Kamis, 03 Oktober 2013

Markus Hayon: Penyelamat Sumber Air Warga Tiga Desa

MARKUS HAYON 
Lahir: Tanah Tukan, Flores Timur, 18 Agustus 1974
Istri: Yuliana Tigabelas
Anak: Roland Arakian (2,8 tahun)
Pendidikan: Sekolah Menengah Pertama Tanah Boleng
Jabatan: Kepala Desa Tanah Tukan, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, NTT (sejak 28 Februari 2013)

Memasuki musim kemarau panjang, warga tiga desa di Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, terancam kesulitan air bersih. Debit sumber mata air satu-satunya, yakni Waikloba, turun sampai 2 liter per detik. Markus Hayon resah atas persoalan ini. Namun, Markus tidak berhenti sekadar mengeluh. Langkah nyata dia kerjakan dengan melakukan penghijauan dengan menanam  pohon jati dan mahoni di padang seluas 52,7 hektar.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Padang "Nepa Belahan" -artinya padang panjang- yang membentang dari bibir Pantai Samasoge sampai Desa Botung. Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sepanjang hampir 6 kilometer sudah berbeda, tidak lagi gersang. Kini, padang seluas 52,7 hektar itu sebagian besar mulai tertutup hutan jati dan mahoni dengan ketinggian 2-15 meter.
   Ketika ditemui di Kantor Desa Tanah Tukan, Flores Timur, beberapa waktu lalu, Markus (30) mengatakan kegiatannya sangat padat. Saat ini, kekeringan sedang mengancam hutan jati dan mahoni yang sudah dan sedang ditanami di kawasan seluas 52,7 hektar.
   "Saya baru saja dari hutan. Saya mengisi air di dalam botol dan drum sebagai peresapan untuk 1.678 pohon jati dan mahoni. Setiap botol dan drum itu saya letakkan berdampingan dengan pohon agar tanaman itu tidak kering ketika menghadapi panas matahari," kata Markus.
   Ia mengatakan tidak pernah merasa tenang apabila hutan jati dan mahoni yang ditanami sejak 2003 itu kekeringan. Budidaya jati dan mahoni di areal seluas 52,7 hektar tersebut untuk menjaga keberlangsungan sumber mata air Waikloba yang jaraknya sekitar 3 km dari Wotan Ulumado, dan 4 km dari Desa Samasoge.
   Tiga desa dengan total penduduk sekitar 3.874 jiwa itu semata-mata bergantung pada sumber air Waikloba. Jika sumebr air itu mengering, masyarakat tiga desa tersebut akan mengalami masalah luar biasa. Pada musim hujan, debit air sampai 142 liter per detik. Namun, setiap memasuki musim kemarau, debit air turun drastis hingga tersisa 2 liter per detik.
   Upaya Markus bermula pada tahun 2003 ketika usianya baru 29 tahun. Namun, kepedulian dan kekhawatirannya terhadap lingkungan sekitar dan sumber air sangat tinggi. Ia tidak tinggal diam.
   "Saya melihat, kalau sumber air itu tidak diselamatkan, warga tiga desa ini akan kekeringan. Apalagi, saat itu kegiatan pembakaran padang sangat tinggi. Setiap hari di padang seluas 52,7 hektar, juga kawasan hutan di bagian hulu dibakar orang yang tak bertanggung jawab," katanya.

Tak kenal lelah

   Markus pun melakukan berbagai upaya, misalnya mengumpulkan botol air mineral di dermaga, di tempat-tempat sampah pada Jumat Agung di Larantuka. Sekitar 5.600 botol dan 75 drum kosong terkumpul. Botol-botol air mineral memang diperoleh tanpa biaya, tetapi drum kosong dibeli dengan harga Rp 145.000 per buah.
   Anakan jati pun dikumpulkan. Langkah pertama, mendatangi Dinas Kehutanan di Larantuka, tetapi tidak ada anakan yang tersedia di sana. Ia tidak kehilangan akal, malah kemudian Markus menyiapkan anakan jati sendiri. Dia menyemaikan biji biji jati yang diperoleh di beberapa tempat secara sporadis. Anakan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong-kantong pembibitan polybag.
   Saat itu sebagian warga-seperti biasa- meragukan kegiatan Markus karena padang itu sangat kering, berada di punggung bukit, selalu dibakar warga, dan menjadi padang penggembalaan kambing. Namun, dia tidak lelah merealisasikan mimpinya, menjadikan kawasan itu penuh dengan tanaman yang bermanfaat seperti jati, mangga, dan pisang.
   "Saya sudah memulai dengan jati putih, mangga, nangka, dan pisang. Tetapi, semua tanaman itu dimakan kambing yang dilepas liar oleh warga dari Desa Samasoge. Saya mendekati kepala desa agar ternak-ternak itu dikandangkan, tetapi ditolak dengan alasan kawasan itu adalah padang ternak," kata Markus.
   Akan tetapi, Markus tetap memiliki niat menghijaukan wilayah itu. Pilihan satu-satunya hanya tanaman jati biasa dan mahoni. Jati dan mahoni ini tidak dimakan ternak kambing. Ternyata kiatnya itu berhasil.
   Memasuki musim hujan pada tahun 2003, dia memperbanyak anakan jati dan mahoni. Sekitar 3.000 anakan kedua jenis pohon tersebut dimasukkan ke dalam polybag.
   Secara bertahap, ia pun menggali tanah di padang gersang itu. Setiap hari sekitar 25 lubang dengan kedalaman 30 sentimeter dan diameter 20 sentimeter digali, dan langsung ditanami. Penanaman dilakukan saat hujan deras disertai angin kencang. Pada saat itu, semua tanaman diyakini bisa hidup.
   Selama musim hujan tahun itu, dia berhasil menanam 2.210 anakan jati. Markus menanam pohon-pohon tersebut di sekitar sumber mata air Waikloba. Akibat kebakaran rutin, kawasan ini tampak kering dan tidak ada pohon sama sekali.
   Meskipun demikian, memasuki musim kemarau, tanaman yang tampak segar selama musim hujan mulai kelihatan kerdil dan kekuningan. Rumput ilalang pun tampak kering kecoklatan sehingga tidak mampu memberi naungan terhadap tanaman jati itu.
   Markus tidak kehilangan akal untuk mengatasi hal tersebut. Dia menyiapkan botol dan drum kosong dan mengisinya dengan air. Tutup botol dilubangi, kemudian diletakkan dengan posisi terbalik pada setiap batang anakan jati. Sementara bagian dasar drum juga dilubangi. Lubang itu dibuat sedemikian rupa sehingga hanya meneteskan air mirip infus.
   Dari total 3.000 pohon jati dan mahoni, yang bertahan sampai musim hujan berikutnya hanya sebanyak 1.873 pohon. Ia bersemangat, masih ada tanaman yang selamat dari ancaman kekeringan. Tanaman periode pertama ini sudah mencapai ketinggian sekitar 20 meter dengan diameter 25 sentimeter.
   Pada tahun 2004-2012, dia berhasil menanam 5.862 pohon jati dan mahoni. Setelah terpilih menjadi Kepala Desa Tanah Tukan, Februari 2013, kegiatan menanam mulai berkurang. Sebagian besar waktu dihabiskan di kantor  desa, memimpin rapat dan menyusun program bersama sekretaris desa.
   "Kami sedang membahas bersama masyarakat adat terkait kegiatan penghijauan lahan kering di wilayah ini. Lembaga masyarakat adat di desa ini sudah mulai diberdayakan, menanami kembali hutan-hutan gundul di desa ini," kata Markus.
   Namun, dia harus memberi pemahaman serinci mungkin mengenai fungsi hutan produktif. Hutan jenis ini, selain menjaga sumber air, melestarikan lingkungan, juga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan langung masyarakat.
   Ia menjelaskan, tanaman jati sekitar 2-3 tahun lagi dapat dipanen. Sementara mahoni butuh waktu sekitar 4 tahun lagi. Di antara kedua jenis tanaman itu, pohon pisang yang ditanam di antaranya sudah mulai bisa dipanen.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 30 SEPTEMBER 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar