Selasa, 15 Maret 2011

Nurul, Semangat untuk Anak-anak Gunung


BIODATA

Nama : Nurul Karimah
Lahir : Parakan, kabupaten Temanggung, 30 Juni 1963
Suami : M As'adi
Anak :
- Kharizal Alam (25)
- Sofani Sofa (20)
- Mifta Abida (14)
Pendidikan :
- SD Negeri Parakan 05
- SMP Al Iman Parakan
- SMA Negeri 1 Temanggung
- Pendidikan Guru Sekolah Menengah Pertama Magelang
- D-3 Universitas Terbuka Wonosobo
- Sarjana Matematika dari IKIP Semarang

Sakit hati tak selalu berbuah dendam yang mencelakakan orang lain. Sebaliknya Nurul Karimah justru melecut energi positif untuk mendirikan komunitas belajar, layanan pendidikan gratis bagi anak-anak putus sekolah di lereng Gunung Sumbing, Dusun Kemloko, Desa Kemloko, Kecamatan Temanggung, Jawa Tengah.

Oleh REGINA RUKMORINI

Komunitas Belajar Cendekia Mandiri didirikan Yayasan Cendekia Mandiri yang diketuai Nurul. Setiap hari mereka menyelenggarakan kegiatan belajar bagi anak-anak yang tak lulus SD atau tak mampu merampungkan SMP. Lokasinya di bekas gudang tembakau, di rumah Mbah Dawam, seorang warga.
Pendirian komunitas belajar itu dilatarbelakangi pengalaman pribadinya. Sebagai anak pertama dari 10 bersaudara keluarga petani, dia sempat hampir tak bisa belajar di SMA karena tak ada biaya. Nurul memenuhi biaya sekolah dengan bekerja di salon dan membuat kue. Upaya ini terus dia lakukan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Kendati berhasil mencapai apa yang dicita-citakan, rasa khawatir saat dirinya terancam putus sekolah gara-gara tak ada biaya menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Bahkan saat Nurul telah menjadi guru Matematika di SMP 5 Temanggung, kenangan itu muncul kembali saat dia melihat banyak anak didiknya mengalami nasib serupa dirinya, terancam putus sekolah karena tak ada biaya.
"Saya yakin, mereka merasakan sakit hati yang sama seperti saya dulu," ujarnya.
Melihat kenyataan tersebut, hatinya tak tenang. Ia merasa harus membantu. Niat itu semakin kuat setelah melihat hasil penelitia Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Temanggung tahun 2005, yaitu angka partisipasi kasar (APK) di desa-desa di lereng gunung, anak-anak SD yang melanjutkan ke SMP sekitar 70 persen.
"Seorang teman bercerita, di suatu dusun di lereng Gunung Sumbing, dari 80 anak yang lulus SD, hanya 20 anak yang melanjutkan ke SMP," ujarnya.
Nurul mendiskusikan niat membantu anak-anak putus sekolah itu dengan rekan-rekannya alumni SMA Negeri 1 Temanggung. Gayung bersambut. Temannya, Sri Yudono dan Anif Punto Utomo mendukung niat itu. Mereka menggunakan rumah Mbah Dawam, kakek Sri Yudono, sebagai lokasi sekolah.
Nurul memilih lokasi di desa. Alasannya, "Kalau di pusat Kecamatan Temanggung, sekolah itu tak banyak berarti karena mayoritas masyarakat di perkotaan terbilang mampu dan terbuka akses buat bersekolah dimana saja. Lebih baik kami membantu di daerah terpencil, yang jumlah sekolahnya terbatas."

Berbagai latar belakang

Mereka lalu bekerja. Disediakanlah dua meja, dua white board, dan tiga komputer. agar memiliki dasar hukum, Nurul melaporkan pendirian komunitas belajar ini kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal serta kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Tembarak.
Untuk menarik murid, pembukaan komunitas pada 2007 itu diumumkan lewat Pemerintah Desa Kemloko. Dari target 20 murid, jumlah anak yang mendaftar mencapai 37 orang. Proses pembelajaran dimulai dengan melibatkan tujuh relawan, termasuk Nurul.
Proses memintarkan anak-anak gunung pun dimulai. Ini bukan tugas mudah karena para murid berasal dari berbagai latar belakang. "Selulus SD, ada murid yang langsung menjadi buruh tani, kuli bangunan, hingga pencuri kayu di hutan," ujarnya.
Maka, pada awal kegiatan belajar para murid sulit diatur. Mereka berpembawaan liar dan acap berkata-kata kasar. Nurul menyikapinya dengan memberi tambahan materi pendidikan budi pekerti, di luar mata pelajaran umum.
Kendala lain juga muncul dari luar komunitas. Pada tahun pertama berdiri Komunitas Belajar Cendekia Mandiri malah ditentang sebagian warga. Bahkan, sejumlah tokoh masyarakat curiga mereka mengajarkan aliran agama tertentu.
"Waktu itu kami sampai mendapat peringatan keras dan diminta angkat kaki dari Desa Kemloko," ujarnya.
Nurul mengatasinya dengan menguatkan ikatan diantara para murid. Dengan upaya ini, dia berharap anak-anak tetap bersemangat belajar bersama dan mampu memberi citra baik komunitas kepada masyarakat desa.

Minat belajar rendah

Ketika komunitas belajar sudah diterima warga, muncul tantangan lain. Ternyata minat belajar sebagian murid itu rendah. Ini mengakibatkan jumlah murid menyusut, hingga hanya "tersisa" 23 siswa. Jumlah siswa ini pun naik-turun seiring aktivitas musim tanam dan panen tembakau.
"Sekolah ini berada di lingkungkup petani tembakau sehingga kami harus memahami bahwa anak-anak itu diwajibkan membantu orangtua bertani tembakau," ujarnya.
Mengikuti ritme kesibukan bertani dan musim panen tembakau pada Agustus-September, jam belajar yang sebelumnya berlangsung setiap hari pun diubah menjadi sekali dalam seminggu.
Kurikulum yang dipakai mengacu pada kurikulum pendidikan luar sekolah, meskipun di luar kurikulum setiap anak bebas untuk memilih belajar apa saja, mulai dari melukis, menari, bernyanyi, atau mengutak-atik komputer. Semuanya gratis.
"Terkadang kami mengajak teman yang punya keahlian khusus untuk mengajar dan membagi ilmnya dengan anak-anak komunitas," ujarnya.
Dengan cara itu, tahun lalu anak-anak di Komunitas Belajar Cendekia Mandiri bisa membuat film indie didampingi seorang produser film indie dari Yogyakarta.
Dalam menyampaikan materi pelajaran pun, pengajar menempatkan diri setara dengan para murid. "Anak-anak bebas bertanya, protes, atau berdialog dengan pengajar tanpa harus memanggil dengan embel-embel mas, mbak, pak, atau bu."
Untuk mendukung biaya operasional, Komunitas Belajar Cendekia Mandiri didukung dana yang relatif terbatas. Setiap bulan komunitas ini mendapat sumbangan Rp. 2 juta dari donatur dan lebih dari 50 persen di antaranya untuk honor para relawan.
Kendati sudah berhasil mendirikan satu komunitas belajar, Nurul masih berkeinginan mendirikan komunitaas serupa di berbagai desa di kawasan lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Dengan itu, dia berharap tidak ada lagi anak putus sekolah karena terkendala ketiadaan biaya.
"Putus sekolah karena kita tidak punya biaya itu sungguh menyakitkan hati," ucapnya serius.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 27 AGUSTUS 2009

Achmad Mikami Sumawijaya: Merevitalisasi Budaya Sunda Bogor



ACHMAD MIKAMI SUMAWIJAYA

Lahir : Jakarta, 11 Mei 1970
Istri : Aulia Dewi Hardjakusuma (33)
Pendidikan : Kuliah di sejumlah perguruan tinggi, tak tamat
Pekerjaan : Wiraswasta
Organisasi : Pupuhan Kampung Budaya Sindang Barang, Bogor

Sindang Barang di Kabupaten Bogor menjadi satu-satunya kampung budaya di Jawa Barat. Dari sinilah bergulir berbagai upaya merevitalisasi seni dan tradisi Sunda. Achmad Mikami Sumawijaya sebagai "pupuhu" atau tetua adat di kampung budaya itu menjadi salah seorang motor penggeraknya.

OLEH FX PUNIMAN

Sindang Barang terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Jaraknya 6-7 kilometer dari Kota Bogor. Udara di sekitar kampung itu masih terasa sejuk karena berada di kaki Gunung Salak. Gemericik air dari irigasi sawah di sekitar kampung membuat suasana lebih tenang.
Kampung itu memiliki beberpabangunan dari anyaman bambu di lahan seluas 8.600 meter persegi. Bangunan utama berupa imah gede (rumah besar untuk tetua adat) yang menghadap ke utara sehingga dari kejauhan tampak sebagiain lanskap Kota Bogor. Di depannya ada lapangan yang disebut alun-alun yang biasa digunakan untuk acara budaya.
Selain imah gede, di kampung itu ada pula imah girang serat (sekretaris pupuhu), saung talu (tempat berkesenian), leuit (lumbung padi),saung lisung (penumbuk padi), pesanggrahan, imah kokolot panengen (tetua yang menangani ritual keagamaan), serta imah kokolot pangiwa (menangani kesejahteraan).
"Tata letak bangunan di sini tidak ditentukan sembarangan. kami merekontruksinya dari Pantun Bogor," tutur Maki, panggilan Achmad Mikami.
Kami bertemu Maki di imah gede Kampung Budaya Sindang Barang pada suatu petang, awal Maret ini. Dia menyambut dengan senyum ramah, menampakkan behel (kawat gigi) yang merapatkan gigi-giginya, sambil duduk bersila di teras depan rumah panggung berlantai papan.
Maki antusias menjelaskan Pantun Bogor kuno yang merupakan pantun kuno yang menarasikan Bogor pada masa lalu, bahkan diyakini pula mengintip masa depan, laiknya ramalan Jayabaya dalam tradisi Jawa. pantun itu diterjemahkan oleh guru, rekan seperjuangannya sekaligus budayawan Sunda, almarhum Anis Djatisunda.
Kampung Budaya Sindang Barang memang baru dibangun awal 2007. Lahan kampung budaya itu menggunakan tanah keluarga Maki, sedangkan bangunannya hasil patungan antara Pemerintah Provinsi Jabar sebesar Rp.750 juta, Pemerintah Kabupaten Bogor Rp. 75 juta, serta kocek pribadi Maki sekitar Rp. 400 juta.
"Kami menyebutnya kampung budaya karena di sini adat tidak terlalu menonjol, tidak seperti di Kampung Adat Ciptagelar, Sukabumi. Namun, peninggalan budayanya ada di sini," tutur Maki.
Menurut dia, kegiatan kampung adat terfokus pada ritual adat, sedangkan kampung budaya lebih menekankan pada revitalisasi budaya, termasuk adat dan kesenian.

Wisata budaya

Kampung Budaya Sindang Barang banyak memperkenalkan budaya Sunda berikut tradisinya kepada anak-anak muda di Sindang Barang maupun luar Bogor. Pelajar yang berwisata ke lokasi itu selalu diperkenalkan pada budaya, situs peninggalan purbakala di sekitar kampung, memainkan mainan tradisional, bahkan bisa pula menginap di kampung budaya itu.
Uang yang terkumpul dari wisata budaya digunakan untuk biaya operasional kampung, termasuk guna menyelenggarakan tradisi seren taun (sedekah bumi) sebagai wujud terima kasih atas panen yang melimpah.
Sebelum mewujudkan kampung budaya, pada 2006 Maki bersama Anis lebih dulu menghidupkan seren taun yang lebih dari 30 tahun "lenyap" dari Sindang Barang. Tradisi seren taun terakhir dilaksanakan tahun 1970-an oleh kakek Maki, Etong Sumawijaya, yang menjadi kepala desa saat itu.
"Waktu itu masih diadakan di lapangan depan SDN 5 Pasir Eurih, tetapi sudah terpikir untuk menyelenggarakannya di kampung budaya," kata Maki.
Setelah seren taun, Maki dibantu Anis menggali kembali budaya parebut seeng di Sindang Barang. Parebut seeng (berebut dandang tembaga) merupakan bagian dari dari upacara lamaran.
Panglaga (pendekar) pembawa dandang mempelai laki-laki berhadapan dengan pendekar dari pihak perempuan yang hendak merebut dandang. Setelah berhasil direbut, dandang, simbolisasi laki-laki itu, ditaruh di hawu lemah (tungku tanah) sebagi simbol perempuan.
"Sekarang (di Sindang Barang) mulai ada lagi yang meyelenggarakan parebut seeng dalam acara pernikahan. Itu membahagiakan," tuturnya.
Sepak terjang Maki dalam mengembangkan budaya Sunda diakui sesepuh di Bogor. Eman Sulaeman (70), budayawan Bogor, mengaku kerepotan mencari anak-anak muda yang meu menggeluti dan merevitaalisasi budaya Sunda. Oleh karena itulah, ia menaruh harapan kepada Maki.

Menjual telepon genggam

Ketertarikan Maki untuk merevitalisasi budaya Sunda berawal dari ketidaksengajaan pada 2004. Ketika itu Maki tengah berada di Manado, Sulawesi Utara, untuk mengurus kerja sama dengan sebuah perusahaan teknologi informasi.
Saat menonton televisi di kamar hotel, dia melihat tayangan liputan gamelan Sunda dimainkan di New York, Amerika Serikat, oleh orang-orang asing. "Orang asing saja tertarik (dengan kesenian Sunda), masa anak muda Sunda tidak mau," tuturnya.
Sepulang dari Manado, Maki mendirikan Padepokan Giri Sundapura yang mengajarkan tari-tarian secara gratis kepada anak-anak muda di Sindang Barang.
Suatu ketika, cobaan sempat menghampirinya. Usaha bidang teknologi informasi yang digeluti Maki merugi. Sementara itu, rombongan padepokan yang berjumlah 40 orang harus pentas di Giri Jaya, Sukabumi.Saat itu, Maki sungguh sedang tak memiliki uang. Dia lalu menjual telepon genggamnya seharga Rp. 750.000. Uang itu digunakan untuk transportasi rombongan penampil.
Maki masih memiliki beberapa harapan yang belum tercapai. Dalam waktu dekat, ia berkeinginan menggelar pelatihan membatik dengan mengangkat motif setempat, seperti pakujajar atau lumbung padi. Dengan begitu, ia berharap tradisi membatik warga bisa tumbuh dan karya mereka setidaknya dapat diperdagangkan sebagai suvenir.
"Lewat cara ini, selain budaya bisa lestari, warga juga mendapat tambahan penghasilan," katanya.
Maki juga berniat menghidupkan kembali uyeg, semacam seni drama teater kuno. namun, upaya itu terhambat kematian Anis yang mendadak pada 24 Februari 2011.
Anis adalah sosok yang mengetahui tentang uyeg karena kelompok seninya pernah menampilkan uyeg. "Saya masih akan terus berupaya mencari orang yang bisa membantu kami mengangkat kembali uyeg," tuturnya bersemangat.
(FX PUNIMAN, Wartawan di Bogor)

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 16 MARET 2011

Senin, 14 Maret 2011

Muhammad Salim : Rujukan Aksara "Lontarak"


MUHAMMAD SALIM

Lahir : Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1936
Istri : Hj Djamiah (65)
Anak :
- Husnah Salim
- Nurdinah Salim
- Hamdan Salim
Kegiatan :
- Dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
- Peneliti di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
Lontarak yang disalin dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia antara lain :
- Sureq Galigo
- Lontarak Sidenreng
- Lontarak Soppeng/Luwu
- Budhistihara yang berisi nasihat keagamaan
- Pappaseng
- Lontarak Enrekang (dalam pengerjaan)

Muhammad Salim adalah bukti hidup bahwa penghargaan datang bukan karena gelar dan jabatan, tetapi karena karya berkelanjutan. Hampir sepanjang hidup ia menekuni "lontarak", naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Dia menghidupkan dan memaknainya kendati ini kerja sunyi tanpa banyak imbalan.

OLEH MARIA SERENADE SINURAT

Kami bertemu di yayasan Kebudayaan ulawesi Selatan, tempat Salim "bekerja" yang tak memberinya honor empat tahun terakhir. Dengan semua itu, ia bersetia mengawal pendokumentasian lontarak dari seluruh penjuru Sulsel.
Lontarak adalah kehidupan Salim. Aktivitas menyain lontarak ke huruf Latin (transliterasi) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia (translasi) ibarat menu hariannya. Dalam sehari ia menghabiskan dua hingga tiga jam untuk menyalin lontarak, termasuk Lontarak Enrekang, proyek yang baru ia mulai.
Meski demikian, yang membuat nama Salim diperhitungkan hingga mancanegara tentulah Sureq Galigo. Dia terpilih dalam proyek transliterasi dan terjemahan Sureq Galigo yang digagas Universitas Leiden, Belanda, tahun 1987. Ia mulai bekerja tahun 1988 dan membutuhkan waktu 5 tahun 2 bulan untuk menerjemahkan hikayat penciptaan peradaban manusia di Sulsel itu.
Naskah I La Galigo di Universitas Leiden memiliki tebal sekitar 6.000 halaman. Arung Pancana Toa-lah yang memberikan naskah ini kepada orang Belanda, BF Matthes. Naskah di Leiden termasuk kisah paling lengkap kendati belum sepenuhnya selesai. Sebenarnya masih banyak lontarak yang terserak dan belum ditemukan.
Tidak mudah menerjemahkan I La Galigo, karya sastra terpanjang yang berabad-abad "tertidur". Salim tak sekadar membaca teks, tetapi juga konteksnya. Galigo merupakan karya sastra yang khas dengan pola pengejaan lima-lima, seperti: i-la-ga-li-go dan sa-we-ri-ga-ding.
Melalui pergulatannya, Salim menemukan Sureq Galigo juga menggunakan bahasa Bugis klasik dan Sanskerta, contohnya pada Sangiangserri yang artinya Dewi Padi. "Dalam Sanskerta, dikenal Sang Hyang Sri, yang juga Dewi Padi."
Dalam penerjemahan, ia membutuhkan tiga kamus sekaligus, yakni bahasa Bugis-bahasa Belanda lama, bahasa Belanda lama- bahasa Melayu lama, dan bahasa Melayu lama-bahasa Indonesia.
Penerjemahan Galigo memang melelahkan. Ruang kerja di rumah panggungnya berupa bilik. Sejak pukul 08.30 hingga 17.00 ia menekuni aksara kuno. Di sebelah meja kerja, aada kasur untuk Salim beristirahat sewaktu-waktu.
Honor transliterasi kala itu 8 dollar AS per lembar. "uangnya saya pakai untuk beribadah haji. Saya tak suka beli barang," tuturnya.

Mendunia

Nama Salim ikut mendunia bersama "terbangunnya" I La Galigo. Mata dunia memandangnya seakan dia baru muncul. Padahal, jauh sebelumnya ia sudah tenggelam dalam dunia lontarak. Lahir dan besar di Pangkajene, Sidenreng Rappang, Sulsel, ia terbiasa membaca lontarak.
Pada masa lalu masyarakat menuliskan kisah dalam aksara lontarak. Apa pun bisa diceritakan; ilmu perbintangan, hubungan suami-istri, silsilah keluarga, pantangan, doa-doa, hingga nyanyian. Salim kecil belajar membaca lontarak dari neneknya.
Kemampuan ini terasah saat masuk pesantren di Allakuang, Sidenreng Rappang (Sidrap). Dia bergurukan KH Muhammad Yafie dan Muhammad Abduh Pabbajah. Murid-murid di sini terbiasa menerjemahkan Al Quran dalam bahasa Arab ke bahasa Bugis. Semuanya dituis dalam huruf lontarak.
Seperti telah digariskan, hidup Salim tak pernah jauh dari lontarak. Lulus Sekolah Guru Bawah (SGB), ia mengajar pelajaran bahasa Bugis di satu-satunya sekolah menengah pertama di Pangkajene selama delapan tahun.
Berselang setahun, ia menempuh pendidikan guru sekolah lanjutan jurusan Bahasa bugis di Makassar. Dia lalu ditarik ke kampung halaman, menjadi Kepala Dinas Kebudayaan Sidrap pada 1971.
Dengan posisinya itu, Salim kian gencar memopulerkan lontarak bagi pelajar. Ia mendorong penerbitan buku cerita rakyat dalam huruf lontarak untuk tingkat sekolah dasar dan buku nyanyian untuk tingkat SMP. Satu buku cerita bisa ditukar dengan satu liter beras atau satu kelapa bagi keluarga yang tak punya uang.
Tahun 1980, saat menjadi staf Dinas Permeuseuman, Sejarah, dan Kepurbakalaan Sulsel, ia berkesempatan menyelami naskah kuno. Ia lalu menggagas proyek pengumpulan lontarak. Ia menjelajahi seluruh kabupaten di Sulsel hingga Kabupaten Selayar "berburu" lontarak.
Proyek ini bertujuan mendokumentasikan lontarak di Sulsel dan menerjemahkannya. "Banyak sekali lontarak berisi pengetahuan yang bisa diterapkan sampai kini, seperti pengobatan dan pertanian," ujarnya.
Dari perburuan itu, Salim mengumpulkan lebih dari 100 lontarak. Semua tersimpan rapi di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Beberapa lontarak sudah disalin ke huruf Latin dan sejumlah kecil diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Namun, banyak yang tak diterbitkan karena kurangnya dana.
Harta karun sejarah ini lebih menarik minat peneliti asing. Bahkan I La Gligo pun diterjemahkan tanpa bantuan uang Pemerintah Indonesia.

Tanpa gelar

Salim menjadi rujukan siapa pun yang meneliti lontarak. Ia masih bersemangat bicara tentang lontarak. Ia percaya, pengetahuan juga digembleng karena pengalaman. Dia bukan profesor, tetapi kefasihannya memaknai lontarak membuatnya bertemu profesor asing. Mereka takjub melihat orang yang menghidupkan kembali epos Sawerigading adalah pria sederhana.
Dalam hati, Salim tetap merasa sebagai guru. Ia ingin menularkan ilmunya kepada banyak guru dan mahasiswa. Untuk itu dia mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dia juga bertahan di Yayasan Kebudayaan Sulsel. Padahal, bisa dikatakan yayasan ini bangkrut, tak ada uang dan peneliti. Beberapa buku penting terkait sejarah di kawasan timur Indonesia diambil alih Arsip Nasional.
yang tersisa dari yayasan adalah lontarak, pekerja berhonor kecil, dan Salim. Kendati demikian, yayasan ini telah menjadi "rumah" bagi Salim yang setia dengan Vespa tua-nya. hanya bila hujan deras saja dia urung datang. "Khawatir Vespanya mogok," kata pria bercucu tujuh dan bercicit satu ini.
Warisan Salim ialah penerjemahan I La Galigo, dan dunia patut berterima kasih kepadanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 15 MARET 2011

Minggu, 13 Maret 2011

ALBUM BARU : Artefak Baru The Beatles


THE BEATLES

John Lennon (1940-1980)
Paul McCartney
George Harrison (1943-2001)
Ringo Starr

Tanggal 9 September mendatang The Beatles merilis seluruh 13 album resmi yang untuk pertama kalinya di-remastered secara digital yang bertajuk The Beatles. Anda dapat menikmati mutu suara yang jauh lebih baik dibandingkan dengan mendengarkan album-album mereka versi piringan hitam yang mendesis atau yang versi CD yang dirilis tahun 1987 yang terlalu steril.

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY

Menurut seorang ahli sejarah The Beatles, Matt Hurwitz, penggemar pasti akan terpuaskan mendengarkan box set baru ini. "Mereka yang pendengarannya kurang sensitif dan yang terbiasa mendengarkan MP3, misalnya, akan menikmati kualitas suara yang drastis. Kita akan mendengarkan mutu rekaman yang paling dekat dengan versi stereo dan mono yang diproduksi tahun 1960-an," kata Hurwitz.
Seorang pakar The Beatles lainnya, martin Lewis, menyebutkan rilis ini mengakhiri sebuah penantian panjang. "Tak sedikit pencinta The Beatles merasa frustasi karena Apple, label mereka, bereaksi amat lambat terhadap tuntutan pasar. Untungnya box set ini disajikan secara pas, tidak terlalu mewah, seperti yang dirilis The Who atau Elvis Presley, misalnya," kata Lewis.
Untuk box set versi mono ada 10 album (dalam 12 CD) dalam bentuk replika CD yang berbentuk piringan hitam (PH), tetapi seukuran CD. Anda tak akan mendapatkan Yellow Submarine, Abbey Road, dan Let It Be karena ketiga album ini sudah tak direkam dalam versi mono lagi. Lagi pula, Apple tidak akan menjual box set mono ini secara terpisah (ketengan) karena nilai kolektabilitasnya yang tinggi.
"Ini langkah yang cerdik karena penggemar yang ingin mendengarkan versi mono pasti mau memiliki semua album. Versi mono ini untuk penggemar fanatik seperti saya yang ingin mendengarkan The Beatles seperti dulu. Kami belum punya pemutar PH stereo tahun 1963. itu sebabnya mereka merilis versi mono, kami akhirnya bisa menikmati kembali masa manis saat itu," tambah Hurwitz.
Salah satu contohnya, menurut Hurwitz yang sudah mendengarkan box set ini, bunyi cabikan bas Paul McCartney saat koda lagu "Sgt Pepper's Lonely Hearts Club Band (Reprise)", suara bas itu "terpendam" di versi PH karena sengaja ditekan untuk mencegah jarum pemutar meloncat-loncat. Di versi CD suara itu nyaris tak terdengar. Nah, di versi mono keaslian cabikan bas merek Hofner milik McCartney terdengar amat jelas.
Keaslian paket PH ketika dijual tahun 1960-an, seperti bungus dalam pelat atau aspek-aspek astristik lainnya, tetap dipertahankan. Khusus untuk versi mono ini dirilis pula edisi terbatas yang dinomori sampai 10.000 keping. Untuk box set versi stereo terdapat 13 album studio serta album Past Masters (1988) dan juga disajikan dalam bentuk replika CD. Dan, untuk kedua jenis box set tersebut ada bonus-bonus berupa dokumenter dalam bentuk multimedia yang dapat dimainkan di komputer anda.
Perjuangan pemindahan lagu-lagu The Beatles dalam format analog ke digital ini dimulai empat tahun lalu oleh sejumlah teknisi studio di Abbey Road. sekali pun pita-[ita master itu masih sempurna meski lem yang mengikat simpul-simpul pita sudah mengering sehingga segmen-segmen di dalam pita mulai terpisah. "Kami agak frustasi ketika mendengarkan pita rekam album 'Please Please Me', agak susah mengeditnya," ujar seorang teknisi, Guy Massey.
Setelah proses pemindahan selesai, para teknisi menghapus bunyi-bunyi yang mengganggu sehingga digital files bersih. "Beberapa teknisi berkeras bunyi-bunyi itu dipertahankan demi keaslian rekaman. Saya tak setuju. Bunyi-bunyi itu masuk ke pita karena kelemahan teknologi tahun 1960-an. kami bertugas memperbaikinya," kata teknisi lainnya, Allan Rouse. Misalnya, ada bunyi kursi berderit saat akhir nomor "A Day in the Life". "Jika teknologi saat itu sudah memadai, The Beatles pasti membuang bunyi yang mengganggu itu," lanjutnya.
Para yeknisi jarang memanfaatkan apa yang di dalam teknologi studio rekaman disebut limiting, yang bertujuan membuat volume akhir rekaman terdengar lebih keras. hanya lima dari 525 menit musik The Beatles yang volumenya terpaksa dibuat lunak (denoising technology). Artinya, penggemar bisa menikmati alunan suara yang lebih subtil, cerah, hangat, dan terinci.

Artefak dan bubar

Pasar mencium rekaman baru The Beatles ini akan laris manis seperti pisang goreng, setidaknya mengulang fenomena penjualan dan popularitas album Love yang dirilis Desember 2006. Love kumpulan montase lagu-lagu The Beatles yang dirangkai oleh produser legendaris mereka, George Martin, dan anaknya, Giles Martin. Love merupakan judul pertunjukan sirkus modern oleh Cirque du Soleil yang sukses besar saat dipentaskan tiap hari di Las Vegas, Amerika Serikat.
Love ternyata meroket ke urutan album pertama di Inggris. Dan, album The Beatles yang dirilis pada 9 September ini pasti mengulang sukses Love. Padahal bisinis musik global sedang mencapai titik nadir dalam 20 tahun terakhir. Label kehilangan keuntungan dan artis, penjualan CD terus turun akibat pembajakan dan digitalisasi ala iTunes, dan artis pun tinggal mengandalkan konser sebagai sumber penghasilan utama.
Hanya artis-artis teratas yang mengandalkan penjualan album dan, ironisnya, dua artis teratas tersebut sudah tidak berkarya lagi: Michael Jackson dan The Beatles. Sampai saat ini Jackson menjual lebih dari 750 juta keping (PH, CD, dan kaset), diikuti The Beatles yang lebih dari 300 juta keping. Bedanya, seperti diungkapkan jajak pendapat CNN belum lama ini, The Beatles lebih populer di berbagai tingkatan usia dibandingkan dengan Jackson.
The Beatles populer setidaknya di tiga generasi. Remaja tahun 1960-an dan 1970-an membeli PH The Beatles, anak-anak mereka yang lahir diatas tahun 1970-an menikmati musik The Beatles melalui format CD, cucu-cucu mereka yang lahir diatas tahun 1990-an memilih format iTunes. Semua membutuhkan artefak The Beatles untuk dinikmati, disimpan, an dikenang sampai akhir zaman. Artefak itulah yang tetap akan dikejar oleh generasi pertama dan kedua.
Dan, kharisma John Lennon, McCartney, George Harrison, serta Ringo Starr memang mendukung. Berbagai institusi selama puluhan tahun terakhir menobatkan Lennon sebagai vokalis dan duet Lennon/McCartney sebagai komposer/penulis lirik terbaik dalam sejarah musik. Jangan dilupakan juga, masing-masing mencatat prestasi lumayan sebagai artis solo sampai Lennon dan Harrison tutup usia dan sampai saat ini yang dilakukan McCartney sert Starr.
Ada 13 album resmi The Beatles selama berkarier: Please Please Me (1963), With The Beatles (1963), A Hard Day's Night (1964), Beatles For Sasle (1964), Help! (1965), Rubber Soul (1965), Reolver (1966), Sgt Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967), Magical Mystery Tour (1967), The Beatles (The White Album) (1968), Yellow Submarine (1969), Abbey Road (1969), dan Let It Be (1970). Ini belum termasuk kompilasi, single, EP (extended play) yang diterbitkan di mancanegara, dan bootlegs.
Secara musikal, The Beatles terbagi atas empat periode: periode poppish sampai album Rubber Soul, periode transisi ketika mereka memproduksi Revolver, periode psikedelik saat merilis Sgt Pepper's serta Magical, dan periode rock sejak The White Album sampai Let It Be. Sebetulnya, album terakhir mereka adalah Abbey Road karena Let It Be, yang dirilis setahun setelah Abbey road, diproduksi sejak akhir 1968 sampai sekitar medio 1969.
Terlalu banyak sudah buku yang mengulas berbagai aspek sejarah The Beatles, termasuk mengapa mereka sampai bubar. Tanda-tanda keretakan sudah terjadi sejak manajer legendaris yang menyatukan mereka, Brian Epstein, tutup usia tahun 1967. The Beatles seperti anak-anak ayam kehilangan induk karena tak satu pun menguasai manajemen bisnis musik. Tak heran aspek bisnis menjadi salah satu sumber keretakan.
Sumber kedua, kehadiran Yoko Ono yang dominan saat proses pembuatan The White Album. Ono diizinkan masuk ke studio saat The Beatles merekam, hal tabu yang tak berani dilanggar siapa pun. Sumber ketiga, keputusan Starr mengundurkan diri saat pembuatan The White Album dan Harrison saat pembuatan Let It Be. Meski mereka dibujuk bergabung kembali, harmoni sudah terganggu.
Dan, sumber terakhir adalah kesadaran bahwa mereka harus bubar karena The Beatles justru membatasi ruang gerak kreativitas masing-masing. Pengakuan ini memang datang belakangan, namun benar adanya. Jika masih bersama The Beatles, Lennon belum tentu menghasilkan "Imagine", Harrison juga belum tentu menulis "My Sweet Lord", dan McCartney mungkin kehilangan potensi sebagai multiinstrumentalis sekaligus produser andal. (AP/USA TODAY)

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 4 SEPTEMBER 2009

Haji Malik, "Guru" Kakao Tanah Mandar


BIODATA

Nama : Haji Abudl Malik
Lahir : Polewali Mamasa (kini Polewali Mandar), 17 Agustus 1948
Istri : Hj Siti Aminah (50)
Anak :
- M Marwan (30)
-Muliati (27)
- Maskur (26)
- Muraiman (22)
- Mashuri (20)
- Kadri (18)
- Munawir (17)

Siang itu di Kelurahan Bebanga, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Haji Abdul Malik tengah menjelaskan tata cara sambung samping kepaada puluhan ketua kelompok petani kakao. Layaknya seorang guru, dia menjelaskan semua hal yang diketahuinya tentang kakao.

Oleh RENY SRI AYU TASLIM

Semua pertanyaan dia jawab dengan kalimat yang mudah dipahami petani. Semua itu dilakukannya di antara rerimbun tanaman kakao. Sesekali dia menunjukkan batang tanaman kakao tua yang sudah ditebang, lalu batang baru yang muncul, dan berbunga.
Sesekali ia juga menunjuk buah kakao berukuran sekepalan tangan orang dewasa, berwarna kemerahan atau hijau segar. Ia lalu mencotohkan cara memotong tangkai yang akan disambung samping, berikut panjangnya.
Begitulah aktivitas Malik setiap hari. Selalu ada petani yang datang bertanya tentang budidaya kakao kepadanya. Sebagian datang dari desa atau kecamatan yang jaraknya lebih dari 100 kilometer dengan waktu tempuh berjam-jam. Mereka mau datang ke tempat Malik untuk belajar gratis. Bahkan, sebagian menginap di rumahnya. Jika rumah panggung Malik sedang penuh, para "murid" tidur di kolong rumah.
Kebun kakao Malik setahun terakhir menjadi "sekolah" bagi petani kakao hampir di seluruh penjuru tanah Mandar, sebutan untuk pesisir pantai barat Sulawesi yang dominan dihuni suku Mandar.
Kalau umumnya tanaman kakao perlu tiga tahun untuk mulai berproduksi, ditangan Malik tanaman hasil sambung smping hanya butuh setahun. Sebagian hasil sambung samping itu sudah berbunga pada usia 3-5 bulan, bahkan ada yang berbuah pada usia 5 bulan. Di kebunnya tak kurang dari 18 varietas dikembangkan. Ada varietas lokal, seperti Sulbar 1 dan Sulbar 2, ada juga dari berbagai daerah lain.
Tanaman kakao lama dibandingkan dengan tanaman hasil sambung samping, baik mutu maupun produktivitasnya, jauh berbeda. Di setiap pohon, buah kakao bisa mencapai 250 buah setiap panen atau berkisar 1,5-2 ton per hektar. Dengan hitungan sederhana, bila tanaman lama butuh 25-30 buah untuk mendapatkan satu kilogram biji kakao, tanaman hasil sambung samping perlu 15-20 buah, bahkan bisa hanya 7-10 buah.
Inilah yang mengundang petani lain untuk belajar kepada Malik. Antusiasme petani itu tak lepas dari kondisi perkakaoan di Mamuju, bahkan hampir se-Sulawesi Barat, yakni serangan hama vascular streak dieback (VSD), penggerek buah kakao, penggerek batang, hingga busuk buah. Ini diperparah lagi usia tanaman yang sudah 20-30 tahun. Padahal, kakao adalah sumber utama penghidupan sekitar 80 persen warga.
Meremajakan tanaman dengan menebang habis dan mengganti dengan tanaman baru perlu biaya besar dan membuat petani kehilangan pendapatan hingga minimal tiga tahun. Maka, cara sambung samping menarik minat petani karena lebih efisien dan efektif.

Memberi contoh

Menjadi "guru" para petani kakao di Mamuju bukan hal baru baginya. Sejak tahun 1970 sampai pensiun pada 2008, Malik menjalani pekerjaan sebagai penyuluh pertanian lapangan. Selama 38 tahun itu ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain di Mamuju.
Umumnya petani lebih senang melakukan apa yang ingin dan biasa dikerjakan. Mereka tak siap menerima inovasi dan petunjuk teknis. Apalagi, selama menjadi penyuluh, penjelasan yang diberikan hanya teori. Jadilah Malik merasa kurang didengarkan.
Prihatin dengan kondisi ini, terlebih dengan mengganasnya serangan pelbagai hama kakao, tahun 2003 ia membeli satu hektar kebun yang tanaman kakaonya rusak. Kebun ini dia beli dengan uang tabungan untuk hari tua. Ia lalu melakukan sambung samping.
"Waktu tanaman sambung samping mulai tumbuh, saya menebang batang pohon yang sudah tua. Petani di sekitar kebun saya menertawakan. Ketika tanaman sambung samping berbuat lebih cepat, banyak yang sinis dan bilang buah itu tak akan laku dijual," ceritanya.
Salimin (28), Ketua Kelompok Tani Bunga Mekar, yang diutus kelompoknya belajar di kebun Malik, menambhakan, "Dulu kami tak ada yang mau ikut apa yang dibuat Pak Malik kaarena mendengar buah hasil sambung samping itu tak laku dijual. Ternyata harganya lebih mahal, ya kami datang belajar."
Seusai mempraktikkan sambung samping di lahan satu hektar, Malik membeli lagi lahan seluas satu kektar dan melakukan hal yang sama. Semakin banyak pula petani yang mengikuti caranya berkebun dan belajar cara sambung samping.
Agar para petani berssemangat, "Saya bercerita, bisa berhaji setelah kakao di kebun sambung samping ini buahnya berlimpah dan bagus. Sebab, umumnya cita-cita petani di Mamuju adalah berhaji dari hasil kebun."
Keberhasilan ini menyebar dari mulut ke mulut mengundang petani dari desa yang jauh untuk datang. Kebun Malik pun menjadi tempat belajar berkebun kakao. Ia menamainya Pusat Pelatihan Petani Pedesaan Swadaya (P4S). Guna memudahkan proses berbagi ilmu, ia mensyaratkan, mereka haruslah ketua kelompok tani atau diutus oleh kelompoknya. Sekitar 150 kelompok tani sudah mendaftar.
Abdul Hamid (64), tokoh masyarakat dari Kecamatan Bone Hau yang berjarak lebih 100 km dari kebun Malik, mengatakan, "Saya sudah beri tahu petani di kampung soal kebun Pak Malik, ada seratusan yang mau belajar di sini."
Berhasil mendorong petani melakukan sambung samping, Malik mulai menerapkan penggunaan pupuk organik. Katanya, kakao akan bernilai tambah dengan buah yang bagu dan penggunaan pupuk organik. Ia membuat cara sederhana dengan menggunakan pupuk kompos, hasil menimbun sisa-sisa daun dan sampah rumah tangga organik, termasuk kotoran ternak.
"Saya ingin mengolah pupuk organik supaya lebih praktis. Petani lain juga bisa ikut membuatnya, tinggal alat pengolahnya yang belum saya miliki. Saya juga ingin menjadikan P4S berbentuk koperasi agar bisa menyalurkan pupuk dan kebutuhan pertanian lain secara murah dan mudah. Sejauh ini, persoalan petani adalah pupuk yang kerap sulit didapat dan harganya mahal," kata Malik menambahkan.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 1 APRIL 2009

Kamis, 10 Maret 2011

Pitoyo Amrih : Novel Wayang Membangun Bangsa



PITOYO AMRIH

Lahir : Semarang, 13 Mei 1970
Istri : Hestrini R Wulandari (32)
Anak : Danendra Amrih (8)
Pendidikan : Sarjana Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung, 1993
Dalang favorit : Ki Timbul Hadiprayitno
Karakter inspiratif : Wisanggeni dan Antasena
Karakter berpikir/bertindak : Sadewa
Laman : http//profil.pitoyo.com

Bermula dari obsesi untuk memberikan alternatif agar anaknya tak hanya terbuai tokoh hero asing di televisi, seperti Naruto, One Piece, dan Avatar . "Kita juga punya pahlawan atau patriot yang selalu menang melawan musuh dan punya jurus-jurus sakti tak kalah dibandingkan Naruto dan yang lain itu," kata Pitoyo Amrih. Maka, lahirlah novel-novel wayang dari tangannya.

OLEH ARDUS M SAWEGA

Di tengah era modern dan teknologi komunikasi informasi yang serba digital kini, sementara dunia mitologi dianggap sudah jadi "masa lalu", Pitoyo dengan penuh percaya diri menuliskan novel-novel berlatar cerita wayang, sseperti dalam epos Mahabharata dan Ramayana, sudah enam novel dia tuliskan.
Boleh jadi, dialah satu-satunya penulis novel wayang berbentuk sekuel. Tak seperti novel pop, malah karyanya bisa digolongkan serius kalau melihat ketebalannya yang 360-490 halaman dengan harga berkisar Rp.32.000-Rp.55.000. Rata-rata dicetak 3.000 eksemplar, novel wayangnya laku di pasaran.
Novel pertamanya, Antareja-Antasena, Jalan Kematian Para Ksatria, dikeluarkan Penerbit Pinus Yogyakarta pada 2006. "Saya menawarkan naskah itu lewat e-mail kepada Pinus dan diterima untuk diterbitkan," cerita Pitoyo.

Karakter inspiratif

Novelnya dicetak dalam format seperti novel pop dan ilustrasi depan bergaya realistik yang cukup menarik. "Dalam penulisan, saya tidak memilih metafora atau sastra. Saya memilih gaya naratif-deskriptif yang mudah diterima pembaca umum," katanya.
Novel wayang Pitoyo mengedepankan karakter tokoh-tokoh wayang yang populer namun cenderug "dimanusiakan" menjadi manusiawi dengan kekurangan dan kelebihannya.
"Novel saya bukan kisah wayang biasa, tetapi lebih menampilkan karakter yang inspiratif bagi pembaca. Tak selalu tentang perjalanan hidup tokoh protagonis yang watak-watak baiknya bisa menjadi teladan, tetapi bisa tokoh antagonis atau kontroversial. Justru dari kesalahan atau kekeliruan dalam perjalanan hidup tokoh tersebut, kita bisa memetik hikmah sebagai pelajaran," paparnya.
Novel-novel wayang itu dia tulis di tengah kesibukan rutin selaku staf pada bagian validasi sebuah industri farmasi si Sukoharjo, Jawa Tengah. Selain Antareja-Antasena, enam judul novel yang telah dia tulis adalah Narasoma, Ksatria Pembela Kurawa, Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata, Darkness of Gatotkaca, Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna, dan Resi Durna Sang Guru Sejati.
"Saya berencana menulis sekuel wayang ini total 15 judul, sejak Lokapala, Arjuna Sasrabahu, Ramayana, Perang Bharatayudha, hingga Parikesit," katanya.
Selain itu, Pitoyo juga menulis kumpulan cerita pendek wayang seperti Kebaikan Kurawa, Inspirasi hidup Semar dan Pandawa, serta Ilmu kearifan Jawa.
Sebagai bukti cerita wayang yang dia tulis diterima khalayak, novelnya, Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna, menjadi novel paling laris atau National Best Seller 2010, dan dicetak ulang. Pitoyo pun turut serta memasarkan novelnya melalui internet.
"Saya agak terkejut karena pembaca novel itu ternyata beragam, mulai dari anak usia SD hingga mahasiswa, bahkan orang tua," tuturnya.

Konsisten

Lebih dari 15 tahun terakhir Pitoyo mengumpulkan berbagai literatur wayang dan naskah kuno Jawa sejak ia bekerja dan menetap di Solo tahun 1994. Ia membuat basis data tentang wayang, seperti Pustaka Raja Purwa, Serat Bharatayudha, Serat arjuna Wiwaha, Sumantri ngenger, dan Ensiklopedia Wayang Purwa. Ia juga memiliki 25 buku pedalangan berbentuk file dan sekitar 400 lakon wayang purwa.
Latar belakang akademiknya selaku sarjana teknik mesin dari Institut Teknologi Bandung memberinya kerangka berpikir dan cara kerja yang sistematik. Ia membuat alat bantu berupa "peta" yang menggambarkan jagat wayang. Dalam peta itu, misalnya, ia membuat layout Kerajaan Amarta, Kerajaan Astina atau Kerajaan Atasangin; kurun waktu pada zaman kerajaan-kerajaan tersebut; juga setting keratonnya, arsitektur bangunan, atmosfer, dan lingkungan alamnya. Ia pun merinci karakter setiap tokohnya, corak busana, hingga aksesorinya.
"Dengan cara itu, saya ingin konsisten dalam penulisan. Seperti kita temukan pada sekuel Harry Potter, misalnya. Saya juga membuat sketsa untuk setiap kerajaan atau lokasi di dalam cerita, semacam jejer dalam pakeliran," kata Pitoyo.
Dalang muda Ki Jliteng Suparman asal Solo mengaku kagum akan cara kerja Pitoyo. "Intelektual seperti inilah yang diharapkan oleh kalangan dalang karena perannya sebagai pujangga yang membuat tafsir ulang atas cerita-cerita wayang dan bisa memberi inspirasi bagi dalang dalam menggarap pakeliran. Tradisi intelektual, seperti pujangga RNg Ronggowarsito, di masa lalu itulah yang sekarang ini hilang," ungkapnya.

Nilai budaya

Bagi Pitoyo, menulis novel wayang merupakan media komunikasi kreatif tempat dia bisa mengekspresikan diri. Di sana ia bisa menyampaikan pesan tentang nilai-nilai budaya bangsa yang mulai ditinggalkan dan memilih bentuk novel karena mudah dipahami generasi sekarang.
Dunia imajinasi Pitoyo tentang wayang terbangun sejak kelas III SD. Sebulan sekali ia dajak ayahnya menyaksikan pergelaran wayang kulit di Taman Budaya Raden Saleh, Semarang. Juga pentas wayang di Gedung Pancasila dan di halaman RRI, Semarang. Hingga SMA, ia masih asyik mendengarkan siaran wayang kulit di radio.
Kesadaran Pitoyo akan nilai-nilai budaya bangsa tergugah justru ketika mengikuti pelatihan bagi motivator dan pengembangan pabrik. Di sana ia melihat nilai yang dikembangkan cenderung didasarkan pada nilai-nilai di negara maju yang berorientasi pada materialisme.
"Saya merasa risau. Kalau nilai-nilai seperti itu yang dikembangkan, kita akan asing dengan nilai-nilai budaya sendiri. Sebagai bangsa, kita akan bangga kalau punya karakter kuat yang didasarkan nilai budaya kita," ujarnya.
Di Jawa, lanjut Pitoyo, terdapat nilai-nilai budaya dan kearifan berupa falsafah dan ajaran yang menunjukkan karakter bangsa kita, seperti falsafah "sugih tanpa banda" yang berarti kaya tanpa harta.
"Itu bermakna bangsa kita hidupnya tak mengutamakan kekayaan atau materi karena kaya tidak hanya diukur dari materi. Begitu pula ajaran nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake (menyerbu tanpa pasukan, mengalahkan tanpa melecehkan)," katanya.

(ARDUS M SAWEGA, Wartawan, Tinggal di Solo)

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 11 MARET 2011

Rabu, 09 Maret 2011

Nyi Wiwik Sabdo Laras: Perempuan Dalang " Ngisor Pring"


NYI WIWIK SABDO LARAS ATAU DWI TRISTI HARTINI

Lahir : Kudus, 23 Februari 1979
Suami : Darto
Anak : Moh Arya Tetuko
Pendidikan : Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Pedalangan, Solo, 1997
Pekerjaan : Dalang
Kegiatan : Anggota Persatuan Pedalangan Indonesia Komda Jawa Tengah

Saat menerima tamu di rumahnya, dalang wayang kulit Dwi Tristi Hartini, yang terkenal dengan nama Nyi Wiwik Sabdo Laras, dengan nada guyon nan tegas mengungkapkan tentang rumah di antara rimbunan pohon bambu hasil jerih payahnya itu. "Rumah ini seperti profesi saya, dalang 'ngisor pring' (di bawah pohon bambu)," ujarnya.

