Selasa, 12 April 2011

Keteguhan Berkesenian Mbah Tjip


BIODATA

Nama : FX Sutjipto Wibagkso
Tempat, tanggal lahir : Klaten, Jawa Tengah, 10 November 1943
Pendidikan : Sekolah Rakyat Klaten (tidak tamat)
Istri : Tugiyati (meninggal tahun 1975), Sunarsih (meninggal tahun 1999)
Anak :
1. Budi Setyawati (36)
2. Ari Yuwono (33)
3. Mei Yuntarso (31)
4. Iin Fajar Indrati (28)
Cucu :
1. Rizki Agung (10)
2. Angga (4)
3. Satria Ramadhan (3,5)

Dunia kesenian Indonesia telah menghasilkan tokoh-tokoh besar. Namun, tidak sedikit pula "aktor" kecil yang sebenarnya juga banyak berjasa dalam membesarkan dan melestarikan kesenian bangsa. Dalam dunia kesenian Jawa,khususnya wayang orang, peran FX Sutjipto Wibagkso (65) tak bisa diremehkan.

Oleh MOHAMAD FINAL DAENG

Di salah satu pojok terkumuh di dalam kompleks Taman Hiburan Purawisata, Yogyakarta, "mutiara" kesenian itu bersinar terang. Sutjipto Wibagkso, atau yang lebih akrab disapa Mbah Tjip, telah menajdi penghuni tetap Purawisata sejak tahun 1975.
Ia adalah tertua kelompok seni wayang orang Ramayana Ballet yang pentas setiap hari tanpa henti di Purawisata sejak 32 tahun lalu.Meski rambut telah memutih dan gigi tak lagi utuh karena usia, Mbah Tjip masih tegar menjalani hidup berkesenian yang ditekuninya sejak berusia 10 tahun.
Di salah satu kamar berukuran 2 meter x 3 meter yang disediakan pengelola Purawisata, Mbah Tjip tinggal sejak 1975. Dalam kelompok Ramayana Ballet, Mbah Tjip sehari-hari bertugas sebagai koordinator dekorasi dan kostum yang menunjang penampilan 60 pemain sendratari. "Kalau jadi sutradara atau pemain, ya sudah tidak kuat lagi," katanya pekan terakhir Desember 2008.
Menjadi pemain dan sutradara wayang orang sudah kenyang ia lakoni sewaktu muda dulu. Beberapa kelompok kesenian wayang orang yang besar di zamannya, seperti Cipta Kandar Yogyakarta, Wayang Orang Edi budaya, dan Wayang Orang THR, pernah disinggahinya.
namun, sosok Mbah Tjip sebenarnya lebih dikenal sebagai pembuat dekorasi panggung seperti latar belakang keraton, pedesaan, tiang-tiang, dan alas. Berbagai ornamen penunjang pertunjukan lainnya juga menjadi ladang garapannya.
Karya-karyanya telah menghiasi panggung-panggung besar pementasan wayang orang pada dekade 1970-1990-an di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya. Mbah Tjip juga menekuni bidang pembuatan kostum wayang orang. Dalam dua bidang tersebut, kakek empat cucu tersebut telah ikut membesarkan kesenian wayang orang, bahkan hingga ke luar negeri.

Darah seni

Darah seni dalam dirinya mengalir dari kedua orangtuanya yang pemain wayang orang Sriwedari Solo. Meninggalnya sang ayah pada 1953 membuat ibunya menjalankan kelompok seorang diri. "Awalnya saya tidak tertarik bermain wayang orang karena masih mau melanjutkan sekolah. Namun, saya kasihan sama ibu yang mengurusi kelompok wayang orang seorang diri. Jadi dari situ saya mulai belajar menari," katanya.
Dari situlah ia mulai menjadi pemain wayang orang dan sempa berpindah-pindah kelompok sebelum memutuskan masuk Yogyakarta pada 1975 dan bergabung dengan kelompok Wayang Orang THR.
Pada saat ekonomi sedang sulit, sekitar tahun 1975, datang tawaran dari seseorang di Temanggung yang meminta dibikinkan dekorasi panggung. "Tawaran itu saya ambil meski sebelumnya tak pernah melukis dekorasi," katanya.
Ternyata, hasil karya pertamanya itu disukai si pemesan. Sejak saat itu, pesanan datang dari kampung-kampung sekitar yang ingin mengadakan pertunjukan wayang orang. "Waktu pementasan masih ramai seperti dulu. Dalam satu bulan saya bisa mengerjakan tiga dekorasi panggung," katanya.
Bahkan, karyanya dipakai bukan hanya untuk wayang orang, melainkan meluas untuk berbagai seni pertunjukan lain, hingga dekorasi restoran. Kala itu, reputasi Mbah Tjip sudah melebar hingga ke luar Jawa, bahkan sampai di negeri Belanda.
Permintaan pembuatan dekorasi dan latar belakang panggung (backdrop) mulai surut seiring menyusutnya pertunjukan wayang orang. Terlebih lagi pada akhir tahun 1990 ketika komputer mulai mendominasi pembuatan latar belakang panggung. Perlahan tapi pasti, Mbah Tjip mulai tergusur.
Namun, ia tetap setia dan "keras kepala" menekuni kesenian. Dia mulai menekuni bidang lain, yakni pembuatan kostum wayang orang. Dalam bidang ini ia juga terbilang cukup "sukses". Dengan memodifikasi beragam bahan nonkulit yang dipadukan dengan kain dan manik-manik, hasil rancangan Mbah Tjip mendapat tempat di hati para penari.
Hasil karyanya itu juga merambah hingga ke luar negeri. "Pada tahun 1998, empat stel kostum buatan saya dipesan orang Kanada untuk sanggar tari di sana," katanya.

Bersahaja

Saat ini, dengan gaji Rp 700.000 sebulan yang diperoleh dari kelompok Ramayana Ballet, Mbah Tjip hanya bisa hidup pas-pasan. Penghasilan tambahan didapatnya dari order membuat backdrop dan kostum yang datang sesekali.
"Kalau ditotal-total, dalam sebulan paling hanya dapat Rp 1 juta. Sebenarnya tidak cukup, tetapi ya harus dicukup-cukupkan," katanya.
Jika order datang dari teman-teman sendiri, Mbah Tjip "enggan" memasang tarif, bahkan terkadang dia serahkan tanpa bayaran."Saya ini dari dulu tidak bakat kaya. Prinsip saya, kalau sering menolong orang, kita juga akan ditolong orang," katanya.
Satu filosofi hidup lain yang masih tetap dipegangnya hingga semangat berkeseniannya tetap menyala adalah pesan mendiang ayahnya yang mengutip petuah Jawa kuno, yakni luhuring bongso, margo budoyo, atau keluhuran suatu bangsa tak bisa lepas dari budayanya.
Karena filsafat itu pula, hingga kini Mbah Tjip tidak bosan-bosannya menularkan ilmu kepada generasi muda yang datang belajar kepadanya.
Ia menjadi rujukan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di DIY, seperti Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang sering sowan kepadanya.
Ini pula yang menjadi salah satu alasan kenapa Mbah Tjip masih betah tinggal di Purawisata meski anak-anaknya sering meminta dia pensiun dan tinggal bersama mereka.
"Kalau saya tinggal di rumah anak, nanti orang-orang akan susah mencari saya kalau perlu apa-apa," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 7 JANUARI 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar