Kamis, 12 Juli 2012

Aan Ratmanto: Menemukan Sejarah yang Hilang

AAN RATMANTO
Lahir: Bantul, Yogyakarta, 25 Juni 1983
Pendidikan:
- SD Negeri Ngoto, Bantul, 1990-1996
- SMP 10 Yogyakarta, 1996-1999
- SMKN 2 Depok, Yogyakarta, 1999-2003
- S-1 Jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, 2005-2009
Pekerjaan: Penulis

Kawasan Shopping Center, Yogyakarta, bukan sekadar tempat penjualan buku-buku loak alias bekas. Mereka yang beruntung bisa menemukan buku-buku lama yang bagi pembelinya merupakan "emas". Buku yang menjadi referensi keilmuan.

OLEH THOMAS PUDJO WIDIJANTO

Di sisi lain, tempat ini juga menjajakan ribuan skripsi karya mahasiswa dari semua perguruan tinggi di Yogyakarta. Bahkan, disertasi pun ada di sini. Sulit menjawab mengapa karya ilmiah itu ada di sini. Beberapa pedagang buku pun bercerita, ada saja mahasiswa yang membuat skripsi dengan "membeli"  karya skripsi yang diperdagangkan itu.
    Pada titik inilah contek-mencontek karya ilmiah terjadi. Bahkan, Universitas Gadjah Mada pernah mendiskualifikasi tesis seorang kandidat doktor karena kasus mencontek. Inilah tragedi keilmiahan. Orang bisa lulus cepat meski dengan "kriminalisasi intelektual", menjiplak karya orang lain.
     Adalah Aan Ratmanto, kala itu tahun 2009, sedang mempersiapkan skripsi untuk S-1 Jurusan Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta. Untuk mewujudkan skripsi yang menyoroti soal tentara Wirkres III pada masa pergolakan kemerdekaan di Yogyakarta, ia mencari literatur dengan masuk-keluar perpustakaan.
     Ketika sedang asyik mencari buku-buku di Perpustakaan Museum Kodam IV/Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Aan melihat  dua bendel dokumen yang membuatnya terkesima. Di sini, ia menemukan fakta, pada 1 Mei sampai 30 Juli 1949-saat pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta-ada pemerintahan transisi yang dipegang langsung oleh Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) atas mandat Presiden Soekarno. Saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta dalam pengasingan di Menumbing, Bangka.
    "Ini informasi sejarah baru," kata Aan. Untuk menguatkan dugaan itu, ia semakin dalam menyuruk dari perpustakaan ke perpustakaan mencari literatur sejarah yang berkaitan dengan kedua dokumen tersebut.
     "Dua tahun lebih saya mencari-cari, tetapi belum menemukan buku yang secara tegas menceritakan adanya pemerintahan transisi Republik Indonesia di Yogyakarta pada masa perjuangan kemerdekaan. Artinya, banyak orang belum tahu bagian sejarah masa perjuangan kemerdekaan," katanya.

Membuat buku

     Dari temuan dokumen itu, ia lantas berpikir untuk menjadikannya sebagai buku. "Di sini ada missing link, ada sejarah yang hilang dalam perjuangan kemerdekaan RI, khususnya saat ibu kota RI berada di Yogyakarta," ujarnya.
     Dari studi pustaka selama lebih dari dua tahun, Aan mampu menyelesaikan karyanya mengenai dokumen sejarah itu. Namun,  mencari penerbit bukan hal mudah. Empat penerbit besar di Yogyakarta tak bersedia menerbitkan karyanya.
     "Bahkan, ada penerbit yang menganggap tak ada hal baru di sini," katanya.
     Sampai seorang teman memperkenalkan dia kepada pemilik Penerbit Matapadi, yang tak begitu besar, tetapi mengkhususkan penerbitannya pada karya sejarah dan kemiliteran. Buku itu diberi judul Mengawal Transisi: Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pemerintahan Transisi Republik Indonesia Yogyakarta 1949.
    "Begitu buku itu terbit, Widihasto, Ketua sekretariat Bersama Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, mau meluncurkannya. Setidaknya ada masyarakat yang mendengar, ada sejarah lain di bumi Yogyakarta," ujar Aan tentang peluncuran bukunya, awal Juli lalu.
     Ia lalu bercerita, pada periode 1 Mei-30 Juli 1949, ibu kota RI berada di Yogyakarta. HB IX pernah mengeluarkan pernyataan proklamasi menandai penyerahan kedaulatan RI dari tangan Belanda, sekaligus penarikan pasukan Belanda dari Yogyakarta.
     Saat itu adalah masa pemerintahan transisi, dan HB IX mendapat mandat menjalankan roda pemerintahan dari Bung Karno yang sedang berada di tempat pembuangan.
   Beberapa waktu setelah ibu kota pemerintahan RI dipindahkan ke Yogyakarta, Bung Karno, Bung Hatta, dan beberapa pemimpin lain di asingkan ke Bangka, tetapi pemerintahan tak kosong. Bersama Paku Alam VIII, HB IX menjaga keamanan Yogyakarta sebagai ibu kota negara. Untuk menjaga keamanan Yogyakarta, HB IX mengadakan serangan terhadap Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949.
    Dampaknya, selain membuka perhatian dunia, serangan itu pun mendorong Bung Karno menyerahkan pemerintahan RI untuk sementara ke HB IX. Penyerahan itu ditandai surat penetapan yang ditandatangani Presiden Soekarno dari pengasingan, tertanggal 1 Mei 1949.
     Penyerahan inilah yang disebut Aan sebagai masa transisi, sampai HB IX menyerahkan kembali kepada Bung Karno pada 30 Juli 1949.
     Lebih lanjut, Aan mengatakan, selama menjalankan tugasnya sebagai pemimpin pemerintahan transisi, HB IX telah mengeluarkan 42 kebijakan, baik berupa peraturan, maklumat, instruksi, maupun pengumuman.
     Hasil penting yang dicapai pada masa itu adalah peristiwa penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta. Secara berturut-turut Sultan HB IX memberi jadwal penarikan itu, mulai 24 Juni sampai 30 Juni 1949. Jadwalnya tersusun rapi dan dilaksanakan sesuai jadwal itu," tuturnya.
     Pada hari akhir penarikan, HB IX membuat teks proklamasi, yang inti isinya antara lain menyebutkan, dirinya ditunjuk Bung Karno untuk menyelesaikan semua persoalan yang menyangkut pengembalian pemerintahan RI dari tangan Belanda, berikut penarikan pasukan keluar dari Yogyakarta.
     Dalam proklamasi itu juga disebutkan, HB IX segera mengembalikan kekuasaankepada Pemerintah RI yang sah jika situasi sudah memungkinkan.