OLEH WINARTO HERUSANSONO

Selama sekitar 15 tahun mendalang, rumah Dwi relatif sederhana. Bangunan semi permanen seluas 90 meter persegi. Di ruang tamu ada layar (kelir) ukuran kecil dengan tiga tokoh wayang, yaitu Setiyaki, Aswotomo, dan Bambang Prabukusumo.
Seperti ungkapan ngisor pring, bagi dalang seperti Dwi, yang jiwanya lekat dengan hidup berkesnian, menyandang profesi perempuan dalang tentulah istilah ngisor pring itu bukan tanpa makna. Sebagai perempuan dalang, ia merasa banyak kalangan yang belum melirik kemampuannya.
Karena itu, ia makin bertekad melakoni hidup sebagai dalang sekaligus mendobrak tradisi pedalangan yang dianggap ranahnya kaum lelaki. "Dunia pedalangan masih beranggapan perempuan dalang itu seperti timun wungkuk (jelek), hanya sebagai imbuh (tambahan). Perempuan dalang cocoknya main siang, bukan dalang utama pada malam hari. Pandangan itu harus diakhiri.
Jadi, ngisor pring juga menggambarkan kondisi perempuan dalang yang masih di bawah dominasi lelaki dalang. Bila ada masyarakat meminta dirinya pentas, alasannya hanya dua, yakni ingin tahu kelihaian perempuan mendalang dan karena ia memang pantas menjadi dalang.
Mencari Dwi Tristi Hartini di Dusun Koplo, Desa Bringin, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sekitar 20 kilometer arah selatan Kota Semarang agak sulit. Pasalnya, nama Dwi di desa itu kurang dikenal. Namun, bila mencari perempuan dalang Nyi Wiwik, pasti semua orang di desa itu tahu.
Sebagai dalang, Nyi Wiwik berhasil meraih gelar dalang favorit pada Festival Dalang Wanita yang diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Komisariat Daerah (Komda) Jateng dan Dinas Pendidikan Provinsi Jateng tahun 2008.

Pesan sang ayah

Di kalangan pedalangan di Ungaran, Salatiga, Boyolali, Kendal, Kota Semarang, dan sekitarnya, Nyi Wiwik tak hanya dianggap sebagai dalang "pupuk bawang". Kemenangannya pada festival dalang membuat namanya naik daun. Setelah itu, ia kerap diundang sebagai dalang utama, memainkan wayang kulit semalam suntuk.
Nyi Wiwik pun bertekad agar setiap lakon yang dia bawakan dihargai dan disegani, sebagaimana pesan almarhum ayahnya, Sutrisno Madiyocarito, dalang sesepuh yang banyak mengajar dalang muda di daerah itu.
Kendati namanya relatif dikenal, Nyi Wiwik mengaku tak mematok harga pentas setinggi lelaki dalang. "Lelaki dalang mematok ongkos pertunjukan sampai Rp.50 juta leih semalam. Saya belum sebesar itu. Honor mendalang saya kelas medium, terjangkaulah. Bahkan, kalau ada yang mau nanggap dengan bayaran Rp.10 juta komplet, kelompok saya siap," katanya.
Memainkan wayang kulit secara komplet, ia lebih mengutamakan garapan cerita alternatif atau carangan, di luar cerita wayang klasik yang sudah pakem. Dalam carangan, terdapat formasi lawakan, campur sari, juga organ tunggal.
Seperti dalang lain, Nyi Wiwik menguasai carangan, seperti Semar Boyong, yang berkisah tentang penculikan Semar, juga cerita pakem alias babonan.
Namun sebagai dalang, ia dapat memenuhi permintaan untuk memainkan cerita klasik dan carangan. Bedanya, dalam cerita klasik wayang tidak ada improvisasi, seperti lawakan atau selingan campur sari.
Dari pengalamannya, Nyi Wiwik berpendapat, mementaskan wayang kulit dengan garapan cerita alternatif lebih mudah untuk menyampaikan pesan-pesan, seperti tentang pembangunan. Pesan-pesan itu mudah mengalir lewat adegan limbukan, goro-goro, atau lawakan. Dengan cara itu, pesan mudah dipahami masyarakat penonton.
Nyi Wiwik bercerita, saat belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo, ia sebetulnya ingin mengambil jurusan tari. Namun, ia dilarang ayahnya. "Saya diminta mengambil jurusan pedalangan," ujar Nyi Wiwik yang lulus SMKI Solo tahun 1997.
Permintaan ayahnya itu dibarengi pemberian warisan berupa keprak empat biji kuningan (alat dari kuningan, besi atau perunggu, dipijak kaki kiri untuk mengatur ritme pertunjukan) dan tiga wayang kulit berupa tokoh Setiyaki, Cakil, dan Buto.

Kain yang leluasa

Sebagai perempuan dalang, Nyi Wiwik telah memiliki kelompok pendukung yang jumlahnya sekitar 50 orang. Mereka terdiri dari pesinden, penyanyi, dan pemain organ campursari, pelawak, pengrawit, dan peniti sebanyak 6-8 orang.
Peniti adalah pembantu dalang yang tak hanya menyiapkan wayang kulit untuk dijejer di samping kanan-kiri pakeliran, tetapi juga menyiapkan dan membantu mengatur tokoh-tokoh wayang untuk dimainkan dalang.
Setiap tampil, Nyi Wiwik biasanya mendalang selama delapan jam, mulai pukul 21.00 hingga menjelang subuh. Pementasan semalam suntuk umumnya terbagi dalam beberapa pengadegan, seperti jejer sepisan, limbukan, paseban jaba, jejer pindho, perang, goro-goro, pertapan, sanga pindho, jejer manyura, dan perang brubuh.
Ketika sedang mendalang, Nyi Wiwik mengaku tidak leluasa seperti halnya lelaki dalang, dalam berbusana. Bagi perempuan dalang, busana yang dipakai nyaris sama dengan pesinden. Perempuan dalang juga memakai kebaya. Bedanya hanya pada bagian depan kain yang dimodifikasi supaya saat perempuan dalang duduk bersila kain bisa menjadi lebar. Ini diperlukan dalang agar kaki mereka leluasa bergerak, seperti dalam memainkan keprak.
"Biasanya banyak juga penonton yang berada di belakang kelir, dekat posisi saya duduk. Mungkin mereka ingin tahu bagaimana dalang beraksi. Padahal, kain saya kan terbuka lebar, makanya wajib untuk perempuan dalang memakai celana. Kalau tidak bisa bubar wayang kulitnya," cerita Nyi Wiwik sambil tertawa.
Di tengah pertarungan dunia pedalangan, munculnya banyak lelaki dalang yang makin agresif dan gemar berimprovisasi, seperti Ki Entus Susmono (dalang dari Tegal), Ki Warseno "Slank" dari Solo, dan Ki Seno Nugroho dari Yogyakarta, menurut Nyi Wiwik, merupakan tantangan sekaligus menumbuhkan inspirasi.
Dia merasa semakin mantap untuk mengembangkan kepiawaian menyabet wayang kulit dan turut langsung melestarikan tradisi wayang kulit di negeri ini.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 10 MARET 2011