Senin, 30 Agustus 2010

Membebaskan Buta Aksara Al Quran

Melalui tulisan kaligrafi yang lahir dari kreativitas Ustadz Chumaidi Ilyas, umat Muslim terbebas dari buta aksara Al Quran. Tak banyak orang mengenal dia,tetapi tulisan kaligrafinya terus dicetak sejak tahun 1988 untuk pembelajaran di Taman Kanak-kanak Al Quran dan Taman Pendidikan Al Quran.

CHUMAIDI ILYAS

Lahir : Bantul, 15 Juli 1955
Istri : Siti Nur Khasanah (46)
Anak :
- Musfiroh
- Ahmad Ashof
- Ahmad Ahid
Pendidikan :
- SDN Putern I Trayeman Pleret, Bantul,lulus 1968
- MTs Negeri Wonokromo Pleret, Bantul, 1971
- Pondok Pesantren Jejeran, Bantul, 1974
- Pondok Pesantren Ki Ageng Pandanaran, Sleman, 1980
Kejuaraan antara lain :
- Juara I MKQ Umum tingkat Provinsi DIY, 1988
- Juara Harapan 1 MKQ umum tingkat Nasional, 1988
- Juara I MKQ umum tingkat nasional, 1991
- Juara Kaligrafi ASEAN, 1994
Pekerjaan :
- Dekorasi kaligrafi masjid
- Penulisan naskah kaligrafi diberbagai percetakan buku di Yogyakarta, Jawa Tengah,
Jawa Barat, dan Jakarta

Oleh MAWAR KUSUMA WULAN

Ketika almarhum KH As'ad Humam menciptakan metode praktis membaca Al Quran yang dikenal dengan metode Iqra, Chumaidi menjadi satu-satunya orang yang menulis kaligrafi buku iqra itu hingga kini. Meski tak mendapat royalti dari penerbitan buku iqra, ia mengaku puas karena karya kaligrafinya membebaskan umat dari buta aksara Al Quran.
Tak hanya buku iqra, tulisan kaligrafi Chumaidi juga dicetak dalam berbagai naskah keagamaan. Selain mengasuh Pondok Pesantren Al Muhsinuun, Bantul, dia juga menghiasi puluhan masjid di DI Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya dengan ornamen dekorasi kaligrafi. Beragam prestasi penulisan kaligrafi diraihnya termasuk menjuarai kaligrafi tingkat ASEAN.
Belajar kaligrafi secara otodidak, Chumaidi mulai membuat kaligrafi untuk beberapa penerbit di berbagai kota, seperti Yogyakarta, solo, dan Bandung, sejak tahun 1975. Kepiawaiannya menulis kaligrafi diberagam penerbit membuat As'ad tertarik menjalin kerjasama dengan Chumaidi untuk membuat buku iqra.
As'ad pendiri Penerbit Yayasan Angkatan Muda Masjid, memunculkan metode iqra pada 1988. Metode itu populer karena praktis dan mempermudah anak-anak bissa cepat membaca Al Quran. Sebelum ada buku iqra, anak-anak seusia Taman Kanak-kanak (TK) umumnya belum bisa membaca Al Quran.
Di bawah naungan Balai Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengajaran Baca Tulis Al Quran, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran, Penerbit Yayasan Angkatan Muda Masjid terus memproduksi buku iqra. Meski digempur pembajakan, penerbit ini masih rutin memproduksi minimal 5.000 buku iqra per hari, dengan harga jual Rp.1.500 per buku.
Tak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri, permintaan dari beberapa negara seperti Singapura dan Brunei pun mengalir. Diperkenalkan pertama kali dari Yogyakarta, metode iqra bahkan ditetapkan sebagai kurikulum wajib di TK dan sekolah dasar di Malaysia sejak 1993.
"Khat-nya (cara menulis Al Quran) memang berbeda antara Indonesia dan Malaysia, tetapi tidak ada kesulitan dalam menulis kaligrafinya," kata Chumaidi.
Chumaidi pun beberapa kali membuat revisi di beberapa bagian dari enam jilid buku iqra yang ditulisnya. Namun, sejak 1997 tak pernah ada lagi permintaan revisi buku iqra.
"Untuk terhindar dari kesalahan penulisan kaligrafi itu susah. Tetapi, salahnya orang yang tahu dengan salahnya orang yang tidak tahu, itu lain," ujarnya tertawa.

Kecintaan mendalam

Ditemui di rumahnya Dusun Tambak, Wirokerten, Banguntapan, Bantul, DIY, pertengahan bulan Ramadhan, Chumaidi menunjukkan kecintaan yang mendalam pada seni kaligrafi. Hampir seluruh bagian dinding rumahnya dihiasi tulisan kaligrafi berpigura. Buku-buku agama yang dilengkapi tulisan kaligrafi karyanya menumpuk di lemari yang juga memajang beberapa piala kejuaraan lomba kaligrafi.
Selain karena hapal Al Quran, kepiawaiannya menulis kaligrafi terdongkrak oleh seringnya dia mengikuti perlombaan dari tingkat DIY hingga internasional. Pertama kali mengikuti lomba kaligrafi atau Musabaqah Khattil Quran (MKQ) tingkat nasional pada 1988, Chumaidi meraih gelar juara. Pada 1991 ia menyabet juara pertama semua kategori kejuaraan, yaitu naskah, dekorasi, dan hiasan mushaf.
Setelah menjuarai lomba kaligrafi tingkat ASEAN tahun 1994, Chumaidi tak pernah lagi mengikuti kejuaraan kaligrafi. Ia lebih banyak berkecimpung sebagai pelatih kaligrafi untuk kejuaraan kaligrafi yang digelar di tingkat nasional. Ia telah enam kali melatih finalis kejuaraan kaligrafi tingkat nasional pada 1994-2010. Di tingkat DIY, Chumaidi menjadi Hakim MKQ sekaligus pelatih kaligrafi.
Tak bisa menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup dari penulisan kaligrafi di penerbit buku yang dihargai hanya perlembar karya kaligrafi tanpa royalti, Chumaidi lebih banyak mendapat penghasilan dari pembuatan dekorasi kaligrafi masjid yang dia kerjakan bersama anak-anaknya..
Dekorasi di puluhan masjid, seperti Masjid As Syakur di gamping, Sleman, atau Masjid Prenggan di Kota Gede merupakan karya Chumaidi. Jika ada permintaan pembuatan tulisan kaligrafi dia bisa melembur pekerjaan itu dari siang sampai malam hari.
Chumaidi kini sedang sibuk menyelesaikan penulisan kaligrafi Al Quran yang ditulis per juz, pesanan Penerbit Angkatan Muda Masjid. dari rencana awal hanya menerbitkan 6 juz seperti buku iqra, pesanan berkembang menjadi sepertiga Al Quran atau 10 juz. Saat ini pesanan berkembang lagi menjadi seluruh (30) juz Al Quran, dan baru ia kerjakan hingga 16 juz.
Untuk keperluan penerbitan buku, Chumaidi menulis kaligrafi huruf Arab dalam lembaran kertas sebelum kemudian dipindai, dicetak, dan diperbanyak. Walaupun teknologi penulisan komputer sudah berkembang, tulisan kaligrafi tangan Chumaidi sangat diminati dan memiliki penggemar fanatik.
Hidup sederhana di kawasan pedesaan yang dikelilingi areal persawahan dan perkebunan tebu, belasan generasi muda dari perguruan tinggi meupun sekolah menengah turut menimba ilmu pendidikan Al Quran dengan menjadi santri di rumah Chumaidi sejak tahun 1998. Karena keterbatasan tempat, beberapa santri putri rela tidur di dapur sembari belajar agama.
Dengan metode iqra, para siswa diajak belajar membaca kata, bukan pengenalan huruf . Mereka dapat lebih cepat membaca lafadz per lafadz, lalu ayat per ayat. Sebelumnya, pengajian anak-anak lebih banyak menggunakan metode Baghdadiyah yang dimulai dengan pengenalan huruf.
Metode iqra dimulai dengan pengenalan bacaan huruf hijaiyah fathah, membedakan bacaan huruf yang mirip bentuk dan bunyinya, hingga pengenalan beragam bacaan.
"Melihat orang belajar iqra, saya bersyukur karena tulisan kaligrafi ini bisa menolong orang agar mudah membaca Al Quran," ujar Chumaidi.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 31 AGUSTUS 2010.

Minggu, 29 Agustus 2010

Asvi Menggapai Kebenaran Sejarah

Hari-hari akhir bulan September menjadi istimewa bagi Asvi Warman Adam (55). Obsesinya menguak kebenaran sejarah, diantaranya tentang Peristiwa 1965, lagi-lagi memperoleh momentum. Dia ajak pemerintah, sejarawan, dan masyarakat berpikir ulang tentang narasi-narasi masa lampau, utamanya tragedi 1965.

BIO DATA

Nama : Asvi Warman Adam
Lahir : Bukittinggi, 8 Oktober 1954
Istri : Nuzli Hayati (52)
Anak : Tessi Fathia Adam (23)
Pekerjaan : Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI
Pendidikan : Doktor Sejarah dari Ecole des Hautes etudes en Sciences Sosiales, Paris (1990)
Karier : Aktif berceramah, menulis artikel tentang rekayasa Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban, dan menulis setidaknya tujuh buku tentang sejarah kontemporer, terakhir ("Sarwono Prawirohardjo, Pembangun Institusi Ilmu Pengetahuan di Indonesia"' LIPI, 2009)
- Mantan anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003

Oleh ST SULARTO

Mengenai kemungkina pelanggaran berat HAM, sekitar Peristiwa 1965, menurut ahli peneliti utama LIPI itu, peristiwa Pulau Buru sebagai peristiwa paling jelas. Tempatnya jelas, tahun terjadinya jelas, pelakunya jelas, serta korban dan jumlahnya jelas. dengan tujuan mengamankan Pemilu 1971, lebih dari 10.000 orang yang digolongkan tahanan politik 1965 golongan B dimasukkan ke kam kerja paksa lebih dari 10 tahun. Stigma buruk diterapkan kepada mereka, selain pembunuhan, penangkapan tanpa proses dan pengadilan.
Kasus Pulau Buru merupakan mata rantai peristiwa sekitar 30 September 1965. Selama bertahun-tahun narasi tentang peristiwa itu hanya satu versi, yakni versi Orde Baru, bagian dari upaya justifikasi kekuasaan dan pengumpulan kekuatan. Justifikasi itu diawali dengan pembunuhan besar-besaran setelah 1 Oktober 1965, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari setengah juta orang. Penciptaan narasi tunggal disusul proyek Pulau Buru. Gugatan yang muncul dibungkam.
Seiring deru reformasi tahun 1998, masyarakat mulai kritis dengan narasi dan pencitraan versi tunggal. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar luas setiap akhir bulan September digugat. Menurut dia, tidak lagi diputarnya film itu secara luas merupakan satu keberhasilan. "Inilah pertama kali terbuka munculnya upaya meluruskan sejarah Peristiwa 1965. Disusul kemudian berbagai versi yang ditulis para korban dan analisis-analisis yang sebelumnya tidak terkuak kepermukaan," kata Asvi Warman Adam.
Asvi mengutip sejarawan Inggris, EH Caar, bahwa kebenaran sejarah gugur manakala ditemukan data baru. Munculnya narasi-narasi baru itu adalah bagian dari ajakan menemukan dan meluruskan. Keputusan politik, katakan ketetapan MPR, adalah produk politik bagian dari justifikasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika data baru semakin banyak ditemukan, versi tunggal perlu ditinjau ulang, kalau perlu, ditindaklanjuti dengan rehabilitasi nama baik dan permintaan maaf dari pemerintah.

Sampel yang representatif

demi pelurusan sejarah dan hapusnya pembohongan, Asvi tidak hanya memeimpikan sekita Peristiwa 1965 atau peristiwa lain, seperti Peristiwa Mei 1998, tetapi bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Tidak perlu semuanya, tetapi dipilih peristiwa dan masalah sebagai sampel yang representatif. Misalnya kurun 1945-1955, dan seterusnya, sehingga diperoleh sekitar 10 kasus.
Asvi setuju bahwa demi alasan politis ada bagian-bagian peristiwa yang ditutupi, tergantung dari perspektif masing-masing. Namun, kalau narasi itu adalah kebohongan, itu perlu dibongkar. Taruhlah kisah tentang Serangan Oemoem 1 Maret dengan cara menghilangkan peran tokoh lain. Itu kebohongan sejarah.
Awal ketertarikannya ke sejarah Peristiwa 1965 dimulai pada satu peristiwa pada tahun 1999. Dia diminta ceramah oleh Yayasan Hidup baru,sebuah yayasan yang mengurusi bekas tahanan politik 1965. "Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya terharu ketika mereka, bapak, ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang recehan. hasilnya sekitar Rp.25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah saya," kenang Asvi.
Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965.
Dari tujuh buku yang sudah ditulisnya, menulis Peristiwa 1965 tidak hanya berkenaan dengan peristiwa satu malam tanggal 30 September, tetapi juga penangkapan, penahanan, perburuan masal yang memakan korban lebih dari setengah juta orang, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, serta pembuangan paksa 10.000 tapol ke Pulau Buru tahun 1969-1979. Hal itu termasuk stigma dan diskriminasi jutaan orang keluarga korban Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa itu disebutnya "pancalogi"' sebagai rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S (Asvi Warman Adam, 1965, orang-orang di balik tragedi, Galangpress, 2009).
Bagi Asvi, Peristiwa 1965 merupakan tanda atau pembatas zaman. Dari banyak peristiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia, peristiwa 1965 merupakan pembatas zaman dalam berbagai bidang. Perubahan politik yang besar terjadi dalam bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara non blok dan dunia ketiga menjadi "murid yang baik" AS. Kebijakan ekonomi berdikari menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergaantung pada modal asing. Tidak ada kritik, tidak ada polemik, semua dalam satu versi, yakni versi pemerintah.
Peralihan dari profesi wartawan (3 tahun sebagai wartawan) ke peneliti/sejarawan tidak kecil peranan yang diberikan Prof Dr AB Lapian. Dalam status belum setahun bekerja di LIPI, setelah keluar dari majalah sportif tahun 1983, Asvi memperoleh tawaran mengajar bahasa Indonesia di Paris, Perancis, sekaligus beasiswa. Dia perlu memperoleh rekomendasi pimpinan LIPI. Lapian bertanya,"Rekomendasi saya tulis dalam bahasa Inggris, Perancis, atau Indonesia?" Akhirnya rekomendasi ditulis dalam bahasa Indonesia, menerakan bahwa Asvi boleh ke Paris mengajar sekaligus belajar. "Nah itulah titik balik profesi saya," Gelar doktor ilmu sejarah pun diperolehnya dengan disertasi tentang sejarah Vietnam.
Dibenak Asvi, dia memimpikan narasi sejarah dibebaskan dari kebohongan-kebohongan. Biarlah peristiwa itu sendiri bicara tentang sejarahnya! Menggapai kebenaran sejarah? Yaaah......Asvi tertawa lepas!

Dikutip dari KOMPAS , RABU, 30 SEPTEMBER 2009

Jumat, 27 Agustus 2010

Keuletan Gabriela Uran

Dibalik sosoknya yang tampak ringkih, Gabriela uran menyimpan buncahan energi yang mengubah kekeringan menjadi kesuburan dan skeptisisme menjadi keyakinan akan perubahan.

GABRIELA URAN

Lahir : Flores Timur, 26 Mei 1966
Pendidikan : S-1 Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa
Cendana
Pengalaman Kerja :
- 1991-1997; Yayasan Tanahnua (YTN)
- Sejak 1999; Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines)
- Mengikuti berbagai pelatihan, seminar, dan lokakarya serta menjadi narasumber dan fasilitator
berbagai lokakarya menyangkut pemberdayaan masyarakat desa

Oleh MARIA HARTININGSIH

"Air bersih mengubah banyak hal secara perlahan," ujar Ela, begitu ia disapa, pada suatu siang di kantornya di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Tak mudah mengubah kondisi yang lahir dari tradisi bahwa perempuan hanyalah "pelengkap penderia". Di luar tradisi belis (mahar) saat perempuan hendak menikah di Manggarai, "perempuan tak dapat hak waris, tetapi harus ikut bertanggung jawab terhadap kebutuhan saudara laki-lakinya," ujar Ela. Tradisi pula yang melahirkan pesta keluarga dan sosial yang sedikitnya empat kali setahun dan berpotensi mengurs simpanan keluarga.
Posisi tawar perempuan yang secara umum rendah memperlihatkan kenyataan yang berpunggungan. Salah satunya kondisi menetap rawan gizi pada anak, sementara konsumsi rokok laki-laki di satu desa mencapai Rp.1,3 miliar setahun.
"kami ajak perempuan menghitung belanja rumah tangga mereka per hari. Ini adalah bagian dari kerja pemberdayaan," ujar Ela, nakhoda Yayasan Komodo Indonesia Sejahtera (Yakines), yang bekerja di akar rumput untuk pemberdayaan petani miskin, khususnya perempuan.

Peran perempuan

Perubahan berawal saat Yakines bekerja sama dengan organisasi non pemerintah dari Yogyakarta, memulai pembangunan sarana air bersih di empat kampung di Manggarai. Persiapan sosial dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya diskusi dengan ketua adt setempat, seperti Tua Golo.
"kami sepakat, kalau mau ada pembangunan sarana air bersih, Ketua Organisasi Pengelola Air atau OPA, wajib perempuan. Kalau laki-lakinya tidak mau, kami cari kampung yang mau perempuan jadi ketua OPA.
masuknya perempuan dalam aktivitas vital di kampung telah merobek ruang kebisuan yang diciptakan secara sistematis oleh budaya. "Dulu, kalau ada rapat di rumah ketua adat, yang boleh bicara hanya laki-laki, sekarang rapat di rumah gendang tentang air, perempuan yang memimpin, mereka bicara lantang."
Proses ini membedakannya dengan proyek air bersih yang gagal sebelumnya karena tak ada organisasi pengelola air. OPA tak hanya mengurus soal teknis, tetapi juga berperan dalam perubahan perilaku. OPA juga menyentuh soal krusial lain, seperti kesehatan ibu dan anak, gizi anak dan partisipasi perempuan. "Melalui OPA, perempuan memperlihatkan potensinya sebagai agen perubahan," kata Ela.
Air bersih menggerakkan warga petani yang mau mendapatkan air bersih harus aktif daam kegiatan lumbung pangan, lumbung padi, dan lumbung kebun, yang digagas Yakines bersama organisasi internasional untuk pemberdayaan petani miskin. Mereka kembali menghidupkan budaya melindungi mata air dengan menanam pohon pengikat air dan wajib tanaman pangan dengan benih lokal.
"kalau dulu upacara seperti ini dipimpin laki-laki dan hanya laki-laki yang boleh ikut, sekarang masih dipimpin laki-laki, tetapi perempuan ikut disitu," ujar Ela.

Sempat patah

Strategi pemberdayaan yang ia lakukan lahir dari pengalaman panjang yang juga menempa Ela menjadi sosok kuat dan tak mudah kompromi. Begitu lulus kuliah, Ela yang lahir dan tumbuh di lingkungan petani di Flores Timur langsung bekerja di yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan petani.
Sebagai calon pegawai, Ela diuji dengan melakukan survei masyarakat di Tana Ai Sikka, Flores Timur. "Yang menguji saya para petani di situ," ungkapnya.
Ia menempuh masa percobaan sembilan bulan sebelum menjadi petugas lapangan untuk pemberdayaan petani di Sumba Timur.
Tak hanya lahan kering kerontang dan tranpsortasi yang sangat sulit, tetapi waktu itu juga ada isu SARA. Warga disitu kan memeluk agama lokal," kenangnya.
Saat itulah Ela muda merasa sangat patah. "Saya ingin pulang, daripada hidup susah di situ. Jarak rumah ke rumah antaara 5 sampai 6 kilometer. Saya berjalan sendiri membawa linggis dan menjinjing benih tanamaan terasering untuk konservasi. Kalau lapar, ada mangga muda di tengah padang, itu yang dimakan, kalau haus, cari air disungai, dibersihkan pakai daun, langsung diminum,"
Ia juga pernah diusir, " Mereka bilang kami hidup di belakang ekor ternak, kau di Flores hidup dibawah pohon kopi. Kalau kau mau kerja, kerjalah sendiri,"padahal, soal kerja bersama itu sudah disepakati di gereja.
Ela pergi membawa benih dan linggisnya mencari petani yang mau bekerja bersamanya. "Akhirnya ada juga yang mau. Setelah memetik hasilnya, satu kampung ikut, saya mulai melakukan pemberdayaan pada perempuan,"
Ia terus bekerja saat hamil, sampai sehari sebelum melahirkan, supaya bisa mengambil cuti tiga bulan. bayinya yang masih menyusui ikut keliling bersamanya sambl memikul benih. "Waktu usianya 10 bulan, anak saya pernah jatuh, rupanya masuk kelubang besar di rumah panggung kami,"enang ibu dua anak ini. "Saya cari tidak ketemu , ternyata ia ada di kandang babi dibawah rumah panggung, sekarang ia punya perhatian besar keepada orang susah. Ia selalu mengingatkan, hidup harus berbagi, tidak boleh menang sendiri. tampaknya pengalaman masa kecil itu sangat memengaruhi dia."

Proses panjang

Ela meninggalkan yayasan itu tahun 1999 sebagai supervisor kegiatan wanatani dan Kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam untuk pertanian berkelanjutan dan organisasi kelompok tani di Sumba Timur.
Pengalaman sulit selama tujuh tahun membuatnya dikenal sebagai penyuluh pertanian hutan (agroforestry) dan fasilitator partisipatory rural appraisal (PRA) yang andal, membuatnya sempat menjadi konsultan lembaga internasional bidang pemberdayaan masyarakat desa.
Sampai hari ini Ela tak lelah bekerja di lapangan. Ia sadar, kerja pemberdayaan masih sangat panjang karena upaya kemajuan selalu berhadapan dengan segala upaya untuk menariknya kebelakang. Relasi-relasi kuasa selalu menjadi wilayah ketegangan.
Pemahaman itulah yang menyebabkan ela tak enggan beradu argumentasi dengan siapa saja, termasuk penguasa, khususnya dalam soal aktivitas pertambangan yang masif.
"Kita bekerja menyelamatkan mata air tak hanya untuk pertanian, terutama untuk menyelamatkan kehidupan. Sementara aktivitas pertambangan yang masif menghancurkan mata air. Ini bagaimana?"

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 27 AGUSTUS 2010

Rabu, 25 Agustus 2010

Penyelamat Hutan di Lereng Wilis

Penjarahan kayu tahun 1998 membuahkan puluhan hektar lahan kritis di kawasan lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ini menjadi sumber bencana banjir dan longsor serta matinya sumber air dan sumber ekonomi masyarakat. Namun, berkat kerja keras Sutaji, bencana berhasil dihalau dan hutan pun kembali menghijau.

SUTAJI

Lahir : 15 Oktober 1960
Istri : Darsih (45)
Anak : Eny Sumarti (24), Yogi Subroto (15)
Penghargaan :
- Terbaik I Penyelamat Lingkungan Provinsi Jatim tahun 2010
- Terbaik I Penyelamat Lingkungan Kabupaten Nganjuk
- Juara harapan I Nasional Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat tahun 2009
Pencapaian :
- Penyuluh Kehutanan Swadaya Mayarakat, 2004-kini
- Ketua Forum Peduli Lingkungan Kabupaten Nganjuk, 2002-kini
- Anggota Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Brantas
- Ketua Kelompok Tani Sidodadi, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk

Oleh RUNIK SRI ASTUTI

Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, sedikitnya 61 hektar kawasan hutan yang gundul akibat euforia kebablasan para penebang pohon di kawasan hutan lindung ataupun hutan produktif telah menjadi rimbun kembali. Bahkan, puluhan hektar tanah tegalan dan pekarangan disulap menjadi lahan produktif konservasi yang berfungsi sebagai penyangga keberadaan hutan.
Kemakmuran pun terlimpah tidak saja bagi masyarakat di sekitar hutan, tetapi mengalir jauh hingga radius ratusan kilometer menyusur aliran Sungai Widas dan bermuara pada Sungai Brantas. Ini melintasi separuh wilayah Provinsi Jawa Timur.
Lebih dari 40 sumber mata air dihaasilkan dari kegiatan penyelamatan hutan itu. Air dari mata air tersebut bisa mengairi ribuan hektar sawah di sekitarnya. Sumber mata air itu juga menghasilkan pesona wisata air merambat Roro Kuning yang keindahannya memikat wisatawan.
Upaya penyelamatan lingkungan itu dimulai oleh petani dari Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar itu. Tanpa bantuan dan hanya berbekal sedikit ilmu pengetahuan, ia berupaya menghentikan kegiatan perambahan hutan.
Sutaji harus berhadapan langsung dengan perambah hutan yang tak lain tetangga dan saudaranya sendiri. Dimata Sutaji, warga hanya korban dari iming-iming uang dan pekerjaan yang dijanjikan oleh bos kayu dari luar kota.

Memberi contoh

Sutaji sedih ketika membayangkan bagaimana warga desa jika kawasan hutan telah habis dibabat? Tak hanya pekerjaan yang hilang, lingkungan tempat tinggal mereka yang berbatasan langsung dengan hutan pasti juga hancur akibat banjir atau tebing yang longsor.
Karena keprihatinan itulah, anak petani desa ini bergerilya dari satu orang ke orang lain, dari satu rumah ke rumah lain untuk mengampanyekan penghentian penebangan hutan dan mengoordinasi warga mengusir bos kayu yang hanya memanfaatkan tenaga dan kebodohan masyarakat untuk kepentingan sendiri.
Awalnya Sutaji, mendapat penolakan keras. Ia dicemooh. "Apa anakmu bisa dikasih makan kayu?" kata Sutaji menirukan ucapan pamannya sendiri.
Namun, dia tak menyerah. Ia justru tercambuk untuk berbicara pada setiap kesempatan, dari acara kumpul petani di sawah sampai pada pertemuan perangkat desa.
Hasilnya tidaklah mengecewakan. Lambat laun kesadaran warga mulai terbangun. Tanpa mau kehilangan momentum yang luarbiasa mengharukan itu, Sutaji langsung memberikan contoh dengan menanami kembali kawasan hutan yang gundul.
Petani yang kehidupannya sendiri kala itu masih susah, rela menyisihkan waktu, tenaga, dan biaya dengan menyediakan ribuan bibit tanaman untuk ditanam di hutan. Ada pohon jati, sengon, mindi, cengkeh, trembesi, mangga, rambutan, dan avokad.
Pada 2000, Sutaji sempat meminta bantuan bibit kepada Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan, namun, permintaannya ditolak.
Ditengah perjalanannya menghijaukan kembali kawasan hutan, tidak semua tanaman yang ditanam Sutaji tumbuh maksimal. Beberapa diantaranya bahkan mati. ia pun kemudian menyadari bahwa butuh pengetahuan tentang tanaman yang cocok untuk kawasan hutan yang masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Kediri itu.

Tingkatkan kesejahteraan

Ketua Kelompok Tani Sidodadi, Desa Bajulan, ini lantas melobi sejumlah instansi pemerintah agar diikutkan pelatihan mengenai tanaman. dari pelatihan itulah Sutaji mendapatkan pengetahuan tentang jenis tanaman dan cara bercocok tanam di kawasan hutan.
Sutaji lalu mengajak petani membuat sistem persawahan terasering di lereng-lereng pegunungan yang curam untuk menahan aliran air yang sangat deras pada musim hujan.
Setelah menyelamatkan hutan, ayah dari dua anak ini kemudian berpikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang tidak memiliki lahan pertanian produktif. Caranya, antara lain, dengan memanfaatkan hutan untuk pertanian, tanpa mengubah, apalagi merusak fungsi hutan itu sendiri.
Misalnya, menanam yanaman perkebunan yang bernilai ekonomis dibawah tegakan tanaman inti. Mereka harus cermat memilih jenis tanaman karena tidak semuanya bisa berkembang di bawah paparan sinar matahari yang kurang dari 100 persen.
Sejauh ini yang sudah menghasilkan adalahtanaman kopi, kakao, umbi porang, dan pohon atsiri. Hasil tanaman perkebunan itulah yang diambil masyarakat untuk menghidupi keluargamereka. Sedangkan hasil tanaman hutan menjadi milik Perum Perhutani.
Selain bertani, sebagian masyarakat juga mendapat nilai tambah keekonomian dari kawasan wisata Roro Kuning yang mengandalkan pesona hutan dan air terjunnya. ada yang menjadi penjaga loket, pedagang kaki lima, dan petugas pengelola lainnya.
Terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat telah mencegah eksodus generasi muda mencari pekerjaan kekota besar, bahkan ke luar negeri. Kesejahteraan masyarakat pun meningkat, di mana salah satu indikatornya dilihat dari kondisi rumah dan taraf pendidikan anak-anak.
Seperti halnya kelestarian hutan yang perlu dijaga, semangat untuk melestarikan hutan juga perlu dipupuk dan diwariskan kepada generasi muda. Untuk masalah yang satu ini, Sutaji merintisnya melalui kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 26 AGUSTUS 2010

Senin, 23 Agustus 2010

Lulut Sri Yuliani dan Batik Mangrove

"Daunnya jangan dibuang," kata Lulut wanti-wanti kepada seorang pengunjung Pameran di Universitas Kristen Petra Surabaya, Jawa Timur, awal Oktober lalu. Beragam daun mangrove yang mulai kering itu tetap berguna. Lulut bisa menyulapnya menjadi pewarna batik.

LULUT SRI YULIANI

Lahir : Surabaya, 24 Juli 1965
Suami : Budiono Halim
Anak : Nadia Chrissanty Halim (10)
Pendidikan :
- SDN Karya Dharma II Surabaya, lulus 1976
- SMPN XII Surabaya, lulus 1980
- SPG Kristen Bersubsidi Pirngadi Surabaya, lulus 1983
- S-1 Bahasa Jawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Surabaya, lulus 1987
- S-2 Manajemen Sumber Daya Manusia Magister Manajemen STIE Mahardika, Surabaya,
lulus 2004

Oleh NINA SUSILO

Tidak hanya daunnya, hampir semua bagian dari berbagai jenis mangrove yang tumbuh di sekitar Kedung Baruk dan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, bisa dimanfaatkan Lulut. Bahkan, buah bogem (sonneratia caseolaris) yang patah sebelum matang dan tidak bisa dibuat sirup serta ampas buah yang sudah dioleh menjadi sirup pun masih bisa diproses. Sisa buah mangrove itu kemudian dia ramu dengan bahan-bahan lain menjadi sabun cair alami.
Lulut memang tidak bisa diam. mantan aktivis karang taruna itu juga mengajar tari dan kesenian di sekolah, mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas.
Baru setelah menikah dan pindah ke Wisma Kedung Asem Indah di Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut,pada tahun 1989 aktivitas menari dia kurangi ssampai benar-benar berhenti pada tahun 1996. Aktivitasnya bergeser, dia mengurus lingkungan.
"Rungkut waktu itu gersang sekali, jadi saya mulai saja dengan menghijaukan rumah sendiri," kata perempuan yang sejak kecil gemar memancing dan dekat dengan alam itu.
Penghijauan ditularkan ke tetangganya. jadilah Lulut senang membawa bibit tanaman kemana-mana. Ketika ada tetangga menginginkan, dia memberikannya. Ia pun menjadi kader sekaligus Ketua Forum Peduli Lingkungan Kecamatan Rungkut. Kegiatan kader lingkungan ini menghasilkan bakteri antagonis composting yang bisa menjadi pupuk cair, mempercepat pengomposan, dan menghilangkan bau bangkai.

