Senin, 21 Oktober 2013

Nicodomus Manu: Pengawal 17 Pulau dari Riung

NICODOMUS MANU
Lahir: Sabu, 22 November 1956
Pendidikan: STM jurusan mesin
Pekerjaan terakhir: Kepala Resor Seksi II pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Timur
Istri: Fredrika Djingi
Anak:
- Ricko Reynhard Manu (27)
- Manasye Maximillian Manu (26)
- Yanwar Manuel Manu (24)

Selama menjadi petugas penjaga kawasan konservasi Taman Wisata Alam 17 Pulau, Nicodomus Manu (57) telah mengalami banyak kisah menegangkan. Keberanian, ketegasan, dan kesungguhannya menjaga kawasan konservasi dari pengganggu patut diacungi jempol. Kerja kerasnya itu berbuah penghargaan berupa Kalpataru dan Satya Lencana Pembangunan.

OLEH ARIS PRASETYO/ SAMUEL OKTORA

Taman Wisata Alam 17 Pulau terletak di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di perairan utara Pulau Flores. Dinamakan demikian karena taman wisata tersebut terdiri atas 17 plau kecil yang masing-masing bernama Pulau Wire, Sui, Taor, Tembaga, Telu, Bampa, Meja, Rutong, Patta, Halima, Besar, Lainjawa, Kolong, Dua, Ontole, Borong, dan Paus. Kawasan berbentuk pulau-pulau kecil ini rawan ancaman para pengganggu, seperti pemburu satwa dilindungi.
   Selain menjadi obyek wisata laut menawan karena pantainya yang bersih, Taman Wisata 17 Pulau juga menjadi habitat beberapa satwa dilindungi, seperti rusa, dan burung. Terumbu karangnya juga indah. Selain menjadi sasaran pemburu satwa, para pencari ikan yang tak bertanggung jawab juga kerap menggunakan bom untuk menangkap ikan. Aksi para pencari ikan seperti itu tentu saja mengancam dan merusak keindahan terumbu karang di kawasan tersebut.
   Nicodomus yang memulai tugasnya sebagai jagawana di taman Wisata Alam 17 Pulau pada tahun 1984, benar-benar menjaga kawasan konservasi itu agar bebas ancaman pengganggu. Ia juga mencegah masyarakat di sekitar kawasan untuk menebang pohon bakau yang termasuk di dalam area kawasan konservasi. Awalnya, tindakan Nicodomus itu dicibir masyarakat sekitar.
   "Di masa-masa awal saya bertugas, masyarakat terbiasa menebang pohon bakau di dalam kawasan. Padahal, itu bisa menimbulkan abrasi dan merusak habitat ikan-ikan kecil. Awalnya mereka melawan saat saya larang menebang bakau, tetapi lama-kelamaan mereka mau mengerti juga dan tidak lagi mengambil kayu bakau dari kawasan," ucap Nicodomus.
   Kini, tepi kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau itu rimbun akibat rapatnya vegetasi pohon bakau. Kondisi itu berbeda jauh dari keadaan 20 tahun lalu saat di sekitar kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau nyaris gundul tidak ada pohon bakau tersisa. Nicodomus berhasil menggerakkan warga sekitar untuk menanami kembali pantai-pantai di Taman Wisata Alam 17 Pulau dengan bakau.

Tak pernah pensiun

   Tak hanya menghadapi gangguan penebangan bakau, Nicodomus juga memiliki pengalaman dengan para pencuri ikan dan terumbu karang. Ia masih bisa mengenang kejadian tersebut dengan rinci, yaitu tepatnya pada 28 Oktober 1994. kala itu, Nicodomus bersama rekannya menangkap 11 orang yang menggunakan speed boat di kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau.
   Rupanya, mereka tertangkap basah sedang mencuri ikan di dalam kawasan konservasi menggunakan potasium. Penggunaan potasium yang beracun amat membahayakan ikan-ikan kecil yang penting untuk pembibitan. Setelah ditangkap, 11 tersangka itu diserahkan Nicodomus kepada aparat kepolisian setempat.
   "Sayang, setelah saya serahkan para tersangka kepada polisi pada hari yang sama ketika mereka ditangkap, tidak ada lagi kelanjutan penanganan kasus tersebut. Bahkan, saya masih ingat persis kasus itu telah didiamkan selama 456 hari oleh polisi," kata Nicodomus.
   Geram karena usahanya menangkap pencuri ikan di kawasan konservasi disia-siakan, Nicodomus lantas menyurati Kepala Kepolisian Daerah dan Gubernur NTT, Menteri Kehutanan, sampai Wakil Presiden Try Sutrisno ketika itu. Isi suratnya adalah meminta agar proses hukum terhadap 11 tersangka pencurian ikan di kawasan taman Wisata Alam 17 Pulau dituntaskan. Niat Nicodomus saat itu adalah agar ada efek jera bagi para pengganggu kawasan konservasi.
   "Saya bahkan sempat ditawari uang Rp 20 juta saat itu agar tidak mengungkit lagi proses hukum atas 11 orang yang saya tangkap. Yang memberi uang dari kelompok tersangka. Namun, saya tegas menolak dan menginginkan agar kasus itu dituntaskan," kenang Nicodomus.
   Akhirnya, perjuangan Nicodomus tak sia-sia. Surat yang ia kirimkan ke pejabat-pejabat di daerah sampai ke Wakil Presiden membuahkan hasil. Kasus hukum penangkapan 11 orang iu dilanjutkan dan mereka dijatuhi vonis sembilan bulan penjara.
   "Sayang, bos di balik 11 tersangka itu tidak diseret di meja hijau. Padahal, ke-11 orang itu hanya orang suruhan," ujar Nicodomus.
   Kisah Nicodomus tak hanya disitu. Ia juga pernah terlibat pengalaman seru dengan pencuri ikan yang menggunakan bom pada 2 Agustus 1992 di kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau. Saat itu, bersama tiga aparat kepolisian yang bergabung untuk berpatroli bersama, mereka menjumpai empat orang menggunakan speed boat sedang melemparkan bom ke arah terumbu karang untuk diambil ikannya.
   "Saat kami dekati, mereka melawan sampai terjadi baku pukul empat lawan empat. Sayang, tiga orang berhasil kabur dengan membawa pistol polisi yang mereka rampas dan hanya satu orang yang kami tangkap. Setelah diproses secara hukum, satu orang itu dijatuhi hukuman lima tahun penjara," ucap Nicodomus.
   Keteguhan Nicodomus menjaga kelestarian Taman Wisata Alam 17 Pulau berbuah manis. Pada 1995, ia meraih Kalpataru atas kegigihannya menghijaukan kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau. Selanjutnya, pada 1999 ia mendapat penghargaan Satya Lencana Pembangunan. Semua penghargaan itu diberikan langsung oleh Presiden RI ketika itu di Istana Negara.
    Selain itu, kini kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau dikenal sebagai salah satu obyek wisata laut di Kabupaten Ngada. Sebagian besar pantai di kawasan itu sudah hijau dan rimbun oleh tanaman bakau. Cerita-cerita tentang pencurian ikan menggunakan bom, perburuan liar satwa dilindungi, atau penghancuran terumbu karang nyaris tak terdengar lagi.
   Kini, Nicodomus memang telah pensiun sebagai pegawai di Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTT. Namun, kecintaannya untuk menjaga kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau tak pernah pudar. Ia masih kerap berkeliling kawasan itu untuk sekadar melihat-lihat keadaan. Terkadang, ia menemani wisatawan yang berkeliling mengunjungi 17 pulau di taman wisata itu.
   "Untuk urusan penghijauan tanaman bakau, saya tidak akan pernah berhenti. Jika bakau rusak, maka pantai akan rusak, ikan-ikan akan kehilangan makanan dan tempat tinggal. Jika semua sudah rusak, apa lagi yang akan bisa dibanggakan di taman wisata laut ini," ujar Nicodomus.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 21 OKTOBER 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

Yosef Katup: Menjaga Warisan Leluhur

YOSEF KATUP
Lahir: Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur (NTT), 1 Mei 1970
Pendidikan: SMP Negeri Iteng, NTT
Istri: Frumansiana Aventina Sanimin (33)
Anak:
- Safronius Subagi (6)
- Edeltrudis Indong (4)
Pekerjaan: Sekretaris Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo, 2007 hingga kini

Diseelubungi hawa sejuk, kabut yang datang dan pergi menaungi Kampung Wae Rebo di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, akbupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kampung yang berada di ketinggian Pulau Flores itu amat hijau dan diyakini masyarakat setempat dijaga tujuh kekuatan alam.

OLEH SAMUEL OKTORA

Yosef Katup (43), salah satu keturunan moyang Wae Rebo, dari generasi ke-18, dengan penuh semangat bercerita tentang leluhur dan keunikan budaya setempat. Ia juga pemandu wisata dari kampung yang menjadi salah satu warisan budaya dunia UNESCO sejak tahun 2012 itu.
   Ia kerap menemani pengunjung berjalan kaki dari Kampung Denge ke Kampung Wae Rebo. Jarak antara Denge ke Wae Rebo sekitar 9 kilometer (km) dan ditempuh sekitar 4 jam berjalan kaki melewati tiga pos peristirahatan.
   "Nenek moyang kami disebut Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali," kata Yosef.
   Pria tamatan SMP ini tampak menguasai banyak hal, khususnya budaya masyarakat Wae Rebo. Yosef memang berusaha melestarikannya. Ia mampu bertutur tentang adat masyarakat Wae Rebo tanpa membaca catatan.
   Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa'ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.
   Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.
   Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro.
   "Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. namun, bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro," kisah Yosef.
   Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho, dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka  ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.
   Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.
   "Itulah tempat kami, dari tempat ini tampak kota dengan gemerlap cahaya. kami meyakini bahwa daerh yang kami tinggali dikelilingi tujuh kekuatan alam yang berperan sebagai penjaga kampung. Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Kami tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana."

Ritual adat

   Ritual adat itu antara lain kasawiang, yang biasa digelar pada bulan Mei, saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur. Adapun upacara Penti, sekitar November, adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam.
   Pengetahuan Yosef itu diperoleh dengan bertanya kepada para tetua adat, seperti Tua Gendang Wae Rebo, Rafael Niwang (85), dan Rofinus Nompor (76).
   Sebelum menetap di Wae Rebo, menjadi pemandu wisata dan petani, Yosef merantau ke Makassar pada tahun 1997-2000. Ia pernah tinggal di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, menggarap proyek irigasi. Ia juga merantau ke Malaysia tahun 2000-2003, sebelum kembali ke Wae Rebo dan menikah pada tahun 2005.
   Kini, Yosef menjadi rujukan informasi tentang Wae Rebo bagi wisatawan ataupun anak muda setempat. Pengetahuan tentang adat Wae Rebo biasa dia sampaikan saat upacara adat digelar.

Tujuh "niang"

    Di Kampung adat  Wae Rebo ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
   Jumlah rumah adat tak boleh dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8 keluarga. Jika anggota keluarga makin banyak dan dirasa perlu membangun rumah baru, harus di luar kampung adat.
   Rumah adat  Wae Rebo berbentuk khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk.
   Niang Gendang Maro, semacam rumah adat utama, diyakini merupakan tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi daripada 6 niang lainnya.
   Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus. Di ujung atapnya ditancapkan Ngando, yang disimbolkan kepala kerbau, hewan yang dianggap terbesar. Kepala kerbau menjadi penanda telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah ini.
   "Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan kehidupan yang bulat, jangan diwarnai konflik, tetapi ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya musyawarah di rumah adat mengambil posisi duduk melingkar," katanya.
   Pada bagian tengah rumah adat ada semacam tiang utama yang disebut bongkok. Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Inilah Papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan. Rumah adat juga ditopang 9 tiang utama, yang menggambarkan kehidupan dari janin menjadi bayi melewati sekitar 9 bulan dalam rahim.
   Ada pula molang, pada bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dapur, ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga. "Saat bayi lahir didekatkan ke periuk dari dapur, sebab ada nyala api yang menghangatkan tubuh bayi."
   Yosef bercerita, keinginannya menggali dan melestarikan  adat Wae Rebo muncul saat merantau ke Malaysia. "Entah mengapa saya ingin kembali ke Wae Rebo. Ada semacam panggilan untuk menjaga kelestarian budaya kami."

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 11 OKTOBER 2013

Kamis, 03 Oktober 2013

Markus Hayon: Penyelamat Sumber Air Warga Tiga Desa

MARKUS HAYON 
Lahir: Tanah Tukan, Flores Timur, 18 Agustus 1974
Istri: Yuliana Tigabelas
Anak: Roland Arakian (2,8 tahun)
Pendidikan: Sekolah Menengah Pertama Tanah Boleng
Jabatan: Kepala Desa Tanah Tukan, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, NTT (sejak 28 Februari 2013)

Memasuki musim kemarau panjang, warga tiga desa di Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, terancam kesulitan air bersih. Debit sumber mata air satu-satunya, yakni Waikloba, turun sampai 2 liter per detik. Markus Hayon resah atas persoalan ini. Namun, Markus tidak berhenti sekadar mengeluh. Langkah nyata dia kerjakan dengan melakukan penghijauan dengan menanam  pohon jati dan mahoni di padang seluas 52,7 hektar.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Padang "Nepa Belahan" -artinya padang panjang- yang membentang dari bibir Pantai Samasoge sampai Desa Botung. Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sepanjang hampir 6 kilometer sudah berbeda, tidak lagi gersang. Kini, padang seluas 52,7 hektar itu sebagian besar mulai tertutup hutan jati dan mahoni dengan ketinggian 2-15 meter.
   Ketika ditemui di Kantor Desa Tanah Tukan, Flores Timur, beberapa waktu lalu, Markus (30) mengatakan kegiatannya sangat padat. Saat ini, kekeringan sedang mengancam hutan jati dan mahoni yang sudah dan sedang ditanami di kawasan seluas 52,7 hektar.
   "Saya baru saja dari hutan. Saya mengisi air di dalam botol dan drum sebagai peresapan untuk 1.678 pohon jati dan mahoni. Setiap botol dan drum itu saya letakkan berdampingan dengan pohon agar tanaman itu tidak kering ketika menghadapi panas matahari," kata Markus.
   Ia mengatakan tidak pernah merasa tenang apabila hutan jati dan mahoni yang ditanami sejak 2003 itu kekeringan. Budidaya jati dan mahoni di areal seluas 52,7 hektar tersebut untuk menjaga keberlangsungan sumber mata air Waikloba yang jaraknya sekitar 3 km dari Wotan Ulumado, dan 4 km dari Desa Samasoge.
   Tiga desa dengan total penduduk sekitar 3.874 jiwa itu semata-mata bergantung pada sumber air Waikloba. Jika sumebr air itu mengering, masyarakat tiga desa tersebut akan mengalami masalah luar biasa. Pada musim hujan, debit air sampai 142 liter per detik. Namun, setiap memasuki musim kemarau, debit air turun drastis hingga tersisa 2 liter per detik.
   Upaya Markus bermula pada tahun 2003 ketika usianya baru 29 tahun. Namun, kepedulian dan kekhawatirannya terhadap lingkungan sekitar dan sumber air sangat tinggi. Ia tidak tinggal diam.
   "Saya melihat, kalau sumber air itu tidak diselamatkan, warga tiga desa ini akan kekeringan. Apalagi, saat itu kegiatan pembakaran padang sangat tinggi. Setiap hari di padang seluas 52,7 hektar, juga kawasan hutan di bagian hulu dibakar orang yang tak bertanggung jawab," katanya.

