Jumat, 12 April 2013

Dewi Kusmianti dan Tonton Paryono: Hidup Sejahtera bersama Sampah

TONTON PARYONO
Lahir: Bandung, 31 Juli 1973
Pendidikan:
- SD Gumuruh 2, Bandung, lulus 1989
- SMP Muslimin 2 Bandung, 1992

DEWI KUSMIANTI
Lahir: Bandung, 20 Juni 1975
Pendidikan:
- SD Bandung Raya, 1988
- SMP Pasundan 7 Bandung, 1991
- SMA Muslimin 1 Pagi Bandung, 1994
Anak:
- Ayu Dwi Yanti (17)
- Muhammad Yusuf Mauliawan (14)
- Tri Septiani (11)
Penghargaan:
- Pengelola sampah Konsep 3 R Hari Lingkungan Sedunia Kota Bandung untuk 
  My Darling, 2011
- Penghargaan Msyarakat Peduli Lingkungan 2012
- Tokoh Dewi Sartika sebagai Ibu Teladan Lingkungan 2012 Jabar
- Pikiran Rakyat Award Kategori Lingkungan, 2013

Suatu hari delapan tahun lalu, corat-coret sisa rapat tentang pemilahan sampah di papan tulis di lembaga swadaya masyarakat Studi Mitra Lingkungan membuat Dewi Kusmianti (38) penasaran. Sebelum dihapus, ia membacanya sampai tuntas. Beberapa inti tulisan dicatatnya.

OLEH CORNELIUS HELMY

Pikiran Dewi lantas melayang pada keluhan suaminya, Tonton Paryono (40). Pengangkut sampah di RW 011 Kelurahan Cibangkong, Kota Bandung, itu kewalahan mengelola timbunan sampah seorang diri.
   "Sampah plastik dipilah dan dibuat kerajinan tangan. Selain meringankan beban suami, juga bisa memberi keuntungan ekonomi," pikir Dewi yang kala itu bekerja sebagai petugas kebersihan di Studi Mitra Lingkungan.
   Setelah dibicarakan dengan suaminya, konsep itu mulai mereka kerjakan pada April 2005. Saat itu, di tempat pembuangan sampah (TPS), timbunan sampah mencapai 4 meter. Sampah berasal dari sekitar 9.000 warga RW 011 yang tak pernah diangkut sejak tahun 1996.
   Selain memilah plastik di TPS RW 011, mereka juga membeli langsung dari warga. Modal untuk itu disisihkan dari penghasilan keduanya sekitar Rp 600.000 per bulan. Sampah anorganik dibeli Rp 400 per kilogram dan sampah plastik bermotif Rp 50-Rp 100 per lembar. Pembayaran dilakukan saat tagihan mencapai Rp 50.000 per orang.
   Cara itu membuahkan hasil manis. Kemampuannya menganyam dari bahan bungkus plastik bekas memberikan penghasilan tambahan. Dalam sebulan Dewi bisa menjual 30 dompet atau tas kecil Rp 5.000-Rp 10.000 per buah. Kerja suaminya sebagai pengangkut sampah juga lebih ringan karena volume sampah berkurang hingga 40 persen setiap hari.
   Peluang ekonomi itu juga dilirik oleh 12 ibu tetangganya di RW 011. Tahun 2009, mereka lantas bergabung dan menamakan diri Masyarakat Sadar Lingkungan (My Darling) untuk memudahkan pembelian sampah dan pemasaran hasil kerajinan.
   "Kelompok My darling terus berkembang. Saat pertama berdiri, keuntungannya hanya Rp 800.000 per 12 orang per tahun. Sekarang setiap anggota bisa untung Rp 500.000 per tahun," ujar Dewi.
   Tak lama kemudian My Darling mendaftar menjadi peserta program Bandung Clean and Green yang digagas Pemerintah Kota Bandung pada 2010. Awalnya hanya ingin memperkenalkan diri, tak disangka konsep My Darling dinobatkan menjadi 15 peserta terbaik.
   Sukses itu membuat Yayasan Sumbangsih Nuansa Indonesia kepincut. Dana bantuan Rp 15 juta digelontorkan untuk memilah sampah. Namun, karena minim pengalaman, uang itu hanya digunakan untuk mengangkut sampah dari TPS.
   Oleh karena tak ada mobil khusus pengangkut sampah, Dewi dan Tonton harus mengeluarkan Rp 450.000 sekali angkut. Sampah masih menggunung, sedangkan uang bantuan ludes dalam enam bulan.
   "Saya banyak belajar. Banyak uang tanpa program yang benar tidak akan menghasilkan apa-apa," katanya.
   Kesempatan kedua datang. Beragam tawaran bantuan mengalir kembali untuk mereka. Tak ingin mengulang kesalahan, anggota My Darling kali ini menolak uang tunai. Mereka meminta bantuan ilmu teknologi dan alat pendukungnya.
   "Sikap itu mendapat apresiasi pemerintah dan kalangan swasta. Kami diberi ilmu pembuatan kompos, energi sampah, hingga mengurangi residu sampah bersama alat pendukung. Total mungkin Rp 100 juta. Tumpukan sampah setinggi 3 meter itu diangkut gratis," kata Dewi yang juga menjadi tukang ojek.

Berbagi

   Bumi seperti runtuh saat Dewi dan Tonton dipecat dari perusahaan konfeksi tahun 2003. Padahal, saat itu mereka butuh biaya besar untuk pengobatan tiga  anaknya. Anak sulungnya sakit diabetes, anak kedua menderita autis, dan si bungsu digerogoti radang otak.
   "Istri saya mengamen di lampu merah. Lamaran kerja yang saya ajukan tidak ada yang mau terima. Bahkan, untuk kontrak rumah saja saya tidak mampu. Kami sering tidur di jalan," kata tonton mengenang.
   Titik balik terjadi saat orang tak dikenal membayar biaya perawatan rumah sakit untuk anak Dewi sebesar Rp 1 juta. Dermawan itu hanya mengatakan, saling membantu adalah kewajiban semua makhluk Tuhan.
   "Saya lantas berpikir, kalau selama ini hanya meminta, suatu saat saya harus bisa memberi. Sampah ternyata jalan yang diberikan Tuhan agar saya bisa berbagi. Tak lama kemudian kami bekerja sebagai petugas kebersihan dan pengangkut sampah," ujar Tonton.

Teladan

   Sukses bersama My Darling tak membuat Dewi dan Tonton berpuas diri. Mereka yakin, semangat ibu-ibu di RW 011 masih bisa dikembangkan.
   Lewat perkenalan dengan beberapa orang dari berbagai disiplin ilmu, Dewi menggagas sekolah ibu pada 2011.
   Sekolah ini menjadi rumah pelatihan bagi ibu-ibu RW 011 mengelola keuangan, penataan lingkungan, pola hidup sehat, dan pelatihan usaha.
   "Gurunya pakar lingkungan, dokter, hingga analis keuangan. Mereka mau datang tanpa dibayar dan membagi ilmu dengan 12 murid sekolah ibu," ujar Dewi.
   Harapan mereka tak bertepuk sebelah tangan. Semangat ibu-ibu RW 011 membuat keberadaan sekolah ibu menjadi berarti. Tak sedikit ibu-ibu itu mulai membuka usaha pembuatan bakso sehat, penjualan baju, hingga tahu pentingnya hidup sehat dan higienis.
   "Dari sebelumnya menganggur, mereka punya kegiatan positif yang menghasilkan uang untuk keluarga," ujarnya.
   Keringat dan air mata Dewi dan Tonton perlahan menjadi teladan. Kini, ada empat kawasan di Kota Bandung yang sudah menerapkan konsep bank sampah. Ada pula kelompok masyarakat di Kepulauan Riau, Bali, dan Kalimantan Tengah yang juga tertarik mengembangkan hal serupa.
   Puluhan skripsi dan tesis mahasiswa berbagai perguruan tinggi juga lahir dari sampah. Mahasiswa menilai konsep My Darling dan sekolah ibu itu sebagai kemandirian yang menyelamatkan Bandung dari lautan sampah.
   Tak jarang mahasiswa pun menginap di rumah kontrakan Dewi dan Tonton yang berjarak sekitar 200 meter dari TPS selama mereka menyelesaikan tugas. Jarak rumah yang dekat dengan TPS memudahkan penelitian mereka pada My Darling dan sekolah ibu.
   "Kami belum tahu apakah tahun depan masih di sini atau tidak. Pemiliknya mengatakan, saya harus membayar Rp 40 juta atau  pindah karena rumah mau dijual. Mungkin saya belum punya uang saat ini, tetapi kalau mau berusaha pasti ada jalan," kata Dewi.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 11 APRIL 2013

Kamis, 11 April 2013

Saripuddin: Gerakan Pertanian Organik dari Tarakan

SARIPUDDIN 
Lahir: Sulawesi Selatan, 3 Mei 1977
Istri: Hapita (34)
Anak:
- Rahmat (7)
- Ahmad Setiar (4)
Pendidikan:
- Madrasah Tsanawiyah Kalimbua, Sulawesi Selatan
- Madrasah Aliyah Ak Khairat, Tarakan, Kalimantan Timur

Melakoni pekerjaan sebagai petani barangkali tidak menarik jika kondisi tanahnya kurang cocok, seperti di Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Namun, bagi Saripuddin (35), bekerja keras untuk mencari solusi dari keterbatasan tersebut justru menjadi tantangan tersendiri. Hasilnya, sekarang dia menjadi petani organik dan bangga dengan pekerjaannya.

OLEH LUKAS ADI PRASETYA

"Memang jika dirasa-rasa, awalnya pekerjaan ini, ya berat. Namun, ketika kita ada keinginan untuk maju, entah bagaimana, kesempatan itu selalu terbuka dan tinggal bagaimana menjalaninya. Hal yang penting, jangan sampai kita patah semangat," ujar Saripuddin.
   Tidak berbeda dengan petani-petani lain, Saripuddin, warga RT 007 Kelurahan Mamburungan, Tarakan Timur, Kota Tarakan, Kalimantan Timur, itu dulu juga petani konvensional. Dia mengikuti jejak orangtuanya yang juga bermata pencarian sebagai petani konvensional.
   Bertahun-tahun mereka bergantung pada pupuk kimia buatan pabrik. Mereka pun selalu menghadapi kondisi tanah yang kesuburannya terus menurun tanpa tahu apa sebabnya.
   Saripuddin dan teman-teman sesama petani pun hanya bisa saling berkeluh kesah tentang nasib mereka yang tak kunjung membaik. Tanah garapan mereka semakin bantat, hasil panenan pun terus menurun.
   Di sisi lain, harga pupuk semakin mahal dan semakin banyak pula jumlah pupuk yang harus mereka beli. Cacing di dalam tanah sebagai penanda kesuburan juga semakin menghilang dari tanah garapan mereka.
   "Sekitar 50 karung urea sudah cukup untuk sekali tanam. Namun, untuk masa tanam berikutnya, jumlah pupuk itu sudah tidak cukup lagi. Cacing di tanah kami menghilang, sementara hama justru bertambah banyak. Tanah kami sedang sekarat. Kami berpikir, ada apa dengan tanah kami? Padahal, setiap musim tanam, kami harus mengeluarkan biaya banyak. Uang diperlukan untuk membeli pupuk sampai obat tanaman," cerita Saripuddin.
   Tanah di Kelurahan Mamburungan, seperti umumnya tanah di Tarakan, juga berupa lempung berpasir. Menurut Saripuddin, kondisi tanah itu sebenarnya kurang bagus untuk padi. Tingkat PH-nya pun 4,1.
   "Di (Pulau) Jawa, tanah yang dipakai untuk pertanian juga berupa lempung, tetapi PH-nya ideal, yakni 6-7.
Jadi, tanah itu cocok untuk bertanam padi dan sayur-mayur. Saya lalu berpikir, tanah di sini (Tarakan) semestinya juga bisa dibuat agar cocok untuk bertanam (padi dan sayur), tentunya dengan perlakuan yang berbeda (dengan tanah di Pulau Jawa)," katanya.

Mencari tahu

   Pengetahuan itu membuat Saripuddin mengetahui ada yang salah dari cara bertani mereka selama ini. Dia kemudian mulai berusaha mencari tahu tentang bagaimana memperlakukan tanah lempung berpasir agar bisa mereka gunakan untuk pertanian.
   Setelah emncari informasi ke berbagai pihak, sampailah Saripuddin pada kesimpulan bahwa penggunaan pupuk kimia harus dihentikan. Namun, tak semua temannya sesama petani sekaligus anggota Kelompok Tani Mapan Sejahtera sepakat dengan kesimpulannya itu. Dia lalu memilih melakukan sendiri.
   "Saya bertanya kepada aparat pemerintah daerah dan disarankan untuk meminta bantuan kepada perusahaan migas (minyak dan gas) yang ada di Tarakan," katanya.
   Saripuddin kemudian mendatangi salah satu perusahaan migas itu dan dia diterima dengan baik. Dari perusahaan migas tersebut, dia malah diberi bantuan bibit dan pupuk kandang.
   "Namun, bukan bantuan seperti itu yang kami inginkan. Petani menginginkan ada pelatihan dan pendampingan agar kami mampu mandiri dengan menerapkan pertanian organik," ujar Saripuddin.
   Keinginannya itu kemudian terwujud. Pada 2008, petani setempat mendapatkan pelatihan cara bercocok tanam secara organik. Meski begitu, seusai pelatihan, masih banyak petani yang merasa ragu menerapkan pertanian organik.
   Sementara itu, Saripuddin langsung menerapkan apa yang diperolehnya selama pelatihan. Pupuk dari pabrik berangsur-angsur dihilangkan. Dia merasa mantap menanam padi dan sayuran secara organik.
   "Sekarang padi dan sayuran saya sudah bebas dari pupuk kimia," katanya meyakinkan.

Ragu-ragu

   Di satu sisi, Saripuddin bisa memahami jika sebagian petani rekannya tidak yakin dengan cara bertanam organik. Sebab, pada awal menerapkan pertanian organik, umumnya terjadi penurunan hasil panen.
   "Hal itulah yang membuat banyak petani di sini (Tarakan) ragu-ragu menerapkan pertanian organik. Saya coba meyakinkan mereka, kondisi itu hanya terjadi pada awal kita memulai (pertanian organik). Namun, setelah itu, hasil panen kita akan lebih baik. Istilahnya, kita rugi dulu, untungnya nanti," kata lelaki yang merantau ke Tarakan selepas tamat dari madrasah tsanawiyah di Sulawesi Selatan ini.
   Kini, Saripuddin bisa panen padi tiga kali setahun, padahal sebelumnya hanya satu hingga dua kali. Awalnya per hektar tanah hanya menghasilkan 2 ton padi sekali panen, tetapi lalu meningkat menjadi 4 ton dan kini 8 ton. Tanahnya mulai kembali gembur, cacing-cacing datang, dan hama mulai enggan datang.
   "Dulu, untuk 1 hektar lahan sekali musim tanam, kami mengeluarkan sampai Rp 7 juta. Sekarang biaya itu bisa dipangkas lebih dari 40 persen. Dalam setahun kami panen 2-3 kai, tak lagi hanya sekali. hasil panen kami meningkat 2-3 kali dari sebelumnya," tuturnya.
   Dulu, ia membutuhkan modal Rp 5 juta untuk menanam cabai dan membeli pupuk, dengan hasil panen Rp 12 juta. Kini, ia hanya butuh modal Rp 300.000 dan hasil panennya Rp 17 juta.
   "Cabai dan sayuran yang kami tanam juga lebih sehat dan enak rasanya," kata Saripuddin sambil menunjukkan hamparan sawahnya.
   Apa yang dicapai Saripuddin itu membuat anggota lain Kelompok Tani Mapan Sejahtera penasaran. Mereka mulai tertarik, jadilah Saripuddin dan sejumlah teman mendirikan Pusat Studi Organik Terpadu.
   "Awalnya, kami tak terpikir membuat semacam pusat studi. Namun, ini bisa menjadi tempat bagi mereka yang ingin mempelajari pertanian organik. ada lahan milik kelompok di sini, mari kita sama-sama belajar.
Melihat semakin banyak petani yang mau menerapkan pertanian organik, saya ssenang," ujarnya.
   Di pusat studi itu, sejumlah petani, antara lain, mengolah kotoran dan urine sapi serta kambing dan dedaunan untuk pupuk. Mereka juga membuat pupuk cair dan pestisida cair alami berbahan buah-buahan, dedaunan, dan gula merah.
   Saripuddin mengakui, tak mudah mengajak semua petani mau menerapkan pertanian organik. "Saya dan teman-teman yang sudah mencoba (pertanian organik) tak bisa memaksakannya. Namun, saya yakin, gerakan pertanian organik ini akan menyebar. Satu per satu petani akan beralih pada pertanian organik jika mereka tahu keuntungannya," ujarnya.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 28 FEBRUARI 2013

Senin, 08 April 2013

Cak Fu Menerjang Keterbatasan

BAHRUL FUAD 
Lahir: Kediri, 17 Agustus 1975
Pendidikan:
- S-1 Psikologi dari Universitas Darul Ulum, Jombang
- Master of Humanitarian Assistance, universitas Groningen, Belanda
Kegiatan, antara lain: Riset terkait disabilitas, menulis di media massa, merawat blog www.cakfu.info, fasilitator berbagai pelatihan komunitas inklusif, dan membangun koperasi kaum difabel, Paguyuban Daya Mandiri, Surabaya.

Siang itu, seorang jemaah shalat Jumat di Masjid Raya Al-Mashun, Medan, Sumatera Utara, menyodorkan selembar uang Rp 20.000 kepada Bahrul Fuad, MA (37). Bahrul menerima dengan senyum. Setelah si pemberi berlalu, uang itu dia berikan kepada yang dikatakannya lebih berhak.

OLEH MARIA HARTININGSIH

"Saya berikan kepada teman difabel tunanetra di halaman masjid," kata Cak Fu, sapaan Bahrul, di depan teman-temannya, anggota The Indonesian Social Justice Network (ISJN). Sebanyak 25 alumnus-dari 361 alumus dari fellows asal Indonesia-penerima beasiswa International Fellowship Programme (IFP) The Ford Foundation berkumpul di Medan untuk merumuskan langkah ISJN ke depan.
   Sebagai difabel dan pemakai alat penopang untuk berjalan, Cak Fu terbiasa menerima perlakuan seperti itu.
   Pernah, suatu hari saat menunggui istri belanja, oleh pemilik toko ia diberi uang Rp 2.000. Pernah pula teman-temannya anggota Koperasi Paguyuban Daya Mandiri di Surabaya dipaksa menerima Rp 200.000 dari seorang pengendara motor. Untuk sedekah, katanya. Mereka menolak, tetapi si pengendara motor terus memaksa.
   "Saya melarang teman-teman menengadahkan tangan agar stigma ketidakberdayaan bisa ditipiskan," ujar Cak Fu. "Namun, dalam kasus itu, saya bilang terima saja untuk koperasi," ungkapnya.

Stigma itu....

   "Tak mudah menjadi difabel di negeri ini," kata Cak Fu. Kekurangan atau perbedaan yang dimiliki difabel sering diartikan sebagai ketidaksempurnaan oleh mayoritas manusia yang merasa dirinya sempurna. "Akibatnya, perlakuan mereka terhadap kami di bawah standar."
   Ia melanjutkan, "Hampir seluruh sistem tak ramah terhadap difabel. Infrastruktur dan bangunan, termasuk rumah ibadah, tidak akomodatif dan terasa diskriminatif pada kaum difabel. Di sini, orang seperti kami menjadi tontonan, dianggap tak berdaya."
   Persoalan itu menjadi salah satu bahasan dalam Asian People Forum on Defending Rights of Development, di Bangkok, 10-12 Maret 2013. Pertemuan yang diselenggarakan Bank Information Center (BIC) Amerika Serikat itu mengkritisi Safeguard Policies Bank Dunia.
   "Bank Dunia lebih banyak membantu proyek   pembangunan yang justru menutup akses kaum marjinal, melanggar hak-hak mereka, dan semakin memarjinalkannya," ujar Cak Fu yang berangkat sebagai wakil kaum difabel Indonesia.
   Penghargaan kkepada kaum difabel justru ia dapatkan saat menempuh pendidikan lanjutan di Universitas Groningen, Belanda. "Pembimbing saya, Prof Joost Herman, selalu mengantar saya sampai keluar lift untuk memastikan semua baik-baik saja."
   Banyak pengalaman berkesan selama 20 bulan ia belajar di Belanda. "Kalau saya mau keluar kota, telepon stasiun kereta api, kasih tahu jam keberangkatan. Tepat jam itu, gerbong dengan fasilitas khusus tiba. Semua akses mudah dan nyaman," kenangnya.
   Padahal, orangtuanya sempat khawatir ketika dia hendak berangkat ke Belanda. "Ibu takut saya diapa-apain orang. Ibu bilang, itu kan negara bekas penjajah, he-he-he..."

"Nrima ing pandum"

   Cak Fu dilahirkan di Desa Klenderan, Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari keluarga guru madrasah. Ia adalah bayi yang sehat, sebelum terserang demam tinggi pada usia setahun. Panasnya turun setelah disuntik, tetapi lalu tak bisa jalan. Sampai usia delapan tahun, ia hanya merangkak.
   Orangtuanya melakukan berbagai upaya, medis dan nonmedis, agar Cak Fu sembuh. "Pernah ada 'orang pintar' nyuruh orangtua kasih saya minum gotri sepeda setiap hari. Dukun lain menyuruh saya minum   pala sampai saya lemas. Ada pula dukun yang mengikat kaki saya dengan kayu dan bambu, digantung di tempat tidur, katanya supaya lurus."
   Cak Fu bisa berjalan ketika main hujan-hujanan dengan sang adik. Tanpa disadari, gandengan adiknya terlepas dan ia tertatih-tatih melangkah. Sang ayah terus menyemangatinya.
   Meski sempat berontak, Cak Fu tak mau meratapi nasib. Perjalanan memaknai konsep Jawa, nrima ing pandum, dalam hidupnya, dimulai. Masa belajar di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, dikenang sebagai periode paling kritis dalam pergulatan spiritualnya.
   "Itulah masa transisi dari penolakan kondisi difabel ke penerimaan," tuturnya.
   Inspirasi sang kiai tentang konsep syukur yang bersifat dinamis dan progresif mengantar dia memahami konsep nrima ing pandum sebagai penerimaan tulus atas semua anugerah dan karunia-Nya, selalu bergerak maju untuk mencapai keadaan lebih baik dengan keterbatasan.
   "Tubuh yang difabel ini adalah pandum yang diberikan Tuhan kepada sya," tuturnya. "dengan kondisi fisik seperti ini, saya berusaha semaksimal mungkin menjalani hidup, berbagi dengan sesama, bekerja menafkahi keluarga, berkarya untuk membantu mewujudkan kebahagiaan orang lain, dan beribadah untuk memelihara rasa syukur atas karunia-Nya."

Penuh berkah

   Dari pesantren, Cak Fu memutuskan kuliah. "Banyak suara yang bilang, orang normal lulus sarjana belum tentu bisa kerja, apalagi cacat. Ayah saya bergeming."
   Saat kuliah, Cak Fu aktif dalam organisasi kaum difabel, banyak ikut pertemuan dan pelatihan yang kaadang diadakan di hotel mewah. "Namun, naik pesawat pertama kali, ya, waktu ke Belanda," ungkapnya.
   Kesempatan mendapat beasiswa yang memberi akses studi lanjutan ke luar negeri-setelah melamar berbagai program beasiswa tetapi ditolak karena cacat-dia dapat dari pengumuman di televisi.
   "Ibu Irid Agoes dari The Indonesian International Education Foundation, IIEF, menjelaskan tentang program beasiswa IFP,"kenang Cak Fu.
   "Beasiswa itu berbeda," ujarnya. "Prinsipnya, memperluas akses ke perguruan tinggi, khususnya bagi kelompok yang aksesnya ke pendidikan lanjutan sangat kecil, menjunjung nilai keberagaman dan mengembangkan pengetahuan yang menuju pada keadilan sosial."
   Cak Fu lalu menulis surat ke IIEF,menceritakan tentang keluarganya, kondisinya, aktivitasnya, dan cita-citanya. "IIEF merespons dengan mengirim formulir pendaftaran. Setelah melalui beberapa tes, saya lolos."
   Beasiswa itu membuka banyak akses untuk menerjang keterbatasan. "Tuhan Mahaadil. Justru karena cacat, saya sampai pada kondisi sekarang."
   Cak Fu yang hobi membaca, berkebun, traveling, dan tekun mendalami teologi kecacatan itu terus aktif dalam upaya pemberdayaan dan perjuangan hak-hak kaum difabel. Ia juga menjadi konsultan pada program disabilitas dan rehabilitas Netherlands Leprosy Relief.
   Didampingi istrinya, Ulfa Azimatul Khoitiyah, dan putri mereka, Ameera Ayesa (2,5), Cak Fu merasakan hidup yang penuh. "I'm so blessed," gumamnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 22 MARET 2013.

Senin, 25 Maret 2013

Ahmad Adib Budiman: Mengajak "Berlari" Anak TKI Lewat Lagu

AHMAD ADIB BUDIMAN 
Lahir: Banyumas, Jawa Tengah, 10 desember 1986
Pendidikan:
- MI Maarif 02, Kedung Waringin, Banyumas
- MTs Maarif 01, Jatilawang, Banyumas
- SMA Al-Hikmah Benda, Brebes, Jawa Tengah
- Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Ahmad Adib Budiman tidak mengira awal perjalanannya sebagai guru mengantarkan dia sampai ke Tawau, Sabah, Malaysia. Anak-anak dari para tenaga kerja Indonesia yang menjadi muridnya. Ternyata malah dari mereka pula Adib terinspirasi untuk menciptakan lagu dan lebih merasa menjadi guru.

OLEH LUKAS ADI PRASETYA

Album rekaman yang dirilis Januari 2013  itu bukan album komersial karena sebagian hasilnya unuk disumbangkan. Itu juga bukan album yang dijual di toko-toko CD. Adib dibantu teman-temannya merekam lagu di Yogyakarta. Dia menghabiskan tabungan sekitar Rp 30 juta untuk membiayai ongkos produksi album tersebut.
   Menembus Dunia, demikian judul album yang hanya dicetak 250 keping itu. Gambar sampul album tersebut berupa Adib berjalan di tepi pantai sembari menenteng gitar. Ada delapan lagu bercorak pop ia sematkan, yakni "Guruku", "Menebus Dunia", "Melodi Hati", "Petuah Cinta", "Yakinlah", "Pertama dan Terakhir", "Aku Tak Mengerti", dan Cinta Mimpi."
   Lagu "Menembus Dunia" dan "Guruku", misalnya, berkisah tentang renungan Adib menjalani profesi sebagai guru yang ditugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) di Humana Learning Centre Merotai Kecil, Tawau, setahun terakhir. Humana Learning Centre adalah pusat bimbingan  yang dikelola lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing. Setahun di Tawau, ia menjumpai realitas yang menyesakkan dada.
   Suatu sore datang dua muridnya. Mereka bercerita mengenai persoalan ekonomi keluarga. Seorang siswi bertanya, apakah setelah lulus dia harus melanjutkan sekolah lagi? Siswi itu ingin melanjutkan sekolah. Namun, ibunya menyuruh dia bekerja di kebun kelapa sawit demi membantu keuangan keluarga setelah meninggalnya sang ayah.
   "Pak Guru, banyak kawan saya yang cakap (mengatakan), sekolah itu tak ada masa depannya. Saya disuruh menggantikan pekerjaan abang saya. Sekolah di Indonesia, (saya) tidak tahu. Tak payahlah (usah) kami sekolah tinggi kalau nanti kami bekerja di (kebun kelapa) sawit  juga," kata Adib menirukan ucapan  muridnya.
   Ia terperangah, termenung dan merasakan kepedihan. "Saya dikirim ke sini (Malaysia) untuk apa? Setiap hari saya bilang kepada para murid, mereka harus punya cita-cita yang tinggi. Namun, kata-kata mereka menusuk (hati) saya. Mereka membuat saya terbungkam dan malu menjadi guru," katanya.
   Selepas dua muridnya itu berlalu, Adib masuk kamar dan mengambil gitar. Lelaki kurus berkacamata ini berusaha mencari jawaban apa yang harus dia lakukan.
   "Kami, guru-guru Indonesia, di sini bukan lagi di tapal batas, tetapi berdiri paling depan di wilayah orang," kata Adib, dan terciptalah lagu "Menembus Dunia".
     Sementara lagu "Guruku" ditulis Adib tepat dua bulan setelah ia dikirim ke Tawau. Lirik lagu ini merangkum pergaulan Adib dengan para guru anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI).
   Di sini guru tak hanya mengajarkan semua mata pelajaran kurikulum Indonesia untuk siswa kelas I sampai VI, tetapi juga menjadi penjaga sekolah, pembuka kunci ruang kelas, pengurus administrasi, dan sebagai ustaz.
   Selain lirik-lirik lagu yang menggambarkan suasana hatinya sebagai guru, Adib juga memasukkan pengalaman asmara dalam lagu "Melodi Hati". Lagu itu awalnya untuk kejutan pada hari pernikahannya Desember lalu, tetapi rencana tersebut tak terlaksana.
  Satu lagu lain yang dinyanyikan Adib, "Yakinlah", adalah sumbangan personel Medium Band (Yogyakarta) sebagai bentuk perhatian mereka kepada anak-anak TKI dan dukungan bagi para guru.

Bekal keberanian

   Perjalanan Adib ke Tawau bermula dari perekrutan pengajar bagi anak-anak TKI di Sabah oleh Kemendikbud. Lelaki lulusan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta itu mendaftar. Bekalnya waktu itu hanya keberanian dan keinginan menghadapi tantangan.
   Menyisihkan banyak pendaftar lain, Adib pun berangkat ke Sabah. ia ditempatkan di Humana Learning Centre Merotai Kecil, sekitar 30 kilometer dari pusat Tota Tawau. Ketika itu dia sama sekali tak memiliki gambaran tentang kondisi di Tawau dan bagaimana mengajar anak-anak TKI.
   Saat bertemu dengan para murid, Adib kagum pada semangat mereka yang begitu kuat. Mereka bangun pagi, sekitar pukul 05.00, untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Mereka ke sekolah menumpang kendaraan pengangkut kelapa sawit. Menyesuaikan jam kendaraan sawit, murid yang masuk sekolah siang pun harus datang pagi, sama seperti murid yang  masuk sekolah pagi.
   Namun, setumpuk semangat itu belum diimbangi dengan sikap mental mereka. Anak-anak TKI di perkebunan sawit merasa inferior dan menganggap sekolah adalah tahapan hidup sebelum akhirnya mereka melanjutkan pekerjaan orangtua mereka sebagai buruh di perkebunan sawit. Oleh karena itu, wawasan mereka harus dibuka.
   "Anak-anak TKI sebisa mungkin nantinya jangan menjadi TKI juga. Itu yang harus kita tanamkan kepada mereka," ungkapnya.

Dari orangtua

   Kecintaan Adib mejadi guru tampaknya diturunkan kedua orangtuanya, H Mahfudzi dan Hj Chonisah, yang juga guru. Adib, anak ke-6 dari tujuh bersaudara ini, memiliki saudara kembar yang juga berprofesi sebagai guru. Di sisi lain, ia juga punya kecintaan yang sama pada musik.
   "Lagu-lagu dalam album ini awalnya saya rekam dengan ponsel (telepon seluler), lalu saya kirim kepada teman-teman di Yogyakarta untuk diaransemen musiknya. Mereka mengirimkannya kembali. Desember 2012, selama tiga minggu saya ke Yogyakarta untuk proses rekaman," ceritanya.
  Sewaktu masih kuliah, Adib juga menjadi "anak band". Ia bergabung dalam grup Nasyid Justice Voice di Yogyakarta. Pasca-menjadi guru di Sabah, ia meneruskan hobinya bermusik lewat berbagai pentas di sekolah-sekolah. Ia juga tampil di kantor Konsulat RI Tawau.
   Lagu-lagu adib itu beredar dari mulut ke mulut, dari ponsel ke ponsel, sampai ke Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Pekan lalu, Radio Suara Tribun Indonesia (STI) di Nunukan, kabupaten yang berbatasan dengan Sabah, memutar lagu-lagu Adib untuk pertama kali.
   Adib paham, apa yang selama ini dilakukannya baik sebagai guru maupun lewat lagu untuk anak-anak TKI tak bisa langsung membawa perubahan bagi masa depan mereka. Namun, dia yakin, perjuangan para guru di tanah tetangga itu, sekecil apa pun tak akan sia-sia. "Doakan kami ya," ucapnya.
   Adib pun berharap ia dapat terus mengajak para murid "berlari" menggapai cita-cita mereka agar tak mengulang sejarah hidup orangtuanya. Seperti penggalan lirik "Menembus Dunia",...berlarilah, kau anak manusia. Jangan letih, tetap gigih melangkah. Bermimpilah, demi masa depanmu. Biarkan rintangan ini berlalu. Tetaplah gigih menembus dunia.....


Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 25 MARET 2013

Selasa, 19 Maret 2013

Siti Rofi'ah: Tidak Boleh Lepas Kebun

SITI ROFI'AH 
Lahir: Desa Siri, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, 22 Mei 1967
Suami: AS Hadungboleng
Anak:
- Hendra Handoyo
- Dadang Sudrajat
- Nursyaban
Pendidikan:
- SD di Desa Siri
- Paket B SMP
- Paket C SMA

"Tak boleh lepas kebun". Demikian petuah orangtua yang diterima Siti Rofi'ah. Aktivitasnya menghidupkan kembali dan mengembangkan pangan lokal telah membawa Rofi'ah mendapatkan penghargaan sebagai perempuan pejuang pangan lokal. Semua itu berakar dari petuah tersebut.

OLEH BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Petuah orangtua yang lain pun melahirkan sikap pantang menyerah bagi Rofi'ah. Petuah itu berkaitan erat dengan kemandirian ekonomi keluarga dan perempuan, yakni hidup harus bermoral, jangan meminta-minta kalau susah.
   Tahun 1983 merupakan titik awal pertanian sawah diperkenalkan ke sejumlah desa di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ribuan hektar tanah milik Desa Siri dibagikan kepada warga desa agar mereka mendapat bagian. Irigasi pun disediakan pemerintah. Musim tanam pertama mereka memberikan hasil melimpah.
   Kebijakan pemerintah berwujud "revolusi hijau" itu secara perlahan menggerogoti nilai-nilai yang sebelumnya dipegang secara kuat oleh warga setempat. Perlahan namun pasti, tata kehidupan warga Desa Siri yang semula mengutamakan kehidupan berkebun mulai bergeser.
   "Musim tanam kedua, orang mulai melepas kebun karena ada padi. Mereka bertanya, 'sudah ada padi kok tetap tanam jagung?'," Rofi'ah bertutur. Umbi-umbian hutan seperti talas, ubi, dan pisang pun ditinggalkan. Biasanya umbi digali lalu disimpan untuk dikonsumsi saat sulit pangan.
   Di tahun kelima mulailah pedagang menawarkan pupuk kimia dan pestisida. hanya dua tahun hasil panen bagus, selebihnya muncul beragam hama, di antaranya wereng coklat, penggerek batang, dan hama putih.
   Tekanan ekonomi muncul, warga mengijon (utang) pangan atau beras. Tak ada yang mengajarkan mereka tentang penggunaan pupuk, cara perawatan padi, dan pengobatan jika ada hama. Utang beras 50 kilogram harus dibayar 75 kilogram. Kemiskinan mulai lahir di sini.
  "Anak tak sekolah, orangtua bertengkar. Mereka meninggalkan kebun. Orang jadi malas. Muncul bantuan bencana alam dan kelaparan akibat gagal panen. Bantuan berupa beras 20 kilogram yang diberikan tiga kali dalam setahun, jelas tidak cukup," kata Rofi'ah.

Kaum ibu

   Ketika ia menjanda, di tengah pandangan sinis dan merendahkan akibat statusnya, Rofi'ah mengumpulkan  kaum ibu. Ada 10 orang bergabung. Mereka adalah ibu dari para murid mengajinya.
   Setiap orang diminta mengumpulkan 1 kilogram beras setiap kali berkumpul (per tiga bulan), dan mengumpulkan beras satu cangkir besar untuk diberikan saat anggota mengadakan perhelatan (perkawinan, pemberian adat belis, dan kematian). , 
Dengan sistem arisan, anggota secara bergilir mendapat uang hasil penjualan beras .
   Tahun kedua mereka dibantu lembaga swadaya masyarakat (LSM). 
"Kami tak butuh uang, tetapi pencerahan, karena kami tak tahu apa-apa," ungkap Rofi'ah. Perkumpulan perempuan itu makin berkembang. Tahun 2004, anggotanya menjadi 50 orang per desa. Perkumpulan ada di delapan desa.
   Perkumpulan tanpa uang itu macet karena ketua tak bisa menjalankan program. Rofi'ah lalu terpilih menjadi ketua meski tak tamat SMA.
"Saya merasa itu beban terberat," kata Rofi'ah yang terus berzikir dan berdoa.
   Ia membagi tugas. Setiap kelompok menjadi satu seksi dan dipilah menjadi seksi lumbung, benih, pemasaran, infrastruktur, pengamatan hama terpadu (PHT). "Harus ada benih yang kami kumpulkan agar tak perlu lagi membeli benih transgenik."
   Dari LSM pendamping, mereka belajar membuat pupuk bokasih dan pupuk organik. Mereka mengumpulkan kotoran sapi, kambing, dan kerbau untuk dibuat pupuk yang sebagian dijual.
  Kelompok perempuan itu menjadi Aliansi Petani Padi Lembor (APPEL). Dengan bantuan Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines), APPEL menanam padi di Desa Sumberlalong seluas 2 hektar dan menghasilkan 18 ton beras.
   Namun, situasi memburuk. Tak ada pasar. Saat panen raya, harga tak bisa tinggi karena dipatok pemerintah. Ketika panen tipis, saat "musim lapar", harga beras tinggi. "Bantuan dari pemerintah hanya bisa turun kalau ada bantuan dari orang dalam atau ada proposal," ujarnya.
   Tahun 2009, mereka kampanye menolak tambang untuk melestarikan kebun. Mereka membacakan 10 rekomendasi di hadapan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda. "Dia marah besar," cerita Rofi'ah sambil tertawa.

Gunung dan sorgum

   Untuk menyelamatkan sumber pangan lokal yang terancam "hilang", Rofi'ah berjalan ke gunung-gunung mencari benih sorgum merah, hitam, dan putih. Benih sorgum sudah lama tak dijaga.
   "Begitu ada informasi benih sorgum, saya langsung mencari rokok dan gula untuk ditukar benih,"  katanya. Saat tambang bisa dicegah masuk, warga mulai menanam sorgum di musim kering. Benih itu disebarkan juga ke Kecamatan Sananggoang, yakni di Desa Golondari, Nangabere, Benteng Dewa, Wewako, dan Desa Firu.
   Ketika ada tanah seluas 8 hektar, APPEL membuat program percontohan pangan lokal. Ini swadaya, meski mereka harus berutang. Mereka membuat pagar, menyiapkan lahan, dan semua proses lain dengan biaya sendiri.
   "Saya menjual sapi untuk biaya kesana kemari," kata Rofi'ah. Hasilnya, Sabtu, 12 November 2011, Bupati Fidelis Pranda melakukan penanaman sorgum secara simbolis.
   Dari kiprahnya itu, Rofi'ah dijanjikan piagam oleh bupati. Ia menolak. "Siapa yang akan ke kamar tamu saya untuk melihat piagam itu?" kata Rofi'ah mengulang ucapannya kepada Bupati. Sebagai penukar, ia minta bantuan untuk menyiapkan lahan. Janji meminjami traktor Bupati batal terwujud karena traktor rusak. Selain itu, tak ada lagi bantuan pemerintah.
   Namun, tak semua upayanya terlaksana karena tiadanya pasar, sedangkan petani tetap memakai pupuk kimia dan pestisida. Pengguna pupuk organik semakin menyusut.
   Kini Rofi'ah tinggal di Lembata, Kabupaten Lembata, mengikuti suaminya. Ia membantu menghidupkan kembali Kelompok Petani Penyangga Abrasi Laut Darat (Klomppald), organisasi suaminya yang sejak 2007 mati suri.
    Klomppald menyelenggarakan peringatan Hari Pangan Sedunia dengan  seminar dan pameran pangan lokal.
   "Semula para ibu menolak, namun saya terus katakan, pangan lokal membua kita mandiri, tak bergantung pada pihak lain," kata Rofi'ah. Mereka memamerkan pangan lokal yang antara lain berbahan dasar sorgum merah, sorgum putih, jelai, jagung pulut, dan jewawut.
   Setelah mendapat penghargaan sebagai salah satu dari tujuh perempuan pejuang pangan lokal dari Oxfam yang berkolaborasi dengan Aliansi Desa Sejahtera pada 8 Maret 2013, ia mengatakan, "saya melakukan ini bukan untuk mencari tenar. Saya hanya fokus mengembangkan pangan lokal, pemberdayaan perempuan, dan isu jender."
   Rofi'ah berharap pemerintah mendukung inisiatif masyarakat untuk mengembangkan pangan lokal. Ketergantungan pada beras hanya berujung pada bantuan raskin (beras untuk rakyat miskin) yang mengakibatkan warga malas dan manja.
   "Lepas kebun berarti kita mau melepaskan hidup," kata Rofi'ah, yang juga mendorong hidupnya kembali tenun lokal.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 19 MARET 2013

Lili: Memopulerkan Pisang Mas Kirana

LILI 
Lahir: Sumedang, Jawa Barat, 6 Juni 1962
Pendidikan: S-2 Agribisnis Universitas Islam Kadiri, 2007
Pekerjaan: Penyuluh pertanian Kabupaten Lumajang, Jawa Timur
Istri: Endang Sulistyowati
Anak: Nina Amelia, Arika Desilia, Hani Yuia
Penghargaan:
- Penyuluh Pertanian Berprestasi dari Kementerian Pertanian, 2007
- Penyuluh Teladan III kategori penyuluh pertanian yang bertugas di
  kabupaten, dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2012
- Pembina Kelompok Tani Berprestasi dari Dinas Pertanian Jawa Timur, 2006

Pisang mas kirana adalah pisang unggulan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Awalnya, jenis pisang ini tidak mendapat tempat di hati umumnya warga Lumajang. Namun, karena Lili terus-menerus memopulerkannya, kini pisang mas kirana menjadi idola.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Pisang mas kirana memiliki nilai jual tinggi dan merambah berbagai pasar swalayan di kota-kota besar di Indonesia. Bahkan, pisang ini juga menjadi sajian di Istana Negara. Pisang mas kirana berbentuk panjang bulat (gilig) sekitar 9 sentimeter dengan warna kulit kuning. Pisang ini sebenarnya sudah lama tumbuh di Lumajang, tetapi tidak bernilai jual.
   Awalnya, harga pisang mas kirana hanya Rp 5.000-Rp 7.000 per tandan. Namun, kini harga pisang suguhan di istana kepresidenan itu bisa mencapai Rp 75.000 per tandan. Melejitnya harga pisang mas kirana, salah satunya, dipelopori Lili, penyuluh pertanian di Kecamatan Senduro, Lumajang, sentra pisang mas kirana.
   Lili risau saat petani di Senduro memandang sebelah mata terhadap pisang mas kirana. Pisang ini hanya menjadi tanaman pengisi kebun atau halaman rumah. Padahal, potensi pisang ini amat bagus. Selain rasa manis dan bentuk mungil, pisang ini juga banyak ditanam di kebun warga. Sayang, jika pisang ini tak dijadikan sumber penghasilan.
   Itu sebabnya, pada 2001 Lili bersama teman berusaha memasarkan pisang mas kirana ke pasar. Saat itu, dia membawa tujuh tandan pisang dan memberanikan diri menembus perusahaan agrobisnis di Surabaya. Usaha itu berhasil. Meski hanya dihargai Rp 1.600 per kilogram, permintaan mulai mengalir.
   Pasar merespons keberadaan pisang mas kirana. Lili pun mendapat pesanan 20 tandan pisang dari perusahaan itu. Setahap demi setahap pesanan naik, hingga pada 2002 pesanan pisang mas kirana mencapai 150 tandan. Pisang dia dapatkan dari sejumlah petani yang berminat memasarkan pisang mas kirana.

Nilai jual

   Awalnya, pisang hanya dibungkus dengan spons dan dibawa kepada pembeli. Namun, dia melihat pasar menyambut baik, Lili pun mengajak petani menangani sendiri pengolahan dan pengemasan pisang mas kirana. Ini untuk menaikkan nilai jual pisang tersebut.
   Pada 2002 dibentuklah tiga kelompok tani yang bergerak di bidang agrobisnis khusus pisang mas kirana. Sejak saat itu, tiga kelompok tani tersebut yang menangani pascapanen pisang mas kirana, mulai pengolahan pisang seusai dipanen hingga pengemasan dan siap dipasarkan.
   Seiring semakin banyaknya permintaan dari perusahaan agrobisnis, Lili juga menyosialisasikan nilai ekonomi pisang mas kirana. Warga Senduro pun menyambut baik. Mereka mulai memberikan perhatian pada pohon pisang mas kirana. Setidaknya ada 11 kelompok tani pisang mas kirana yang kini menjadi binaan Lili.
   Dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Lumajang, intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pisang mas kirana mulai dilakukan. Terbentuklah tiga kecamatan sentra pisang  mas kirana, yaitu Senduro, Pasrujambe, dan Gucialit. Ketiganya merupakan wilayah dengan kontur perbukitan dan pegunungan yang dinilai cocok untuk pertumbuhan pisang mas kirana.
   DiKecamatan Senduro, sebagai sentra utama pisang mas kirana, kini jumlah lahan yang ditanami pisang mas kirana mencapai 425 hektar. Padahal, sebelumnya lahan untuk tanaman pisang mas kirana hanya sekitar 15-20 hektar. 
   Pisang mas kirana semakin dikenal luas. Dari tiga kecamatan itu, produksi pisang mas kirana mencapai 200 ton per bulan. Jika awalnya hanya Rp 1.600 per kg, kini harga pisang mas kirana melejit hingga Rp 5.200 per kg.
   Untuk menguatkan daya tawar petani pisang, Lili mengajak kelompok-kelompok tani berhimpun membuat asosiasi. Dengan berkelompok, petani pisang di Senduro pun dengan mudah mengakses permodalan bank. Ada bank yang menjadi sponsor pengembangan pisang mas kirana di Senduro.
   Beberapa kali pisang mas kirana mencoba menembus pasar luar negeri, seperti Singapura dan taiwan. Namun, persyaratan pasar luar negeri rupanya sulit ditembus petani Senduro yang saat itu masih belajar mengenal pasar.
   "Sebenarnya orientasi ekspor bukan yang utama. Namun, ini menjadi penyemangat agar petani bisa menghasilkan produk unggul yang bisa diterima pasar luar negeri," ujarnya.
   Bagi Lili, pintu untuk memenuhi pasar buah dalam negeri saja masih terbuka lebar. "Konsumsi buah bangsa Indonesia masih 32 kilogram per kapita per tahun. Padahal, yang disyaratkan FAO, konsumsi buah seharusnya 60 kilogram per kapita per tahun. Artinya, pasar dalam negeri masih terbuka, tinggal bagaimana kita mengisinya," ujar Lili yang hingga kini masih menjadi salah satu jalur pemasaran warga Lumajang untuk memasarkan pisang mas kirana.
   pasar pisang mas kirana menembus sejumlah kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan sampai ke Bali. Pembeli umumnya adalah supermarket. Pisang mas kirana lalu diberi label produk tertentu dan dipajang sebagai produk premium.
   "Saya ingin produk dalam negeri menjadi raja di negeri sendiri. Jangan sampai negara kita hanya dibanjiri produk asing yang kualitas sebenarnya di bawah produk dalam negeri. Itu semua bisa terwujud kalu petani kita kuat," ujar Lili.

Kelembagaan

   Melalui pisang mas kirana, Lili mengajarkan pentingnya penguatan kelembagaan petani. Dengan berlembaga, selain mudah mengakses permodalan, petani pun mampu menembus pasar-pasar besar. Mereka juga lebih mudah mendapat pelatihan peningkatan kualitas produk dari sejumlah institusi.
   Dalam hal pisang mas kirana, Lili merasa berhasil menerapkan tiga tugas yang diemban. Pertama, meningkatkan pengetahuan petani, kedua, meningkatkan keterampilan petani, terutama dalam pengemasan produk. Ketiga, mengubah sikap petani dari apatis menjadi partisipatif.
   Kepedulian Lili kepada petani antara lain karena dia anak seorang petani. Lili paham betul bagaimana menderitanya petani yang sejak awal mesti bekerja keras, tetapi harus kecewa saat panen karena mendapati kenyataan harga jatuh atau bahkan gagal panen.
   "Saya ingin melihat petani berjaya di negeri sendiri. Di luar negeri, petani itu dihormati. Sementara di sini petani masih termarjinalkan. Betapa indahnya kalau suatu saat petani kita benar-benar dihargai di negerinya sendiri," ujar Lili.


Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 18 MARET 2013
 

Rabu, 13 Maret 2013

Kustiyah Gandu: "Pengacara" Kaum Perempuan

KUSTIYAH GANDU 
Lahir: Malang, Jawa Timur, 15 Maret 1969
Suami: Gandu Wahyudi (53)
Anak:
- Nita Yudia ardani
- Fepti Diasantani
- Ira Oktavigara
- Mega Maulida
Jabatan:
- Ketua Community Center Dusun Kekeri Timur, Desa Kekeri Timur, Kecamatan
  Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat
- Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa Kekeri Timur
- Kader Posyandu Desa Kekeri Timur

Semula Kustiyah Gandu (44) berjualan nasi. Namun, realitas sosial kalangan perempuan yang umumnya keluarga miskin dan terbelakang dari segala aspek mendorongnya "pensiun" berjualan. Ia kemudian memilih jadi pembela kaum perempuan di desanya. Karena kiprahnya itu, ia dijuluki "pengacara" para ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

OLEH KHAERUL ANWAR

"Sekarang ini kami, para lelaki, tidak berkutik lagi karena ada pembela para istri kami," ujar warga Dusun Kekeri Timur, Desa Kekeri Timur, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, mengutip komentar warga di desa itu.
   Julukan "pengacara" tersebut melekat setelah perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, itu membawa perkara seorang ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dari suaminya. Selama enam bulan menikah, ibu itu dipukuli suaminya sekali dalam sebulan. Suatu hari, seusai dipukul sang suami, perempuan itu bersikeras bercerai. Dia mengadukan perilaku suaminya tersebut ke Kepolisian Sektor Gunungsari, yang langsung menjebloskan si suami ke sel selama beberapa jam.
   Setelah itu, keduanya disidang didamaikan. Di depan petugas polsek, si suami-yang digambarkan pemabuk-membuat perjanjian tertulis: jika memukuli istrinya lagi, sanksinya adalah cerai talak tiga. Belakangan, si suami mengulangi perbuatannya sehingga suami-istri itu pun berpisah.
   Kasus tersebut menjadi pembelajaran bagi suami, main kasar terhadap istri dan anak ada konsekuensi hukumnya. Penyebab persoalan adalah realitas kehidupan warga: terbatasnya sumber penghasilan dan rendahnya pendidikan suami-istri yang umumnya buta huruf dan tidak pernah sekolah.
   Para istri umumnya mengharapkan hidup dari penghasilan suaminya selaku buruh kasar, buruh tani, dan buruh pemecah batu untuk dijadikan kerikil. Saat terjadi persoalan internal keluarga, suami sering main pukul. Pertengkaran mulut di antara ibu rumah tangga pun sering bermula dari keadaan riil tersebut.
   Realitas itu diamati dan direkam Kustiyah lewat pergunjingan para istri yang curhat saat berbelanja di warungnya. Tidak jarang Kustiyah jadi "juru damai" dan menawarkan solusi, seperti mencarikan pinjaman modal usaha berbunga rendah ke kecamatan atau koperasi. Dengan pinjaman itu, para ibu rumah tangga bisa berdagang sayur-mayur, bakso, atau barang lain. Dengan cara tersebut, para istri bisa menopang penghasilan keluarga, juga punya posisi tawar di hadapan suaminya.

Community center

   Fakta-fakta itulah yang mendorong Kustiyah membentuk Community Center tahun 2006, beranggotakan 30 orang yang kebanyakan dari mereka adalah kader pos pelayanan terpadu (posyandu). Aktivitasnya melayani warga desa yang membutuhkan advokasi. Beruntung, suaminya, Gandu Wahyudi (53), beserta anak-anaknya mendukung kegiatan itu meskipun Kustiyah harus menutup warung nasinya tahun 2010.
   Kustiyah memang sibuk dengan kerja sosial. Sebutlah, seorang warga di desanya yang harus menjalani operasi  karena ada bisul di bagian ususnya. Kustiyah pun berusaha mendapatkan surat keterangan miskin agar warga ini bisa berobat dengan fasilitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Ia acap kali bertengkar mulut dengan perawat rumah sakit.
   Kali lain, seorang gadis usia 19 tahun menderita sakit jiwa dan selama 9 bulan dipasung oleh keluarganya. Berbekal surat miskin, kustiyah merujuk gadis itu untuk dirawat jalan di rumah sakit jiwa menggunakan fasilitas Jamkesmas.
   Terkadang Kustiyah harus berdebat dengan petugas rumah sakit yang mempersoalkan kurang lengkapnya syarat administrasi, seperti tidak adanya foto kopi kartu tanda penduduk calon pasien. Lewat perdebatan kecil, akhirnya disepakati bahwa kesehatan pasien diprioritaskan, soal syarat yang kurang akan dilengkapi sambil jalan.
  Bahkan, untuk mendapatkan syarat administrasi itu, tak jarang Kustiyah perlu merogoh sakunya agar urusan orang yang dibantunya tuntas. Ia maklum kondisi sosial ekonomi warga yang juga miskin akses informasi dan relasi dengan "dunia luar" desanya sehingga mereka bingung jika menghadapi persoalan.

Akta nikah

   Pernah pula Kustiyah berkeliling Pulau Lombok, mencari empat gadis asal desa itu yang akan dijadikan korban penyelundupan manusia (trafficking) oleh sebuah perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI). Selama sepekan memburu alamat perusahaan yang lokasinya berpindah-pindah, tiga gadis itu akhirnya ditemukan di tempat penampungan mereka di Kota Mataram. Seorang lainnya ditemukan di Lombok Timur. Mereka tergiur janji PJTKI yang akan mempekerjakan mereka di restoran dan mal di luar negeri. Kasusnya sempat ditangani polisi meski belakangan keluarga dan para orang tua gadis itu mencabut pengaduan mereka.
   Suami-istri bisa mengantongi akta nikah adalah peran lain yang dilakoni Kustiyah. Ini karena warga desa umumnya kurang peduli terhadap akta nikah karena proses pernikahan mereka dianggap selesai jika memenuhi syarat agama. Padahal, akta nikah menjadi penting, selain sebagai syarat pencatatan administrasi kependudukan, juga hak waris bagi anak dan istrinya.
   Untuk itu, Kustiyah melobi berbagai instansi supaya warga diberi kemudahan mendapatkan akta nikah. Hasilnya, tahun 2010, ada 38 suami-istri yang mengantongi akta nikah setelah melalui proses persidangan (isbat nikah) di Pengadilan Agama. 
Tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat mengalokasikan  Rp 500 juta untuk melakukan isbat nikah bagi 2.040 pasangan suami istri.
   Meski demikian, banyak suami yang dengan berbagai dalih menolak isbat nikah. Karena itu, sebagai kader posyandu, Kustiyah terus melakukan penyuluhan kepada warga akan pentingnya akta nikah, soal hak anak dan perempuan, serta gizi, selain soal kesehatan, seperti kesehatan reproduksi. Sebab, hingga kini masih ada ibu yang enggan memeriksakan kesehatan diri dan anak balitanya ke posyandu, menolak melakukan persalinan di puskesmas, malah tidak mau rumahnya didatangi oleh petugas puskesmas yang akan membantu proses persalinannya.
   Semua itu adalah tantangan bagi istri Gandu Wahyudi, seorang montir, ini. Toh Kustiyah punya prinsip, "Saya tidak bisa membantu secara materi, tapi melalui tenaga dan pikiran. Bagi saya, menolong orang lain adalah sebuah keberkahan."

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 11 MARET 2013