Jumat, 29 April 2011

Iim Misbah: Haji Lauk dari Waduk Cirata


H IIM MISBAH

Pendidikan : Sekolah Dasar
Istri : Hj Nani (55)
Anak :
- Eusi Maryati (38)
- Ai marlina (35)
- Ujang Mulyadi (27)

Para petani pembudidaya ikan di Kampung Ciloa, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, terlambat sadar bahwa pepatah kuno bersatu kita teguh bercerai bakal runtuh itu tak luntur oleh waktu atau lekang oleh zaman.

OLEH H DEDI MUHTADI

Kesadaran itu muncul ketika mereka mengangkat H Iim Misbah (56) sebagai Ketua Kelompok Pembudidaya Ikan Nila (Pokdakan) "Doa Ibu" di kolam jaring apung (KJA) Waduk Cirata tahun 2005 lalu.Lewat kesadaran tersebut, paling tidak usaha kelompok ini mampu bertahan dalam situasi sulit yang sering menjepit mereka di tengah waduk.
Misalnya, ketika terjadi upwelling (arus bawah waduk naik ke atas dan mematikan seluruh ikan), masing-masing petani hanya bisa gigit jari. Setelah berkelompok, saat pembudidaya tersebut terkena musibah, mereka dapat "bantuan" Rp 5 juta dari kelompok. Uang itu adalah dana cadangan kelompok yang dikumpulkan pada sat mereka panen ikan.
Tentu saja dana pengganti modal kerja untuk pembelian benih dan pakan ikan itu harus dikembalikan dalam jangka waktu du tahun. "Alhamdulillah, mereka selalu taat membayar kewajibannya, sebab tahu bahwa uang itu milik bersama," ujar Iim.
Keuntungan lain bernaung di bawah kelompok, yakni bisa membeli pakan lebih murah. Karena mereka bersama-sama berhimpun pakan yang dibeli dengan sendirinya dalam jumlah banyak sehingga harganya lebih murah. Jika harga untuk perorangan Rp 5.735 per kg, untuk kelompok hanya Rp 5.620 per kg.
Beda harga pakan yang Rp 115 per kg sangat berarti jika dihitung dengan kebutuhan kelompok yang mencapai ratusan ton setiap bulannya. Kalau 10 ton per hari saja, berarti penghematan usaha hampir Rp 35 juta setiap bulannya.
Diangkatnya bapak beranak tiga ini mejadi ketua kelompok atas keinginan bersama para pembudidaya ikan. Mereka melihat usaha Iim bertahan stabil cukup lama dan mampu melewati gelombang pasang surut usaha budidaya ikan yang rentan terhadap cuaca dan fluktuasi harga.
Ia juga merupakan nasabah bank paling lama bertahan dari terpaan non performing loan alias kredit macet yang sering dialami pembudidaya. "Kami mendapat pinjaman ddari bank sekitar Rp 500 juta atas jaminan pribadi H Iim," ujar Asep Sulaeman (35), anggota sekaligus Sekretaris Pokdakan.
Bank pun mendapat jaminan karena Iim menerapkan pola tanggung renteng, jika anggota kelompok telat bayar cicilan utang. Penggunaan uang oleh anggota juga dikontrol pengurus kelompok. "Tidak ada anggota yang menggunakan uang untuk beli sepeda motor atau bangun rumah. Sebab modal kerja ini khusus untuk memodali ikan," ungkap Asep.
Kini, Iim memimpin langsung pengelolaan usaha 23 anggota kelompok pembudidaya dengan 225 petak KJA. Satu petak KJA modalnya sekitar Rp 15 juta. Jadi total investasi kelompok ini hampir Rp 3,4 milyar. Ini belum termasuk investasi 17 mesin alcon (penyedot air) kolam yang diperlukan untukmenggerakan air kolam ketika terancam upwelling.
investasi miliaran rupiah itu nilainya sangat besar jika dihubungkan dengan lokasi Margaluyu, sebuah desa terisolasi di daerah aliran Sungai Citarum, 60 kilometer barat Kota Bandung.
Lewat kepemimpinan Iim, semua KJA di kelompoknya memperoleh izin dari Dinas Perikanan Jawa Barat dengan surat penempatan lokasi. Berdasarkan catatan, di waduk ini terdapat 52.000 petak KJA, padahal Gubernur Jawa Barat hanya memberikan izin bagi 12.000 KJA.
Sayang, karena tidak ada sanksi bagi pelanggar, banyak KJA ilegal beroperasi di waduk tersebut. "Pokdakan Doa Ibu merupakan contoh pembudidaya ikan yang taat aturan," ujar Sugandi, penyuluh perikanan dari Dinas Perkanan Kabupaten bandung Barat.

Tergusur

Keluarga besar Iim lahir dan dibesarkan di Desa Margaluyu. Sebelum waduk ini beroperasi 1988 lalu, desa tertinggal ini sulit dijangkau karena terjepit di antara perkebunan dan hutan. Untuk mencapai kota Kecamatan Cipeundeuy harus ditempuh berjam-jam turun naik perbukitan yang jalannya jelek, berlubang dan banyak batu.
Saat Waduk Cirata beroperasi, seluruh lahan pertanian seluas 3 hektar milik keluarga Iim terendam air waduk. Lewat uang hasil ganti rugi, ia membeli lahan pertanian di ujung desa yang tidak terendam, tapi hasilnya tidak cukup untuk makan keluarga. Kemiskinan nyaris melanda keluarga ini.
tahun 1995, sisa uang penggusuran waduk ia belikan dua petak KJA. Mulailah keluarga Iim menapaki kehidupan baru, bertransformasi menjadi petani ikan. Jalan usahanya tidak mulus karena perikanan sangat terkait iklim yang sulit dibaca dan harga produksi yang sulit diprediksi.
Bila dapat untung, sedikit demi sedikit uangnya ditabung dan dibelikan lahan kebun atau sawah untuk padi. "Sebetulnya budidaya ikan menguntungkan jika dikelola secara jujur dan benar," ujarnya.
Sembilan tahun kemudian, Iim dan istrinya, Hj Nani (55) menunaikan ibadah haji. Waktu itu ongkos naik haji sekitar Rp 60 juta untuk dua orang. Biaya ibadah haji dari tabungan hasil budidaya ikan nila. Karena itu, di kalangan petugas Dinas Perikanan, Iim dikenal sebagai haji Lauk Nila. Lauk, dalam bahasa Sunda, berarti ikan.
Kini lahan yang tergusur oleh waduk sudah "dikembalikan" lewat usaha budidaya ikan selama 16 tahun.
Malah KJA-nya sudah bertambah menjadi 22 petak. Kalau lagi mulus, dari satu petak yang ditanami ikan mas senilai Rp 7,5 juta, termasuk pakan, selama tiga bulan bisa menghasilkan Rp 12 juta-Rp 13 juta. kalau ikan nila, dengan modal Rp 4 jutaan, satu petak menghasilkan Rp 12 juta-Rp 13 juta per lima bulan.
Di Waduk Cirata seluas 6.200 hektar, hambatan budidaya ikan yang belum bisa diatasi adalah penyakit koi herves virus (KHV) dan upwelling. Kedua gangguan ini bisa menyebabkan kematian massal, terutama ikan mas.
Iim berinovasi menyegarkan air kolam, disedot lewat mesin alcon lalu dialirkan kembali ke kolam. Dengan air mengalir diharapkan kebutuhan oksigen bagi ikan terpenuhi dan ikan bertahan hidup. Pernah sehari semalam Iim menghabiskan 400 liter solar untuk mengalirkan air ke 22 petak kolam.
Pengalaman itu lalu ditularkan kepada para anggota kelompoknya. "Sekarang, ketika gangguan itu datang, di kolam masih tersisa 20-40 persen ikan," kata Asep.

Dikutip dari KOMPAS, JUAT, 29 APRIL 2011

Kamis, 28 April 2011

Belajar Kimia Bersama Putu Sudibawa


DATA DIRI

Nama : I Putu Sudibawa
Lahir : Nusa Lembongan, Bali, 8 September 1973
Orangtua : I Made Nusa (60) dan Ni Wayan Ampiun (55)
Pendidikan :
- S 1 Pendidikan Kimia Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Buleleng, Bali,1996
- S 2 Manajemen Pendidikan Universitas Ganesha Singaraja, Buleleng, Bali, 2008
Penghargaan dan penelitian antara lain :
- Science is Fun dari Australiaan Education Centre, 2005
- SEA (Sains Education Award) dari Indonesia Toray Sains, 2006
- Guru Ajeg Bali dari Kelompok Media Balipost, 2008
- Penelitian dibiayai LIPI, 2006
- Penelitian dibiayai Citibank, 2008
- Penelitian dibiayai Departemen Pendidikan Nasional, 2008

Mengajar Kimia siswa tingkat SMA di desa dengan peralatan seadanya, apa istimewanya? Itulah tugas yang dijalani I Putu Sudibawa, guru mata pelajaran Kimia di SMA 1 Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali. Bedanya, Sudibawa bisa membawa Kimia menjadi mata pelajaran favorit bagi para siswa. Kreativitasnya dalam mengajarkan pemahaman kimia dengan peralatan seadanya dari lingkungan sekitar sekolah membuat kimia disukai siswa.

Oleh AYU SULISTYOWATI

"Teman-teman, ayo semuanya harus bahagia hari ini!" inilah salah satu sapaan pertama Sudibawa seusai mengajak bersembahyang dan mengawali pelajaran Kimia kepada anak didiknya. Bahkan, ia pun tak segan menyapa murid-muridnya dengan sebutan teman dan mengajak mereka bernyanyi sebelum memulai belajar.
Kata "teman" itu sapaan yang dia harapkan menghilangkan sekat antara guru dan murid. Baginya, para murid adalah teman berbagi. Karena teman, pelajaran kimia sesulit apa pun harus dia sampaikan sedemikian rupa agar siswa tak merasa "terpaksa".
Ia bahkan berusaha membuat para murid "merindukan" kimia. Caranya mengajar membuat siswa SMA 1 Sidemen merasa mudah memahami bagaimana rumus rumit pelajaran kimia itu bekerja. Setiap hari Sudibawa menghabiskan waktu untuk memikirkan bagaimana ia bisa memanfaatkan dan memelihara alam, terutama yang berkaitan dengan kimia.

Tanpa manfaat

Suatu ketika pada 2005, guru Kimia yang berasal dari keluarga petani rumput laut Nusa Lembongan ini tertarik pada batu-batu padas yang tak terpakai, apalagi dimanfaatkan.
dalam waktu bersamaan, ia juga melihat limbah pewarna kain endek dibuang para perajin tanpa pengolahan. Sudibawa lalu menjadikan batu-batu padas itu sebagai media penyaring air limbah endek agar bening kembali.
"Batu padas yang ditumbuk bisa mengikat zat kimia dari air limbah dan menjadikan nya bening dengan beberapa kali penyaringan. Jika air tak lagi bisa bening, tumbukan batu padas bisa dijemur untuk dipakai lagi. Kami berusaha memanfaatkan alam untuk alam, tidak menyakiti alam," ujarnya.
Meski begitu, Sudibawa mengakui, ia belum bisa menjelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam air bening itu. Ia juga tak tahu apakah air jernih itu aman dikonsumsi manusia atau tidak. Inilah kekurangan hasil penelitiannya. "Saya tak kuasa meneliti lebih dalam karena keterbatasan laboratorium yang menunjang," ujarnya.
Meski terkesan sederhana penelitian yang ia beri judul "Integrasi Kegiatan Penenun Tradisional dalam Proses Pembelajaran Kimia" itu mengantarkannya menajdi juara pertama Sains Education Award (SEA) yang digelar Indonesia Toray Sains tahun 2006.
Penghargaan itu dia terima di Kantor Konsulat Jepang, Jakarta, bersama dengan hadiah uang Rp 17,5 juta.
"Saya mendapatkan informasi adanya lomba itu dari internet," kata pria yang indekos di Klungkung, sekitar 20 kilometer dari tempatnya mengajar, Sidemen.
Sidemen, yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Denpasar belum tersentuh internet. Lagi-lagi sebab tak adanya dana.
"Bagaimanapun penghargaan ini menjadikan saya semakin bersemangat memotivasi murid, juga para guru, untuk tidak patah semangat. Agar mereka mau terus membuat penelitian. Saya semakin rajin mencari-cari di internet. apa pun lomba yang ada, saya informasikan kepada mereka," ujarnya tentang kondisi waktu itu.

Merelakan hadiah

Belakangan, sekolah tempatnya mengajar telah memiliki beberapa komputer yang dananya berasal dari bantuan operasional sekolah (BOS) senilai Rp 50 juta.
Sekolah itu juga sudah punya akses internet dari salah satu provider di Indonesia. Akses internet itu tersedia atas usaha sekolah dan dana dari Sudibawa. uang yang didapatnya dari memenangi salah satu penelitian, sekitar Rp 10 juta, dia relakan demi agar sekolahnya di Sidemen itu bisa memiliki komputer Pentium IV beserta akses internet.
SMA 1 Sidemen memang minim fasilitas. Ini menjadikan penelitian yang dilakukan para guru tak bisa maksimal. Di sekolah ini hanya ada dua ruang laboratorium, satu untuk kimia, biologi, dan fisika, serta ruang lain menjadi laboratorium komputer.
Ironisnya, ruang yang disebut laboratorium biologi, kimia, dan fisika itu nyaris tak layak disebut laboratorium. Di sini tak ada botol-botol untuk praktikum, hanya tersedia tiga patung anatomi tubuh dan beberapa mikroskop bantuan pemerintah daerah yang rusak.
"Kami sudah 'putus asa' untuk menyulap ruangan ini menjadi laboratorium yang layak. Untuk meminta perbaikan mikroskop yang sudah berumur 10 tahun, surat-surat yang kami kirim kepada Dinas Pendidikan Provinsi Bali tak pernah ditanggapi. Kami kasihan dengan siswa. Sudah tinggal di desa, eh fasilitas pun tak memadai untuk belajar," tuturnya.
Pria lajang yang murah senyum ini kemudian tak hanya mengajar Kimia. Caranya mengajar yang memudahkan murid memahami materi pelajaran membuat para siswa meminta dia juga mengajar mata pelajaran lain. Permintaan itu hanya dia tanggapi dengan senyum. Belakangan ini Sudibawa juga mengajar Teknik Informatika dan Komunikasi. Bersama Kepala Sekolah SMA 1 Sidemen Nyoman Suriti, dia juga membentuk Forum Ilmiah Guru.
Meski awalnya mendapat ejekan dari sebagian guru, forum yang di ketuai Sudibawa ini mendapat dana Rp 100.000 dari komite sekolah. hasilnya? Dari berbagai kegiatan yang dimotori forum ini, beberapa guru meraih penghargaan dari berbagai lomba di tingkat internasional, nasional, dan lokal.
Padahal, cerita Sudibawa, ia tidak pernah membayangkan bakal menjadi guru dan kecanduan meneliti dari bekal ilmu kimianya.
Berasal dari keluarga sederhana petani rumput laut di Nusa Lembongan, ia tekun belajar hanya karena ingin membuat orangtua bangga kepadanya.
"Tak terlintas untuk mencapai hal yang muluk meski kemudian saya jadi kecanduan meneliti. Saya hanya ingin membuat rumus-rumus kimia itu menarik, tak membosankan bagi para murid. Karena saya merasakan sendiri, bagaimana dulu waktu saya bersekolah, pelajaran Kimia itu sering terasa membosankan," kata sulung dari tiga bersaudara ini.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 2 MARET 2009

Rabu, 27 April 2011

"Jolali" Dokumentasi Situs Majapahit


DATA DIRI

Nama : Akhmad Mukhsinun alias Paidi Jolali
Lahir : Mojokerto, Jawa Timur, Oktober 1981
Pendidikan :
- Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda, Miji, Kota Mojokerto
- SMP Islam Brawijaya, Kota Mojokerto
- Madrasah Aliyah Negeri 1 Kabupaten Mojokerto, tahun 1996 selama 8 bulan
- SMA Islam Brawijaya, Kota Mojokerto, tahun 1997 selama etahun
Aktivitas lain : Kelompok pencinta alam Adri Wana Alam atau Driwala, Mojokerto

Peninggalan Kerajaan Majapahit makin terancam. Sisa kerajaan besar di Nusantara itu kian rusak karena ulah masyarakat dan pemerintah. Di tengah pusaran itu, Akhmad mukhsinun aliaas Paidi Jolali tak henti mendokumentasikan setiap jengkal situs kerajaan ini. Ia ingin "menyelamatkan" warisan sejarah itu.

Oleh INGKI RINALDI

Ia tak lelah mendokumentasikan proses kerusakan situs Kerajaan Majapahit di wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang, Jawa Timur. Empat tahun terrakhir ini, Paidi-panggilannya- masuk keluar desa di sejumlah kecamatan untuk memfilmkan proses terjadinya kerusakan situs sejarah itu, terutama akibat tuntutan ekonomi masyarakat pembuat batu bata.
Dalam kurun itu, tak kurang 26 kaset video masing-masing berdurasi satu jam berisi keadaan situs Majapahit telah dibuatnya. Salah satu hasil rekaman Paidi berupa perusakan struktur batu bata kuno oleh warga di lokasi pembuatan batu bata pada pertengahan Januari 2009.
Nama paidi nyaris luput dari sorotan kasus perusakan situs Majapahit akibat pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) oleh pemerintah meski dialah satu-satunya orang yang mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit secara menyeluruh, tak hanya di kawasan PIM.
Dalam banyak karyanya empat tahun lalu, tampak sejumlah situs peninggalan Majapahit berupa struktur batu bata kuno atau gapura kuno yang relatif utuh. Namun, pada lokasi yang sama dengan pengambilan gambar tahun ini, terlihat jelas kerusakan situs itu.
Adalah Ketua Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta Anam Anis yang pertama kali menugasi Paidi untuk mendokumentasikan batas-batas visual Kerajaan majapahit, Februari 2005. Ia langsung merekam dua yoni di Kecamatan Sumobito dan Mojowarno, Jabupaten Jombang, serta dua yoni lain di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, dan Desa Lebak Jabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.
Saat itu gotrah membutuhkan bukti visual penegasan batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit agar klaim sebagai daerah cagar budaya bisa dilakukan. Meski tugas telah selesai, Paidi justru makin tertarik mendokumentasikan kerusakan situs Majapahit.
"Saya hanya ingin ada dokumentasi bekas Kerajaan majapahit, khawatir juga jika nanti hilang. Kalau ada dokumentasinya, kita bisa tunjukkan di sini pernah ada bekas bangunan kerajaan, bukan hanya katanya," ujar Paidi yang memakai nama belakang "Jolali" untuk mengingatkan orang agar "jangan lupa" (bahasa Jawa: ojo lali) pada sejarah.

Jangan didekati

Kata Paidi, kerusakan situs tak melulu karena ulah masyarakat pembuat batu bata. Sebagian besar temuan oleh masyarakat pasti dilaporkan lebih dulu kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim sekalipun mereka lalu kecewa karena laporan itu tak kunjung ditangani lebih lanjut.
Temuan berupa struktur batu bata kuno, pintu gerbang, candi kuno, sumur kuno, hingga batu-batu besar nyaris selalu dilaporkan kepada pemerintah. lalu dilakukan pengukuran, pemotretan, pencatatan oleh pegawai pemerintah sambil mewanti-wanti warga agar wilayah temuan itu jangan didekati, digarap, apalagi digali.
Hanya pesan itu yang diterima warga. Temuan bersejarahnya ditinggalkan begitu saja. Tak ada tindakan konkret terhadap temuan, apalagi pada masyarakat sekitarnya. Kalaupun ada kompensasi bagi masyarakat, jumlahnya relatif kecil. Padahal, warga tetap butuh makan. Akibatnya, upaya pembuatan batu bata, misalnya, terus mengancam situs ini karena tidak ada solusi yang diberikan pemerintah bagi mereka. Paidi menyebutkan, selama ini yang terjadi adalah upaya pembiaran perusakan situs oleh pemerintah karena nyaris tak ada usaha konservasi apa pun yang dilakukan terkait temuan situs sejarah oleh masyarakat.

Berkeliling sendirian

Bermodalkan satu unit kamera video digital merek Panasonic MD 10000, satu unit hard disk eksternal merek Maxtor berkapasitas 120 gigabyte, dan sepeda motor Suzuki RC 100, nyaris setiap hari Paidi berkeliling ke seluruh penjuru batas wilayah bekas Kerajaan Majapahit.
"kamera itu baru saya dapatkan satu setengah bulan lalu dari Mas Ipung (Saifullah Barnawi, anggota Perkumpulan Peduli Majapahit Gotrah Wilwatikta), (Sepeda) motor juga baru saya miliki tahun 2007 saat menggarap proyek desa percontohan Hess (perusahaan gas dan minyak Amerada Hess) di Ujungpangkah, Gresik," cerita Paidi yang sempat dimusuhi warga pembuat batu bata.
Tahun-tahun sebelumnya Paidi mesti berjibaku di lapangan dengan sejumlah kamera video pinjaman. Untuk proses editing, ia menumpang kepada sejumlah kenalannya. Dana operasional dia ambil dari pendapatannya sebagai seorang juru kamera untuk acara pernikahan atau pesanan tak tentu sebagai penggarap dokumentasi audio visual.
Selama bertahun-tahun itu pula Paidi berkali-kali mengajak sejumlah kawannya menelusuri jejak peninggalan majapahit. Namun, tidak ada seorang pun kawan yang tahan bersama dia berlama-lama di lapangan.
"Ada teman yang suka mengajak pulang, ada yang suka nongkrong di warung. Mereka bilang, protolan boto, kok, diurusi (pecahan batu bata kok diurusi)," kata Paidi menirukan sejumlah rekan yang sempat dia ajak berkeliling dari desa ke desa untuk merekam situs bersejarah.
Oleh karena itulah Paidi lalu memutuskan tetap berkeliling dari desa ke desa meski ia harus menjalaninya sendirian.
Bicara tentang kemampuannya mengambil gambar dan mengedit dengan sejumlah software penyunting video visual, Paidi memperolehnya secara otodidak.
"Saya pertama kali ikut usaha sablon punya Umar Muzaki di Mojokerto pada 1995. Dia saya anggap sebagai guru," kata paidi.
Sejak itulah pria yang tak menamatkan pendidikan menengah atasnya ini kemudian merambah dunia audio visual dan olah digital. Berbagai aplikasi pengolah gambar diam dan bergerak, seperti Adobe Photoshop, CorelDraw, dan Adobe Premiere, lantas dia pelajari dan perlahan berhasil dikuasainya.
Soal pendidikan formal yang hanya sampai tingkat SMP, Paidi mengaku tak menyesal, "Sekolah hanya mengajarkan kepada kita bagaimana cara berpikir rasional dan mengenal dunia luar," kata Paidi yang lebih banyak belajar soal kehidupan saat bergabung dengan kelompok pencinta alam Driwala Mojokerto yang berdiri sejak 1983.
Kecintaannya pada pendakian gunung itu pula yang membuat sekolah Paidi kemudian berakhir dengan putus di tengah jalan.
Selain mendaki gunung, hari-hari Paidi terus dilalui dengan usaha mendokumentasikan sebanyak mungkin peninggalan Majapahit yang terserak di wilayah Mojokerto dan Jombang.
Bagi Paidi, menyelamatkan situs sejarah adalah hal penting yang harus dilakukan. Dia tak lagi peduli apakah pemerintah memberi prioritas atau tidak kepada situs sejarah tersebut.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 20 FEBRUARI 2009

Selasa, 26 April 2011

Asep Sukarsa : Fondasi Perikanan Kabupaten Bandung


ASEP SUKARSA

Pendidikan Terakhir : SMA Karya Pembangunan
Istri : Lilis Sumartini
Anak :
- Deli Agustiana
- Sonny M Ramdani
-Yuni Purnamawati
- Firman Purnama
- Astri Andrian
- Taufik Muhammad Fauzi

Tangan Asep Sukarsa (42) menunjuk ke gemericik air di tengah kolam miliknya di Ciparay, Kabupaten Bandung. Di sana terdapat jutaan benih ikan mas yang siap dibesarkan di berbagai daerah. Dia berperan sebagai pembenih, sebuah fondasi dari rantai panjang produksi perikanan darat.

OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

"Benih yang baik tentunya menghasilkan ikan yang memiliki daging yang banyak. Pembenih sebetulnya bisa meraih untung dengan benih tidak berkualitas karena pengaruhnya baru terlihat pada proses pembesaran," ujar asep, di kediamannya awal April lalu.
Pembenihan ikan dimulai dari proses pemijahan, yakni mengawinkan induk betina dengan induk jantan. Setelah kawin, induk betina secara naluriah akan mencari ijuk untuk meletakkan telurnya. Telur itu ditetaskan untuk mendapatkan benih ikan. Induk seberat 3,5 kilogram bisa menghasilkan 100.000 lebih telur meski tidak semuanya menetas.
Kualitas benih bukanlah satu-satunya yang menghantui perikanan darat. Mulai dari pencemaran air di tempat pendederan maupun pembesaran hingga rasio pakan dengan daging yang kian jauh dari angka ideal. Para peternak ikan yang ada di Waduk Cirata maupun Waduk Saguling bergantung pada kuantitas daging yang dihasilkan ikan sehingga berimbas pada keuntungan penjualan.
Memimpin kelompok pembenih "Mina Perkasa", Asep menawarkan teknik pembenihan yang menelurkan hasil yang berkualitas dan memberikan keuntungan. Mulai dari teknik pemijahan menggunakan ijuk, penetasan, hingga pemeliharaan kolam. Dia beberapa kali mengungkapkan bahwa persiapan kolam adalah segalanya. Upaya setengah hati juga memberikan hasil yang setengah-setengah.
Berbekal pendidikan sekolah menengah tingkat atas, Asep memahami konsep pengelolaan tanah yang harus mendapat prioritas pertama. Untuk itu, dia sangat menegaskan pentingnya membolak-balik tanah agar bakteri yang ada di tanah bisa mati. Bila tidak diantisipasi, bakteri bisa mengakibatkan benih mati dan berujung pada hasil yang tidak optimal sewaktu dipanen.
Ada sepuluh pembenih yang resmi tergabung dalam kelompok Mina Perkasa meski yang tidak resmi lebih dari itu. Produksinya selama setahun bisa mencapai 10.000 gelas. Satu gelas bisa berisi 1.000-1.500 ekor. "Kami punya pekerjaan yang lebih penting daripada menghitung jumlah benih yang dijual," ujarnya diringi tawa.

Dikejar uang

Kiprah Asep di pembenihan ikan dimulai tahun 1991. Menikahi Lilis Sumartini, Asep diberi lahan sawah oleh mertuanya seluas 150 tumbak atau sekitar 2.100 meter persegi dan kemudian dibagi menjadi empat petak. Namun, tidak semuanya ditanami padi oleh Asep. Dia justru menanam dua petak dengan padi dan dua petak lainnya dibuat menjadi kolam ikan.
Meski hanya lulusan SMA, Asep ternyata belajar teknik memijahkan ikan dari kakeknya. "Saya ingin menjadikan dua petak itu sebagai percontohan. Masyarakat lebih suka melihat contohnya secara langsung daripada diceramahi," ujarnya.
Terbukti memang, dua petak kolam ikan miliknya bisa menghasilkan tiga kali lipat dari dua petak sawah dalam setahun. Dengan hasil 75 gelas benih ikan tiap kolam, dia bisa menjualnya Rp 2.500 per gelas. Benih ikan juga bisa dipanen lebih cepat atau setiap 20 hari.
Dalam setahun, upayanya langsung membuahkan hasil. Petak-petak sawah yang ada di sekitar rumahnya langsung berubah menjadi kolam ikan. Asep kian agresif menekuni usaha pembenihan ikan mas miliknya. Seluruh sawah milik mertuanya seluas 3.000 tumbak atau sekitar 4 hektar dijadikan kolam ikan. Dia juga menyewa kolam di tiga kecamatan, yaitu Majalaya, Ciparay, dan Pacet.
Dia tidak segan meminjamkan kolamnya begitu saja kepada setiap petani yang masih ragu-ragu tanpa harus membayar apa pun. Begitu merasakan sendiri hasilnya, sang petani pun beralih menjadi pembenih ikan.
Meroketnya usaha pembenihan ikan juga didukung usaha pendederan ikan yang ada di wilyah Bojongsoang. Benih dari Ciparay dimasukkan ke sana untuk proses pendederan selama dua minggu dan kemudian dibesarkan di Waduk Saguling, Cirata, maupun Jatiluhur hingga menjadi ikan yang siap dikonsumsi. Dari proses itulah muncul istilah "Segi Tiga Emas Perikanan Darat".
Permintaan akan benih ikan yang tinggi membuat Asep dikejar-kejar para pemilik kolam di Bojongsoang. Telepon maupun tamu yang datang tanpa henti mencarinya bahkan sempat membuat dia harus bersembunyi. "Saat itu, bisa dikatakan saya dikejar-kejar uang," kenang Asep.

Kembali merayap

Krisis moneter yang terjadi tahun 1998 merobohkan kisah manis yang sedang dikecap Asep. Produksi ikan morat-marit dengan harga jual melorot di segala lini, baik pembenihan, pendederan, maupun pembesaran. Asep juga terpaksa menghentikan usahanya selama dua tahun sambil menunggu kondisi membaik.
"Menjual motor maupun modal kerja yang lain bukanlah cerita yang aneh," kenangnya.
Tahun 2000, Asep kembali merintis usaha pembenihan dengan kondisi yang tidak lagi ramah. Beberapa masalah harus dihadapi, seperti harga jual benih yang melorot, harga indukan yang kian melonjak, serta daya serap peternak ikan yang tidak setinggi sebelumnya.
Daerah pendederan ikan, Bojongsoang, juga kian tergerus perumahan. Begitu pula jaring apung di Waduk Saguling, melorot akibat penurunan kualitas air. Nama Ciparay sebagai penghasil benih ikan kemudian tercoreng akibat sebagian pembenih memilih jalan pintas, menjual benih berkualitas rendah.
Asep tidak menyerah. Dia konsisten bertahan di dunia pembenihan ikan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Istilah sunda adalah bakat ku butuh. "Hanya keterampilan memijahkan ikan saja yang saya kuasai. Dari sana saya bisa memiliki rumah dan menyekolahkan enam anak saya," ujarnya.
Beberapa upaya dia lakukan, seperti mengalihkan benih-benih untuk dibesarkan melalui mina padi atau ditanam di lahan persawahan. Dengan sistem bagi hasil, petani mendapatkan penghasilan tambahan, sementara pembenih mendapat untung karena benih ikan bisa terserap.
Begitu pula dengan kualitas indukan. Asep memahami indukan yang berkualitas bakal menghasilkan benih yang berkualitas pula. Dia menghindari mengawinkan induk jantan dan betina melalui inbreeding, atau perkawinan sekerabat dengan mendapatkan induk jantan dari Tasikmalaya dan induk betina dari Subang.
Saat ini harga jual benih ikan mencapai Rp 8.000 per gelas. Menurut dia, harga tersebut sudah mencapai harga yang sama-sama menguntungkan pembenih, petani mina padi, maupun peternak ikan.
Ditanya rencana masa mendatang, Asep menjawab singkat, tapi mantap, "Tetap di pembenihan ikan."

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 27 APRIL 2011

Senin, 25 April 2011

Joni, Guru di Tapal Batas Borneo


BIODATA

Nama : Joni
Lahir : Sanggau, 3 Maret 1966
Istri : Jaleha (23)
Anak :
1. Agus (9)
2. Maya (6)
3. Yariana (1)
Pendidikan :
- SDN 9 Sanggau
- SMPN 2 Sanggau
- SPG Sanggau, 1986
Pekerjaan : Guru SDN 16 Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong
Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Pernah menjadi buruh bangunan, penambang emas, tukang ojek, hingga pemborong, Joni tidak bisa mengingkari panggilan hati untuk menjadi guru. Suara hati itu pula yang membuat dia bertahan menjadi satu-satunya guru di dusun terujung di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia.

Oleh C WAHYU HARYO PS dan AHMAD ARIF

Mimpi Joni sejak kecil adalah menjadi guru, setelah meenyelesaikan sekolah menengah pertama, dia pun masuk sekolah pendidikan guru (SPG) di kota kelahirannya, Sanggau, dan tamat tahun 1986. Namun, setelah ijazah di kantungi, surat-surat lamarannya menjadi guru tak kunjung berbalas.
Terdesak kebutuhan hidup, ia merantau ke Pontianak. Di ibukota Provinsi Kalbar itu dia menjadi kuli bangunan. "Pekerjaan mulai dari tukang aduk semen sampai menjadi pemborong pernah saya jalani," katanya.
Setelah tiga tahun di Pontianak, Joni pulang kampung dan menerima tawaran mengajar sebagai guru bantu di SD Sungai Daun meski dengan bayaran Rp 75.000 per bulan.
"SD Sungai Daun hanya "sekolah mini". Muridnya sedikit, kadang juga tidak ada anak-anak yang datang," katanya.
Mimpinya menjadi guru sudah terwujud, tetapi dia tidak bisa abai terhadap kenyataan hidup. Gaji sebesar itu jelas tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dia terpaksa bekerja sambilan sebagai tukang ojek.
sesekali dia pergi ke hutan menjadi buruh di penambangan emas di daerah Tekalong, Melenggang, Balai Karangan. "Kerja di tambang emas sangat berat. Kita harus menggali tanah, banyak yang mati tertimbun tanah," kata Joni.
Di penambangan tersebut, ia tinggal di pondok kayu beratap terpal plastik. "Panas kepanasan, hujan kehujanan. Kerjanya berat, makan seadanya, tetapi hasilnya tak seberapa," ujarnya.

Ke perbatasan

Tahun 2003 menjadi tonggak perjalanan Joni sebagai guru ketika ia mendapat tawaran menjadi guru honorer di SDN 16 Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.
Di dusun yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong tersebut, Joni menjadi guru bersama Katarina, Kepala SDN 16 Gun Jemak. Mereka mengajar anak-anak Dayak di pedalaman itu.
Belum ada jalan darat untuk menjangkau Gun Jemak, salah satu desa terujung di Kalbar yang berbatasan dengan negara bagian Sarawak. Satu-satunya transportasi adalah menyusuri Sungai Sekayam ke arah hulu dengan perahu motor.
Perjalanan menyusuri Sungai Sekayam itu bukan pula perkara mudah. Ketika air sungai pasang, waktu tempuh dari Entikong ke Dusun Gun Jemak sekitar 7 jam. Namun, jika air surut, waktu tempuhnya mencapai 12 jam, bahkan bisa lebih. Saat melewati beberapa titik sungai yang dangkal, penumpang harus turun ke sungai dan menarik perahu.
Belum lagi risiko besar menghadang saat mengarungi puluhan riam di Sungai Sekayam. Jika tidak lihai mencari celah melewati riam, bisa-bisa perahu pecah menghantam bebatuan.
"Saya sudah biasa sengsara, tidak masalah jika harus bertugas di pedalaman," kata Joni yang pada awal mengajar sebagai guru honorer dibayar Rp 400.000 per bulan.
Gaji sejumlah itu tentu tidak sebanding dengan biaya hidup di daerah terpencil. Apalagi saat itu istri dan seorang anaknya langsung diboyong untuk tinggal bersamanya.
Untuk mengambil gaji, ia harus turun ke Entikong menumpang perahu warga dengan ongkos pulang pergi Rp 100.000. Dengan sisa gaji Rp 300.000 itulah ia bertahan tinggal menumpang di rumah salah seorang warga.
Dua tahun menjadi guru honorer, Joni lulus tes calon pegawai negeri sipil (CPNS). Tes tersebut adalah yang kedua yang dia ikuti setelah tahun sebelumnya gagal. Tahun 2005 Joni resmi diangkat menjadi guru negeri.
Awal menjadi PNS, ia menempati golongan IIB dengan gaji kotor Rp 1,8 juta. Untuk menunjang transportasinya, setelah diangkat menjadi PNS ia meminjam uang di bank guna membeli sampan seharga Rp 800.000 dan mesin 10 PK bekas pakai seharga Rp 6 juta.
November 2008 banjir besar melanda sungai di Gun Jemak. Banyak sampan warga yang di tambat di sungai hanyut dan perahu pecah. "Mesin dan sampan saya juga hancur, padahal pinjaman di bank belum lunas," katanya.
Joni terpaksa mengutang lagi, kali ini pada Credit Union (CU) sejumlah Rp 15 juta. "Perahu sangat penting di sini. Tanpa itu saya tidak bisa kemana-mana. Saya terpaksa mengutang lagi," katanya.
Tunjangan untuk guru terpencil dari pemerintah daerah Rp 13 juta per tahun yang baru dia terima sejak tahun 2007 langsung ludes untuk menambal utang. Ditambah beban pinjaman terdahulu, ia masih harus mengangsur pinjaman Rp 1, 4 juta setiap bulan. Praktis ia bertahan dengan gaji Rp 400.000 sebulan.
Di sela kegiatan belajar dan mengajar, Joni juga menghabiskan waktu di ladang. "Saya bersyukur karena orangtua murid di sini mau mengerti kondisi saya. Mereka meminjamkan sedikit lahan untuk saya berladang. Tiap tahun panen sekitar enam karung padi, 40 kilogram per karung," katanya.

Satu-satunya

Tugas Joni makin berat ketika pada Februari 2008 Katarina pindah tugas mengajar ke kota Kecamatan Entikong. Joni menggantikan tugas Katarina sebagai kepala sekolah dan menjadi satu-satunya guru di Gun Jemak. Sendirian ia mengajar 98 siswa dari kelas I hingga kelas VI.
Untuk memudahkan pembelajaran, Joni mengelompokkan siswa kelas I dan II dalam satu ruangan. Begitu pula dengan siswa kelas III dan IV serta siswa kelas V dan VI. Dinding papan penyekat ruangan dilepas sehingga ia bisa berjalan leluasa ke ruang kelas lain.
Namun, kata Joni, tetap sulit mengharapkan kualitas pendidikan yang baik jika kondisinya masih seperti itu. "Siswa kelas I dan kelas II perlu mendapat perhatian khusus karena mereka masih kecil. Adapun siswa kelas VI juga tengah bersiap menghadapi ujian nasional," katanya.
Joni harus mati-matian membagi perhatian, tenaga, dan waktu untuk siswa-siswanya.
Kesibukan mengajar membuat Joni harus menangguhkan keinginannya untuk sekolah lagi. Setahun terakhir ia sebenarnya sudah mendaftar ikut kuliah jarak jauh di Entikong dnegan waktu belajar dua hari seminggu. Dia berangkat ke Entikong hari Jumat petang dan kembali ke Gun Jemak pada Senin siang.
"Saya sudah bayar Rp 1,5 juta per semester," katanya.
Namun, sebulan terakhir Joni tidak lagi masuk kuliah. "Di samping berat ongkos perjalanannya yang mencapai hampir Rp 1 juta, saya tidak tega meliburkan sekolah tiap Senin," katanya. Padahal, kuliah itu satu-satunya harapan Joni untuk bisa menaikkan golongan pangkatnya yang berarti menaikkan gajinya.
"Saya tidak berharap dipindah ke tempat lain. Namun, kalau boleh meminta, saya harap segera ada guru lain untuk membantu mengajar di sini," kata Joni.

Dikutip dari KOMPAS,JUMAT, 30 JANUARI 2009

Iyung, Penyelamat Pesisir Pulau Puhawang


DATA DIRI

Nama : Yulianti
Lahir : Bandar Lampung, 17 Juli 1974
Suami : Suryadi
Anak : Fathiya Rizqi Suryadi
Pendidikan :
- SDN 6 Bandar Lampung, 1963
- SMP Persit Kartika, Bandar Lampung, 1986
- SMA Surya Dharma, Bandar Lampung, 1989
- Politeknik Universitas Lampung, Jurusan Perkebunan, 1994
- Akta III D-3 FKIP Jurusan Biologi, 2003
Pekerjaan : Guru SDN Pulau Puhawang
Organisasi : Mitra Bentala

"Bakau masih diupayakan ditanam di tempat kemarin. Namun, sekarang hampir semua wilayah pesisir sudah menjadi milik pengusaha keramba. Jadi kita harus kerja sama." Itulah pesan singkat dari Yulianti, ibu guru yang giat menggerakkan siswa SDN di Pulau Puhawang, perairan Teluk Lampung, menanam bibit bakau di kawasan yang sudah rusak.

Oleh HELENA F NABABAN

Meski hutan bakau penting bagi ekosistem pulau dan pesisir, serta masyarakat desa Pulau Puhawang, pesan singkat itu menunjukan Yulianti masih harus berupaya keras mengajak warga desa Pulau Puhawang untuk menjaga dan melestarikan hutan bakau lewat pendidikan lingkungan kepada anak didiknya.
Di desa Pulau Puhawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Yulianti atau Ibu Guru Iyung, panggilannya, justru menemukan dunia mengajar dari kegiatannya sebagai aktivis lingkungan hidup pada tahun 1995.
Sebelum menjadi guru, ia bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Mitra Bentala yang fokus pada penyelamatan dan pengelolaan pesisir. Tahun 1995 pula dia lulus dari Jurusan Perkebunan Politeknik Universitas Lampung.
Sejak bergabung dengan Mitra Bentala, Iyung aktif mendatangi pesisir dan pulau-pulau di perairan Lampung. Setiap kali datang ke pulau, ia prihatin dengan kondisi pesisir yang tak terurus. Masyarakatnya pun tak peduli pada kesehatan dan kelestarian lingkungan, serta cenderung abai pada pendidikan.
Fakta itu menggugahnya, apalagi saat ia bekerja di Pulau Puhawang pada 1997. ia lalu mendalami kondisi pesisir di pulau seluas 1.020 hektar itu. Seharusnya pantai yang berpasir putih dan reatif tenang perairannya itu bisa menjadi obyek wisata. Tempat ini juga cocok untuk budidaya keramba jaring apung kerapu.
Namun, hutan bakau di pulau itu rusak atau malah habis, pulaunya pun kotor. Rupanya warga desa Pulau Puhawang memperlakukan laut sebagai "tong sampah" dan berperilaku hidup tak sehat.
"Mereka suka membuang hajat sembarangan," ujar Iyung. Warga desa seolah tak peduli pulau mereka bersih atau kotor.
Bahkan, saat harga kayu bakau sangat menjanjikan, demi rupiah yang bakal diterima, warga bersemangat membabat habis hutan bakau. Mereka tak menyadari, hutan bakau tubuh untuk menjaga pesisir pulau dari hantaman gelombang. Tahun 1975-1996 adalah kurun waktu rusaknya 141 hektar hutan bakau di pulau itu.
"Itu menjadi tantangan buat saya, kenapa warga bisa bertindak dan berperilaku tak sehat seperti itu?" ujarnya.
Sebagai aktivis lingkungan, Iyung ingin menyelamatkan hutan bakau dan lingkungan pulau. Ia lantas mengukur dan mendata hutan bakau yang rusak, sekaligus tingkat kerusakannya. Data ini diperlukan untuk mengetahui cara merehabilitasinya.
Berkat bantuan informasi dan data dari Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dusun Penggetahan, Puhawang dan fakta lapangan, ia mendapati warga Pulau Puhawang umumnya tak berpendidikan. Lulusan SD dinilai sudah bergengsi.
"Sumber daya manusia di sini rendah kualitasnya. Saya pikir inilah penyebab kerusakan lingkungan dan kotornya pulau ini," ujarnya.

Mulai mengajar

Bagi Iyung, lebih baik memperbaiki meski terlambat daripada sama sekali tak berupaya. Ia memilih memulai perbaikan dari siswa SD karena orangtua umumnya berpikiran konservatif, sulit berubah. Tahun 2000 ia memberikan les mata pelajaran kepada semua siswa mulai kelas I sampai kelas VI SDN Pulau Puhawang secara gratis. Sambil memberikan les pelajaran, ia menyisipkan pendidikan etika dan pendidikan lingkungan. Untuk melakukan perubahan, pendidikan yang tepat akan membuka pikiran warga pulau. Dengan menyisipkan dua macam pendidikan itu, Iyung berharap bisa memperbaiki perilaku warga sedikit demi sedikit.
Kesempatan membuat para siswa melek lingkungan makin terbuka saat ia menjadi tenaga sukarela mendampingi masyarakat Puhawang di bidang pendidikan tahun 2002. Sebagai guru sukarela yang membantu lima guru lainnya di SDN Pulau Puhawang, Iyung mendapat gaji Rp 60.000 per bulan.
Sebagai guru sukarela, Iyung mendapat tanggung jawab mengajar Bahasa Indonesia dan komputer untuk siswa kelas IV, V, dan VI. Ia mengajar khari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Selebihnya, hari-hari yang lowong ia gunakan memberi les Bahasa Inggris da Matematika untuk siswa kelas I sampai kelas VI secara gratis.
Dia juga mengajak para siswa mengenal lingkungan dan manfaat hutan bakau bagi pulau tempat tinggal mereka. Ia pun mengajarkan tentang pentingnya memelihara kesehatan lingkungan.
"Membuat para siswa mengerti dan tak lagi membuang sampah di laut atau membuang hajat itu membutuhkan waktu," ujar Iyung.
Namun, pelan-pelan para siswa bisa paham. Pemahaman mengenai kesehatan lingkungan dan pelajaran tentang pelestarian lingkungan itu kemudian diharapkan bisa menular kepada para orangtua siswa.
"Anak-anak kadang lebih berhasil memberi tahu orangtuanya dibandingkan dengan aktivis memberi tahu langsung kepada orangtua," ujar Iyung.
Upaya menyadarkan masyarakat lewat pendidikan itu membuat Iyung lalu mengambil Akta III di D-3 FKIP Universitas Lampung Jurusan Biologi pada 2003. Bulan April 2004 ia lulus dan mendapat sertifikat Akta III. Status Iyung lantas berubah dari guru sukarela menjadi guru bantu di SDN Pulau Puhawang.
Perubahan status itu tak mengubah minatnya. Iyung tetap mengajar dan mengajak siswa SDN Pulau Puhawang peduli lingkungan. Bersama aktivis Mitra Bentala, ia menyusun program pembelajaran. Kegiatan yang diberi nama Anak Peduli Lingkungan (APL) itu awalnya hanya kegiatan sampingan bagi siswa SDN Pulau Puhawang sejak 2003. Mulai tahun 2007 APL ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah.
Melalui APL, para siswa diajari menanam bakau, mengawasi, dan menjaga pertumbuhan bibit bakau. Upaya itu memang baru mencapai kisaran puluhan hektar. Namun yang terpenting, perbaikan hutan sudah dimulai.
Selama berkegiatan di Pulau Puhawang pula yang membuat Iyung menemukan jodoh. Ia menikah dengan Suryadi, anak mantan Ketua BPD Dusun Penggetahan pada 2004. Iyung juga diangkat sebagai guru PNS pada April 2008.
Namun, seperti bunyi pesan singkat yang dikirimkannya, tantangan Iyung mengajak masyarakat pulau menjaga kelestarian lingkungan lewat pendidikan kepada anak-anak belum berkurang. APL bersama warga desa memang telah berhasil membuat hutan bakau tumbuh di beberapa titik. Namun untuk menjaga semua kawasan pesisir, masyarakat harus terus bekerja keras.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 17 MARET 2009

Minggu, 24 April 2011

Agus Derajat : Perintis Kebangkitan Citarum


AGUS DERAJAT

Lahir : 21 Agustus 1967
Pendidikan : S1 Jurusan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia, 2008
Istri : Elit Siti Mariah (41)
Anak : Rihana, Bella, Sopia, Eva, Anggi

Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang menjadi hulu Sungai Citarum menarik minat banyak orang, termasuk Agus Derajat. Mereka menanami sayuran meski dikategorikan sebagai perambah. Kini dia justru berada paling depan untuk menjaga daerah tangkapan air bagi sungai yang menghidupi jutaan orang ini.

OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO

Barangkali Situ Cisanti bisa menjadi saksi kiprah Agus yang menjadi Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) TArumajaya. Situ Cisanti berasal dari kumpulan tujuh mata air yang dibendung menjadi danau dan dikelilingi pepohonan yang subur.
Kawasan ini menjadi bagian dari arboretum Wayang Windu. Wilayah ini termasuk dalam Petak 73 Perhutani yang menajdi kewenangan LMDH Tarumajaya.
"Kondisi tahun 2002 jauh berbeda, lereng gunung dipenuhi kebun sayur, pohon hilang karrena ditebangi dan mata air tidak memancar," kata Agus.
Sebagai Ketua LMDH Tarumajaya, Agus bersama Perhutani mengajak penggarap sayuran untuk turun dari wilayah hutan. Sebagai gantinya, dia menganjurkan agar komoditas dialihkan menjadi tanaman kopi..
Upayanya terbilang sukses. Petak 73 yang menaungi Situ Cisanti kembali rimbun, tujuh mata air kembali mengalirkan air yangjernih. Pepohonan eukaliptus berdiri jangkung, menyambut siapapun yang berkunjung ke Situ Cisanti.Sayang hal sama belum bisa dilakukan di petak yang lain. Agus menuturkan, Petak 73 mendapatkan perlakuan istimewa karena menjadi hulu Sungai Citarum sehingga program lintas sektor pun dikucurkan di kawasan ini. "Harusnya upaya serupa diulangi di petak lain," katanya.
Pekerjaan rumah yang belum diselesaikan adalah mencari komoditas yang bisa membuat petani berpaling dari sayuran. Agus menuturkan, lahan kopi seluas dua hektar hanya menghasilkan keuntungan Rp 2 juta setiap panen, sementara sayuran menghasilkan dua-tiga kali lipat dalam waktu empat bulan saja.
Komoditas lain, seperti rumput gajah dan murbei, juga tak bisa diharapkan karena permintaan pasarnya tidak jelas.

Tambahan penghasilan

Agus datang ke Kecamatan Kertasari tahun 1987 karena penempatannya sebagai guru. Ia lulus setahun sebelumnya dari sekolah pendidikan guru dengan spesialisasi Matematika. Ia mengajar di SDN Tarumajaya sebagai wali kelas VI.
Perkenalannya dengan budidaya sayur dimulai setahun setalah tingal di sini. Dengan penghasilan Rp 400.000 per bulan, dia ingin mencari tambahan. Agus tertarik menanam sayur secara berpindah-pindah di lahan Perhutani dengan garapan seluas 15 hektar.
Ketika itu wilayah tersebut masih dikategorikan sebagai hutan produksi dengan komoditas pinus dan kayu putih. "Kondisi hutan tahun 1988 masih bagus, Gunung Wayang dikenal karena keangkerannya," ujarnya.
Maraknya pemberian kredit usaha tani sekitar tahun 1998 membuat semua orang kian mudah memiliki modal menjadi petani . Hal itu menimbulkan dampak serius terhadap perkebunan sayur di Kertasari.
Orang yangd atang dengan uang banyak lalu menyewa tanah garapan. Alih fungsi wilayah hutan menjadi lahan sayuran berlangsung dengan laju yang agresif hingga tahun 2002.
Kenyataan itu mengejutkan Agus sehingga ia memilih berbalik dan melawan arus. Dia sadar ada dua kepentingan yang sedang beradu, yaitu memenuhi kebutuhan ekonomi serta kelestarian lingkungan yang dibutuhkan lebih banyak orang.
Dia mengajak tokoh-tokoh petani penggarap untuk berserikat dan mendirikan forum Petak 73 sebagai wadah bagi 334 kepala keluarga.
Melalui musyawarah, aspirasi warga dikumpulkan dan dicatat satu persatu, kemudian disampaikan kepada Pemerintah Profinsi Jawa Barat.
Aspirasinya saat itu mereka bersedia turun dari wilayah hutan asalkan ada pengganti komoditas untuk menghidupi keluarga. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah sapi perah yang diadakan melalui mekanisme kredit atau hibah.

Pembunuh petani

Keinginan pemerintah untuk menurunkan perambah ternyata tak dibarengi kekuatan anggaran. Dari 334 kepala keluarga yang tergabung dalam Forum Petak 73, ternyata hanya mendapatkan bantuan dantuan domba 580 ekor dengan skema setiap keluarga mendapat 11 ekor. Jadilah hanya 52 keluarga yang mendapatkan jatah bantuan.
Kondisi tersebut membuat posisi Agus terpojok. Tak ada solusi bagi 282 keluarga lain sambil menunggu domba yang dipelihara 52 keluarga hingga beranak dan bergulir. Demi menghindari keributan, dia membagi domba-domba tersebut kepada seluruh anggota meskipun tak disarankan karena tidak efektif.
"Yang penting mereka turun terlebih dahulu," katanya. Tindakan Agus yang mengajak petani untuk turun dari perambahan membuat dia mendapat julukan kurang mengenakkan, "pembunuh petani". Ini membuat dia sakit hati bahkan ada orangtua yang sengaja memindahkan anak mereka daris ekolah yang diajar Agus gara-gara tindakannya itu.
Namun, sebutan itu tak membuat dia ciut. Akhir tahun 2003 dia terpilih menjadi Ketua LMDH Tarumajaya yang menjadi cikal bakal LMDH Perhutani. LMDH Tarumajaya beranggotakan 786 orang dengan luas wilayah 700 hektar meliputi tujuh petak Perhutani.
Dia mengakui, sampai sekarang masih ada anggota yang tetap menanam sayur di wilayah Perhutani. Namun hal itu tak akan membuat dia menyerah.
"Kami tak bisa menggunakan pendekatan represif, harus sabar membina dan menyadarkan mereka," katanya.
Sebagai guru, Agus juga menyelipkan materi lingkungan. Setiap hari sabtu, dia mengajak para murid berjalan-jalan ke Cisanti dan melihat langsung manfaat cinta lingkungan. Dengan sendirinya, sebutan "pembunuh petani" pun perlahan meredup.

Masalah lahan

Selain LMDH, Agus juga dipercaya menjadi Ketua Forum Kertasari Bersatu yang menaungi kalangan lebih luas. Salah satu agenda mereka adalah mengadvokasi warga agar memiliki lahan garapan.
"Akar masalah di Kertasari adalah keterbatasan lahan yang bisa diolah sehingga membuat warga tak punya pilihan selain merambah hutan," katanya.
Kecamatan Kertasari memiliki luas 15.000 hektar, hanya 1.000 hektar diantaranya yang berstatus milik masyarakat. Sisanya terbagi dalam wilayah Perhutani atau PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Dengan lahan seluas 1.000 hektar, jelas masalah timbul karena jumlah penduduknya 66.000 jiwa.
Kini mereka memanfaatkan tanah milik PTPN VIII yang dianggap telah habis masa hak guna usahanya seluas 1.053 hektar. Dia mengkhawatirkan masalah lebih besar bakal timbul bila pemerintah menutup akses warga ke tanah perkebunan itu. Ia khawatir masyarakat bakal kembali naik ke hutan.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 APRIL 2011