Tak kenal lelah

   Markus pun melakukan berbagai upaya, misalnya mengumpulkan botol air mineral di dermaga, di tempat-tempat sampah pada Jumat Agung di Larantuka. Sekitar 5.600 botol dan 75 drum kosong terkumpul. Botol-botol air mineral memang diperoleh tanpa biaya, tetapi drum kosong dibeli dengan harga Rp 145.000 per buah.
   Anakan jati pun dikumpulkan. Langkah pertama, mendatangi Dinas Kehutanan di Larantuka, tetapi tidak ada anakan yang tersedia di sana. Ia tidak kehilangan akal, malah kemudian Markus menyiapkan anakan jati sendiri. Dia menyemaikan biji biji jati yang diperoleh di beberapa tempat secara sporadis. Anakan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong-kantong pembibitan polybag.
   Saat itu sebagian warga-seperti biasa- meragukan kegiatan Markus karena padang itu sangat kering, berada di punggung bukit, selalu dibakar warga, dan menjadi padang penggembalaan kambing. Namun, dia tidak lelah merealisasikan mimpinya, menjadikan kawasan itu penuh dengan tanaman yang bermanfaat seperti jati, mangga, dan pisang.
   "Saya sudah memulai dengan jati putih, mangga, nangka, dan pisang. Tetapi, semua tanaman itu dimakan kambing yang dilepas liar oleh warga dari Desa Samasoge. Saya mendekati kepala desa agar ternak-ternak itu dikandangkan, tetapi ditolak dengan alasan kawasan itu adalah padang ternak," kata Markus.
   Akan tetapi, Markus tetap memiliki niat menghijaukan wilayah itu. Pilihan satu-satunya hanya tanaman jati biasa dan mahoni. Jati dan mahoni ini tidak dimakan ternak kambing. Ternyata kiatnya itu berhasil.
   Memasuki musim hujan pada tahun 2003, dia memperbanyak anakan jati dan mahoni. Sekitar 3.000 anakan kedua jenis pohon tersebut dimasukkan ke dalam polybag.
   Secara bertahap, ia pun menggali tanah di padang gersang itu. Setiap hari sekitar 25 lubang dengan kedalaman 30 sentimeter dan diameter 20 sentimeter digali, dan langsung ditanami. Penanaman dilakukan saat hujan deras disertai angin kencang. Pada saat itu, semua tanaman diyakini bisa hidup.
   Selama musim hujan tahun itu, dia berhasil menanam 2.210 anakan jati. Markus menanam pohon-pohon tersebut di sekitar sumber mata air Waikloba. Akibat kebakaran rutin, kawasan ini tampak kering dan tidak ada pohon sama sekali.
   Meskipun demikian, memasuki musim kemarau, tanaman yang tampak segar selama musim hujan mulai kelihatan kerdil dan kekuningan. Rumput ilalang pun tampak kering kecoklatan sehingga tidak mampu memberi naungan terhadap tanaman jati itu.
   Markus tidak kehilangan akal untuk mengatasi hal tersebut. Dia menyiapkan botol dan drum kosong dan mengisinya dengan air. Tutup botol dilubangi, kemudian diletakkan dengan posisi terbalik pada setiap batang anakan jati. Sementara bagian dasar drum juga dilubangi. Lubang itu dibuat sedemikian rupa sehingga hanya meneteskan air mirip infus.
   Dari total 3.000 pohon jati dan mahoni, yang bertahan sampai musim hujan berikutnya hanya sebanyak 1.873 pohon. Ia bersemangat, masih ada tanaman yang selamat dari ancaman kekeringan. Tanaman periode pertama ini sudah mencapai ketinggian sekitar 20 meter dengan diameter 25 sentimeter.
   Pada tahun 2004-2012, dia berhasil menanam 5.862 pohon jati dan mahoni. Setelah terpilih menjadi Kepala Desa Tanah Tukan, Februari 2013, kegiatan menanam mulai berkurang. Sebagian besar waktu dihabiskan di kantor  desa, memimpin rapat dan menyusun program bersama sekretaris desa.
   "Kami sedang membahas bersama masyarakat adat terkait kegiatan penghijauan lahan kering di wilayah ini. Lembaga masyarakat adat di desa ini sudah mulai diberdayakan, menanami kembali hutan-hutan gundul di desa ini," kata Markus.
   Namun, dia harus memberi pemahaman serinci mungkin mengenai fungsi hutan produktif. Hutan jenis ini, selain menjaga sumber air, melestarikan lingkungan, juga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan langung masyarakat.
   Ia menjelaskan, tanaman jati sekitar 2-3 tahun lagi dapat dipanen. Sementara mahoni butuh waktu sekitar 4 tahun lagi. Di antara kedua jenis tanaman itu, pohon pisang yang ditanam di antaranya sudah mulai bisa dipanen.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 30 SEPTEMBER 2013