Rabu, 22 Juni 2011

Kaisin Sapin, Menjaga Situs Batujaya


KAISIN SAPIN

Lahir : Bekasi, Jawa Barat, 23 Juni 1937
Istri : Janer (70)
Anak :
- Mudih (42)
- Nursam (39)
- Neneng (33)
Pendidikan : Sekolah rakyat di Pagaden, Subang, Jawa Barat

Meski pernah 14 tahun menjadi kepala dusun, tujuh kali menjadi ketua kelompok Panitia Pemungutan Suara, dan belasan tahun menjadi Ketua Kelompok Tani Segar Tani, Kaisin Sapin lebih dikenal sebagai juru pelihara Situs Batujaya. Tenaga dan waktunya turut dicurahkan pada warisan sejarah itu.

OLEH MUKHAMAD KURNIAWAN

Keterlibatan Kaisin dimulai pada 1985 saat Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia memulai penelitian di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sejumlah peneliti menyewa rumahnya untuk tempat menginap. Berjarak ratusan meter dari lokasi penelitian, posisi rumahnya dinilai strategis.
Segaran dan sekitarnya menjadi sasaran penelitian karena terdapat banyak lemah duhur atau tanah tinggi, yang diduga reruntuhan candi dan menyimpan peninggalan bersejarah. gundukan tanah, yang oleh warga setempat disebut unur, berada di tengah hamparan sawah, kebun, juga pekarangan rumah di kawasan itu.
Menurut Kaisin, dua-tiga tim peneliti datang dan menginap di Batujaya selama minimal 20 hari dalam setahun. Selain dosen dan mahasiswa arkeologi, mereka yang datang, antara lain, peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Jawa Barat, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang.
Dari urusan menginap, dia menjadi lebih kenal dan akrab dengan para arkeolog, peneliti, dan mahasiswa yang datang ke Batujaya. Kaisin lalu dilibatkan dalam sejumlah proyek penelitian, mulai dari tenaga lokal sebagai penunjuk lapangan, menjadi juru tulis dan juru gambar, hingga penanggung jawab lapangan.
Keterlibatan intensif dalam sejumlah penelitian dan interaksi dengan pakar arkeolog memperkaya pengetahuan Kaisin. Karena itu, meski hanya lulus sekolah rakyat (sekolah dasar), dia selalu dilibatkan dalam proyek penelitian arkeologi, pemugaran candi, dan penataan kawasan oleh lembaga terkait.

Heboh candi

Tahun 1996 menjadi masa paling melelahkan sekaligus berkesan bagi Kaisin. kabar penemuan candi segera menyebar luas dan membuat kawasan tersebut mendadak ramai dikunjungi orang. Warga setempat memperkirakan puluhan ribu pengunjung mendatangi Desa Segaran dalam kurun kurang dari dua bulan.
Umur candi-candi di kompleks itu diyakini lebih tua daripada candi-candi lain di Pulau Jawa. Penemuan tersebut menghebohkan karena mematahkan anggapan selama ini bahwa Jawa Barat tak punya candi.
"Banyak orang penasaran untuk membuktikannya. Mereka langsung ke sini," ujarnya.
Pengunjung datang siang dan malam. Tak sedikit di antaranya menginap di lokasi atau rumah penduduk. Warga setempat pun memanfaatkannya untuk menambah penghasilan dengan berjualan makanan dan minuman, membuka jasa parkir, kamar kecil, serta penginapan.
Akan tetapi, banyaknya pengunjung tidak berarti sselalu menguntungkan warga. Menurut Kaisin, keberadaan benda-benda yang berserak di sekitar lokasi penemuan candi terancam karena tak sedikit pengunjung membawa pulang benda apa pun yang mereka temukan, seperti pecahan bata dan ornamen candi berbahan stuko.
"Ada pengunjung yang memaksa membawa pulang benda-benda di sekitar candi meski sudah diperingatkan beberapa kali. Tak sedikit yang sembunyi-sembunyi memasukkannya ke kantong. Ada yang berhasil kami minta, tetapi banyak yang lolos," cerita Kaisin. Selain mengambil benda, sebagian pengunjung iseng naik ke atas candi, menginjak struktur bata untuk sekadar berfoto sehingga merobohkan susunan bata. Akibat khawatir pengunjung kian mengganggu proyek penelitian dan pemugaran candi, petugas pun didatangkan untuk mengamankan lokasi pemugaran.
Belakangan, sebagian pengunjung mengembalikan benda-benda yang mereka bawa pulang. Menurut Kaisin, jumlah barang yang dikembalikan itu mencapai puluhan unit dan terkumpul dalam beberapa kardus. Selain tergugah kesadarannya, sebagian pengunjung bercerita, mereka menggigil kedinginan atau sakit-sakitan setiba di rumah.

Menurun

Ketokohan sekaligus posisi Kaisin sebagai Kepala Dusun Sumurjaya dan Ketua Kelompok Tani Segar Tani ketika itu secara tak langsung memudahkannya menjaga benda peninggalan di Batujaya. Dalam pertemuan warga atau kelompok tani, dia sering menyisipkan pesan tentang pentingnya menjaga segala bentuk peninggalan bersejarah di kampungnya.
Petani dan warga tidak menggali tanah untuk memburu benda-benda peninggalan yang kemungkinan tersimpan di bawahnya, seperti gelang dan kalung emas, serta bekal kubur lain, sebagaimana ditemukan di dekat fosil manusia disekitar kompleks percandian. Sebaliknya mereka justru mengumpulkan dan menyerahkan temuannya untuk keperluan penelitian dan konservasi.
Kiprah Kaisin teramat berharga dalam memelihara candi dan benda-benda purbakala. Selain melarang pengunjung naik ke atas candi dan merusak atau membawa benda-benda peninggalan, dia juga rutin membersihkan sampah dan menguras air yang menggenangi candi. Semua itu dia lakukan sebelum diangkat menjadi Juru Pelihara Kompleks Percandian Batujaya oleh BP3 Serang pada 1998.
Usaha Kaisin menjaga Situs Batujaya menurun kepada anak, cucu, dan menantunya. Tiga anaknya, yakni Mudih, Nursam, dan Neneng; dua cucunya, Eha Amiati dan Fendi; serta menantunya, naisam, terlibat dalam sejumlah produk penelitian dan pemugaran candi. Mereka kemudian juga diangkat menjadi juru pelihara oleh BP3 Serang. "Kini ada 10 juru peliharadikompleks percandian Batujaya. Namun, dengan luas kompleks yang diperkirakan mencapai 25 kilometer persegi, jumlah itu masih kurang," kata Kaisin.
Selain kompleks percandian, mereka juga bertugas menjaga dan memelihara benda-benda purbakala yang telah diidentifikasi. Sebagian di antaranya berbentuk arca; gerabah kuno, seperti buli-buli, cawan, dan kendi; serta beberapa komponen candi.
Semua benda itu kini disimpan di gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya Situs Batujaya, yang jaraknya ratusan meter dari Candi Jiwa. Sebagian benda kuno lainnya masih disimpan dalam kotak-kotak kontainer di gudang penyimpan, yang dibangun di samping rumah Kaisin.
Umat Budha di Jawa Barat pada perayaan Trisuci Waisak di kompleks Candi Jiwa dan Blandongan, Mei 2010, memberikan penghargaan kepada Kaisin. Dia dinilai berjasa menjaga Situs Batujaya.
Kini, dalam sisa tenaga di usianya yang telah senja, Kaisin masih terus bekerja. Seperti lebih dari 20 tahun keterlibatannya, Kaisin senantiasa ramah menerima pengunjung. Dia juga selalu siap memandu para tamu.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 23 JUNI 2011

Selasa, 21 Juni 2011

Irma Melyani Puspitasari : Inovasi demi Pasien Puskesmas


IRMA MELYANI PUSPITASARI

Lahir : Cirebon, 1 Mei 1979
Pendidikan :
- S1 Farmasi Unpad lulus 2002
- Pendidikan Profesi Farmasi Unpad lulus 2003
- Teknik Biomedik ITB lulus 2010
Pekerjaan : Staf pengajar di Fakultas Farmasi Unpad (2006-sekarang)

Mengalami kesultan membaca tulisan dokter pada secarik resep menjadikan Irma Melyani Puspitasari (32) yang saat itu menjadi apoteker bertekad membuat perubahan. Resep tidak harus identik dengan tulisan steno-atau acak-acakan- dari para dokter yang hanya bisa dibaca oleh segelintir orang. Pasien pun berhak tahu.

OLEH DIDIT PUTRA ERLANGGA & NAWA TUNGGAL

Lulusan Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) ini juga beberapa kali memergoki obat-obat yang diresepkan ternyata memiliki potensi menyebabkan reaksi merugikan. Bentuknya bisa berupa interaksi ataupun duplikasi obat. Interaksi adalah efek samping yang diakibatkan reaksi kimia dari komponen obat yang berbeda. adapun duplikasi obat terjadi saat komposisi yang sama diresepkan pada dua jenis obat yang berbeda, padahal tidak perlu.
Irma meyakini, interaksi ataupun duplikasi yang berlangsung saat pembuatan resep bukanlah kesengajaan dari para dokter. "Bayangkan saja, ada 5.000 hingga 10.000 item obat dalam satu rumah sakit besar. Tidak mungkin menghapal komposisinya satu-satu," kata Irma yang ditemui di tempat kosnya di Bandung, Jawa Barat.
Dua pengalaman itulah yang membuat dia tersadar bahwa resep elektronik adalah sebuah solusi yang harus dicapai. Menengok ke negara lain, ternyata tren serupa terjadi. Irma mencontohkan Amerika Serikat yang kini tengah mendorong para dokter untuk menggunakan resep elektronik yang kini jumlahnya mencapai sepertiga dari seluruh populasi.

Sendiri

Kesempatan itu muncul sewaktu dia mengambil pendidikan pascasarjana di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi bandung (2007). Mengambil spesialisasi teknik biomedik di bawah bimbingan Profesor Soegijardjo Soegijoko, sejak awal Irma sudah mempersiapkan kerangka bagi aplikasi untuk membuat resep elektronik itu.
Perombakan pertama yang dilakukan adalah perbaikan sistem administrasi rekam medis pasien di puskesmas. Menggunakan beberapa komputer yang tersambung secara intranet, efisiensi bisa dilakukan dari alur kerja petugas dipuskesmas. Dengan pencatatan digital dan saling tersambung, tidak perlu lagi ada petugas yang mencari rekam medik, membawanya ke ruangan poli, dan mengembalikannya. Dengan teknologi yang sama, petugas tidak lagi harus membuat rekapitulasi bulanan karena hal tersebut bisa dilakukan dalam beberapa kali klik di mouse.
Inti dari aplikasi tersebut adalah bagian resep. Irma memasukkan data untuk komposisi obat, indikasi serta kontraindikasi seorang diri yang dilakukannya sambil mengikuti kuliah. Jumlahnya mencapai 217 item. Dia juga memasukkan informasi mengenai peluang interaksi ataupun duplikasi dari berbagai referensi yang dimilikinya.
Dengan aplikasi tersebut, seorang dokter tinggal memberi centang untuk gejala hingga obat yang diberikan berikut dosisnya. Aplikasi buatan Irma masih menyisakan kolom untuk diisi manual seperti anamnesis atau keluhan yang diutarakan pasien sebelum diperiksa, serta kolom untuk tindakan medis yang diambil.
begitu memasuki pembuatan resep, dokter akan mendapat pemberitahuan dari aplikasi bila obat yang diresepkannya berpotensi terjadi interaksi maupun duplikasi sehingga bisa diganti dengan yang lain. Dokter pun bisa tetap meresepkan meski harus mengisi kolom alasan.

Menyahut ajakan

Hampir rampung dengan aplikasi buatannya, tidak berarti masalah sudah selesai. Dia menghadapi gelombang penolakan dari calon penggunanya, yakni puskesmas. Salah satu alasan yang sering dilontarkan adalah keengganan untuk belajar komputer karena tidak semua petugas melek teknologi dan sudah nyaman dengan pencatatan konvensional.
Alasan lain yang sering dihadapi adalah pendapat yang menyatakan bahwa resep haruslah berupa kertas. Pengertian umum resep adalah perintah yang ditulis dokter kepada apoteker untuk mengeluarkan obat. Pengertian tersebut juga dipakai dalam peraturan pemerintah. Isu tersebut dijawab Irma dengan argumen bahwa Indonesia telah memiliki Undang-undang Informasi dan Transaksi Elekronik sehingga memungkinkan dokumen tidak harus berupa kertas, termasuk resep.
Dari berbagai puskesmas tersebut, ternyata hanya satu yang mencoba aplikasi resep elektronik milik Irma, yaitu Puskesmas Babakan Sari di daerah Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat. Kepala Puskesmas saat itu, Dr Ira Dewi Jani, menyatakan ketertarikannya menerapkan resep elektronik di tempatnya.
Ira beralasan, sebagian besar waktu para petugas di sana tercurahkan untuk menyelesaikan tugas administrasi seperti mengantar rekam medis dan pembuatan laporan. Padahal, mereka punya kewajiban di lapangan seperti pembinaan di posyandu atau pun sekolah. Ira merasakan betul bahwa puskesmas masih dipandang sebelah mata sebagai pemberi akses kesehatan bagi masyarakat.
"Padahal, ada sekitar 8.600 puskesmas di Indonesia dan 60 persen warga menengah ke bawah mendatangi puskesmas terlebih dahulu untuk berobat," tutur Ira.
Dengan kemauan keras, akhirnya petugas puskesmas Babakan Sari belajar mengoperasikan komputer meski tidak mudah.Irma menyiasati hal tersebut dengan mengajari mereka menggunakan situs jejaring sosial Facebook. Dari sana, mereka dibiasakan untuk mencentang pilihan dan mengoperasikan komputer.
Salah satu cerita yang kerap diutarkan adalah salah satu pegawai senior yang awalnya tidak bisa menyalakan komputer kini menjadi tenaga administrasi di ruang pendaftaran yang bisa diandalkan.
Dalam waktu satu tahun, resep elektronik menunjukkan hasilnya. Administrasi di Puskesmas Babakan Sari jauh lebih ringkas dan memudahkan para petugas. Irma pun beberapa kali diundang mempresentasikan inovasinya dalam forum di luar negeri seperti di bangkok, Thailand akhir 2009 dan di Luksmburg pada April 2011. Puskesmas Babakan Sari pun kerap dikunjungi tamu dari luar negeri seperti Filipina dan Pakistan untuk melihat kerja resep elektronik.
Sayangnya, hingga kini Irma belum berkesempatan mereplikasi aplikasinya ke puskesmas ataupun rumah sakit lainnya.Padahal, aplikasi tersebut juga memiliki potensi lain, yakni mengumpulkan data yang berguna bagi perumusan kebijakan kesehatan nasional.
"Bila digunakan di banyak tempat, kita bisa memiliki data mengenai tren konsumen obat maupun evaluasi dalam penanganan penyakit tertentu dengan pemberian obat," kata Irma.
Dia sendiri kemungkinan tidak bisa mengembangkan lagi aplikasinya karena Oktober 2011 akan berangkat ke Jepang untuk menuntut ilmu kedokteran. Hal tersebut dilakukan sebagai tuntutan dari pekerjaannya sekarang sebagai pengajar di Fakultas Farmasi Unpad.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 22 JUNI 2011

Senin, 20 Juni 2011

Edi Rusyana : Hijaukan Kalbu Murid Sekolah


DRS EDI RUSYANA, MPD

Usia : 47 tahun
Pendidikan :
- S-1 Bahasa Indonesia, Universitas Galuh Ciamis, 1990
- S-2 Manajemen Pendidikan Universitas Galuh Ciamis, 2005
- Masih menempuh S-3 Jurusan Administrasi Pendidikan UPI, Bandung, 2011
Istri : Diah Rusliani
Anak:
- Ayu Berliani PR
- Gilang Raja PR
Pekerjaan : Kepala SMPN 7 Ciamis, Jawa Barat

"....Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran ('intellect'), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita....." Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Itulah yang menjadi dasar Edi Rusyana menjabarkan wacana sekolah hijau atau "green School" yang berkembang belakangan ini. Pikirannya sederhana, bukan hanya lingkungan sekolah yang harus dihijaukan, melainkan juga kalbu anak didiknya.

OLEH CORNELIUS HELMY & DEDI MUHTADI

Edi, Kepala SMP Negeri 7 Ciamis, Jabar, ini menyadari, pendidik harus menanamkan kecintaan lingkungan hidup kepada jiwa para murid dengan memperlihatkan fenomena yang terjadi secara langsung. Dengan begitu, jika kelak lulus sekolah, mereka akan mempunyai komitmen, kepedulian, dan rasa memiliki lingkungan sekitarnya. Sebab, mereka paham, lingkungan itu mendukung kehidupannya.
Maka, mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup selain diterapkan pada mata pelajaran Biologi dan Muatan Lokal, sejak dua tahun yang lalu juga diterapkan Edi dengan membuat demplot pertanian sekaligus menghutankan sekolah.
"Ramah lingkungan dan perilaku sehat saja tak cukup untuk memenuhi kurikulum. Yang penting adalah menjadikannya kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari," ujar Sekretaris Jenderal KementerianPendidikan Nasional Dodi Nandika.
Hal itu pula yang memperkuat tekad Edi membangun persemaian tanaman keras di sekolah yang terletak di pinggiran Ciamis tersebut. Persemaian ini berisi sekitar 100.000 tanaman seperti jati, albasia, akasia, suren, dan manglid.
Di lingkungan sekolah seluas 2 hektar itu, Edi juga membangun arboretum mini. Di arboretum multifungsi ini terdapat jenis pohon khas Indonesia seperti gaharu, merbau, meranti atau kayu ulin. Ia juga membangun taman buah. ada rrambutan, mangga, dan dilengkapi tanaman pangan seperti cabai, terung, dan jagung.
"Ketika harga cabai Rp 100.000, para guru di sekolah itu malah panen cabai," cerita Anang Sudarna, staf ahli Gubernur Jabar, yang meninjau sekolah itu beberapa waktu lalu.

Pembuktian lapangan

Laboratorium alam itu sekaligus ajang pembuktian mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup dan Biologi. Dengan melihat langsung, siswa memahami manfaat ekosistem hutan. Terlebih lagi hutan kecil itu terletak di daerah aliran sungai kecil sekaligus anak Sungai Citanduy.
Sungai Citanduy yang bermuara ke Segara Anakan di perbatasan jabar dan Jawa Tengah itu airnya berwarna coklat karena termasuk sungai kritis di republik ini.
Pada musim kemarau, sungai kecil di pinggir sekolah itu sering kering. Fenomena ini juga dimanfaatkan Edi untuk mengambil pelajaran bahwa semua itu akibat wilayah tangkapan air yang tak berfungsi. Misalnya, di daerah tandon air, sebuah pohon cukup besar yang tumbuh dengan baik bisa menghasilkan sekitar 7 meter kubik air terus menerus.
Manfaat langsung bagi manusia, pohon besar itu mampu menyediakan oksigen bagi 14 orang setiap hari. Melalui pemahaman itu, murid sekolah langsung bereaksi jika di lingkungannya terdapat penebangan pohon yang tak benar.
Apalagi, pohon yang ditebang itu terletak di daerah mata air yang menghidupi lingkungan tempat tinggal mereka. Untuk memperkuat pemahaman tersebut, lingkungan sekolah dibiarkan tak berpagar tembok, tetapi diberi tanaman hidup pohon mahoni dan jati. Oleh karena lingkungannya dinilai hijau lestari, tahun 2009/2010 sekolah ini mendapat penghargaan adiwiyata sebagai sekolah hijau terbaik Provinsi Jabar.
"(Sekolah ini) kami pilih karena sekolah yang berkomitmen langsung terhadap lingkungan bisa dihitung dengan jari," ujar Anang Sudarna, mantan Kepala Dinas Kehutanan Jabar.
Sebelum penghijauan di lingkungan sekolah itu dilakukan, Edi berguru kepada Dinas Kehutanan Perkebunan, Perum Perhutani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Ciamis. Tujuannya, ruang hijau di lingkungan sekolah tertata apik.
ddari hasil kreativitasnya itu terbangun kawasan hijau sekitar 1,5 hektar. Bangunan sekolah yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar 11 kelas sekitar 5.500 meter persegi. Satu kelas di SMPN 7 Ciamis rata-rata berisi 25 murid.
hijau itu mutlak harus dilihat, tak hanya imanjinasi dalam mata pelajaran di ruang kelas. Lewat metode ini, murid pun senang bermain dan berkeliling mengamati pepohonan di luar kelas. Mereka tak "tersiksa" lagi menerima pelajaran karena tidak terkungkung di ruangan.
Pemaknaan dari perspektif budaya hijau itu dinilai lebih dalam karena sebelumnya mereka sudah mengenal berbagai jenis pohon di sekitar kampungnya. "Sebagian besar murid adalah anak-anak petani di pedesaan," ujar Edi.
Hasil proses belajar-mengajar seperti itu terbukti membuat banyak alumnus tertarik bidang pertanian. Tak sedikit dari mereka melanjutkan ke sekolah kejuruan bidang pertanian. Padahal, sebelumnya, lulusan SMP itu dipaksa pun tak banyak yang tertarik melanjutkan ke jurusan pertanian.

Mendapat perhatian

Sekolah hijau menjadi sekolah yang "seksi" dan mendapat perhatian dari berbagai pihak. Di Bandung, pada Selasa (24/5), misalnya, muncul Deklarasi Sekolah Hijau Jabar (Jabar Go Green School) yang diprakarsai Yayasan Hijau Buana Sejahtera didukung berbagai pihak termasuk Pemprov Jabar. Deklarasi yang disaksikan Sekjen Kementerian Pendidikan Nasional ini bertujuan memperkuat upaya menumbuhkembangkan budaya ramah lingkungan.
Mengembangkan sekolah bagai persemaian nilai-nilai ramah lingkungan bagi putra-putri bangsa, meningkatkan fungsi ekologis sekolah sehingga tercipta lingkungan yang asri, nyaman, dan sehat. Lalu, tercipta lingkungan sekolah yang mendukung penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan.
Program penanaman pohon di sekolah dinilai tepat sehubungan rusaknya lingkungan. Tentu ini tak sekadar menjadikan sekolah berwawasan lingkungan dalam arti fisik, tetapi juga berarti tindakan. Pembentukan mental setiap sivitas sekolah ini yang justru tak mudah.
Pendidikan tak sekadar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur insani bagi kemajuan peradaban bangsa, termasuk kecintaan terhadap lingkungan. Di Indonesia terdapat sekitar 57 juta tunas bangsa disertai 2,7 juta guru yang potensial menunjang pembentukan budaya ramah lingkungan itu.

Dikutip dari KOMPAS , KAMIS, 9 JUNI 2011

Minggu, 19 Juni 2011

Wiryo Suparjo : Jalinan Rumput Liar Sang Cantrik


WIRYO SUPARJO

Lahir : Desa Sempon, Purbalingga, Jawa Tengah, 5 Juni 1957
Istri : Zurah (54)
Anak : Hidayat Bayu Aji (25)
Penghargaan :
- Peraih 18 penghargaan bidang kerajinan tingkat lokal hingga nasional

Rumput liar dan guguran daun kering merupakan sumber inspirasi bagi Wiryo Suparjo (54). Melalui jalinan rumput liar dan eceng gondok, cantrik ini ingin menularkan kemandiriannya.

OLEH IRENE SARWINDANINGRUM

Wiryo adalah satu-satunya perajin serat alam yang tercatat di Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, Sumatera Selatan. Setidaknya 18 penghargaan bidang kerajinan telah dia peroleh, baik tingkat lokal maupun nasional. Dia juga pernah mampu memasarkan hasil kerajinan serat alamnya ke luar negeri, di antaranya ke Perancis dan Jepang.
Sudah 18 tahun Wiryo menggeluti kerajinan serat alam. Kini, kepekaannya melihat keindahan serat-serat yang tersembunyi pada benda-benda sederhana di sekitarnya telah betul-betul terasah.
dari kebun dan rawa-rawa di dekat rumahnya, siang itu Wiryo memungut pelepah kering nyiur. Jemarinya mwenelusuri guratan-guratan di pelepah kuning keemasan itu. "Ini lihat, polanya seperti ombak. Bagus sekali untuk dijadikan lukisan," kata Wiryo yang langsung membawa pelepah tersebut ke bengkel kerajinan serat alam "Karya Sejati" miliknya di Plaju, Palembang , Sumatera Selatan.
Lukisan yang dimaksud Wiryo adalah susunan serat alam yang disusun menjadi gambar dan dibingkai dengan rotan. Kebanyakan gambar menampilkan pemandangan alam. Bahannya mulai dari daun, kulit pohon pisang, maupun rumput yang dikeringkan. Kerajinan karyanya banyak dikirim ke hotel-hotel di Bali.
Karya Wiryo lainnya di antaranya sandal, kotak, keranjang buah, tas, hingga furnitur dari anyaman serat alam. Agar kuat, anyaman itu diberi kerangka rotan. Setelah pernah mencoba anyaman eceng gondok, saat ini Wiryo lebih banyak menggunakan rumput kelingi.
Anyaman rumput kelingi sangat mirip dengan anyaman eceng gondok, tetapi lebih tahan jamur dan awet. "Ini hasil pengembangan saya terbaru," tuturnya.
Wiryo memang tidak sekadar menjadi perajin. Dia ibarat peneliti di bidang kerajinan serat alam. Kegemarannya adalah memanfaatkan tumbuhan yang biasanya terbuang dan tidak digunakan.
Lelaki kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, itu rajin menelusuri daerah-daerah di Sumatera Selatan untuk mencari jenis-jenis serat alam yang dapat diolah menjadi kerajinan. Dari perjalanan ke berbagai daerah tersebut, Wiryo berhasil menemukan lima jenis pisang lokal Sumatera Selatan yang berkualitas untuk diolah menjadi hasil kerajinan. Masing-masing jenis pisang menghasilkan warna dan karakter berbeda.
"Saya paling suka piang kluthuk hitam dan pisang hutan di daerah Musirawas. Pisang hutan ini oleh penduduk hanya dianggap makanan monyet. Seratnya sangat kuat. Warnanya juga unik, variasi hitam dan putih," tuturnya.
Saat ini, Wiryo tengah tertarik mengembangkan kayu hutan yang mempunyai uliran di batangnya. Kayu yang dia sebut kayu sriwijaya ini pun tidak banyak dimanfaatkan karena batangnya terlalu kecil.

Jatuh bangun

Terlahir dari keluarga perajin serat nanas di Purbalingga, Wiryo justru bersekolah di sekolah teknik menengah jurusan teknik sipil. Kisah hidupnya bisa dibilang berliku. Sekitar tahun 1972, Wiryo sempat dicari-cari karena dituduh memalsukan produk cat. Padahal, menurut pengakuannya sebenarnya dia bersama kawan-kawannya tak bermaksud memalsukan cat. Mereka menggunakan kaleng bekas dan diisi dengan cat produksinya lebih karena kekurangan modal. "Eh, malah dituduh memalsukan cat," ujarnya.
Masanya sebagai cantrik (murid) di sebuah sanggar kerajinan di Lenteng Timur, Jakarta, menjadi titik awal pemikiran untuk mendalami kerajinan serat alam.
Saat itu tahun 1978. Seorang pelatih dari Jerman dihadirkan untuk melatih 16 cantrik yang tengah berguru di sanggar tersebut. Tanpa disangka, orang kulit putih itu mengumpulkan berbagai tanaman dari lingkungan sanggar antara lain eceng gondok, bambu, dan pelepah pisang. Orang Jerman tersebut menantang para muridnya, benda-benda itu bisa dipergunakan untuk apa.
Tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan tersebut. Sang pelatih Jerman lalu menunjukkan berbagai kerajinan dari beragam serat alam Indonesia. "Aneh juga, justru orang asing yang bisa memperlihatkan keindahannya,"ujarnya.
Tahun 1983, Wiryo mendirikan bengkel kerajinan rotan. Namun, baru sekitar tahun 2000 dia dapat menjawab pertanyaan pelatih Jerman dengan menjajaki kerajinan serat alam. Wiryo memulai dengan anyaman eceng gondok.
Usahanya tidak selalu mulus. Beberapa kali usahanya hampir kandas karena kerugian besar. Meski demikian, semangatnya tidak pernah padam. Setidaknya tiga kali Wiryo harus memulai usahanya dari awal lagi.
Salah satu badai kerugian itu terjadi tahun 2009. Saat itu tidak ada lagi pesanan furnitur eceng gondok dari luar negeri. Usaha Wiryo terpuruk karena furnitur eceng gondok merupakan produk utamanya.
Omzetnya turun hingga 70 persen. Wiryo pun terpaksa memberhentikan seluruh karyawan di bengkel kerajinannya yang kala itu berjumlah 18 orang. Kehancuran pasar ini juga menimpa perajin eceng gondok lainnya. Kecuali Wiryo, bengkel kerajinan eceng gondok di Palembang memilih tutup. Kondisi inilah yang justru mendorong dia menemukan serat alam lain yang berakhir dengan temuan rumput kelingi yang saat ini terus dikembangkannya.
Wiryo tidak pernah ingin menikmati ilmunya sendiri. Dia membagi keterampilanya dengan harapan semakin banyak orang mampu mandiri dengan memanfaatkan apa yang ada di alam sekitarnya. "Saya melihat banyak sekali orang ke luar negeri jadi TKI. Padahal, alam Indonesia masih bisa menghidupi," katanya.
Wiryo tidak pernah menolak permintaan mengajar kerajinan dari berbagai lembaga. Dia juga melatih dan membina orang-orang yang berminat menjadi perajin serat alam.
Kini sembilan keluarga binaannya masih aktif di serat alam. Demi memandirikan perajin, Wiryo juga mengembangkan teknik menganyam sandal yang tidak membutuhkan jahitan. Hal itu dia lakukan agar perajin tak bergantung pada mesin jahit karena tak semua mampu membeli mesin jahit.
Sesudah menghasilkan rumput kelingi, wiryo juga menghubungi mantan-mantan karyawannya. Dia mengajari mereka menjalin dan menganyam rumput kelingi. Sembilan mantan karyawannya kembali menggeluti kerajinan serat alam. bantuan alat-alat usaha dari PT Pertamina cukup membantu upayanya dan sejumlah perajin binaannya untuk bertahan.
Saat ini pesanan datang dari hotel-hotel di Bali untuk tempat pakaian kotor (laundry) dari rumput kelingi. Pasar internasional pun mulai meliriknya. Namun, Wiryo belum bisa memenuhi semua permintaan karena keterbatasan modal.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 20 JUNI 2011

Rabu, 15 Juni 2011

Gun Soetopo : Berbagai Agrobisnis Buah Naga


GUN SOETOPO

Nama lengkap : Muhammad Gunung Soetopo
Lahir : Sragen, 10 januari 1958
Istri : Elly Mulyati (52)
Anak :
- Lahandi Baskoro (27)
- Sabila Ayu Bestari (19)
Pendidikan : Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB, lulus 1981

Pokok-pokok pohon buah naga berjajar rapi. Tiap pokok disangga tiang semen bertulang atau kayu. Tingginya rata-rata 2 meter dan sulur-sulur pohon menggantung sehat. Sayangnya, musim buah naga di kebun di kaki Gunung Merapi, Yogyakarta, itu berakhir April lalu.

OLEH NINUK MARDIANA PAMBUDY

Buah naga (Hylocereus sp) sejak dua tahun terakhir semakin populer dan mudah ditemui di toko swalayan. Kulit buahnya berwarna merah cerah, sementara daging buahnya berwarna putih atau merah gelap dengan biji-biji seukuran biji sawi berwarna hitam dan kandungan vitamin C-nya tinggi.
Gun Soetopo bersama istrinya, Elly Mulyati, yang merintis kebun buah naga di Dukuh Kertodadi, Pakem, itu. Gun mulai membangun Sabila Farm tahun 2006 dengan menyewa tanah desa. Luas totalnya 8,2 hektar, lebih dari 6,5 hektar di antaranya untuk kebun buah naga. Sisanya ditanami pepaya, srikaya, sirsak, delima, pisang, durian, dan sayuran.
Gun, lulusan Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, bertekad kebun di Kertodadi adalah pelabuhan terakhirnya. Ia bekerja di bidang yang berhubungan dengan pertanian sejak 26 tahun lalu, termasuk lebih dari tiga tahun sebagai pegawai negeri.
"Saya berhenti jadi PNS (pegawai negeri sipil) karena tender proyek diatur pemenangnya dan bergiliran. Komisinya juga diatur," kata Gun di kebunnya, akhir Mei lalu.
Ia lalu memilih jadi petani hortikultura di Depok; menanam melon, semangka, bunga potong, dan membuat media tanam yang hasilnya cukup untuk menghidupi keluarga. Pengalaman menjadi penasihat perusahaan benih hortikultura berteknologi tinggi memberinya tambahan pengetahuan.
"Untuk berhasil dalam produksi hortikutura, kuncinya menguasai benih," kata Gun.

Dianggap sakti

Meski Sabila Farm kerap jadi tempat pelatihan untuk karyawan yang akan pensiun dan mahasiswa, serta dikunjungi tamu dari berbagai negara, bagi Gun, pelatihan itu bukan tujuan, hanya akibat dari niat utamanya.
"Saya ingin mendobrak pertanian agar menghasilkan terobosan bermakna, tidak melingkar terus. Dulu kita impor kedelai. Sampai hari ini pun masih. Begitu juga jagung dan beras. Pelajaran di kelas dari dulu sampai sekarang kok hanya tanah podsolik merah-kuning, lalu dosennya tidak praktik ke lapangan. harus ada cara keluar dari sikap dan cara berpikir rutin," katanya.
Gun sudah membuktikan. Kebun buah naganya menjadi pembicaraan. Bukan hanya karena termasuk perintis penanaman buah naga secara komersial di Indonesia, juga karena dia tak pelit membagi ilmu kepada petani lain, mahasiswa, calon wirausaha, dan pemerintah daerah. Dengan uangnya sendiri, Gun keliling daerah untuk berbagi.
"Ada rasa gelisah yang terus menggelitik. Hortikultura menggunakan satuan energi relatif kecil, tetapi hasilnya besar. Ini tak terjadi pada tanaman padi. Bicara hortikultura tropis, Indonesia punya semua: matahari, air, lahan subur karena banyak gunung berapi, penduduknya lebih dari 50 persen hidup dari pertanian. Tetapi, kenapa orang Indonesia lebih suka buah impor dari negeri sub tropis, yang menurut saya rasanya kurang sedap dibanding buah tropis?" kata Gun.
Buah naga, contohnya. Orang lebih suka membeli yang impor meski rasanya kalah enak dengan buah naga yang ditanam di Indonesia. Padahal sudah rahsia umum, Indonesia menjadi pasar buah apkir yang tak memenuhi standar negara tujuan ekspor utama negara yang bersangkutan.
Ketika memulai kebun buahnya, Gun mendapati tanah yang dia sewa penuh batu padas. Sebagai sarjana bidang tanah, ia tahu bagaimana menjinakkan tanah itu. Apalagi, buah naga masih keluarga kaktus yang tak terlalu menyukai tanah basah.
Daripada mengolah seluruh lahan, dia menggali kotk-kotak ukuran 1 x 1 meter. Dia tancapkan patok semen bertulang sebagai sandaran pohon buah naga.
Dalam satu tahun, setek mulai belajar berbuah. Sekarang buah naga Sabila Farm dijual di Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta. Gun tak menjual ke toko swalayan karena ingin mengajak para penjual buah menjadi wirausaha dengan inovasi, termasuk berani mengenalkan buah baru berkualitas kepada konsumen.
"Tak mudah meyakinkan mereka. Saya komunikasikan berapa harga yang harus ditawarkan dengan marjin keuntungan cukup. Mereka agak kaget, apa mau pembelinya?" kata Gun.
Kini Gun tak sanggup memenuhi permintaan dalam negeri. Padahal, tiap hari datang permintaan dari negara-negara Eropa hingga Amerika Latin yang merasa cocok dengan kualitas buah naga Sabila farm.
Saat dia mulai bertanam, warga sekitar meragukan kemampuannya. Gun yang kerap bekerja hingga hari gelap lalu dianggap sakti sebab mengerjakan tanah berbatu padas. "Apalagi di seberang kebun ada kuburan," katanya terkekeh. Dia semakin dianggap sakti sebab tanah itu sudah menghasilkan buah naga dan menyediakan lapangan kerja.
Gun menitipkan kebunnya kepada warga dengan ikut kegiatan sosial warga desa. "Saat panen, tiap orang saya bagi buah naga. Kebetulan sedesa ini tak sampai 100 keluarga," katanya.

Tidak tamak

Gun membuktikan bertani bisa membawa hidup mulia. namun, dia ingin lebih banyak orang hidup sama atau lebih sejahtera. Mimpinya, Indonesia menjadi produsen hortikultura dunia, setidaknya Asia.
"Untuk itu dibutuhkan keberpihakan pada pertanian hortikultura nasional. Bukan hanya dalam rapat dan seminar, tetapi dalam tindakan dan satu kata dalam perbuatan," ujar Gun.
Daripada berkeluh kesah, Gun memilih bertindak cepat. Ia datangi kelompok tani, perguruan tinggi, dan pemerintah daerah. Ia mengajak orang berpikir dan bertindak di luar yang rutin, menunjukkan berbagai kemungkinan.
Di Pakem, dia memelopori Pawitan (Pasar Wisata Pertanian) untuk pasar produk pertanian. Di Bintan, Kepulauan Riau, dan Pontianak, Kalimantan Barat, petani diajak bertanam buah naga dengan memanfaatkan jejaring pemasarannya.
"Karena Bintan di utara khatulistiwa, buah naga yang butuh penyinaran matahari panjang bisa dipanen bergantian dengan kebun saya yang di selatan khatulistiwa," kata Gun.
Tahun depan, mitra di Bintan mulai berproduksi, disusul Pontianak. Gun juga membagi ilmunya melalui siaran radio di berbagai daerah.
Hidup secukupnya, bekerja keras, tekun, terus berinovasi, dan berbagi, tetap menjadi pedoman Gun sekeluarga. Ia menjadi independensi dengan tidak menjadi partisan dalam segala hal.
Gun juga menjaga diri dari ketamakan. Karena itu, dia memilih bermitra dengan petani di berbagai daerah untuk memenuhi permintaan pasar. "Semua orang bisa melakukan hal sama, tetapi harus langsung aksi. Jangan bolak-balik rapat, tetapi enggak segera aksi. Padahal, pasar menganga, menunggu produk kita," kata Gun.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 16 JUNI 2011

Selasa, 07 Juni 2011

Ismail Kulupani: Tertatih-tatih Menyelamatkan Penyu


ISMAIL KULUPANI

Lahir : Kwandang, 13 Mei 1959
Istri : Ekawati Asriani (51)
Anak :
- Malik Kulupani (26)
- Indrawati Kulupani (23)
- Indriyati Kulupani (19)
Pendidikan : SMA
Penghargaan :
- Pegawai teladan seksi Konservasi wilayah Gorontalo dari BKSDA Sulawesi Utara,
2006

Sendirian menjaga tiga pulau; Pulau Mas, Popaya, dan Raja, di perairan Laut Sulawesi, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, demi menjaga kelestarian penyu. Selama lebih kurang 23 tahun bertugas, Ismail Kulupani menggunakan perahu dayung. Kerap dia tak berkutik melawan aparat yang turut berburu penyu.

OLEH ARIS PRASETYO

K
etiga pulau itu menjadi kawasan Cagar Alam Mas Popaya Raja sejak masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1939. Luas ketiga pulau itu sekitar 160 hektar. Sementara jarak antarpulau yang letaknya berjejer itu tidak sampai 4,8 kilometer.
Jika dihitung dari daratan terdekat, ketiga pulau itu berjarak sekitar 8 km dari Desa Dunu hingga Desa Deme II di Kecamatan Sumalata, Kabupaten Gorontalo

Senin, 06 Juni 2011

Sanny dan Komik Sains "Kuark"


BIODATA

Nama : Sanny Djohan
lahir : Medan, 14 Oktober 1960
Pendidikan : Bidang Bisnis Manajemen, California State, Sacramento, AS, 1980
Pengalaman Kerja :
- Direktur PT Monokem Surya, 1990-2003
- PT Kuark International, 2003-kini
Organisasi :
- Sekretaris Rotary Club Kebayoran
- Wakil Ketua Yayasan Putra-Putri Kampus Indonesia
- Bidang Pendidikan pada American Alumni for Education
Anak :
- Kester Pard (21)
- Melvyn Pard (19)

Mendekatkan sains kepada siswa SD agar suatu saat bangsa ini memiliki ilmuwan-ilmuwan yang mumpuni menjadi mimpi yang terus berupaya diwujudkan Sanny Djohan. Kecintaan pada sains bagi siswa SD itu dtumbuhkan dengan menghadirkan komik Kuark yang membuat pelajaran sains jadi menyenangkan buat anak-anak, orangtua, dan guru.

OLEH ESTER LINCE NAPITUPULU

Demi membuat citra pelajaran sains tak menyeramkan dan hanya cocok buat anak-anak pandai, sejak tahun 2003 Sanny menghadirkan pembelajaran sains lewat majalah berbentuk komik dengan dialog interaktif. Dalam majalah sains bulanan yang dibagi tiga level, untuk kelas I-II, kelas III-IV, dan kelas V-VI, itu tersedia banyak percobaan sains yang dikemas dalam permainan sehingga anak-anak usia SD tanpa sadar paham konsep-konsep sains.
Upaya untuk meluaskan kecintaan pada sains juga dilakukan lewat penyelenggaraan Olimpiade Sains Kuark (OSK) sejak tahun 2007. Meskipun dinamakan olimpiade, penyelenggaraannya tetap menyenangkan dan terbuka buat semua anak.
Jika awalnya OSK diikuti 11.000 siswa, tahun ini bertambah hingga hampir 60.000 siswa dari seluruh Indonesia. Keikutsertaan yang terbuka untuk semua anak membuat para siswa SD yang tak jago sains pun tidak ragu merasakan pengalaman berlomba layaknya sebuah olimpiade.
"Saya ingin semakin banyak anak SD yang ikut OSK. Siswa SD kita ini sekitar 25 jutaan. Jadi, yang ikut itu belum seberapa. Harus bisa menjangkau lebih banyak siswa. Butuh kerja keras, tetapi ini tantangan buat saya dan teman-teman Kuark," katanya.
Sanny tak jera meskipun harus pontang-panting mencari sponsor untuk penyelenggaraan OSK yang finalnya di Jakarta. Bahkan, dia juga mesti mencarikan tumpangan gratis untuk finalis OSK yang ingin ikut, tetapi tak punya uang.
"Saya ajak teman-teman membantu peerta yang tak mampu. Saya bersyukur, ada saja teman yang tergerak membantu anak pintar, tapi tak beruntung itu. Pengalaman ini membuat saya makin tertantang," ujarnya.

Mencari masukan

Keterlibatan Sanny dalam dunia pendidikan bermula dari rasa kesal dan kecewa pada kepala sekolah dan guru di sebuah sekolah swasta, tempat anak-anaknya belajar. Tak ada komunikasi yang baik antara sekolah, guru, dan orangtua. Pengalaman yang dia rasakan itu berbeda saat dia menjadi siswa sejak remaja di Singapura dan AS.
Tak puas dengan sistem pendidikan nasional, Sanny memindahkan kedua anaknya ke sekolah internasional. Ia merasa senang karena di sekolah ini terjalin kerja sama antara orangtua dan guru. Ini membantu siswa agar berhasil di sekolah.
ANak-anaknya merasakan suasana belajar yang menyenangkan setiap hari. Belajar, termasuk sains, tak menjadi beban. Guru juga berdedikasi membantu siswa berkembang.
"Pengalaman itu membuat saya gemas dengan sistem pendidikan di sini. Mau jadi apa anak-anak Indonesia jika pendidikannya tidak bagus? Anehnya, teman-teman justru mendorong saya berkecimpung di pendidikan," ujar Sanny yang kuliah di bidang bisnis dan manajemen.
Dia lalu mencari masukan dari mereka yang paham dengan kebutuhan perbaikan pendidikan. Ketika berdiskusi dengan ahli manajemen anugerah Pekerti, ia malah diminta bertemu Prof Yohanes Surya.
"Saya bingung, apa yang bisa saya bantu di pendidikan Indonesia. Selama ini saya tak peduli karena tidak paham seluk-beluk pendidikan," kata Sanny yang kembali ke Indonesia seusai menamatkan sarjana untuk membantu bisnis keluarga.
Ketika bertemu Yohanes Surya yang giat mengirimkan anak-anak cerdas Indonesia ke ajang olimpiade sains internasional, Sanny seakan mendapat pencerahan.
"Pak Yo bilang, jika saya mau bantu, lebih baik membenahi pendidikan sains di tingkat SD. Soalnya, siswa SMA yang dia bimbing untuk ikut olimpiade masih bermasalah dalam memahami konsep sains," ceritanya.
Sanny pun berpikir untuk membuat sains menyenangkan bagi siswa SD. Dia lalu membuat majalah sains untuk memberi pengetahuan baru bagi anak-anak. Ia bertemu dengan orang-orang yang mendukung idenya. Dia menggandeng Gelar Soetopo sebagai pengarah kreatif untuk membuat agar majalah sains Kuark diterima siswa SD.

Terkejut

Majalah sains Kuark edisi pertama terjual dengan harga Rp 9.000 per eksemplar. "Saya ingat pesan Pak Yo, harga majalah itu harus murah. Pokoknya, ingat kalau rakyat kecil juga harus bisa mengecap pendidikan," tutur Sanny.
Untuk memperkenalkan Kuark, ia bekerja sama dengan beberapa sekolah. sanny kaget karena belum apa-apa pihak sekolah sudah minta komisi sebesar 40 persen dari harga jual.
"Saya tercengang. Masak buku untuk pendidikan harus dimintai komisi begitu besar? Saya sempat tak percaya dengan kenyataan itu. Saya down. Apa niat saya ini benar atau tidak? Sebab, orang-orang pendidikan saja yang dipikirkan sudah bisnis," ujarnya.
Sanny makin terkejut dengan praktik pungutan liar dalam dunia pendidikan. Ketika menyelenggarakan lomba IPA untuk membantu kesiapan Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat SD di sebuah provinsi, ia menemukan apa yang ada pada sebagian orang-orang pendidikan. "Mesti ada setoran," katanya kesal.
Mencari sponsor atau donatur bagi penyelenggaraan kegiatan edukatif juga bukan perkara mudah. Untuk penyelenggaraan OSK perdana, ia mengandalkan kerelaan hati teman dan kenalan untuk menyumbang dana atau hadiah.
Sanny sempat kapok, apalagi dengan adanya komentar miring dari sebagian orang. "Saya ini keturunan. Terus terang orang Chinese jarang melirik dunia pendidikan. Saya pernah ditanya ngapain capai-capai mikir pendidikan, memangnya saya dapat berapa? Saya tak peduli. Yang penting saya bahagia melakukan semua ini," katanya.
Adanya lomba sains akan membuat anak terasah untuk bertanding. "Kalau anak terbiasa bertanding, dia akan ulet, tekadnya kuat, dan semangat belajarnya tinggi."
Namun, Sanny tak mau terlalu birokratis. "Saya enggak kuat ngasih 'uang jalan' untuk aparat, dari kelurahan, kecamatan, sampai provinsi," ujarnya.
Jika melihat perjalanan Kuark dan OSK, Sanny kini merasakan buahnya. Banyak anak, orangtua, dan guru yang berterima kasih dibantu menyukai sains.
"Saya lihat anak-anak kita senang. Anak yang enggak pintar pun tak takut ikut OSK. Mereka bersemangat. Jika anak-anak maju, bangsa kita juga akan maju," katanya.
Kesempatan berkunjung ke berbagai sekolah dan bertemu banyak orang pintar yang ingin membenahi pendidikan membuat Sanny semakin yakin untuk mengenalkan cara belajar sains yang menyenangkan.
"Mesti ada yang dibenahi dalam cara guru mengajar dan menjalankan tugas. Saya dan tim Kuark mau membantu, melatih guru untuk mengajarkan sains yang menyenangkan buat anak-anak. Majalah Kuark itu hanya salah satu ide yang bisa dipakai guru," katanya.
Sanny dan timnya akan menyiapkan penerbitan Kuark untuk siswa SMP. "Siswa SD yang suka baca Kuark jadi kehilangan ketika mereka masuk SMP," ujar Sanny.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 17 JULI 2009

Li Na, Sejarah Baru Tenis China


LI NA

Lahir : Wuhan, Hubei, China, 26 Februari 1982
Pendidikan : Huangzhong University of Science and Technology
Prestasi tenis :
- Tunggal putri : 5 WTA dan 9 ITF
- Ganda putri : 2 WTA dan 16 ITF
- Ranking tertinggi : 4 WTA per 6 Juni 2011

Li Na bukan petenis tercantik, rambutnya tidak pirang. Bahasa Inggrisnya pas-pasan. Intinya, dia bukan petenis yang menjual di mata sponsor. Kalimat itu muncul dalam salah satu blog pemerhati tenis di American Online (Aoinews) saat Li tampil di turnamen besar. Apalagi Li tak suka bermain di lapangan tanah liat. Sponsor makin ragu dan tak yakin Li mampu bersinar.

OLEH IDA SETYORINI

Meski demikian, Li punya senyum yang mampu merebut hati penggemar tenis. Kepribadiannya teguh sekaligus hangat. Li adalah pengukir sejarah baru olahraga China. Dia menjadi petenis China sekaligus Asia pertama yang mengangkat trofi turnamen grand slam Perancis Terbuka.
"Saya siap berlaga di lapangan tenis mana pun. Saya siap meraih grand slam lainnya," ujar penyuka warna hitam itu. Tiga hari setelah dia juara, Rolex menayangkan iklan terbarunya, Li Na mengangkat trofi Suzanne Lenglen seperti dimuat satu halaman penuh di harian International Herald Tribune edisi Senin (6/6).
Kehadiran Li di final Perancis Terbuka memunculkan bahasa baru bagi penonton di lapangan utama Roland Garros, Philippe Chatrier. Saat itu Li tengah memantul-mantlkan bola dan penonton berteriak,"Jia you!" yang artinya lets go! kata-kata itu menambah teriakan yang biasa bergema selama bertahun-tahun, "Come on, Allez," dan "Vamos."
Li dua kali menapakkan kaki pada final grand slam. Di final grand slam pertamanya, Australia Terbuka Januari lalu, Li berhadapan dengan Kim Clijsters (Belgia). "Saya tak punya pengalaman dan gugup," katanya perihal kekalahan dari Clijsters.
Meski kalah, ia menarik perhatian media. Dalam perjalanannya menuju partai puncak, Li, yang unggulan ke-9 menyingkirkan unggulan ke-8, Victoria Azarenka (Belarusia), di babak ke empat dan petenis nomor satu dunia, Caroline Wozniacki (Denmark) di semi final. Li mengukuhkan diri sebagai petenis China pertama yang mencapai final grand slam.

Pelatih baru

Penampilan Li di final grand slam keduanya jauh lebih baik. Ia mempunyai pelatih baru, mantan petenis profesional Michael Mortensen (Denmark). Pelatih lamanya, Thomas Hogstead, meninggalkan Li akhir tahun lalu.
Mortensen melatih Li agar mampu bermain baik di lapangan tanah liat selama beberapa minggu menjelang laga di Roland Garros. Tak banyak perubahan, Mortensen menyesuaikan pukulan Li menjadi senjata pamungkas. Ia meminta Li menjaga pukulan agar tetap rendah dan menemukan momen yang pas saat memukul bola. Untuk tampil bagus di lapangan tanah liat, petenis harus memukul saat bola memantul pada titik tertinggi. "Hanya perubahan kecil," kata Mortensen.
Perubahan kecil itu membuat Li sukses menyingkirkan Victoria Azarenka di perempat final dan Maria Sharapova di semi final. Li memakai senjata pukukan kuat, mendatar, dan servis akurat.
Perubahan kecil itu mengubah sejarah Li. Sebelumnya Li tak pernah merengkuh gelar juara di lapangan tanah liat. Dia hanya mencapai semi final di turnamen Madrid, Spanyol dan Roma, Italia, dalam pemanasan menuju Perancis Terbuka.
Sebagai petenis, Li tak punya pukulan istimewa. Namun, dia mampu memukul bola dengan keras, memaksa lawan bertahan di baseline, dan tak membiarkan lawan nyaman di lapangan.
Pertemuan Li dan Mortensen serba kebetulan. Pelatih sekaligus ayah Caroline Wozniacki, Piotr Wozniacki berteman dengan Alex Stober, pelatih fisik Li. Dialah yang merekomendasikan Mortensen, kapten tim Piala Davis Denmark.
"Li petenis yang sudah jadi dan berusia 29 tahun. Ia sering kehilangan konsentrasi dan kurang fokus. Itu yang saya benahi," kata Mortensen.

Dari bulu tangkis

Perkenalan Li dengan tenis bermula dari bulu tangkis. Saat Li berumur 6 tahun, ia menekuni bulu tangkis seperti ayahnya, Li Sheng Peng, yang tak terjun ke bulu tangkis profesional karena Revolusi Kebudayaan di China. Sang ayah meninggal dunia kala Li berusia 14 tahun.
"Dulu saya gemuk sehingga ayah-ibu menyuruh saya berolahraga," kata Li mengenang.
Namun, pelatihnya menilai Li lebih bagus bermain tenis. Si pelatih meminta orangtua Li mengizinkannya beralih ke tenis saat ia berusia 8 tahun. Pada usia 9 tahun, Li beralih ke tenis.
"Ketika saya mulai latihan tenis, olahraga itu tak populer di China. Bahkan tidak ada di televisi," ujar Li yang bergabung di tim tenis nasional tahun 1997 dan menjadi petenis profesional sejak 1999.
Akhir 2002 Li meninggalkan tenis dan fokus menyelesaikan kuliah di Huangzhong University of Science and Technology. Dia menuntaskan studinya di bidang jurnalisme tahun 2009. Selama kuliah, rekan-rekannya di kampus tak ada yang tahu Li seorang petenis.
"Saya tak pernah bicara soal tenis atau sebagai petenis. Tenis bukan olahraga populer. Kalau saya membahas tenis, mereka tak tertarik," kata Li.
Antara 2002 hingga 2009 Li kembali ke tenis karena orangtuanya terus-menerus memintanya menekuni tenis. Ia juga berpikir karier tenis lebih menjanjikan ketimbang sebagai jurnalis. tahun 2004 Li kembali ke tim nasional dan menikah dengan Jiang Shan, pelatihnya pada 2006.
"Orangtua terus mendorong sampai saya jenuh mendengarnya. Saya tak suka dipaksa. Namun, saya cinta tenis, jadi saya kembali. Kalau berhenti main tenis, saya bakal kehilangan segalanya," ujar Li.
Hingga 2004 Li bertarung di sirkuit Federasi Tenis Internasional (ITF) dan turnamen Asosiasi Tenis Wanita (WTA). Total dia mengoleksi 19 gelar juara tunggal putri dan satu gelar WTA dari turnamen Tier IV di Guangzhou. Ia masuk 100 besar dunia dengan peringkat 80 WTA.
Mulai 2005 Li meninggalkan arena ITF dan sepenuhnya berlaga di WTA. Sepanjang karier, Li menghadapi masalah klasik profesional, yakni sakit dan cedera yang membuatnya menjauh dari lapangan. Ia berkali-kali cedera hingga absen lama dari arena. Peringkatnya terlempar dari 100 besar menjadi 140 kala berlaga di Australia Terbuka 2008.
Setelah final Australia Terbuka 2010, Li gagal di empat turnamen berikutnya. Ia memecat suaminya sebagai pelatih. "Saya berusaha tak mengatakan saya memecat kamu," kata Li yang tetap mencintai suaminya. Dia menyadari, tenis dan cinta bukan paduan yang mudah diramu.
"Sulit melatih istri. Bekerja dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda," kata Jiang yang menjadi lawan latih tanding Li dan mengurus segala keperluan istrinya.
"Setiap hari saya siap melakukan apa saja untuknya. Tak peduli sebagai pelatih, lawan latih tanding, atau pemungut bola. Apa pun agar dia fokus dengan kariernya," ujar Jiang.
Li gembira dengan kehadiran Mortensen yang mengurangi beban sang suami. "Dia tak punya waktu mengurus dirinya sendiri. Segalanya untuk saya. Kelak jika pensiun, saya akan menjadi istri yang mengurus suami. Itu balasan saya atas jasanya," ujar Li yang kini berperingkat 4 WTA.
(RTR/AFP/AP)

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 7 JUNI 2011

Minggu, 05 Juni 2011

Apa Adanya ala Sabar


SABAR


Lahir : Surakarta, 9 September 1968
Pendidikan:
- SD Gulon Surakarta
- SMP Purnama, Surakarta
- SMA Wolter Monginsidi, Surakarta, sampai tahun ketiga tetapi tak lulus
Istri : Lenie Indria (34)
Anak : Novalia Eka Fadriani (9)
Prestasi :
- Atlet PON XIV di Jakarta 1996
- Juri PON XV Surabaya 2000
- Medali emas pada "18th Sport Climbing Asian Championship, Korea selatan"

Berdiri tegak di pelataran Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (29/5), Sabar tak merasa jengah apalagi rendah diri di samping Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng. Sabar tahu pasti, ia yang hanya memiliki satu kaki adalah bintang yang sebenarnya hari itu.

OLEH NELI TRIANA

Benar saja, meski sempat dihambat perizinan untuk kegiatannya pada hari Minggu pagi itu, niat Sabar memanjat Tugu Selamat Datang di Bundaran HI bisa dilaksanakan.
Menanggalkan besi penopang kaki kanannya, pukul 09.14 Sabar berenang di kolam Bundaran HI menuju Tugu Selamat Datang. Masih basah, dia langsung menggapai tali dan memasang peralatan di badannya. Dalam waktu 10 menit, puncak tugu dicapainya. Di ketinggian tugu di tengah Patung Selamat Datang, ia mengibarkan bendera Merah Putih.
Tugu Selamat Datang mungkin sepele bagi Sabar yang terbiasa mendaki gunung dan panjat dinding. Ia adalah peraih medali emas dalam kejuaraan "18th Sport Climbing Asian Championship" di kota Chun Cheon, Korea Selatan, 26-31 Agustus 2009.
Sabar menyandang juara pertama dalam kategori panjat cacat (para climbing). Kecepatannya menyelesaikan lomba hanya 54 detik, terpaut jauh dari juara kedua yang memakan waktu lebih dari tiga menit. bahkan, catatan waktu Sbar lebih baik daripada juara lomba panjat bagi peserta normal.
"Hidup saya jalani apa adanya" katanya.
Apa adanya ala Sabar adalah terus melakukan dan menekuni hal-hal yang disukainya. Apa yang disukainya? Mungkin semua kegiatan yang berbau alam bebas. Sebut saja, panjat dinding, mendaki gunung, bersepeda, dan membuat sendiri berbagai perlengkapan kegiatan yang butuh keberanian serta tekad kuat itu.
"Semua itu hobi. Kalau untuk hidup, saya mau kerja apa saja," katanya. Mencuci pakaian sampai peralatan untuk mendaki gunung, termasuk mendesain dan menjahit sendiri berbagai tas untuk kegiatan alam bebas, dia lakoni.
Keahliannya di bidang olahraga khususnya panjat dinding, membuat dia diperaya membuat papan panjat. Pesanan pembuatan papan panjat sudah banyak dipenuhinya.
Sabar juga memegang sertifikat resmi yang memungkinkan dia bisa mengerjakan proyek pembersihan gedung-gedung tinggi. "Saya biasa membersihkan kaca, atap, dinding gedung-gedung di Solo (Jawa Tengah) dan kota-kota lain, sesuai orderlah," katanya.

Petaka dan berkah

Hidup Sabar tidak mendadak penuh optimisme dan sukses. Pada 5 April 1990, usai mengunjungi teman di Jakarta, ia pulang menumpnag kereta barang menuju rumahnya di Solo. Saat kereta berhenti di Stasiun Karawang, Jawa Barat, Sabar turun membeli minuman. Naas, saat berusaha menggapai pegangan di salah satu gerbong, ia terjatuh tepat saat kereta bergerak. Kaki kanannya terlindas roda kereta.
"Kaki kanan saya diamputasi, nyaris sampai pangkal paha," ceritanya. Seminggu dirawat di Rumah Sakit Karawang, Sabar yang kala itu duduk di bangku kelas II SMA berkeras pulang meski dokter tak mengizinkan.
Dia terpuruk. Pada usia belasan tahun, kehidupan Sabar seperti dipangkas paksa. "Tetapi teman-teman terus meledek saya. Begini saja kok menyerah, kata mereka. Ini ngracuni pikiran saya untuk naik gunung lagi," ujarnya.
Tak sampai setahun pascakecelakaan, tahun 1991 Sabar mencoba mendaki Gunung Lawu yang tak jauh dari Solo. Dengan kaki kanan menggunakan penopang besi, di percobaan pertama itu ia mencapai Pos 3. Sepekan kemudian ia mendaki lagi dan berhasil mencapai puncak lawu.
Sederet gunung lain di Jawa di taklukkan Sabar tak lama setelah Lawu, seperti Gunung Merapi dan Merbabu. Bersama teman-temannya pencinta alam di Solo, ia melakukan penyusuran Sungai Bengawan Solo dari Wonogiri hingga Gresik. Sabar pun hobi bersepeda. Ia pernah bersepeda dari Solo ke Denpasar, bali, yang disebutnya "Tour Tunggal Si Kaki Tunggal".
Ketertarikan Sabar pada olahraga yang memacu adrenalin dimulai sejak kanak-kanak. Tempat tinggalnya berdekatan dengan Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) di kawasan Jebres, Solo, menyebabkan dia sering melihat mahasiswa berlatih panjat dinding. Remaja Sabar terpesona dengan polah para pencinta alam itu yang menurut dia berani tetapi juga cermat dengan berbagai peralatan pengamannya.
Kedekatan lokasi menyebabkan Sabar akrab dengan para mahasiswa pencinta alam dan ia beberapa kali diajak serta dalam kegiatan mereka. Sabar pun ketagihan. Pergaulannya lalu tak terbatas dengan pencinta alam UNS saja. Teman-temannya menjadi penyemangat hidup.
"Ibaratnya, saya ikuti kemana Bengawan Solo mengalir. Saya nikmati saja," ucapnya.
Berpegang pada prinsip sederhana itu, Sabar mendapatkan kepuasan diri. Ia pun menemukan belahan jiwanya, Lenie Indria, tahun 2000. Lenie bertemu Sabar di Luweng (goa) Supen, Wonogiri. Waktu itu, mahasiswi yang aktif dalam kegiatan pencinta alam Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Surakarta itu mengikuti telusur goa dan Sabar menjadi salah seorang pelatihnya.
Selain hidup dari usaha Sabar, pasangan ini juga mengelola kedai yang disebut Mapala alias "makan pakai lauk saja" di rumah mereka di Jebres.

Ekspedisi Merdeka

Memiliki keluarga kecil yang membuat hari-harinya semakin berarti, dan mata pencarian yang bisa diandalkan, tak membuat Sabar berhenti menekuni hobinya.
Didukung tim yang terdiri dari teman-teman, beberapa orang yang mau repot mengurus berbagai hal, dan mumpuni di bidang kegiatan alam bebas, Sabar akan mendaki gunung-gunung tertinggi di dunia. Ia berencana mendaki Gunung Kilimanjaro di Tanzania dan Gunung Elbrus di Rusia.
Kegiatan tersebut dibungkus dalam Pendakian Gunung Tunadaksa Indonesia: Ekspedisi Merdeka 2011.
Memanjat Tugu Selamat Datang adalah salah satu upaya Sabar untuk menggalang dukungan termasuk pendanaan sekaligus bantuan pengurusan perizinan dari Pemerintah dan masyarakat luas.
"Rencananya, tim berangkat pertengahan Juli 2011. Ekspedisi akan memakan waktu sekitar satu bulan dan ditargetkan tepat pada 17 Agustus 2011 saya ada di Puncak Elbrus," kata Sabar.
Tujuan diadakannya Ekspedisi Merdeka tak lain untuk menunjukkan bahwa penyandang cacat bisa melakukan apa pun seperti saudara-saudara mereka yang normal.
"Untuk Indonesia, bangkitlah. Kita bisa!" kata Sabar tegas. Semoga sukses, Sabar.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 6 JUNI 2011