Sebagai wartawan senior, tulisan-tulisan Rosihan Anwar tersebar di berbagai media. Usia 87 tahun tidak mampu menyurutkan semangatnya untuk menulis. Dia tetap aktif berkegiatan, meliput , menulis buku, menghadiri berbagai diskusi dan bedah buku, serta mendatangi banyak undangan.
ROSIHAN ANWAR
Lahir : Kubang Nan Dua, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922
Istri : Siti Zuraida (86)
Anak : - dr. Aida Fathya Anwar (60)
- Omar Luthfi Anwar (58)
- dr. Naila Karima Anwar (56) - Cucu 6 orang dan cicit 2 orang
Pendidikan : - Hollandsch Inlandsche School (HIS), Padang, Sumatera Barat, 1935
- Meer itgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang, 1939
- Algemeene Middlebare School (AMS) Bagian A II, Yogyakarta, 1942
Pekerjaan antara lain :
- Pemred "Pedoman" 1948-1961 dan 1968-1974
- Pengajar dan penatar Jurnalistik, 1970 an
- Wartawan koran "Merdeka", 1945 - 1946
- Pendiri/pemimpin majalah mingguan "Siasat", 1947 - 1957
- Pemred majalah bulanan "Citra Film", 1981-1982
Penghargaan antara lain :
- Bintang Mahaputra Utama III, 1973
- Pena Emas PWI Pusat, 1979
- Third ASEAN Awards in Communication, 1993
- Bintang Aljazair, 2005
- Penghargaan Spirit Jurnalisme-HPN, Februari 2010
oleh ELOK DYAH MESSWATI
Namun, usia pula yang membuat fisik Rosihan tak lagi sekuat dulu. Belakangan ini dia mulai sakit-sakitan. Terkadang tekanan darahnya naik dan ini membuat dia merasa kliyengan, pada lain waktu, dia merasa napasnya sesak. Tetapi meski mulai kerap merasa sakit, hal itu tak menghambat produktivitasnya.
Akhir tahun lalu, dia pergi ke Eropa. Rosihan meliput sampai ke Belanda. Kegiatan ini membakar semangatnya. Ia pergi ditemani putrinya dr. Naila Karima Anwar, menantunya dr. Robby, serta sejarawan Rusdi Husein yang juga dokter.
"Desember 2009, saya diundang Radio Netherland Wereldomroep. Selam 10 hari saya di Belanda. Sebelum berangkat saya chek up, Dokter paru-paru mengizinkan saya pergi, tapi dokter jantung melarang karena tekanan darah saya tinggi. Seminggu kemudian saya chek up lagi, tekanan darah saya normal, maka berangkatlah,...."
Di Belanda, ia mengenang kembali masa liputan 60 tahun lalu ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung, 23 Agustus - 2 November 1949. KMB itu membahas penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Negara Federal Republik Indonesia Serikat, 27 Desember 1949. Rosihan pun menyempatkan diri ke Paris untuk bernostalgia.
Sepulang dari Belanda dan Perancis, banyak tulisan yang ia hasilkan," Saya harus tetap mencari uang, meski memang anak dan cucu saya memberi uang kepada ibu Rosihan, tetapi saya tetap harus bertanggung jawab. Ini agar dapur ngebul," ujarnya.
Ia menulis untuk harian Kompas sebanyak 16 halaman kertas kuarto tik dua spasi. Ia menulis artikel itu selama dua hari.
"(Hasil liputan itu) di Suara Pembaruan dimuat empat kali, Pikiran Rakyat dimuat tujuh kali dan Rakyat Merdeka dimuat 10kali. Untuk artikel di satu surat kabar itu, saya menulisnya masing-masing dua hari, semua saya tik dengan mesin ketik karena saya ini gaptek (gagap teknologi) ha..ha..ha..'" ujar Rosihan.
Rencananya, semua tulisan hasil liputan Rosihan selama di Eropa itu akan di bukukan Penerbit Kompas. Buku itu akan diluncurkan pada ulang tahunnya yang ke 88 tanggal 10 Mei 2010.
Ingatan kuat
Selain semangat menulisnya yang tak menyurut, hal istimewa lain dari Rosihan adalah ingatannya yang kuat. Tentang ingatan itu, katanya," Saya sebenarnya enggak bisa menghapal nama-nama orang jawa yang panjang-panjang. kalau ingatan saya kuat, itu karena my mind is busy! Setiap hari saya sibuk berpikir, apa yang mau saya tulis hari ini?
Sekarang ia sedang memikirkan rencana buku "Sejarah Kecil-Petite Histoire Indonesia" jilid keempat. Ia akan menulis tentang drama keluarga dalam buku tersebut.
