Minggu, 30 Mei 2010

Joris Lilimau, Pendidik Suku Hoaulu

Saat tak ada yang peduli pendidikan bagi suku Hoaulu, Joris Lilimau tampil berperan. Ia mengenalkan sekolah bagi suku yang tinggal dikawasan hutan Taman nasional Manusela, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, itu.

Oleh A PONCO ANGGORO

JORIS LILIMAU

Lahir : Kanike, Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku
Istri : Debora Limehue (44)
Anak : 5 orang
Pendidikan : Sekolah Pendidikan Guru Ambon, 1982
Pekerjaan : - Guru di Sekolah Dasar (SD) Kanike, Seram Utara, 1984-1988
- Guru di SD Kobisonta, Seram Utara, 1988-1994
- Guru di SD Rumah Sokat, Seram Utara, 1994-2008
- Guru di SD Kecil Hoaulu, Seram Utara, 2008-kini

Jumat (30/4) pukul 06.30 waktu setempat,masih terluang waktu satu jam sebelum pelajaran di Sekolah Dasar Kecil Hoaulu dimulai. namun para murid sudah datang dan duduk di kelas. Saat sang guru datang, 30 murid di dua kelas itu mengikuti kegiatan belajar mengajar tanpa seorangpun berani mengobrol. Dua tahun lalu, jangan membayangkan antusiasme anak-anak Hoaulu seperti itu.
"Ketika sekolah darurat masih dirintis, tak ada siswa yang mau datang," kenang Joris. Saat itu, bangunan sekolah beratap sirap, berdinding batang kayu. Ruang kelas kerap kosong. Padahal, masyarakat Hoaulu secara gotong royong selama enam bulan telah membangunnya.
"Kesadaran masyarakat untuk membangun sekolah ternyata tidak serta merta dibarengi kesadaran para orang tua untuk menyekolahkan anak mereka." katanya.
Harap maklum, mereka sejak ratusan lalu terbiasa menghabiskan hari-hari dengan berburu atau bekerja di ladang. Pendidikan sama sekali tidak dikenal sehingga mereka tidak melihatnya sebagai hal penting. Jadi, meski pendidikan sekolah itu gratis dan anak-anak tidak perlu membawa alat tulis dan berseragam sekolah, tetap saja tidak satu pun anak Hoaulu yang mau sekolah. Joris, yang lahir dan dibesarkan di Kanike, desa pedalaman di Manusela, menyadari kondisi itu, tetapi ia tak patah arang.
"tahun 2008, saya minta dipindahkan ke Hoaulu untuk mengajar masyarakat pedalaman Hoaulu, agar mereka tak terus tertinggal. Kasihan, mereka tidak pernah bisa membaca, menulis atau menghitung. Sekolah yang ada jaraknya puluhan kilometer dari kampung mereka,"katanya.
untuk ke sekolah, warga Hoaulu harus berjalan kaki melintasi hutan dan sungai Oni yang saat musim hujan aliran airnya sangat deras. Perjalanan itu membutuhkan waktu sekitar tiga jam.

Kue dan permen

Joris mengakui, hanya tekad kuatlah yang membuatnya tetap sabar, mendatangi satu persatu warga Hoaulu, untuk menjelaskan pentingnya pendidikan. Biar anak-anak mau bersekolah, ia memberi mereka kue atau permen.
"Selama dua bulan, saya melakukan hal itu. Perlahan, mereka mulai mau belajar. Sekarang, justru murid yang datang ke sekolah jauh lebih cepat daripada gurunya, ha-ha-ha,"katanya.
Belakangan, tak hanya anak-anak yang mau belajar. Para remaja berusia 14-16 tahun pun hadir di sekolah. Joris tak mempermasalahkan perbedaan usia tersebut.
"Lebih penting membuat mereka bisa membaca dan menulis biar bisa mengejar ketertinggalan dengan dunia luar," katanya.
Joris mengajari mereka dengan modal 10 buku pelajaran pemberian murid dan guru dari SD di Rumah Sokat, Seram Utara, tempat dia mengajar sebelumnya.
Tak hanya mendekati warga dan anak-anak Hoaulu, Joris pun berupaya menyampaikan kondisi di Hoaulu kepada Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah.
Berulang kali dia mendatangi pejabat Dinas Pendidikan dan DPRD kabupaten Maluku Tengah agar mau memperhatikan warga Hoaulu. Padahal untuk itu, Joris harus ke Masohi, ibukota Kabuoaten Maluku Tengah yang jaraknya sekitar 140 kilometer dari Hoaulu. Perjalanan itu ditempuhnya dengan menumpang angkutan umum atau sepeda motor sekitar lima jam.
Sekitar setahun ia berjuang, pada April 2009 sekolah darurat di Hoaulu itu diakui pemerintah. September 2009, pemerintah memberikan bantuan berupa uang untuk pembangunan dua ruang kelas di Hoaulu. Pemerintah juga menugaskan seorang guru honorer, Mike Lilimau (21) untuk membantunya mengajar.
Namun setelah sekolah selesai dibangun, perhatian pemerintah malah menghilang. Alat tulis, buku pelajaran, dan penunjang kegiatan belajar mengajar tidak pernah diberikan.
"Saya sampai menangis meminta barang-barang itu, tetapi tidak pernah diberi," keluhnya.

Uang pribadi

Tak ingin semangat belajar anak-anak mengendur, Joris mengeluarkan uang dari kocek pribadi guna membeli barang-barang penunjang kegiatan belajar. Dua papan tulis dengan spidol untuk keperluan dua kelas di SD Kecil Hoaulu itu dibelinya seharga Rp.300.000,-
Meski dengan kondisi dan sarana penunjang amat terbatas, Joris tak ingin kegiatan belajar mengajar yang sudah diperjuangkannya itu terhenti. Kini sebagian warga Hoaulu mulai bisa membaca, menulis, dan menghitung.
Setamat sekolah pendidikan guru (SPG) di Ambon, pada tahun 1982, Joris menjadi guru sejak tahun 1984. Dia senang saat ditugaskan mengajar di Kanike.
"Saya memang ingin mengabdi di kampung halaman," katanya.
Sama seperti di Hoaulu, Kanike juga berada di tengah belantara hutan di Manusela. Untuk mencapai kampung itu, orang harus berjalan kaki selama satu hingga dua hari dari Hoaulu. Saat musim hujan, Kanike kerap kali tidak bisa dicapai karena derasnya aliran sungai yang melintas di antara kanike dan Hoaulu.
Meski harus pindah dari kanike, tekad Joris untuk membuat warga kampung terpencil bisa melek huruf tetap membara. Tahun 1988, dia harus mengajar di SD Kobisonta, Seram Utara, kemudian pada tahun 1994 ia pindah mengajar di SD Rumah Sokat, Seram Utara. Ketika itu, kedua tempat tersebut termasuk pelosok.
Joris bercerita, sekitar tahun 2007 keterisolasian Desa Kobisonta dan Desa Rumah Sokat akhirnya terbuka. Ini dimungkinkan setelah pembangunan Jalan Trans Seram yang menghubungkan Kabupaten Maluku Tengah dan Seram bagian Timur selesai dibangun.
"Memang menjadi guru, ya harus seperti ini. Dimanapun guru ditugaskan harus siap. Jangan seperti guru yang waktu ditugaskan di daerah pelosok langsung minta pindah atau hanya mau gajinya. Tetapi, mereka (sebagian guru) hanya sesekali saja mengajar di sekolah itu, kasihan anak murid," katanya.
Mengajar di daerah terpencil membuat dia merasa amat bahagia. "Ini sesuatu yang tak ternilai harganya," ujar Joris tentang anak-anak didiknya yang sebagian sudah menjadi polisi, bidan, juga guru seperti dia.
"Anak-anak pedalaman itu tak ada bedanya dengan anak-anak perkotaan. Berilah mereka kesempatan mengenyam pendidikan, maka mereka akan membuktikan diri sama pintarnya dengan anak-anak di kota," tegasnya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 31 MEI 2010



Rabu, 26 Mei 2010

Rafendi Djamin, Hidupkan HAM ASEAN

Berdirinya Komisi antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia atau AIHRC memberikan bobot baru bagi ASEAN. Akan tetapi, banyak orang meragukan kinerja badan ini yang dikhawatirkan hanya menjadi "macan ompong". Tugas Rafendi Djamin lah, sebagai salah satu komisioner di AIHRC, untuk menghidupkan badan HAM ASEAN itu.

RAFENDI DJAMIN

Lahir : Padang, Sumatera Barat, 7 November 1957
Status : Menikah
Pendidikan : - Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI (tidak selesai)
- Master di Institut of Social Studies, Den Haag, Belanda, 1984-1986
Aktivitas : - Pendiri Indonesia's Forum for Human Dignity (InFoHD), Amsterdam, Belanda
dan menjadi Ketua pada tahun 1992-2003
- Pendiri dan koordinator di Human Rights Working Group,2003 sampai sekarang
- Sejak Oktober 2009 menjadi komisioner di Komisi Antarpemerintah ASEAN
untuk Hak Asasi Manusia (ASEAN Intergovernmental Human Rights Comission/
(AIHRC)

Oleh RAKARYAN SUKARJAPUTRA

Terpilihnya Rafendi sebagai komisioner HAM dari Indonesia di AIHRC memberikan nilai plus tersendiri kepada Indonesia karenadialah satu-satunya komisioner di komisi tersebut yang murni berasal dari masyarakat sipil. Sembilan komisioner lainnya mempunyai latar belakang pemerintahan, meskipun tidak semuanya kini adalah pegawai pemerintah. Rafendi mengungguli calon-calon lain, yang diantaranya pernah duduk di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI.
Rafendi bukan orang baru di bidang HAM. Aktivis kelahiran Padang ini bahkan merupakan salah seorang spesialis di bidang HAM dan demokrasi. Dia adalah pendiri sekaligus Ketua Indonesia's Foruk for Human Dignity (InFoHD) tahun 1992 hingga 2003. InFoHD adalah forum untuk HAM di Indonesia yang berbasis di Amsterdam, Belanda, dan didirikan untuk memperkuat dan memfasilitasi pengembangan HAM di Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 2003, dia juga ikut mendirikan koalisi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk advokasi HAM, yaitu Human Rights Working Group. Tugas utamanya adalah mengkoordinasikan dan mengimplementasikan advokasi aturan-aturan HAM Internasional di Indonesia.
Kegiatan itu melibatkan tidak kurang dari 20 lembaga swadaya masyarakat di bidang HAM, antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Imparsial, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Korban HAM

Rafendi sesungguhnya adalah korban HAM, dan hal itu sangat berbekas dalam dirinya. "Saya dikeluarkan dari Universitas Indonesia pada tahun 1981 hanya karena membuat diskusi dengan mengundang Pramudya (Ananta Toer, penulis yang pernah di penjara pada masa Orde Baru). Sejak itu saya luntang lantung mencari kerja di sana-sini," ungkap lelaki keturunan Jawa-Minang yang masuk jurusan Sosiologi Universitas Indonesia pada tahun 1977 itu.
Rafendi pun menceburkan diri untuk membangun LSM-LSM di Indonesia tahun 1983-1984. Dia juga sempat bekerja dalam kontrak pendek dengan Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk program pengembangan masyarakat perkotaan di Jakarta.
Pada tahun 1984 Rafendi mendapat beasiswa dari Yayasan Pendukung Kekuatan Demokrasi (Stifting Democratische Krachten) Belanda untuk belajar di Belanda. Maka, pada tahun itu pula dia terbang ke Belanda dan berjuang untuk menempuh pendidikan master di Institute of Social Studies, Den Haag, dengan spesialisasi studi pembangunan.
Lulus master, Rafendi kemudian ikut mendirikan organisasi pelobi HAM di Indonesia yang diberi nama Indonesia's Forum for Human Dignity, dengan jaringan di sejumlah kota besar di Indonesia dan Eropa. Pengetahuannya di bidang HAM terus bertambah setelah mengikuti pelatihan-pelatihan dan kursus HAM di Swiss dan Filipina.
"Spesialisasi saya melobi, jadi tidak berhubungan langsung dengan para korban HAM. Tetapi, saya mengikuti dan membantu berbagai kasus dari belakang," ungkap Rafendi yang tinggal di Belanda hingga tahun 2003 dan ikut menyuarakan perjuangan reformasi Indoneia di luar negeri.
Pulang dari Belanda, di Human rights Working Group, Rafendi terus berkiprah dan membangun jembatan dialog dengan masyarakat sipil dan pemerintah, yang kemudian meluas hingga ke tingkat ASEAN dan Asia Pasifik.

Diterima ASEAN

Kemampuan Rafendi dalam lobi di tingkat regional maupun internasional membuat dia luwes diterima berbagai pihak. Hal itu pula yang membuat dia termasuk sosok yang "diterima" di ASEAN, baik oleh kalangan LSM maupun pemerintahan.
Dibandingkan dengan sejumlah calon lain, Rafendi terbilang paling terbebas dari motif-motif lain, karena dia bukan politisi, bukan pula pebisnis. Kepentingan dia adalah memajukan penghargaan atas HAM, demokrasi di Indonesia dan di kawasan ASEAN.
Di lingkungan ASEAN, nama Rafendi juga tidak asing lagi. Dia hampir selalu hadir pada pertemuan ASEAN dalam lima tahun terakhir. Keterlibatannya membangun Forum Rakyat ASEAN (ASEAN People's Forum) maupun mendorong diterimanya HAM sebagai salah satu tata nilai penting di ASEAN tidak kecil. Sangat wajar bila Rafendi yang terpilih sebagai komisioner dari Indonesia di AIHRC.
"Masih susah ditebak apakah komisioner bisa bekerja sama atau tidak karenakebanyakan dari mereka itu diplomat, saya sendiri yang bukan," ungkapnya seusai pertemuan pertama para komisioner AIHRC di Hua Hin, Thailand, 24 Oktober 2009.
Acara itu diisi dengan perkenalan, berbagai pandangan soal politik dan HAM, sekaligus bertemu dengan para anggota panel tingkat tinggi yang menyusun kerangka acuan AIHRC.
Rafendi juga menyadari, harapan rakyat ASEAN yang tinggi terhadap komisi HAM ASEAN, ini kemungkinan belum akan bisa bisa dipenuhi pada masa-masa awal berjalannya komisi ini. Hal itu karena pada masa-masa awal ini adalah proses pembelajaran untuk saling mengenal dan berbagi pengalaman terlebih dahulu. Terlebih lagi dalam kerangka acuan AIHRC yang ada saat ini memang lebih banyak penekanan kepada fungsi pemajuan (promosi) HAM ketimbang fungsi perlindungannya.
Berdasarkan kesepakatan para pemimpin ASEAN, evaluasi atas kerangka acuan AIHRC dengan menyeimbangkan fungsi pemajuan dan perlindungan itu akan dilakukan dalam waktu lima tahun setelah AIHRC berjalan.
"Kita mempunyai modal yang besar sebagai bangsa dan negara di bidang Hak Asasi manusia karena dengan segala hal yang kita miliki, kita terbaik di ASEAN. Jadi, kita tidak akan rugi berada di komisi ini. Ini suatu proses membagi pengalaman yang harus dikembangkan dalam komisi HAM ASEAN itu," paparnya.
Dengan standar HAM Indonesia yang sudah lebih tinggi daripada standar HAM ASEAN, diakui Rafendi, tidak terhindarkan bahwa dia sebagai komisioner AIHRC memang harus sedikit menurunkan standar-standarpatokannya dalam diskusi-diskusi di komisi HAM ASeAN tersebut.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 4 NOVEMBER 2009



Senin, 24 Mei 2010

Nur Fadilah, Pemberantas Buta Aksara

Ketika mendengar Kota Kediri, Jawa Timur, menyatakan diri bebas buta aksara, Nur Fadilah merasa sedih. Terbayang di benaknya wajah-wajah warga di kampungnya, Desa Lebak Tumpang, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, yang belum mengenal aksara Latin dan angka, harus menelan kekecawaan karena tidak lagi diakui keberadaannya.

NUR FADILAH

Lahir : Lebak Tumpang, Kec. Mojoroto, Kota Kediri, Jawa timur, 10 September 1969
Suami : Sukardi
Anak : - Era Ardira, Asla Zahria, Farid Akmal
Pendidikan : - SDN Lebak Tumpang
- MtsN Ngronggo, Kota Kediri
- PGAN Kediri
- IKIP PGRI Kediri, jurusan Bahasa Indonesia.
- Pascasarjana STIE Mahardika Kediri, Program Manajemen Pendidikan
Penghargaan : Juara Favorit Naasional Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan (2009).

Oleh RUNIK SRI ASTUTI

Kesempatan mereka untuk belajar menjadi tertutup seiring mandeknya kucuran dana dari pemerintah yang selama ini menyokong aktivitas di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), wadah bernaung murid-murid program pendidikan kesetaraan dan keaksaraan fungsional.
Nur Fadilah merasa dihadapkan kepada sebuah dilema. Disatu sisi ia bangga karena kota kelahirannya Kediri, berhasil menyandang predikat bebas buta aksara. Namun, disisi lain ia prihatin karena predikat bebas buta aksara itu tidak lebih dari kepentingan politis. faktanya program pemberantasan buta aksara belum tuntas.
"Murid-murid saya adalah realitas yang tidak terbantahkan. Di dusun Lebak saja ada 70 warga yang buta huruf dlam satu rukun tetangga (RT). Di Dusun Tumpang apalagi, jumlah nya mencapai ratusan orang. Apa jadinya mereka kalau program pemberantasan buta aksara dihentikan," ungkap ibu tiga anak ini.
Kendati tidadk mendapat pengakuan, semangatnya pantang mundur. Dia semakin giat memotivasi tetangganya untuk pergi ke PKBM Hidayatul Mubtadiin yang didirikannya.
PKBM Hidayatul Mubtadiin berdiri tahun 2004. Ada beberapa jenjang pendidikan yang diselenggarakan, yakni taman bacaan, taman kanak-kanak, pendidikan kesetaraan (Kejar Paket A,B, dan C), serta pendidikan keaksaraan fungsional.
Sebelum mendirikan PKBM, Nur Fadilah yang menjadi guru tetapdi SDN Lebak tumpang, telah mengajar untuk warga buta aksara di sekitarnya. Ia "bergerilya" dari satu rumah warga ke rumah warga lainnya.
Dia terkejut karena mayoritas warga di sekitarnya buta aksara latin dan angka. Umumnya warga lelaki bekerja sebagai buruh kasar, sementara kaum perempuannya menjaadi pemecah batu kali di tepi Sungai Brantas.
"Waktu itu saya menemukan 100 orang lebih (buta aksara) sehingga kewalahan jika mengajar seorang diri dari rumah ke rumah. Saya melaporkan temuan tersebut kepada dinas pendidikan," katanya.
Atas saran dari Dinas Pendidikan Kota Kediri, Nur, panggilannya, mendirikan PKBM dan diberi nama Hidayatul Mubtadiin. Awalnya ia tetap berkeliling mendatangi murid-muridnya. Tak hanya di rumah, tetapi ia juga mendatangi tepian sungai tempat para muridnya bekerja.
"Dimana ada kesempatan di situ kami belajar. Capek memecah batu, mereka beristirahat, y sambil belajar. Kalau mengandalkan belajar harus di kelas, tak akan pintar-pintar," ujarnya.

Malam hari

Seiring bertambahnya jumlah murid, Nur lalu merekrut sukarelawan sebagai tutor PKBM. Sedikitnya ada empat tutor yang bergabung. Mereka rela mengajar tanpa dibayar.
Kegiatan PKBM diadakan malam hari, di ruang kelas sebuah sekolah milik yayasan swasta. Waktu dipilih malam hari agar tak berbenturan dengan kegiatan belajar reguler sekolah itu. masalah waktu bagi para murid PKBM yang harus bekerja pada siang hari juga teratasi.
Namun, masalah lain muncul. Para murid yang umumnya bapak-bapak dan ibu-ibu rumah tangga itu enggan masuk sekolah . Mereka beralasan lelah setelah seharian bekerja. Sebagian lagi mengaku sakit mata sehingga sulit membaca buku. Ada juga yang terus terang menyatakan bosan.
Untuk mengatasinya, istri Sukardi ini memutar otak. Awalnya ia mengundang tukang kacamata ke desanya. Para murid dijanjikan akan diperiksa mata gratis apabila mau datang ke sekolah, mereka juga akan mendapatkan kacamata gratis.
Sebagian besar murid meminta kacamata untuk membaca, karena pandangannya kabur dimakan usia. Nur bekerjasama dengan penjual kacamata keliling yang menjual kacamata baca seharga Rp.10.000,-
"Tak perlu mahal, apalagi berstandar optik. Yang penting murid-murid senang dan tidak punya alasan lagi buat bolos sekolah karena sakit mata," ujarnya tersenyum.

Keterampilan memasak

Untuk meningkatkan pengetahuan para murid, Nur juga memberikan pelatihan keterampilan memasak. bahkan,untuk menarik murid agar datang ke sekolah, ia pun menonjolkan kegiatan keterampilannya daripada belajar membaca dan menulis.
Hati Nur berbunga saat melihat murid-muridnya kembali semangat masuk sekolah. Namun, kesenangan itu tak berlangsung lama. Ia mulai kehabisan "amunisi" untuk membiayai praktik memasak. Sebagai guru tidak tetap, penghasilannya tidak lebih dari Rp.200.000,- per bulan. Itupun harus dipotong biaya transportasi dari rumah ke tempat dia mengajar. Penghasilan suaminyasebagai pegawai negeri sipil habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan ketiga anaknya.
Nur lalu membuat kegiatan yangmenghasilkan uang tambahan, caranya, dia menghimpun ibu-ibu untuk membuat geplak jahe (sejenis manisan) dan minuman sari kencur. Produk yang dihasilkan itu dipasarkan dan uangnya bisa diputar untuk modal usaha.
namun, masalah yang dihadapi Nur belum tuntas. Dia harus mulai memikirkan kelanjutan para tutor yang juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
"kami punya empat tutor, kalau mereka bekerja terus menerus tanpa digaji, kasihanjuga, sementara menarik uang dari para murid tidak mungkin. Mereka mau masuk sekolah saja sudah syukur," ujarnya.
Untuk membiayai tutor, Nur memilih budidaya jamur tiram. Alasannya, modal usaha yang diperlukan tidak terlalu besar, sekitar Rp.2 juta per kelompok.
Selain melibatkan muridnya, Nur juga menggandeng kelompok ibu-ibu tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Maka terhimpun sedikitnya enam kelompok budidaya jamur, dengan setiap kelompok memiliki anggota 4-6 orang. Dari enam kelompok itu, empat diantaranya aktif. ada pun dua kelompok lainnya mati suri akibat kurangnya komunikasi, kerjasama, dan ketekunan dalam berusaha. Selain itu, modalnya sangat cekak sehingga sulit bernafas jika ada anggota yang ngebon dulu.
Perlahan tapi pasti,ketergantungan pada utang mulai terkurangi. Penghasilan tambahan dari budiddaya jamur mampu menambal kebutuhan hidup mereka, walaupun sedikit demi sedikit masyarakat pun mulai tergerak untuk bekerja dan hidup mandiri.

dikutip dari KOMPAS, RABU, 18 NOVEMBER 2009


Minggu, 23 Mei 2010

Soetanto, Mendidik dan Menggali Kepintaran

Di balikpencapaian gelar profesordan empat doktor sekaligus dari empat universitas berbeda di Jepang, Ken Kawan Soetanto punya pengalaman penuh liku. "Apa bisa orang Indonesia mengajar orang Jepang?" begitu ungkapan yang merendahkan dia sewaktu mengajukan diri menjadi dosendi salah satu universitas di Jepang setelah meraih gelar doktor keduanya pada 1988.

KEN KAWAN SOETANTO ATAU CHEN WEN QUAN

Lahir : Surabaya, 1951
Istri : Jennie Hermanto (58)
anak : - Nerrie (32), - Jun Adi (29), - Ainie (25)
Pendidikan : - SD Ta Chung Surabaya (kelas I-II), SD Shi Hwa (kelas II-III), SD Ming Jiang
(kelas IV-VI)
- SMP Chung Chung
- SMA Chung Chung sampai kelas I pada 1965
- 1965-1974 tak bersekolah, bekerja mereparasi produk elektronik
- 1974 ; ke Osaka, Jepang
- 1977; S-1 Universitas Tokyo, Fakultas Teknik dan Pertanian
- Meraih Doktor di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo


Oleh NAWA TUNGGAL

Dengan dana beasiswa Pemerintah Jepang dan semangat belajar tinggi, Soetanto, panggilannya, menjadi guru besar di beberapa universitas di Jepang. Di Amerika Serikat, tahun 1988-1993, ia menjadi assosiate profesor di Universitas Drexel dan universitas Thomas Jefferson, Philadelphia,sejak 2005 ia menjadi guru besar Venice International University, Italia .
Keahlian Soetanto bisa ditelusuri dari minat studinya. Ke empat gelar doktor dia peroleh di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), Ilmu Kedokteran dari universitas Tohoku (1988), Ilmu Farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan Ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003).
"Sejak 2003 saya memegang rekor empat gelar doktor sekaligus di Jepang," katanya.
Dari pengembangan interdisipliner ilmu elektronika, kedokteran, farmasi, dia menghasilkan 29 paten di Jepang dan 2 di Amerika. Pencapaian riset dengan paten paling mutakhir diakui di Jepang, yakni The Nano-micro Bubble Contrast Agent. Pemerintah Jepang melalui NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization) memberinya penghormatan sebagai penelitian puncak di Jepang dalam rentang 20 tahun, 1987-2007.
"Itu riset smart medicine atau obat cerdas yang mampu menelusuri sistem jaringan pembuluh darah untuk mencari sel-sel kanker dan melumpuhkannya,"kata Soetanto.

Mendidik itu menggali

"Negara tanpa riset akan lemah, Riset harus dikembangkan melalui pendidikan yang baik," kata Soetanto.
Pemikiran mengenai pendidikan yang baik, menurut Soetanto kembali pada pengertian to educe, yaitu untuk menggali. Pendidikan itu menggali kemampuan atau kepintaran diri setiap orang. Pendidikan tidak mendiskriminasikan kondisi fisik seseorang dan tidak membatasi kemampuan ekonominya.
Pendidikan untuk menggali kepintaran setiap orang termasuk, orang yang kehilangan semangat belajar atau yang dianggap bodoh. Pendidikan tidak hanya untuk orang kaya. Berdasarkan pengalaman Soetanto mengajar di Jepang, justru orang miskin memiliki kemauan belajar yang lebih tinggi.
"Beberapa doktor dari Indonesia yang belajar ke luar negeri dengan membayar mahal, lalu pulang dan akhirnya tidak mengerjakan apa-apa?" sergahnya.
Soetanto dalam menjalankan proses pendidikan di Jepang tidak hanya berteori. Namun ia berusaha benar-benar menggali kepintaran setiap peserta didik.
Metode Soetanto mengajar di Jepang sempat dikenal sebagai "Metode Soetanto' atau "efek Soetanto". Suatu pengajaran yang menyentuh hati setiap peserta didik dan mengumandangkan motivasi serta pemahaman tujuan yang ingin diraih.
"Manusia yang sebelumnya bodoh atau tak memiliki semangat belajar sama sekali harus didaur ulang supaya memiliki motivasi belajar dan bermanfaat bagi sesamanya," ujarnya.
Pengalaman Soetanto pertama kali mengajar di Jepang adalah di Toin University of Yokohama pada 1993. Di universitasnitu sekitar 80 persen mahasiswa tidak memiliki motivasi belajar yang baik.
"Toin University of Yokohama itu universitas "kelas bebek", bukan universitas unggulan, sehingga motivasi belajar para mahasiswanya rendah," katanya.
Soetanto berhasil mengubah keadaan. Mekanisme pengajrannya untuk pencapaian kesadaran penuh mengenai apa yang sedang dijalani siswa, dan merekapun mengerti tujuan yang ingin diraih.

Energi tersembunyi

Berbagai penghargaan diterima Soetanto, antara lain Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian association of Greter Philadelphia, AS, tahun 1990. Ia juga meraih predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuhtahun berturut-turut (1994-2000) di Toin University of Yokohama.
Soetanto termaasuk kategori satu diantara tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang. Sejak 2003 dia menjadi guru besar di Universitas Waseda dan menjabat Kepala Divisi Urusan Internasional. Dia juga menjadi orang pertama dari luar Jepang dalam 125 tahun terakhir ini yang diajukan menduduki jabatan setingkat kepala divisi di Universitas Waseda.
Sampai kini lebih dari 1.100 karya ilmiah Soetanto teah di publikasikan. Dalam menjalani sejumlah aktivitas tersebut, kata Soetanto, ia merasaada hidden power (energi tersembunyi).
Energi tersembunyi itu terlahir dari perasaan terhina sebagai orang indonesia yang masih diremehkan di Jepang. Di Indonesia, Soetanto juga pernah merasa terbuang.
Tahun 1965, ketika terjadi pergolakan politik menentang komunisme, hak mendapat pendidikan Soetanto terampas. Sekolahnya Chung-Chung High School di Surabaya, ditutup untuk selamanya. Soetanto hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas I SMA.
Selama tak lagi bersekolah, dia bekerja mereparasi elektronik di toko abangnya di Surabaya. Setelah uang terkumpul, berangkatlah dia ke Jepang tahun 1974 untuk belajar lebih jauh mengenai elektronika.
Pada tahun 1977 Soetanto mengikuti ujian negara di Jepang dan berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Teknik dan Pertanian Universitas Tokyo.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 17 NOVEMBER 2009


Senin, 10 Mei 2010

Mimpi Besar Jack Ma

Ingin membeli kancing baju dari China? atau mesin-mesin besar? Tinggal masuk kealamat situs Alibaba.com. Dalam satu kali klik, terpampanglah ratusan, bahkan ribuan produsen China. Mulai dari peraut pensil hingga barang yang besar dan rumit pengejaannya. Minimal ordernya pun cukup besar, ada yang 500 unit atau bahkan 10.000 unit.
MA YUN/JACK MA
Lahir : Hangzhou, propinsi Zhejiang, China, 15 Oktober 1964
Pendidikan : Lulus dari sekolah guru Bahasa Inggris, Hangzhou Normal University, 1989.
Pekerjaan : - Dosen Bahasa Inggris di Hangzhou Normal University
- Pendiri China Pages, 1995
- Pendiri dan CEO Alibaba Group, 1999
Oleh ORIN BASUKI dan JOICE TAURIS SANTI
Sebagian pemasok di Alibaba.com adalah perusahan usaha kecil dan menengah (UKM). Alibaba.com telah menjadi situs business to business terbesar yang menghubungkan produsen di China dengan dunia.
Sama seperti dalam hikayat seribu satu malam, ketika Alibaba meniru para perampok mengucapkan mantera "sesam, buka pintu", terbukalah pintu kenegara pengeksport nomor dua terbesar di dunia itu.
Pengguna alibaba.com sudah mencapai 8 juta dan pendapatannya terus meningkat. Akhir tahun lalu pendapatan Alibaba.com naik 39 persen menjadi 440 juta dollar AS. Belakangan Alibaba.com juga menyediakan Aliexpress untuk para konsumen yang diperbolehkan memesan satu unit barang saja.
"Kecil itu indah.UKM menyediakan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi di Asia dan mereka adalah masa depan e-commerce," ujar CEO dan pendiri Alibaba.com, Jack Ma, pada pertemuan tingkat tinggi UKM APEC di Singapura, kamis (1/11). Ma mengungkapkan, mekanisme pembiayaan atau dukungan kepada UKM belum maksimal karena belum ada mekanisme standar yang dapat digunakan.
"Pada tahun 1999 kita memprediksi bahwa pemenang dalam bisnis internet adalah udang bukan paus. Delapan tahun kemudian pengalaman membuktikan, perusahaan yang mendapatkan manfaat utama dari e-commerce adalah UKM yang menggunakan internet untuk memasarkan produk mereka atau untuk menemukan relasi bisnisnya di seluruh dunia," lanjut Ma penuh semangat. Penampilan mantan guru ini sederhana, dengan menggulung lengan panjang bajunya hingga ke siku.
Menurut dia, UKM layak mendapat perhatian karena semua bisnis besar berawal dari langkah kecil, "seperti bayi, semua orang tahu bahwa bayi ini akan tumbuh. Semua pelaku bisnis akan sukses karena mereka yakin akan keberhasilannya. Mereka berhasil karena terus menjaga mimpi besarnya. Orang itu bisa tahan satu minggu tanpa makanan, tiga hari tanpa minuman, tetapi orang akan mati jika kehilangan harapan dalam satu menit saja," tutur Ma.
Ma sudah mengalami ha ini. Situs Alibaba.com tidak serta merta besar seperti sekarang ini. Menurut dia, kesuksesan Alibaba.com tidak lain karena "kami tidak memiliki uang, teknologi, dan rencana ke depan," ujarnya suatu ketika. Jack Ma menyatakan tidak pernah sekali pun menyangka akan sukses di bisnis online. Dia mantan guru bahasa Inggris, bukan seorang teknisi komputer.
Minat Ma pada bahasa inggris membawa dia keluar China dan memiliki pandangan lebih luas. Pada umur 1 tahun, dia sudah tertarik belajar bahasa inggris. Dalam delapan tahun masa kecilnyadihabiskan dengan bersepeda 40menit menuju sebuah hotel di dekat Danau Hangzhou, sekitar 160 kilometer dari Shanghai. Ketika itu China baru mulai membuka diri dan mulai banyak turis yang datang ke China. Ma memberanikan diri menjadi pemandu gratis agar dapat cas-cis-cus mempraktikan bahasa Inggrisnya. Pengalaman selama delapan tahun ini membuat pemikiran Ma lebih terbuka dan lebih mengglobal dibandingkan teman sebayanya.
Ma membulatkan tekadnya belajar bahasa Inggris, tetapi perjalanan masuk menjadi mahasiswa tidak mudah. Dia harus mengikuti ujian masuk universitas sampai dua kali. Akhirnya Ma diterima di universitas Keguruan Hangzhou, semacam institut keguruan dan ilmu pendidikan pada masa lalu. Ma belajar menjadi guru sekolah menengah. Menurut dia, universitas tempatnya bekerja tidak begitu bagus kualitasnya.
Lulus dari universitas, Ma adalah satu-satunya dari 500 mahasiswa seangkatannya yang ditugaskan mengajar di universitas. Ketika itu gaji Ma sebulan sebesar 100-120 renminbi, setara dengan Rp.114.000 - Rp.142.500,- per bulan. Ma selalu memimpikan, setelah bertugas mengabdikan dirinya selama lima tahun, dia akan memulai bisnis hotel atau yang lain.
"Pada tahun 1992 perekonomian China sudah mulai bertumbuh, saya melamar banyak sekali posisi, tetapi tidak ada yang lolos. akhirnya saya menjadi sekretaris general manager gerai penjual ayam goreng Kentucky Fried Chicken," kata Ma. Dia juga menjadi penterjemah sebuah delegasi perdagangan.
Seorang teman kemudian memperlihatkan internet untuk pertama kalinya. Ketika Ma mencari kata beer di mesin pencari yahoo, dia menemukan kenyataan bahwa tidak ada data tentang China. Mereka lalu membuat situs tentang China.
Ma semakin tertarik pada komputer dan meminjam uang 2.000 dollar AS pada kerabatnya untuk mendirikan perusahaan komputer. Padahal dia tidak mengerti tentang komputer ataupun surat elektronik. Dia bahkan tidak pernah menyentuh keyboard komputer sebelumnya. 'Rasanya seperti orang buta yang menunggangi macan buta," katanya.
Perusahaan itu bersaing dengan perusahaan telekomunikasi raksasa China, China Telecom, selama satu tahun. Akhirnya, China Telecom menawarkan berinvestasi pada perusahaan Ma sebesar 185.000 dollar AS. "Itu adalah uang terbanyak yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya," kenang Ma.
Sayangnya Ma hanya kebagian satu kursi dewan direksi. Setiap hal yang diusulkan langsung ditolak mentah-mentah. Ma mengandaikan keadaan itu seperti gajah dan semut. Mimpi memiliki perusahaan sendiri tidak juga padam.
Perjalanan Alibaba.com bukannya tidak tanpa hambatan. Pada tahun 2002 dana tunai hanya tersisa untuk bertahan selama 18 bulan. "Kami memiliki banyak anggota yangmenggunakan situs kami, tetapi tidak yahu apakah kami bisa mendapatkan uang. kami mempertemukan eksportir barang dari China dengan pembeli dari AS. Model ini menyelamatkan kami. Pada akhir tahun 2002 kami berhasil membukukan keuntungan sebesar 1 dollar AS, setiap tahun keuntungan kami bertambah-tambah," katanya.
Menjadi perusahaan publik juga titik balik penting. Alibaba.com berhasil meraup dana penawaran saham perdana 1,7 miliar dollar AS di Bursa Saham Hongkong pada November 2007. Itu merupakan penawaran saham perdana (IPO) internet terbesar sejak IPO Google di Nasdaq.
Ma telah berhasil mewujudkan mimpi besarnya menjadi kenyataan walaupun tidak mulus dan selalu ada hambatan. (TIME)
dikutip dari KOMPAS, JUMAT 20 NOVEMBER 2009

Rabu, 05 Mei 2010

Bejo Wage Suu dan Seni Liping

Ditangan Bejo Wage Suu, limbah peti telur dapat menjadi kerajinan bernilai seni dan bernilai ekonomi yang relatif tinggi. Dari peti telur berbahan kayu pinus, dia membuat patung-patung mini setinggi 5 sentimeter. Dengan satu peti telur yang diperolehnya cuma-cuma dari para mbok bakul di pasar-pasar tradisional di Solo, Jawa Tengah, dapat dibuat 100 patung mini.


MARYONO ATAU BEJO WAGE SUU
Lahir : Sukoharjo, Jawa Tengah, 29 Juli 1974
Pendidikan : - SD Alas Ombo, kabupaten Sukoharjo
- SMP Mojolaban, Bekonang
- STM Warga, Solo
Istri : Titik Haryati
Anak : - Abiyasa (7)
- Kinkin (2)
Prestasi : - Merit Prize untuk kategori kayu dalam Inacraft Award 2009 atas karya "Catur
Bharatayudha".
- Juara Sayembara Suvenir Nasional tahun 2006 yang digelar Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.

Oleh SRI REJEKI

Namun, karena makin sedikit peti telur yang berbahan kayu pinus, Bejo kemudian beralih menggunakan lembar-lembar kayu pinus untuk bahan baku patung mininya. Dari satu lembar kayu pinus berukuran 100x10x1 sentimeter yang dibelinya seharga Rp.1.800,- misalnya, dapat dibuat 200 patung mini. Harga patung itu sekitar Rp.50.000,- perbuah.
Jika Bejo membuatnya menjadi papan catur berukuran 60x60 sentimeter dengan bidak-bidak catur berupa prajurit kerajaan kuno, karyanya dihargai hingga Rp.10 juta per satu set papan catur. Seiring dengan berjalannya waktu, nilai itu bertambah tinggi.
Untuk membuat patung itu, Bejo hanya perlu gergaji tripleks dan pisau pemotong (cutter). Selain kayu pinus lembaran, bahan penunjang adalah bubuk kayu, kulit jayu, perca kain batik dan sejenis tripleks.
Bejo menyebut karyanya sebagai "Patung". Patungnya diukir menjadi sosok orang tengah mengerjakan berbagai aktivitas yang belakangan ini- terutama bagi mereka yang tinggal dikota besar jarang ditemui, seperti menumbuk padi, kerokan, naik sepeda, membatik, menimba air, membajak sawah, atau main congklak. Sudah puluhan aktivitas ia rekam melalui patung-patung kecil yang ia "dandani" dengan kain dan kemben atau blengkon.
"Sementara ini, yang saya buat baru mengabadikan figur dengan busana khas Jawa Tengah, kedepan, saya ingin menggarap kegiatan tradisi lewat patung yang menggunakan busana khas setiap daerah di seluruh Nusantara," kata Bejo yang bernama asli Maryono.
Melalui karyanya, Bejo juga ingin berkisah tentang kekayaan warisan budaya bangsa yang hampir tak lagi dikenal kaum muda. Ia mengambil babad kuno sebagai sumber inspirasi sehingga terciptalah papan catur dengan buah catur yang diberi karakter bersumber dari cerita kuno, seperti perang Mataram dan Baratayudha.
Tentang kehidupan
Dari rekaman kehidupan yang diabadikan lewat patung-patung mini, karya Bejo lantas disebut orang "seni liping". "Awalnya, saat ditanya orang, opo iki mas, saya jawab living, maksudnya kehidupan. Lama-lama orang menyebutnya liping," katanya terkekeh.
Ia lalu mengabadikan istilah "liping" menjadi jargon usahanya, "The Liping Art of Indonesia". Karya Bejo terbaru bertajuk "Catur serumpun" menggambarkan kegundahannya terhadap pasang surut hubungan Indonesia dengan negara tetangga. Karya itu mengekspresikan sindirannya atas sejumlah klaim kepemilikan yang dilakukan oleh negara tetangga terhadap budaya Indonesia.
Sebelum ini, ia menciptakan "Catur Ramayana", "Catur Baratayudha" yang berisi kisah perang Baratayudha, serta "catur Mataram" yang mengisahkan pecahnya kerajaan Mataram. Bejo tengah merancang catur yang bercerita tentang proses pembuatan Candi Borobudur dengan papan berukuran 1x1 meter, serta ritual malam 1 Sura dengan papan berukuran 200x60 sentimeter.
Bejo masih bermimpi liping diakui sebagai fine art atau seni rupa murni, sejajar dengan lukisan. Dia tidak ingin menjadi tukang gergaji kayu pinus seumur hidup. Sejauh ini liping masih dinilai sebagai produk kerajinan atau kriya.
Dia butuh waktu bertahun-tahun bereksplorasi sebelum menemukan ide membuat patung-patung seni liping yang dimulai sejak tahun 1998. Lima tahun sebelumnya, selepas tamat STM, Bejo bekerja sebagai buruh di sejumlah pabrik di Pulau Sumatera, jakarta, Tangerang, dan Solo.
Karyanya, menurut Bejo, harus dapat dimanfaatkan untuk mengabadikan budaya yang terancam punah. Awalnya, karyanya berbentuk siluet orang yang tengah beraktivitas, misalnya bermain gitar. Karya yang dibuat dari bekas stik es krim ini lalu dijajakan di kampus-kampus di Solo, Salatiga, dan Yogyakarta.
Berbekal pengalaman itu, Bejo memutuskan menjadikan kayu pinus sebagai bahan baku utama kreativitasnya. Kelebihan lain kayu pinus, menurut dia, mudah diperoleh dan harganya murah.
"Detail bentuk dan aksesori akhirnya saya temukan pada tahun 2002," kata Bejo yang lahir di Dusun Tambangserut, Desa Alas Ombo, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo.
Tak suka diatur
Pengalaman hidup di desa ditambah pergulatan hidup yang tidak mudah memberikan ide dibenak Bejo yang selalu termotivasi bekerja keras. Karyanya yang unik mengundang ketertarikan orang. Tidak kurang seorang kepala daerah ingin menjadikan karya Bejo sebagai ikon kota yang dipimpinnya.
Bejo ditawari gaji tinggi, bengkel kerja, dan ruang pamer asal ia mau menggarap karakter-karakter sesuai pesanan sang kepala daerah yang sedang menggenjot pariwisata kota yang dipimpinnya.
"Saya tidak mnerima tawaran itu karena tidak suka diatur-atur," ujar Bejo yang juga menolak tawaran serupa dari seorang pengusaha.
Dia memilih berkarya secara mandiri di sebuah rumah sederhana milik kerabatnya di jalan Kencur, Tunggulsari, Laweyan, Solo. Kemerdekaan berkreasi menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar bagi Bejo.
Tidak sia-sia kerja keras dan keteguhan sikap dia. Karyanya mulai dihargai orang. hal ini dibuktikan dengan penghargaan Merit Prize untuk kategori kayu dalam Inacraft Award 2009, atas karya dia bertajuk "Catur Baratayudha". karyanya, miniatur pertunjukan wayang kulit, juga memenangi Sayembara Suvenir Nasional tahun 2006.
Bercerita tentang karya caturnya yang berharga Rp.10 juta per set, kata Bejo, dulu hanya bernilai ratusan ribu rupiah. "Awalnya, catur itu dijual Rp.200.000,- saja tiddak laku," kata anak dari pasangan almarhum Dadi Widodo dan Sudarti ini mengenang.
Karya Bejo mulai dikenal masyarakat seiring dengan keaktifannya mengikuti pameran. Apresiasi pengunjung pameran membuat karyanya dihargai dengan nilai ekonomi yang relatif baik. Ini jauh berbeda dengan awal usaha pemasaran yang hanya menjamah pasar kakilima.
"Dulu, boro-boro dihargai mahal, (karya saya) laku saja tidak. Ternyata saya salah pasar," kata pria yang memilih memakai Bejo sebagai simbol pengharapannya agar selalu beroleh keberuntungan hidup.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 16 NOVEMBER 2009

Selasa, 04 Mei 2010

Yon Haryono an Secarik Guntingan Koran

Secarik guntingan korang yang memuat berita keberhasilan lifter Eko Yuli Irawan terpasang di dinding. Foto Eko sedang mengangkat barbel ada dalam guntingan koran itu. Di dekatnya, rak kayu butut berdiri kokoh, disesaki sederetan sepatu bekas yang kusam.


YON HARYONO


Lahir : Pringsewu, Lampung, 16 Februari 1969
Istri : Yati (35)
Anak : - Yolanda Haryono (14)
- Yordan haryono (11)
- Yosefi Haryono (3)


Oleh A TOMY TRINUGROHO


Saya memasang foto ini supaya anak-anak terpacu. Kalau ingin seperti Eko, mereka harus latihan," kata Yon Haryono, pemilik sasana angkat besi di Metro, kota kecil di Lampung.
Sasana milik Yon sangat bersahaja. Berdinding kayu, sasana itu menempel dissamping rumah Yon. Tak ada barang baru di dalam sasana, semuanya bekas.
Dengan fasilitas seadanya, Yon gigih melatih anak-anak yang datang ke sasana. Ada 25 anak usia sekolah dasar yang rutin berlatih tiga-lima kali seminggu. Tanpoa dipungut bayaran, anak-anak bebas berlatih sesuai program yang disusun Yon.
Profesi orangtua anak-anak itu antara lain tukang batu dan petani. Mereka tinggal tak jauh dari rumah Yon. "Tidak ada bantuan sama sekali. Ini betul-betul pekerjaan sukarela. Saya ingin nasib mereka berubah," kata Yon.
Yon, yang mencari nafkah dari usaha penggilingan padi, berambisi menemukan "Eko baru " dan "Triyatno baru". Ambisi ini menjadi sumber utama kegairahan dia melatih anak-anak di tengah kondisi seadanya.
Ambisi Yon bukan ambisi kosong yang tidak realistis. Hampir satu dekade lalu ia melakukan hal serupa, mengumpulkan anak-anak berusia sekolah dasar di Metro dan mengenalkan mereka kepada olahraga angkat besi. Dua diantara mereka adalah Eko dan Triyatno.
Delapan tahun setelah Yon memperkenalkan olahraga angkat besi untuk pertama kalinya, Eko dan Triyatno mengharumkan nama Indonesia dengan merebut medali perunggu Olimpiade Beijing 2008. Eko waktu itu mendapatkannya dari kelas 56 kilogram, sedangkan Triyatno dari kelas 62 kilogram.
Joko Buntoro
Yon tertarik dunia angkat besi karena sosok almarhum Joko Buntoro, tetangganya. Suatu hari Joko Buntoro pulang dari pemusatan latihan nasional (pelatnas) angkat besi di Jakarta dengan memakai jaket.
Joko Buntoro tampak gagah dengan jaket itu. Joko lantas bercerita kepada Yon tentang enaknya menjadi atlet angkat besi karena bisa jalan-jalan ke luar negeri.
Yon lantas bergabung dengan sasana angkat besi Gajah Lampung pada 1981, atau saat dia duduk di kelas V SD.Yon cilik ingin seperti Joko yang memakai jaket pelatnas dan jalan-jalan ke negeri orang.
Gajah Lampung terkenal di Pringsewu. Sasana atau padepokan ini dikelola Imron Rosyadi, nama besar dalam kancah angkat besi Indonesia. Didirikan pada 1960-an, gajah Lampung terus eksis, bahkan kini memiliki asrama bagi puluhan lifter binaannya.
Setelah satu tahun berada dibawah gemblengan Imron yang sangat keras, Yon merebut perak untuk semua kategori angkatan (snatch, clean and jerk serta total) dalam kejurnas remaja yunior. Pada 1983 Yon hijrah ke Jakarta karena mendapat bea siswa bersekolah sambil latihan di SMP Ragunan, sekolah khusus atlet.
Saat duduk di SMA Ragunan, Yon bergabung dengan pelatnas persiapan olimpiade Seoul 1988. Turun di kelas 56 kilogram, Yon menempati urutan ke-12. Pada 1988 ia juga menjajal kejuaraan dunia dan mendapati dirinya berada di peringkat ketujuh.
Dalam persiapan mengikuti Olimpiade 1988, Yon ditangani pelatih Polandia, Waldemar Basanovsky, selama dua tahun ia mendapat pelajaran berharga yang kelak berguna dalam pelatihan angkat besi untuk anak-anak, yakni metode snatch on the box. Dengan metode ini, anak-anak berlatih angkatan snatch memakai kotak penyangga sehingga mereka fokus terhadap teknik mengangkat barbel secepat mungkin dari posisi lutut ke pangkal paha.
"Saya lihat tidak ada daerah lain yang menerapkan metode latihan ini untuk anak-anak," katanya.
Yon lalu ditangani pelatih China, Huang. Darinya, ia mendapatkan pelajaran berharga berupa metode latihan untuk meningkatkan kemampuan tenaga (power). Jadi, dari Basanovsky dan Huang, Yon memperoleh metode efektif gabungan untuk latihan teknik dan latihan peningkatan tenaga bagi anak-anak.
Pada 1991 Yon mengalami cedera pada saat mengikuti kejurnas senior. Tulang siku tangan kirinya lepas. Selama 1991 ia tidak berlatih. Yon baru berlatih lagi tahun 1992 dibimbing Imron.
Setahun kemudian Yon mendapatkan panggilan bergabung dengan pelatnas SEA Games 1993. Ia menolak. Ia memilih berkonsentrasi mengikuti PON 1993 agar bisa menyumbangkqan emas bagi Lampung. Meski Imron menasihatinya agar tak bertanding, Yon ngotot.
Ia mengikuti PON 1993 di kelas 59 kilogram. Saat Yon melakukan angkatan snatch 110 kilogram guna memburu emas, cederanya kambuh, Ia gagal menyumbangkan medali, inilah pertandingan angkat besi terakhir yang diikutinya sebagai atlet. Setahun kemudian Yon menikah.
Tak bertindak keras
Tahun 1999 ide membuka tempat latihan muncul di kepalanya. Yon mencari peralatan awal pada 2000. Joko Buntoro membantunya dengan menghibahkan sejumlah besi dan barbel. Persiapan itu semakin lancar karena Yon enemukan pihak yang bersedia menjadi penyandang dana, yaitu Pengurus Daerah Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga seluruh indonesia (PABBSI) Kalimantan Selatan. Ketua Pengda PABBSI Kalimantan Selatan kala itu adalah Karli Hanafi.
Pada Februari 2000 peserta sasana milik Yon berdatangan. ada sembilan anak yang bertahan berlatih disasananya. Dua diantaranya Eko dan Triyatno. Satu orang lagi, Edi Kurniawan, kelak juga menjadi lifter nasional peraih emas SEA Games dan ikut dalam olimpiade 2008.
"Saya memotivasi mereka, dengan menjadi atlet angkat besi bisa jalan-jalan ke negeri yang jauh," kenangnya.
Yon mengontrak rumah sederhana di Metro sebagai tempat berlatih. tak berapa lama ia pindah ke rumah kontrakan lain. Setiddaknya dua kali ia berganti rumah kontrakan. Eko dan Triyatno ikut bersamanya, tinggal satu atap dengan Yon dan keluarga.
Yon sedapat mungkin menerapkan metode latihan yang efektif untuk anak-anak. Ia tak mau bertindak keras terhadap anak asuhnya. Mereka memanggil Yon dengan sebutan Mas.
Pada 2001 atau setahun setelah dilatih Yon, Eko dan kawan-kawan mengikut Kejurnas Remaja Yunior di Indramayu, Jawa Barat, dengan mengusung bendera Kalimantan Selatan, bukan Lampung. Mereka berhasil mendulang lima emas.
Akhir 2002 Eko dan kawan-kawan meninggalkan Lampung. Kepergian Eko dan kawan-kawan tak membuat Yon patah arang. Ia tetap mencintai angkat besi. Sekitar sebulan sekali Yon naik motor dari Metro ke Pringsewu yang berjarak 70 kilometer selama dua jam, untuk melatih anak-anak di padepokan Gajah Lampung.
Ia juga tetap berupaya menggelar latihan di sasananya sendiri walau kondisinya sangat bersahaja. Mengandalkan peralatan bekas dan secarik guntingan koran yang memuat foto Eko, Yon terus berjuang untuk menghasilkan lifter muda yang pada masa depan diharapkan dapat mengharumkan nama bangsa.
Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 30 NOVEMBER 2009

Senin, 03 Mei 2010

Isnen,Penjaga Mangrove Pulau Pahawang

Isnen Hayani tak terlalu paham tentang tetek bengek isu pemanasan global. Ia juga tidak mencermati Konferensi Tingkat Tinggi Kelautan Sedunia, layaknya warga awam yang lain. Namun satu hal yang dia tahu pasti, lingkungan pesisir dan hutan mangrove harus dilestarikan.
ISNEN HAYANI
Lahir : Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, 14 Pebruari 1972
Pendidikan : SMPN 1 Anyer, Banten
Istri : Safiah (29)
Anak : - Yunita Purnamasari (8)
- Vikri Kurniawan (5)
Oleh YULVIANUS HARJONO
Jauh sebelum isu pemanasan global dibicarakan di forum-forum internasional seperti World Ocean Conference di Manado atau Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark tahun 2009, Isnen sudah menjalankan prinsip mitigasi perubahan iklim.
Lewat wadah Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) Desa Pulau Pahawang, Kabupaten Pesawaran, Lampung, dia giat memotori gerakan reboisasi mangrove dan terumbu karang. Isnen menduduki jabatan strategis sebagai Koordinator Pengawasan BPDPM.
Bersama tiga warga Pahawang lainnya pada divisi itu, ia harus menjalani tugas berat, menjaga areal mangrove dan terumbu karang seluas 30 hektar dari ancaman, gangguan, dan perusakan. Tugas berat itu secara resmi dilakukannya sejak 2006.
Bagi sebagian orang, tanggung jawab memegang jabatan itu awalnya dianggap "gila" atau tak lazim. Selain tidak digaji , Isnen harus melawan arus dan menanggung resiko berhadapan dengan mereka yang berseberangan dengan pola pikirnya, yaitu para perambah mangrove dan pengebom ikan.
"banyak sekali gangguan memegang tanggung jawab ini, saya pernah dimusuhi orang-orang dilingkungan saya sendiri. Saya sering kewalahan ditanyai,'apasih untungnya kamu melarang kami menebang mangrove? apa kamu mau menanggung makan kami? " ucapnya menirukan pernyataan warga yang berseberangan dengan keyakinannya.
Menanggapi berbagai pernyataan itu, Isnen menjawab, "kalau dipikir-pikir, semua itu jelas tidak memberikan keuntungan matei langsung buat saya. Saya tidak ada gaji, tidak ada fasilitas, tapi yang harus kita pikirkan jauh ke depan, apa jadinya hidup kita nanti kalau hutan mangrove pulau ini hilang habis semua?' Jawaban semacam itulah yang kemudian mkenyadarkan warga setempat untuk mengubah perilaku. Dulu Isnen dan 1.665 warga Pahawang pernah merasakan langsung pengalaman buruk akibat rusaknya lingkungan mereka.
Akibat hancurnya areal mangrove seluas 141,94 hektar di pulau itu, mulai tahun 1975 an warga Desa Pahawang diterpa wabah malaria. "kami jadi merusak diri sendiri. Nyamuk menyerbu ke desa gara-gara hutan bakau yang menjadi ekosistemnya rusak," ujar Isnen.
Ditimpa malang
Belum hilang pengalaman pahit yang membawa Pahawang menyabet label daerah endemik malaria, warga harus ditimpa kesulitan lain; susutnya mata pencaharian nelayan akibat kerusakan ekosistem terumbu karang. Kondisi ini menyusul maraknya aksi pengeboman ikan pada akhir tahun 1990-an hingga pertengahan 2000-an.
"bagaimana mau mencari ikan kalau umpan udang yang biasa dipakai memancing semakin sulit dicari? Udang, kan biasa hidup di mangrove," tuturnya dengan nada geram, "Ya, hancur lebur kita kaklau ini dibiarkan terus," tegasnya.
Pengalaman-pengalaman pahit itulah yang kemudian menguatkan mental Isnen untuk tetap bersemangat menjaga ekosistem mangrove dan terumbu karang. "kalau bukan kami warga sini, siapa lagi yang mau peduli?" Kalau masih mau anak cucu kita hidup tenteram nantinya, kita harus berubah," gugatnya.
Sehari-hari Isnen hidup dari berkebun kakao. Di luar pekerjaannya itu, ia menghabiskan waktu dengan menanam bibit bakau dan mengawasinya, termasuk hamparan terumbu karang di kawasan itu.
Dalam menjalankan tugas, dia hanya berbekal sebilah golok yang selalu menempel di pinggang serta sebuah sampan kecil untuk berpatroli keliling pulau. Tak jarang ia terlibat perdebatan, bahkan perselisihan sengit dengan para pencuri kayu, pengebom ikan, atau pengambil cacing yang melakukan usahanya secara diam-diam.
"Umumnya mereka itu orang dari luar (Pahawang), bukan warga setempat. Itulah repotnya, kami harus waspada menjaga dan pandai-pandai menjelaskan hal-hal yang dilarang," ungkapnya.
Bom dan suap
Tak jarang, dalam menjalankan tugasnya itu, Isnen harus menanggung resiko sampai nyawanya pun terancam. Ia bercerita, tahun 2007 ketika memergoki perahu pengebom ikian, dia hampir di lempar bom ikan. Untungnya hal itu urung mereka lakukan.
"Bomnya sudah diangkat, tapi tak jadi mereka lemparkan karena perahu sudah bergerak," ceritanya.
Menghadapi berbagai ancaman dan hambatan, ia punya satu pegangan, yaitu dirinya tak boleh lemah atau kalah galak dibandingkan si pengancam.
Selain itu dia juga harus tahan menghadapi berbagai godaan. Pernah suatu hari, cerita Isnen, seorang pengusaha mencoba menyuap dia agar diizinkan mencuri terumbu karang di Desa Pahawang. tawaran pengusaha itu dia tolak mentah-mentah.
"Setiap manusia membutuhkan duit, tapi saya tidak mau melakukannya (menerima suap), paling-paling dapat Rp.500.000,-, ini tak sebanding dengan susah payah kami menjaga (lingkungan). Buat apa saya menjadi pengawas di BPDPM jika berkhianat?" ucapnya berapi-api.
Dalam perjalanan hidupnya, Isnen pernah merantau ke sejumlah tempat, terakhir ia tinggal di Banten, sebelum kembali ke tanah kelahirannya, Pahawang pada tahun 2002.
Meskipun Pahawang termasuk daerah terisolasi karena belum mendapat layanan umum memadai seperti listrik dari PLN, air bersih, dan telepon, dia mengaku tetap betah tinggal di desanya.
Menurut dia, Pahawang justru menjadi perhatian masyarakat luas karena konstan menjalankan prinsip hidup berwawasan lingkungan. Isnen yakin Pahawang akan semakin dikenal dan meninggalkan ketertinggalannya lewat konsep ekowisata yang tengah dirintis.
Bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Bentala, Pulau Pahawang tengah mengarah menjadi kawasan percontohan ekowisata di Lampung. Isnen ikut aktif menjemput bola berpromosi, termasuk meminta dukungan politisi dan pendanaan untuk pengembangan sarana infrastruktur desa dari pemerintah dan para calon bupati Pesawaran.
"Jika mereka terpilih, akan kami tagih janjinya untuk peduli dengan pengembangan ekowisata Pahawang," ucapnya.
Isnen yakin pengembangan daerah berwawasan lingkungan itu tak hanya membutuhkan dukungan warga, tetapi juga komitmen dari pemerintah.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 4 MEI 2010