Kamis, 26 September 2013

Jumali Wahyono Perwito: Pelopor Pepaya dan Durian Pogog

JUMALI WAHYONO PERWITO 
Lahir: Sukoharjo, 19 Agustus 1966
Pendidikan:
- SD Trangsan 1
- SMP 1 Kartasura
- SMA 1 Kartasura
- Sarjana S-1 dari jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Istri: Galuh Kencana
Anak:
Kayla (kelas II SMP)
Anung (kelas II SD)
Usaha: Primuss Sumber Jaya, bergerak di bidang ekspor mebel dan kerajinan

Krisis finansial global tahun 2009 mengempaskan bisnisnya ke jurang kebangkrutan. Ketika berada di titik nadir itu, Jumali Wahyono Perwito pergi ke Dusun Pogog  yang berjarak 105 kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah, untuk menghibur jiwanya. Di dusun yang menjadi lokasi kuliah kerja nyata semasa kuliahnya dulu, lelaki yang dikenal juga dengan nama Mas Jiwo Pogog ini lantas mengajak warga menanam pepaya.

OLEH SRI REJEKI

Awalnya, Jiwo hanya ingin membantu seorang warga bernama Kang Rimo agar bisa mendapat penghasilan tanpa perlu merantau. Kang Rimo adalah salah satu panutan warga di dusun yang terletak di Desa Tengger, Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, Jateng, ini. Ia ketua kelompok tani dan takmir masjid yang suara azannya mampu memanggil penduduk untuk shalat di masjid setempat.
   Menjelang tahun baru, warga Pogog akan berbondong-bondong merantau untuk berjualan trompet, termasuk Kang Rimo. Jiwo pun lantas teringat pengalamannya melihat budidaya pepaya di Kecamatan Mojosongo, Boyolali. Ia lalu mengusulkan tanam pepaya sebagai solusi agar Kang Rimo tak perlu merantau, tetapi tetap memperoleh penghasilan.
   "Dusun Pogog itu unik, warga punya rumah dan tanah, tetapi tak bisa dibilang kaya karena jarang yang pegang uang tunai dalam jumlah besar. Meski hidup dengan uang pas-pasan, mereka tidak pernah mau meminta-minta. Semua harus diperoleh lewat kerja. aparat desa tidak malu kerja kasar jika tanaman mereka gagal panen," kata Jiwo yang sejak lulus kuliah bergerak di bidang ekspor mebel di Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, akhir Agustus lalu.
   Ia lantas mengundang petani pepaya dari Mojosongo yang dipanggil Pak Muslim untuk datang ke Pogog membagi ilmunya. Dari semula hendak membantu 200 bibit pepaya, Jiwo lantas menambahnya menjadi 2.000 benih atas saran Pak Muslim. Ini agar ada pengepul bersedia mengambil panen pepaya. Pada akhirnya Jiwo membeli hingga 4.000 benih karena antusiasme warga. Total ada 51 petani yang bergabung.
   "Semula saya sulit meyakinkan petani lain untuk ikut menanam pepaya. Ternyata mereka khawatir saya pamrih, sebab ketika itu menjelang pemilu. Mereka mengira saya akan nyaleg. Stelah melihat sendiri saya tidak ada kepentingan, mereka berbondong-bondong datang meminta benih," kata ayah dua anak ini.
   Sebelum Jiwo membagikan benih, para petani sempat dibawa ke beberapa tempat, seperti Boyolali dan Magelang, untuk belajar langsung budidaya pepaya. Mereka yang mengikuti betul pegetahuan yang diperoleh selama pembelajaran itu, seperti Mbah Tronjol, akhirnya berhasil memperoleh uang Rp 6 juta dari panen pepayanya. Hasil ini luar biasa untuk ukuran warga Pogog. Kang Rimo pun tidak perlu merantau lagi untuk mencari uang tambahan.

