Senin, 30 Mei 2011

Muda Balia, Benteng Muda Hikayat Aceh


TENGKU MUDA BALIA

Nama asli : Balia
Lahir : Desa Seunuboek Aluebuluh, Kecamatan Pakongan, Kabupaten Aceh, 1980
Pendidikan : Sekolah dasar
Istri : Nursimah (27)
Anak :
- Lia Santika (4)
- Ramatullah (2)
Pekerjaan : Seniman Hikayat Aceh
Penghargaan antara lain :
- Festival Internasional Seni Tradisi Lisan Maritim, Wakatobi, 2009
- Penghargaan sebagai peserta Pekan Kebudayaan Aceh, 2009

Meudak kajakjak beulaku linggang Meudak kamu pinggang beulaku ija Meudak kamu mungui bulaku tuboeh Meudak kapajoeh belaku harta Bek kapajoeh harta harta riba Bek kajakrot harta harta riba
(Jika jalan, berjalanlah apa adanya
Jika berbusana janganlah berlebihan
Jika berpakaian, sesuaikan ukuran tubuh
Jika makan, ambil dari hartamu sendiri
jangan makan harta orang lain
Jangan makan harta harta riba)

Itulah sepenggal bait hikayat Aceh kuno dalam kisah Dangderia. Ini merupakan satu dari ribuan hikayat Aceh yang berisi ribuan bait kisah dan nasihat dari seorang tokoh fiksi bernama Dangderia. OLEH M BURHANUDIN Sore itu hikayat bijak turun-temurun tersebut terlantun indah dari bibir Tengku Muda Balia, satu dari segelintir seniman hikayat Aceh klasik yang masih tersisa. bagi Muda, panggilannya, bait Dangderia amat bernilai. "Kunci kebahagiaan, keselamatan, dan hidup damai di dunia ini adalah jika kita tak makan harta orang lain. Ini sudah dinasihatkan orang tua kita, termasuk lewat hikayat. Namun, banyak orang yang melupakannya," katanya.
Dahulu hikayat bagi masyarakat Aceh tak sekadar tontonan. Hikayat merupakan tuntunan. Melalui hikayat, ulama berdakwah, istana menyampaikan kebijakan , dan orangtua berpetuah kepada anaknya.
"Hikayat ibarat sampan. dari hikayat disampaikan informasi, moral, dan semangat. Istilahnya, radio 'bergigi' dan seniman hikayat medianya," katanya.
Peran seniman hikayat pun melintas deru perang. Pada zaman penjajahan Belanda, seniman hikayat berperan membangkitkan semangat juang pejuang Aceh. Sejak itu ribuan bait hikayat tentang perang Aceh tercipta. Belanda pun membenci seniman hikayat sebagaimana mereka membenci kegigihan orang Aceh berperang.
Pada masa kemerdekaan, seni asli Aceh ini justru kian terpinggirkan. Bermula dari tuduhan miring pemerintahan Orde Baru atas keterlibatan seniman hikayat dalam Partai Komunis Indonesia, banyak seniman yang diberangus.
"alhamdulillah, di Aceh Selatan masih tersisa beberapa seniman generasi barudari sana, termasuk Tengku PM Toh dan muridnya," katanya.
Namun, suasana konflik membuat seni hikayat terpinggirkan di panggung dan tutur masyarakat Aceh. Kini di Aceh Selatan tinggal enam seniman yang menguasai hikayat klasik. "Mereka umumnya berusia lanjut. Regenerasi sulit karena minimnya kesempatan tampil seniman dan makin jarangnya anak muda yang tertarik hikayat Aceh."
Muda adalah satu-satunya seniman muda hikayat Aceh yang menguasai teks lama. Ia berasal dari Aceh Selatan dan sejak tahun 2002 tinggal di Banda Aceh.
Nama Muda menghiasi pemberitaan media lokal bulan Januari 2010 saat ia mencetak rrekor Muri. Kala itu ia melantunkan hikayat Aceh selama 26 jam nonstop. Namun, setelah itu masyarakat seperti melupakannya, sebagaimana seni hikayat yang kian hilang.
Muda mengisi hari-harinya menjaga kedai kopi sebagai penopang hidup diri dan keluarganya. "Seni hikayat tak bisa menjadi gantungan hidup. Kadang sebulan sekali ada yang mengundang, terkadang lima bulan tak ada undangan," katanya.
Meski demikian, ia tetap setia pada hikayat Aceh. Selain sesekali manggung, Muda tengah menulis tetang kisah hikayat. Dia berharap buku berjudul Hikayat Maksan, Hana di Pateh Judoe Bak Jaroe Tuhan (Maksan Yang Tak Percaya Jodoh di Tangan Tuhan) itu bisa diterbitkan menjadi buku. "Saya tak punya uang untuk mencetak dan menerbitkannya sendiri."
Sebenarnya Muda ingin menuliskan ribuan hikayat klasik yang masih dihafalnya dalam buku. Namun, ketiadaan dana dan kesibukan mencari nafkah membuat dia tak kunjung mewujudkan keinginan keinginan itu. Meski di Aceh relatif sulit mencari orang yang hafal teks hikayat klasik.
"Saya prihatin, hikayat klasik semestinya menjadi buku. Saya mau menulis buku hikayat, tetapi siapa yang menanggung biaya keluarga kalau saya tak bekerja? saya tak punya waktu. Padahal, hikayat itu banyak sekali. Kalau dimainkan tujuh hari tujuh malam tak habis," katanya.

Kisah hidup

Balia adalah nama asli Muda Balia. Ia lahir tahun 1980. Ia tak tahu tanggal kelahirannya. "Orangtua saya tak pernah mencatatnya. Kami keluarga petani sederhana di desa," ujarnya.
Muda tak punya darah seni dari orangtuanya. Perkenalan dia dengan hikayat dimulai dari menonton pertunjukan hikayat pada hajatan perkawinan atau khitan di desanya. "Sejak kecil saya suka melihat hikayat. Saya sampai hafal syair-syair yang dimainkan bapak-bapak pemain hikayat," katanya.
Namun, orangtua melarang dia belajar seni hikayat. Saat itu nyaris tak ada anak muda yang memainkan hikayat, selain karena hikayat tak bisa dijadikan gantungan hidup. "Banyak seniman hikayat yang mati tiba-tiba. Itulah alasan bapak melarang saya belajar hikayat," ungkapnya tentang situasi saat itu.
Ketika duduk di kelas IV SD, dia mendapat tawaran bermain hikayat di rumah tetangga yang menggelar hajatan khitanan. Sang tetangga mengundangnya setelah melihat Muda memainkan syair hikayat di pinggir jalan. "Sejak saat itu saya dipanggil Muda Balia, satu-satunya pemain hikayat muda."
Namun, pentas pertama Muda itu berakhir tragis. Bapaknya mendatangi panggung dan memaksanya pulang. "Bapak marah karena tak suka saya bermain hikayat," kenangnya.
Awal 1990-an Muda menyelesaikan SD dan tak melanjutkan pendidikan karena ketiadaan dana. Tiga bulan setelah dia lulus SD, bapaknya meninggal dunia. Muda harus mencari nafkah. Di sela-sela mencari kayu bakar di hutan, sesekali ia bermain hikayat.
Tahun 1996 seniman hikayat tua asal Aceh Barat Daya, Tengku Zulkifli merekrutnya sebagai murid. Siang dia bekerja di ladang dan malam berlatih hikayat. Dua tahun belajar dengan Tengku Zulkifli, pada 1998 ia pindah ke Takengon. Masa konflik Aceh memaksanya berjuang dari hutan ke hutan.
Tahun 2002 ia ke Banda Aceh dengan tujuan menekuni seni hikayat. Ini tak mudah karena masyarakat enggan memanggungkannya, bahkan sebagian tak kenal hikayat Aceh. Ia lalu bergabung dengan komunitas seniman. Beberapa kali ikut festival seni tradisi lisan tingkat nasional dan internasional, penghargaan pun beberapa kali didapatnya. Namun, apresiasi pada penguasaan seninya nyaris kosong. jangankan bantuan menerbitkan buku, membuat pentas seni hikayat berkala saja tak terealisasi.
"Padahal, saya tak berharap muluk, hanya ingin pemerintah membuat gedung kesenian agar setiap tahun bisa dibuat pentas bagi seniman Aceh," kata Muda.
Awal 2011 Muda mengirim surat kepada Gubernur Aceh Irwandi yusuf. Ia berharap difasilitasi mengajar 23 seniman hikayat istana di kabupaten dan kota di Aceh. Ini wujud keprihatinan atas terancamnya hikayat dari tanah Aceh.
"Saya menuntut janji gubernur dalam kampanye yang ingin membangkitkan budaya Aceh. Hikayat itu seni dan jati diri orang Aceh. namun, surat saya belum ditanggapi," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 31 MEI 2011

Minggu, 22 Mei 2011

Gugun Blues Shelter Melawan Arus Besar


MUHAMMAD GUNAWAN/GUGUN

Lahir : Duri, Riau, 22 November 1975

JONATHAN ARMSTRONG/JONO

Lahir : Inggris, 1 Februari 1980

ADITYO WIBOWO/BOWIE

Lahir : Jakarta, 23 Juni 1984
Album antara lain :
1. Get the Bug, 2004
2. Turn it On, 2006
3. Self titled: Gugun Blues Shelter, 2010
Panggung internasional antara lain:
1. KL Blues Festival 2008, Malaysia
2. UK Tour (Colne Blues Festival, Belfast Big River Jazz & Blues Festival), Agustus
2008
3. Singapore Grand Prix Race Event, September 2009
4. Singapore Rock & Roots Festival 2010
5. Shanghai World Expo 2010-August 2010

Ditolak dan dicemooh musik mereka tak akan laku, tidak meruntuhkan keteguhan trio Gugun Blues Shelter. Setelah melewati masa penuh perjuangan, jatuh dan bangun, keteguhan itu berbuah manis. Panggung utama "Hard Rock Calling 2011" di Hyde Park, London, Inggris, menjadi bukti. Gugun Blues Shelter layak diperhitungkan, tak hanya di Tanah Air, tetapi juga di panggung internasional.

OLEH DWI AS SETIANINGSIH

Kabar Gugun Blues Shelter tengah mencari dukungan suara agar lolos di ajang "hard Rock Calling 2011" merebak cepat di jejaring sosial. Gugun Blues Shelter (GBS) yang diawaki Muhammad Gunawan alias Gugun (vokal dan gitar), Jonathan Armstrong alias Jono (bas), dan Adityo Wibowo alias Bowie (drum) menjadi satu dari 39 band lain dari sejumlah negara yang akan bertarung memperebutkan panggung utama di ajang prestisius itu.
Tahun ini musisi yang akan tampil di tempat itu adalah Bon Jovi, Rod Stewart, Stevie Nicks, dan The Killers. Tahun lalu nama-nama besar di industri musik internasional seperti Jamiroquai, Aerosmith, dan John Mayer juga tampil. Ajang ini selalu sukses dan dipadati ratusan ribu penonton.
"Semua berawal dari mimpi," ujar Gugun.
Gugun, Jono, dan Bowie memendam impian, kelk mereka tak hanya main di cafe, tetapi juga pada skala internasional, disaksikan ribuan penonton seperti di Stadion Wembley dan Stadion Reebook, Inggris. Dua stadion ini pernah mereka kunjungi saat menggelar tur di London beberapa tahun lalu.
Meski demikian, ihwal keikutsertaan mereka di ajang "Hard Rock Calling 2011" berawal dari iseng."Manajer kami menerima e-mail tentang event ini. Lalu kami mencoba," ujar Bowie.
Tak disangka, keisengan mereka berbuntut panjang. GBS lolos menjadi 40 besar yang akan bersaing di ajang tersebut. Berada di region 2, GBS bersaing dengan sejumlah band dari Meksiko dan SIngapura, termasuk band asal Bali, Navicula.
Begitu masuk 40 besar, GBS tak lagi sekadar iseng. "Kami jadi lebih serius mencari dukungan, termaasuk dari media," kata Jono, personel bule di GBS.
GBS pun sukses masuk empat besar. Usaha keras GBS berlanjut hingga mereka dinyatakan berhak tampil di panggung utama "Hard Rock Calling 2011". Impian mereka mulai menemukan jalan. agi GBS, ini sejarah karena sebelumnya tak pernah ada band asal Asia yang bisa tampil.
Meski GBS "hanya" tampil sebagai band pembuka, tak sedikit pun mengurangi rasa bangganya. "Banyak orang luar yang tak tahu Indonesia. Banyak orang tahunya Bali, bukan Indonesia. Ini bisa menjadi promosi yang bagus untuk Indonesia," kata Jono.
Untuk penampilan mereka di Hyde Park, GBS mempersiapkan sejumlah lagu. ono malah sudah mempersiapkan kostum Presiden Soekarno untuk dikenakan di panggung.

Melata dari bawah

Sebelum menggunakan nama Gugun Blues Shelter, Gugun dan Jono telah membentuk Gugun and The Bluesbug. "Tahun 2004 saya bertemu Jono. Kami membuat band yang memainkan blues dengan sentuhan rock," kata Gugun. Dia dan Jono dipersatukan oleh kecintaan pada sosok yang sama, Jimi Hendrix.
Mereka sempat berencana membuat album berbahasa Inggris sebagai persiapan manggung di Australia. Rencana itu gagal karena bencana bom. Mereka lalu berencana membuat album kedua. Rencana ini juga gagal karena Jono harus kembali ke Inggris, meneruskan sekolah.
Tahun 2008 trio Gugun, Jono, dan Bowie bertemu dan bermain untuk pertama kalinya. saat itu Jono telah selesai kuliah dan kembali ke Indonesia. Mereka sepakat memakai nama Gugun Blues Shelter. Nama ini terinspirasi acara yang digelar di Kemang, Jakarta, "Soul Shelter".
"Nama Bluesbug ternyata dipakai band dari Yunani. Meski jenis musik kami beda, kami memilih tak memakai nama itu dan menggantinya dengan Gugun Blues Shelter," ujar Jono.
Dengan nama baru, GBS mulai melata membawa blues ke panggung di kafe-kafe. Di luar negeri, agen mereka rajin menawarkan GBS untuk bermain di banyak acara sehingga berkesempatan tampil di luar negeri.
Meski di luar negeri GBS mendapat respons positif, tetapi tak demikian di dalam negeri. Kerap kali kontrak mereka di beberapa kafe tidak diperpanjang.
"Menurut mereka, musik kami terlalu keras. Kami juga kerap main sore, enggak dapat lighting memadai," kata Gugun. Tak jarang GBS main hanya ditonton pelayan kafe.
Meski musik mereka dipandang sebelah mata karena dianggap tak laku, GBS pantang mundur. "Kami yakin melakukan hal yang benar dengan musik kami," kata Gugun.
Kesempatan bermain di "Java Jazz Festival 2010" menjadi catatan penting perjalanan GBS. Meski bermain di panggung luar, penampilan mereka menarik perhatian penonton.
Setelah tahun ini merilis album Self titled: Gugun Blues Shelter, GBS makin populer. GBS kerap diundang tampil di acara kampus sampai pentas seni SMA. Tanggal 17-26 Mei, GBS kembali bertolak ke London, menggelar tur mereka di sejumlah kafe.

Tetap jalur blues

Gugun mengenal gitar sejak usia 9 tahun. Pria kelahiran Duri, Riau, ini sempat belajar gitar secara serius meski beberapa kali terputus di tengah jalan.
"Awalnya saya belajar musik klasik. Tetapi kata gurunya, saya enggak usah main klasik lagi. Sayang, karena saya bisa menyanyi," kata Gugun.
Jono mengenal bas sejak usia 10 tahun. Dia sempat les piano, tetapi hasratnya pada bas lebih besar. Ia terus mengeksplorasi alat musik itu hingga menemukan gayanya sendiri.
Sementara Bowie tertarik drum setelah mengkuti marching band saat kuliah di Yogyakarta. Ketertarikan itu terus berlanjut hingga ia belajar khusus pada penggebuk drum GIGI, Gusti Hendi, sekitar enam bulan. Bowie kerap mengikuti sejumlah kelas yang digelar kampusnya, Universitas Gadjah Mada.
Ketiganya berupaya konisten memainkan musik yang mereka usung. Salah satu bentuknya, saat ada perubahan arus besar musik, GBS tak latah meski tekanan yang datang begitu besar. Mereka keukeuh di jalur blues dengan memegang keyakinan kelak akan sukses.
Ketiganya sadar, musik tak membuat mereka kaya raya. "Kami lebih senang musik kami diapresiasi orang karena kami memainkannya dari hati," kata Jono. Bagi mereka, materi hanyalah efek, bukan tujuan.

dikutip dari KOMPAS, SENIN, 23 MEI 2011

Kamis, 19 Mei 2011

Habib Nadjar Buduha : Pahlawannya "Pahlawan" Laut


HABIB NADJAR BUDUHA

Lahir : Kendari, 30 Maret 1964
Pendidikan : S-1 ekonomi
Pekerjaan :
- Wartawan Surat Kabar Fajar, Makassar (1988-1994)
- Pegawai dan Wirausaha biro perjalanan (1994-2005)
- Pendiri Konservasi Taman Laut Kima Toli-toli, Sulawesi Tenggara (2010-sekarang)

Selama 28 tahun merantau, Habib Nadjar Buduha (47) terkejut ketika kembali ke kampung halamannya di Desa Toli-toli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kerang-kerang laut besar, atau yang biasa disebut kima, sudah menghilang dari desanya yang asri di tepi pantai.

OLEH MOHAMAD FINAL DAENG

Padahal, ketika ia masih kecil, kima-kima beraneka rupa dan warna menjadi "sahabat" setia bocah-bocah kampung saat menyelam di laut. Keelokan kima menjadi pemandangan tersendiri saat menjelajahi lantai laut Desa Toli-toli.
"Sekarang, kima hampir punah karena terus-menerus diburu. Perburuan itu bukan hanya dilakukan nelayan lokal, tetapi juga sudah melibatkan perusahaan besar dan nelayan asing," kata Habib, saat ditemui di desanya, beberapa waktu lalu.
Kima (Tridacna) menjadi komoditas bernilai tinggi karena dagingnya yang kaya protein. Harga daging kering kima di pasaran dunia mencapai 150 dollar AS per kilogram (sekitar Rp 1,3 juta). Selain itu, cangkangnya menjadi incaran industri perhiasan dan dekorasi.
Kondisi tersebut, kata Habib yang pernah menjadi wartawan koran lokal di Makassar, Sulawesi Selatan, meresahkannya. Dia kemudian terdorong untuk menyelamatkan kima. Apalagi, dari risetnya di berbagai literatur, kima berperan vital bagi ekosistem laut.

Vital

Kima berfungsi sebagai penyaring alami air laut. Saat makan, ia menyedot air laut untuk menyerap plankton dan segala kotorannya. Setelah dicerna, air laut dikeluarkan lagi dalam kondisi bersih. Proses itulah yang menjaga kebersihan laut yang penting bagi kesehatan terumbu karang.
Hewan yang biasa hidup di puncak gunung laut (rab) itu juga menjadi "pabrik" makanan bagi satwa-satwa laut lainnya. Telur dan anak kima menjadi santapan bagi ikan, gurita, dan kepiting. Tubuh kima juga menjadi rumah bagi berbagai terumbu karang. "Karena fungsinya itu, kima bisa dibilang sebagai 'pahlawan' laut," kata Habib.
Dari sembilan jenis kima yang ada di dunia, tujuh di antaranya hidup di perairan dangkal (maksimal kedalaman 20 meter) dan hangat di seantero Nusantara. Jumlah itu termasuk dua jenis yang paling langka, yakni Tridacna gigas (kima raksasa) dan Tridacna derasa (kima selatan).
"Dua jenis kima itu sekarang hanya bisa ditemukan di perairan sepanjang Sulawesi hingga Papua," kata Habib. Tridacna gigas dan Tridacna derasa menjadi langka karena paling kerap diburu mengingat ukurannya yang besar. Kima jenis ini bisa mencapai panjang 1,3 meter dengan berat 200 kilogram.
Permasalahan muncul karena eksploitasi yang berlebihan itu tak sebanding dengan laju pertumbuhan kima. "Hewan ini lambat perkembangbiakannya, hanya berkisar 2-12 sentimeter setiap tahun. Untuk tumbuh hingga sepanjang 1 meter dibutuhkan waktu 8-50 tahun," ujar Habib.
Pemerintah pun telah memasukkan lima jenis kima (Tridacna crocea, Tridacna derasa, Tridacna gigas, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa) sebagai satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.

Konservasi

Karena itulah, Habib tergerak untuk menyelamatkan kima. dengan modal yang dikumpulkannya sendiri, ia mengajak beberapa teman warga desanya menjelajahi perairan timur Sultra hingga kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah untuk menyurvei lokasi-lokasi kima yang tersisa.
Proses itu dilakukan selama tiga bulan di akhir 2009. "Dari situ, kami memperoleh lima ekor kima yang terdiri dari dari jenis Tridacna gigas, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa," kata Habib.
Lima kima pertama itu kemudian dibawa pulang ke Toli-toli dan dilepaskan di laut sekitar pantai yang telah disiapkan sebagai wilayah konservasi kima oleh Habib. Setelah disurvei, wilayah Toli-toli dan sekitarnya dinilai sebagai lokasi yang tepat untuk konservasi kima karena memiliki rab yang tak jauh dari daratan.
"Daerah ini dulunya juga merupakan habitat asli kima serta memiliki bebatuan dan terumbu karang yang masih terjaga," tambah Habib.
Sejak saat itu, tepatnya pada 1 Januari 2010, habib mendirikan Konservasi Taman Laut Kima Toli-Toli. Hingga sekarang, Habib bersama rekan-rekannya telah mengumpulkan lebih kurang 1.500 kima dari tujuh jenis yang ditempatkan dan dipelihara di konservasi laut seluas 20 hektar.
Kima-kima itu dikumpulkan dengan peralatan dan perlengkapan sederhana, yakni sebuah kapal motor tradisional berbobot 3 ton dan peralatan menyelam yang memakai mesin kompresor tambal ban sebagai pemasok udara.
Pencarian kima dilakukan sebuah tim yang beranggotakan tujuh orang selama tiga hari seminggu. "Setiap kali pencarian, kami bisa mengumpulkan 30-40 ekor," kata Habib.
Tim juga kerap menyosialisasikan kepada warga lokal tempat mereka mengumpulkan kima untuk menjaga biota laut itu dari perburuan berlebihan.
Sayang, upaya penyelamatan hasil inisiatif dan swadaya warga itu belum mendapat perhatian pemerintah. Jangankan bantuan materi atau peralatan, proposal perizinan untuk konservasi yang diajukan Habib sejak Oktober 2010 saja hingga kini belum jelas rimbanya.
Untuk biaya operasional bensin kapal dan logistik yang mencapai sekitar Rp 1 juta setiap perjalanan ditutupi Habib, atau dari hasil sambilan mencari lobster dan ikan. "Kadang kalau tidak ada uang, ya pinjam kanan-kiri dulu, ha...ha...," ujar ayah satu anak tersebut.
Namun, Habib tidak ambil pusing dan tetap jalan meski dengan kemampuan seadanya. "Kalau menunggu pemerintah atau bantuan, mungkin sudah habis duluan semua kima," ujarnya. Pasalnya, ia dan rekan-rekannya setiap hari harus berlomba dengan para pemburu kima yang di antaranya memiliki perlengkapan canggih dan modal besar.
"Pernah ada pengalaman, saat kami mendapat info dari warga tentang habitat kima di suatu tempat. Ketika keesokan harinya kami datangi, sudah tinggal tersisa cangkang-cangkangnya saja," kata Habib.
Meski getir dan kembang-kempis, Habib dan rekan-rekan seperjuangannya bertekad untuk tetap menghidupkan upaya konservasi ini.
"Paling tidak, anak cucu saya nanti masih bisa melihat kima hidup di alam bebas," ujar Habib.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 20 MEI 2011

Rabu, 18 Mei 2011

Ridha M Ichsan : Anak Muda Mencari "Identitas" Kota


RIDHA M ICHSAN

Lahir : Bogor, Jawa Barat, 8 Januari 1982
Istri : Yeni Herliana (25)
Pendidikan : S-1 Teknik Elektro Universitas Ibnu Chaldun Bogor, lulus 2005
Pekerjaan : Wiraswasta
Organisasi : Koordinator Komunitas Kampoeng Bogor

Ridha M Ichsan lahir dan tumbuh besar di Bogor, Jawa Barat. Namun, dalam sebuah diskusi, ia sadar ternyata tak banyak yang diketahuinya tentang Bogor, terutama sejarah kotanya. Ia yakin, banyak pula anak muda seusianya yang mengalami hal serupa. Padahal "lupa ingatan" sejarah kota bisa bermakna negatif bagi pembangunan kota itu.

OLEH ANTONY LEE

"Akibatnya, kota bisa dibangun tanpa mempertahankan karakter, sekadar mengikuti kepentingan ekonomi. Kota akan jadi seragam dan tidak lagi menarik. Ini juga terjadi pada Kota Bogor," tutur Ridha, April lalu.
Ia mencontohkan, dulu di Bogor pembagian kawasannya jelas. Sementara kini sukar memisahkan di mana wilayah untuk permukiman dan bagian mana yang merupakan tempat komersial.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Raffles, sekitar abad ke-18 membangun kantor pelayanan, militer, rumah sakit, dan pendidikan di sekitar Istana Bogor. Sedangkan permukiman berada di daerah utara-barat kota.
Tahun 1930-an, arsitek Thomas Karsten mengembangkan Bogor ke arah Kedung Halang, di utara. Kini, Kota Bogor berkembang ke mana-mana, dengan mengitari Istana dan Kebun Raya Bogor. Oleh pemerhati masalah kota, kondisi ini dikhawatirkan bakal membuat Bogor menjadi tidak nyaman.
Kekhawatiran itu yang mendorong Ridha bersama beberapa anak muda di Bogor, seperti Uthie, Anggit, Ophie, Yudha, Sena, Jati, dan Reza merintis Komunitas Kampoeng Bogor pada tahun 2007. Mereka juga mendapat dukungan dari almarhum A Baehaqie, dosen Institut Pertanian Bogor. Setahun kemudian, Ridha "dipaksa" teman-temannya menjadi koordinator Kampoeng Bogor.
Komunitas itu mencoba menggali sejarah Kota Bogor, lalu mendiseminasikannya lewat aneka media dan kegiatan. Tugas yang seharusnya lebih banyak dilakukan pemerintah setempat.
Kini, ada 10 orang pengurus Kampoeng Bogor dan sekitar 50 sukarelawan. Ridha bercerita, ia tertarik menggali dan menyebarkan sejarah kota karena membayangkan Bogor sebagai sebuah kampung sekaligus rumah yang tetap nyaman bagi penghuninya.
Ia percaya, untuk membuat rumah yang nyaman, harus ada kepedulian dari penghuninya. Sebelum peduli, warga harus terlebih dulu tahu, seperti apa rumah mereka pada tahun-tahun lalu dan kini, sehingga memiliki bayangan akan menjadi seperti apa Bogor pada masa mendatang.
"Tapi saya enggak punya latar belakang sejarah, begitu pula teman-teman. Ini menjadi tantangan. kami lalu mencari literatur dan berbicara dengan sesepuh serta sejarawan," tuturnya.

Pluralitas Bogor

Selain aktivitas rutin mengumpulkan informasi sejarah Bogor, mereka juga kerap menggelar studi lapangan, mengajak anak-anak muda lainnya. Misalnya, pada bulan Ramadhan tahun 2010 mereka menggelar "Menapak Identitas, Jejak Masjid Tua Kota Bogor".
Selain itu, mereka juga tengah menyiapkan dua buku tentang Bogor, yakni Bogor di masa peralihan penjajahan ke Pemerintah Indonesia tahun 1942-1946, serta jejak masjid tua di Bogor. Sebelumnya, Kampoeng Bogor sudah menghasilkan buku kecil berjudul Bogor Kota Terindah di Jawa karya A Baehaqie. Selain itu, mereka juga membuat situs berisi sejarah Bogor, yakni kampoengbogor.org.
Tahun 2008-2010 Ridha dan rekan-rekannya di Kampoeng Bogor mendorong agar perayaan Cap Go Meh dengan arak-arakan liong dan barongsai serta joli berisi patung dewa dari klenteng Dhanagun di Pasar Bogor hingga pertigaan batu Tulis juga "dikawinkan" dengan budaya Sunda. Hasilnya, acara itu meriah, sekaligus menampilkan pluralitas Bogor.
"Sejak zaman dulu, Bogor itu sudah plural. Ada budaya Sunda, Tionghoa, Arab, maupun Indo-Belanda. Sehingga kalau Bogor disebut kota yang multikultur, memang betul. Kondisi ini sudah terjadi sejak lama," tutur Ridha.
Markas Kampoeng Bogor terletak di Jalan Pangeret Ujung, Kota Bogor. Suasananya cukup tenang karena posisi sekretariat itu tidak terlalu dekat dari jalan raya.
Di bagian terdepan sekretariat itu dipajang beberapa baju kaus dengan gambar dan tulisan seputar Bogor tempo doeloe, serta meja pamer berisi aneka suvenir, seperti mok, stiker, tas, pin, serta gantungan kunci. Di ruang dalam terpajang foto-foto Bogor masa lalu dan beberapa barang antik.
Sekretariat itu mereka tempati sejak tahun 2008 dengan sewa Rp 9 juta per tahun. Ridha mengakali beban sewa tersebut dengan urunan pengurus, serta sisa pendapatan dari menjual suvenir yang dipajang di sekretariat. Ia mengaku belum terpikir untuk mengumpulkan donasi.

Pusat informasi

Ridha mengakui, keuangan memang menjadi salah satu kendala Komunitas Kampoeng Bogor. Dua buku yang sedang disiapkan, misalnya, belum bisa dicetak kendati naskah sudah terkumpul. Ini lantaran keterbatasan biaya.
Namun, Ridha tidak putus asa. Mereka mencoba mengumpulkan keuntungan penjualan suvenir serta sisa dana kegiatan. Selain itu, Ridha juga harus memutar otak untuk menyesuaikan jadwal pengurus Kampoeng Bogor.
Sebagian besar pengurus sudah lulus dari perkuliahan dan memiliki aktivitas masing-masing dalam mencari nafkah. Ada yang menjadi konsultan, ada pula yang mendirikan usaha bidang jasa penyusunan website (situs web).
"Tidak mungkin memaksa mereka terus siap untuk Kampoeng Bogor. Jadilah dibuat 'jadwal', hari ini siapa yang sibuk, lalu siapa yang longgar waktunya untuk mengerjakan tugas," tutur Ridha.
Dia sendiri memenuhi kebutuhan hidup -beserta istri yang baru beberapa bulan lalu dinikahinya- dari membantu teman-teman yang memiliki usaha. Orangtuanya sempat mengingatkan agar Ridha bekerja di kantor. Harapannya, dari sisi keuangan, hidup Ridha bisa lebih stabil. Namun, ia memilih mengembangkan Kampoeng Bogor. "Sampai Kampoeng Bogor bisa menjadi pusat informasi sejarah soal Bogor."
"Sekarang mulai ada mahasiswa yang menyusun skripsi tentang Bogor yang datang ke Kampoeng bogor. Itu cukup menggembirakan," katanya menambahkan.
Selain itu, Ridha juga berharap komunitas ini tumbuh menjadi organisasi yang menyerupai perusahaan. Bertujuan sosial, tetapi bisa bergerak seperti perusahaan yang mampu membiayai sendiri kegiatannya. Dia yakin, dengan begitu akan lebih mudah mendorong regenerasi pengurusnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 19 MEI 2011

Selasa, 17 Mei 2011

Herman Malano : Membangun Mal untuk Para PKL


HERMAN MALANO

Lahir : Indragiri, Riau, 11 Agustus 1950
Istri : Tuti Malano ( 48)
Anak :
- Riando (27)
- Nina Permata (25)
- Riski Malano (19)
- Hesti Malano (16)
- Robi Bone Malano (9)
Pendidikan :
- SMA di Pekanbaru, hanya sampai kelas I
- SMP di Pekanbaru
Pekerjaan :
- Pebisnis garmen
- Konsultan pasar
Organisasi :
- Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Wilayah Lampung
- Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Ekonomi dan Budaya (Gebu)
Minang
- Ketua Umum Ikatan Keluarga Minang Provinsi Lampung

Tinggal selangkah, Herman Malano mewujudkan mimpinya hampir 30 tahun ini, yaitu mendirikan pusat perbelanjaan modern yang nyaman dan murah secara mandiri sehingga terjangkau bagi para pedagang "kasta" terendah alias pedagang kaki lima.

OLEH YULVIANUS HARJONO

Pembangunan mal bambu Kuning Square (BKS) di depan Stasiun Kereta Api Tanjungkarang, Bandar Lampung, Lampung, tidaklah terlepas dari perjuangan Herman Malano.
Pusat perbelanjaan dengan luas bangunan 6.800 meter persegi itu merupakan pasar modern pertama di Tanah Air yang dibangun untuk PKL. Pembangunannya dilakukan mandiri oleh para pedagang, tanpa bantuan dana perbankan, pemerintah, apalagi pengembang komersial.
"Sebagai mantan PKL, saya bisa merasakan pahitnya menjadi seorang PKL. Hidup dalam kecemasan, takut lapaknya ditertibkan pemerintah, sementara pasar baru yang dibangun pemerintah dari hasil penggusuran biasanya dihargai mahal. kalau begitu, sampai kapan pun PKL tidak mampu membelinya," kata Herman.
Untuk meningkatkan taraf hidup PKL, harus mulai ada yang peduli membangunkan pasar modern yang nyaman, murah, dan legal bagi mereka. Atas semangat inilah Herman nekat membangun BKS dengan modal "dengkul", tanpa dukungan modal finansial perbankan dan pemerintah pada awal 2009.
Pertama, untuk mendapatkan lokasi pembangunan mal, ia sibuk melobi petinggi PT Kereta Api Indonesia (KAI) di Bandung, Jawa Barat, sejak 2007. Izin prinsip pemanfaatan tanah seluas 6.800 meter persegi milik PT KAI yang telah sejak lama terlantar akhirnya diperoleh. Padahal, saat itu baik pemerintah daerah maupun sejumlah pengembang komersial sama-sama mengincar lokasi tanah yang sangat strategis itu.

Tidak berorientasi profit

Herman pun kemudian membentuk sebuah perusahaan pengembang bernama PT Istana Karya Mandiri (IKM) untuk mewujudkan cita-citanya membangun BKS. Perusahaan ini, katanya, tidak berorientasi profit sehingga semangat membangun pasar modern untuk kaum kecil dapat terjaga.
"Setelah 2-3 tahun (BKS) berdiri, pengelolaan mal diserahkan langsung kepada para pedagang, bisa lewat koperasi. Istana Karya hanya mengawasi karena kami bukan seperti pengembang pada umumnya yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya," kata Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Wilayah Lampung itu.
Untuk mendanai pembangunan BKS, pada awalnya Herman mengharapkan bantuan modal dari perbankan. Namun, apa daya, berkali-kali mengajukan kredit, berkali-kali pula diitolak bank. Alasannya, pembangunan BKS belum dilengkapi kerja sama operasi (KSO) dengan PT KAI.
Padahal, untuk KSO ini setidaknya dibutuhkan biaa Rp 4 miliar, baik Herman maupun PT IKM tidak punya uang segar sebanyak itu. Namun, ia tidak patah arang. Walau tanpa akta KSO, hingga saat ini pembangunan tetap dilaksanakan. Ia sengaja menjual murah sebuah aset pribadinya senilai Rp 2 miliar untuk dana awal pembangunan BKS.
Selanjutnya, dana pembangunan didapatkan dengan cara mengajak para PKL mencicil uang pembelian toko dengan pola fleksibel. Khusus bagi pedagang yang mampu, mereka didorong membeli secara tunai atau bertahap dengan sistem pemesanan. Di BKS, khusus PKL mendapatkan subsidi sehingga harga per meter persegi toko hanya Rp 8juta, sementara untuk umum Rp 13 juta per meter persegi.
bahkan, ia memberanikan diri mengundang Ketua Umum APPSI Pusat Prabowo Subianto untuk meletakkan batu pertama pembangunan BKS pada 22 Januari 2009 lalu. Idenya membangun pasar modern untuk pedagang kecil mengundang simpati dan dukungan banyak pihak, termasuk para pejabat. Ini dimanfaatkannya untuk mendapatkan material bangunan dengan harga murah atau diskon.

Cibiran dan godaan

Herman menambahkan, pada awalnya banyak pihak yang mencibir dan menyangsikannya kemampuannya membangun BKS. "Orang-orang bilang saya gila.Tidak sedikit yang ngeledek seperti ini, 'gimana Pak Herman, batunya sudah lumutan belum? atau 'kalau jadi, iris kupng saya'," ucapnya menirukan pernyataan pihak-pihak yang mencemooh kerjanya.
Tantangan dan godaan pun tidak henti-hentinya datang. Di tengah pembangunan BKS, dia mendapat tawaran dari sebuah pengembang komersial besar yang berbasis di Jakarta. Pengembang itu meminta agar Herman menjual proyek BKS itu dengan iming-iming sogokan Rp 4 miliar. Ia pun pernah diberitakan miring bahwa PT IKM dianggap tidak mampu membangun BKS karena ketiadaan dana besar.
"Saya tidak akan pernah bisa dibeli. Tidak mungkin ada kesempatan dua kali hidup dari Tuhan untuk mewujudkan mimpi semacam ini dan juga mimpi-mimpi PKL," ujar pria yang sangat mengidolakan Muhammad Yunus, penerima Nobel dan pendiri Grameen Bank yang sangat inspiratif itu.

Terlahir sebagai PKL

Terlahir sebagai anak seorang PKL lalu menekuni profesi itu, membuat semangatnya semakin kuat dan berkobar-kobar untuk membela para PKL. "Umur 3 bulan, saat masih bayi saya sudah diajak ibunya menunggu lapak di pasar. Maka itu, saya sangat marah jika pemerintah tidak peduli terhadap PKL," katanya dengan nada meninggi dan mata berkaca-kaca.
Kini, bangunan BKS seluas 12.000 meter persegi tersebut sudah 80 persen terbangun. Rencananya, gedung itu akan diresmikan akhir tahun ini. Herman bercita-cita menduplikasi BKS ini ke-33 provinsi di Tanah Air. Dengan demikian, akan makin banyak pedagang kecil di Indonesia yang berkesempatan memperbaiki nasib.
Herman berharap pemerintah meningkatkan kepeduliannya pada kaum PKL dan UKM (usaha kecil menengah). Salah satunya, menyediakan fasilitas kredit UKM yang betul-betul terjangkau, mudah prosesnya, dan bunga ringan. "China dan Malaysia bisa melakukannya, kenapa kita tidak?" ucap pria yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas I SMA itu.
Dalam kunjungannya ke BKS akhir April lalu, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawadi mengaku sangat terkesan dengan perjuangan Herman membangun BKS.
"Saya datang ke sini sebetulnya justru ingin belajar, bukan mengarahkan. Saya sungguh kagum. Bagaimanapun BKS akan menjadi sebuah laboratorium, percontohan, tentang bagaimana pedagang saling bersinergi dan mandiri membangun pasarnya sendiri," kata Edy.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 MEI 2011

Selasa, 10 Mei 2011

Suparyoto dan Kopi Organik dari Lampung


DATA DIRI

Nama : Suparyoto
Lahir : Semarang, Jawa Tengah, 17 Agustus 1965
Pendidikan : SMA Pertanian Semarang, 1981-1984
Pelatihan :
- Pelatihan sistem pertanian organik tentang sayuran di Cibogo, Jawa Barat (April-Mei
2003)
- Pelatihan tanah dan pascapanen khusus sayuran organik di Cisarua, Jawa Barat
(2003-2004)
- Pelatihan mengenai tanaman keras dan sayuran organik di Mega Mendung,
Cirebon, Jawa Barat (2004)
- Pelatihan tentang sayur-sayuran organik di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah (2005)
- Pelatihan tentang pengelolaan tanaman keras dan sayur-sayuran organik di
Subang, Jawa Barat (2005)
Istri : Martiah (32)
Anak :
- Zulfatun Nasehah (16)
- Elisa Hayatun Nufus (10)
- Shinta Goirunnisa (3)

Saat sebagian pihak masih berkutat dengan upaya peningkatan produksi, Suparyoto sudah berupaya memperbaiki kualitas produksi kopi. Saat pasar dunia meributkan dampak budidaya pertanian berbahan kimia, dia telah berpikir untuk menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan.

Oleh HELENA F NABABAN

Seluruh upaya itu terwujud dalam bentuk budidaya pertanian kopi robusta organik di Desa Gunung Terang, Kecamatan Way tenong, Lampung Barat. Kawasan berudara sejuk dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.
Suparyoto adalah Ketua Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Maka, pada waktu-waktu tertentu ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pengurus kelompok tani tersebut. Misalnya, ketika mereka memutuskan menggunakan mesin pemotong rumput untuk membasmi rumput yang banyak tumbuh di bawah tanaman kopi.
"Mesin itu diharapkan bisa menjadi pengganti obat kimia pembasmi rumput," ujar Suparyoto, atau Pak Par, panggilannya.
dari Semarang, Jawa Tengah, Suparyoto datang ke Gunung Terang pada 1994, menyusul orangtuanya yang menjadi petani. Di sini ia mendapati penghidupan warga desa yang umumnya miskin. Mereka menggantungkan hidup dari hutan karena kopi hanya dipanen sekali setahun. Akibatnya, daya dukung hutan terus menurun.
Dia lalu membentuk kelompok tani. "Dalam pikiran saya, kelompok tani akan memampukan petani di Gunung Terang untuk mengakses pasar dan sarana pertanian," ujar Suparyoto yang juga mengajari warga menanam pisang di antara tanaman kopi, selain menanam sayuran atau empon-empon, untuk menambah pendapatan.
Pada September 2000 terbentuk kelompok tani Tunas Enggal dan dua kelompok hutan kemasyarakatan (HKm).Kelompok HKm dibentuk untuk merespons surat keputusan Menteri Kehutanan mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lewat HKm, warga setempat diizinkan mengelola hutan Bukit Rigis yang rusak, sekaligus untuk menyelamatkannya. Sedangkan Tunas Enggal dibentuk untuk mempermudah akses pasar dan memperkuat kelembagaan petani.
"Saat itu kami mendapat pendampingan dari Watala, lembaga pendampingan masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan," ujarnya.

Kesulitan pupuk

Pendorong untuk beralih pada budidaya organik muncul ketika pada tahun 2003-2004 petani kesulitan mendapatkan pupuk kimia. Bersama Watala, Suparyoto mengajak warga memakai kotoran kambing dan kompos sebagai ganti pupuk kimia.
Petani yang tergabung dalam HKm dan Tunas Enggal lalu diajari membuat pupuk organik dari kotoran kambing dan dedaunan.
Suparyoto menjadikan kebun kopinya sebagai contoh kebun organik. Menggunakan pupuk organik, mendorong dia membuat perbandingan sebagai evaluasi sekaligus daya tarik. Bila menggunakan pupuk kimia campuran, petani membutuhkan 1,5 ton-2 ton pupuk per tahun. Ditambah biaya tenaga kerja, petani harus mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 5 juta per tahun. Sedangkan dengan pupuk organik, petani bisa menghemat biaya pemeliharaan kebun hingga 30 persen.
Namun, dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang kecil jumlahnya, petani membutuhkan setidaknya 6 ton pupuk organik per hektar per tahun. Beruntung ada bantuan kambing dari Heifer Internasional Indonesia, Watala, dan Dinas Peternakan Lampung Barat untuk memenuhi kebutuhan bahan pupuk organik. Kebun kopi yang dikelola dengan pupuk kimia bisa menghasilkan 1,5 ton biji kopi per hektar, sedangkan kebun kopi organik pada tahun pertama hanya menghasilkan 900 kilogram per hektar.
"Sayangnya, petani tidak berpikir, pupuk kimia membuat tanah bergantung pada obat penyubur itu. Coba tidak dipupuk selama empat tahun berturut-turut, tanah pasti tidak produktif. sedangkan pupuk organik dapat menjaga tingkat kesuburan dan unsur hara tanah," ujarnya.
Meski begitu, Suparyoto terus memberikan pengertian kepada petani. Soal penurunan produksi hingga 60 persen dari produksi normal dengan pupuk kimia, misalnya, ia berusaha meyakinkan bahwa itu hanya produksi awal. "Ini bentuk adaptasi tanah dan tanaman. kalau pupuk kandang digunakan terus-menerus, produksi kembali normal."
Perlahan usahanya menampakkan hasil. Bidang tanah yang diberi ppuk organik bertambah menjadi sekitar 8 hektar. Produksi pun meningkat sampai 1,2 ton per hektar.
Suparyoto juga mengajari petani melakukan pascapanen dengan benar, misalnya dengan petik merah dan penjemuran di lantai jemur atau terpal.
"Ini menjadikan cita rasa kopi lebih enak dan terjaga," ujarnya.

Masih puluhan

Dari sekitar 900 petani kopi, baru puluhan orang yang mengerjakan tanahnya dengan pupuk organik.
Suparyoto berharap, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah petani kopi organik terus bertambah. Salah satu upaya dia adalah memberikan penjelasan tentang dampak kopi organik bagi kesahatan.
"Saya bilang kepada teman-teman, kopi yang dibudidayakan secara organik itu tak mengandung residu obat kimia tinggi," katanya. Di sini, yang beruntung tak hanya petani, tetapi juga konsumen, dan dalam jangka panjang lingkungan pun tidak tercemar.
Dengan pemikiran itu, Suparyoto yakin suatu hari nanti kopi organik Gunung Terang dapat memenuhi syarat perdagangan kopi internasional, yakni ramah lingkungan.
"Saya ingin menjadikan Gunung Terang sebagai kawasan kopi organik. almpung adalah etalase kopi nasional, kenapa tidak ada kekhususan pada produk kopinya supaya bisa dikenal seperti kopi toraja atau kopi gayo," ujarnya.
Sayang eksportir kopi lampung umumnya masih mengandalkan peningkatan produksi, belum kualitas. Itulah salah satu sebab harga jual kopi organik sama dengan kopi yang memakai pupuk kimia.
Untuk mengatasinya, Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir bekerja sama dengan Watala mendirikan Warung Organik sebagai upaya pemasaran sendiri.
Melalui warung ini, sebanyak 5-7 ton kopi organik Gunung Terang setiap tahun diproses, dikemas, dan dipasarkan ke Bandar Lampung, Medan, sampai Bogor, Jawa Barat.
Selain itu, upaya Suparyoto menghasilkan kopi organik juga dipelajari oleh petai kopi dari Bengkunat, Lampung Barat, Ulu Belu Tanggamus dan Tanjung Raja, Lampung Utara, serta Sendang Agung dan Sendang Asih, Lampung Tengah.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 21 JULI 2009

Senin, 09 Mei 2011

Vinsensius Nurak : Meninggikan Posisi Tawar Petani


VINSENSIUS NURAK

Lahir : Boas, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, 11 Mei 1964
Istri : Marselina Sumu (45)
Anak :
- Yoseph Paskalis Nurak (16)
- Christofel Edward Nurak (13)
- Maria Ducis Nurak Banunaek (10)
- Silvia Gloria Nurak Banunaek (7)
Pendidikan :
- SD Katolik Hanono-Boas Belu (1972-1977)
- SMP Katolik Santo Yoseph Seon-Belu (1978-1982)
- SMA Negeri Atambua (1982-1985)
- Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi Universitas Nusa Cendana, Kupang
(1985-1990)
Pengalaman kerja:
- Koordinator LSM Geo Meno (1990 sampai 1997)
- Wakil Ketua II Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Kabupaten
Timor Tengah Utara, NTT (1994-kini)
- Wakil Ketua Forum Komunikasi LSM Se-Kabupaten TTU (1994-kini)
- Dewan Koordinasi Konsorsium Pengembangan Masyarakat Dataran Nusa Tenggara
(1997-kini)
- Tim Penyusun Kurikulum Agroforestri
- Dosen Fakultas Pertanian Universitas Timor (2001-kini)
- Ketua Dewan Evaluasi Kota (2002-kini)
- Direktur yayasan Mitra Tani Mandiri (2003-kini)
- Penulis Buku "Emas Hijau Lahan Kering. Pengalaman Yayasan Mitra Tani Mandiri"
2010.

Banyak orang menutup mata terhadap persoalan petani yang punya posisi tawar rendah di depan para tengkulak. Cara dagang tengkulak juga tidak jarang curang dengan mengakali alat timbang atau diam-diam menyunat angka hasil timbang. Vinsensius Nurak adalah satu di antara sedikit orang yang peduli terhadap permasalahan ini di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.

OLEH NAWA TUNGGAL

"Petani paling mudah ditipu, yaitu ketika menjual sapi," kata Nurak, penerima medali penghargaan Equator Prize 2010 dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) mewakili Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM), Nusa Tenggara timur (NTT).
YMTM bersama Komunitas Nelayan Tomia (Komunto) di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, merupakan dua lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal di Indonesia yang berhasil menerima penghargaan Equator Prize 2010.
Medali penghargaan disampaikan UNDP di American Museum of Natural History, New York, Amerika Serikat (AS), 20 September 2010.
Masing-masing penerima penghargaan juga diberi hadiah uang senilai 5.000 dollar AS.
UNDP memberi penghargaan ketika Nurak dianggap layak karena telah mengembangkan Program Pertanian Berkelanjutan dan Pemasaran yang Adil di kabuoaten Timor Tengah Utara, NTT.
Nuak mengatakan, upaya itu sebagai pendekatan holistis untuk peningkatan pendapatan petani sekaligus melestarikan lingkungan. NTT dengan wilayah "pelit" hujan membutuhkan strategi khusus untuk mengolah lahan yang kering, selain pembelaan petani untuk mendapatkan sistem pemasaran yang adil.

Pemasaran bersama

"Saya melihat bobot sapi yang dijual petani 260 kilogram, bisa dibilang tengkulaknya hanya 240 kilogram. Petaninya tidak tahu dan menerima uang dari tengkulak hanya untuk pembayaran 240 kilogram," tutur Nurak.
Uang sunat untuk selisih 20 kilogram daging sapi hidup tersebut sangat berharga bagi kehidupan petani di NTT yang rata-rata miskin. Apabila saja setiap satu kilogram sapi hidup dihitung Rp 25.000, uang petani yang hilang sebesar Rp 500.000.
Ini menggugah kesadaran Nurak bahwa petani tidak akan mempunyai daya ketika harus menjual hasil usaha dengan berhadapan sendiri-sendiri dengan tengkulak. Mereka tak punya posisi tawar tinggi. Petani yang tidak pernah menipu justru paling mudah ditipu.
"Petani perlu mengorganisasi diri untuk melakukan pemasaran bersama," kata Nurak.
Inspirasi mengorganisasi petani ini membawa Nurak untuk selalu mendiskusikan kepada sesama teman kuliahnya.Nurak juga aktif dalam berbagai penelitian pertanian. Tahun 1986 sampai 1990 Nurak terlibat kegiatan riset Agroejosistem Daerah Kering di NTT serta berbagai riset lain terait dengan agroforestri dan etnobotani.
Sejak 1988, Nurak dan teman-teman kuliahnya bergabung dengan LSM Geo Meno yang bergerak di bidang pendampingan petani di Kabupaten Timor Tengah Utara. Nurak kerap tinggal di keluarga-keluarga petani. Sembari menghimpun petani untuk melawan cara-cara tengkulak yang curang dalam berdagang, Nurak juga melatih para petani untuk membuat kebun tetap (tidak berpindah-pindah) dan melatih budidaya tani di lahan kering.

Petani berkelanjutan

Nurak mengatakan bahwa masih banyak hal yang mesti digarap setelah petani berhasil mengorganisasi diri untuk meninggikan posisi tawar di hadapan para tengkulak. Langkah selanjutnya adalah meningkatkan mutu dan produktivitas serta menerapkan pola pertanian berkelanjutan.
"Kelompok petani berhasil didorong memiliki perencanaan kebun," kata Nurak.
Bagi yang memiliki lahan di dekat mata air didorong supaya menanam sayur-mayur yang tumbuh membutuhkan lebih banyak air. Bagi yang mengolah lahan kering, menggunakan pola agroforestri, yaitu menanam tanaman pangan, seperti jagung dan kacang tanah, atau padi pada musim hujan. Mereka juga mengembangkan ternak untuk menambah sumber pendapatan serta menghasilkan pupuk kandang.
"Pola-pola itu dikembangkan sekaligus sebagai upaya konservasi tanah," kata Nurak
Ia menjelaskan kepada UNDP bahwa sekarang ini program yang dijalankan tersebut telah melibatkan 5.305 keluarga di 40 desa dari 12 kecamatan di wilayah kabupaten Timor Tengah Utara. Jumlah tersebut mencapai 57 persen dari total 9.354 keluarga dengan tingkat keterlibatan perempuan 42 persen, yaitu 3.275 perempuan petani yang aktif dari total peserta 7.681 perempuan.
Saat ini tercatat petani yang didampingi YMTM memiliki kebun seluas 2.628 hektar. Setiap keluarga anggota rata-rata memiliki lahan 0,49 hektar.
Luas areal sayur dalam tiga tahun terakhir meningkat dari 5 hektar menjadi 28,9 hektar. Sebanyak 16 lembung untuk memanen air hujan berhasil dibuat. Jumlah sapi yang dipelihara secara intensif para anggota mencapai 1.033 ekor.
Deputy Country Director UNDP Stephen Rodriques sewaktu hadir dalam dialog di Jakarta, akhir Maret 2011, mengatakan bahwa ternyata inisiatif lokal seperti yang ditempuh YMTM terbukti bisa mengembangkan pembangunan berkelanjutan dan program pembangunan di suatu negara (berkembang) tanpa membutuhkan dana besar.
Nurak merupakan cerminan sikap peduli terhadap masyarakat petani lemah. Mereka bergerak nyata mencari nafkah dan bersedia bertanggung jawab terhadap lingkungan yang lestari demi anak cucu.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 MEI 2011