai tambah bagi hasil bumi Maluku untuk memenuhi kebutuhan perikanan daerah lain. Selain diekspor ke China, hasil olahan ikan itu juga dikirim, antara lain, ke Bali, Surabaya, dan Jakarta.
   Bekerja sama dengan nelayan, Dipa melancarkan sejumlah program seperti menyediakan kapal fiberglass berikut alat tangkapnya, seperti jaring, rumpon, dan bubu. Secara perlahan, nelayan juga dia kenalkan pada cara berorganisasi agar bisa mengakses lembaga permodalan.
   Selain itu, guna membangun etos kerja, ada insentif bagi nelayan yang giat. Dengan demikian, ia berharap mentalitas cepat puas di kalangan nelayan terkikis. Tanpa banyak publikasi, Dipa langsung memberdayakan nelayan dan warga pesisir.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 1 AGUSTUS 2013