Selasa, 26 November 2013

Ida Widyastuti: "Ratu" Keripik Pisang Petani dan UKM

IDA WIDYASTUTI
Lahir: Demak, Jawa Tengah, 30 Oktober 1974
Suami: M Haris Setiawan
Anak:
- Nabil Hilmi Daffa
- Keiko Hana Sheika
Pendidikan: D-1 Perhotelan Aryanti, Bandung, 1998-1999
Penghargaan, antara lain:
- Prabaswara Award Kementerian UKM dan Koperasi, 2013
- Juara I Pangan Nusa Award Kementerian Perdagangan, 2012
- Winner ofWinning Women 2012 Ernts & Young
- 100 Perempuan Pengusaha Majalah Swa, 2012
- Juara I wirausaha Mandiri Majalah Femina, 2012

Di mana ada kemauan, pasti ada jalan, Terdengar klise, tetapi semangat itu benar-benar mengubah perjalanan hidup Ida Widyastuti (38). Dari pekerja pabrik elektronik di Batam, Ida kini menjadi ratu pisang dengan omzet usaha miliaran rupiah per bulan.

OLEH NINUK M PAMBUDY & AGNES SWETTA PANDIA

Julukan "ratu pisang"-lebih tepatnya ratu keripik pisang- diberikan 300-an petani pisang tanduk di Trenggalek dan Tulungagung, Jawa Timur, sebagai wujud penghargaan bagi dia.
  Kerja sama dengan petani di Trenggalek berawal tahun 2004. Saat itu Ida baru merintis usaha camilan tradisional, selain mendistribusikan makanan kecil produksi pengusaha mikro.
   Saat mencari bahan baku pisang, di Trenggalek dia melihat petani membuang pisang tanduk seusai Lebaran karena tidak laku. Ida menangkap peluang tersebut. Perlu empat bulan masa mencoba-coba sebelum dia menemukan resep yang pas.
   "Ini termasuk rugi juga," tutur ibu dua putri itu.
   Ada 10 kelompok tani dengan luas 200 hektar bergabung bersama Kelompok Usaha Bersama Mekarsari yang dikembangkan Ida. selain menjamin pembelian pisang, ia juga mengembangkan bibit pisang melalui seleksi dan ikut menanam pisang supaya tahu persoalan produksi pada bagian hulu.
      Sekarang, produksi keripik pisang Ida mencapai 50-75 ton per bulan, bergantung pada musim dan permintaan. Sebagian besar keripik pisang itu dipasarkan ke luar Pulau Jawa. Semua di bawah bendera Roemah Snack Mekarsari yang dia kelola bersama suaminya, M Haris Setiawan.

Ingin kaya

   Hidup adalah perjuangan, benar-benar dilakoni Ida. Ibunya meninggal saat melahirkan Ida dan membuat dia menjadi anak tunggal. Kakek dan neneknya lalu membesarkan dia di desa secara sederhana.
   Ida mengenang, ketika masih duduk di kelas IV SD, dia biasa ikut orang bekerja di ladang karena ingin mandiri secara ekonomi. "Orang dewasa mendapat upah Rp 800 dan saya dapat Rp 300," tutur Ida dalam pertemuan di Jakarta.
   Keadaan ekonomi tidak memungkinkan Ida melanjutkan pendidikan. Perempuan kelahiran Demak, Jawa Tengah, itu lalu bekerja di pabrik peralatan elektronik di Batam pada 1993.
   Warga Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut kemudian membuat target. Ia bekerja sebagai buruh hanya lima tahun. Setelah itu dia harus bisa mandiri dengan berwirausaha.
   "Saya membulatkan tekad, harus keluar dari kemiskinan karena orang miskin tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingin menjadi orang kaya," tutur Ida.
   Meski terbiasa hidup sederhana, Ida merasa kehidupan sebagai buruh tetap berat. Untuk makan sehari-hari, misalnya, dia biasa mengonsumsi lauk telur dicampur tepung supaya bisa dibagi dengan teman satu kontrakan.
   Untuk ke tempat kerja, dia mengayuh sepeda butut. Untuk menyambung hidup dari gajinya sebesar Rp 150.000 per bulan, Ida menyambi berjualan pakaian, mukena, dan seprai.
   Ida mengaku, ketika itu dia sering mengeluh, jenuh, bahkan nyaris putus asa. Mengapa kehidupannya miskin terus? Hal itu membuat dia tidak percaya diri dan tertutup.
   Perubahan besar terjadi pada 1997. Suatu tengah malam dia berjalan ke lapangan di dekat tempat indekosnya, lalu marah kepada Tuhan karena merasa tidak adil. Ketika esoknya terbangun oleh azan Subuh, dia hanya pasrah. "Ingat semalam marah kepada Tuhan," kata Ida serius.
   Seminggu kemudian, dia mendengar suara anak-anak menangis dari dalam hutan. Ternyata suara itu berasal dari gubuk reyot yang dihuni seorang ibu dengan empat anaknya. Anak-anak itu menangis karena lapar.
  "Sejak saat itu saya bertekad tidak akan mengeluh lagi. Setiap bangun pagi saya mengatakan kepada diri sendiri betapa beruntungnya saya," cerita Ida.

Dukungan keluarga

   Selepas lima tahun bekerja di Batam, Ida ingin bekerja di kapal pesiar. Dia pergi ke Bandung, belajar pada sebuah akademi pariwisata dan menyelesaikan program diploma I.
   Alih-alih bekerja di kapal pesiar, Ida bertemu teman semasa SMA, Haris, saat mengikuti reuni SMA di Jombang, Jawa Timur. Keduanya lalu menikah pada 1999.
   Menjadi ibu rumahtangga tidak memadamkan niat Ida mandiri secara ekonomi meski posisi Haris sebagai manajer di perusahaan otomotif memberikan kecukupan materi berupa rumah tinggal dan mobil.
   Ketika suaminya dipindahkan ke Sidoarjo, Ida merasa tidak sanggup jika nantinya terus berpindah-pindah kota mengikuti penugasan sang suami. Dia menghidupkan cita-cita lama memiliki usaha sendiri. Modal awal Rp 600.000 dimanfaatkan Ida untuk memasarkan emping milik kerabat dari Yogyakarta. Itu menjadi awal Ida memasuki dunia distribusi.
   Namun, cita-citanya menjadi distributor produk merek-merek terkenal kandas. "Mereka menolak karena punya jaringan distribusi sendiri," kata Ida mengenang.
   Pantang putus asa, Ida melihat peluang lain, yakni camilan tradisional produksi usaha mikro. Dia mengajari mereka kebersihan, pilihan rasa dan kemasan, membantu permodalan, serta mendistribusikan produk tersebut.
   Tentang tantangan terbesarnya, menurut Ida adalah mengubah pandangan sebagian orang bahwa emansipasi itu ada batasnya. "Selama ini pada sebagian anak perempuan selalu ditanamkan emansipasi itu ada batasnya. Menurut saya, emansipasi tidak ada batasnya. Perempuan bisa berbuat banyak hal, tetapi dukungan keluarga sangat penting," kata Ida.
   Haris mendukung usaha istrinya. "Suami seharusnya bersyukur jika istri ingin berkarier. Orang yang ingin punya usaha sendiri harus siap dan istri saya sudah siap tidak mendapat fasilitas rumah dan mobil dari kantor," kata Haris.
   Dia lalu memenuhi permintaan Ida untuk ikut sepenuhnya terjun ke dunia usaha dan mendirikan usaha jasa logistik guna mendukung bisnis istrinya.
   Suami-istri ini kompak, selalu berdua mengunjungi 50 mitra UKM yang tersebar di belasan kota di Jawa. Mereka tetap mengawasi sendiri kualitas produk mitra-mitra mereka dengan berkunjung tanpa pemberitahuan lebih dulu.
   Menurut Ida, kelebihan sebagai perempuan adalah ketajaman intuisi, keinginan bekerja bersama, saling dukung dan berbagi, serta maju bersama. Dia telah bermetamorfosis menjadi sosok terbuka dan mampu memitovasi orang lain untuk maju bersama.
   Ida telah meretas jalan mewujudkan cita-cita mandiri secara ekonomi tanpa melupakan prinsip saling dukung dengan keluarga, para mitra, dan pelanggan.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 29 OKTOBER 2013

Rabu, 06 November 2013

Muhammad Arif Kirdiat: Membangun Jembatan untuk Bangsa

MUHAMMAD ARIF KIRDIAT
Lahir: Jakarta, 19 Agustus 1977
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten
- S-2 Strategic Studies Nanyang Technological University, Singapura
Istri: Isma Aisiyah
Anak:
- Helvy Nadia
- Muzammi Ghiffar
- Muzaffar Ramadhan
Karier:
- Bekerja di Petrokimia Banten, 2005
- Mendirikan agen perjalanan, 2005
- Manajer Citilink Makassar, 2009
- Mendirikan agen perjalanan Banten Adventure, 2009-kini
Aktivitas:
- Koordinator Relawan kampung
- Ketua Paguyuban Pariwisata Banten

Awalnya, pria ini sering mendapati kenyataan memalukan sekaligus memilukan saat menjelajahi pelosok Provinsi Banten untuk mengantar para turis asing berwisata di kawasan itu. Lelaki ini, Muhammad Arif Kirdiat, adalah pemilik usaha tur dan "travel:.

OLEH DAHLIA IRAWATI

Kenyataan yang dia temukan adalah banyaknya jalan yang rusak, jembatan-jembatan berbahaya yang masih menjadi gantungan warga untuk menjalani kehidupan sehari-hari, dan bangunan sekolah rusak yang bisa membahayakan keselamatan para siswa.
   Berangkat dari kenyataan itulah, Muhammad Arif Kirdiat (36) bertekad untuk melakukan sesuatu bagi warga Banten yang membutuhkan.
   Dia lalu mengajak teman-temannya berhimpun dan berusaha mencari dana guna membangun jembatan, jalan, ataupun bangunan sekolah yang dibutuhkan hampir sebagian besar warga di berbagai pelosok Banten.
   "Kami berprinsip menyalakan 'lilin' lebih baik daripada hanya mencaci 'kegelapan'. Itu sebabnya, daripada hanya berdemonstrasi atau cuma menghujat, kami memilih langsung berbuat sesuatu yang nyata untuk masyarakat," tutur Muhammad Arif Kirdiat, koordinator Relawan Kampung.
   Relawan Kampung adalah organisasi sosial yang fokus dalam membantu masyarakat membangun jembatan rusak di daerahnya. Relawan Kampung didirikan Arif, nama panggilan Muhammad Arif Kirdiat, dengan beberapa koleganya, baik wartawan, bankir, maupun karyawan swasta lainnya, pada 2009.
   Relawan Kampung bersifat "cair" sehingga   Arif mengaku tidak pernah tahu berapa jumlah pasti anggotanya. Namun, satu hal pasti, mereka bertekad "mengerjakan" tugas-tugas yang tidak dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi Banten, seperti memperbaiki jalan, jembatan atau sekolah rusak yang banyak tersebar di pelosok Provinsi Banten.

Banyak pihak

   Dana untuk membangun jembatan atau sarana infrastruktur lain tersebut berasal dari sokongan banyak pihak. Semua bantuan itu dia kumpulkan melalui jejaring sosial atau melalui kontak pribadi dengan kolega dan kenalan para anggota Relawan Kampung.
   "Kami hanya ingin melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, tetapi tidak dilakukan pemerintah. Ini merupakan bentuk protes dan sindiran kami kepada pemerintah yang tidak bisa mengurus warganya," tutur Arif yang berkantor di Jalan Penancangan, Kota Serang, Banten.
   Meski sudah berusia 13 tahun, di mata anggota Relawan Kampung, pembangunan di Provinsi Banten bisa dikatakan masih jauh tertinggal.
   Proses kerja yang dilakukan Arif, suami dari Isma Aisiyah tersebut, biasanya dimulai dengan mengunggah foto-foto jembatan, jalan, atau bangunan sekolah yang rusak di jejaring sosial. Dengan demikian, dia berharap semakin banyak orang yang tahu kondisi sebenarnya di sebagian lokasi wilayah Provinsi Banten.
   Setelah Arif mengunggah foto-foto tentang kondisi infrastruktur di Provinsi Banten itu, biasanya akan memunculkan berbagai tanggapan dari banyak orang di sejumlah tempat.
   "Mereka yang memiliki kegelisahan yang sama dengan Relawan Kampung kemudian akan menanggapi, lalu mengontak kami," ujar Arif tentang sukarelawan dan donasi yang diperoleh Relawan Kampung untuk membangun berbagai infrastruktur di Provinsi Banten.

Penghubung

   Pekerjaan pertama yang dilakukan Relawan Kampung adalah membangun jembatan gantung yang rusak di Desa Wisata Sawarna pada 2009. Masyarakat setempat sudah mengenal Arif sebelumnya karena dia sering menemani wisatawan ke lokasi tersebut.
   Di sini masyarakat setempat yang menghubungi Relawan Kampung melalui layanan pesan singkat (SMS). Masyarakat menuliskan infrastruktur di kampung mereka yang ingin diperbaiki. Untuk Desa Wisata Sawarna, misalnya, warga berharap jembatan gantung yang ada diperbaiki agar kokoh dan bisa menjadi penghubung penduduk antardesa di lokasi tersebut.
   "Waktu itu kebetulan ada acara salah satu partai di alun-alun Kota Serang. Saya minta izin kepada panitia untuk mengumumkan adanya kebutuhan masyarakat akan jembatan gantung itu. Kami lalu mengedarkan kaleng untuk mengumpulkan sumbangan dan alhamdulillah terkumpul Rp 12 juta saat itu saja. Ditambah sumbangan dari berbagai pihak, jembatan Sawarna bisa diperbaiki," kata Arif.
   Upaya mengungkap kemiskinan itu terus dia lakukan. Pada saat jembatan gantung di Lebak terangkat ke permukaan, Arif sedang mencari donatur ke Singapura untuk memperbaiki jembatan lain yang rusak di Lebak.
   Kesadaran masyarakat untuk membangun infrastruktur penghubung dari desa ke desa memang terus meningkat. Tak heran jika Relawan kampung terus kebanjiran permintaan pembangunan jembatan.

Kontrak

   Hingga kini ada tujuh jembatan yang dibangun Relawan kampung bekerja sama dengan berbagai institusi, termasuk Kopassus. Kini, mereka sudah mengikat kontrak dengan salah satu minimarket untuk membangun 14 jembatan di Indonesia.
   Relawan Kampung menargetkan bisa membangun 100 jembatan untuk bangsa ini. Semua itu mereka lakukan agar kesejahteraan masyarakat sedikit demi sedikit bisa terangkat.
   "Kenapa jembatan? Karena jembatan itu seperti menjembatani antara kemiskinan dan kesejahteraan. Jembatan akan menjadi sarana masyarakat untuk bisa belajar, bisa menjual hasil bumi ke daerah lain, dan bisa mengantar mereka mengakses tempat lain untuk menimba ilmu pengetahuan. Biar warga di kampung  tidak seperti katak di bawah tempurung," kata Arif menambahkan.
   Uniknya, dari semua donatur yang menyumbangkan dana untuk membangun jembatan di Provinsi Banten, rata-rata adalah donatur yang datang dari luar Banten, seperti dari Malaysia, Qatar, dan Uni Emirat Arab.
   Perusahaan-perusahaan yang berlokasi, beroperasi, dan berkembang di Provinsi Banten justru tidak ada yang menyumbang lewat Relawan Kampung.
   "Mungkin mereka terikat aturan bahwa CSR (corporate social responsibility) perusahaan harus disalurkan lewat Pemprov Banten," kata Arif, ayah tiga anak ini.
   Meski upaya dia dan teman-teman sering mendapat pandangan "miring" (misalnya mereka dianggap mencari popularitas) atau harus berhadapan dengan orang yang tak suka dengan kegiatan itu, Arif dan Relawan Kampung tetap bertekad membangun jembatan.
   Alasan dia, jembatan itu akan mengantar masyarakat Banten selangkah menuju kesejahteraan.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 31 OKTOBER 2013

Senin, 21 Oktober 2013

Nicodomus Manu: Pengawal 17 Pulau dari Riung

NICODOMUS MANU
Lahir: Sabu, 22 November 1956
Pendidikan: STM jurusan mesin
Pekerjaan terakhir: Kepala Resor Seksi II pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Timur
Istri: Fredrika Djingi
Anak:
- Ricko Reynhard Manu (27)
- Manasye Maximillian Manu (26)
- Yanwar Manuel Manu (24)

Selama menjadi petugas penjaga kawasan konservasi Taman Wisata Alam 17 Pulau, Nicodomus Manu (57) telah mengalami banyak kisah menegangkan. Keberanian, ketegasan, dan kesungguhannya menjaga kawasan konservasi dari pengganggu patut diacungi jempol. Kerja kerasnya itu berbuah penghargaan berupa Kalpataru dan Satya Lencana Pembangunan.

OLEH ARIS PRASETYO/ SAMUEL OKTORA

Taman Wisata Alam 17 Pulau terletak di Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di perairan utara Pulau Flores. Dinamakan demikian karena taman wisata tersebut terdiri atas 17 plau kecil yang masing-masing bernama Pulau Wire, Sui, Taor, Tembaga, Telu, Bampa, Meja, Rutong, Patta, Halima, Besar, Lainjawa, Kolong, Dua, Ontole, Borong, dan Paus. Kawasan berbentuk pulau-pulau kecil ini rawan ancaman para pengganggu, seperti pemburu satwa dilindungi.
   Selain menjadi obyek wisata laut menawan karena pantainya yang bersih, Taman Wisata 17 Pulau juga menjadi habitat beberapa satwa dilindungi, seperti rusa, dan burung. Terumbu karangnya juga indah. Selain menjadi sasaran pemburu satwa, para pencari ikan yang tak bertanggung jawab juga kerap menggunakan bom untuk menangkap ikan. Aksi para pencari ikan seperti itu tentu saja mengancam dan merusak keindahan terumbu karang di kawasan tersebut.
   Nicodomus yang memulai tugasnya sebagai jagawana di taman Wisata Alam 17 Pulau pada tahun 1984, benar-benar menjaga kawasan konservasi itu agar bebas ancaman pengganggu. Ia juga mencegah masyarakat di sekitar kawasan untuk menebang pohon bakau yang termasuk di dalam area kawasan konservasi. Awalnya, tindakan Nicodomus itu dicibir masyarakat sekitar.
   "Di masa-masa awal saya bertugas, masyarakat terbiasa menebang pohon bakau di dalam kawasan. Padahal, itu bisa menimbulkan abrasi dan merusak habitat ikan-ikan kecil. Awalnya mereka melawan saat saya larang menebang bakau, tetapi lama-kelamaan mereka mau mengerti juga dan tidak lagi mengambil kayu bakau dari kawasan," ucap Nicodomus.
   Kini, tepi kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau itu rimbun akibat rapatnya vegetasi pohon bakau. Kondisi itu berbeda jauh dari keadaan 20 tahun lalu saat di sekitar kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau nyaris gundul tidak ada pohon bakau tersisa. Nicodomus berhasil menggerakkan warga sekitar untuk menanami kembali pantai-pantai di Taman Wisata Alam 17 Pulau dengan bakau.

Tak pernah pensiun

   Tak hanya menghadapi gangguan penebangan bakau, Nicodomus juga memiliki pengalaman dengan para pencuri ikan dan terumbu karang. Ia masih bisa mengenang kejadian tersebut dengan rinci, yaitu tepatnya pada 28 Oktober 1994. kala itu, Nicodomus bersama rekannya menangkap 11 orang yang menggunakan speed boat di kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau.
   Rupanya, mereka tertangkap basah sedang mencuri ikan di dalam kawasan konservasi menggunakan potasium. Penggunaan potasium yang beracun amat membahayakan ikan-ikan kecil yang penting untuk pembibitan. Setelah ditangkap, 11 tersangka itu diserahkan Nicodomus kepada aparat kepolisian setempat.
   "Sayang, setelah saya serahkan para tersangka kepada polisi pada hari yang sama ketika mereka ditangkap, tidak ada lagi kelanjutan penanganan kasus tersebut. Bahkan, saya masih ingat persis kasus itu telah didiamkan selama 456 hari oleh polisi," kata Nicodomus.
   Geram karena usahanya menangkap pencuri ikan di kawasan konservasi disia-siakan, Nicodomus lantas menyurati Kepala Kepolisian Daerah dan Gubernur NTT, Menteri Kehutanan, sampai Wakil Presiden Try Sutrisno ketika itu. Isi suratnya adalah meminta agar proses hukum terhadap 11 tersangka pencurian ikan di kawasan taman Wisata Alam 17 Pulau dituntaskan. Niat Nicodomus saat itu adalah agar ada efek jera bagi para pengganggu kawasan konservasi.
   "Saya bahkan sempat ditawari uang Rp 20 juta saat itu agar tidak mengungkit lagi proses hukum atas 11 orang yang saya tangkap. Yang memberi uang dari kelompok tersangka. Namun, saya tegas menolak dan menginginkan agar kasus itu dituntaskan," kenang Nicodomus.
   Akhirnya, perjuangan Nicodomus tak sia-sia. Surat yang ia kirimkan ke pejabat-pejabat di daerah sampai ke Wakil Presiden membuahkan hasil. Kasus hukum penangkapan 11 orang iu dilanjutkan dan mereka dijatuhi vonis sembilan bulan penjara.
   "Sayang, bos di balik 11 tersangka itu tidak diseret di meja hijau. Padahal, ke-11 orang itu hanya orang suruhan," ujar Nicodomus.
   Kisah Nicodomus tak hanya disitu. Ia juga pernah terlibat pengalaman seru dengan pencuri ikan yang menggunakan bom pada 2 Agustus 1992 di kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau. Saat itu, bersama tiga aparat kepolisian yang bergabung untuk berpatroli bersama, mereka menjumpai empat orang menggunakan speed boat sedang melemparkan bom ke arah terumbu karang untuk diambil ikannya.
   "Saat kami dekati, mereka melawan sampai terjadi baku pukul empat lawan empat. Sayang, tiga orang berhasil kabur dengan membawa pistol polisi yang mereka rampas dan hanya satu orang yang kami tangkap. Setelah diproses secara hukum, satu orang itu dijatuhi hukuman lima tahun penjara," ucap Nicodomus.
   Keteguhan Nicodomus menjaga kelestarian Taman Wisata Alam 17 Pulau berbuah manis. Pada 1995, ia meraih Kalpataru atas kegigihannya menghijaukan kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau. Selanjutnya, pada 1999 ia mendapat penghargaan Satya Lencana Pembangunan. Semua penghargaan itu diberikan langsung oleh Presiden RI ketika itu di Istana Negara.
    Selain itu, kini kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau dikenal sebagai salah satu obyek wisata laut di Kabupaten Ngada. Sebagian besar pantai di kawasan itu sudah hijau dan rimbun oleh tanaman bakau. Cerita-cerita tentang pencurian ikan menggunakan bom, perburuan liar satwa dilindungi, atau penghancuran terumbu karang nyaris tak terdengar lagi.
   Kini, Nicodomus memang telah pensiun sebagai pegawai di Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTT. Namun, kecintaannya untuk menjaga kawasan Taman Wisata Alam 17 Pulau tak pernah pudar. Ia masih kerap berkeliling kawasan itu untuk sekadar melihat-lihat keadaan. Terkadang, ia menemani wisatawan yang berkeliling mengunjungi 17 pulau di taman wisata itu.
   "Untuk urusan penghijauan tanaman bakau, saya tidak akan pernah berhenti. Jika bakau rusak, maka pantai akan rusak, ikan-ikan akan kehilangan makanan dan tempat tinggal. Jika semua sudah rusak, apa lagi yang akan bisa dibanggakan di taman wisata laut ini," ujar Nicodomus.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 21 OKTOBER 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

Yosef Katup: Menjaga Warisan Leluhur

YOSEF KATUP
Lahir: Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur (NTT), 1 Mei 1970
Pendidikan: SMP Negeri Iteng, NTT
Istri: Frumansiana Aventina Sanimin (33)
Anak:
- Safronius Subagi (6)
- Edeltrudis Indong (4)
Pekerjaan: Sekretaris Lembaga Pelestarian Budaya Wae Rebo, 2007 hingga kini

Diseelubungi hawa sejuk, kabut yang datang dan pergi menaungi Kampung Wae Rebo di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, akbupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kampung yang berada di ketinggian Pulau Flores itu amat hijau dan diyakini masyarakat setempat dijaga tujuh kekuatan alam.