Sirvega dan batik seru

Lulut juga mencoba membuat sabun alami dari buah-buahan mangrove. Pelatihan yang diadakan pemerintah memberinya pengetahuan. Namun,resepnya tetap harus dicari dari berbagai referensi dan eksperimen.
Setelah setahun mencoba-coba, pada 2006 Lulut dan kaader lingkungan sekitarnya mulai memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujuba, lidah buaya, dan lerak. Adapun buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) diolah menjadi sabun untuk mencuci piring, cuci tangan, mencuci kendaraan, dan sampo.
Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.
Tahun ini Lulut mendesain pakem batik mangrove. Sebanyak 44 desain seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya (seru) dia siapkan. Semua mengambil bentuk beragam mangrove, mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta mahluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Setiap motif dilengkapi nama jenis mangrove yang spesifik, baik dalam nama latin maupun nama daerah dan motif tambahannya.
Motif tanjang putih, misalnua, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif pohon lengkap, dari akar, daun, dan tunas yang menjulur, menjadi motif utama dikelilingi jajaran bunga. Motif Bruguiera cylinelrica ini berselang seling dengan motif bunga Rhizophoraceae.
Motif mange kasihan beda lagi. Gambar utamanya adalah tumbuhan mange kasihan (Aegicera floridum) dikelilingi hiasan bunga Myrsinaceae. Selain itu gambar kepiting, ikan, dan udang memberi nuansa pesisiran pada motif itu.
Supaya sesuai karakter Suroboyoan yang apa adanya dan terbuka, teknik membatiknya pun tak selalu menggunakan canting. Sebagian dilukis dengan kuas. Maka, batik mangrove Lulut terlihat bergaris lebih tebal dan kuat.
Pewarnanya dia buat sendiri dari berbagai bagian mangrove, ditambah bahan lain. Warna merah, misalnya, dibuat dari caping bunga dan buah bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, ia menggunakan getah nyamplung, kunyit, dan batu gambir. Ketika bahan-bahan pewarna alami itu mulai mengendap, Lulut akan mengolahnya lagi supaya bisa digunakan kembali.
Selain menggunakan pewarna alam, batik mangrove yang diciptakan Lulut bersama perajin di Kedung baruk sejak Juli 2009 bisa dikatakan eksklusif. Sebab, setiap perajin mengatur komposisi desain sendiri. Lulut hanya menyiapkan pakemnya.
"Saya ingin setiap karya itu orisinal, dan mengajarkan supaya ibu-ibu perajin tak menjiplak," kata Lulut.
Ketika mengajar menggambar, dia kerap mendapati gambar seragam, seperti pemandangan dengan dua gunung, matahari, dan sawah, atau gambar seragam vas dengan dua tangkai bunga.
Perkumpulan perajin batik mangrove yang berpusat di tempat tinggal Lulut, Wisma Kedung Asem Indah, diberi nama Griya Karya Tiara Kusuma. Maksudnya, dari rumah semua bisa berkarya mengharumkan nama bangsa dan memakmurkan keluarga.
Lulut sudah mendampingi ibu-ibu perajin di enam kelurahan di Rungkut. Di tiga kelurahan, yakni Kalirungkut, Wonorejo, dan Kedung Baruk terdapat 60 perajin batik. Jika perajin di Kedung Baruk menggunakan pewarna alam, perajin di dua kelurahan lain menggunakan pewarna kimia.
Proses pembuatan batik dengan pewarna kimia sedikit lebih mudah, hanya memakan waktu seminggu untuk selembar batik. Sebaliknya, pembuatan selembar batik dengan warna alam memerlukan waktu sebulan.
Batik mangrove adalah salah satu batik khas Surabaya. Sebelumnya dikenal batik bermotif Sawunggaling dadn Suroboyo. Untuk mengenalkan batik mangrove yang diciptakannya, Lulut mengikuti pameran, baik di Surabaya, Jakarta, maupun di luar negeri. Dia selalu siap membawa contoh kain batik mangrove, sabun sirvega, dan contoh buah, daun, dan bunga beragam jenis mengrove.
satu-satunya kendala dalam pengembangan batik mengrove adalah permodalan. untuk membuat contoh batik dari 44 motif itu,Lulut memerlukan dana sekitar Rp.40 juta.
Dari sisi perajin, dia mengatakan relatif tak ada masalah. Rencananya, tambah Lulut yang sejak tahun 2009 menjadi pendamping Usaha Kecil Menengah Dinas Tenaga Kerja Surabaya, akan kembali dilangsungkan pelatihan membatik kepada lebih banyak ibu di Kedung baruk. Dengan demikian semakin banyak orang yang bisa membuat lingkungan terjaga dan rumah tangga bisa makin sejahtera.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 5 NOVEMBER 2009

Rabu, 18 Agustus 2010

Ningsih dan Pendidikan Baca-Tulis

"Bila ada umur panjang, izinkanlah aku berbagi makanan. Bila ada umur panjang, izinkanlah aku berbagi pakaian. Bila saat ini dipandang hina karena keadaanku, izinkanlah suatu saat aku mempunyai sekolah."

PRAPTI WAHYUNINGSIH

Lahir : Solo, 26 januari 1978
Orangtua : Sastro Mulyamto dan Sukinem
Pendidikan : Sekolah Dasar
Organisasi :
- Perintis Sarikat Hijau Indonesia, 2007
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2007
Penghargaan : A Tribute to Woman 2010 dari Plaza Semanggi, Village Mall, dan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara

Oleh CORNELIUS HELMY

Doa itulah yang disampaikan Prapti Wahyuningsih pada malam Idul Fitri puluhan tahun yang lalu. Doa kala lapar karena tak punya uang ternyata memberikan kekuatan dalam perjalanan hidupnya. Setelah berdoa, mendadak rasa laparnya hilang. Bahkan, ia bersemangat menjalani pekerjaannya sebagai buruh, ibunyapun mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak-anak tetangga.
"Tuhan mungkin ingin agar kami tidak menyerah, mungkin ada hal lain yang Dia inginkan untuk kami lakukan," ujar Ningsih, panggilannya.
Tahun berganti, perjalanan hidupnya tak berubah. Pangkat tertinggi sebagai buruh hanya pengawas keuangan. namun, karena melihat banyak ketidak adilan terhadap buruh dan mulai berkenalan dengan organisasi buruh, ia lantas bergabung dengan salah satu organisasi buruh.
"Saya mulai banyak membaca berbagai macam buku. Entah mengapa, saya mudah menangkap isi buku tentang buruh. Mungkin karena saya adalah salah satunya," kata Ningsih yang menjadi buruh sejak berusia 11 tahun.
Tahun 1999 ia berhenti bekerja dan memilih konsentrasi berjuang untuk masyarakat miskin. Ia merintis Sanggar Budaya Anak Indonesia (Sang Budi) yang mengajarkan bernyanyi dan membaca anak di sekitar tempat tinggalnya.
Hasil dari banyak membaca buku, ia yakin pendidikan itu amunisi utama yang harus dimiliki kaum miskin di Indonesia. Tanpa pendidikan, mereka terus tertindas.
"Saya teringat doa saya ketika ingin membuka sekolah. dalam bayangan saya, sekolah adalah tempat berbagi ilmu dan pengetahuan antar manusia, bukan sekedar gedung.

Sekolah hijau

Ningsih lalu berkelana. Pengalaman pertamanya terjadi di Cibenda, Ciampel, Karawang, tahun 2002. Desa itu terletak di tengah pabrik-pabrik besar. Malam hari saat cerobong asap tak berhenti membuat polusi, kampung gelap dan sunyi.
Idenya membuat sekolah muncul saat melihat petani ditipu bandar dalam jual beli jagung. Bandar mengklaim hasil timbangan lebih ringan daripada seharusnya. Tak ada protes dari petani karena ia tak bisa baca tulis.
Namun, ia ditertawakan warga saat mengusulkan membuat sekolah. dia lalu mengajari anak-anak. "Tempatnya berpindah-pindah, di tepi sungai atau lapangan. tadinya hanya seorang anak yang mau belajar, baru diikuti belasan anak lainnya," ujarnya.
Usaha Ningsih membuahkan hasil. Beberapa hari kemudian saat ada lagi petani ditipu, anak didiknya mengatakan bahwa timbangan itu salah. Untuk pertama kalinya sang bandar ketahuan "belangnya"
Tempat kedua Ningsih adalah Desa Tapos, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, pada 2003. Di sinianak-anak hanya mendapatkan pendidikan agama. Mereka fasih berbahasa Arab, tapi kurang paham bahasa Indonesia.
Saat ia bertanya siapa yang pernah ke Kota Bogor, hanya sedikit anak yang mengacungkan tangan. Saat dia tanya siapa yang pernah ke Jawa Barat dan Indonesia? Justru tak ada seorangpun yang mengangkat tangan.
"Itu artinya, pendidikan belum dinikmati semua anak Indonesia. Saya lalu mengajar baca tulis dan menyanyi seperti di Sang Budi," ujar Ningsih yang menolak beasiswa pendidikan tinggi di luar negeri dari salah satu perusahaan karena perbedaan prinsip.
Sempat pulang ke Solo untuk merawat orangtuanya yang sakit, tahun 2007 Ningsih pergi ke Bandung. Ia bergabung dengan dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menggarap isu masyarakat dan lingkungan.
Tinggal di kota besar membuatnya akrab dengan sampah plastik. Ia membuat warung kepercayaan, dimana masyarakat bebas mengambil, membayar, bahkan memasak sendiri. Cara itu ternyata meringankan orang-orang di sekitarnya. Namun, sampah plastik muncul menjadi masalah.
Berbekal keterampilan menganyam daun kelapa saat kanak-kanak, ia mengolah sampah plastik menjadi kerajinan pedang-pedangan hingga dompet. Ia lalu menularkan keterampilannya itu kepada warga yang mau belajar.
dengan pinjaman uang dari Suster Irene OSU dari Santa Angela, ia menyewa rumah di daerah Cigending, Ujungberung, bandung. Disini ia kembali memperkenalkan produk berbahan baku sampah plastik. hasilnya banyak ibu rumah tangga yang mau belajar membuat produk serupa. Di sinilah konsep sekolah hijau benar-benar ia terapkan.
"Sekolahnya tidak formal. Saya fokus pada pengolahan sampah dan pemahaman pola hidup sehat, seperti tidak menggunakan penyedap rasa buatan. Warga juga merintis taman kanak-kanak yang pengajarnya pun warga yang bisa baca tulis," kata Ningsih yang ikut mendirikan organisasi Sarikat Hijau Indonesia.

Zakat sampah

Ningsih kemudian membuat program zakat sampah. Di sini sampah plastik rumah tangga dikumpulkan, lalu dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga ramah lingkungan. Cara ini berhasil membesarkan sekolah hijau.
Awal 2010 Ningsih meninggalkan Cigending karena ingin warga bisa mengelola secara mandiri program sekolah hijau yang telah dirintisnya. Ia ingin mengembangkan sekolah hijau di banyak tempat lain.
"Saya sempat sedih karena dianggap tak bertanggung jawab. Namun, saya juga bahagia karena warga mau meneruskan konsep sekolah hijau itu. Ini berarti semangat sekolah hijau sudah tertanam," ujarnya.
Maka, sejak Maret 2010, Ningsih berada di Kampung Cikasimukan, Desa Mandala Mekar, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Ia melakukan pendekatan yang sama, yakni lewat zakat sampah. Di sinipun upayanya relatif berhasil, warga secara mandiri mendirikan taman kanak-kanak.
"Berbagi itu rupanya sudah menjadi hal langka," kata Ningsih yang mengaku hidup dari bantuan masyarakat. Buktinya, apapun yang yang ia tawarkan kepada warga relatif mendapat sambutan hangat.
Setelah usahanya membuat semakin banyak orang bisa baca tulis relatif berhasil, Ningsih sering diminta oleh berbagai pihak untuk berbagi ilmu. Ia pernah didaulat menjadi guru tamu yang mengajarkan tentang wirausaha dan lingkungan di hampir semua kota dan kabupaten se Jawa Barat.
Pada peringatan Hari Kartini, 21 April lalu, Ningsih menjadi salah satu penghargaan A Tribute to Woman 2010 dari Plaza Semanggi, Village Mall, dan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Ia dianggap mampu mengubah hal kecil menjadi bermakna bagi masyarakat.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 AGUSTUS 2010.

Selasa, 17 Agustus 2010

Munaldus, Koperasi untuk Pendidikan

Cara berpikir yang keliru telah memicu terjadinya kemiskinan di wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Dengan mengubah cara berpikir, masyarakat bisa keluar sendiri dari kubangan kemiskinannya.

MUNALDUS

Lahir : Sekadau Hilir, 12 Maret 1963
Istri : Ropina Herlina (43)
Anak :
1. Yohana (19)
2. Paulus Ohiong (16)
3. Carolus Peros (9)
4. Yohanes Teren
Aktivitas "
- Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura
- Ketua Credit Union Keling Kumang
- Ketua Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa, yang beranggotakan sembilan credit union
- Pengurus Dewan Koperasi Indonesia Wilayah kalimantan Barat

Oleh AGUSTINUS HANDOKO

Munaldus (47) merasakan betul bagaimana cara berpikir yang keliru itu telah membenamkan masyarakat kampungnya di jurang kemiskinan yang amat dalam.
"Ketika masih kecil, kami baru bisa bersekolah setelah sore hari. Pagi hingga siang kami harus membantu orangtua menyadap karet supaya kami yang sembilan bersaudara itu bisa sekolah dan makan," kata Munaldus, salah seorang perintis Credit Union Pancur Kasih dan Credit Union Keling Kumang, Kalimantan Barat, itu.
Tahun 1970-an, kondisi Kampung Tapang Sambas, Desa Tapang Semaduk, Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, tempat Munaldus lahir dan dibesarkan, sangat memprihatinkan. "Perekonomian masyarakat tidak bisa maju karena infrastruktur jalan sangat buruk. Warga tidak memiliki daya tawar di depan penampung karet," kata Munaldus.
Pada zaman itu, kebanyakan masyarakat Tapang Semaduk lebih memlilih barter getah karet dengan bahan makanan. Pasalnya, penampung getah karet selalu mengatakan,persediaan uang sedikit karena jalan rusak dan sudah dibelanjakan untuk bahan makanan.
Jika tetap ingin mendapatkan uang, harga karet jauh lebih rendah. uang yang di dapatpun hanya cukup untuk makan. Pendidikan lalu tidak menjadi prioritas.
Beruntung, Munaldus dan saudara-saudaranya di didik orangtua mereka untuk tak cepat menyerah. "Kami tetap bersekolah semampu kami, apa pun caranya," katanya.
Setelah lulus SD, Munaldus menerukan ke SMP di ibukota kecamatan yang berjarak 30 kilometer dengan waktu tempuh enam jam berjalan kaki.
"Saya tinggal di asrama. Kalau terlambat membayar uang asrama, tidak akan mendapat jatah makan sehingga sering saya izin empat hari untuk pulang, bekerja menyadap getah," ujarnya.

"Credit union"

Lulus SMA I Sintang, Munaldus melanjutkan kuliah di Program Studi Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Pontianak. Setelah lulus dan menjadi sarjana pertama di Kampung Tapang Sambas, ia mengajar di sebuah SMA, sebelum diangkat menjadi dosen di Universitas Tanjungpura.
"tahun 1984 setelah llulus kuliah, saya mendapat informasi mengenai lembaga keuangan bernama credit union atau koperasi kredit. Kami lalu membentuk Credit Union Khatulistiwa Bhakti sebagai laboratorium belajar lembaga keuangan," katanya.
Tahun 1987 Munaldus turut merintis mendirikan Credit Union Pancur Kasih. Setelah matang dengan konsep berlembaga di Pancur Kasih, ia dan dua saudara kandung serta empat orang lain mendirikan Credit Union Keling Kumang, khusus untuk warga Kampung Tapang Sambas dan Tapang Kembayan.
Pertimbangannya, warga kampung yang miskin mestinya berdaya jika mendapat kesempatan mengubah pola pikir , credit union adalah lembaga keuangan yang mengutamakan watak anggotanya. Keling Kumang pun didirikan dengal modal kepercayaan antaranggota. Prinsipnya, dana "dari-oleh-dan untuk" anggota.
Waktu didirikan ada 26 anggota CU Keling Kumang dengan modal awal Rp.260.000," kata Munaldus. awalnya lembaga itu memprioritaskan pinjaman untuk pendidikan. "Kami yakin, hanya dengan pendidikan yang tinggi, kami akan diperhitungkan," ujarnya.

Gairah sekolah

Dalam waktu kurang dari setahun, Keling Kumang menjadi bahan pembicaraan masyarakat pedalaman di Sekedau karena hampir semua warga dua kampung itu menjadi anggota dan mendapatkan kemudahan meminjam.
Dampak perubahan pola pikir itu, menurut Munaldus, luar biasa. banyak warga bergairah menyekolahkan anak-anaknya. Mereka juga mengembangkan sektor-sektor produktif untuk menopang ekonomi keluarga.
"kami terus menanamkan prinsip yang harus ddipegang anggota, yakni pendidikan, swadaya, dan solidaritas," kata Munaldus.
Jumlah anggota Keling Kumang makin banyak karena bunga pinjaman relatif kecil, yakni 2 persen menurun atau rata-rata 13 persen per tahun. Untuk pinjaman pendidikan bahkan hanya 1 persen menurun. Adapun bunga tabungan, mulai dari 3 persen hingga 10 persen per tahun. Anggota juga makin banyak karena ada produk simpanan untuk bantuan kesehatan.
Tahun ini, anggota CU Keling Kumang tercatat sebanyak 91.100 orang.Sebagian dari mereka tersebar di lima kabupaten pedalaman Kalimantan Barat, yakni Sekadau, Sanggau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu. Dana yang terkumpul mencapai Rp.435 miliar, dan sebagian besar terdistribusi untuk pinjaman pendidikan dan keperluan produktif.
Di kampung asal CU Keling Kumang itu lahir, sebagian besar anak-anak mengenyam pendidikan hingga lulus sarjana. Generasi inilah yang lalu menggerakkan sektor-sektor produktif dan membuat perkampungan lebih hidup dari sisi ekonomi.
Keberhasilan itu, kata Munaldus, tak lepas dari budaya menabung di koperasi kredit. "Membiasakan budaya menabung itu dampaknya dahsyat. saudara-saudara sekampung yang dulu hidup miskin, kini hidupnya relatif lebih sejahtera karena bisa menabung. Mereka setiap saat bisa menarik pinjaman untuk keperluan sekolah atau keperluan produktif lainnya," kata Munaldus.
Untuk memudahkan orangtua yang hendak mengirimkan uang ke Kota Pontianak bagi anak-anaknya yang sedang menempuh pendidikan, CU Keling Kumang memelopori cara pengiriman yang cepat.
"Kalau harus membawa uang itu ke Pontianak, waktunya bisa setengah hari dan ongkosnya mahal. Mereka hanya perlu membawa uang ke kantor pelayanan di kampung dan lima menit kemudian anaknya bisa mencairkan di tempat pelayanan di Kota Pontianak," kata Munaldus.
Pertengahan Juli lalu, CU Keling Kumang mendapat penghargaan dari Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sebagai koperasi terbaik dalam sektor simpan-pinjam.
"Ini menjadi bukti bahwa kalangan warga tidak mampu tetap bisa berdaya kalau bersatu dan saling tolong menolong," ujar Munaldus.
Untuk tetap menjaga kepercayaan itu, CU Keling Kumang melarang para pengurusnya menjadi pengurus partai politik. Munaldus pun seirama, dia menolak semua tawaran untuk terlibat politik praktis.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 AGUSTUS 2010