Menggerakkan warga

   Dari sini Jiwo memperoleh keyakinan bahwa pemberdayaan desa bisa dilakukan seorang individu yang ia sebut teori The Power of One. Artinya, tidak perlu menunggu hingga mempunyai tim hebat atau modal besar untuk mulai terjun membangun desa. "Saya membuktikan sendiri, kita  bisa membangun desa dengan dana senilai HP (handphone) yang saya sebut 'teori senilai HP di kantong kita'," kata Jiwo.
   Tahun kedua mereka mencoba menanam pepaya jenis lain yang disebut pepaya hawaii, dibeli dari Prambanan. Petani tertarik karena di Yogyakrta harga pepaya jenis ini Rp 8.000 per buah dan masuk hotel bintang lima meskipun ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pepaya biasa. Namun, ternyata iklim dan tanah Pogog yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur kurang pas untuk tanaman pepaya hawaii.
   Pada tahun ketiga, Jiwo kembali membantu 8.000 benih pepaya dari Mojosongo untuk menggantikan tanaman yang mati. Namun, sayang, banyak tanaman terserang penyakit kutu putih. Demikian pula pada tahun keempat, tanaman pepaya banyak terserang penyakit busuk akar. Meski begitu, masih cukup banyak tanaman yang bertahan hidup hingga kini dan menghasilkan uang.
   Justru tiga orang dari Ponorogo yang diam-diam mengikuti kiprah Jiwo melalui internet telah menuai kesuksesan menanam pepaya. Bahkan, mendiang Prof Sriyani Sudjiprihati dari Institut Pertanian Bogor, penemu varietas pepaya callina yang populer disebut pepaya california, pernah datang ke Pogog dan memberikan bantuan benih saat para petani melakukan kunjungan balik ke Bogor. Jiwo yang punya nama maya Mas Jiwo Pogog rajin menuangkan pengalamannya melalui blog yang diikuti lebih dari 1.800 orang.

Durian montong

   Rangkaian proses ini membangkitkan gairah warga untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Tak lama setelah bertanam pepaya, Jiwo mengajak warga menanam durian montong. Dia berharap, suatu hari Pogog bisa menjadi desa wisata durian. Dia pun membagikan 1.000 benih dengan sistem bagi hasil. Setelah dua tahun lebih ditanam, pada tahun 2012 pohon-pohon durian itu berbunga. Kini sudah ada beberapa yang bisa dipetik buahnya.
   Jiwo berharap, tahun depan setidaknya 100 pohon durian bisa dipanen sehingga Pogog cukup layak menyebut diri sebagai desa wisata durian. Mereka sempat studi banding hingga ke Bogor untuk melihat pengelolaan desa wisata durian.
   Kiprah Jiwo juga menggagas pembuatan sumur resapan dan pemasangan pipa paralon dari Kali Koang untuk mengalirkan air ke kebun bibit. Cita-citanya, setelah warga menanam pepaya dan durian, warga juga menguasai teknik pembibitan pohon buah. Mitra kerjanya yang paling andal untuk mengeksekusi ide adalah Kang Rimo dan Kang Guru, seorang guru SD yang juga tokoh warga setempat.
   Sejumlah program lain juga ia kerjakan di Pogog, misalnya perbaikan perpustakaan dan menggalakkan hewan kurban. Ia sudah seperti warga kehormatan di dusun itu.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 SEPTEMBER 2013

Sunarni: Rumah Sampah tapi Indah

SUNARNI
Lahir: 5 jUNI 1978
Pendidikan: D-3 Pariwisata
Suami: Misno
Anak:
- Naufal Falah (12,5)
- Surya Fadhil Abdilah (6,5)
Kegiatan:
- Pelatih kerajinan daur ulang
- Guru tidak tetap di SLB Muara Sejahtera-Pondok Cabe

Sebuah tulisan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" di atas pintu sebuah rumah di Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, merupakan sambutan khas dari tiga bersudara Sunarti, Sunarni, dan Nining. Ketiganya penggerak industri rumahan berbahan sampah plastik yang semua pekerjanya tunarungu.

OLEH NELI TRIANA/PINGKAN ELITA DUNDU

"Mau lihat hasil karya teman-teman saya? Yuk, masuk ke sini," ajak Sunarni (35) yang langsung menuju kamar di bagian depan rumah.
   Lemari etalase berdesakan memenuhi kamar berisi aneka kerajinan mulai dari tempat pensil sampai aneka wadah serta tas kerja dan tas wanita. Semuanya  dibuat dari sampah plastik, seperti bungkus sabun cuci dan kopi serta spanduk. Sebagian barang lain, seperti boneka dan kuda-kudaan, dibuat dari kain perca.
   Tak terasa, menginjak tahun 2013, usaha keluarga ini berusia 18 tahun. Bukan mas apendek untuk sebuah usaha yang sedari awal tidak diniatkan semata demi kepentingan bisnis.
   Almarhum Kasmi dan suaminya, Sarmin (60), orangtua dari Sunarti, Sunarni, dan Nining, selama berpuluh tahun silam hidup sederhana.  Bersepeda memboncengkan ketiga putrinya Kasmi berkeliling jualan gorengan.
   Selain itu, Kasmi nyambi jadi pembantu di rumah orang asing di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Beruntung mendapatkan majikan yang amat baik, Kasmi diberi kesempatan mengambil kursus jahit, rias pengantin, dan membuat boneka.
   "Umur manusia tidak bisa ditebak. Yang jadi pikiran ibu, bagaimana kalau ia meninggal dunia lebih dulu. Bagaimana nasib anak-anaknya, terutama Nining yang memiliki kekurangan?" kata Sunarni.
   Kasmi pun bersikeras menularkan ilmu hasil kursus kepada ketiga putrinya. Meski terkendala masalah komunikasi, karena Nining tunarungu, keluarga ini terus melatih si bungsu agar menguasai keterampilan.
   Mereka kemudian membuat kerajinan pertamanya berupa  boneka dari kain perca. Majikan Kasmi lagi-lagi mengulurkan tangannya untuk memasarkan boneka kain perca ke teman-temannya sesama ekspatriat.
   Pada 1995, usaha ini mulai digarap serius. Para pekerja yang direkrut semuanya adalah penyandang tunarungu. Saat ini ada tujuh pekerja tetap dan jika pesanan sedang tinggi, akan ada pekerja tambahan yang juga tunarungu. Dalam sepekan, sekitar 200 barang berbagai model dihasilkan dan siap dipasarkan.
   Salah satu masukan dari para ekspatriat pelanggan mereka adalah harus konsisten memakai limbah plastik dan membuat barang yang bisa dipakai sehari-hari. Upaya ini guna memberikan nilai ekonomi pada limbah plastik dan pasti mengurangi sampah yang meracuni lingkungan.
   Di sisi lain, mereka disarankan berkreasi unik yang menghasilkan barang berkesan mewah. Hasilnya, selain tas-tas belanja, ada pula tas jinjing untuk wanita berwarna perak. Tas ini hasil rajutan bagian dalam bungkus pasta gigi. Nilai jualnya, minimal Rp 400.000 per buah.

Teruskan usaha

   Dua tahun lalu, Kasmi meninggal dunia. Ia berpesan, jika menjadi pengusaha dan mendarmakan pekerjaan untuk kebaikan, pekerjaan itu pasti bisa langgeng diteruskan hingga ke anak cucu.
   Mengikuti saran ibunya, Sunarni yang lulusan D-3 Pariwisata memilih keluar dari pekerjaannya di sebuah instansi pemerintah.
   Jika kakak dan adiknya memilih fokus menjalankan usaha kerajinan daur ulang sampah, Sunarni getol memasarkan hasil industri rumah tangga tersebut. Dia juga berupaya membagi ilmunya kepada penyandang cacat, juga masyarakat umum di seluruh pelosok Nusantara.
   Dalam sepekan, Sunarni sibuk memenuhi panggilan menjadi pelatih membuat kerajinan daur ulang di banyak acara. Terkadang, ketika tempatnya jauh, seperti di Papua, Sunarni harus meninggalkan dua anaknya sampai berhari-hari.
   Setiap Sabtu, Sunarni menjadi tenaga pengajar sukarela bagi siswa-siswa sekolah luar biasa di kawasan Pondok Cabe, Ciputat. Selama dua bulan berturut-turut setiap tahun, giliran siswa SLB tersebut yang menjalani pelatihan untuk berkreasi di rumah keluarga Sunarni.
   "Tidak ada pungutan biaya apapun bagi siswa SLB ini. Terkadang ongkos pulang pun kami beri. Kalau mau makan apa adanya, kami siapkan makanan di sini," kata Sunarni.
   Berdasarkan pengalamannya, menurut Sunarni, mengikuti pelatihan dan mampu menguasai keterampilan tertentu merupakan terapi paling baik bagi para penyandang cacat.
   Orang yang memiliki ketidaksempurnaan fisik, tetapi memiliki otak normal amat mudah menguasai keterampilan dan mampu hidup mandiri. Dengan kemandiriannya, mereka menjadi percaya diri hidup di tengah masyarakat.
   Namun, dibutuhkan usaha ekstrakeras untuk melatih penyandang cacat yang juga mengalami gangguan pada otak. Yang pasti, asal telaten, sabar, dan ikhlas, hasil terbaik bisa dicapai.

Rezeki selalu ada

   Sunarni tak menampik bahwa barang kerajinan yang dihasilkannya memiliki nilai jual tinggi, tetapi memang sampai saat ini pasarnya hanya terbatas, yaitu konsumen asing. Masyarakat Indonesia, menurut dia, belum menghargai karya berbahan daur ulang.
   Kondisi ini memang bisa jadi kendala dalam pengembangan usahanya.
Apalagi, ia mendapat saingan berat dengan banyaknya usaha serupa yang kini bermunculan.
   "Rata-rata barang di sini dijual Rp 10.000-Rp 400.000. Namun, alhamdulillah, selalu saja ada pesanan dan kalau pas di pameran juga laku keras," katanya.
   Perwakilan dari sebuah perusahaan consumer goods ternama pada awal tahun 2000 pernah berguru kepada keluarga Sunarni. Perusahaan tersebut sempat menjalin kerja sama selama beberapa saat dengan Kasmi.
   "Tak lama kemudian, kami dengar perusahaan tersebut aktif memberikan pelatihan kepada kelompok-kelompok masyarakat asuhannya untuk mendaur ulang sampah plastik seperti halnya yang kami lakukan. Sungguh kami bersyukur, kreasi kami berguna dan justru kami dibantu untuk menularkan ilmu. Sama sekali tidak merasa ada saingan," kata Sunarni.
   Selama ini, Sunarni menjual bahrang-barang kerajinan di hotel-hotel berbintang, supermarket yang menyasar warga negara asing, dan pesanan dari orang-orang tertentu khusus untuk dipasarkan di luar negeri, seperti Dubai.
   Beberapa hotel berbintang lima, perusahaan minuman, dan departemen pemerintah bekerja sama dengan Sunarni, yaitu dengan memasok limbah plastik, spanduk, kain perca, dan lainnya. Setelah dibersihkan dan diolah, barang kerajinan kembali kepada rekan kerja itu untuk dipasarkan.
   Walaupun usaha keluarga itu sempat diterpa krisis pada 2005, mereka berhasil bangkit. Sampai saat ini, usaha daur ulang tersebut tidak pernah terbelit utang. Kehidupan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" terus bergulir menawarkan semangat bekerja keras dan kekeluargaan.

Dikutip, KOMPAS, KAMIS, 26 SEPTEMBER 2013