OLEH SAMUEL OKTORA

Yosef Katup (43), salah satu keturunan moyang Wae Rebo, dari generasi ke-18, dengan penuh semangat bercerita tentang leluhur dan keunikan budaya setempat. Ia juga pemandu wisata dari kampung yang menjadi salah satu warisan budaya dunia UNESCO sejak tahun 2012 itu.
   Ia kerap menemani pengunjung berjalan kaki dari Kampung Denge ke Kampung Wae Rebo. Jarak antara Denge ke Wae Rebo sekitar 9 kilometer (km) dan ditempuh sekitar 4 jam berjalan kaki melewati tiga pos peristirahatan.
   "Nenek moyang kami disebut Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali," kata Yosef.
   Pria tamatan SMP ini tampak menguasai banyak hal, khususnya budaya masyarakat Wae Rebo. Yosef memang berusaha melestarikannya. Ia mampu bertutur tentang adat masyarakat Wae Rebo tanpa membaca catatan.
   Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa'ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.
   Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.
   Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro.
   "Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. namun, bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro," kisah Yosef.
   Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho, dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka  ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.
   Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.
   "Itulah tempat kami, dari tempat ini tampak kota dengan gemerlap cahaya. kami meyakini bahwa daerh yang kami tinggali dikelilingi tujuh kekuatan alam yang berperan sebagai penjaga kampung. Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Kami tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana."

Ritual adat

   Ritual adat itu antara lain kasawiang, yang biasa digelar pada bulan Mei, saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur. Adapun upacara Penti, sekitar November, adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam.
   Pengetahuan Yosef itu diperoleh dengan bertanya kepada para tetua adat, seperti Tua Gendang Wae Rebo, Rafael Niwang (85), dan Rofinus Nompor (76).
   Sebelum menetap di Wae Rebo, menjadi pemandu wisata dan petani, Yosef merantau ke Makassar pada tahun 1997-2000. Ia pernah tinggal di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, menggarap proyek irigasi. Ia juga merantau ke Malaysia tahun 2000-2003, sebelum kembali ke Wae Rebo dan menikah pada tahun 2005.
   Kini, Yosef menjadi rujukan informasi tentang Wae Rebo bagi wisatawan ataupun anak muda setempat. Pengetahuan tentang adat Wae Rebo biasa dia sampaikan saat upacara adat digelar.

Tujuh "niang"

    Di Kampung adat  Wae Rebo ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
   Jumlah rumah adat tak boleh dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8 keluarga. Jika anggota keluarga makin banyak dan dirasa perlu membangun rumah baru, harus di luar kampung adat.
   Rumah adat  Wae Rebo berbentuk khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk.
   Niang Gendang Maro, semacam rumah adat utama, diyakini merupakan tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi daripada 6 niang lainnya.
   Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus. Di ujung atapnya ditancapkan Ngando, yang disimbolkan kepala kerbau, hewan yang dianggap terbesar. Kepala kerbau menjadi penanda telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah ini.
   "Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan kehidupan yang bulat, jangan diwarnai konflik, tetapi ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya musyawarah di rumah adat mengambil posisi duduk melingkar," katanya.
   Pada bagian tengah rumah adat ada semacam tiang utama yang disebut bongkok. Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Inilah Papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan. Rumah adat juga ditopang 9 tiang utama, yang menggambarkan kehidupan dari janin menjadi bayi melewati sekitar 9 bulan dalam rahim.
   Ada pula molang, pada bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dapur, ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga. "Saat bayi lahir didekatkan ke periuk dari dapur, sebab ada nyala api yang menghangatkan tubuh bayi."
   Yosef bercerita, keinginannya menggali dan melestarikan  adat Wae Rebo muncul saat merantau ke Malaysia. "Entah mengapa saya ingin kembali ke Wae Rebo. Ada semacam panggilan untuk menjaga kelestarian budaya kami."

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 11 OKTOBER 2013

Kamis, 03 Oktober 2013

Markus Hayon: Penyelamat Sumber Air Warga Tiga Desa

MARKUS HAYON 
Lahir: Tanah Tukan, Flores Timur, 18 Agustus 1974
Istri: Yuliana Tigabelas
Anak: Roland Arakian (2,8 tahun)
Pendidikan: Sekolah Menengah Pertama Tanah Boleng
Jabatan: Kepala Desa Tanah Tukan, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, NTT (sejak 28 Februari 2013)

Memasuki musim kemarau panjang, warga tiga desa di Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, terancam kesulitan air bersih. Debit sumber mata air satu-satunya, yakni Waikloba, turun sampai 2 liter per detik. Markus Hayon resah atas persoalan ini. Namun, Markus tidak berhenti sekadar mengeluh. Langkah nyata dia kerjakan dengan melakukan penghijauan dengan menanam  pohon jati dan mahoni di padang seluas 52,7 hektar.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Padang "Nepa Belahan" -artinya padang panjang- yang membentang dari bibir Pantai Samasoge sampai Desa Botung. Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sepanjang hampir 6 kilometer sudah berbeda, tidak lagi gersang. Kini, padang seluas 52,7 hektar itu sebagian besar mulai tertutup hutan jati dan mahoni dengan ketinggian 2-15 meter.
   Ketika ditemui di Kantor Desa Tanah Tukan, Flores Timur, beberapa waktu lalu, Markus (30) mengatakan kegiatannya sangat padat. Saat ini, kekeringan sedang mengancam hutan jati dan mahoni yang sudah dan sedang ditanami di kawasan seluas 52,7 hektar.
   "Saya baru saja dari hutan. Saya mengisi air di dalam botol dan drum sebagai peresapan untuk 1.678 pohon jati dan mahoni. Setiap botol dan drum itu saya letakkan berdampingan dengan pohon agar tanaman itu tidak kering ketika menghadapi panas matahari," kata Markus.
   Ia mengatakan tidak pernah merasa tenang apabila hutan jati dan mahoni yang ditanami sejak 2003 itu kekeringan. Budidaya jati dan mahoni di areal seluas 52,7 hektar tersebut untuk menjaga keberlangsungan sumber mata air Waikloba yang jaraknya sekitar 3 km dari Wotan Ulumado, dan 4 km dari Desa Samasoge.
   Tiga desa dengan total penduduk sekitar 3.874 jiwa itu semata-mata bergantung pada sumber air Waikloba. Jika sumebr air itu mengering, masyarakat tiga desa tersebut akan mengalami masalah luar biasa. Pada musim hujan, debit air sampai 142 liter per detik. Namun, setiap memasuki musim kemarau, debit air turun drastis hingga tersisa 2 liter per detik.
   Upaya Markus bermula pada tahun 2003 ketika usianya baru 29 tahun. Namun, kepedulian dan kekhawatirannya terhadap lingkungan sekitar dan sumber air sangat tinggi. Ia tidak tinggal diam.
   "Saya melihat, kalau sumber air itu tidak diselamatkan, warga tiga desa ini akan kekeringan. Apalagi, saat itu kegiatan pembakaran padang sangat tinggi. Setiap hari di padang seluas 52,7 hektar, juga kawasan hutan di bagian hulu dibakar orang yang tak bertanggung jawab," katanya.

Tak kenal lelah

   Markus pun melakukan berbagai upaya, misalnya mengumpulkan botol air mineral di dermaga, di tempat-tempat sampah pada Jumat Agung di Larantuka. Sekitar 5.600 botol dan 75 drum kosong terkumpul. Botol-botol air mineral memang diperoleh tanpa biaya, tetapi drum kosong dibeli dengan harga Rp 145.000 per buah.
   Anakan jati pun dikumpulkan. Langkah pertama, mendatangi Dinas Kehutanan di Larantuka, tetapi tidak ada anakan yang tersedia di sana. Ia tidak kehilangan akal, malah kemudian Markus menyiapkan anakan jati sendiri. Dia menyemaikan biji biji jati yang diperoleh di beberapa tempat secara sporadis. Anakan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong-kantong pembibitan polybag.
   Saat itu sebagian warga-seperti biasa- meragukan kegiatan Markus karena padang itu sangat kering, berada di punggung bukit, selalu dibakar warga, dan menjadi padang penggembalaan kambing. Namun, dia tidak lelah merealisasikan mimpinya, menjadikan kawasan itu penuh dengan tanaman yang bermanfaat seperti jati, mangga, dan pisang.
   "Saya sudah memulai dengan jati putih, mangga, nangka, dan pisang. Tetapi, semua tanaman itu dimakan kambing yang dilepas liar oleh warga dari Desa Samasoge. Saya mendekati kepala desa agar ternak-ternak itu dikandangkan, tetapi ditolak dengan alasan kawasan itu adalah padang ternak," kata Markus.
   Akan tetapi, Markus tetap memiliki niat menghijaukan wilayah itu. Pilihan satu-satunya hanya tanaman jati biasa dan mahoni. Jati dan mahoni ini tidak dimakan ternak kambing. Ternyata kiatnya itu berhasil.
   Memasuki musim hujan pada tahun 2003, dia memperbanyak anakan jati dan mahoni. Sekitar 3.000 anakan kedua jenis pohon tersebut dimasukkan ke dalam polybag.
   Secara bertahap, ia pun menggali tanah di padang gersang itu. Setiap hari sekitar 25 lubang dengan kedalaman 30 sentimeter dan diameter 20 sentimeter digali, dan langsung ditanami. Penanaman dilakukan saat hujan deras disertai angin kencang. Pada saat itu, semua tanaman diyakini bisa hidup.
   Selama musim hujan tahun itu, dia berhasil menanam 2.210 anakan jati. Markus menanam pohon-pohon tersebut di sekitar sumber mata air Waikloba. Akibat kebakaran rutin, kawasan ini tampak kering dan tidak ada pohon sama sekali.
   Meskipun demikian, memasuki musim kemarau, tanaman yang tampak segar selama musim hujan mulai kelihatan kerdil dan kekuningan. Rumput ilalang pun tampak kering kecoklatan sehingga tidak mampu memberi naungan terhadap tanaman jati itu.
   Markus tidak kehilangan akal untuk mengatasi hal tersebut. Dia menyiapkan botol dan drum kosong dan mengisinya dengan air. Tutup botol dilubangi, kemudian diletakkan dengan posisi terbalik pada setiap batang anakan jati. Sementara bagian dasar drum juga dilubangi. Lubang itu dibuat sedemikian rupa sehingga hanya meneteskan air mirip infus.
   Dari total 3.000 pohon jati dan mahoni, yang bertahan sampai musim hujan berikutnya hanya sebanyak 1.873 pohon. Ia bersemangat, masih ada tanaman yang selamat dari ancaman kekeringan. Tanaman periode pertama ini sudah mencapai ketinggian sekitar 20 meter dengan diameter 25 sentimeter.
   Pada tahun 2004-2012, dia berhasil menanam 5.862 pohon jati dan mahoni. Setelah terpilih menjadi Kepala Desa Tanah Tukan, Februari 2013, kegiatan menanam mulai berkurang. Sebagian besar waktu dihabiskan di kantor  desa, memimpin rapat dan menyusun program bersama sekretaris desa.
   "Kami sedang membahas bersama masyarakat adat terkait kegiatan penghijauan lahan kering di wilayah ini. Lembaga masyarakat adat di desa ini sudah mulai diberdayakan, menanami kembali hutan-hutan gundul di desa ini," kata Markus.
   Namun, dia harus memberi pemahaman serinci mungkin mengenai fungsi hutan produktif. Hutan jenis ini, selain menjaga sumber air, melestarikan lingkungan, juga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan langung masyarakat.
   Ia menjelaskan, tanaman jati sekitar 2-3 tahun lagi dapat dipanen. Sementara mahoni butuh waktu sekitar 4 tahun lagi. Di antara kedua jenis tanaman itu, pohon pisang yang ditanam di antaranya sudah mulai bisa dipanen.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 30 SEPTEMBER 2013

Kamis, 26 September 2013

Jumali Wahyono Perwito: Pelopor Pepaya dan Durian Pogog

JUMALI WAHYONO PERWITO 
Lahir: Sukoharjo, 19 Agustus 1966
Pendidikan:
- SD Trangsan 1
- SMP 1 Kartasura
- SMA 1 Kartasura
- Sarjana S-1 dari jurusan Sastra Inggris Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Istri: Galuh Kencana
Anak:
Kayla (kelas II SMP)
Anung (kelas II SD)
Usaha: Primuss Sumber Jaya, bergerak di bidang ekspor mebel dan kerajinan

Krisis finansial global tahun 2009 mengempaskan bisnisnya ke jurang kebangkrutan. Ketika berada di titik nadir itu, Jumali Wahyono Perwito pergi ke Dusun Pogog  yang berjarak 105 kilometer dari Kota Solo, Jawa Tengah, untuk menghibur jiwanya. Di dusun yang menjadi lokasi kuliah kerja nyata semasa kuliahnya dulu, lelaki yang dikenal juga dengan nama Mas Jiwo Pogog ini lantas mengajak warga menanam pepaya.

OLEH SRI REJEKI

Awalnya, Jiwo hanya ingin membantu seorang warga bernama Kang Rimo agar bisa mendapat penghasilan tanpa perlu merantau. Kang Rimo adalah salah satu panutan warga di dusun yang terletak di Desa Tengger, Kecamatan Puhpelem, Kabupaten Wonogiri, Jateng, ini. Ia ketua kelompok tani dan takmir masjid yang suara azannya mampu memanggil penduduk untuk shalat di masjid setempat.
   Menjelang tahun baru, warga Pogog akan berbondong-bondong merantau untuk berjualan trompet, termasuk Kang Rimo. Jiwo pun lantas teringat pengalamannya melihat budidaya pepaya di Kecamatan Mojosongo, Boyolali. Ia lalu mengusulkan tanam pepaya sebagai solusi agar Kang Rimo tak perlu merantau, tetapi tetap memperoleh penghasilan.
   "Dusun Pogog itu unik, warga punya rumah dan tanah, tetapi tak bisa dibilang kaya karena jarang yang pegang uang tunai dalam jumlah besar. Meski hidup dengan uang pas-pasan, mereka tidak pernah mau meminta-minta. Semua harus diperoleh lewat kerja. aparat desa tidak malu kerja kasar jika tanaman mereka gagal panen," kata Jiwo yang sejak lulus kuliah bergerak di bidang ekspor mebel di Desa Trangsan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, akhir Agustus lalu.
   Ia lantas mengundang petani pepaya dari Mojosongo yang dipanggil Pak Muslim untuk datang ke Pogog membagi ilmunya. Dari semula hendak membantu 200 bibit pepaya, Jiwo lantas menambahnya menjadi 2.000 benih atas saran Pak Muslim. Ini agar ada pengepul bersedia mengambil panen pepaya. Pada akhirnya Jiwo membeli hingga 4.000 benih karena antusiasme warga. Total ada 51 petani yang bergabung.
   "Semula saya sulit meyakinkan petani lain untuk ikut menanam pepaya. Ternyata mereka khawatir saya pamrih, sebab ketika itu menjelang pemilu. Mereka mengira saya akan nyaleg. Stelah melihat sendiri saya tidak ada kepentingan, mereka berbondong-bondong datang meminta benih," kata ayah dua anak ini.
   Sebelum Jiwo membagikan benih, para petani sempat dibawa ke beberapa tempat, seperti Boyolali dan Magelang, untuk belajar langsung budidaya pepaya. Mereka yang mengikuti betul pegetahuan yang diperoleh selama pembelajaran itu, seperti Mbah Tronjol, akhirnya berhasil memperoleh uang Rp 6 juta dari panen pepayanya. Hasil ini luar biasa untuk ukuran warga Pogog. Kang Rimo pun tidak perlu merantau lagi untuk mencari uang tambahan.

Menggerakkan warga

   Dari sini Jiwo memperoleh keyakinan bahwa pemberdayaan desa bisa dilakukan seorang individu yang ia sebut teori The Power of One. Artinya, tidak perlu menunggu hingga mempunyai tim hebat atau modal besar untuk mulai terjun membangun desa. "Saya membuktikan sendiri, kita  bisa membangun desa dengan dana senilai HP (handphone) yang saya sebut 'teori senilai HP di kantong kita'," kata Jiwo.
   Tahun kedua mereka mencoba menanam pepaya jenis lain yang disebut pepaya hawaii, dibeli dari Prambanan. Petani tertarik karena di Yogyakrta harga pepaya jenis ini Rp 8.000 per buah dan masuk hotel bintang lima meskipun ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pepaya biasa. Namun, ternyata iklim dan tanah Pogog yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur kurang pas untuk tanaman pepaya hawaii.
   Pada tahun ketiga, Jiwo kembali membantu 8.000 benih pepaya dari Mojosongo untuk menggantikan tanaman yang mati. Namun, sayang, banyak tanaman terserang penyakit kutu putih. Demikian pula pada tahun keempat, tanaman pepaya banyak terserang penyakit busuk akar. Meski begitu, masih cukup banyak tanaman yang bertahan hidup hingga kini dan menghasilkan uang.
   Justru tiga orang dari Ponorogo yang diam-diam mengikuti kiprah Jiwo melalui internet telah menuai kesuksesan menanam pepaya. Bahkan, mendiang Prof Sriyani Sudjiprihati dari Institut Pertanian Bogor, penemu varietas pepaya callina yang populer disebut pepaya california, pernah datang ke Pogog dan memberikan bantuan benih saat para petani melakukan kunjungan balik ke Bogor. Jiwo yang punya nama maya Mas Jiwo Pogog rajin menuangkan pengalamannya melalui blog yang diikuti lebih dari 1.800 orang.

Durian montong

   Rangkaian proses ini membangkitkan gairah warga untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Tak lama setelah bertanam pepaya, Jiwo mengajak warga menanam durian montong. Dia berharap, suatu hari Pogog bisa menjadi desa wisata durian. Dia pun membagikan 1.000 benih dengan sistem bagi hasil. Setelah dua tahun lebih ditanam, pada tahun 2012 pohon-pohon durian itu berbunga. Kini sudah ada beberapa yang bisa dipetik buahnya.
   Jiwo berharap, tahun depan setidaknya 100 pohon durian bisa dipanen sehingga Pogog cukup layak menyebut diri sebagai desa wisata durian. Mereka sempat studi banding hingga ke Bogor untuk melihat pengelolaan desa wisata durian.
   Kiprah Jiwo juga menggagas pembuatan sumur resapan dan pemasangan pipa paralon dari Kali Koang untuk mengalirkan air ke kebun bibit. Cita-citanya, setelah warga menanam pepaya dan durian, warga juga menguasai teknik pembibitan pohon buah. Mitra kerjanya yang paling andal untuk mengeksekusi ide adalah Kang Rimo dan Kang Guru, seorang guru SD yang juga tokoh warga setempat.
   Sejumlah program lain juga ia kerjakan di Pogog, misalnya perbaikan perpustakaan dan menggalakkan hewan kurban. Ia sudah seperti warga kehormatan di dusun itu.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 24 SEPTEMBER 2013

Sunarni: Rumah Sampah tapi Indah

SUNARNI
Lahir: 5 jUNI 1978
Pendidikan: D-3 Pariwisata
Suami: Misno
Anak:
- Naufal Falah (12,5)
- Surya Fadhil Abdilah (6,5)
Kegiatan:
- Pelatih kerajinan daur ulang
- Guru tidak tetap di SLB Muara Sejahtera-Pondok Cabe

Sebuah tulisan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" di atas pintu sebuah rumah di Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, merupakan sambutan khas dari tiga bersudara Sunarti, Sunarni, dan Nining. Ketiganya penggerak industri rumahan berbahan sampah plastik yang semua pekerjanya tunarungu.

OLEH NELI TRIANA/PINGKAN ELITA DUNDU

"Mau lihat hasil karya teman-teman saya? Yuk, masuk ke sini," ajak Sunarni (35) yang langsung menuju kamar di bagian depan rumah.
   Lemari etalase berdesakan memenuhi kamar berisi aneka kerajinan mulai dari tempat pensil sampai aneka wadah serta tas kerja dan tas wanita. Semuanya  dibuat dari sampah plastik, seperti bungkus sabun cuci dan kopi serta spanduk. Sebagian barang lain, seperti boneka dan kuda-kudaan, dibuat dari kain perca.
   Tak terasa, menginjak tahun 2013, usaha keluarga ini berusia 18 tahun. Bukan mas apendek untuk sebuah usaha yang sedari awal tidak diniatkan semata demi kepentingan bisnis.
   Almarhum Kasmi dan suaminya, Sarmin (60), orangtua dari Sunarti, Sunarni, dan Nining, selama berpuluh tahun silam hidup sederhana.  Bersepeda memboncengkan ketiga putrinya Kasmi berkeliling jualan gorengan.
   Selain itu, Kasmi nyambi jadi pembantu di rumah orang asing di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Beruntung mendapatkan majikan yang amat baik, Kasmi diberi kesempatan mengambil kursus jahit, rias pengantin, dan membuat boneka.
   "Umur manusia tidak bisa ditebak. Yang jadi pikiran ibu, bagaimana kalau ia meninggal dunia lebih dulu. Bagaimana nasib anak-anaknya, terutama Nining yang memiliki kekurangan?" kata Sunarni.
   Kasmi pun bersikeras menularkan ilmu hasil kursus kepada ketiga putrinya. Meski terkendala masalah komunikasi, karena Nining tunarungu, keluarga ini terus melatih si bungsu agar menguasai keterampilan.
   Mereka kemudian membuat kerajinan pertamanya berupa  boneka dari kain perca. Majikan Kasmi lagi-lagi mengulurkan tangannya untuk memasarkan boneka kain perca ke teman-temannya sesama ekspatriat.
   Pada 1995, usaha ini mulai digarap serius. Para pekerja yang direkrut semuanya adalah penyandang tunarungu. Saat ini ada tujuh pekerja tetap dan jika pesanan sedang tinggi, akan ada pekerja tambahan yang juga tunarungu. Dalam sepekan, sekitar 200 barang berbagai model dihasilkan dan siap dipasarkan.
   Salah satu masukan dari para ekspatriat pelanggan mereka adalah harus konsisten memakai limbah plastik dan membuat barang yang bisa dipakai sehari-hari. Upaya ini guna memberikan nilai ekonomi pada limbah plastik dan pasti mengurangi sampah yang meracuni lingkungan.
   Di sisi lain, mereka disarankan berkreasi unik yang menghasilkan barang berkesan mewah. Hasilnya, selain tas-tas belanja, ada pula tas jinjing untuk wanita berwarna perak. Tas ini hasil rajutan bagian dalam bungkus pasta gigi. Nilai jualnya, minimal Rp 400.000 per buah.

Teruskan usaha

   Dua tahun lalu, Kasmi meninggal dunia. Ia berpesan, jika menjadi pengusaha dan mendarmakan pekerjaan untuk kebaikan, pekerjaan itu pasti bisa langgeng diteruskan hingga ke anak cucu.
   Mengikuti saran ibunya, Sunarni yang lulusan D-3 Pariwisata memilih keluar dari pekerjaannya di sebuah instansi pemerintah.
   Jika kakak dan adiknya memilih fokus menjalankan usaha kerajinan daur ulang sampah, Sunarni getol memasarkan hasil industri rumah tangga tersebut. Dia juga berupaya membagi ilmunya kepada penyandang cacat, juga masyarakat umum di seluruh pelosok Nusantara.
   Dalam sepekan, Sunarni sibuk memenuhi panggilan menjadi pelatih membuat kerajinan daur ulang di banyak acara. Terkadang, ketika tempatnya jauh, seperti di Papua, Sunarni harus meninggalkan dua anaknya sampai berhari-hari.
   Setiap Sabtu, Sunarni menjadi tenaga pengajar sukarela bagi siswa-siswa sekolah luar biasa di kawasan Pondok Cabe, Ciputat. Selama dua bulan berturut-turut setiap tahun, giliran siswa SLB tersebut yang menjalani pelatihan untuk berkreasi di rumah keluarga Sunarni.
   "Tidak ada pungutan biaya apapun bagi siswa SLB ini. Terkadang ongkos pulang pun kami beri. Kalau mau makan apa adanya, kami siapkan makanan di sini," kata Sunarni.
   Berdasarkan pengalamannya, menurut Sunarni, mengikuti pelatihan dan mampu menguasai keterampilan tertentu merupakan terapi paling baik bagi para penyandang cacat.
   Orang yang memiliki ketidaksempurnaan fisik, tetapi memiliki otak normal amat mudah menguasai keterampilan dan mampu hidup mandiri. Dengan kemandiriannya, mereka menjadi percaya diri hidup di tengah masyarakat.
   Namun, dibutuhkan usaha ekstrakeras untuk melatih penyandang cacat yang juga mengalami gangguan pada otak. Yang pasti, asal telaten, sabar, dan ikhlas, hasil terbaik bisa dicapai.

Rezeki selalu ada

   Sunarni tak menampik bahwa barang kerajinan yang dihasilkannya memiliki nilai jual tinggi, tetapi memang sampai saat ini pasarnya hanya terbatas, yaitu konsumen asing. Masyarakat Indonesia, menurut dia, belum menghargai karya berbahan daur ulang.
   Kondisi ini memang bisa jadi kendala dalam pengembangan usahanya.
Apalagi, ia mendapat saingan berat dengan banyaknya usaha serupa yang kini bermunculan.
   "Rata-rata barang di sini dijual Rp 10.000-Rp 400.000. Namun, alhamdulillah, selalu saja ada pesanan dan kalau pas di pameran juga laku keras," katanya.
   Perwakilan dari sebuah perusahaan consumer goods ternama pada awal tahun 2000 pernah berguru kepada keluarga Sunarni. Perusahaan tersebut sempat menjalin kerja sama selama beberapa saat dengan Kasmi.
   "Tak lama kemudian, kami dengar perusahaan tersebut aktif memberikan pelatihan kepada kelompok-kelompok masyarakat asuhannya untuk mendaur ulang sampah plastik seperti halnya yang kami lakukan. Sungguh kami bersyukur, kreasi kami berguna dan justru kami dibantu untuk menularkan ilmu. Sama sekali tidak merasa ada saingan," kata Sunarni.
   Selama ini, Sunarni menjual bahrang-barang kerajinan di hotel-hotel berbintang, supermarket yang menyasar warga negara asing, dan pesanan dari orang-orang tertentu khusus untuk dipasarkan di luar negeri, seperti Dubai.
   Beberapa hotel berbintang lima, perusahaan minuman, dan departemen pemerintah bekerja sama dengan Sunarni, yaitu dengan memasok limbah plastik, spanduk, kain perca, dan lainnya. Setelah dibersihkan dan diolah, barang kerajinan kembali kepada rekan kerja itu untuk dipasarkan.
   Walaupun usaha keluarga itu sempat diterpa krisis pada 2005, mereka berhasil bangkit. Sampai saat ini, usaha daur ulang tersebut tidak pernah terbelit utang. Kehidupan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" terus bergulir menawarkan semangat bekerja keras dan kekeluargaan.

Dikutip, KOMPAS, KAMIS, 26 SEPTEMBER 2013

Minggu, 25 Agustus 2013

Dipa Tamtelahitu: Nasionalisme Nelayan di Pojok Negeri

DIPA TAMTELAHITU

Lahir: Ambon, 10 April 1965
Pendidikan: D-3 Sekretaris Atma Jaya, Makassar
Aktivitas:
-Direktur PT Maritim Timur Jaya, 2006-kini
- Karyawan Bank Atrha Graha, 1993-2006
- Karyawan Bank Danamon, 1987-1991
Suami: Ir Wilhelm AE Tamtelahitu, MAP (49)
Anak:
- Bryan Joze Tamtelahitu
- Septilia Riscanova Tamtelahitu

Malang melintang di dunia perbankan, Dipa Tamtelahitu pindah profesi mengurusi perikanan di Tual, Maluku. Di pojok tenggara negeri ini, ia berusaha memberdayakan nelayan.

OLEH NASRULLAH NARA

Demi komitmennya untuk perikanan Tual, dalam tujuh tahun terakhir ia rela meninggalkan ruangan kantor yang sejuk. Sebaliknya, udara pesisir pantai yang terik ia akrabi sembari berinteraksi dengan komunitas nelayan.
   Berkat konsistensinya, nelayan setempat tak lagi mengenal masa paceklik. Kesulitan mendapatkan ikan dan tiadanya jaminan pemasaran yang biasanya menghantui nelayan akibat cuaca buruk di perairan Maluku Tenggara berangsur teratasi.
   Lewat perusahaan PT Maritim Timur Jaya yang dipimpinnya, Dipa menjamin ikan tangkapan nelayan setempat terbeli untuk diolah dan disimpan. Sebaliknya, jika nelayan mitranya mendapat order pembelian ikan dari juragan antardaerah, ia siap menjual kembali hasil ikan olahan yang sudah bernilai tambah.
   Contohnya, ikan tembang (Sardinella spp) yang dulu kurang diminati masyarakat karena bertulang serabut belakangan terbeli dengan harga Rp 500 per kilogram. Harga itu bisa menutup biaya operasional pelayaran. Sekali berlayar selama dua pekan, biasanya nelayan membawa pulang 5-10 ton ikan berbagai jenis.
   "Berapa pun dan jenis apa pun ikan hasil tangkapan nelayan, pasti kami beli," ujar Dipa di Dullah Utara, Kota Tual, Maluku.
   Hasil laut yang diperoleh nelayan Tual diolahnya melalui pengembangan industri perikanan terpadu. Ikan segar yang biasa dikonsumsi masyarakat diolah menjadi surimi (bahan bakso ikan), ikan beku, dan ikan kering. adapun ikan yang tidak dikonsumsi masyarakat diolah menjadi tepung ikan.
   Hasil budidaya rumput laut warga pun ia serap dengah harga bersaing. Rumput laut yang dua tahun lalu di pasaran umum berharga Rp 3.500 per kilogram, oleh Dipa dibeli seharga Rp 7.000 per kilogram. Inilah model penjaminan yang memberikan kepastian berusaha nelayan.
   Adapun peralihan pola hidup dari perempuan kantoran menjadi orang lapangan tak menjadi soal bagi Dipa dan keluarganya. Apalagi suaminya, Wilhelm AE Tamtelahitu, adalah sarjana perikanan.

Minim sosialisasi

   Bagi perempuan asal Ambon ini, membebaskan nelayan dari jerat kemiskinan adalah bagian dari nasionalisme. Ia ingin mematahkan pandangan umum, nelayan identik dengan kemiskinan.
   "Nelayan di Maluku mengarungi laut lepas yang berbatasan dengan perairan Australia. Diwilayah jelajah mereka kerap muncul kapal-kapal berbendera asing. Dengan mengangkat nasib nelayan, setidaknya kita mengangkat citra bangsa ini," begitulah tekad yang dilontarkan bungsu dari tujuh bersaudara ini.
   Lahir dan besar dalam lingkungan nelayan, ia memahami betapa nelayan terbentur pada masalah pemasaran dan cuaca. Pengalaman hidup sebagai anak nelayan membekas dalam hidupnya.
   Apalagi semasa kecil, orangtuanya, Zeth Lumalessi dan Meltina Lumalessi, selalu mengajak dia turut menghitung dan membersihkan ikan hasil tangkapan di perahu.
   "Kala cuaca bersahabat, ikan melimpah. Tetapi, hasil tangkapan itu banyak terbuang karena sulitnya pemasaran. Giliran cuaca buruk, nelayan tidak melaut. Nasib nelayan itu takluk pada keadaan, harus ada cara untuk mengatasi persoalan klasik ini," ujarnya.
   "Perpisahan" Dipa dengan dunia nelayan dan ikan saat dimulai saat dia dikirim orangtuanya ke Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1983. Di kota itu, ia belajar kesekretariatan selama tiga tahun.
   "Mungkin orangtua tak ingin anaknya terus bergelut dengan laut sehingga mengarahkan saya bekerja sebagai orang kantoran," katanya.
   Alhasil, tahun 1986, Dipa terjun ke dunia kerja yang tak bersentuhan dengan laut. Ia menjadi karyawan bank swasta yang berkedudukan di Ambon. Empat tahun kemudian, ia pindah bekerja ke perusahaan lain dalam lingkup jaringan usaha Artha Graha. Kali ini, ia juga menjadi penghubung Artha Graha untuk berbagai keperluan di Ambon dan sekitarnya.
   Kesibukan rutin itu tak membuatnya terjebak sebagai pekerja kantoran saja. Dalam urusan kredit, misalnya, ia mencermati betapa nelayan kesulitan akses mendapatkan bantuan modal lantaran tak biasa berorganisasi.
   Di sisi lain, Dipa melihat minimnya sosialisasi dari perbankan tentang fasilitas kredit. Jadilah nelayan tak paham akan fungsi bank. Pemerintah pun seolah abai pada nelayan sehingga tak ada perlindungan terhadap mereka.
   "Belum terlihat tindak lanjut nyata dari program minapolitan dari pemerintah yang menempatkan pemangku kepentingan sebagai bapak angkat nelayan," katanya.

Kembali ke habitat

   Tahun 2006, Dipa menjadi salah satu direktur di Maritim Timur Jaya. Lewat perusahaan yang berbasis di Dullah Utara, Tual, itulah, ia kembali terjun ke habitatnya sebagai warga nelayan. Ia mempelajari bisnis perikanan berskala ekspor dengan melibatkan nelayan sebagai komponen utama. Konseksuensinya, ia harus meninggalkan Ambon, terpisah dari keluarga. "Ini tantangan dan peluang untuk mengubah nasib nelayan."
   Didukung fasilitas perusahaan dengan lahan 160 hektar di Desa Ngadi, Dullah Utara, ia berusaha mengoptimalkan pengembangan industri perikanan dengan melibatkan nelayan sebagai pemasok bahan baku.
   Di sini ada pelabuhan dan dermaga sepanjang 300 meter, tangki penampung solar sebanyak 1.500 kiloliter, pembangkit tenaga listrik, gudang pembekuan berkapasitas   1.700 ton, pabrik surimi, pabrik tepung ikan, pabrik es, dan sarana budidaya rumput laut. Hasil tangkapan ikan dari 70 kapal milik Maritim Timur Jaya diolah bersama hasil tangkapan nelayan.
   Ia juga memberdayakan angkatan kerja terdidik di Maluku. Mayoritas dari 1.000 pekerjanya adalah putra asli Maluku. Di sini terbangun nasionalisme dan kesadaran untuk mengoptimalkan pemberian nilai tambah bagi hasil bumi Maluku untuk memenuhi kebutuhan perikanan daerah lain. Selain diekspor ke China, hasil olahan ikan itu juga dikirim, antara lain, ke Bali, Surabaya, dan Jakarta.
   Bekerja sama dengan nelayan, Dipa melancarkan sejumlah program seperti menyediakan kapal fiberglass berikut alat tangkapnya, seperti jaring, rumpon, dan bubu. Secara perlahan, nelayan juga dia kenalkan pada cara berorganisasi agar bisa mengakses lembaga permodalan.
   Selain itu, guna membangun etos kerja, ada insentif bagi nelayan yang giat. Dengan demikian, ia berharap mentalitas cepat puas di kalangan nelayan terkikis. Tanpa banyak publikasi, Dipa langsung memberdayakan nelayan dan warga pesisir.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 1 AGUSTUS 2013

Kamis, 18 Juli 2013

Mulyo Rahardjo: Tukang Jamu di Tengah Perubahan Zaman

MULYO RAHARDJO 
Lahir: Palembang, 10 januari 1967
Istri: Jeny Rahardjo
Anak:
- Jesslyn Angela Rahardjo
- Matthew JA Rahardjo
Pendidikan:
Radford University Business School, Virginia, AS, lulus 1991
Pengalaman kerja:
- Marketing Manager Distributor PT Deltomed Laboratories Wilayah Jabotabek, 
  1992-1997
- CEO PT Deltomed  Laboratories, 1997-kini
- Komisaris Extract Center Javaplant, 2001-kini
- Direktur Distribusi PT Mulia Putra Mandiri, 2010-kini

Mulyo Rahardjo (46) "jualan" jamu di tengah masyarakat modern yang ingin serba praktis dan sadar higienitas. Bekerja sama dengan petani empon-empon, ia "menjamu" konsumen dengan kekayaan herbal negeri ini.

OLEH MAWAR KUSUMA

Mulyo Rahardjo bergerak dari desa ke desa. Dari Nambangan, Wonogiri, ke Gedangan Salam, Karangpandan, di kaki Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. Di Wonogiri, ia mengurus perusahaan farmasi nasional berbasis herbal PT Deltomed Laboratories.
   Di Karanganyar, ia mengelola Javaplant, perusahaan ekstraksi botanikal. Dua tempat itu saling mendukung. Dari sinilah produknya bablas ke berbagai pelosok Tanah Air.
   "Orientasi kami sejak awal lebih pada jamu modern karena ada tolok ukur dan standarnya. Jika ingin berkembang, kita harus sadar higienitas," kata Mulyo.
   Higienitas produk itu dimulai dari bahan baku semisal jahe dan temulawak, bahkan jauh sebelum jahe dipanen. Untuk menjaga higienitas itu, Mulyo rajin mengunjungi petani jamu yang umumnya tinggal di pedesaan, seperti Wonogiri, Karanganyar, Ponorogo, Trenggalek, dan Madura.
   Paidi (60), petani dari Desa Pucung, Kecamatan Kismantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, adalah salah satu seorang pemasok  bahan baku jahe emprit dan temulawak. Semua petani binaan mendapat pendampingan cara penanaman bahan baku jamu, pemupukan, sampai pemberantasan hama penyakit dengan standar khusus parameter Eropa.
   Empon-empon atau tanaman herbal itu, antara lain, tidak boleh mengandung pestisida atau logam berat dan harus mengandung bahan aktif yang berkhasiat sebagai obat.
   Untuk mengoptimalkan penggunaan bahan aktif itulah, Mulyo mendirikan perusahaan ekstraksi Javaplant. Mulai dari pencucian bahan baku herbal hingga menjadi ekstrak, seluruhnya menggunakan teknologi modern dari Jerman bernama Quadra Extraction System.
   Apalagi, Indonesia memiliki kekayaan bahan baku terbanyak di dunia setelah Brasil. Sadar akan kekayaan herbal dan besarnya potensi jamu Indonesia, Mulyo berinvestasi membangun Javaplant dengan nilai investasi Rp 100 miliar untuk pembelian mesin pada 1998. Padahal ketika itu negeri ini sedang dilanda krisis moneter.
   Sebanyak 20 item bahan herbal mulai dari kayu manis, pegagan, pasak bumi, sampai sambiloto, diekstrak secara rutin untuk memenuhi standar Good Manufacturing Product yang berlaku di Eropa dan standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
   Sebanyak 70 persen pelanggan Javaplant berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Amerika Serikat menjadi pelanggan sejak tahun 2006. Konsumen dari Jepang bahkan mengecek pembuatan jamu dari penanaman hingga menjadi ekstrak.
   Seiring dengan makin tingginya kesadaran pelaku industri lokal tentang pentingnya kualitas ekstrak demi kandungan bahan aktif yang terukur, semakin banyak pengusaha lokal yang kemudian menjadi konsumen Javaplant.

Khasiat ampuh

   Krisis moneter rupanya membawa khasiat ampuh untuk usaha perjamuan Mulyo. Alkisah, ia telah menyiapkan iklan televisi untuk produk obat herbal pencegah masuk angin. Dipilihlah model iklan pelawak Basuki yang tahun 1997 terkenal lewat sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Perhitungan memilih Basuki sederhana, tetapi cerdas.
   Iklan yang diluncurkan pada 18 September 1997 dengan "jurus maut" wes-ewes-ewes itu meledak. Namun keburu terjadi kerusuhan Mei 1998. "Itu saat paling sulit. Saya maju mundur antara meneruskan usaha atau tidak," kata Mulyo.
   Ia pun memilih maju terus. Produknya  dikenal luas dan laku keras, sampai membuat bagian produksi kewalahan. Pada saat itulah, ia bertekad memodernkan produknya dengan mesin ekstraksi. Tahun 1998, Mulyo pergi ke Jerman mencari mesin ekstraksi yang kemudian dipasang di Karangpandan.

Keluarga jamu

   Kecintaan Mulyo pada jamu dibangun sejak ia kecil. Ia sering diajak orangtuanya berkeliling daerah, blusukan dari pasar ke pasar untuk melihat rakyat yang membutuhkan jamu untuk kesehatan.
   Mulyo memang anak keturunan "tukang jamu". Ayahnya, Purwanto Rahardjo, adalah pemilik PT Marguna Tarutala. Purwanto pada 1988 membeli perusahaan jamu PT Deltomed Laboratories Jamu Gunung Giri.
   Tahun 1992, Mulyo, lulusan Radford University Business School, Virginia, Amerika Serikat, ditugasi ayahnya untuk mengelola perusahaan yang belakangan disebut PT Deltmed Laboratories.
   Ia ingat, ketika pertama kali bergabung, perusahaan itu masih seperti industri rumahan. "Kami bekerja di satu ruang kecil dan menjadi seperti satu keluarga. Saya belajar dari senior-senior saya, seperti Pak Nyoto," kenang Mulyo menyebut nama Nyoto Wardoyo yang kini Presiden Direktur Deltomed.
   Ada satu nasihat ayahnya yang diingat Mulyo, "Buatlah produk yang dicari orang, jangan produk yang harus mencari pembeli."
   Mulyo dan tim kerjanya kemudian meninjau ulang produk-produk perusahaannya. Mereka memutuskan fokus pada empat produk saja, termasuk obat herbal untuk pencegah masuk angin.
   Dalam bekerja, Mulyo dan kawan-kawan percaya pada proses, kerja keras, dan menjaga hubungan baik antarmanusia. Di atas semua itu adalah niat melayani masyarakat sebaik mungkin.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 18 JULI 2013