Minggu, 19 Juni 2011

Wiryo Suparjo : Jalinan Rumput Liar Sang Cantrik


WIRYO SUPARJO

Lahir : Desa Sempon, Purbalingga, Jawa Tengah, 5 Juni 1957
Istri : Zurah (54)
Anak : Hidayat Bayu Aji (25)
Penghargaan :
- Peraih 18 penghargaan bidang kerajinan tingkat lokal hingga nasional

Rumput liar dan guguran daun kering merupakan sumber inspirasi bagi Wiryo Suparjo (54). Melalui jalinan rumput liar dan eceng gondok, cantrik ini ingin menularkan kemandiriannya.

OLEH IRENE SARWINDANINGRUM

Wiryo adalah satu-satunya perajin serat alam yang tercatat di Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Sumatera Selatan. Setidaknya 18 penghargaan bidang kerajinan telah dia peroleh, baik tingkat lokal maupun nasional. Dia juga pernah mampu memasarkan hasil kerajinan serat alamnya ke luar negeri, di antaranya ke Perancis dan Jepang.
Sudah 18 tahun Wiryo menggeluti kerajinan serat alam. Kini, kepekaannya melihat keindahan serat-serat yang tersembunyi pada benda-benda sederhana di sekitarnya telah betul-betul terasah.
dari kebun dan rawa-rawa di dekat rumahnya, siang itu Wiryo memungut pelepah kering nyiur. Jemarinya mwenelusuri guratan-guratan di pelepah kuning keemasan itu. "Ini lihat, polanya seperti ombak. Bagus sekali untuk dijadikan lukisan," kata Wiryo yang langsung membawa pelepah tersebut ke bengkel kerajinan serat alam "Karya Sejati" miliknya di Plaju, Palembang , Sumatera Selatan.
Lukisan yang dimaksud Wiryo adalah susunan serat alam yang disusun menjadi gambar dan dibingkai dengan rotan. Kebanyakan gambar menampilkan pemandangan alam. Bahannya mulai dari daun, kulit pohon pisang, maupun rumput yang dikeringkan. Kerajinan karyanya banyak dikirim ke hotel-hotel di Bali.
Karya Wiryo lainnya di antaranya sandal, kotak, keranjang buah, tas, hingga furnitur dari anyaman serat alam. Agar kuat, anyaman itu diberi kerangka rotan. Setelah pernah mencoba anyaman eceng gondok, saat ini Wiryo lebih banyak menggunakan rumput kelingi.
Anyaman rumput kelingi sangat mirip dengan anyaman eceng gondok, tetapi lebih tahan jamur dan awet. "Ini hasil pengembangan saya terbaru," tuturnya.
Wiryo memang tidak sekadar menjadi perajin. Dia ibarat peneliti di bidang kerajinan serat alam. Kegemarannya adalah memanfaatkan tumbuhan yang biasanya terbuang dan tidak digunakan.
Lelaki kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, itu rajin menelusuri daerah-daerah di Sumatera Selatan untuk mencari jenis-jenis serat alam yang dapat diolah menjadi kerajinan. Dari perjalanan ke berbagai daerah tersebut, Wiryo berhasil menemukan lima jenis pisang lokal Sumatera Selatan yang berkualitas untuk diolah menjadi hasil kerajinan. Masing-masing jenis pisang menghasilkan warna dan karakter berbeda.
"Saya paling suka piang kluthuk hitam dan pisang hutan di daerah Musirawas. Pisang hutan ini oleh penduduk hanya dianggap makanan monyet. Seratnya sangat kuat. Warnanya juga unik, variasi hitam dan putih," tuturnya.
Saat ini, Wiryo tengah tertarik mengembangkan kayu hutan yang mempunyai uliran di batangnya. Kayu yang dia sebut kayu sriwijaya ini pun tidak banyak dimanfaatkan karena batangnya terlalu kecil.

Jatuh bangun

Terlahir dari keluarga perajin serat nanas di Purbalingga, Wiryo justru bersekolah di sekolah teknik menengah jurusan teknik sipil. Kisah hidupnya bisa dibilang berliku. Sekitar tahun 1972, Wiryo sempat dicari-cari karena dituduh memalsukan produk cat. Padahal, menurut pengakuannya sebenarnya dia bersama kawan-kawannya tak bermaksud memalsukan cat. Mereka menggunakan kaleng bekas dan diisi dengan cat produksinya lebih karena kekurangan modal. "Eh, malah dituduh memalsukan cat," ujarnya.
Masanya sebagai cantrik (murid) di sebuah sanggar kerajinan di Lenteng Timur, Jakarta, menjadi titik awal pemikiran untuk mendalami kerajinan serat alam.
Saat itu tahun 1978. Seorang pelatih dari Jerman dihadirkan untuk melatih 16 cantrik yang tengah berguru di sanggar tersebut. Tanpa disangka, orang kulit putih itu mengumpulkan berbagai tanaman dari lingkungan sanggar antara lain eceng gondok, bambu, dan pelepah pisang. Orang Jerman tersebut menantang para muridnya, benda-benda itu bisa dipergunakan untuk apa.
Tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan tersebut. Sang pelatih Jerman lalu menunjukkan berbagai kerajinan dari beragam serat alam Indonesia. "Aneh juga, justru orang asing yang bisa memperlihatkan keindahannya,"ujarnya.
Tahun 1983, Wiryo mendirikan bengkel kerajinan rotan. Namun, baru sekitar tahun 2000 dia dapat menjawab pertanyaan pelatih Jerman dengan menjajaki kerajinan serat alam. Wiryo memulai dengan anyaman eceng gondok.
Usahanya tidak selalu mulus. Beberapa kali usahanya hampir kandas karena kerugian besar. Meski demikian, semangatnya tidak pernah padam. Setidaknya tiga kali Wiryo harus memulai usahanya dari awal lagi.
Salah satu badai kerugian itu terjadi tahun 2009. Saat itu tidak ada lagi pesanan furnitur eceng gondok dari luar negeri. Usaha Wiryo terpuruk karena furnitur eceng gondok merupakan produk utamanya.
Omzetnya turun hingga 70 persen. Wiryo pun terpaksa memberhentikan seluruh karyawan di bengkel kerajinannya yang kala itu berjumlah 18 orang. Kehancuran pasar ini juga menimpa perajin eceng gondok lainnya. Kecuali Wiryo, bengkel kerajinan eceng gondok di Palembang memilih tutup. Kondisi inilah yang justru mendorong dia menemukan serat alam lain yang berakhir dengan temuan rumput kelingi yang saat ini terus dikembangkannya.
Wiryo tidak pernah ingin menikmati ilmunya sendiri. Dia membagi keterampilanya dengan harapan semakin banyak orang mampu mandiri dengan memanfaatkan apa yang ada di alam sekitarnya. "Saya melihat banyak sekali orang ke luar negeri jadi TKI. Padahal, alam Indonesia masih bisa menghidupi," katanya.
Wiryo tidak pernah menolak permintaan mengajar kerajinan dari berbagai lembaga. Dia juga melatih dan membina orang-orang yang berminat menjadi perajin serat alam.
Kini sembilan keluarga binaannya masih aktif di serat alam. Demi memandirikan perajin, Wiryo juga mengembangkan teknik menganyam sandal yang tidak membutuhkan jahitan. Hal itu dia lakukan agar perajin tak bergantung pada mesin jahit karena tak semua mampu membeli mesin jahit.
Sesudah menghasilkan rumput kelingi, wiryo juga menghubungi mantan-mantan karyawannya. Dia mengajari mereka menjalin dan menganyam rumput kelingi. Sembilan mantan karyawannya kembali menggeluti kerajinan serat alam. bantuan alat-alat usaha dari PT Pertamina cukup membantu upayanya dan sejumlah perajin binaannya untuk bertahan.
Saat ini pesanan datang dari hotel-hotel di Bali untuk tempat pakaian kotor (laundry) dari rumput kelingi. Pasar internasional pun mulai meliriknya. Namun, Wiryo belum bisa memenuhi semua permintaan karena keterbatasan modal.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 20 JUNI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar