Kamis, 26 September 2013

Jumali Wahyono Perwito: Pelopor Pepaya dan Durian Pogog

JUMALI WAHYONO PERWITO 
Lahir: Sukoharjo, 19 Agustus 1966
Pendidikan:
- SD Trangsan 1
- SMP 1 Kartasura
- SMA 1 Kartasura
- Sarjana S-1 dari jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Istri: Galuh Kencana
Anak:
Kayla (kelas II SMP)
Anung (kelas II SD)
Usaha: Primuss Sumber Jaya, bergerak di bidang ekspor mebel dan kerajinan

Krisis finansial global tahun 2009 mengempaskan bisnisnya ke jurang kebangkrutan. Ketika berada di titik nadir itu, Jumali Wahyono Perwito pergi ke Dusun Pogog  yang berjarak 105 kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah, untuk menghibur jiwanya. Di dusun yang menjadi lokasi kuliah kerja nyata semasa kuliahnya dulu, lelaki yang dikenal juga dengan nama Mas Jiwo Pogog ini lantas mengajak warga menanam pepaya.

OLEH SRI REJEKI

Awalnya, Jiwo hanya ingin membantu seorang warga bernama Kang Rimo agar bisa mendapat penghasilan tanpa perlu merantau. Kang Rimo adalah salah satu panutan warga di dusun yang terletak di Desa Tengger, Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, Jateng, ini. Ia ketua kelompok tani dan takmir masjid yang suara azannya mampu memanggil penduduk untuk shalat di masjid setempat.
   Menjelang tahun baru, warga Pogog akan berbondong-bondong merantau untuk berjualan trompet, termasuk Kang Rimo. Jiwo pun lantas teringat pengalamannya melihat budidaya pepaya di Kecamatan Mojosongo, Boyolali. Ia lalu mengusulkan tanam pepaya sebagai solusi agar Kang Rimo tak perlu merantau, tetapi tetap memperoleh penghasilan.
   "Dusun Pogog itu unik, warga punya rumah dan tanah, tetapi tak bisa dibilang kaya karena jarang yang pegang uang tunai dalam jumlah besar. Meski hidup dengan uang pas-pasan, mereka tidak pernah mau meminta-minta. Semua harus diperoleh lewat kerja. aparat desa tidak malu kerja kasar jika tanaman mereka gagal panen," kata Jiwo yang sejak lulus kuliah bergerak di bidang ekspor mebel di Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, akhir Agustus lalu.
   Ia lantas mengundang petani pepaya dari Mojosongo yang dipanggil Pak Muslim untuk datang ke Pogog membagi ilmunya. Dari semula hendak membantu 200 bibit pepaya, Jiwo lantas menambahnya menjadi 2.000 benih atas saran Pak Muslim. Ini agar ada pengepul bersedia mengambil panen pepaya. Pada akhirnya Jiwo membeli hingga 4.000 benih karena antusiasme warga. Total ada 51 petani yang bergabung.
   "Semula saya sulit meyakinkan petani lain untuk ikut menanam pepaya. Ternyata mereka khawatir saya pamrih, sebab ketika itu menjelang pemilu. Mereka mengira saya akan nyaleg. Stelah melihat sendiri saya tidak ada kepentingan, mereka berbondong-bondong datang meminta benih," kata ayah dua anak ini.
   Sebelum Jiwo membagikan benih, para petani sempat dibawa ke beberapa tempat, seperti Boyolali dan Magelang, untuk belajar langsung budidaya pepaya. Mereka yang mengikuti betul pegetahuan yang diperoleh selama pembelajaran itu, seperti Mbah Tronjol, akhirnya berhasil memperoleh uang Rp 6 juta dari panen pepayanya. Hasil ini luar biasa untuk ukuran warga Pogog. Kang Rimo pun tidak perlu merantau lagi untuk mencari uang tambahan.

Menggerakkan warga

   Dari sini Jiwo memperoleh keyakinan bahwa pemberdayaan desa bisa dilakukan seorang individu yang ia sebut teori The Power of One. Artinya, tidak perlu menunggu hingga mempunyai tim hebat atau modal besar untuk mulai terjun membangun desa. "Saya membuktikan sendiri, kita  bisa membangun desa dengan dana senilai HP (handphone) yang saya sebut 'teori senilai HP di kantong kita'," kata Jiwo.
   Tahun kedua mereka mencoba menanam pepaya jenis lain yang disebut pepaya hawaii, dibeli dari Prambanan. Petani tertarik karena di Yogyakrta harga pepaya jenis ini Rp 8.000 per buah dan masuk hotel bintang lima meskipun ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pepaya biasa. Namun, ternyata iklim dan tanah Pogog yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur kurang pas untuk tanaman pepaya hawaii.
   Pada tahun ketiga, Jiwo kembali membantu 8.000 benih pepaya dari Mojosongo untuk menggantikan tanaman yang mati. Namun, sayang, banyak tanaman terserang penyakit kutu putih. Demikian pula pada tahun keempat, tanaman pepaya banyak terserang penyakit busuk akar. Meski begitu, masih cukup banyak tanaman yang bertahan hidup hingga kini dan menghasilkan uang.
   Justru tiga orang dari Ponorogo yang diam-diam mengikuti kiprah Jiwo melalui internet telah menuai kesuksesan menanam pepaya. Bahkan, mendiang Prof Sriyani Sudjiprihati dari Institut Pertanian Bogor, penemu varietas pepaya callina yang populer disebut pepaya california, pernah datang ke Pogog dan memberikan bantuan benih saat para petani melakukan kunjungan balik ke Bogor. Jiwo yang punya nama maya Mas Jiwo Pogog rajin menuangkan pengalamannya melalui blog yang diikuti lebih dari 1.800 orang.

Durian montong

   Rangkaian proses ini membangkitkan gairah warga untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Tak lama setelah bertanam pepaya, Jiwo mengajak warga menanam durian montong. Dia berharap, suatu hari Pogog bisa menjadi desa wisata durian. Dia pun membagikan 1.000 benih dengan sistem bagi hasil. Setelah dua tahun lebih ditanam, pada tahun 2012 pohon-pohon durian itu berbunga. Kini sudah ada beberapa yang bisa dipetik buahnya.
   Jiwo berharap, tahun depan setidaknya 100 pohon durian bisa dipanen sehingga Pogog cukup layak menyebut diri sebagai desa wisata durian. Mereka sempat studi banding hingga ke Bogor untuk melihat pengelolaan desa wisata durian.
   Kiprah Jiwo juga menggagas pembuatan sumur resapan dan pemasangan pipa paralon dari Kali Koang untuk mengalirkan air ke kebun bibit. Cita-citanya, setelah warga menanam pepaya dan durian, warga juga menguasai teknik pembibitan pohon buah. Mitra kerjanya yang paling andal untuk mengeksekusi ide adalah Kang Rimo dan Kang Guru, seorang guru SD yang juga tokoh warga setempat.
   Sejumlah program lain juga ia kerjakan di Pogog, misalnya perbaikan perpustakaan dan menggalakkan hewan kurban. Ia sudah seperti warga kehormatan di dusun itu.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 SEPTEMBER 2013

Sunarni: Rumah Sampah tapi Indah

SUNARNI
Lahir: 5 jUNI 1978
Pendidikan: D-3 Pariwisata
Suami: Misno
Anak:
- Naufal Falah (12,5)
- Surya Fadhil Abdilah (6,5)
Kegiatan:
- Pelatih kerajinan daur ulang
- Guru tidak tetap di SLB Muara Sejahtera-Pondok Cabe

Sebuah tulisan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" di atas pintu sebuah rumah di Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, merupakan sambutan khas dari tiga bersudara Sunarti, Sunarni, dan Nining. Ketiganya penggerak industri rumahan berbahan sampah plastik yang semua pekerjanya tunarungu.

OLEH NELI TRIANA/PINGKAN ELITA DUNDU

"Mau lihat hasil karya teman-teman saya? Yuk, masuk ke sini," ajak Sunarni (35) yang langsung menuju kamar di bagian depan rumah.
   Lemari etalase berdesakan memenuhi kamar berisi aneka kerajinan mulai dari tempat pensil sampai aneka wadah serta tas kerja dan tas wanita. Semuanya  dibuat dari sampah plastik, seperti bungkus sabun cuci dan kopi serta spanduk. Sebagian barang lain, seperti boneka dan kuda-kudaan, dibuat dari kain perca.
   Tak terasa, menginjak tahun 2013, usaha keluarga ini berusia 18 tahun. Bukan mas apendek untuk sebuah usaha yang sedari awal tidak diniatkan semata demi kepentingan bisnis.
   Almarhum Kasmi dan suaminya, Sarmin (60), orangtua dari Sunarti, Sunarni, dan Nining, selama berpuluh tahun silam hidup sederhana.  Bersepeda memboncengkan ketiga putrinya Kasmi berkeliling jualan gorengan.
   Selain itu, Kasmi nyambi jadi pembantu di rumah orang asing di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Beruntung mendapatkan majikan yang amat baik, Kasmi diberi kesempatan mengambil kursus jahit, rias pengantin, dan membuat boneka.
   "Umur manusia tidak bisa ditebak. Yang jadi pikiran ibu, bagaimana kalau ia meninggal dunia lebih dulu. Bagaimana nasib anak-anaknya, terutama Nining yang memiliki kekurangan?" kata Sunarni.
   Kasmi pun bersikeras menularkan ilmu hasil kursus kepada ketiga putrinya. Meski terkendala masalah komunikasi, karena Nining tunarungu, keluarga ini terus melatih si bungsu agar menguasai keterampilan.
   Mereka kemudian membuat kerajinan pertamanya berupa  boneka dari kain perca. Majikan Kasmi lagi-lagi mengulurkan tangannya untuk memasarkan boneka kain perca ke teman-temannya sesama ekspatriat.
   Pada 1995, usaha ini mulai digarap serius. Para pekerja yang direkrut semuanya adalah penyandang tunarungu. Saat ini ada tujuh pekerja tetap dan jika pesanan sedang tinggi, akan ada pekerja tambahan yang juga tunarungu. Dalam sepekan, sekitar 200 barang berbagai model dihasilkan dan siap dipasarkan.
   Salah satu masukan dari para ekspatriat pelanggan mereka adalah harus konsisten memakai limbah plastik dan membuat barang yang bisa dipakai sehari-hari. Upaya ini guna memberikan nilai ekonomi pada limbah plastik dan pasti mengurangi sampah yang meracuni lingkungan.
   Di sisi lain, mereka disarankan berkreasi unik yang menghasilkan barang berkesan mewah. Hasilnya, selain tas-tas belanja, ada pula tas jinjing untuk wanita berwarna perak. Tas ini hasil rajutan bagian dalam bungkus pasta gigi. Nilai jualnya, minimal Rp 400.000 per buah.

Teruskan usaha

   Dua tahun lalu, Kasmi meninggal dunia. Ia berpesan, jika menjadi pengusaha dan mendarmakan pekerjaan untuk kebaikan, pekerjaan itu pasti bisa langgeng diteruskan hingga ke anak cucu.
   Mengikuti saran ibunya, Sunarni yang lulusan D-3 Pariwisata memilih keluar dari pekerjaannya di sebuah instansi pemerintah.
   Jika kakak dan adiknya memilih fokus menjalankan usaha kerajinan daur ulang sampah, Sunarni getol memasarkan hasil industri rumah tangga tersebut. Dia juga berupaya membagi ilmunya kepada penyandang cacat, juga masyarakat umum di seluruh pelosok Nusantara.
   Dalam sepekan, Sunarni sibuk memenuhi panggilan menjadi pelatih membuat kerajinan daur ulang di banyak acara. Terkadang, ketika tempatnya jauh, seperti di Papua, Sunarni harus meninggalkan dua anaknya sampai berhari-hari.
   Setiap Sabtu, Sunarni menjadi tenaga pengajar sukarela bagi siswa-siswa sekolah luar biasa di kawasan Pondok Cabe, Ciputat. Selama dua bulan berturut-turut setiap tahun, giliran siswa SLB tersebut yang menjalani pelatihan untuk berkreasi di rumah keluarga Sunarni.
   "Tidak ada pungutan biaya apapun bagi siswa SLB ini. Terkadang ongkos pulang pun kami beri. Kalau mau makan apa adanya, kami siapkan makanan di sini," kata Sunarni.
   Berdasarkan pengalamannya, menurut Sunarni, mengikuti pelatihan dan mampu menguasai keterampilan tertentu merupakan terapi paling baik bagi para penyandang cacat.
   Orang yang memiliki ketidaksempurnaan fisik, tetapi memiliki otak normal amat mudah menguasai keterampilan dan mampu hidup mandiri. Dengan kemandiriannya, mereka menjadi percaya diri hidup di tengah masyarakat.
   Namun, dibutuhkan usaha ekstrakeras untuk melatih penyandang cacat yang juga mengalami gangguan pada otak. Yang pasti, asal telaten, sabar, dan ikhlas, hasil terbaik bisa dicapai.

Rezeki selalu ada

   Sunarni tak menampik bahwa barang kerajinan yang dihasilkannya memiliki nilai jual tinggi, tetapi memang sampai saat ini pasarnya hanya terbatas, yaitu konsumen asing. Masyarakat Indonesia, menurut dia, belum menghargai karya berbahan daur ulang.
   Kondisi ini memang bisa jadi kendala dalam pengembangan usahanya.
Apalagi, ia mendapat saingan berat dengan banyaknya usaha serupa yang kini bermunculan.
   "Rata-rata barang di sini dijual Rp 10.000-Rp 400.000. Namun, alhamdulillah, selalu saja ada pesanan dan kalau pas di pameran juga laku keras," katanya.
   Perwakilan dari sebuah perusahaan consumer goods ternama pada awal tahun 2000 pernah berguru kepada keluarga Sunarni. Perusahaan tersebut sempat menjalin kerja sama selama beberapa saat dengan Kasmi.
   "Tak lama kemudian, kami dengar perusahaan tersebut aktif memberikan pelatihan kepada kelompok-kelompok masyarakat asuhannya untuk mendaur ulang sampah plastik seperti halnya yang kami lakukan. Sungguh kami bersyukur, kreasi kami berguna dan justru kami dibantu untuk menularkan ilmu. Sama sekali tidak merasa ada saingan," kata Sunarni.
   Selama ini, Sunarni menjual bahrang-barang kerajinan di hotel-hotel berbintang, supermarket yang menyasar warga negara asing, dan pesanan dari orang-orang tertentu khusus untuk dipasarkan di luar negeri, seperti Dubai.
   Beberapa hotel berbintang lima, perusahaan minuman, dan departemen pemerintah bekerja sama dengan Sunarni, yaitu dengan memasok limbah plastik, spanduk, kain perca, dan lainnya. Setelah dibersihkan dan diolah, barang kerajinan kembali kepada rekan kerja itu untuk dipasarkan.
   Walaupun usaha keluarga itu sempat diterpa krisis pada 2005, mereka berhasil bangkit. Sampai saat ini, usaha daur ulang tersebut tidak pernah terbelit utang. Kehidupan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" terus bergulir menawarkan semangat bekerja keras dan kekeluargaan.

Dikutip, KOMPAS, KAMIS, 26 SEPTEMBER 2013

Minggu, 25 Agustus 2013

Dipa Tamtelahitu: Nasionalisme Nelayan di Pojok Negeri

DIPA TAMTELAHITU

Lahir: Ambon, 10 April 1965
Pendidikan: D-3 Sekretaris Atma Jaya, Makassar
Aktivitas:
-Direktur PT Maritim Timur Jaya, 2006-kini
- Karyawan Bank Atrha Graha, 1993-2006
- Karyawan Bank Danamon, 1987-1991
Suami: Ir Wilhelm AE Tamtelahitu, MAP (49)
Anak:
- Bryan Joze Tamtelahitu
- Septilia Riscanova Tamtelahitu

Malang melintang di dunia perbankan, Dipa Tamtelahitu pindah profesi mengurusi perikanan di Tual, Maluku. Di pojok tenggara negeri ini, ia berusaha memberdayakan nelayan.

OLEH NASRULLAH NARA

Demi komitmennya untuk perikanan Tual, dalam tujuh tahun terakhir ia rela meninggalkan ruangan kantor yang sejuk. Sebaliknya, udara pesisir pantai yang terik ia akrabi sembari berinteraksi dengan komunitas nelayan.
   Berkat konsistensinya, nelayan setempat tak lagi mengenal masa paceklik. Kesulitan mendapatkan ikan dan tiadanya jaminan pemasaran yang biasanya menghantui nelayan akibat cuaca buruk di perairan Maluku Tenggara berangsur teratasi.
   Lewat perusahaan PT Maritim Timur Jaya yang dipimpinnya, Dipa menjamin ikan tangkapan nelayan setempat terbeli untuk diolah dan disimpan. Sebaliknya, jika nelayan mitranya mendapat order pembelian ikan dari juragan antardaerah, ia siap menjual kembali hasil ikan olahan yang sudah bernilai tambah.
   Contohnya, ikan tembang (Sardinella spp) yang dulu kurang diminati masyarakat karena bertulang serabut belakangan terbeli dengan harga Rp 500 per kilogram. Harga itu bisa menutup biaya operasional pelayaran. Sekali berlayar selama dua pekan, biasanya nelayan membawa pulang 5-10 ton ikan berbagai jenis.
   "Berapa pun dan jenis apa pun ikan hasil tangkapan nelayan, pasti kami beli," ujar Dipa di Dullah Utara, Kota Tual, Maluku.
   Hasil laut yang diperoleh nelayan Tual diolahnya melalui pengembangan industri perikanan terpadu. Ikan segar yang biasa dikonsumsi masyarakat diolah menjadi surimi (bahan bakso ikan), ikan beku, dan ikan kering. adapun ikan yang tidak dikonsumsi masyarakat diolah menjadi tepung ikan.
   Hasil budidaya rumput laut warga pun ia serap dengah harga bersaing. Rumput laut yang dua tahun lalu di pasaran umum berharga Rp 3.500 per kilogram, oleh Dipa dibeli seharga Rp 7.000 per kilogram. Inilah model penjaminan yang memberikan kepastian berusaha nelayan.
   Adapun peralihan pola hidup dari perempuan kantoran menjadi orang lapangan tak menjadi soal bagi Dipa dan keluarganya. Apalagi suaminya, Wilhelm AE Tamtelahitu, adalah sarjana perikanan.

Minim sosialisasi

   Bagi perempuan asal Ambon ini, membebaskan nelayan dari jerat kemiskinan adalah bagian dari nasionalisme. Ia ingin mematahkan pandangan umum, nelayan identik dengan kemiskinan.
   "Nelayan di Maluku mengarungi laut lepas yang berbatasan dengan perairan Australia. Diwilayah jelajah mereka kerap muncul kapal-kapal berbendera asing. Dengan mengangkat nasib nelayan, setidaknya kita mengangkat citra bangsa ini," begitulah tekad yang dilontarkan bungsu dari tujuh bersaudara ini.
   Lahir dan besar dalam lingkungan nelayan, ia memahami betapa nelayan terbentur pada masalah pemasaran dan cuaca. Pengalaman hidup sebagai anak nelayan membekas dalam hidupnya.
   Apalagi semasa kecil, orangtuanya, Zeth Lumalessi dan Meltina Lumalessi, selalu mengajak dia turut menghitung dan membersihkan ikan hasil tangkapan di perahu.
   "Kala cuaca bersahabat, ikan melimpah. Tetapi, hasil tangkapan itu banyak terbuang karena sulitnya pemasaran. Giliran cuaca buruk, nelayan tidak melaut. Nasib nelayan itu takluk pada keadaan, harus ada cara untuk mengatasi persoalan klasik ini," ujarnya.
   "Perpisahan" Dipa dengan dunia nelayan dan ikan saat dimulai saat dia dikirim orangtuanya ke Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1983. Di kota itu, ia belajar kesekretariatan selama tiga tahun.
   "Mungkin orangtua tak ingin anaknya terus bergelut dengan laut sehingga mengarahkan saya bekerja sebagai orang kantoran," katanya.
   Alhasil, tahun 1986, Dipa terjun ke dunia kerja yang tak bersentuhan dengan laut. Ia menjadi karyawan bank swasta yang berkedudukan di Ambon. Empat tahun kemudian, ia pindah bekerja ke perusahaan lain dalam lingkup jaringan usaha Artha Graha. Kali ini, ia juga menjadi penghubung Artha Graha untuk berbagai keperluan di Ambon dan sekitarnya.
   Kesibukan rutin itu tak membuatnya terjebak sebagai pekerja kantoran saja. Dalam urusan kredit, misalnya, ia mencermati betapa nelayan kesulitan akses mendapatkan bantuan modal lantaran tak biasa berorganisasi.
   Di sisi lain, Dipa melihat minimnya sosialisasi dari perbankan tentang fasilitas kredit. Jadilah nelayan tak paham akan fungsi bank. Pemerintah pun seolah abai pada nelayan sehingga tak ada perlindungan terhadap mereka.
   "Belum terlihat tindak lanjut nyata dari program minapolitan dari pemerintah yang menempatkan pemangku kepentingan sebagai bapak angkat nelayan," katanya.

Kembali ke habitat

   Tahun 2006, Dipa menjadi salah satu direktur di Maritim Timur Jaya. Lewat perusahaan yang berbasis di Dullah Utara, Tual, itulah, ia kembali terjun ke habitatnya sebagai warga nelayan. Ia mempelajari bisnis perikanan berskala ekspor dengan melibatkan nelayan sebagai komponen utama. Konseksuensinya, ia harus meninggalkan Ambon, terpisah dari keluarga. "Ini tantangan dan peluang untuk mengubah nasib nelayan."
   Didukung fasilitas perusahaan dengan lahan 160 hektar di Desa Ngadi, Dullah Utara, ia berusaha mengoptimalkan pengembangan industri perikanan dengan melibatkan nelayan sebagai pemasok bahan baku.
   Di sini ada pelabuhan dan dermaga sepanjang 300 meter, tangki penampung solar sebanyak 1.500 kiloliter, pembangkit tenaga listrik, gudang pembekuan berkapasitas   1.700 ton, pabrik surimi, pabrik tepung ikan, pabrik es, dan sarana budidaya rumput laut. Hasil tangkapan ikan dari 70 kapal milik Maritim Timur Jaya diolah bersama hasil tangkapan nelayan.
   Ia juga memberdayakan angkatan kerja terdidik di Maluku. Mayoritas dari 1.000 pekerjanya adalah putra asli Maluku. Di sini terbangun nasionalisme dan kesadaran untuk mengoptimalkan pemberian nilai tambah bagi hasil bumi Maluku untuk memenuhi kebutuhan perikanan daerah lain. Selain diekspor ke China, hasil olahan ikan itu juga dikirim, antara lain, ke Bali, Surabaya, dan Jakarta.
   Bekerja sama dengan nelayan, Dipa melancarkan sejumlah program seperti menyediakan kapal fiberglass berikut alat tangkapnya, seperti jaring, rumpon, dan bubu. Secara perlahan, nelayan juga dia kenalkan pada cara berorganisasi agar bisa mengakses lembaga permodalan.
   Selain itu, guna membangun etos kerja, ada insentif bagi nelayan yang giat. Dengan demikian, ia berharap mentalitas cepat puas di kalangan nelayan terkikis. Tanpa banyak publikasi, Dipa langsung memberdayakan nelayan dan warga pesisir.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 1 AGUSTUS 2013

Kamis, 18 Juli 2013

Mulyo Rahardjo: Tukang Jamu di Tengah Perubahan Zaman

MULYO RAHARDJO 
Lahir: Palembang, 10 januari 1967
Istri: Jeny Rahardjo
Anak:
- Jesslyn Angela Rahardjo
- Matthew JA Rahardjo
Pendidikan:
Radford University Business School, Virginia, AS, lulus 1991
Pengalaman kerja:
- Marketing Manager Distributor PT Deltomed Laboratories Wilayah Jabotabek, 
  1992-1997
- CEO PT Deltomed  Laboratories, 1997-kini
- Komisaris Extract Center Javaplant, 2001-kini
- Direktur Distribusi PT Mulia Putra Mandiri, 2010-kini

Mulyo Rahardjo (46) "jualan" jamu di tengah masyarakat modern yang ingin serba praktis dan sadar higienitas. Bekerja sama dengan petani empon-empon, ia "menjamu" konsumen dengan kekayaan herbal negeri ini.

OLEH MAWAR KUSUMA

Mulyo Rahardjo bergerak dari desa ke desa. Dari Nambangan, Wonogiri, ke Gedangan Salam, Karangpandan, di kaki Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. Di Wonogiri, ia mengurus perusahaan farmasi nasional berbasis herbal PT Deltomed Laboratories.
   Di Karanganyar, ia mengelola Javaplant, perusahaan ekstraksi botanikal. Dua tempat itu saling mendukung. Dari sinilah produknya bablas ke berbagai pelosok Tanah Air.
   "Orientasi kami sejak awal lebih pada jamu modern karena ada tolok ukur dan standarnya. Jika ingin berkembang, kita harus sadar higienitas," kata Mulyo.
   Higienitas produk itu dimulai dari bahan baku semisal jahe dan temulawak, bahkan jauh sebelum jahe dipanen. Untuk menjaga higienitas itu, Mulyo rajin mengunjungi petani jamu yang umumnya tinggal di pedesaan, seperti Wonogiri, Karanganyar, Ponorogo, Trenggalek, dan Madura.
   Paidi (60), petani dari Desa Pucung, Kecamatan Kismantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, adalah salah satu seorang pemasok  bahan baku jahe emprit dan temulawak. Semua petani binaan mendapat pendampingan cara penanaman bahan baku jamu, pemupukan, sampai pemberantasan hama penyakit dengan standar khusus parameter Eropa.
   Empon-empon atau tanaman herbal itu, antara lain, tidak boleh mengandung pestisida atau logam berat dan harus mengandung bahan aktif yang berkhasiat sebagai obat.
   Untuk mengoptimalkan penggunaan bahan aktif itulah, Mulyo mendirikan perusahaan ekstraksi Javaplant. Mulai dari pencucian bahan baku herbal hingga menjadi ekstrak, seluruhnya menggunakan teknologi modern dari Jerman bernama Quadra Extraction System.
   Apalagi, Indonesia memiliki kekayaan bahan baku terbanyak di dunia setelah Brasil. Sadar akan kekayaan herbal dan besarnya potensi jamu Indonesia, Mulyo berinvestasi membangun Javaplant dengan nilai investasi Rp 100 miliar untuk pembelian mesin pada 1998. Padahal ketika itu negeri ini sedang dilanda krisis moneter.
   Sebanyak 20 item bahan herbal mulai dari kayu manis, pegagan, pasak bumi, sampai sambiloto, diekstrak secara rutin untuk memenuhi standar Good Manufacturing Product yang berlaku di Eropa dan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
   Sebanyak 70 persen pelanggan Javaplant berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Amerika Serikat menjadi pelanggan sejak tahun 2006. Konsumen dari Jepang bahkan mengecek pembuatan jamu dari penanaman hingga menjadi ekstrak.
   Seiring dengan makin tingginya kesadaran pelaku industri lokal tentang pentingnya kualitas ekstrak demi kandungan bahan aktif yang terukur, semakin banyak pengusaha lokal yang kemudian menjadi konsumen Javaplant.

Khasiat ampuh

   Krisis moneter rupanya membawa khasiat ampuh untuk usaha perjamuan Mulyo. Alkisah, ia telah menyiapkan iklan televisi untuk produk obat herbal pencegah masuk angin. Dipilihlah model iklan pelawak Basuki yang tahun 1997 terkenal lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Perhitungan memilih Basuki sederhana, tetapi cerdas.
   Iklan yang diluncurkan pada 18 September 1997 dengan "jurus maut" wes-ewes-ewes itu meledak. Namun keburu terjadi kerusuhan Mei 1998. "Itu saat paling sulit. Saya maju mundur antara meneruskan usaha atau tidak," kata Mulyo.
   Ia pun memilih maju terus. Produknya  dikenal luas dan laku keras, sampai membuat bagian produksi kewalahan. Pada saat itulah, ia bertekad memodernkan produknya dengan mesin ekstraksi. Tahun 1998, Mulyo pergi ke Jerman mencari mesin ekstraksi yang kemudian dipasang di Karangpandan.

Keluarga jamu

   Kecintaan Mulyo pada jamu dibangun sejak ia kecil. Ia sering diajak orangtuanya berkeliling daerah, blusukan dari pasar ke pasar untuk melihat rakyat yang membutuhkan jamu untuk kesehatan.
   Mulyo memang anak keturunan "tukang jamu". Ayahnya, Purwanto Rahardjo, adalah pemilik PT Marguna Tarutala. Purwanto pada 1988 membeli perusahaan jamu PT Deltomed Laboratories Jamu Gunung Giri.
   Tahun 1992, Mulyo, lulusan Radford University Business School, Virginia, Amerika Serikat, ditugasi ayahnya untuk mengelola perusahaan yang belakangan disebut PT Deltmed Laboratories.
   Ia ingat, ketika pertama kali bergabung, perusahaan itu masih seperti industri rumahan. "Kami bekerja di satu ruang kecil dan menjadi seperti satu keluarga. Saya belajar dari senior-senior saya, seperti Pak Nyoto," kenang Mulyo menyebut nama Nyoto Wardoyo yang kini Presiden Direktur Deltomed.
   Ada satu nasihat ayahnya yang diingat Mulyo, "Buatlah produk yang dicari orang, jangan produk yang harus mencari pembeli."
   Mulyo dan tim kerjanya kemudian meninjau ulang produk-produk perusahaannya. Mereka memutuskan fokus pada empat produk saja, termasuk obat herbal untuk pencegah masuk angin.
   Dalam bekerja, Mulyo dan kawan-kawan percaya pada proses, kerja keras, dan menjaga hubungan baik antarmanusia. Di atas semua itu adalah niat melayani masyarakat sebaik mungkin.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 18 JULI 2013

Senin, 15 Juli 2013

Faisal Fathani: Penemu Alat Deteksi Dini Longsor

TEUKU FAISAL FATHANI 
Lahir: Banda Aceh, 26 Mei 1975
Pekerjaan:
Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM
Istri: dr Mora Claramita, MPHE, PhD (38)
Anak:
- Cut Karina Fathani (9)
- Cut Farrah Fathani (5)
- Teuku Alamsyah Prawira Fathani (2)
Pendidikan: PhD dari Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang

Hujan lebat berhari-hari mengguyur kawasan rawan longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, sekitar November 2007. Lalu terdengar sirene meraung-raung yang menandakan bahaya segera datang. Dengan komando beberapa warga desa yang terlatih, puluhan orang segera meninggalkan rumah, mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sekitar empat jam kemudian, longsor besar melanda, melumat banyak rumah yang baru ditinggalkan penghuninya. Warga pun bersyukur. Berkat alat pendeteksi dini longsor yang dipasang di kawasan itu, mereka selamat.

OLEH M FAJAR MARTA

Teuku Faisal Fathani (38) tak kalah bersyukur. Alat pemantau dan pendeteksi dini bencana longsor yang ia ciptakan bermanfaat bagi masyarakat. Sejak itu ia makin bersemangat mengembangkan alat pendeteksi longsor dan bencana lainnya.
   Hingga kini, berbagai alat deteksi dini longsor telah ia ciptakan, dari generasi pertama yang sederhana dan dipantau manual, generasi kedua dengan pencatatan data digital, hingga generasi ketiga berupa real-time monitoring berbasis sistem telemetri. Alat-alat itu dia namakan Gadjah Mada-EarlyWarning System (GAMA-EWS).
   "Saya berusaha menumbuhkan kepekaan dan empati, yang memotivasi diri untuk bekerja total guna mengurangi risiko bencana," kata Lektor Kepala Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
   Tak sekadar berfungsi melindungi masyarakat dari bencana longsor, GAMA-EWS juga dirancang untuk memberdayakan warga setempat dalam memitigasi bencana alam. Oleh karena itulah GAMA-EWS bisa digolongkan sebagai sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor berbasis masyarakat. Artinya, pengoperasian dan pemeliharaan alat dilakukan warga setempat.
   Selain itu, dilakukan juga investigasi bersama warga, seperti pembentukan organisasi siaga bencana tingkat desa, pembuatan peta risiko longsor, penyusunan standar operasional evakuasi, dan pelatihan evakuasi.
   "Konsep pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan. Prinsipnya, warga harus menyadari ancaman bencana di lingkungannya. Ini penting agar mereka mampu membangun kesiapsiagaan dan terwujud ketahanan masyarakat," kata ahli geoteknik ini.

Tsunami Aceh

   Pergulatan Faisal dalam mitigasi bencana longsor berawal saat ia melakukan survei bencana longsor yang terjadi di daerah perbukitan Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta, dan Banjarnegara, sekitar tahun 2000. Meski kejadian longsor telah menelan korban jiwa, faktanya banyak warga yang tetap tinggal di daerah rawan logsor tersebut.
   "Ini mengusik hati saya, ternyata belum ada upaya mitigasi bencana longsor yang memadai untuk melindungi warga," kata mahasiswa teladan bidang akademik peringkat I se-UGM tahun 1997 ini.
   Faisal lalu menempuh program S-2 di UGM dan S-3 di Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang. Ia mengambil topik riset tentang tanah longsor, terutama yang berkaitan dengan model matematika prediksi bencana longsor. Tekadnya berkiprah dalam mitigasi bencana semakin besar tatkala gempa dan tsunami dahsyat melanda tanah kelahirannya, Aceh.
   "Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh akhir tahun 2004, saya sedang studi S-3 di Jepang. Ini dilema yang berat bagi saya karena keluarga dan sanak saudara menjadi korban bencana tepat ketika saya sedang belajar tentang bencana. Kejadian ini mengubah pandangan hidup saya, memacu semangat dan motivasi untuk berkarya di bidang mitigasi bencana," kata lulusan angkatan pertama SMA Taruna Nusantara, Magelang, tahun 1993 ini.
   Selain motivasi diri sendiri, Faisal juga mendapat dukungan koleganya untuk mengembangkan mitigasi bencana. Profesor Dwikorita Karnawati dari Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM yang mendorong dia dengan menyampaikan kekhawatiran tentang ketergantungan Indonesia pada alat-alat pemantau longsor dari luar negeri. Harga alatnya pun mahal. Lebih repot lagi jika alat tersebut rusak karena harus dikirim ke pabrik pembuatnya di luar negeri.
   Koleganya di UGM berharap Fasial dapat mengembangkan alat pemantau dan peringatan dini bencana longsor yang inovatif, berbiaya murah, akurat, mudah dioperasikan dan dirawat, memanfaatkan sumber daya lokal, serta memiliki fungsi yang selevel dengan alat produk asing.
   "Sepulang dari Jepang, sekitar tahun 2005 saya mulai merancang alat itu," kata Ketua World Centre of Excellence (WCoE) on Landslide Risk Reduction ini.
   Dari inovasi yang telah dia hasilkan, Faisal (sebagai inventor pertama) dan Dwikorita telah mendaftarkan lima paten alat deteksi dini longsor, yakni alat pemantau gerakan longsor manual dan otomatis, upperground dan underground extensometer, serta tiltmeter.
   Extensometer, misalnya, berfungsi mendeteksi jarak keretakan atau kerenggangan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Jika retakan tanah melebar 2-5 cm, alat akan mengirimkan sinyal sehingga sirene berbunyi hingga radius 500 meter. Ini sebagai peringatan dini agar warga segera melakukan evakuasi.
   Extensometer juga mengukur akselerasi keretakan tanah. Jika akselerasinya mencapai level tertentu, sirene akan berbunyi. Potensi longsor juga dideteksi alat tiltmeter yang berfungsi mengukur kemiringan tanah.
   Data pemantauan dikirimkan secara nirkabel ke server lapangan. Dengan mengaplikasikan sistem telemetri, data dapat dipantau secara online (real time).
   Terbukti andal, sejak tahun 2007 lebih dari 100 unit alat deteksi dini longsor buatan Faisal telah dipasang di berbagai daerah rawan longsor. Pada 2012 sistem ini diaplikasikan di kawasan tambang United Mercury Group (UMG) Myanmar. Tahun ini aat itu juga akan diaplikasikan di delapan lokasi Pertamina Geothermal serta bendungan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
   Atas temuan itu, Faisal mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Karyanya telah ditetapkan sebagai salah satu penelitian strategis oleh International Programme on Landslides (IPL-UNESCO) sehingga dia menerima IPL Award of Success dari lembaga tersebut.
   Dinilai telah banyak berkontribusi dalam kegiatan mitigasi bencana di kawasan Asia, Faisal juga mendapat Excellent Research Award dan Award of Appreciation dari International Symposium on Mitigation of Geo-Disasters di Kyoto-Matsue pada Oktober 2012.
   Pada 8 Juli 2013, atas karya dan dedikasinya tersebut, Faisal juga ditetapkan sebagai Juara I Dosen Berprestasi Tingkat Nasional 2013 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 16 JULI 2013

Minggu, 14 Juli 2013

Bibong Widyarti Djaprie: Hidup Selaras dengan Alam

BIBONG WIDYARTI DJAPRIE 
Lahir: Bandung, 13 Juli 1964
Suami: Prakoso Sudarman (51)
Anak:
- Dipa Raditya (23)
- Diaz Adhikatama (21)
Pendidikan: Jurusan Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor, lulus 1984
Kegiatan: Ketua Yayasan Alifa dan pegiat Aliansi Organis Indonesia

Bibong Widyarti Djaprie menjalani aktivitas sehari-hari hampir tanpa bersentuhan dengan bahan kimia sintetis. Sebagai gantinya, dia mendayagunakan berbagai bahan organik. Rumahnya di Depok, Jawa Barat, pun dia kelola sedemikian rupa supaya selaras dengan alam.

Ketertarikan Bibong pada produk organik bermula ketika dia membaca artikel di sebuah majalah tentang Agatho Elsener, seorang pastor asal Swiss yang mengembangkan pertanian organik di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Jabar, sejak tahun 1984.
   Agatho Elsener dikenal sebagai salah seorang pemula pertanian organik di Indonesia. Selain bercocok tanam, dia juga mengadakan pelatihan pertanian organik secara rutin. Kiprahnya yang panjang dalam budidaya tanaman tanpa bahan kimia membuat dia dihormati kalangan petani organik dan para akademisi pertanian.
   Hal itu pula yang tampaknya memikat Bibong. Kebetulan saat itu dia sedang gelisah karena menemukan residu pestisida dalam sayuran yang sering dibelinya di pasar. "Salah satu anak saya suka sekali makan brokoli, tetapi saya mulai curiga karena brokolinya, kok berbau obat," ungkap Bibong, ibu dua anak itu.
  Merasa ada yang tak beres, Bibong lalu memutuskan beralih ke sayuran organik. Sesudah itu, secara bertahap dia kemudian "berburu" berbagai bahan makanan organik lainnya. Mula-mula dia memilih mengonsumsi beras dan buah-buahan, lalu tempe, telur, dan tepung organik. Belakangan, Bibong juga mengonsumsi teh, kopi, dan gula organik.
   Ketika Kompas mengunjungi rumahnya, Bibong menyuguhkan semangkuk spageti, yang dicampur wortel, jagung, dan keju, serta segelas teh. "Semua bahan makanan ini organik, termasuk garam, cabai, dan spagetinya," kata lulusan Institut Pertanian Bogor itu.
   Sejak tahun 2001, makanan, minuman, dan aneka bumbu di rumah Bibong hampir semuanyaorganik. Dia memang belum mengonsumsi daging sapi dan minyak goreng organik secara rutin karena harganya sangat mahal.
   "Kalau minyak goreng, saya memakai yang bahannya dari kelapa, bukan kelapa sawit, karena lebih ramah lingkungan," kata Bibong memberikan alasan.
   Untuk mendapatkan berbagai jenis bahan makanan organik tersebut, bibong "bergerilya" sampai ke banyak tempat. Ia berkenalan dengan komunitas petani organik di sejumlah wilayah, dari yogyakarta, Bali, Tangerang, sampai Padang, sumatera Barat.
  Dari pengalamannya, Bibong menyimpulkan bahwa harga produk organik tidak selalu mahal seperti yang dipersepsikan masyarakat selama ini. "Kalau kita membeli langsung (produk organik) ke petani, selisih harganya tidak terlalu banyak dengan produk pertanian biasa," ungkapnya.
   Hal yang unik, kadang kala Bibong menjadi "kelinci percobaan" untuk berbagai komunitas petani kenalannya. "Misalnya ada komunitas yang  ngeluarin kecap organik, saya menjadi konsumen yang nyoba, lalu memebri mereka saran, ini kurang manis atau asin," ujarnya sambil tertawa.

Eksperimen

   Sejak tahun 2005, Bibong bergerak lebih jauh dengan memakai bahan organik dalam berbagai aktivitas. Untuk kosmetik, misalnya, dia memilih sejumlah bahan alami seperti minyak kelapa segar (VCO) dan shea butter (sari buah shea), serta produk tabir surya organik.
   Ketika mandi, dia memilih memakai sampo dan sabun organik yang dibeli dari satu komunitas di Bali. Dari komunitas itu pula Bibong membeli detergen khusus yang rendah busa untuk mencuci pakaian berwarna putih.
   Untuk pakaian yang tak berwarna putih, Bibong bereksperimen dengan membuat sabun cuci dari sari buah lerak. Eksperimen juga dilakukannya dengan membuat cairan pembersih lantai dari sari minyak serai, mimba, dan cengkeh.
   Untuk membersihkan kaca, misalnya, Bibong mencampurkan cuka yang sudah dimasak atau sari buah lerak dengan air. "Hasilnya ternyata memuaskan," ucapnya.
   Berbagai eksperimen itu dituturkan Bibong dalam buku Hidup Organik: Panduan Ringkas Berperilaku Selaras Alam yang diterbitkan Aliansi Organis Indonesia pada 2010. Melalui buku itu, dia membagi sejumlah tips praktis dalam mengelola rumah agar selaras dengan alam.
   Selain memakai bahan alamiah dalam aktivitas makan, mandi, dan mencuci, kiat lainnya adalah memisahkan sampah organik dan non organik serta menggunakan peralatan listrik yang hemat energi.
   Bibong juga memelihara berbagai jenis tanaman di rumahnya, antara lain tomat, seledri, dan cabai. Untuk pupuk, dia memakai sampah organik di rumahnya, semisal ampas sisa jus buah. Sebagian dari hasil panen dari kebun kecilnya itu dia konsumsi bersama keluarganya.
   Bagi Bibong, pemakaian bahan organik dalam berbagai aktivitas keluarga sehari-hari bukan hanya demi kesehatan pribadi, melainkan juga untuk pelestarian alam.
   "Kalau kita memakai bahan organik saat mandi dan mencuci, tentu limbah rumah tangga yang dihasilkan juga lebih ramah pada lingkungan," ungkap Bibong.

Nilai-nilai

   Sejak mengonsumsi produk organik beberapa tahun lalu, Bibong juga rajin menularkan gaya hidup organik kepada orang-orang di sekitarnya. Suami dan kedua anaknya jelas tidak luput dari pengaruh itu, demikian pula tetangga dan para kenalannya.
   "Saya dan teman-teman sering membeli produk organik secara berkelompok supaya lebih murah," tutur Bibong.
   Sekarang Bibong bukan sekadar konsumen produk organik. selain aktif dalam Aliansi Organis Indonesia, dia juga sering menjadi narasumber untuk berbagai diskusi berkaitan dengan produk organik, menulis di sejumlah media massa, serta tampil di beberapa acara televisi.
   Pada berbagai kesempatan itu, Bibong selalu menegaskan bahwa mengonsumsi produk organik merupakan laku dalam menghayati nilai-nilai tertentu.
   "Menjadi konsumen organik bukan sebatas gaya hidup yang temporer, tetapi mencakup nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, kesederhanaan, dan saling menghargai," ujarnya.
   Bibong mengaku belajar dari banyak pihak tentang nilai-nilai yang terkandung dalam produk organik. Dari Pastor Agatho Elsener, misalnya, dia belajar bahwa pertanian organik menampik sikap egois dan menganjurkan penyesuaian diri seseorang dengan alam.
   Hal itu, misalnya, tercermin dalam siklus alami tumbuhan yang diikuti petani organik. Petani organik tidak membudidayakan tanaman pada musim yang tak sesuai dengan kondisi alami tanaman itu.
   "Sebagai konsumen, kalau pada satu musim kita enggak bisa makan tomat karena memang lagi enggak bisa tumbuh, ya kita harus terima kondisi itu," kata Bibong. (K02)

Dikutip dari KOMPAS, SELASA 9 JULI 2013

Kamis, 11 Juli 2013

Guntur Kadarusman: Memandirikan Anak-anak Luar Biasa

GUNTUR KADARUSMAN
Lahir: Pamekasan, Jawa Timur, 27 Juni 1968
Istri: Idawati
Pendidikan:
- SDN 1 Bagandan, Pamekasan 
- SMPN 1 Gorang Gareng, Magetan
- SMAN 1 Gorang Gareng, Magetan
- SGPLB Surabaya
Penghargaan:
- Juara I Guru Berdedikasi Kabupaten Madiun, Jawa Timur, 2013
- Juara I Guru Berdedikasi Provinsi Jawa timur, 2013

Dunia kerja di sektor formal yang tak memberikan banyak peluang bagi anak berkebutuhan khusus membuat Guntur Kadarusman prihatin. Ia bertekad menularkan pendidikan keterampilan dan kewirausahaan kepada anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka mampu mengukir masa depannya sendiri.

OLEH RUNIK SRI ASTUTI

Hari menjelang siang ketika kami bertemu guntur (45) di tempatnya mengajar, Sekolah Luar Biasa (SLB) Dharma Wanita di Desa Jiwan, Kecamatan Jiwan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Dengan santun dan ramah, dia menyapa tamu.
   Di ruang kelas yang kosong, kami mengobrol. Perbincangan mengalir meski ditingkahi suara keras murid-murid yang tengah belajar menyanyi dan bermain musik di kelas sebelah.
   "Mengajar anak-anak berkebutuhan khusus tak pernah membosankan. Sebaliknya, setiap hari penuh kejutan karena ada saja tingkah mereka yang membuat kita tersenyum," ujarnya.
   Guntur seperti umumnya guru yang bekerja dan mengharap gaji untuk bekal menapaki kehidupan. Bahkan, motivasinya memilih belajar di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa di Surabaya pun dilandasi keinginan mendapatkan lapangan pekerjaan.
   Dasar pemikirannya sederhana. Guru sekolah umum pasti banyak peminat sehingga persaingannya ketat.Menjadi guru SLB relatif kurang peminat sehingga kesempatan berkarier lebih terbuka.
   Namun, seiring dengan berjalannya waktu, makin sering berinteraksi dengan anak-anak luar biasa, ia makin jatuh hati. Tak sekadar menularkan ilmu akademik, guntur pun tergerak memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi penyandang tunarungu, autis, dan tunagrahita.
   Keinginan itu memuncak saat dia memperhatikan murid-murid yang lulus sekolah. Dari tahun ke tahun tak banyak lulusan SLB yang bisa bekerja di sektor formal. Ini sekalipun para guru telah berupaya keras mencarikan mereka pekerjaan, bahkan mendampingi saat seleksi.
   "Padahal, pihak sekolah sudah kerja sama dengan sejumlah perusahaan. Tetapi, yang diterima itu 1:100, artinya dari 100 anak yang lulus, hanya satu yang bekerja di perusahaan," katanya.
   Hati guru mana yang tidak pilu melihat murid-muridnya menganggur. Kalaupun bekerja, mereka menjadi buruh tani dan kuli bangunan. Pekerjaan itu tak setara dengan pendidikan yang telah mereka jalani.
   Apalagi mengingat perjuangan anak-anak untuk bersekolah menengah atas. Hampir semuanya berasal dari kalangan menengah ke bawah. Orangtua mereka membantung tulang demi memenuhi biaya mereka.

Semakin gelisah

   Guntur kerap bertanya sendiri mengapa pemerintah tak menyediakan sekolah kejuruan untuk anak-anak luar biasa? Mereka juga membutuhkan pendidikan keterampilan seperti anak-anak biasa.
   Ia tak jua menemukan jawaban walaupun telah bertahun-tahun menjadi pengajar di SLB. Sebaliknya, Guntur semakin gelisah melihat  masa depan murid yang makin suram. Mereka  tak mampu melanjutkan pendidikan tinggi karena ekonomi orangtuanya terbatas.
   Dari kegelisahan itu, Guntur lalu mengjari para murid berwirausaha, mulai dari beternak ayam kampung, beternak lele, hingga budidaya hortikultura. Ternyata usaha itu terlalu rumit bagi anak berkebutuhan khusus.
   Suatu ketika, Guntur bertemu dengan petani jamur tiram di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Setelah melihat proses budidayanya, dia merasa usaha ini cocok untuk mereka. Selain perawatannya mudah, nilai ekonomisnya tinggi.
   Petani itu kemudian datang ke sekolah agar siswa dapat menyerap ilmunya secara langsung. Apalagi anak berkebutuhan khusus lebih suka ilmu terapan dibandingkan teori. Guntur lalu membangun laboratorium jamur tiram mini di sekolah sebagai tempat praktik. Sekitar 300 baglog sebagai media tumbuh bibit jamur tiram ditata di rak.
   Baglog siap tumbuh banyak dipasarkan. Ini memudahkan anak berkebutuhan khusus membudidayakan jamur tiram. Baglog berisi campuran serbuk kayu, bekatul halus, kalsium, dan glukosa. Pemeliharaannya sederhana. Mereka tinggal menyiram bagian bawahnya agar pertumbuhan jamur lebih maksimal.
   Selain perawatan yang mudah, pemasaran jamur tiram pun relatif tak terkendala. Banyak pedagang yang membeli jamur tiram dari rumah-rumah pembudidaya. Industri rumah tangga di Madiun juga mau menyerap jamur tiram. Mereka mengolahnya menjadi aneka makanan, seperti keripik jamur, pepes jamur, botok jamur, sop jamur, dan oseng jamur.
   Harga di tingkat petani cukup kompetitif, sekitar Rp 10.000 per kilogram. Jamur ini bisa dipanen setiap hari selama 3-4 bulan. Sebagai gambaran, setiap 2.000 baglog bisa menghasilkan 10-15 kilogram jamur.'

Kendala

   "Kalaupun harga turun, biasanya masih sekitar Rp 9.000per kilogram. Harga itu tergolong ekonomis karena memberi margin yang cukup untuk petani. Mereka tidak sampai merugi," kata Guntur.
   Sebagai gambaran, petani harus membudidayakan minimal 2.000 baglog. Jika membeli jadi, harganya Rp 2.500 per baglog atau butuh modal Rp 5 juta. dengan asumsi per hari menghasilkan 8-10 kilogram dan harga jual Rp 10.000, pendapatan kotor petani selama empat bulan Rp 12 juta-Rp 15 juta.
   Singkat cerita, pendapatan bersih petani per bulan Rp 1 juta-Rp 2juta. Angka penghasilan tersebut melebihi upah buruh tani yang besarnya sekitar Rp 600.000 per bulan. Apalagi kalau mereka hanya mengandalkan diri dari bantuan langsung tunai masyarakat yang disalurkan pemerintah sebesar Rp 150.000 per bulan.
   Mudahnya pemeliharaan jamur tiram membuat petani bisa bekerja sambilan, seperti menjadi buruh tani di sawah atau kuli bangunan. Petani jamur juga berpeluang menciptakan industri makanan olahan berbahan baku jamur.
   Namun, di balik keberhasilannya menciptakan lapangan kerja bagi anak berkebutuhan khusus, ada kegelisahan yang menyelimuti Guntur. ganjalan itu adalah permodalan. "Sebab, modal jadi syarat wajib untuk memulai usaha bagi siswa kelak."
   Namun, mengingat kemampuan mereka terbatas, akan sulit untuk mengakses pinjaman keuangan di bank. Dengan mudah pihak bank akan menyatakan mereka sebagai pihak yang tak memenuhi kriteria sebagai kreditor perbankan.
   "Kami berharap ada pihak, baik pemerintah maupun perusahaan swasta, yang bersedia membantu permodalan anak-anak berkebutuhan  khusus. Tentunya bantuan itu disertai dengan beragam kemudahan," ucapnya.
   Atas perhatiannya terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, Guntur mendapat penghargaan sebagai guru berdedikasi. Tak hanya di tingkat Kabupaten Madiun, dia juga menjadi juara pertama untuk tingkat Provinsi Jawa Timur tahun 2013.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 12 JULI 2013