Rosihan lalu bercerita tentang keterkaitan mesin tik dengan kelancaran ide menulisnya.
"Kalau mendengar bunyi tik...tik...tik... pikiran saya jalan. Saya punya laptop juga, tapi ngetik enggak keluar bunyinya dan saya harus mengecek dilayar komputer, itu mengganggu saya. Ini membuat ide dalam kepala saya buyar. Lalu saya berikan laptop saya untuk cucu," katanya.
Agar dapat terus beraktivitas, Rosihan menyadari kesehatan memegang peran penting. Karena itu, ia rutin melakukan pemeriksaan kesehatan sekali dalam setahun.
"Dua anak saya (berprofesi) dokter, mereka yang mendorong saya untuk memeriksa kesehatan secara rutin," ujarnya.
"Selain menjaga kesehatan, saya terus berpikir bagaimana tetap mendapatkan penghasilan, apalagi, skarang saya sering sakit dan perlu uang yang tidak sedikit untuk menjaga kesehatan. untuk sekali CT Scan, misalnya, sudah menghabiskan Rp.4,5 juta. Belum lagi ibu Rosihan (istrinya) , setahun ini sakit osteoporosis," ujarnya.
Tentang menjaga kesehatan Rosihan berpendapat, pikiran yang tenang berkontribusi pada kondisi fisik seseorang. Karena itulah dia selalu memilih bahan bacaannya. Ia menyukai buku-buku sejarah, membaca koran terutama pada judul beritanya, sedangkan tulisan para pakar ia lewati agar tak membebani pikiran.
"Saya sudah tahu mereka (pakar) menulis apa, mau bercerita tentang apa. Saya lebih suka menonton televisi, siaran luar negeri, seperti BBC, CNN dan Fox, itu bisa memenuhi rasa ingin tahu saya. Informasi itu membuat saya tak ketinggalan zaman ," katanya.
Rosihan juga rajin berolahraga setiap hari, seusai shalat subuh, dia berjalan kaki dikawasan sekitar rumahnya.
"Saya berjalan kaki sambil berzikir, 45 menit cukuplah. Saya sudah berkeringat. Biarpun hujan, saya tetap berjalan kaki dengan memakai payung. Kata dokter, jalan kaki itu bagus untuk metabolisme tubuh dan pengaturan napas," katanya.
Pola makanpun dia jaga. "Makan itu jangan berlebih, jangan sampai kekenyangan. Saya banyak makan sayur, buah, dan ikan," kata Rosihan.
Bersyukur
Produktivitas dan semangat menulis yang ditunjukan Rosihan mempunyai sejarah panjang. Dia menjadi penulis lepas untuk berbagai media setelah surat kabar yang ia dirikan, Pedoman dibredel.
Pembredelan Pedoman yang sampai tiga kali pun tak menghentikan semangatnya menulis. Pedoman pertama kali di bredel Pemerintah Belanda pada 29 November 1948, lalu di bredel Pemerintah Orde Lama (Soekarno) pada 7 januari 1961 dan terakhir dibredel oleh pemerintahan Orde Baru (Soeharto) tanggal 18 januari 1974.
"Saya habis...bis! Oplah Pedoman saat dibredel tahun 1961 itu 42.000. Waktu dibredel tahun 1974, oplahnya 45.000," cerita Rosihan yang menerima penghargaan Bintang Maha Putra III.
Sejak tak ada lagi Pedoman, Rosihan lalu menjadi penulis lepas. Ia tak hanya menulis untuk media dalam negeri, tetapi juga media asing, seperti majalah Asia Week, Hongkong; The Strait Times, Singapura; New Straits Times, Kuala Lumpur; The Hindustan Times, New Delhi; Het Vriye Volk, yang diterbitkan di Belanda; dan The Melbourne Age, Australia.
"Teman-teman memberi saya kesempatan menulis. Tetapi saat umur mencapai 60, saya tak boleh lagi menulis. ada aturan di luar negeri , orang yang berusia 60 dianggap tak bisa menulis, padahal saya belum pikun hahaha," kata Rosihan, yang pada Hari Pers Nasional di Palembang, Februari lalu mendapat penghargaan Spirit Jurnalisme dan hadiah uang Rp.25 juta.
Ia menjalani hidup dengan bersyukur. Ia mengingat pesan dalam satu episode Oprah Winfrey Show: paling penting dalam hidup adalah jujur pada diri sendiri, bersyukur setiap hari , mengubah hidup (berjuang), menolong orang lain, dan berpikir positif.
Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 25 MARET 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar