Selasa, 30 Oktober 2012

Andi Agussalim: Penggagas Kamus Digital Lontara


ANDI AGUSSALIM ALIAS ALIM

Lahir: Palopo, 17 Maret 1987
Ayah: Nasirudin Bin A
Ibu: Siti Hadrah L
Anak ke-4 dari empat bersaudara
Pekerjaan: Dosen kontrak di Jurusan Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (Unhas), 2012
Pendidikan:
- SD Inpres Perumnas Antang II
- SMPN 8 Makassar, 2000-2002
- SMAN 12 Makassar, 2002-2004
- S-1 Jurusan Sastra Arab, Unhas, 2004-2009
- S-2 Pascasarjana Linguistik, Unhas, 2010-2012
Karya: Membuat aplikasi kamus digital bahasa daerah

Tatkala kebanyakan pemuda tak peduli dengan kelangsungan bahasa daerah, Andi Agussalim (25) justru sebaliknya. Ia menciptakan aplikasi baru berupa kamus digital Lontara, aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Karyanya itu mengantarkan ia menjadi pemakalah termuda dalam Kongres Internasional Bahasa-bahasa Daerah II di Makassar, Sulawesi Selatan, 1-4 Oktober lalu.

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP

Inisiatif membuat aplikasi kamus digital muncul dari keprihatinannya terhadap kelangsungan bahasa daerah. Bentuk digital sengaja dipilih agar lebih mudah digunakan para peneliti dan masyarakat awam yang ingin mendalami bahasa daerah, terutama Lontara. "Kemasan digital juga lebih praktis ketimbang kamus konvensional yang  mudah rusak termakan usia," ungkap Alim, sapaan akrabnya.
   Dalam aplikasi buatannya, Alim menyediakan penyimpanan kosakata dalam aksara Lontara dan Latin. Bentuk aksara Lontara menyerupai ketupat yang memiliki sulapa eppa (empat sisi). Dalam kepercayaan Bugis-Makassar kuno, hal itu melambangkan susunan alam semesta yang terdiri dari api, air, angin, dan tanah. Kebetulan bentuk huruf (font) Lontara telah dikembangkan Yusring Sanusi Baso, mantan dosen Alim di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin (Unhas).
   Kosakata yang telah tersimpan dilengkapi dengan berbagai fitur lain, seperti arti kata, kata dasar, kelas kata, afiksasi (awalan, imbuhan sisipan dan simbol), fonetik (cara pengucapan), keterangan, dan contoh kalimat dalam bahasa Bugis-Makassar serta Indonesia. Desain aplikasi pun dibuat sederhana, berupa kotak-kotak yang tinggal diisi sesuai dengan keterangan di sampingnya.
   Alim lalu menambahkan fitur "tambah kata" dan "cek kata" dalam aplikasi digital, yang membuatnya sangat berbeda dibandingkan dengan kamus konvensional. Fitur "tambah kata" bertujuan memberi keleluasaan bagi peneliti yang ingin menambah perbendaharaan kata dalam aksara Lontara. Aplikasi ini bahkan bisa digunakan untuk mengirim kumpulan kosakata dari satu peneliti ke peneliti yang lain melalui e-mail.
   "Database (basis data) kosakata dalam kamus digital bisa terus diperkaya seiring makin banyaknya orang yang terlibat," ujar magister linguistik Unhas itu. Hal ini turut memudahkan masyarakat awam yang ingin mempelajari penggunaan aksara Lontara dan bahasa Bugis-Makassar.

Temuan baru

   Cita-cita membuat aplikasi kamus digital telah dipupuk Alim sejak mengambil Jurusan Sastra Arab di Fakultas Ilmu Budaya, Unhas. Setamat kuliah pada tahun 2009, ia melanjutkan pascasarjana di bidang linguistik untuk memperkaya pengetahuannya tentang bahasa.
   Ilmu leksikografi membuat Alim semakin memahami seluk-beluk menyusun kamus. Ditambah kegemarannya mengutak-atik komputer saat duduk di bangku SMA, ia pun memilih pembuatan aplikasi kamus digital sebagai bahan tesisnya yang berjudul "Perancangan dan Efektivitas Penggunaan Aplikasi Kamus Digital Bahasa Daerah di Sulsel".
   Sejumlah guru besar linguistik Unhas, seperti Hakim Yassi, Lukman, Gusnawaty, dan Ery Iswary kagum, dengan pilihan Alim itu. "Mereka menilai kolaborasi penggunaan komputer dengan tata bahasa daerah merupakan sesuatu yang unik," ujar lelaki yang baru menyelesaikan program pascasarjana pada Agustus lalu itu.
   Penemuan yang relatif baru di dunia linguistik itu membuat Alim terpilih menjadi salah satu pemakalah dalam Kongres Internasional Bahasa-bahasa Daerah II, belum lama ini. Pengalaman ini menjadi lonjakan besar bagi putra pasangan Nasaruddin dan Sitti Hadrah tersebut mengingat kongres dihadiri 350 peserta dari enam negara, yakni Indonesia, Brunei, Malaysia, Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat (AS).
   Salah seorang peserta adalah Dr Barbara Friberg, peneliti bahasa dari Summer Institute of Linguistics, AS, yang membuat font aksara Lontara saat mengajar di Unhas dan Universitas Negeri Makassar, beberapa tahun lalu. "Dia (Barbara Friberg) sangat senang karena saya mengembangkan bahasa Bugis-Makassar dengan terobosan baru," kata bungsu dari empat bersaudara tersebut.
   Para peserta umumnya menyambut antusias aplikasi kamus digital buatan Alim. Banyak di antara mereka yang ingin mencoba aplikasi itu untuk diterapkan pada bahasa daerah masing-masing. Namun, Alim baru akan menyebarluaskan aplikasi itu setelah urusan hak kekayaan intelektual di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selesai.
   Ia juga berencana menyempurnakan fitur aplikasi yang dinamainya Mammiri (sejuk) Lontara itu sebelum dimanfaatkan masyarakat. Salah satu fitur yang akan ditambahkan adalah terjemahan dalam bahasa Inggris untuk memudahkan peneliti asing mendalami aksara Lontara.
   Jika kelak di sebarluaskan, Alim tak berniat mencari keuntungan dari hasil penemuannya. Ia justru berharap aplikasi kamus digital nanti dimanfaatkan setiap pemerintah daerah dan sekolah untuk melestarikan bahasa daerah yang mulai punah satu demi satu. Bentuk aplikasi digital dianggap cocok untuk mengatasi ancaman kepunahan bahasa karena mudah disimpan dan disebarluaskan melalui internet.
   Komitmen pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan 700 bahasa daerah yang kini terancam punah. Sentuhan teknologi diharapkan turut merangsang minat remaja terhadap bahasa daerah.
   Dari pengalaman, Alim menyadari, pembuatan aplikasi kamus digital tak sekadar membutuhkan pengetahuan luas, tetapi juga keuletan. Ia pun mengajak serta Asrul Ismail, sahabatnya saat bersekolah di SMA Negeri 12 Makassar, Asrul yang tahu banyak  soal komputer beberapa kali membantu pembuatan kode program dalam fitur aplikasi.
   Pernah suatu kali aplikasinya mandek karena terhambat pembuatan salah satu kode program yang sangat sulit, Alim lalu mudik ke kediaman orangtuanya di Palopo. Wejangan dari Nasruddin dan Sitti, yang sehari-hari menjadi penceramah agama, menguatkan kembali mental Alim.
   Aplikasi kamus digital ini menjadi modal berharga bagi masyarakat, terutama peneliti, guru, dan generasi muda yang ingin mengenal lebih jauh tentang aksara Lontara. Selama ini, pengembangan tradisi tulis pada kebudayaan Bugis-Makassar masih terpusat pada segelintir warga masyarakat yang sudah tua.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 30 OKTOBER 2012

Selasa, 23 Oktober 2012

Nining Media:Totalitas Mempertahankan Lagu Sunda


NINING MEDIA

Lahir: Bandung, 6 Juni 1965
Suami: Tommy Nurdiaman (47)
Anak:
- Robi Walesa (27)
- Rami Akbar (25)
- Zaky Muhammad Arsi (4)
Penghargaan:
- HDX-BASF Award 1987/1988 untuk album "Klangkang"
- Jawa Barat Music Award 2005 dari Sekolah Tinggi Musik Bandung

Setahun lalu penyanyi tradisional dan pop Sunda, Nining Media (47), berniat mundur total dari dunia seni. Minimnya penghargaan atas 28 tahun pengabdiannya membuat dia patah asa. "Saya benar-benar jenuh dan bosan, tidak ada lagi semangat bertahan di jalur ini," kata Nining menegaskan.

OLEH CORNELIUS HELMY

Tantangan terbesar Nining adalah pembajakan album-album rekamannya. Masalah tersebut tidak pernah selesai sejak dia pertama kali memasuki dunia panggung tahun 1986 hingga saat ini.
   Nining mencontohkan saat ia menelurkan album Peurih tahun 2011. Baru saja album itu selesai direkam Nining pada sore hari, keesokan harinya rekaman berisi 12 lagu terbarunya tersebut sudah dijajakan pedagang kaset dan VCD bajakan di Bandung.
   "Dalam bahasa Sunda, peurih artinya perasaan sakit yang mendalam. Pembajak tidak tahu usaha dan jerih payah kami saat membuat album tersebut, peurih pisan," kata Nining.
   Namun, teman-teman Nining sesama seniman menahan dia agar tak mundur dari dunia seni. Mayoritas temannya mengatakan, jika Nining mundur, perkembangan tembang Sunda tradisi atau pop mungkin akan mandek.
   Apalagi sebelumnya seni Sunda sudah kehilangan maestro tembang Cianjuran, Euis Komariah, pada Agustus 2011. Meski banyak artis muda bermunculan, belum ada yang bisa menyanyi sekaliber Nining.
   "Suara manja Teh Nining yang khas sampai saat ini belum ada tandingannya di Jawa Barat," ujar penata lagu pop Sunda, Dedy Odoy.
   Semangat dan harapan teman-teman itulah yang membuat hati Nining luluh. Hingga akhirnya dia melakukan langkah besar dengan menggelar konser tunggal pertamanya di Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Minggu (21/10). Konser ini diklaim yang pertama kali dilakukan seniman tembang dan penyanyi pop Sunda di hadapan 3.000-4.000 pengunjung.
   "Tiketnya gratis dan sudah habis sejak seminggu yang lalu. Ini menjadi pertunjukan terbesar bagi saya," ujar Nining.

Berawal dari bonang

   Nining Meida bukan lahir dari keluarga seniman. Ia pertama kali mengenal seni Sunda dari grup kesenian pimpinan Ugan Soemarna di Kabupaten Bandung.
   Sejak berumur empat tahun, ia sudah mahir memainkan bonang dan ikut pentas bersama beberapa grup seni tradisional pimpinan Tetty Afienty. Semakin akrab dengan dunia seni, perlahan ia belajar dari beberapa sinden yang mahir menyanyikan tembang Sunda, khususnya Cianjuran.
   Bakat Nining ternyata memang ada pada tembang Sunda. Berbagai perlombaan vokal lagu Sunda dan pop dia ikuti sejak masih SD hingga SMA. Dia nyaris selalu menjadi juara satu dalam setiap ajang kompetisi tersebut.
   Prestasi Nining membuat para pemandu bakat terpikat. Hingga suatu saat pada 1984, seorang produser mengajak dia masuk dapur rekaman untuk menyanyikan single "Kokoronotomo" versi bahasa Sunda. Ketika itu lagu asal Jepang tersebut tengah populer di Indonesia.
   Suara Nining yang manja dan mendesah juga menarik perhatian maestro karawitan dan pencipta lagu Sunda, Nano S (almarhum). Waktu itu Nano menganggap Nining adalah penyanyi yang tepat untuk membawakan lagu ciptaannya berjudul "Kalangkang" pada 1986. Nining lalu diarahkan menyanyi duet bersama Adang Cengos.
   "Kalangkang" yang liriknya berkisah tentang rasa rindu yang mendalam kemudian membawa Nining melaju ke pentas yang lebih luas. Dia lalu menjadi penyanyi pujaan masyarakat Jawa Barat. Lagu-lagu yang dilantunkan Nining pun ditunggu penggemarnya. Dia tidak ingat lagi berapa banyak album dan lagu yang pernah dibawakannya. Perkiraan kasar dia sekitar 100 album solo dan kompilasi.
  "Kalangkang" kabarnya terus diperbanyak sampai dua juta kopi. "Meski tidak menikmati seluruh royaltinya karena kontrak kerja zaman dulu belum jelas dan tak transparan, saya bersyukur dengan pencapaian itu," ujar Nining.

Tempat berbagi

   Nominal dua juta kopi tersebut bukan isapan jempol. Sekitar 26 tahun setelah "Kalangkang", Nining masih disanjung penggemarnya. Ia pernah dikagetkan perlombaan tarik suara di Kalimantan timur yang membawakan lagu wajib miliknya. Hal serupa dilakukan penggemar Nining di sejumlah daerah di Sumatera. Umumnya penggemarnya adalah orang Jawa Barat di perantauan.
   Di luar negeri Nining juga dikenal. Penggemarnya ada di Jerman, Amerika Serikat, Taiwan, Jepang, Malaysia, hingga Arab Saudi. Komunikasi dia jalin dengan penggemarnya lewat media sosial hingga radio streaming. Ia menilai, fanatisme penggemar di luar negeri tidak kalah tinggi. Mereka tahu gayanya di panggung, ciri suara, hingga lagu terbaru milik Nining.
   Tak jarang Nining juga menjadi tempat berbagi penggemarnya. Beberapa pengemar di Arab Saudi, misalnya, kerap berkeluh kesah tentang kondisi mereka di perantauan. Lewat radio Baraya Sunda yang disiarkan streaming melalui internet setiap hari pukul 19.00-21.00 WIB, ia tahu banyak tentang perlakuan buruk majikan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI). Mayoritas penggemarnya di Arab Saudi memang TKI perempuan dan laki-laki.
   "Saya selalu bilang agar mereka sabar menjalaninya. Namun, jika ada kesempatan, pulang saja ke Indonesia. Lebih baik mereka bekerja di kampung halaman ketimbang mendapat perlakuan buruk di negeri orang," katanya.

Melatih

   Dalam konser tunggal yang digelar, Nining melantunkan 26 lagu. Meski bertajuk konser tunggal, dia enggan untuk tampil sendiri. Ia mengajak serta para seniman berbasis kesenian Sunda lainnya. Dari alunan hip-hop, dangdut, hingga musik berbasis bambu semacam karinding dan angklung kontemporer pun tampil di sini.
   "Konser ini bukan milik Nining, melainkan masyarakat Jawa Barat. Penontonnya dari jenderal sampai bandar jengkol," ucapnya sambil tertawa.
  Semangat yang ditularkan teman-teman membuat Nining tak lagi berniat mengundurkan diri dari dunia lagu Sunda. Meski kiprahnya selama ini minim pengakuan dari pemerintah daerah, ia tetap bersemangat melatih para yunior, seperti Nita Tila, Rya Fitria, dan Neneng Fitri, guna meneruskan "tongkat estafet" lagu Sunda. Studio Pronima, miliknya, masih digunakan seniman Sunda yang membutuhkan.
   Meski tetap di jalur lagu Sunda, keinginan Nining lainnya, menjadi ustazah, tak dia lupakan. "Ayah saya, Encep Abdullah, pernah mengatakan, dia akan bangga kalau suatu saat nanti saya menjadi ustazah selain penyanyi."
   "Saya pernah coba memimpin pengajian, tetapi baru mau dimulai jemaahnya pada bilang 'Kalangkang', Kalangkang', 'Kalangkang'," cerita Nining tersenyum memamerkan lesung pipinya.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 23 OKTOBER 2012

Selasa, 09 Oktober 2012

Yesaya Talan: Mengurus Penyu di Menipo

YESAYA TALAN

Lahir: Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, 3 Juli 1961
Istri: Yakomina Haumena
Anak:
- Yotran (24)
- Yerubeam (22)
- Yaner (17)
Pendidikan:
- SD Enoraen, Kabupaten Kupang, NTT, 1976
- SMP Oekabiti, Kabupaten Kupang, NTT, 1980 
- SMA Persamaan di Kupang, 1994
Pendidikan dan pelatihan:
- Polisi Kehutanan, 1983
- Pengelolaan Konservasi Alam Tingkat 2, 1994
- Inventarisasi Biota Laut, 1995
- Penyegaran Kepala Resor, 1998 
- Teknik Pencegahan Kebakaran hutan, 2002
Penghargaan: Pengabdi Lingkungan tingkat Provinsi NTT, 1988

Taman Wisata Alam Menipo memiliki garis pantai yang berpasir putih lembut, sekaligus menjadi tempat penyu bertelur. Musim penyu bertelur berlangsung terutama sekitar bulan Juni-Juli. Kepakan dada sang induk untuk memadatkan pasir penutup lubang kumpulan telurnya terdengar jelas dari sejumlah titik. Jika akhirnya menetaskan tukik hidup dalam jumlah maksimal, keberhasilan itu tidak bisa dipisahkan dari pengabdian Yesaya Talan.

OLEH FRANS SARONG

Kawasan cagar alam Menipo seluas sekitar 2.449 hektar secara administratif merupakan bagian dari wilayah Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya dari Kota Kupang sekitar 119 kilometer, melalui Oekabiti.
   Bila anda memilih jalur melewati Batuputih jaraknya sekitar 124 kilometer. Batuputih merupakan wilayah kabupaten tetangga, Timor Tengah Selatan. Kawasan Menipo telah berstatus taman wisata alam (TWA) sejak 20 tahun lalu. Ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 28 Desember 1992.
   "Kalau memasuki musimnya, selama Juni-Juli, setidaknya 10 induk penyu bertelur setiap hari. Sebaliknya, selama bulan-bulan lainnya tidak menentu, kadang hanya satu-dua induk penyu yang bertelur," tutur Yesaya, Kepala Resor TWA Menipo, di pantai Menipo, pertengahan September lalu.
   Sesungguhnya tekad melestarikan penyu mengharuskan para petugas memberikan pengabdian jauh di luar batas tugas "standar" sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Betapa tidak, waktu penyu bertelur biasanya berlangsung larut malam hingga dini hari. Sesaat kemudian langsung terdengar bunyi dari kepakan dada induk penyu untuk memadatkan permukaan pasir, penutup sarang kumpulan telurnya.
   Kumpulan telur itu, meski sudah terkubur dalam lubang sarangnya, dipastikan akan rusak sehingga gagal menetas jika terkena rembesan air laut dari empasan ombak.
   Guna menyelamatkan kumpulan telur dari ancaman itulah Yesaya bersama tim penjelajah kawasan harus terus berjaga-jaga di sekitar bibir pantai. Tugas itu mereka lakukan sejak larut malam hingga pagi dini hari, terutama selama musim penyu bertelur.
   "Bunyi kepakan dada induk penyu adalah pertanda proses bertelurnya sudah selesai. Saat itu juga kami harus segera 'merapat' untuk dua tugas sekaligus. Pertama, menandai induknya sebelum dilepasliarkan kembali. Kedua, menyelamatkan kumpulan telurnya dari empasan ombak laut," kata dia.
   Pada malam itu, Yesaya dan tim penjelajah melepasliarkan 405 tukik atau anakan penyu ke Laut Timor. Kegiatan itu juga diikuti oleh Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT Wiratno bersama sejumlah staf.

Ancaman yang menghantui

   Yesaya yang berasal dari desa setempat mencatat, setidaknya ada dua ancaman yang selalu menghantui proses penetasan telur penyu secara alamiah. Selain ancaman terkena empasan ombak, juga tidak sedikit tukik yang mati hanya karena tidak mampu keluar dari lapisan pasir penutup sarangnya.
   "Proses penetasan tukik hanya akan berhasil maksimal jika ada campur tangan manusia. Saya bersama teman-teman dari TWA Menipo merasa terpanggil untuk menyelamatkannya. Meski untuk itu kami harus bekerja hingga larut malam, bahkan sampai pagi," tutur ayah empat anak itu.
   Biasanya kumpulan telur yang baru diambil dari lubangnya langsung dipindahkan ke dalam bokor yang sudah ditata mirip sarang aslinya. Bokor itu lalu diletakkan dalam pondok atau tenda khusus.
   Kumpulan telur tersebut lazimnya mulai menetas setelah melewati masa pengeraman selama sekitar dua bulan. Tepat pada waktunya petugas harus berada di tempat itu agar bisa membantu proses pengeluaran tukik dari lapisan pasir sarangnya.
   Yesaya mencatat, proses penetasan secara alamiah dengan tingkat keberhasilan tukik hidup bisa mencapai 50 persen dari jumlah telurnya.
    "Kalau dengan campur tangan petugas tingkat keberhasilan itu bisa mencapai sekitar 85-90 persen," katanya.
   Sebanyak 405 tukik yang dilepasliarkan pada pertengahan September lalu itu adalah hasil penetasan dari 475 butir telur. Fakta itu menunjukkan, keberhasilan penetasan telur penyu mencapai sekitar 87 persen hidup dan 70 butir telur lainnya rusak.

Penyayang satwa

   Khusus upaya pelestarian penyu di Menipo, secara resmi baru berlangsung sejak tahun 2010. Total anakan penyu yang sudah berhasil dilepasliarkan hingga kini berjumlah 11.155 ekor, termasuk 1.302 ekor di antaranya dalam periode Januari-pertengahan September 2012. Sedangkan induk penyu yang dilepasliarkan kembali, setelah diberi tanda khusus berjumlah 14 ekor. Pelepasliaran induk penyu pun dilakukan pada malam hingga dini hari.
   Meski tugasnya tak mudah, Yesaya tidak mengeluh. Sejak kecil ia menyayangi satwa, termasuk penyu. "Ketika masih SD saya sering memarahi teman-teman yang biasa fiti (menembak) burung dengan katapel. Sikap itu bertambah kuat sejak saya menjadi PNS konservasi sumber daya alam."
  Bagi Yesaya dan tim, keunikan TWA Menipo membuat mereka rela menghabiskan banyak waktu di kawasan ini. "TWA Menipo perlu dijaga karena punya banyak keunikan, seperti keberadaan penyu. Tempat ini juga berpotensi menjadi obyek wisata berdaya tarik tinggi," ujarnya.
   Selain penyu, kawasan itu pun menjadi habitat sekitar 250 rusa timor (cervus timorensis), kakaktua kecil jambul kuning (cacatua sulphurea), buaya muara (crocodylus porosus), dan kalong (Pteropus vampyrus).
   Jika cuaca di Menipo cerah, dengan teropong kita bisa melihat cahaya lampu malam di pantai utara Benua Australia. Kawasan TWA Menipo menjadi pulau tersendiri saat pasang naik dan menyatu dengan daratan Timor saat pasang surut.
   Permukaan  daerah ini berbalut sabana dan ditumbuhi ribuan lontar (Borassus flabellifer), cemara laut (Casuarina equisetifolia) serta mangrove jenis Rhizophora mucronata dan Bruguiera spp.
   Meski berpotensi sebagai obyek wisata, TWA Menipo belum banyak dilirik turis. Salah satunya karena infrastruktur jalan menuju kawasan ini amat buruk.


Dikutip dari KOMPAS, RABU, 3 OKTOBER 2012

Senin, 08 Oktober 2012

Ahmad Abdul Hadi: Mengantar Gedong Gincu ke Rimba Dunia

AHMAD ABDUL HADI

Lahir: Cirebon, 7 oktober 1984
Pendidikan:
- SD di Cirebon
- SMP-SMA di Darussalam gontor, Ponorogo, Jawa Timur 
- S-1 Ekonomi dari Universitas Gunung Jati, Cirebon
Istri: Fitri P Nurkamal (26)
Anak: Jihan Mazea Ramadhan (1)
Penghargaan antara lain:
- Pemenang Asia Pasific Entrepreneurship Awards, 2011 
- Pemenang Terbaik I Nasional Wirausahawan Mandiri, Kategori Jasa dan 
  Mandiri dari Bank Mandiri, 2010
- Penghargaan Ketahanan Pangan dari Pemerintah RI, 2009

Berbicara dengan Ahmad Abdul Hadi adalah berjumpa dengan sosok muda usia, tekun, dan suka mencoba. Ia menolak bicara soal omzet usaha. Ia juga tak betah bicara berpanjang-panjang. Bagi dia, lebih penting langsung bekerja.

OLEH RINI KUSTIASIH

"Saya mau bicara praktik di lapangan. Buah kita mampu bersaing di luar negeri. Itu semestinya terus ditingkatkan," kata Hadi, panggilannya, saat ditemui di gudang buah SAE yang dikelola keluarganya di Jalan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. 
   Lahir sebagai bungsu dari empat bersaudara, Hadi rupanya yang paling berhasil mengembangkan usaha jual-beli buah yang dirintis orangtuanya, Sukarya (61) dan Entin (55). Nama SAE kependekan huruf depan nama mereka, S untuk Sukarya, A untuk Ahmad, dan E untuk Entin.
   Tak hanya menyuplai buah seperti mangga, manggis, dan rambutan untuk pasar domestik, Hadi mengembangkan usaha itu hingga pasar dunia. mangga jenis gedong gincu terutama menjadi andalan ekspornya.
   Di tangan Hadi, buah itu merambah Singapura, Hongkong, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, arab Saudi, dan Qatar. Permintaan mangga gedong gincu terus meningkat sejak pertama diekspor tahun 2008.
   Hadi sejatinya terlambat meneruskan usaha keluarga ini. "Waktu itu saya berpikir untuk kerja apapun, asal bisa mandiri dari orangtua," katanya.
   Awalnya ia ingin mencoba usaha selain berdagang buah. Saat menginjak bangku kuliah tahun 2005, Hadi membuka usaha bengkel kendaraan bermotor. Baru setahun berjalan, usaha itu ambruk. Di sela-sela kuliah, dia berdagang gula merah hingga cabai, tetapi gagal juga.
   Pada saat bersamaan, ada dorongan orangtua untuk meneruskan usaha keluarga. Hadi, yang awalnya merasa berat hati, kemudian berusaha menyiasati bagaimana mengembangkan usaha buah itu. Saat itu pasar domestik sudah kenyang dengan suplai mangga gedong gincu. Pengusaha buah di wilayah Cirebon hanya fokus di pasar dalam negeri.
   "Saya mencoba sesuatu yang belum dilakukan pengusaha lain. Saya manfaatkan internet untuk belajar membuat invoice. Klien pertama saya dari Singapura, kenalnya lewat internet," katanya.
   Usaha perdagangan lintas negara memang mensyaratkan keahlian berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang baik. Belakangan, klien Hadi meluas hingga ke Timur Tengah. Itu berkat kemampuannya berbahasa Arab.
   Soal kemampuan berbahasa itu, dia peroleh saat mengenyam pendidikan di Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di pesantren itu, Hadi belajar bahasa inggris dan bahasa Arab secara intensif.
   Ia bercerita, paket ekspor pertamanya ke Singapura sudah dikemas dalam kardus dan dilengkapi merek SAE. "Saya ingat sekali, itu terjadi tanggal 13 Oktober 2008. Itu tanggal lahir ibu saya.'

Prospektif

   Keberhasilan Hadi tercium Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Cirebon. Pada tahun 2009, instansi itu memfasilitasi Hadi ikut dalam rangkaian pameran perdagangan buah dan hortikultura ke Hongkong, Kuwait, dan Bahrain.
   Dari pameran itu, dia tahu tingginya animo pasar dunia pada mangga gedong gincu. Pemesan terus berdatangan dari Timur Tengah meski pembeli terbesar tetap dari Singapura. Dari satu negara, ia bisa mendapat 10 pembeli dengan pesanan bervariasi, dari 1 ton mangga sampai 50 ton. Gudang SAE tak pernah sepi dari suplai mangga. Petani mangga di sejumlah sentra pun terangkat dengan kondisi ini.
   Ketua gabungan Kelompok Tani Mangga Sami Jaya di Desa Sedong Lor, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Haerudin (52), adalah salah satu yang menyuplai mangga kepada Hadi. Petani di kawasan itu memanen mangga gedong gincu minimal 125 ton dari lahan seluas 25 hektar. Di wilayah Sedong, ada 400 hektar lahan mangga gedong gincu, yang rata-rata menghasilkan 2.000 ton setahun.
   Dari tangan petani, mangga masak pohon dihargai Rp 10.000-Rp 25.000 per kilogram. Setiap satu hektar lahan rata-rata ditanami 100 pohon mangga, yang masing-masing menghasilkan 50 kilogram buah per tahun.
   "Jika petani punya satu hektar lahan, ia bisa dapat minimal Rp 50 juta per tahun dengan harga mangga terendah Rp 10.000 per kilogram," ungkap Haerudin.
   Selain Cirebon, Hadi juga menerima suplai buah mangga dari daerah lain, seperti Indramayu, Majalengka, dan Kuningan di Jawa Barat, Tegal di Jawa Tengah, serta Probolinggo, Jawa Timur. Untuk ekspor saja, ia memerlukan ratusan ton mangga, belum termasuk untuk memenuhi pasar dalam negeri.

Bersaing ketat

   Di pasar dunia, gedong gincu bersaing dengan buah mangga dari Pakistan dan India. "Di luar (negeri), gedong gincu namanya mangga alfonso. Rasa gedong gincu asal Indonesia rasanya tak kalah enak dibandingkan mangga India dan Pakistan. Sayang, kita tak bisa bersaing dalam harga."
   Sebagai gambaran, harga dasar gedong gincu di pasar ekspor sekitar 1 dollar AS per kilogram. Sampai di luar negeri, harganya menjadi 3 dollar AS karena tambahan 2 dollar AS untuk biaya pengiriman. Alhasil, mangga asal Indonesia lebih mahal dua kali lipat dibandingkan India dan Pakistan.
   "Itu kendala terbesar saya karena biaya transportasi barang dari Indonesia lebih mahal dua kali lipat dari pada harga produknya," ujar Hadi.
   Dari sisi produksi, Indonesia lebih unggul. Pakistan dan India hanya panen selama tiga empat bulan, pada Maret-Juni. Indonesia pola panennya bisa sampai sembilan bulan.
   "Saat mangga mereka (Pakistan-India) habis, mangga kita masih ada. Kita bisa panen Maret sampai November, tetapi harganya tetap lebih mahal," katanya.
   Di luar kendala harga, ada problem yang perlu dipecahkan bersama antara petani, pengusaha, dan peneliti hortikultura, yakni masa simpan mangga gedong gincu yang terlalu singkat. Masa simpan mangga ini hanya 10 hari. Jika dikonsumsi lebih dari waktu itu, kualitasnya turun, sedangkan mangga dari Pakistan dan India masa simpannya sebulan.
   Tentang kesuksesan usahanya, Hadi mengutamakan jejaring yang dipelihara dan diperluas, selain menjaga kepercayaan konsumen. Tetapi, lanjut dia, "Saya pernah ditipu puluhan juta rupiah. Dia menolak membayar tagihan dengan alasan tidak jelas. Untuk orang macam itu, saya langsung tutup hubungan.


Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 4 OKTOBER 2012

Minggu, 07 Oktober 2012

Yang Saing Koma: Perjuangan untuk Petani Kamboja

YANG SAING KOMA

Lahir: 18 Juli 1966
Pendidikan: PhD bidang pertanian dari Universitas Leipzig, Jerman, beasiswa Friedrich Naumann Foundation, 1995 
Pekerjaan: Presiden Pusat Studi dan Pengembangan Agrikultur Kamboja (CEDAC), 1997-kini
Penghargaan: SEED Award untuk SRI, 2005

Saat pertama kali memperkenalkan metode penanaman padi alternatif kepada petani di negerinya tahun 2000, Yang Saing Koma (46), salah seorang peraih penghargaan Ramon Magsaysay tahun 2012, mengaku kesulitan.

OLEH WISNU DEWABRATA

Metode dan teknik bercocok tanam yang ditemukan dan dikembangkan seorang pendeta Perancis di Madagaskar tahun 1980-an itu memang berbeda dari kebiasaan bercocok tanam yang turun-temurun dijalankan petani di kamboja.
   Namun, hanya lima menit setelah pertama kali membaca artikel tentang metode sistem intensifikasi padi (system of rice intensification/SRI) tersebut, Koma meyakini, metode ini yang dibutuhkan petani negerinya untuk mengubah nasib mereka.
   Bukan perkara gampang untuk meyakinkan petani. Dari 28 petani yang diperkenalkannya pada metode yang sama sekali baru buat mereka itu, hanya satu orang yang bersedia menjalankan.
   Sisanya, kenang Koma, menertawakan. Metode dan teknik menanam SRI memang aneh buat mereka. Cara itu tak membutuhkan pasokan air banyak, seperti yang biasa mereka lakukan untuk tanaman padi.
   Selain itu, hanya diperlukan sedikit tunas padi yang ditancapkan tak terlalu dalam ke tanah. Ini kebalikan dari metode yang biasa mereka lakukan, yakni dalam setiap petak, petani menancapkan serumpun tunas. Ini mengakibatkan tunas-tunas itu berebut "makanan" dari tanah.
   Alhasil, mereka lalu tergantung pada pupuk kimiawi dan obat pembunuh hama untuk "membantu" pertumbuhan. Semua itu, menurut Koma, tak perlu dilakukan dengan metode SRI.
   "Padi pada dasarnya tanaman akuatik. Padi tidak memerlukan banyak air untuk tumbuh, secukupnya saja. Dengan sedikit tunas di setiap petak, itu membantu tanaman tak berebut makanan," kata Koma.
   Walau awalnya hanya seorang dari 28 petani yang diperkenalkannya dengan SRI mengerti dan mau menerapkan, tak lama kemudian petani lain yang sebelumnya malas dan meragukan metode itu justru terkesima dengn hasil panen petani yang menerapkan SRI.

Kiat unik

   Dalam wawancara video yang direkam Manori Wijesekera dari TVE Asia Pasifik tahun 2010, Koma mengilustrasikan salah satu kiat unik tetapi efektifnya untuk merangkul petani agar mau menerapkan SRI.
   "Cara ini penting diingat dan diterapkan. tak perlu banyak bicara dan membuat banyak pertemuan, cukup kita lakukan saja. Kita turun ke sawah, menemui petani, diskusikan, lalu terapkan. Bekerja dan kunjungi petani terus-menerus, lalu evaluasi dan diskusikan proses dan hasilnya bersama mereka," papar Koma.
   Ia sedikit "menasihati" peneliti yang sering duduk di laboratorium meneliti sesuatu tentang pertanian. Namun, mereka malah tak memiliki pengalaman bertani. Bagi Koma, mereka juga harus mengubah cara berpikir dan kebiasaan itu.
   "Petani bergelut sehari-hari sepanjang hidupnya dengan tanaman dan ternak mereka. Sudah seharusnya peneliti seperti saya mengajarkan kepada mereka bagaimana bisa belajar dari apa yang mereka alami setiap hari," ujarnya.

Awal ketertarikan

   Tahun 2000, Koma tertarik metode SRI dari artikel yang dibacanya di majalah pertanian. Metode SRI ditemukan dan dikembangkan seorang pendeta Perancis, yang menyempurnakan dan menerapkan metode itu di Madagaskar.
   "Awalnya, mereka menertawai dan mengkritik cara baru yang saya diskusikan. Mereka paham, tetapi malas menerapkan. Tetapi, begitu melihat langsung ada yang berhasil, mereka tertarik sendiri. Memang tak mudah mengubah cara berpikir orang, ibarat memaksa seorang kidal memakai tangan kanan," ungkapnya.
   Kini, sekitar 140.000 petani Kamboja di 21 provinsi menerapkan metode SRI. Dampaknya mengejutkan. Total produksi nasional 3,82 juta ton pada tahun 2002 meningkat menjadi 7,97 ton sewindu kemudian.
   Tahun 1997, Koma mendirikan organisasi nonprofit, Pusat studi dan Pengembangan Agrikultur Kamboja (CEDAC). Lembaga ini berupaya menghubungkan dan membuka akses bagi petani langsung ke pasar.
   Dia mengembangkan CEDAC menjadi perusahaan sosial yang kini memiliki dan menjalankan sedikitnya 13 toko untuk menjual hasil beras organik yang ditanam sekitar 5.000 petani. Mereka bahkan telah mengekspor beras organik ke negara tetangga.
   CEDAC juga memiliki tabungan senilai 8 juta dollar AS. Mulai tahun 2005, Pemerintah Kamboja mengakui dan menjadikan metode SRI yang dikembangkan Koma sebagai salah satu strategi nasional pengembangan pertanian negeri itu.

Masa kecil

   Mendapat penghargaan seperti Ramon Magsaysay bukan tujuan Koma. Apa yang dia lakukan semata-mata keinginan untuk memperbaiki nasib negeri dan rakyat Kamboja, yang 65 persen hidup dari sektor pertanian.
   "Saya hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna bagi negara, terutama untuk petani. Saya tak berharap mendapat penghargaan apapun. Penghargaan itu hanya nilai tambah serta sepenuhnya untuk petani dan mereka yang terlibat membantu usaha ini," ujarnya.
   Koma mengaku, masih banyak yang harus dilakukan. Meski begitu, dia senang dan bangga dengan apa yang telah berhasil dicapai selama ini. Kerja keras dan semangat pantang mundur menjadi modal utama Koma, selain otak yang cerdas.
   Terlahir sebagai putra guru di desa miskin, kehidupan Koma memprihatinkan. Saat rezim brutal Khmer Merah pimpinan Pol Pot berkuasa, Koma dan saudaranya terpaksa menjadi yatim saat tentara Khmer Merah membunuh ayahnya.
   Pada waktu itu, Khmer Merah membunuh mereka yang dicap sebagai intelektual dan memaksa orang menjadi petani demi menciptakan negeri utopia komunis ala Pol Pot.
Tak lama setelah ayahnya tewas, Koma juga kehilangan kakak lelaki yang kelaparan di kamp konsentrasi dan kerja paksa Khmer Merah.
   Koma kecil terpaksa mengungsi dari kampung asalnya di daerah terpencil di Provinsi Takeo ke ibu kota Phnom Penh. Pada 1979, tentara Vietnam masuk dan mengalahkan rezim Pol Pot.
   Saat itu, Koma berusia 13 tahun. Dia bertekad kembali bersekolah. "Saya bersekolah pagi hari, lalu berjualan beras dan sayur di sore hari," kata Koma mengenang.
   Berbekal kecerdasan dan kemauan keras, ia mendapat beasiswa penuh pada 1984. Koma melanjutkan studi ke Jerman, tempat ia mengantongi gelar master dan doktor bidang pertanian.
   Tahun 1995, Koma kembali ke Kamboja dan mengajar di Royal University of Agriculture, Phnom Penh. Kesibukan mengajar tidak membuat tekad dan semangatnya majal. Dia tetap tergerak turun ke dunia nyata dari "menara gadingnya."

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 8 OKTOBER 2012

Kamis, 04 Oktober 2012

Anas Tika: "Profesor Tikus" dari Pinrang


ANAS TIKA
Lahir: Suppa, Pinrang, Sulawesi Selatan, 18 Desember 1972
Pendidikan: SD-SMP-di Cempa, Pinrang
Istri: Hj Sakka (30)
Anak: Eka Pertiwi, Eko Budiman
Prestasi: Petani Teladan Tingkat Nasional 2008
Aktivitas:
- Penyuluh swakarsa
- Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Cempa, Pinrang
- Ketua Gabungan Petani Pemakai Air Tanete, Cempa
- Ketua Kelompok Tani Tanete, Cempa

Ijazah hanya sampai SMP tapi gelar "profesor" melekat pada namanya. Berkat kepiawaiannya merancang perangkap tikus, tanaman padi di Pinrang, Sulawesi Selatan, bisa terbebas dari hama pengerat itu. Bangkai tikus ia fermentasi menjadi pupuk organik. Karya ini mengantarnya meraih predikat Petani Teladan Tingkat Nasional.

OLEH NASRULLAH NARA

Itulah Anas Tika (40), petani yang merangkap penyuluh swakarsa di Kecamatan Cempa, Pinrang, sekitar 250 kilometer utara Makassar, Sulsel. Bertahun-tahun tanaman padinya dimangsa tikus, lalu terbetik ide membuat perangkap tikus.
   Percobaan itu mulai dirintis tahun 1992. Kala itu, ia galau setiap kali gerombolan tikus menyerbu tanaman padinya. Sekali serbu, bulir-bulir padi yang mulai berisi musnah. Tak hanya kerugian materi untuk benih dan pupuk, tetapi juga tenaga.
   Diam-diam ia mengamati perilaku tikus yang suka bersarang di pematang sawah. Ia juga menemukan pola penyerbuan kawanan tikus pada malam hari, dengan lebih dulu menyusuri pematang sawah.
   Anas membangun tembok di sekeliling sisi luar pematang sawahnya. Tembok berupa cor semen dan pasir itu menyerupai benteng setinggi 70 sentimeter (cm) dengan ketebalan 10-15 cm. Bagian luar tembok dipoles semen sampai mulus. Dengan permukaan tembok yang halus dan licin, tikus kesulitan memanjat dan menjangkau tanaman padi.
   Pada bagian bawah tembok, 10 cm dari permukaan tanah, dibuat lubang berdiameter 5-7 cm (kira-kira seukuran lingkar badan tikus dewasa). Lubang itu tembus dari bagian luar tembok hingga dalam. Ibaratnya, Anas mencoba berbaik hati pada tikus dengan menyediakan lubang masuk ke sawah. Untuk tembok yang mengelilingi lahan 1 hektar, jumlah lubang yang dibuat 70-80 buah.
   Pada bagian dalam tembok, khususnya di mulut lubang bagian dalam, dipasang kotak perangkap berbahan kawat ram. Kotak ini menyerupai perangkap tikus yang lazim dijual di pasar atau toko bahan bangunan.
   Mulut kotak perangkap dilekatkan menganga persis pada lubang. Lalu, pada bagian mulut lubang dibuatkan semacam bubu, mirip alat tangkap ikan tradisional. Ukuran bubu dibuat sedemikian rupa agar tikus yang telanjur masuk perangkap sulit lolos keluar tembok.
   Dalam semalam, satu lubang bisa menjerat 5-7 tikus. Bayangkan, berapa tikus yang masuk pada 70-80 kotak perangkap yang ia tebar keliling sawah.
   "Pada malam hari riuh sekali suara cicit-cicit tikus yang terperangkap," tutur Anas.

Simbiosis dengan kucing

   Kalaupun ada tikus yang sempat lolos atau mencoba meloncati pagar tembok dari luar pematang sawah, Anas tak merasa risau. Belasan kucing peliharaannya siap menerkam tikus yang lolos dari jeratan.
   Kucing-kucing Anas dibiasakan ke sawah pada malam hari. Di rumah kucing-kucing itu sengaja tak diberi makan kenyang. Dengan begitu, naluri kucing menangkap tikus tumbuh dan terasah.
   Anas paham betapa naluri tikus untuk melahap begitu tinggi begitu mencium bau bulir-bulir padi di tanah. Untuk itu, pada salah satu sudut lahan yang dikelilingi tembok ia siapkan petak persemaian padi. 
   Pada saat tanaman padi yang utama mulai berbuah, ia juga menebar benih di petak persemaian itu. Benih yang disemai memancing tikus berdatangan.
   Tikus yang masuk perangkap dibenamkan ke air saluran tersier hingga mati. Setelah itu, bangkainya ditumpuk dalam sebuah sumur fermentasi. Dalam 2-3 pekan, cairan dari bangkai ditampung untuk dijadikan pupuk di persemaian padi.
   Sebagian dari komponen bangkai itu disimpan Anas. Ia mengantisipasi kemungkinan ada pihak yang berminat meneliti hewan pengerat ini. "Siapa tahu ada orang yang tertarik meneliti gigi dan rahang hewan pengerat ini," katanya.

Irigasi memadai

   Pola pertanian di desa Anas di topang potensi pengairan dan irigasi yang memadai. Aliran air dari Bendung Benteng yang bersumber dari Sungai Saddang sepanjang tahun menyuplai persawahan di Pinrang dan Sidrap. Dua daerah ini dikenal sebagai lumbung beras Sulsel.
   Atas ide "gila" itu, Anas meraih predikat Petani Teladan 2008. Saat itu, ia diundang ke Istana Merdeka, Jakarta, untuk mengikuti Upacara Proklamasi Kemerdekaan RI: Sejak itu, ia kerap dijuluki "profesor tikus" oleh warga setempat. Peneliti hama berdatangan menjadikan dia sebagai narasumber.
   Awalnya Anas sempat dicemooh warga sebagai orang sinting. Sang istri, Hj Sakka (30), sampai ngambek dan minta dipulangkan ke rumah orangtuanya. Pasalnya, selain biaya untuk perangkap itu relatif mahal bagi petani, masih diperlukan pembuktian.
   Anas mampu membuktikan, biaya sekitar Rp 30 juta yang dikeluarkan untuk perangkap itu bersifat investasi. Hanya sekali dibangun, selanjutnya bertahun-tahun dimanfaatkan dan terus dipetik hasilnya.
   Sekali panen, Anas mampu meraup hasil penjualan gabah Rp 24 juta, dengan produksi 7 ton per hektar (ha). Harga gabah Rp 3.400 per kilogram (kg). Setelah dikurangi ongkos kerja dan sarana produksi (benih, pupuk, dan obat-obatan) Rp 5 juta, penghasilan bersih sekali panen Rp 18 juta.
   Jika setahun panen tiga kali, berarti Anas meraih penghasilan sekitar Rp 54 juta per tahun. Itu baru dari 1 hektar lahan. Padahal, kini, Anas menggarap 3 hektar sawah-1 hektar miliknya sendiri dan 2 hektar punya kerabatnya. Bahkan, dengan menanam padi jenis hibrida, ia bisa panen sampai empat kali dalam masa 13 bulan. Penghasilannya bisa lebih dari Rp 100 juta setahun.
   Sosok Anas mampu membalik anggapan umum terhadap petani selama ini. Untuk mengontrol tanaman padinya di sawah, Anas tak selalu berjalan kaki dengan memanggul pacul. Sesekali ia naik mobil Toyota Rush.
   Hasil dari bertani menopang tekad keluarga itu untuk menyekolahkan dua anaknya hingga perguruan tinggi. Anas ingin kedua anaknya kelak menjadi petani modern. Anak sulungnya, Eka Pertiwi, kini duduk di SMK Pertanian. Si bungsu, Eko Budiman, kelak diarahkan mengikuti kakaknya.
   Anas pun menjadi ikon  petani di daerahnya. Selain sebagai ketua kelompok tani nelayan andalan di daerah itu, seabrek peran lain juga ia lakukan, termasuk menjadi penyuluh swakarsa. Kisah sukses sebagai petani ia bagikan gratis kepada petani lain.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 5 OKTOBER 2012