Selasa, 30 Maret 2010

Thio, Potehi dan Ihwal Asimilasi

Panggung mini serupa teras rumah yang disebut Pheliauw, ukuran 120 sentimeter x 100 sentimeter berwarna dominan merah itu, mendadak menjadi "dunia" yang hidup begitu dalang Thio Tiong Gie menyeruakkan sosok boneka potehi. Didahului "suluk" berbahasa China Hokian dan musik dari instrumen gembreng, kecer, kendang, dan pentung kecil tiak ko yang ditabuh riuh, boneka potehi pria itu memperkenalkan diri dan pentas wayang dimulai.
THIO TIONG GIE
Nama lain : Teguh Chandra Irawan
Lahir : Demak, jawa Tengah, 9 januari 1933
Istri : Hoo Sian Nio
Pendidikan : Kelas V Sekolah Dasar Chu Hoo Kong Sie, Semarang
Debut dalang : 1958
Usaha : Bengkel las "Bintara" Semarang
Anak : 7 orang, cucu 22 orang, cicit 1 orang
oleh ARDUS M SAWEGA
Sebelum pentas, Thio membuat ritual membakar uang kertas kimcoa dipanggung disertai mantera. "Maksudnya buat membersihkan roh jahat agar tak mengganggu pementasan" ujar Thio yang petang itu berbusana Yongkai merah. Ritual yang sama dia ulang di akhir pekan.
Pentas wayang potehi berbahasa Indonesia itu berlangsung di sebuah rumah yang luas dan indah bergaya China di kawasan Kebagusan, jakarta Selatan, akhir februari lalu. lakonnya "Jenderal Perang Angkatan Kedua Shie Teng San Memimpin Bala bantuan ke Kerajaan Sie Liang". Ini produksi perdana Unima (Perhimpunan Internasional Seni Marionet) Indonesia dalam bentuk kolaborasi wayang potehi dengan koreograpi tari.
Pertunjukan wayang potehi ini lebih beraroma nostalgia bagi mereka yang pernah menontonnya pada 1950-1960 an. bagi sebagian warga di Jawa, tradisi wayang potehi memberi makna berarti.
Tradisi wayang potehi dari Poo Thay Hie yang berarti kantong tangan dari kain, di Tiongkok lahir di kota Chuan Chiu, Hokian. Itulah tanah leluhur Thio Thiam Soe, ayah Thio Tiong Gie. Konon, tradisi ini lahir dari lima narapidana pada masa Dinasti Shang Tiao, 3.000 tahun lalu.

Rabu, 24 Maret 2010

Semangat Menulis Rosihan Anwar

Sebagai wartawan senior, tulisan-tulisan Rosihan Anwar tersebar di berbagai media. Usia 87 tahun tidak mampu menyurutkan semangatnya untuk menulis. Dia tetap aktif berkegiatan, meliput , menulis buku, menghadiri berbagai diskusi dan bedah buku, serta mendatangi banyak undangan.

ROSIHAN ANWAR

Lahir : Kubang Nan Dua, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922
Istri : Siti Zuraida (86)
Anak : - dr. Aida Fathya Anwar (60)
- Omar Luthfi Anwar (58)
- dr. Naila Karima Anwar (56)
- Cucu 6 orang dan cicit 2 orang
Pendidikan : - Hollandsch Inlandsche School (HIS), Padang, Sumatera Barat, 1935
- Meer itgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang, 1939
- Algemeene Middlebare School (AMS) Bagian A II, Yogyakarta, 1942
Pekerjaan antara lain :
- Pemred "Pedoman" 1948-1961 dan 1968-1974
- Pengajar dan penatar Jurnalistik, 1970 an
- Wartawan koran "Merdeka", 1945 - 1946
- Pendiri/pemimpin majalah mingguan "Siasat", 1947 - 1957
- Pemred majalah bulanan "Citra Film", 1981-1982
Penghargaan antara lain :
- Bintang Mahaputra Utama III, 1973
- Pena Emas PWI Pusat, 1979
- Third ASEAN Awards in Communication, 1993
- Bintang Aljazair, 2005
- Penghargaan Spirit Jurnalisme-HPN, Februari 2010


oleh ELOK DYAH MESSWATI

Namun, usia pula yang membuat fisik Rosihan tak lagi sekuat dulu. Belakangan ini dia mulai sakit-sakitan. Terkadang tekanan darahnya naik dan ini membuat dia merasa kliyengan, pada lain waktu, dia merasa napasnya sesak. Tetapi meski mulai kerap merasa sakit, hal itu tak menghambat produktivitasnya.
Akhir tahun lalu, dia pergi ke Eropa. Rosihan meliput sampai ke Belanda. Kegiatan ini membakar semangatnya. Ia pergi ditemani putrinya dr. Naila Karima Anwar, menantunya dr. Robby, serta sejarawan Rusdi Husein yang juga dokter.
"Desember 2009, saya diundang Radio Netherland Wereldomroep. Selam 10 hari saya di Belanda. Sebelum berangkat saya chek up, Dokter paru-paru mengizinkan saya pergi, tapi dokter jantung melarang karena tekanan darah saya tinggi. Seminggu kemudian saya chek up lagi, tekanan darah saya normal, maka berangkatlah,...."
Di Belanda, ia mengenang kembali masa liputan 60 tahun lalu ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung, 23 Agustus - 2 November 1949. KMB itu membahas penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Negara Federal Republik Indonesia Serikat, 27 Desember 1949. Rosihan pun menyempatkan diri ke Paris untuk bernostalgia.
Sepulang dari Belanda dan Perancis, banyak tulisan yang ia hasilkan," Saya harus tetap mencari uang, meski memang anak dan cucu saya memberi uang kepada ibu Rosihan, tetapi saya tetap harus bertanggung jawab. Ini agar dapur ngebul," ujarnya.
Ia menulis untuk harian Kompas sebanyak 16 halaman kertas kuarto tik dua spasi. Ia menulis artikel itu selama dua hari.
"(Hasil liputan itu) di Suara Pembaruan dimuat empat kali, Pikiran Rakyat dimuat tujuh kali dan Rakyat Merdeka dimuat 10kali. Untuk artikel di satu surat kabar itu, saya menulisnya masing-masing dua hari, semua saya tik dengan mesin ketik karena saya ini gaptek (gagap teknologi) ha..ha..ha..'" ujar Rosihan.
Rencananya, semua tulisan hasil liputan Rosihan selama di Eropa itu akan di bukukan Penerbit Kompas. Buku itu akan diluncurkan pada ulang tahunnya yang ke 88 tanggal 10 Mei 2010.

Ingatan kuat

Selain semangat menulisnya yang tak menyurut, hal istimewa lain dari Rosihan adalah ingatannya yang kuat. Tentang ingatan itu, katanya," Saya sebenarnya enggak bisa menghapal nama-nama orang jawa yang panjang-panjang. kalau ingatan saya kuat, itu karena my mind is busy! Setiap hari saya sibuk berpikir, apa yang mau saya tulis hari ini?
Sekarang ia sedang memikirkan rencana buku "Sejarah Kecil-Petite Histoire Indonesia" jilid keempat. Ia akan menulis tentang drama keluarga dalam buku tersebut.
Rosihan lalu bercerita tentang keterkaitan mesin tik dengan kelancaran ide menulisnya.
"Kalau mendengar bunyi tik...tik...tik... pikiran saya jalan. Saya punya laptop juga, tapi ngetik enggak keluar bunyinya dan saya harus mengecek dilayar komputer, itu mengganggu saya. Ini membuat ide dalam kepala saya buyar. Lalu saya berikan laptop saya untuk cucu," katanya.
Agar dapat terus beraktivitas, Rosihan menyadari kesehatan memegang peran penting. Karena itu, ia rutin melakukan pemeriksaan kesehatan sekali dalam setahun.
"Dua anak saya (berprofesi) dokter, mereka yang mendorong saya untuk memeriksa kesehatan secara rutin," ujarnya.
"Selain menjaga kesehatan, saya terus berpikir bagaimana tetap mendapatkan penghasilan, apalagi, skarang saya sering sakit dan perlu uang yang tidak sedikit untuk menjaga kesehatan. untuk sekali CT Scan, misalnya, sudah menghabiskan Rp.4,5 juta. Belum lagi ibu Rosihan (istrinya) , setahun ini sakit osteoporosis," ujarnya.
Tentang menjaga kesehatan Rosihan berpendapat, pikiran yang tenang berkontribusi pada kondisi fisik seseorang. Karena itulah dia selalu memilih bahan bacaannya. Ia menyukai buku-buku sejarah, membaca koran terutama pada judul beritanya, sedangkan tulisan para pakar ia lewati agar tak membebani pikiran.
"Saya sudah tahu mereka (pakar) menulis apa, mau bercerita tentang apa. Saya lebih suka menonton televisi, siaran luar negeri, seperti BBC, CNN dan Fox, itu bisa memenuhi rasa ingin tahu saya. Informasi itu membuat saya tak ketinggalan zaman ," katanya.
Rosihan juga rajin berolahraga setiap hari, seusai shalat subuh, dia berjalan kaki dikawasan sekitar rumahnya.
"Saya berjalan kaki sambil berzikir, 45 menit cukuplah. Saya sudah berkeringat. Biarpun hujan, saya tetap berjalan kaki dengan memakai payung. Kata dokter, jalan kaki itu bagus untuk metabolisme tubuh dan pengaturan napas," katanya.
Pola makanpun dia jaga. "Makan itu jangan berlebih, jangan sampai kekenyangan. Saya banyak makan sayur, buah, dan ikan," kata Rosihan.

Bersyukur

Produktivitas dan semangat menulis yang ditunjukan Rosihan mempunyai sejarah panjang. Dia menjadi penulis lepas untuk berbagai media setelah surat kabar yang ia dirikan, Pedoman dibredel.
Pembredelan Pedoman yang sampai tiga kali pun tak menghentikan semangatnya menulis. Pedoman pertama kali di bredel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu di bredel Pemerintah Orde Lama (Soekarno) pada 7 januari 1961 dan terakhir dibredel oleh pemerintahan Orde Baru (Soeharto) tanggal 18 januari 1974.
"Saya habis...bis! Oplah Pedoman saat dibredel tahun 1961 itu 42.000. Waktu dibredel tahun 1974, oplahnya 45.000," cerita Rosihan yang menerima penghargaan Bintang Maha Putra III.
Sejak tak ada lagi Pedoman, Rosihan lalu menjadi penulis lepas. Ia tak hanya menulis untuk media dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti majalah Asia Week, Hongkong; The Strait Times, Singapura; New Straits Times, Kuala Lumpur; The Hindustan Times, New Delhi; Het Vriye Volk, yang diterbitkan di Belanda; dan The Melbourne Age, Australia.
"Teman-teman memberi saya kesempatan menulis. Tetapi saat umur mencapai 60, saya tak boleh lagi menulis. ada aturan di luar negeri , orang yang berusia 60 dianggap tak bisa menulis, padahal saya belum pikun hahaha," kata Rosihan, yang pada Hari Pers Nasional di Palembang, Februari lalu mendapat penghargaan Spirit Jurnalisme dan hadiah uang Rp.25 juta.
Ia menjalani hidup dengan bersyukur. Ia mengingat pesan dalam satu episode Oprah Winfrey Show: paling penting dalam hidup adalah jujur pada diri sendiri, bersyukur setiap hari , mengubah hidup (berjuang), menolong orang lain, dan berpikir positif.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 25 MARET 2010

Selasa, 09 Maret 2010

Ben dan Hanafi, Kampanye Lewat Oblong

Bandung pisan! (banget). Demikian tagline besar yang dibawa di dalam desain-desain kaus rancangan Ben Wirawan Sumardji (330 dan Hanafi Salman (33). Mereka menjadikan oblong sebagai sebuah media kampanye sosial dan budaya kota. Kaus bukan hanya sebagai alat fashion, melainkan juga ensiklopedia sejarah, landmark, aksen, wisata, dan berbagai seluk tentang kota Bandung dan warganya.


BEN WIRAWAN SUMARJI

Lahir : Samarinda, 8 Mei 1976
Istri : Fanny Indrafanti
Anak : Samudera Faris Azis
Pendidikan : - SMAN 6 jakarta
- Desain Produk ITB


HANAFI SALMAN

Lahir : Bukittinggi,14 Februari 1976
Istri : Hilda Purnamasari
Anak : Maliki Qalbun Salim

Penghargaan Mahanagari :

1. Desain Produk Prospektif 2007 dari Dinas Perdagangan Provinsi Jawa Barat.

2. Desain terbaik Jawa Barat tahun 2008

3. Gold Award Desain Terbaik indonesia kategori T-Shirt Packaging Indonesia Good Design Selection tahun 2008


Oleh YULVIANUS HARJONO dan CORNELIUS HELMY


Sejak berdiri akhir tahun 2004, Mahanagari menghasilkan setidaknya 60 desain kaus unik, menggelitik, dan kadang disertai kritik sosial.
Kaus dengan tulisan : "F=V=P" adalah salah satu yang digemari dan banyak dicari pembeli. Teks ini akan mengingatkan kita pada karakteristik urang Bandung dan umumnya Sunda asli yang sering kali kesulitan melafalkan konsonan F, V, dan P saat bertutur kata.
"Bandung itu berbeda dengan kota besar lainnya macam Yogyakarta dan Bali. Kota ini mengalami percampuran budaya demikian besar. Jika tidak mulai diperkenalkan, budaya lama akan hilang, tersubstitusi kultur-kultur baru yang muncul," kata Ben, Direktur CV Mahanagari Nusantara, perusahan pemilik merek Mahanagari yang melahirkan oblong-oblong rasa Bandung pisan itu.
Ia percaya, kaus bisa menjadi media berkampanye sosial dan budaya. Kuncinya pada keunggulan desain. Berbeda dengan merek lain yang sekedar menjual nama "Bandung" ataupun ikon kasatmata, mahanagari senantiasa menyisipkan pesan disetiap desain kaus buatannya.
Salah satunya, desain Menara Eiffel terbalik. "Bandung yang dulu katanya indah, dijuluki Paris van Java, sekarang inikan sudah berubah. Kota ini punya banyak persoalan baru," tutur alumnus Desain Produk Institut Teknologi bandung yang akrab disapa Benben ini. Dia membalikan ibujarinya dari atas kebawah, menjelaskan makna Menara Eiffel terbalik di kaus itu.
Brand Mahanagari ini diciptakan kala krisis moneter melanda tanah air pada penghujung tahun 1998. Berbeda dengan anak muda kreatif lainnya yang kala itu ramai mendirikan industri clothing di distro, Ben justru melawan arus dengan memproduksi kaus berdesain Bandung dan ke khasannya.
"Ketika tahun 1998 ikut pertukaran pelajar ke National University of Singapore (NUS), saya bingung harus memberi suvenir khas apa dari Bandung, selain makanan pada saat hari tukar kado. Kaus yang menampilkan kekhasan kota hanya ada di Bali dan Yogya," kenang Benben.
Menggandeng rekannya, Hanafi yang jago mendesain kaus, Benben memilih meniggalkan pekerjaan desainer di sebuah perusahaan perlengkapan alam bebas. Dia merintis usaha sendiri dengan modal awal dari pinjaman senilai Rp. 5 juta. Ketika itu baru lima desain sederhana yang diciptakan. Jualan dilakukan dengan sistem titip di toko-toko di kawasan Jalan Braga dan Setiabudhi.
Pasar utamanya saat itu adalah para turis asing dan ekspatriat. Pada awalnya Benben dan Hanafi pun rela berjualan langsung di kereta api eksekutif Bandung-Jakarta. Pasca peristiwa bom Bali I, Oktober 2002, usaha mereka sempat merugi. Itu karena bandung sepi turis asing.

Tur wisata budaya

Sempat berhenti berproduksi dua setengah tahun, dengan suntikan modal mertuanya, Ben menghidupkan kembali Mahanagari. Terobosan baru dalam dunia clothing pun dimunculkan.
Mahanagari, menurut Hanafi, membeli desain-desain dari pihak luar, kebanyakan mahasiswa Seni Rupa Desain Produk ITB, Desain itu dihargai senilai Rp.200.000,- dan royalti yang bisa mencapai Rp. 2 juta. Konsep ini adalah sebuah bentuk keuntungan simbiosis dalam upaya ikut membesarkan almamater mereka.
Dalam perkembanganny, bidang-bidang usaha Mahanagari pun kemudian diperluas, yaitu juga mencakup kegiatan tur wisata budaya, ekologi, dan sejarah macam lavatourm, yaitu tour menyusuri jejak geologi kawasan Bandung purba serta tour melihat bangunan bersejarah di bandung, "ini merupakan bagian dari upaya kampanye seutuhnya tentang budaya dan segala potensi bandung," ujar Benben.
"Mahanagari ingin tidak dikenal sebatas penjual kaus, tetapi sebagai perusahaan peduli pada lingkungan dan sosial Kota Bandung. Belakangan saya baru tahu hal itu kini disebut sosial enterpreneur," kata penerima penghargaan Gubernur Jawa Barat untuk Perusahaan Kreatif Prospektif tahun 2007 dan 2008 ini.
Kampanye itu antara lain perjalanan ke Pasir Pawon, tempat ditemukannya manusia purba di kawasan Karst Padalarang. Selain itu, perjalanan ke sumber air Bandung Selatan dan wiasata sejarah Pangalengan. Pesertanya masyarakat umum yang berminat terhadap sejarah dan peduli terhadap berbagai hal aktual tentang Bandung.
Ramah lingkungan
Tidak hanya kaus oblong, Mahanagari kemudian menciptakan desain unik, yaitu paper folder (tempat menyimpan kertas) pengganti plastik keresek, kemasan produk ini menjadi simpul jaringan kampanye antara Mahanagari dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Inovasi pun dilakukan dengan komponen utama dari kardus. Kardus dipilih karena praktis,murah, dapat digunakan lagi, dan bisa didaur ulang. atas desain kemasan yang bernuansa ramah lingkungan ini, Mahanagari mendapatkan penghargaan Gold Award Desain Terbaik Indonesia tahun 2008 kategori T-Shirt Packaging Indonesia Good Design Selection yang diserahkan Presiden Susilo bambang Yudhoyono. "Juri menilai gambar dan desain bukan sekedar alat pemanis jualan, melainkan bisa dipakai untuk kepentingan dan kepedulian sosial," katanya.
Strategi ini ternyata diterima masyarkaat Bandung. Beragam desain laku dijual di pasaran. Hal itu dipengaruhi juga oleh besarnya ikut dalam kampanye mahanagari ke berbagai daerah bersejarah dan khas Kota bandung.
Untuk tahun 2010, Ben berencana membawa Mahanagari terbang lebih tinggi. Ia menyebut rencana itu dengan istilah "menjual otak" diartikan dengan lebih banyak berkreasi dan berinovasi lewat karya dengan harapan bisa dilirik para pemegang modal, seperti perusahaan swasta.
"Apabila sinergis dengan pemegang modal bisa tercapai, diharapkan bisa dapat modal lebih besar guna mengembangkan Mahanagari sebagai perusahaan kampanye sejarah dan pendidikkan yang lebih besar," ujar Ben.
Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 15 DESEMBER 2009

Selasa, 02 Maret 2010

Akom, Insprasi Petani Otodidak

Hasil panen gabah 12 ton-18 ton per hektar bagi Akom Kartim (45) awalnya terdengar mustahil. Bertahun-tahun menekuni profesi petani padi, produksinya mentok 6 ton per hektar. Namun, rasa penasarannya terjawab setelah mencoba pola budidaya system of rice intensification atau SRI.
AKOM KARTIM
Lahir : Karawang, 10 Mei 1964
Pendidikan : - SD Cariumulya (1976)
- SMP PGRI Telagasari (1979)
- SMA PGRI Karawang (1982)
Istri : Iyat Nurhayati (35)
Anak : Nur Aini (19)
Muhidin (11)
Prestasi : Petani Teladan Tingkat Nasional 2009
Oleh MUKHAMAD KURNIAWAN
Sejak pertama kali menguji coba SRI, pada musim gadu tahun 2006, Akom langsung mendapat "jawaban". Ganjalan hatinya sedikit bergeser ketika mendapati hasil panen yang tak terduga jumlahnya. Dari lahan uji coba seluas 1.000 meter persegi, Akom memanen 1,2 ton gabah kering panen (GKP). Itu berarti 12 ton per hektar! jauh diatas pencapaian sebelumnya yang berkisar 5 ton - 6 ton per hektar.
Pada musim kedua, dia menetapkan hati untuk menanami seluruh sawahnya seluas 0,5 hektar di Desa Cariumulya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, jawa Barat, dengan pola SRI. Hasil uji coba itu mempertegas keyakinannya yang masih samar ketika itu, bahwa panen di atas 10 ton per hektar bukan isapan jempol. Namun dia percaya, dengan doa dan usaha sungguh-sungguh, tidak ada yang tidak mungkin terjadi.
Dengan asumsi hasil 1,2 ton per 1.000 meter persegi, Akom membayangkan hasil panen dari sawahnya mencapai 6 ton pada musim kedua. Namun kenyataannya lain. Hasil panen kedua dengan pola SRI hanya 3,75 ton atau 62,5 persen dari perkiraan Akom.
"Rupanya, tidak gampang berharap pada lahan yang telah lama 'sakit' akibat pemakaian pupuk kimia bertahun-tahun. tanah butuh perlakuan khusus agar pulih kembali," kenangnya menyimpulkan hasil panen kedua.
Hasil 3,75 ton menjadi prestasi tersendiri bagi Akom. hasil itu setidaknya lebih tinggi dari pencapaian sebelumnya sebesar 2,5 ton - 3 ton. Akom pun terus mengasah kemampuannya untuk memacu produksi. Dia memanfaatkan penyuluh pertanian untuk bertanya, atau minimal menitipkan pertanyaan untuk disampaikan ke ahli serta meminjam buku tentang pertanian.
Teladan
Pada musim tanam ketiga dengan pola SRI. Akom mendapat "pengikut". Mereka tak lain adalah petani tetangganya sendiri di Kampung Kedunggalih, Desa Cariumulya, yang menilai Akom sukses menerapkan SRI. Mereka tertarik mencoba sekaligus beerharap hasil panennya meningkat dengan menerapkan cara-cara Akom.
Akom yang terus memperkaya diri dengan ilmu baru rupanya menjadi inspirasi. Padinya yang tampak lebih subur, lebih tinggi, serta memiliki rumpun dan malai lebih banyak, membuat hati petani-petani sekitarnya kepincut. Mereka pun menimba ilmu dari Akom.
Hasilnya sedikit demi sedikit, petani yang menerapkan SRI bertambah. Sawah yang digarap pun meluas menjadi 10 hektar, 20 hektar, 22 hektar, dan terakhir 30 hektar pada musim rendeng 2009/2010 ini. Dari Akom yang seorang diri pada tahun 2006, kini ada 36 petani SRI di Kampung Kedunggalih.
Menurut Akom, pola budidaya SRI berdasarkan buku yang dia baca memiliki beberapa aturan. Ada tiga aturan yang menurut dia pokok, yakni menggunakan sedikit air, menanam bibit muda (umur 7-12 hari atau lebih muda daripada sistem sistem biasa yang berusia 25-28 hari), tidak terlalu dalam menancapkan bibit ketanah (sekitar 1 sentimeter), serta satu batang bibit untuk satu titik tanam (biasanya lebih dari satu). semua itu mempengaruhi pertumbuhan, perbanyakan rumpun, serta pengisian bulir padi.
Akom melengkapi pola SRI dengan sistem organik. namun, dia tidak frontal dengan serta merta meninggalkan pupuk kimia, khawatir hasil panennya anjlok, Akom mengurangi dosis urea serta NPK dan mencampurnya dengan kompos. Kini petani Cariumulya umumnya menggunakan 1,5 kuintal campuran pupuk urea dan NPK perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya yang mencapai 3 kuintal-4,5 kuintal per hektar, serta pupuk kandang dan kompos dari sisa tumbuhan.
Sadar bahwa jumlah ternak yang dapat dimanfaatkan kotorannya terbatas, Akom membentuk Kelompok Tani "Dewi Sri", juga berkonsultasi dan bermitra dengan petani peternak lain. Kini ada sekitar 40 anggota aktif yang rutin berkumpul di "markas besar" di belakang rumah Akom.
Mereka bertukar informasi dimana bisa mendapatkan kotoran ternak, jerami, dan bahan baku kompos lain di luar kampung. sesama anggota kelompok juga berbagi mikroorganisme pengurai untuk membantu pembusukan bahan kompos, atau bertukar pendapat dan pengetahuan tentang aneka hal.
Atas keberhasilan itu, Akom diganjar pemerintah pusat dengan predikat Petani Teladan tahun 2009. Bersama dengan 32 petani lain dari seluruh Indonesia, Akom berkesempatan bersalaman dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menerima sertifikat penghargaan di Istana Presiden, Jakarta, Agustus tahun lalu.
kini Akom tidak hanya ditodong untuk "berdakwah" soal SRI oleh anggotanya sendiri, tetapi juga oleh petani dari kecamatan lain, kabupaten lain, juga petugas penyuluh pertanian dan staf dinas pertanian.
Buku pinjaman
Akom tidak pernah menduga usahanya meminjam buku SRI ke seorang Pengamat Organisasi Pengganggu Tanaman (POPT) Kecamatan Telagasari tahun 2006 akan berakhir seperti sekarang. Niat awalnya sebenarnya hanya ingin memupus rasa penasaran soal hasil panen yang tinggi.
"Di buku itu tertulis bahwa usaha SRI di Thailand bisa menghasilkan 14 ton per hektar, di Taiwan 18 ton per hektar, dan beberapa negara Asia lain hingga 12 ton per hektar. Awalnya seperti tidak mungkin, saya penasaran dan mencobanya, ternyata bisa meski belum optimal," ujarnya
Buku itu kemudian menjadi "kitab" yang sering dia bolakbalik saat menemukan masalah di lapangan. Ibarat obat yang mujarab, buku itu lantas menjadi rebutan. Beberapa petani meminjamnya secara bergantian.
Tidak hanya pada tanaman padi, Akom juga mengaplikasikan sistem organik pada komoditas lain yang dia tanam seperti, jambu biji, pisang, kacang panjang dan labu. Komoditas non padi ini menjadi sumber penghasilan tambahan diluar padi yang rutin dia tanam dua kali setahun.
Akom memang tidak pernah berhenti mengeksplorasi ide. dari hasil utak-atiknya, dia menciptakan teknologi tepat guna, emposan tikus elektrik , alat pengembus asap (warga setempat menyebutnya emposan) belerang ciptaannya biasa dipakai untuk mengusir tikus dari lubang-lubangnya, bahkan telah dipamerkan saat kunjungan pejabat ke Karawang. Terakhir, Dinas Pertanian Karawang memesannya ratusan unit, belum termasuk pesanan petani dari luar Cariumulya.
Akom merasa usahanya belum seberapa. Dia masih menyimpan energi untuk mewujudkan ide-ide yang lain. harapannya sederhana, menginspirasi petani di desanya agar peka perubahan, dengan terus belajar dan bergerak maju.
Dikutip dari KOMPAS, RABU, 3 MARET 2010.