ABDI NUR
Lahir: Kuala Tungkal, Jambi, 5 Agustus 1963
Istri: Fatmawati (43)
Anak: Ayib (22), Amelia (17), Nindya (15), Arif Gunawan (10)
Tanaman resam selama ini dikenal sebagai hama di permukaan tanah. Tak banyak yang mengetahui bahwa manfaat tumbuhan itu sangat besar. Abdi Nur merintis pemanfaatannya menjadi bernilai ekonomis, lalu menularkannya kepada banyak orang.
OLEH IRMA TAMBUNAN
Sejak kecil Abdi sudah akrab dengan tanaman resam atau disebut Gleichenia linearis di sekitar kebun. Berdaun menyirip berjajar dua dan bertangkai cabang, jenis pakis ini tumbuh subur di daerah tropis dan kerap menghambat pertumbuhan tanaman lain.
"Sepengetahuan saya, resam adalah hama. Tanaman itu merepotkan petani," ujarnya.
Suatu hari pada 1995, Abdi bertemu seorang nelayan di anak Sungai Batanghari sedang memasang perangkap ikan. Nelayan itu menggunakan bubu, perangkap tradisional yang diletakkan di dalam air. Abdi menanyakan bahan apa yang digunakan nelayan itu untuk membuat bubu. Nelayan itu bercerita, bubu tersebut terbuat dari batang resam.
Penjelasan itu membuat Abdi kaget, setahu dia, bubu dibuat dari rotan yang memang telah dikenal luas sebagai bahan dasar kerajinan. Selama ini tak terbersit bahwa resam, si tumbuhan hama, memiliki manfaat. Dia pun langsung coba membuat bubu dari batang resam yang tua.
Batang-batang resam dijalin di antara batang rotan sebagai tulang bubu. Walaupun batang tumbuhan pakis itu terlihat mudah patah, kenyataannya tidak demikian. Abdi sampai membutuhkan tang potong untuk memotong batang resam yang sudah tua.
Batang resam yang telah kering bahkan semakin awet apabila direndam dalam air sungai yang berwarna kehitaman. Warnanya yang coklat terlihat semakin tua dan matang.
Sejak itu Abdi mulai mencoba-coba membuat berbagai jenis kerajinan dari resam, seperti topi, tas, tempat tisu, vas bunga, wadah makanan, tikar, dan berbagai jenis peralatan rumah tangga yang bermanfaat.
Ketika orang mempertanyakan keawetan produk-produk tersebut, dia selalu menyatakan siap menjamin. Hingga saat ini tidak ada pembeli yang mempermasalahkan karena barang yang dibuat dari resam terbukti memang tahan lama.
Abdi menyadari, bahan alam yang tersedia bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Bisa dibayangkan, hamparan resam di Jambi sangat luas, mencapai sekitar 4.570 hektar. Data ini berdasarkan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi.
Namun, selama ini keberadaan resam tersia-siakan begitu saja. "Sayang sekali kalau (resam) dibiarkan menjadi hama atau malah dimusnahkan. Padahal, resam membawa manfaat," tutur Abdi.
Kebun karet
Abdi terus memperhatikan alam sekitar. Selain resam, dia juga melihat hamparan kebun karet di sekitar rumahnya di Desa Sukamaju, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi, yang begitu luas. Biji dari buah karet itu melimpah di hamparan lahan.
Sering kali biji karet terbuang karena lahan telah penuh oleh tanaman. Abdi pun memungut biji-biji tersebut, lalu dimanfaatkannya untuk bahan kerajinan. Biji karet disematkan sebagai pernak-pernik dan bunga.
Getah damar yang banyak terdapat di hutan sekitar desanya juga dimanfaatkan sebagi bahan alami untuk menambah kilap. Abdi memanfaatkan akar tumbuhan pasak bumi, kulit kayu gaharu, dan pelepah pisang untuk memperkaya produk-produk kerajinan tersebut.
Kepada setiap orang yang ditemuinya, Abdi selalu berupaya menjelaskan bahwa manfaat resam dan berbagai bahan yang dia gunakan bukan sekadar pada nilai ekonomisnya. Menurut ayah empat anak ini, bahan-bahan alami itu juga bermanfaat dari segi kesehatan. Sebagai contoh, batang resam yang dipajang dalam ruangan, misalnya sebagai tirai atau pot hias, berdampak memberi ketenangan bagi penghuni rumah.
Daun resam yang masih segar pun ternyata menyembuhkan sakit perut dan sembelit. Caranya dengan dibalurkan pada bagian perut.
Selain itu, aksesori gelang dan kalung yang dibuat dari resam, menurut Abdi, juga bisa dimanfaatkan sebagai alat pijat ketika badan terasa pegal. Adapun akar pasak bumi sudah lebih dikenal sebagai bahan alami untuk meningkatkan stamina. Sementara gaharu untuk pengharum ruangan karena aromanya yang khas.
Mengembangkan usaha kerajinan resam di sebuah desa yang sepi memang tak mudah. Abdi harus sering-sering mencari informasi ke kota jika ada pameran. Dia datang dengan membawa sejumlah karyanya untuk dijual di tempat itu.
Misalnya, pada pameran Kemilau Sumatera VII dan Pekan Pesona Budaya jambi 2012 di Gelanggang Olahraga Kota Jambi, pertengahan Oktober lalu, Abdi menumpang dari satu stan ke stan lain.
Pengelola stan Taman Budaya Jambi tertarik melihat dia tekun mengajari pengunjung membuat gelang batang resam, kemudian memberi tempat baginya untuk melatih anak-anak kecil. Dari situlah kerajinan resam semakin dikenal. Banyak pejabat kini kerap memesan kriya resam sebagai suvenir.
Tidak sendiri
Abdi tak ingin menyimpan keterampilannya sebagai milik pribadi. Dia tahu persis minimnya kemampuan berkerajinan di masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Ketika pesanan mulai melimpah, Abdi kewalahan.
Dia kemudian mengajak mayarakat sekitar bergabung membuat kerajinan resam. Kini, ada sekitar 50 keluarga di desanya menjadi perajin resam tidak tetap.
"Saya menyebutnya perajin tidak tetap karena bagaimanapun juga pekerjaan mereka masih sangat bergantung pada pesanan," ujarnya.
Setidaknya Abdi melibatkan 10 pemuda pengangguran di sekitar tempat tinggalnya sebagai perajin tetap. Mereka tetap berproduksi saat ada ataupun tidak ada order. Hasilnya untuk stok jika nanti ada pameran.
Selain itu, beberapa kelompok masyarakat di daerah tetangga, seperti Kabupaten Batanghari dan Merangin, juga mulai tertarik mengembangkan kerajinan resam, mengingat banyaknya bahan baku tanaman itu. Abdi pun dengan senang hati mengunjungi mereka untuk berbagi pengetahuan.
Dia selalu mengingat konsep adat budaya Melayu dalam mengembangkan usaha tersebut. "Penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang. Yang tinggi tidak mengimpit, yang pintar tidak menipu. Hidup berpatutan, makan berpadanan".
Ketika semua bahan kerajinan bisa diperoleh cuma-cuma dari alam, Abdi terpanggil untuk menularkan keterampilan yang dimiliki bagi masyarakat yang membutuhkan, tanpa menuntut upah. Dengan itulah manfaat resam dan alam sekitar bisa dinikmati banyak orang.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 14 NOVEMBER 2012