"Tutur Tinular"
    
     Aan Ratmanto bisa menjadi contoh sosok akademisi muda yang tidak terlibat arus pendidikan instan. Bukan termasuk mereka yang berharap lulus sarjana atau pascasarjana secara cepat meskipun terkadang menggunakan segala cara. Pencarian ilmu yang ditekuninya telah melahirkan catatan baru sejarah Indonesia.
     Aan mengaku sejak masih kanak-kanak sudah tertarik pada sejarah. "Waktu itu, saya sering mendengarkan sandiwara radio berlakon Tutur Tinular. Itu sandiwara yang mengisahkan sejarah Majapahit. Hasilnya, ketika ada tes (pelajaran) sejarah, saya langsung bisa menjawab tanpa belajar lagi dari buku," ungkapnya.
     Aan mencontohkan, kisah tentang siapa sebenarnya Raja Tumapel dia dapatkan dari sandiwara radio. "Informasi tentang Raja Tumapel saya dengar dari radio, bukan dari buku sejarah," ujarnya.
     Ketertarikannya pada sejarah juga mendapat dukungan dari sang ayah, seorang seniman ketoprak tradisional. "Lakon dalam ketoprak itu, hampir semua ceritanya mengangkat epos sejarah. Sering berdiskusi dengan Bapak makin mendorong saya mencintai sejarah," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 11 JULI 2012

Selasa, 10 Juli 2012

Noor Anani Maska Irman: Penjaga Warisan Topeng Losari

NOOR ANANI MASKA IRMAN
Lahir: Cirebon, Jawa Barat, 5 Juni 1977
Pendidikan: Sarjana tari STSI Bandung (2002)
Suami: Ahmad Deden Muhaimin (35)
Anak:
- Muhammad Tegar Pratama Putra Dena (6)
- Muhammad Naizar Dwiputra Dena (2 tahun 6 bulan)
Penghargaan, antara lain:
- Satyalancana Bidang Tari dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2011
- Penari Muda Terbaik dari Presiden Megawati Soekarnoputri, 2004

"Aku menari untuk tubuhku dan Tuhan. Tak usah merisaukan penonton dan hal lain." Demikian Noor Anani Maska Irman menggambarkan makna tari bagi dirinya saat ditemui di rumahnya di pusat Kota Cirebon, Jawa Barat, pada suatu sore.

OLEH RINI KUSTIASIH

Ibu dua anak dengan panggilan Nani ini adalah pewaris seni tari topeng Cirebon gaya Losari. Ia mewarisinya melalui darah dan didikan keras sang nenek, Mimi Dewi dan Mimi Sawitri. Ia adalah cucu pertama Mimi Dewi yang pada era 1970-an membawa tari topeng Losari ke puncak ketenaran bersama adiknya, Mimi Sawitri.
   Pada masanya, Dewi-Sawitri sudah menghadapi beratnya seni tradisi bertahan di pusaran zaman. Topeng Losari seperti tidur panjang menghadapi arus modernitas yang serba instan. Keduanya berusaha membangkitkan kembali gairah topeng Losari. Mereka ngamen ke beberapa tempat dan hidup prihatin. Mereka menjual tikar untuk makan anggota kelompok tarinya.
     Tantangan bagi topeng Losari tak berhenti di sini. Pada era Nani, segalanya lebih berat. "Tanggapan makin sepi. Dalam sebulan belum tentu ada satu permintaan manggung. Saya sering tampil dengan kelompok lain atau memanfaatkan jaringan seniman lain. Tetapi, saya tetap membawakan topeng gaya Losari," kata  Nani.
     Ia sudah menjelajah 16 negara, antara lain Amerika Serikat, Australia, Jepang, Banglades, Malaysia, Italia, Belanda, Taiwan, Spanyol, dan Brunei. Dari beberapa perjalanannya itu, Nani dibawa tampil oleh dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Endo Suanda. Endo pula yang membiayai kuliah Nani di kampus itu. Nani lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,90.
     Semangat Nani menemui cobaan berat saat topeng Losari kian terpencil. Kehadiran penonton dan tempat manggung menjadi kebutuhan kelompok tari Purwa Kencana yang dipimpinnya.
    Ia patah hati karena minimnya perhatian pemerintah daerah. Ia pernah diberi bantuan gamelan oleh Pemerintah Provinsi Jabar, tetapi gamelan itu berlaras slendro, bukan pelog seperti yang biasa dipakai kelompok tarinya. Sejak meninggalnya Mimi Sawitri tahun 1999, Purwa Kencana seperti mati suri.
    Peluh perjuangan topeng losari itu tergambar dari kondisi sanggarnya di Desa Astanalanggar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Terletak di belakang rumah Dewi-Sawitri, sanggar itu tersembunyi dari pandangan mata diapit kebun dan rumah warga.
     Berukuran sekitar 98 meter persegi, atap sanggar yang didirikan tahun 1984 itu sudah banyak yang bocor. Pagar bambunya reyot. Di dalam peti di pojok sanggar terletak seperangkat gamelan.
     "Ini gamelan yang kami pesan sendiri, terbuat dari besi. Dulu, Kompas pernah memberi kelompok kami gamelan yang bagus dari perunggu. Sayang, gamelan itu dicuri saat kami manggung  di Jakarta," ungkap Nani.
     Sehari-hari, sanggar dirawat dan dijaga Taningsih (38), sepupuya. Di sanggar ini, sekitar 50 siswa belajar tari topeng Losari.

Banyak kekhasan

     Jika dibandingkan dengan tari topeng dari wilayah barat Cirebon, tari topeng Losari yang mewakili Cirebon bagian timur memiliki kekhasan. Lokasinya yang berbatasan dengan Brebes, Jawa Tengah, membuat topeng Losari banyak dipengaruhi gaya Jateng.
     Banyak gerakan tarinya yang tak dijumpai dalam tari topeng Palimanan, topeng Slangit, topeng Gegesik, topeng Susukan, atau topeng Tambi di Indramayu.
     Gerakan khas Losari yang tak dijumpai dalam gaya wilayah lain adalah nggaleyong atau kayang, yakni gerakan meliukkan badan ke belakang. Losari juga punya gantung sikil, gerakan menahan atau menggantung kaki selama lebih dari 10 menit. Ada pula gerakan pasang naga seser, gerakan khas kuda-kuda.
     Dari sisi kostum, musik, urutan cerita, dan urutan penyajian, topeng Losari juga berbeda dengan tari topeng lain. Jika penari topeng dari wilayah barat mengenakan kain bermotif mega mendung, penari topeng Losari mengenakan kain motif liris atau parang yang dipengaruhi Jateng.
     Pada tari topeng wilayah barat ada lima tingkatan yang ditarikan, yaitu Panji, Samba (pamindo), Rumyang, Tumenggung, dan Klana. Urutan tari pun tak terikat pada pembabakan ceritanya.
     Setiap babak menceritakan perjalanan hidup dan watak manusia. Panji menceritakan karakter manusia yang baru lahir, yakni suci dan bersih. Samba mewakili karakter anak-anak atau remaja. Rumyang menggambarkan manusia menjelang dewasa yang bergejolak. Tumenggung mencitrakan manusia dewasa. Adapun Klana adalah gambaran manusia yang dursila.
     Nani mengatakan, pembabakan tersebut berbeda dengan topeng Losari. Pada gaya Losari, yang diutamakan bukan watak, melainkan lebih pada cerita, teknik, dan penjiwaan karakternya. Karena itu, topeng Losari biasa disebut topeng Lakonan.
     Ada sembilan pembabakan dalam topeng Losari, Yakni Panji Sutrawinangun, Patih Jayabadra, Kili Paduganata, Tumenggung Magangdiraja, Jinggan Anom, Klana Bandopati, Rumyang, dan Lakonan.
     Dalam Lakonan ada beberapa tokoh Panji lain yang tak ditemui  dalam gaya topeng wilayah barat. "Pada gaya Losari, setiap tarian dibawakan penari yang berbeda. Sementara dalam gaya Cirebon wilayah barat, lima tarian bisa dibawakan seorang penari," ujarnya.

Makna tari

     Makna tari untuk "tubuhku dan Tuhan" agaknya kembali pada ciri penari topeng Losari yang menjadikan kotak topeng dan nayaga (para penabuh gamelan) sebagai sentral.
     Penari sesungguhnya tak menghadap penonton karena dia menghadap ke kotak topeng dan nayaga. "Tak peduli penonton sedikit atau banyak mereka suka atau tidak, saya harus menari dengan energi dan penjiwaan sepenuhnya," kata Nani merumuskan prinsip tarian yang tulus ini.
     Oleh karena itulah, harga diri dan kesucian ritual harus dijaga. Nani tak mau mengorbankan topeng Losari yang diwarisinya hanya demi uang. Ketika beberapa penari topeng "berdamai" dengan menyelingi  pertunjukannya dengan dangdut sesuai dengan permintaan penonton, ia menolaknya.
    "Lebih baik saya tak ditanggap (diminta tampil) daripada harus manggung tetapi sambil diminta menyanyi dangdut," katanya.
     Setiap akan tampil, Nani menjalani ritual tertentu. Sejak kecil, ia dibiasakan bertirakat, tak makan sebelum pukul 10.00. Ia juga berpuasa Senin-Kamis. "Tirakat untuk ketenangan batin."
     Lahir dari keluarga berkekurangan, Nani pernah menjadi buruh gendong di pasar. Ia paham arti berjuang dan bertanggung jawab atas sesuatu. "Saya akan terus menari. Topeng Losari tak boleh punah," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 10 JULI 2012

Kamis, 05 Juli 2012

Franz Limiart PJ: Harumkan Garut Lewat Akar Wangi

FRANZ LIMIART PJ
Lahir: Garut, 21 November 1964
Istri: Joanna (41)
Pendidikan:
- SD Yos Sudarso Garut (1981)
- SMP Yos Sudarso (1984)
- STM Negeri Garut Jurusan Listrik (1987)
- Sekolah Tinggi Pariwisata Trisula Bandung (1989)
- Institut Seni Fotografi dan Desain Bandung (2006)
Penghargaan:
- Perajin Terinovatif Kabupaten Garut (2006)
- Persatuan Jurnalis Indonesia Award, Garut (2009)
- Garut Award (2010)
- Adhi Karya Pariwisata Jawa Barat dari Masyarakat Pariwisata Jawa Barat 
  (2002)
- Pro Mutu Award Indonesia dari Menteri Koperasi dan UKM RI (2011)
- Nomine Piala Upakarti (2011)

Di tangan Franz Limiart PJ, penasaran berujung kecewa menjadi energi yang menghidupkan. Lewat kerajinan akar wangi, perlahan Franz coba memperlihatkan potensi khas Garut yang ditekuni masyarakatnya yang kreatif.

OLEH CORNELIUS HELMY

Saat menghadiri sebuah pameran kerajinan nasional di Jakarta tahun 1998, ia tertarik mengunjungi salah satu stan yang memamerkan kerajinan unik. Kerajinan seperti itu belum pernah ia lihat sebelumnya. Kerajinan tersebut dari susunan serabut akar dan wangi. Penjaga stan memberi tahu nama kerajinan itu dibuat dari tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides).
     Rasa penasaran membuatnya bertanya dari mana asal akar wangi itu. Ia begitu terkejut saat penjaga stan mengatakan asalnya dari penghasil terbaik akar wangi di "Garut Jawa Timur".
     "Informasi pertama mungkin benar. Namun, bila dikatakan Garut ada di Jawa Timur itu jelas keliru. Sebagai warga Garut saya jelas tidak bisa menerimanya dan bertanya dalam hati seudik itukah Garut sehingga tidak dikenal," kata perajin akar wangi Franz Limiart mengingat memorinya dulu, akhir pekan lalu. Siapa tidak kenal Garut, kota yang dijuluki "Swiss from Java" yang kini malah menjadi salah satu primadona pariwisata Jawa Barat.
     Berbekal dari informasi keliru, Franz mulai melakukan studi tanaman akar wangi dan segala produksi ikutannya. Dari penelusurannya, dia menemukan, ternyata ada lima jenis akar wangi yang tumbuh di kawasan Garut. Tanaman itu dalam bahasa Sunda dikenal dengan nama usar. Untuk jenis-jenis tanaman akar wangi itu, masyarakat setempat mengenalnya dengan nama usar jalu atau usar temen, usar bikang, usar tambaga, usar jamaka atau usar paris, dan usar janur. Setiap jenis tanaman itu memiliki kegunaan sendiri-sendiri. Usar temen, misalnya, adalah akar wangi yang banyak dibudidayakan masyarakat untuk diproduksi minyaknya.
     Data Dinas Perkebunan Kabupaten Garut menyebutkan, saat ini ada sekitar 2.400 hektar lahan akar wangi. Lahan akar wangi yang dipercaya mulai ditanam sejak tahun 1918 itu tersebar di lima kecamatan, yaitu Samarang, Pasirwangi, Cilawu, Leles, dan Bayongbong.

Rumput ajaib

     Berbagai literasi juga menyatakan tanaman ini kerap disebut-sebut sebagai rumput ajaib. Sebutan seperti itu merujuk banyaknya manfaat dari akar wangi. Akarnya biasa disuling diambil minyaknya untuk produksi minyak wangi. Indonesia kini menjadi penghasil kedua terbesar di dunia, setelah Haiti. Saat ini, harga minyak akar wangi berkisar Rp 1,1 juta-Rp 1,7 juta per kilogram.
     Akar serabut yang panjangnya antara 1 meter-5 meter juga memiliki kegunaan sebagai pendukung mitigasi bencana alam. Ia sanggup menjadi tembok penahan longsor dan pengikat air. Beberapa negara, seperti Thailand, Malaysia, India, dan Filipina, sudah sukses menerapkannya.
     "Dari sekian banyak kegunaannya, saya pilih kerajinan akar wangi. Sektor ini banyak dikembangkan di Garut," kata Franz.
     Teknis pengolahan dan bahan pendukung yang tepat mulai ia pelajari tahun 2000. Franz di antaranya memilih bahan akar yang tepat, alat yang tepat, serta teknis produksi dan desain yang benar. Franz mengatakan, dia hanya menggunakan usar produksi kebun sendiri yang dikelola secara organik.
     "Desainnya kami arahkan pada minat konsumen Asia. Beberapa di antaranya kerajinan suvenir, sarung bantal, sajadah, hingga lukisan. Orang Eropa kurang menyukainya karena tidak suka aromanya," katanya.
     Akan tetapi, layaknya kerajinan baru lainnya, akar wangi juga kesulitan mendapatkan tenaga kerja terampil. Inisiatif menggagas pelatihan bagi masyarakat Garut pun dilakukan, baik yang dilakukan sendiri maupun yang dibantu sponsor dan pemerintah. Pelatihan dilakukan di beberapa kecamatan, di antaranya di Cilawu, Bayongbong, Garut Kota, Samarang, dan Cikelet. Hingga saat ini, ada sekitar 119 orang terlatih yang menjadi perajin.
     "Banyak di antara mereka yang dulu pengangguran kini punya keterampilan tambahan. Mereka juga mendapat penghasilan yang sangat layak tiap bulan," kata Franz.

Angkat Garut

     Mengusung merek Zocha Graha Kriya (dibaca soca yang berarti 'mata' dalam bahasa Sunda), Franz mulai mempromosikannya lewat beragam pameran kerajinan lokal, nasional, dan internasional. Dia mengikuti berbagai pameran, seperti di Kuala Lumpur (Malaysia), Jepang, Afrika Selatan, dan Singapura sejak tahun 2001.
     Sejak itu, 5.000 item barang rutin dikirim ke Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia. Harga jualnya Rp 20.000-Rp 60.000 per item. Peminat juga datang dari Uni Emirat Arab dan Arab Saudi sejak tahun 2005. Barang yang diminta adalah sajadah dengan harga Rp 150.000.
     Sukses mengekspor kerajinan akar wangi ke sejumlah negara tidak membuatnya bahagia. Ia justru prihatin saat Indonesia justru dibanjiri barang sisa atau bekas ekspor tahun 2005. Hal itu mendorongnya mengalihkan penjualan dari ekspor ke pasar lokal. Tujuannya agar masyarakat Indonesia bisa mendapat dan memiliki barang berkualitas.
     "Omzet barang mungkin menurun hampir 50 persen, tetapi harga per item justru lebih tinggi. Sebelumnya, harga rata-rata Rp 90.000 per item, di pasar lokal naik jadi Rp 150.000 per item setelah ditambah sentuhan batik garutan yang menawan. Pasar terbesar ke Jakarta dan Bandung. Itu membuktikan warga Indonesia juga sangat menyukai barang berkualitas," katanya.
     Akan tetapi, Franz mengatakan, kebahagiaan terbesar bukan saat mendapatkan laba besar. Buah ternikmatnya adalah saat kerajinan akar wangi mampu turut mengharumkan Garut. Banyak liputan media massa cetak dan elektronik mengulas akar wangi memicu wisatawan, tokoh nasional, pedagang, peneliti, sampai siswa sekolah sengaja datang ke Garut. Perannya sebagai fotografer alam dan penggiat wisata budaya ikut memuluskan langkah itu.
     "Salah satu alasan saya tidak membuka cabang karena ingin pembeli datang langsung ke Garut. Saya berharap, dengan datangnya pembeli ke Garut, banyak kerajinan, wisata, dan kuliner khas Garut ikut terangkat potensinya. Semoga akar wangi bisa memberi jalan menuju harapan yang lebih baik," kata Franz.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 6 JULI 2012

Dadan: Mantri Hutan yang Setia Mengawal Warga

DADAN
Lahir: Sumedang, Jawa Barat, 3 November 1972
Pendidikan:
- SD Kadujajar I, Tanjungkerta, Sumedang, 1985
- SMP I Tanjungkerta, 1988
- SKMA Kadipaten, Majalengka, 1991
Istri: Ani Handayani (35)
Anak:
- Fitriani Sarah (9)
- Syifa Nurul Fatiyah (10 bulan)
Pengalaman:
- Staf Perencanaan sebuah perusahaan HPH, 1991-2001
- Pegawai Negeri Sipil di TN Bogani Nani Wartabone, Minahasa, Sulawesi 
  Utara, 2005-2008
- Kepala Resor Bantaragung Taman Nasional Gunung Ciremai, 2008-kini

Dadan selalu membunyikan klakson sepeda motor ketika menemui warga di sepanjang jalan yang dilewatinya. Hampir setiap orang di sepanjang jalan di Desa Bantaragung, Majalengka, Jawa Barat, mengenali sosok supel itu. "Pak Mantri, sindang heula atuh! (Pak Mantri, mampir dulu!) demikian beberapa warga menyilahkan Dadan singgah.

OLEH RINI KUSTIASIH

Dadan rupanya dekat di hati warga. Suasana seperti itu jauh berbeda dibandingkan saat pertama kali ia datang ke Bantaragung Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), harus menghadapi sikap warga yang keras.
     Ketika itu, warga menaruh curiga kepada Dadan, orang baru di daerah itu. "Rasanya tak enak, saya seperti diawasi mulai masuk sampai ke luar kampung," ungkapnya di kamp Resor Bantaragung TNGC.
     Bau cat masih tercium dari ruangan kamp Resor Bantaragung yang berada di kaki Gunung Ciremai. Maklum, bangunan yang ditempati Dadan itu baru selesai dibangun. Belum ada meja-kursi atau perabot lain yang melengkapi kantor mantri hutan ini, hanya tikar yang tergelar. Satu-satunya "kemewahan" adalah televisi 14 inci.
     Pak Mantri, panggilan Dadan, bertugas di Bantaragung sejak tahun 2008. Selama empat tahun bertugas, ia menumpang tidur dan berkantor di rumah warga. Ia berpindah tempat dari satu kampung ke kampung lain di wilayah Bantaragung. "Ini cara saya agar bisa dekat dengan warga," kata Dadan yang asli Sumedang.
     Ia sedang menghadapi tugas berat membujuk warga Bantaragung agar mau turun gunung. Tugas itu seperti mustahil. Sebab, selama bertahun-tahun warga setempat mendapatkan penghasilan dari pengelolaan kawasan hutan.
     Sejak awal 1970-an kawasan itu dikelola Perum Perhutani. Warga diberi keleluasaan bercocok tanam dengan sistem tumpang sari dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
     "Warga menanam bawang merah, brokoli, singkong, jagung, cabai, wortel, an sayuran lainnya di sela-sela tegakan pohon," kata Dadan.
     Warga memang bergantung pada pengelolan kawasan hutan. Dari 1.232 keluarga di Bantaragung, 372 di antaranya terkait kegiatan tumpang sari. Ratusan keluarga lainnya di desa itu juga menikmati keuntungan dari pengelolaan kawasan hutan. Mereka antara lain menjadi pedagang sayur, pencari kayu bakar, penyadap getah pinus, bahkan pembalak liar.
     Sejak tahun 2004, penghasilan warga dari hutan itu harus dilepaskan. Pemerintah Daerah Majalengka dan Kuningan mengusulkan kawasan hutan Gunung Ciremai dijadikan taman nasional. Pertimbangannya, kondisi hutan Ciremai kian memprihatinkan dengan penebangan ilegal dan kebakaran hutan.
     Padahal, Ciremai adalah daerah resapan air yang krusial bagi wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan di Jawa Barat, sampai Brebes di Jawa Tengah. Kerusakan Ciremai berarti malapetaka dan bencana air di Pantai Utara Jawa.
     Perubahan status Cirebon dari hutan produksi menjadi taman nasional pun menuai kekecewaan warga.
Berselang empat tahun sejak perubahan status, warga masih "mencuri-curi" kesempatan bercocok tanam di areal hutan. Tahun 2008 kerja keras Dadan dimulai.
     "Saya harus menghadapi penentangan warga yang kecewa kehilangan ladang penghasilan, segala macam ancaman saya terima," katanya.

Dengan hati

     Pendekatan hati dan mengunjungi warga satu per satu menjadi strategi Dadan. Ketiadaan kantor memaksa dia memutar otak bagaimana caranya agar hutan di resor Bantaragung seluas 1.472 hektar (ha) itu bisa diamankan. Ia juga harus mengajak warga turun gunung.
     "Saya ikuti hampir semua kegiatan warga, mulai dari hajatan, pengajian, rapat di kampung, sampai menumpang tidur di rumah tokoh-tokoh kampung. Sambil duduk-duduk santai, saya ceritakan tentang siklus air dengan gambaran yang sederhana, berikut dampaknya kalau hutan gundul," ceritanya.
     "Sesekali saya tanyakan juga bagaimana kondisi air di sini. Warga ganti bercerita dan mengeluhkan Sungai Ciwaringin di kampung mereka yang mulai mengering. Dari sini kesadaran warga tentang pentingnya menjaga hutan pelan-pelan terbentuk," tambahnya.
     Tak jarang Dadan menjadi tukang shooting dadakan. Ia tak segan menawarkan jasa shooting kepada warga yang menggelar hajatan. Berbekal kamera ia merekam hajatan di rumah warga. Hasil rekaman itu ia susun dengan diselipkan info, gambar, dan seruan tentang pentingnya menjaga hutan dan dampak buruknya jika hutan rusak. Kaset video cakram itu dibagikan gratis.
     "Baru-baru ini saya mengambil gambar acara lulusan madrasah ibtidaiyah yang sedang membaca Al Quran, di sini juga ada himbauan kepada adik-adik supaya rajin merawat pepohonan," katanya.
     Selama dua tahun pendekatan, para tokoh kampung yang keras hati pun luluh. Strategi "menumpang" tidur Dadan berbuah kesediaan para tokoh Bantaragung mengajak warga turun gunung. athun 2010 satu per satu warga meninggalkan ladang sayur dan dalam waktu tiga bulan warga sepenuhnya turun gunung.
     Kegigihan Dadan mengawal warga turun gunung mengorbankan waktunya bagi keluarga. Ia biasa pulang tiga kali dalam sebulan ke Sumedang yang jaraknya sekitar 55 kilometer dari Bantaragung. Bapak dua anak ini lebih sering menginap di rumah warga ketimbang di rumah sendiri.
     "Beberapa kali anak dan istri saya ajak ke sini supaya mereka mengerti pekerjaan saya," ujaarnya.

Merasa berdosa

     Agaknya, pengalaman Dadan bekerja di sebuah perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) turut melatarbelakangi kegigihannya bekerja di bidang kehutanan. Selulusnya dari Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Kadipaten Majalengka, tahun 1991, ia bekerja di perusahaan HPH. Sampai tahun 2001 ia berpindah-pindah tempat tugas, antara lain di Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua, dan Jambi.
     Dadan menjadi mafhum benar atas praktik penebangan liar yang ia hadapi di lapangan. Lama-kelamaan ia pun terusik. "Ada rasa berdosa di hati karena saya seolah ikut membiarkan dan membantu penebangan hutan secara liar," katanya.
    Ia memutuskan berhenti dan melamar sebagai pegawai negeri. Tahun 2005 Dadan bekerja pada Kementerian Kehutanan dan ditempatkan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Minahasa, Sulawesi Utara. Tahun 2008 ia dipindahkan ke TN Gunung Ciremai.
    Di lingkungan baru tempat kerjanya, ia mengaku banyak belajar dari warga. Ia antara lain belajar mengenali dan membiakkan pepohonan asli Ciremai yang langka, seperti picung, huru, kapundung, dan peutag.
   Dadan bahu-membahu dengan warga Bantaragung mengembangkan kawasan wisata Curug Cipeutey dan Bumi Perkemahan Awilega di bekas hutan produksi. Kawasan wisata ini merupakan inisiatif warga sebagai ganti penghasilan mereka yang hilang dari ladang sayur.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 5 JULI 2012

Selasa, 03 Juli 2012

Dewi Susila: Motor Pencegah HIV/AIDS

DEWI SUSILA
Lahir: Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 25 April 1979
Pendidikan:
- SDN 064034 Medan Johor, lulus 1991
- SMPN 13 Medan, 1994
- Sekolah Perawat Kesehatan/SPK (kini Politeknik Kesehatan/Poltekes) Medan
  1997
- D-1 Kebidanan Poltekes Medan, 1998
- D-3 Akademi Kebidanan Medistra Lubuk Pakam, Deli Serdang, 2011
Suami: Indra Utama Damanik (42)
Anak:
- Yoga Utama Damanik (11)
- Aditya Utama Damanik (9)
- Fayza Dila Utama Damanik (7)
- Syafana Zahrain Damanik (5)
Pencapaian:
- Bidan Desa Terbaik Kabupaten Deli Serdang, 2009
- Bidan Desa Siaga Terbaik di Sumatera Utara, 2010
- Srikandi Award dari Ikatan Bidan Indonesia, 2011

Dia menerobos kebekuan masyarakat dalam menyikapi ancaman bahaya HIV/AIDS. Dia berjuang dengan terlibat langsung dalam kegiatan remaja sambil menyosialisasikan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap HIV/AIDS. Dialah bidan Dewi Susila, motor penggerak penyadaran masyarakat, terhadap bahaya HIV/AIDS.

OLEH MOHAMMAD HILMI FAIQ

Perjuangan perempuan berusia 33 tahun ini mendapat simpati dan apresiasi orang. Tahun 2011, Ikatan Bidan Indonesia mengukuhkan Dewi sebagai penerima Srikandi Award, penghargaan bagi bidan-bidan inspiratif. Sejumlah penghargaan tingkat kabupaten dan provinsi pun diraihnya.
     "Saya melakukan semua ini agar masyarakat bisa hidup lebih sehat dan sadar bahaya HIV/AIDS," ujar Dewi, bidan di Desa Tanjung Morawa A, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
     Kecamatan Tanjung Morawa merupakan daerah industri yang berlokasi sekitar 40 kilometer dari Kota Medan. Sebagian dari mereka mengonsumsi obat terlarang dan melakukan seks bebas.
     Tahun 2006, setelah bertugas di pedalaman Tapanuli Selatan dan pindah ke Puskesmas Tanjung Morawa, Dewi menemukan fakta pahit tentang desanya. Suatu hari ia diajak jalan-jalan Kepala Pengelola Voluntary Counseling Test dan Infeksi Menular Seksual Puskesmas Tanjung Morawa Nur Hayati Kamal. Ia mendapati gubuk-gubuk kecil yang digunakan sebagai tempat praktik prostitusi.
     Ia pun bertemu gadis-gadis belia yang bekerja di kafe-kafe sebagai pramusaji sekaligus teman minum para tamu. Sebagian dari mereka merangkap sebagai pekerja seks komersial.
     "Mereka masih kecil, dadanya pun belum mengembang sempurna," katanya prihatin. Ia lalu meminta para remaja itu untuk memaksa tamunya memakai kondom karena mereka berpotensi tertular HIV/AIDS.
   Dewi, anak pertama dari enam bersaudara ini, sadar betul bahaya HIV/AIDS. Apalagi, saat itu tercatat 139 warga Tanjung Morawa positif HIV/AIDS, tertinggi di Deli Serdang.
  Dewi semakin tersentak ketika mendapati fakta satu keluarga muda semuanya positif HIV/AIDS. Padahal, mereka baru menikah dua tahun dan anaknya belum genap setahun. Sumber virus itu berasal dari sang suami yang pengguna narkoba dengan jarum suntik.
     "Bahaya ini mungkin menimpa anak-anak saya, makanya kaum muda harus mempunyai benteng diri," kata ibu empat anak ini.
     Ia tergerak menularkan kesadaran itu. Mulailah Dewi mendekati para remaja. Ia datangi tempat-tempat remaja berkegiatan. Tak peduli berapa jumlah remaja yang ada, kadang hanya lima-tujuh orang, ia tetap memberi tahu mereka akan bahaya HIV/AIDS.

Kumpulkan warga

     Merasa kurang efektif, Dewi lalu meminta bantuan aparat desa dan Puskesmas Tanjung Morawa untuk menggelar sosialisasi besar-besaran. Sekitar 100 warga berkumpul di Gelanggang Olahraga Blumei Tanjung Morawa.
     Ia mengundang kapolsek, pejabat dinas kesehatan, dan ustadz untuk memberikan penjelasan mengenai bahaya HIV/AIDS. Warga antusias dan mendukung acara serupa dilanjutkan.
     Acara ini seolah menjadi pintu masuk munculnya dialog antara masyarakat dan Dewi mengenai HIV/AIDS. Dari sini, ia pun mengetahui cara pandang orangtua terhadap perilaku dan kehidupan anak mereka. Umumnya, orangtua belum memahami gaya hidup yang rentan terhadap HIV/AIDS. Pada titik itulah, ia menularkan pengetahuannya agar masyarakat waspada.
     Tak hanya orangtua, banyak remaja yang lalu berkonsultasi kepada Dewi saat mereka terlibat masalah dengan pacar. Tak cuma menemui, ia pun tak keberatan menerima telepon dari mereka.
    Dewi kemudian memperluas jaringan. Ia bekerja sama dengan sejumlah organisasi bersegmen remaja. Dibantu Pramuka Sumut, dia menggalang acara kemah dan outbond bertajuk "Kegiatan Santai Peduli Kesehatan Remaja Tanjung Morawa" atau "Kesan Pertama" sejak Oktober 2010. Acara ini berisi lomba masak, tali-temali, morse, dan dinamika kelompok.
     Kegiatan yang rutin digelar sebulan sekali itu diikuti puluhan remaja di kampung masing-masing. Pada akhir tahun, "Kesan Pertama" digelar lebih besar dengan menghadirkan ratusan remaja dari sejumlah desa. Dewi dan rekan-rekan pun melibatkan peserta guna menciptakan suasana semenarik dan semenyenangkan mungkin.
     Materi yang disampaikan pada "Kesan Pertama" antara lain tentang kesehatan reproduksi, perilaku hidup sehat, motivasi kepemimpinan, dan penyalahgunaan narkoba. Mantan pengguna narkoba pun dia ajak bergabung untuk berbagi pengalaman tentang betapa merananya menjadi pecandu dan bahaya HIV/AIDS.
     "Kesan Pertama" melahirkan para remaja yang menjadi agen penerus informasi kepada rekan sebayanya tentang kesehatan dan bahaya HIV/AIDS. Mereka seolah menjadi konselor sebaya.
     Dewi juga masuk ke lingkungan waria dengan pendekatan yang hampir sama. Kaum waria yang umumnya senang hiburan diundangnya dalam acara musik organ tunggal atau sejenisnya. Lalu, dia menyelipkan sosialisasi kesehatan dan bahaya HIV/AIDS. Hasilnya, puluhan waria kini terbuka tentang kondisi kesehatan mereka dan mau berkonsultasi.
     Gedoran Dewi terus menunjukkan gejala positif dalam masyarakat. Para remaja makin intens saling mengingatkan sesamanya akan bahaya HIV/AIDS. Para orangtua pun bersatu membantu organisasi Warga Peduli AIDS.
     Dibantu Komisi Penanggulangan AIDS Deli Serdang, warga siaran dua kali sepekan  di Radio Anugerah dan radio pemerintah Deli Serdang. Tema pokoknya adalah pencegahan penularan HIV/AIDS.
     Kesadaran yang tinggi terhadap pencegahan HIV/AIDS ini mendorong pemerintah pusat menjadikan Puskesmas Tanjung Morawa sebagai satu-satunya puskesmas di Sumut yang mempunyai klinik metadhon.
     Klinik ini menyediakan fasilitas konseling dan terapi pengguna narkoba. Sebelumnya, klinik serupa hanya ada di Rumah Sakit H Adam Malik di Medan.
   "Saya akan berusaha dan berharap agar proses edukasi terhadap pencegahan HIV/AIDS ini bisa terus memasyarakat," kata Dewi yang ingin punya stasiun radio sendiri agar lebih leluasa mengampanyekan pentingnya kesehatan ini bagi masyarakat.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 3 JULI 2012

Minggu, 01 Juli 2012

Chairul Tanjung: "Tangan Emas", Skenario yang di Atas

CHAIRUL TANJUNG
Lahir: Jakarta, 16 Juni 1962
Istri: Anita Ratnasari Tanjung (43)
Anak:
- Putri Indahsari (15)
- Rahmat Dwiputra (9)
Pendidikan:
- SD Van Lith, Jakarta, 1972-1977
- SMP Van Lith, Jakarta, 1977-1979
- SMAN 1 Jakarta, 1979-1981
- Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1981-1987
- Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, Jakarta, 1991-1992

Dari selembar kain batik halus milik ibunya, 31 tahun lalu, Chairul Tanjung atau CT kini mampu menyediakan pekerjaan bagi sekitar 75.000 orang di berbagai perusahaan miliknya. Kalau rata-rata karyawan itu anggota keluarganya empat orang, maka sekitar 300.000 orang hidup dari berbagai kegiatan usahanya.

OLEH DEDI MUHTADI DAN CORNELIUS HELMY

"Saya yakin, hal itu tidak akan mungkin terjadi tanpa kehendak Yang Maha Kuasa,"  ujar Chairul saat berbincang santai di sela-sela kesibukannya mempersiapkan peresmian Komplek Trans Studio dan hotel mewah berstandar internasional, Trans Luxury Hotel, di Bandung, Jawa Barat, kamis (28/6) malam.
   Oleh karena itu, ekspansi bisnis ke berbagai bidang usaha yang dilakukannya merupakan bagian rasa syukur dari semua kesempatan yang diberikan Allah SWT.
   Bagi Chairul, rasa syukur tak cukup hanya berdoa dan mengucap Alhamdulillah, tetapi harus bekerja keras dan terus berusaha. Dengan berkembang, berarti semakin banyak orang bisa hidup dari perusahaannya. Dan, sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang berguna untuk manusia lainnya.
     "CT di mata saya adalah seorang Indonesia yang diimpikan siapa saja. Muda, bekerja keras, sukses besar, bersih dan gentleman," ujar Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan.
     Namun, Chairul berusaha tetap rendah hati. Ia merasa bukan orang pintar karena orang pintar di negeri ini banyak. Begitu pula yang bekerja keras, pun tidak sedikit.
     Sukses menjalankan usaha dan mempekerjakan puluhan ribu orang tidak membuat Chairul merasa menjadi aktor utamanya. "Itu skenario Yang Maha Kuasa," ujarnya.

Kain batik halus

     "Chairul, uang kuliah pertamamu yang ibu berikan beberapa hari lalu ibu dapatkan dari menggadaikan kain halus ibu. Belajarlah dengan serius, Nak." itu kata-kata yang diucapkan Hj Halimah, ibunda Chairul, itu masih terngiang jelas dan menyentuh kalbu yang paling dalam.
    Ia tak menyangka ibunya terpaksa melepas kain batik halus simpanan untuk membiayai ongkos masuk kuliahnya di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (UI) tahun 1981. Padahal Chairul yakin, kain batik itu adalah harta paling berharga yang kala itu dimiliki ibundanya.
     "Di satu sisi, saya terpukul dan terharu mendengar hal itu. Namun, dari situlah saya bertekad tidak akan meminta uang lagi kepada ibu. Saya harus bisa memenuhi biaya kuliah sendiri," kata Chairul.
   Kompleks bisnis terpadu itu akan dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan duta besar sejumlah negara. Ia mendedikasikan acara ini untuk perjuangan ibunya, Halimah, yang telah menjadi sosok penyemangat hidupnya hingga kini.
    Batik halus yang mirip dengan milik ibunya dulu, akan dijadikan suvenir utama bagi para undangan.

Buku praktikum

     Titik balik kemandiriannya dimulai saat Chairul melihat peluang usaha pembuatan buku praktikum kuliah. Ia menjual cetakan buku praktikum dengan harga lebih murah dibandingkan dengan di kios fotokopi yang ada di sekitar Kampus UI.
     Ia bekerja sama dengan usaha percetakan milik kerabat salah seorang temannya. Beruntung, usaha pertamanya ini dilakukan tanpa modal karena pemilik percetakan tak mengharapkan uang muka. "Keuntungan pertama saya Rp 15.000, dan terhitung besar pada zaman itu. Namun, pengalaman yang paling berharga adalah saat belajar soal jaringan dan kepercayaan," cerita Chairul Tanjung.
    Pengorbanan ibu dan keuntungan Rp 15.000 pertama itu membangkitkan rasa percaya dirinya. Perlahan Chairul mengembangkan usahanya dengan mencoba bisnis importir alat kedokteran hingga eksportir sandal.
   Dia juga pernah merugi saat gagal merintis pembuatan pabrik sumpit. Namun, kejadian itu tidak membuatnya patah arang.
     "Saya selalu menerima kegagalan dengan tangan terbuka. Percaya atau tidak, bila semuanya diterima dengan terbuka, lama-lama kegagalan akan enggan datang," selorohnya.
     Berbekal semangat dan filosofi itu, Chairul dikenal sebagai salah satu pengusaha sukses Indonesia kini. Majalah Forbes menempatkan Chairul Tanjung pada urutan 937 orang kaya di dunia dengan total kekayaan satu miliar dollar AS.
  Beberapa kalangan menyebut Chairul  bertangan emas, yang bisa menjadikan semua usahanya nyaris sempurna.

Mengambil alih

     "Tangan emas" dibuktikannya saat mengambil alih kembali Bank Mega tahun 1996. Saat itu Bank Mega tengah sakit karena dengan saldo merah di Bank Indonesia mencapai Rp 90 miliar. Sebesar 90 persen di antaranya merupakan kredit macet. Hasilnya tahun 2011 Bank Mega masuk jajaran 12 bank di Indonesia dengan aset Rp 62 triliun.
     Stasiun televisi TransTV dan Trans7 dibawanya menjadi favorit masyarakat dengan program yang dikelola sendiri oleh para personelnya. Pusat hiburan masyarakat di Makassar dan Bandung, seperti Trans Studio, pun dalam waktu singkat menjadi kawasan idola masyarakat Indonesia.
    Tidak heran, banyak perusahaan berskala lokal dan internasional menawarkan diri untuk dibidaninya. Salah satunya adalah saat dia mengakuisisi raksasa ritel Perancis, Carrefour. Chairul mengatakan, bukan dia yang memilih mengakuisisi, tetapi pihak Carrefour yang menawarkan kepadanya tahun 2010.
     Selain terus membuka kesempatan kerja lewat berbagai unit usaha baru, Chairul Tanjung juga menggagas berbagai organisasi dan kegiatan amal, baik untuk warga miskin maupun korban bencana alam. Di antaranya lewat Chairul Tanjung Foundation, Rumah Anak Madani, Komite Kemanusiaan Indonesia, dan We Care Indonesia. "Saya sempat terharu saat seorang warga mengatakan akan terus berbelanja di Carrefour agar saya bisa membantu semakin banyak orang," katanya.
     Sebagai manusia biasa, Chairul Tanjung juga pernah punya kekhawatiran besar. Ia merasa cemas bila tidak punya energi lagi untuk mengurus perusahaan yang memayungi puluhan ribu orang ini.
     Namun, ia menambahkan, sekarang ia sudah punya jurus jitu untuk menekan kecemasan itu. Tahun 1995, saat mengantar ibunda menunaikan ibadah haji, di pintu Kabah ia mengikrarkan diri sebagai prajurit Allah.
     "Sebagai prajurit, apa pun yang Dia berikan, baik, buruk, susah, senang, ringan, berat, insya Allah akan senantiasa saya jalankan dengan ikhlas. Saya pasrah kepada-Nya yang sudah memberikan berkah ini. Karena, toh, dulu juga saya bukan siapa-siapa," ujar Chairul tersenyum, tanpa beban.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 2 JULI 2012

Jumat, 29 Juni 2012

Agnes Barabara Kundimgo: Bidan Pelosok Boven Digoel

AGNES BARABARA KUNDIMGO
Lahir: Waropko, Boven Digoel, Papua, 20 Maret 1974
Pendidikan:
- SD Xaverius Mindiptana, Boven Digoel, 1983-1990
- SMP Mindiptana, 1990-1993
- Pendidikan bidan C Merauke, 1993-1996
Suami: Cornelius F Wigo (36)
Anak: Andreas A Erenisan (12), Dorthea B Warawam (9), Rosdianti F Wigo (8 bulan)
Pekerjaan:
- Bidan Puskesmas Pembantu Maryam, Distrik Mandobo, Boven Digoel, 
  1996-2004 
- Bidan Puskesmas Tanah Merah, Boven Digoel, 2004-2011
- Bidan RSUD Boven Digoel, 2011-sekarang

Bertugas pada puskesmas pembantu di pedalaman Boven Digoel, Papua, tidak membuat bidan Agnes Barabara Kundimgo kesepian dan menyerah, ia bahkan menikmati dan tertantang menolong kebiasaan persalinan berisiko yang masih dilakoni masyarakat pedalaman Papua.

OLEH ERWIN EDHI PRASETYA & NASRULLAH NARA

"Memotong tali pusar bayi menggunakan parang, pisau dapur, sampai pecahan kaca itu biasa dilakukan masyarakat di pedalaman," kata Agnes.
   Peralatan seadanya memunculkan faktor risiko infeksi yang dapat mengakibatkan kematian bayi ataupun si ibu. Perdarahan dan infeksi menjadi penyebab lagsung utama kematian ibu melahirkan.
     Masyarakat di pedalaman juga masih memegang tradisi melahirkan harus di luar rumah utama. darah dari persalian dianggap sebagai darah kotor yang tidak boleh mencemari rumah. Jika sampai setetes darah itu mengenai ruma utama, dipercaya kesialan atau musibah akan terjadi.
     Keluarga itu, misalnya, akan susah mendapat buruan rusa di hutan atau ikan di rawa. Karena itu, adat setempat menekankan, perempuan hamil harus bersalin di luar rumah. Biasanya si ibu dibuatkan pondok dari ranting kayu seadanya di halaman belakang rumah atau di hutan.
    Ibu dan bayinya baru boleh kembali ke rumah setelah benar-benar bersih. Persalinan itu biasanya dibantu dukun beranak atau orangtua. "Biasanya setelah seminggu melahirkan, baru ibu dan bayinya dibolehkan masuk rumah," ungkap Agnes.
     Ketika hendak mencegah praktik itu dan menolong persalinan dengan keahlian kebidanannya demi keselamatan bayi dan si ibu, ia justru dilarang dengan alasan adat dan tradisi. Namun, Agnes berkeras tetap mendampingi persalinan dan bersiap-siap jika terjadi kemungkinan terburuk.
     "Mereka jarang memanggil bidan. Kalaupun ada warga yang memanggil bidan, tetap tidak mau dibantu," ujarnya.
     Ia pernah diminta membantu persalinan, tetapi baru dipanggil setelah kepala si bayi mulai keluar. Ia bersyukur persalinan berjalan baik sehingga ibu dan bayinya selamat.
     Pendekatan dan penyuluhan kesehatan pun ia lakukan. Seiring dengan berjalannya waktu, upaya itu berhasil. Masyarakat di tempatnya bertugas mulai percaya kepadanya untuk menolong setiap persalinan.

Panggilan jiwa

     Agnes bertugas di Puskesmas Pembantu Kampung Maryam, Distrik Mandobo, mulai tahun 1994 hingga 2004. Bertugas di puskesmas pembantu kampung pedalaman itu ia jalani dengan sepenuh hati.
     Baginya, menjadi bidan adalah panggilan jiwa. Karena itu, di mana pun ditugaskan, ia berusaha mengabdi sebaik mungkin. Puskesmas Pembantu Maryam, misalnya, berlokasi relatif jauh dari Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel.
     Ia tidak tahu pasti berapa kilometer jaraknya. Yang ia tahu, perjalanan ke Tanah Merah harus ditempuh melalui sungai dan mendayung perahu selama empat hari. Hal itu dijalaninya bersama petugas puskesmas pembantu yang lain setiap kali mereka hendak mengambil stok obat-obatan, menyampaikan laporan kegiatan, atau mengambil gaji bulanan.
     Kalau hari beranjak malam, ia menepi dan menginap di bivak-bivak di pinggir sungai. Beban menjadi lebih ringan saat mereka mendapat bantuan operasional perahu bermotor.
     Tahun 2004-2011, Agnes ditugaskan di Puskesmas Tanah Merah dan mulai tahun lalu bertugas di RSUD Boven Digoel.
     Menjadi bidan adalah keinginan Agnes sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, ia diminta tolong ibunya, Dortea Warawam, yang sedang membantu persalinan kakak perempuan Agnes.
     "Mama bilang, 'Agnes, tolong potong tali pusar dengan gunting.' Itu pengalaman yang luar biasa," ungkapnya.
     Sejak itulah tumbuh kuat dalam dirinya cita-cita menjadi bidan karena ingin  menolong persalinan. Selepas SMP, Agnes remaja lantas mengikuti seleksi pendidikan kebidanan di Merauke dan dinyatakan lulus.
     Selama 16 tahun ia menjadi bidan, sudah tidak terhitung berapa jumlah ibu bersalin yang telah dibantunya. Siang itu, misalnya, di RSUD Boven Digoel, Agnes tengah membantu menolong seorang pasien yang mengalami abortus (keguguran). Ia mengantarkan pasien itu ke rumah sakit dengan menumpang angkutan kota.
    Harap maklum, di Boven Digoel, ambulans adalah barang langka. Sopirnya tidak bisa diminta atau dipanggil saat ada keadaan darurat. Pasien yang sedang hamil tiga bulan tersebut sebulan lalu datang kepadanya untuk memeriksakan kehamilan.
     "Saat itu keluar bercak-bercak darah dari pasien. Kandungannya tidak kuat. Saya sudah melarang dia kerja dulu, tetapi beberapa hari lalu dia mulai kerja lagi," kata istri Cornelius Frans Wigo ini. Kelancaran tugas Agnes ditopang profesi sang suami sebagai mantri di Instalasi Gawat Darurat RSUD Boven Digoel.

Angka kematian tinggi

     Selama ini, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di pedalaman Boven Digoel masih rendah. Hal ini berkaitan erat dengan belum tersedianya fasilitas kesehatan yang bermutu, merata, dan mudah dijangkau masyarakat, juga kurangnya tenaga kesehatan.
     Selain itu, faktor geografis dan transportasi yang sulit pun turut berperan, "Angka kematian bayi di daerah pedalaman masih tinggi," ungkapnya.
     Data Dinas Kesehatan Boven Digoel menunjukkan, tahun 2011, kematian bayi tercatat 21 kasus, abortus 19 kasus, kematian anak balita 9 kasus, dan kematian ibu 2 kasus. Angka ini bisa jadi lebih tinggi karena masih banyak kampung di pedalaman yang jauh dari jangkauan tenaga kesehatan sehingga tak tercatat.
     Kesadaran memeriksakan kehamilan di kalangan ibu hamil juga masih rendah. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Boven Digoel, tahun 2011, kunjungan pemeriksaan kehamilan pada usia kehamilan 0-12 minggu sebanyak 6.052 ibu hamil. Akan tetapi, pada usia kehamilan 3 bulan ke atas, kunjungan pemeriksaan merosot menjadi hanya 730 ibu hamil. Hal itu semakin menambah risiko saat melahirkan.
     Dari 1.036 kunjungan ibu hamil dengan faktor risiko, yang terbanyak adalah jarak kehamilan kurang dari dua tahun, yakni 24,32 persen. Kasus gizi buruk pun semakin menambah deretan persoalan kesehatan di daerah itu. Pada 2011, anak balita gizi buruk tercatat sebanyak empat orang.
     Berbagai persoalan itu masih menjadi tugas berat bagi bidan Agnes dan tenaga kesehatan lain di Boven Digoel. Bagi Agnes, panggilan hidupnya sebagai bidan akan selalu dilakoni dengan semangat pengabdian untuk terus menolong.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 29 JUNI 2012