Selasa, 19 Oktober 2010

Andre Sougarret, Insinyur Cile, Otak Penyelamat

Andre Sougarret, otak penyelamatan 33 petambang di Gurun Atacama, Cile , dipuji.Berkat upayanya, 33 petambang keluar dari kedalaman 700 meter di dalam tanah, Rabu (13/10), setelah terjebak sejak 5 Agustus. Pamornya pun melejit.

ANDRE SOUGARRET

Usia : 46 tahun
Menikah dan dikaruniai tiga putri
Jabatan : Manajer di El Teniente, pertambangan tembaga Cile, terbesar di dunia dalam konteks pertambangan tembaga bawah tanah
Lulusan : University of Chile
Spesialisasi : Metodologi pengeboran

Oleh PASCAL BIN SAJU dan DAHONO FITRIANTO

Sougarret tidak dikenal dunia sebelum rabu pekan lalu. Ia hanya seorang insinyur biasa, seperti yang lain, dan manajer di perusahaan tambang milik negara Cile, El Teniente.
"Hebat, bapak adalah yang terbaik. Sekarang pulanglah ke rumah," demikian putrinya Ivy, memberikan ucapan selamat kepada Sougarret lewat Twitter.
Maklum Sougarret sudah dua bulan menghabiskan waktu terus-menerus di pertambangan di Copiapo, Cile Utara, dan kembali ke Rancagua, Cile Selatan.
Menteri Pertambangan Cile Laurence Golborne, arsitek politik penyelamatan, menyatakan bahwa dia pernah bertaruh dengan Sougarret. Rencana apa, dari tiga yang disusun sekaligus, yang bisa menjangkau petambang lebih dulu? "Dia menang. Sudah barang tentu, dia memiliki kelebihan. Saya ahli kimia dan dia ahli pertambangan," kata Golborne yang ditimpali Sougarret dengan senyum tersipu-sipu, saat mereka bercanda, Kamis (14/10), seusai penyelamatan.
Ayah dari tiga putri ini menjadi buah bibir setelah terowongan selebar 71 sentimeter pada "Plan B" (Rencana B) menjadi media evakuasi bagi para petambang.
Pekerjaan "gila" itu baru pertama kali dilakukan sepanjang sejarah pertambangan di dunia. Ini semua bermula dari Presiden Cile Sebastian Pinera yang memercayai Sougarret sebagai koordinator tim pencarian dan penyelamatan. Sougarret sempat bingung ketika Presiden Pinera berpesan agar dia melakukan yang terbaik.

"Plan B"

Tidak ada yang bisa memastikan, pengeboran harus dilakukan di titik mana agar bisa mencapai ruang tempat petambang berkumpul. Pekerjaan ini sangat menantang sekaligus beresiko.
Pria lulusan Fakultas Teknik Pertambangan Universitas Cile ini lalu merancang tiga strategi, yakni Rencana A, B, dan C. Semula rencana dijalankan secara bersamaan. Intinya, tiga lubang digali dengan harapan salah satu bisa menjangkau para petambang.
Namun, Sougarret dan tim nya masih dihantui persoalan. Seberapalebar diameter terowongan harus dibor? Bagaimana jika pengeboran menyebabkan material runtuh dan malah menimbun para petambang yang terjebak?
Ini tidak mudah. Sougarret mendatangkan sejumlah teknisi dari Australia, Inggris, kanada, Jepang, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Semuanya diminta memberikan opini soal penyelamatan, tidak saja soal penggalian lubang, tetapi juga pembuatan kapsul serta pakaian yang digunakan saat petambang ditarik keluar.
Semua pekerjaan didiskusikan, dilakukan dengan transparan, disertai sistem pelaporan yang mengalir lancar. Informasi juga harus disajikan kepada para wartawan.
Dari sekian teknisi yang dipanggil, salah satunya adalah Gregory Hall (50), orang penting dibalik keberhasilan "Plan B". Dia mengusulkan metode pengeboran yang bisa menembus lokasi pertambangan yang sangat keras karena lapisan emas dan tembaga itu.
Hall, seorang warga Houston, Texas, AS, kebetulan memiliki bisnis di Cile. "Negeri Cile telah begitu baik kepada saya. Saya mencintai rakyatnya seperti keluarga. Saya merasa terhormat karena bisa membalas kebaikan itu," tutur Hall tentang keterlibatannya dalam proses penyelamatan yang dipimpin Sougarret, seperti dikutip portal www.theeeagle.com.
Pengeboran pun dimulai. Krisis datang pada 19 Agustus. Pengeboran tidak menemukan apa-apa. hatinya tidak tenang, apalagi keluarga para petambang mulai marah besar. Biaya yang dikeluarkan pun tidak tanggung-tanggung sekitar Rp.210 miliar.
"Keadaan memang genting, hal-hal kecil pun bisa membuat ketegangan," kata Jorge, seorang insinyur yang juga saudara kandung Sougarret.
Syukurlah, setelah melakukan pengeboran lebih dari dua bulan, atau tepatnya pada 9 Oktober, terowongan versi "Rencana B" menembus kedalaman 622 meter. Di titik itu terdapat sebuah ruang bawah tanah yang bisa dicapai para petambang. Sougarret girang bukan main.
Sabanhari ia terus menyajikan informasi teknis kepada publik mengenai usaha pencarian dan penyelamatan. Berkat dia, wartawan dan satu miliar penonton televisi di dunia mengenal istilah teknik, seperti strata, teknik memutar, penutup, dan rock quality designation (RQD)
Sougarret yang setiap hari khawatir menjadi lega. Ia sadar akan risiko sebagai pengemban tanggung jawab. Dia bisa disalahkan jika petambang ditemukan sudah dalam kondisi tak bernafas.
Meski demikian, berkat do'a, ketekunan, dan kerja keras tim yang dipimpin Sougarret, mereka akhirnya dapat berkomunikasi langsung dengan para petambang. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia ketika para petambang yang terjebak dalam di dalam tanah itu memanggilnya "bos".
"Saya menilai kehidupan keluarga itu amat penting. Saya ingin menyatukan mereka untuk bisa kembali lagi hidup bersama dengan keluarga," kata Sougarret.

Dikutip dari KOMPAS, RABU, 20 OKTOBER 2010

Senin, 18 Oktober 2010

Yusman, Patung dan Monumen Nusantara

Jika anda pernah mengunjungi museum atau monumen perjuangan di Indonesia, kemungkinan besar patung, relief, atau diorama yang Anda kagumi itu adalah buatan Yusman.

YUSMAN

Lahir : Sukamenanti, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, 12 November 1964
Istri : Murtri Yuni Arnawati
Anak :
- Rizki Nanda
- Santara Deva Yusman
- Wahyu Intan Purnama Tri Ambarwati
- Salma Reno Bungsu Yusman

OLEH INGKI RINALDI

Terkhir pada 5 januari 2010, Yusman memperoleh piagam dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas karya relief tentang perjuangan Panglima Besar Soedirman di kawasan monumen di Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, sepanjang 368 meter yang diselesaikannya hanya dalam dua bulan.
Karya Yusman yang lain adalah Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat di Makassar, Sulawesi Selatan, yang diresmikan Presiden Soeharto (1995); Monumen Seroja di Mabes TNI Cilangkap yang diresmikan Presiden Megawati Soekarnoputri (2002); dan Monumen Perjuangan Dwikora dan Trikora di Mabes TNI Cilangkap yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2009).
Sejak 1986, Yusman sudah menunjukkan kreasinya, diantaranya berupadiorama pada Museum Vredeburg, Yogyakarta, diorama di Museum ABRI Satria Mandala, dan diorama pengkhianatan PKI di Lubang Buaya, masing-masing pada tahun 1988 dan 1992. Karya-karya dengan estetika tinggi dan kualitas terjaga itu dibuatnya hanya setahun setelah dia mulai kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang dulu bernama STSRI ASRI Yogyakarta.
Kuliah sambil bekerja itu dilakukan Yusman atas ajakan sejumlah dosen dan seniornya di ISI, seperti Mon Mujiman, Saptoto, Empu Ageng, Edhi Sunarso, Sarpomo, Suwardi, Y Sumartono, dan Kasman.
"Pada bulan Juli atau Agustus 1985 saya masuk ISI dan mulai sosialisasi lagi dengan jurusan baru di ISI. Lulus tes di seni patung, awalnya saya tidak tahu menahu karena di SMSR saya jurusan seni dekorasi, tapi sudahlah, mungkin jurusan patung inilah jurusan saya," kata Yusman".

Trenyuh Pak Dirman

Mulai tahun 1986 itu Yusman terus mengerjakan berbagai proyek atas ajakan sejumlah senior dan dosen. Pada Februari 1994 ia lulus dari ISI dengan gelar Sarjana Seni setelah menuntaskan penelitian dalam skripsi berjudul "Studi Banding tentang Patung Panglima Besar Jenderal Soedirman" yang sebetulnya telah dituntaskannya pada 1989.
"Sebetulnya bukan idola, tapi saya trenyuh dengan perjuangan beliau, walau dengan paru-paru satu saja, Pak Dirman pantang menyerah," kata Yusman.
Tahun 1994 menjadi titik balik bagi Yusman karena pada tahun itulah pertaruhan terbesarnya sebagai seniman. Tawaran yang mewujud jadi Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat di Makassar membuat namanya dikenal sebagai pembuat patung relief, dan diorama papan atas hingga sekarang.
"Untuk ukuran saya pada waktu itu, hal tersebut luar biasa. kalau proyek itu tidak saya ambil, saya akan jadi kuli selamanya. Tetapi kalau gagal, saya akan digantung keluarga," seloroh anak kedelapan dari sembilan bersaudara itu.
tahun itu juga ia mendirikan CV Rejeki Kreatif yang kini mempekerjakan 14 karyawan tetap dan ratusan pekerja jika tengah menggarap proyek. Empat mantan dosennya di ISI kini ikut bekerja bersama Yusman.
Satu pengalaman yang paling membekas baginya adalah saat membuat patung setengah badan Soeharto untuk kepentingan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Sosok patung itu sampai harus dibuat ulang karena menurut keluarga ada beberapa bagian yang tidak cocok dengan aslinya.

Balas dendam

Karya-karyanya yang lebih banyak berupa sejarah perjuangan bangsa rupanya memiliki keterkaitan dengan minat masa lalunya. Sejak duduk di bangku SMP, Yusman sudah terpikat dengan segala hal yang berkaitan dengan sejarah.
"Setiap guru saya cerita tentang pengkhianatan, seperti kisah Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, rasanya saya kepingin menangis. Sakit hati saya, dan terpikir bagaimana cara membalasnya," kata Yusman.
Jika dirunut lebih jauh lagi, Yusman kecil sudah memiliki bakat seni luar biasa. Sejak duduk di kelas III SD, ia sudah gemar menggambar tokoh-tokoh perjuangan di papan tulis di kelasnya.
Namun, saat itu kedua orang tua Yusman tidak mampu menyalurkan bakat yang dimiliki Yusman karena kondisi keuangan keluarga. "Saya anak seorang pegawai perikanan darat. Sejak kecil saya berpikir tak mau jadi PNS karena kehidupan kami saat itu begitu sulit," katanya.
Yusman kecil punya berbagai kemampuan. Karena dia juga jagoan di bidang olahraga dengan menjuarai berbagai kejuaraan bulutangkis, tenis, hinga lompat jauh, dia dan keluarga sempat bingung saat akan melanjutkan sekolah. "tapi salah seorang tetangga menyarankan agar saya masuk ke SSRI," kata Yusman.
Setelah melewati sejumlah pencapaian, Yusman kini punya keinginan lebih besar, yakni membuat patung tertinggi di Indonesia. Karya-karya Yusman memberikan penegasan bahwa di bidang seni dan budaya, bangsa Indonesia masih lebih unggul dibandingkan dengan banyak negara lain.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 19 OKTOBER 2010

Minggu, 17 Oktober 2010

Kuswana, Membangun Kemandirian Petani

Dipacunya produksi padi mellui pemakaian pupuk, obat-obatan, dan "input" kimia lain menjebak petani pada ketergantungan selama bertahun-tahun. Dengan pendekatan pertanian organik, Kuswana (48) membantu mengurangi ketergantungan itu.

KUSWANA

Lahir : Bandung, 16 Februari 1962
Istri : Dede Solihat (37)
Anak :
- Rian Mardiana (17)
- Sifa Nazriah (12)
- Ginanjar Prameswara (7)
Pendidikan :
- SD Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung, 1971
- SMP I Cikalong Wetan, 1977
- Sekolah Pertanian Menengah Atas Padalarang, 1981
- Jurusan Hama Penyakit Tanaman Institut Pertanian Bogor, 1990
- Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Bandung Raya, 1995
- Jurusan Hama Penyakit Tanaman Universitas Respati Indonesia, 2008
Pekerjaan :
- Pengamat Organiseme Pengganggu Tanaman Dinas Pertanian Purwakarta
Organisasi :
- Ketua Paguyuban Petani Organik Purwakarta

OLEH MUKHAMMAD KURNIAWAN

"Pupuk dan obat-obatan kimia racun bagi tanah. Penggunaan secara terus menerus, dari musim ke musim, menurunkan mutu tanah sekaligus menggerogoti kantong petani," ujar Kuswana. Guna memperbaiki kandungan hara tanah dan unsur lainnya, petani harus membeli pupuk dan obatan-obatanan, terutama pada awal musim tanam.
Proses seperti itu berlangsung bertahun-tahun. tanah pun berangsur lapuk. Kuswana menyebutnya "tanah yang sakit" karena miskin hara, mikro organisme pengurai, dan daya dukung lingkungan. Pemakaian obat dan pestisidaa kimia juga membuat ekosistem kian tak seimbang. Keong, kepik, laba-laba, serangga, capung, dan ular, yang sebenarnya musuh alami bagi hewan lain, ikut terbunuh.
Berangkat dari keprihatinan itu, Kuswana membidani lahirnya paguyuban petani pada Juli 2005. Sejumlah petani bergabung untuk secara spesifik mengaplikasi pola pertanian organik. Pola itu dinilai tepat untuk mengatasi menurunnya mutu lahan pertanian, mengurangi ketergantungan pada produk kimia, menghemat ongkos produksi, serta mengantisipasi cuaca yang kian sulit ditebak.
Kuswana menuntun petani mengganti pupuk kimia dengan pupuk kandang, mengembangkan mikrobakteri pengurai untuk mempercepat pembusukan organik, membuat pestisida nabati dari bahan-bahan yang tersedia di alam, serta mengembangbiakkan musuh alami hama.
Pada tahun-tahun awal, luas lahan anggota paguyuban yang digarap secara organik mencapai 24 hektar. Jumlah itu meningkat hingga lebih dari 120 hektar saat ini.
Jumlah petani yang tergabung pada paguyuban yang bermarkas di Kecamatan Pesawahan, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, itu juga bertambah dari 40 orang pada tahun 2005 kini menjadi lebih dari 200 petani.
Peningkatan itu tidak lepas dari keberhasilan anggota menekan ongkos produksi hingga 60 persen lebih dari rata-rata Rp. 3 juta perhektar. Hal itu juga mendongkrak produksi dari 1,5 - 2 ton gabah kering panen per hektar pada awal aplikasi organik menjadi 6-7 ton.

Serba organik

Segala permasalahan di sawah harus diupayakan dengan pendekatan organik. Kuswana meyakinkan bahwa prinsip itu bukan isapan jempol. Saat padi milik anggota terserang penyakit hawar daun atau biasa disebut kresek (bacterial leaf blight), misalnya, dia memperkenalkan coryne, bakteri antagonis bagi Xanthomonas campestris pv oryzae yang memici penyakit kresek. Sifatnya yang patogen mampu menekan serangan dan mengurangi risiko kerusakkan tanaman.
Bersama pengurus paguyuban yang lain, seperti Endang Muharam, Endang Yarmedi dan Hasan, Kuswana menjembatani kebutuhan informasi petani.
Kuswana dan PPO Purwakarta juga mengembangkan Trychogramma spp, agen hayati parasitoid bagi hama penggerek batang, serta trychoderma sp bagi jamur tumbuhan.
Selain bakteri dan mikroorganisme menguntungkan, Kuswana juga mendorong paguyuban untuk terus mencari formula pestisida nabati baru yang lebih ampuh. Beragam bahan dari alam, seperti lengkuas, serai, bengkuang, daun saga, berenuk, rimpang pangkay, daun mimba, ubi gadung, daun sirsak, buah maja, hingga air seni kambing, telah biasa mereka pakai sebagai pestisida nabati. Fungsi pupuk urea, SP 36, NPK, dan jenis lainnya digantikan dengan jerami, pohon pisang, serbuk gergaji, sekam, dan beragam kotoran hewan.
Kuswana juga mengajak petani mengembangkan sendiri mikroorganisme pengurai. Kini sejumlah petani telah mahir. Jika berlebih, mereka dengan senang hati membagikannya kepada petani lain yang butuh. Di kalangan petani organik Purwakarta, produk buatan sendiri itu biasa disebut "moretan", singkatan dari mikroorganisme rekan petani.

Menguntungkan

Dengan beragam upaya itu, petani menjadi lebih mandiri. Mereka tak perlu membeli pupuk, pestisida, dan dapat menghemat modal lebih dari 50 persen atau kurang dari Rp.2 juta per hektar. Pada musim tanam kelima dan seterusnya dengan pola organik, petani bahkan dapat menekan ongkos produksi hingga kurang dari Rp. 1 juta per hektar seiring dengan membaiknya kualitas tanah.
Kepada petani baru, Kuswana senantiasa mempromosikan keuntungan menerapkan pola organik. Saat harga beras non organik di pasar-pasar tradisional Purwakarta Rp.4.900-Rp.5.800 per kilogram, petani anggota paguyuban dapat menjual beras hasil panennya dengan harga Rp.7.000-Rp.10.000 per kilogram.
Kini sejumlah petani organik anggota paguyuban telah memiliki pelanggan. Para pelanggan itu antara lain pegawai negeri di pemerintahan daerah, karyawan swasta, juga pedagang dan kenalan di Jakarta atau Bandung.
Tiga tahun terakhir, demplot dan sawah milik paguyuban sering dikunjungi petani dan petugas pertanian dari luar Purwakarta untuk studi banding. Paguyuban pun berkembang. Kelompok Tani Mukti, salah satu anggota paguyuban, misalnya, dipercaya memproduksi pupuk kandang untuk mendukung program go organik yang dicanangkan pemerintah pada tahun ini.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 18 OKTOBER 2010

Senin, 11 Oktober 2010

Sapto Membawa "Ideologi Kenormalan"

Isu difabel bukanlah monopoli difabel, tetapi merupakan isu manusia. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada jarak antara komunitas difabel dan nondifabel, yang akhirnya memunculkan "ketakutan" masing-masing untuk berinteraksi satu sama lain.

BIODATA
Nama : Sapto Nugroho
Lahir : Solo, 12 April 1964
Istri : Pamikatsih (43)
Anak : Ravi Nugroho (6); Ryan Nugroho (3)
Pendidikan :
- SD Kristen Banjarsari I Solo
- SMP Kristen I Solo
- SMA Negeri 2 Sukoharjo
- Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, 1983-1989
Pekerjaan (antara lain) :
- Relawan pengelola TK Alternatif bagi anak-anak miskin di Kampung Bibis Wetan, Solo
- Yayasan Pengembangan Pedesaan, Solo
- Staf Administrasi dan Dokumen Pedampingan Korban Waduk Kedung Ombo di Desa Pendem,
Sragen
Kegiatan (antara lain) :
- Fasilitator Pelatihan Advokasi bagi Organisasi Difabel di Samarinda
- Fasilitator Organisasi Difabel dan HAM di Jambi
- Fasilitator "Workshop" Membangun Sinergi Organisasi Difabel dan Pemerintah di Pontianak
Karya tulis (antara lain):
- Aksesibilitas untuk Siapa?
- Gus Dur, Sebuah Fenomena Sosial
- Pemilu, Apa Maknanya Bagi Difabel
Penulis buku (antara lain) : Meretas Siklus Kecacatan Talenta dan Modul Pembebasan dari Rasa Takut untuk Difabel Talenta.

Oleh SONYA HELLEN SINOMBOR

Paradigma inilah yang coba dibangun Sapto Nugroho (45). Direktur Yayasan Talenta Surakartaini merupakan salah satu di antara sekian difabel yang mengabdikan dirinya untuk komunitas difabel.
Sejak mendirikan Yayasan Talenta, 10 tahun yag lalu, ia aktif melakukan pemberdayaan terhadap individu dan organisasi difabel, menyosialisasikan dan membangun paraigma baru penanganan masalah kecacatan, serta mendorong kebijakan yang berperspektif kecacatan.
Bagi Sapto, kurang terjadinya interaksi yang wajar antara komunitas difabel dan nondifabel merupakan masalah yang serius. Akibat situasi ini, tidak tersedia ruang dan waktu yang cukup bagi komunitas difabel dan nondifabel untuk saling berkomunikasi, belajar, mengerti, dan memahami, hingga akhirnya memunculkan rassa solidaritas.
"Interaksi yang wajar kurang terjadi karena masing-masing pihak terhegemoni oleh sebuah ideologi kenormalan, yang mendefinisikan tentang siapa yang disebut normal," ujarnya.
Bahwa yang disebut normal adalah orang yang memiliki organ lengkap dan berfungsi, dan jika seorang memiliki organ lengkap tetapi ada satu atau dua organ yang tidak berfungsi, orng lain akan menyebutnya sebagai seorang yang tidak normal, istilah normatifnya cacat.
Meskipun ideologi ini tak ada dalam kurikulum sekolah-sekolah, dampaknya sangat kuat memengaruhi cara berpikir semua orang. "Masing-masing mempunyai ketakutan, yang sebenarnya hanya asumsi, ketika ingin memulai interaksi," paparnya.
Realitanya, masyarakat non difabel beranggapan difabel adalah sosok yang gampang tersinggung, bertemperamentinggi, dan tidak mudah berkomunikasi. Sebaliknya, difabel mempunyai rasa takut jangan-jangan dia tidak diterima secara wajar ketika ingin bergaul.
Kondisi inilah yang mendorong Sapto mendirikan Yayasan Talenta. Awalnya, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, ini terjun menjadi aktivis di sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) sosial dan ekonomi di Solo. Bermodalkan tekad dan tabungan seadanya, tahun 1999 dia mendirikan Yayasan Talenta.
"Saya pilih nama Talenta karena talenta adalah titipan anugerah dari Tuhan. Talenta teman-teman difabel tidak bisa maksimal, kami ingin keluar melampaui batas. Makanya, slogan Yayasan Talenta "We Fight for Human Liberation," ujarnya.
Bagi spto, selain sarat diskriminasi, paradigma penanganan kecacatan tidak relevan dengan perkembangan zaman, hingga kini, sosok difabel masih dipandang sebagai individu yang lemah, tergantung, tidak produktif, perlu santunan/bantuan, dan berakibat memunculkan rasa belas kasihan. saat ini hanya ada sekitar 40 panti yang menangani difabel, sementar jumlah difabel dperkirakan sekitar 6,2 juta dan bakal terus bertambah.

Paradigma kecacatan

Selain menyosialisasikan terminologi baru mengenai kecacatan, Yayasan Talenta aktif melakukan advokasi dan pemberdayaan difabel, kampanye problem-problem difabel, serta membangun kemitraan dengan pemangku kebijakan.
Pada tahun 2004, ketika Pemerintah Kota Solo memberikan asuransi kesehatan (Askes) buat warga miskin Solo, Yayasan Talenta menuntut agar difabel juga mendapataskes, sehingga akhirnya 34 difabel mendapat askes.
Pada tahun 2005 jumlah difabel peengguna askes meningkat menjadi 140 orang dan berlanjut hingga saat ini.
Sapto juga tidak pernah berhenti mengingatkan pemerintah dan pemangku kepentingan di Kota Solo bahwa Solo merupakan kota lahirnya upaya rehabilitasi. Oleh karena itu, penanganan difabel harus mendapat perhatian.
Perjuangan mendobrak paradigma kecacatan dilakukan Yayasan Talenta dan LSM Interaksi, yang melalui Konsorsium Lembaga Kecacatan Surakarta mengajukan Naratif Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang kesetaraan Hak-hak Dasar Difabel di Kota Solo. Perjuangan ini tidak sia-sia. akhir 2008 DPRD Kota Solo menetapkan Perda tentang kesetaraan Difabel yang mengatur hak dan kewajiban difabel Solo.
Perjalanan Sapto mengadvokasi komunitas difabel tidak selalu mulus. Selain sulit menggalang dana untuk kegiatan komunitas difabel, penolakan atas kehadiran dirinya disejumlah tempat sering dialaminya. Sosok Sapto yang telah menggunakan kruk (penyangga tangan) sejak usia 5 tahun sering ditolak dan diperlakukan seperti difabel umumnya yang perlu dikasihani.
Ketika akan menyosialisasikan kegiatan difabel di Dinas Sosial Pemkot Solo, ia malah dikira ingin meminta bantuan. Begitu juga ketika mendatangi sebuah hotel berbintang di Solo, Sapto malah dihadang petugas keamanan hotel. adapun saat menjadi fasilitator sebuah workshop di Flores Timur, dia sempat dikira seorang tukang kayu.
Tentang kecacatannya, Sapto yang sering disapa dengan panggilan Om berujar," Menurut keluarga, sewaktu berumur tujuh hari, saya mengalami panas tinggi dan diperiksakan ke dokter. Untuk mengatasi panas, saya disuntik. Ternyata suntikan itu berdampak bagi perkembangan tubuh saya. Ketika saatnya berjalan seperti anak-anak lain, saya enggak bisa jalan. kaki cenderung mengecil, sehingga pada usia lima tahun mulai dilatih ayah saya menggunakan kruk, sampai sekarang".

Bias difabel

Sapto menilai, program-program pemerintah hingga kini belum banyak yang menyentuh kaum difabel. Dalam konteks pemenuhan HAM, secara kuantitatif dan kualitatif, pemerintah sudah memberikan perhatian terhadap masalah difabel, tetapi diskriminasi terhadap difabel masih terjadi.
Perencanaan pembangunan pun masih banyak yang bias difabel (tidak mengakomodasi kebutuhan difabel). Misalnya, penanganan bencana alam gempa bumi di Yogyakarta dan Klaten yang mengakibatkan munculnya difabel-difabel baru.
"Bukankah kita tidak pernah mendapatkan informasi resmi tentang jumlah 'difabel baru' akibat bencana tersebut. banyak yang tidak terakomodasi dalam perencanaan pemulihan," ujarnya.
Seharusnya, lanjut Sapto, difabel diklasifikasi menjadi dua kelompok, yakni difabel yang mampu didik (kemampuan intelektual masih bisa dikembangkan) dan mampu latih (kemampuan intelektual tidak bisa dikembangkan), dan difabel mampu rawat (always patient). "Kedua kelompok ini harus dipilah, tidak semua harus masuk panti," paparnya.

Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 25 SEPTEMBER 2009

Minggu, 10 Oktober 2010

HADIAH NOBEL PERDAMAIAN 2010, Kemenangan Perjuangan Nurani

"Aku tidak punya musuh atau rasa benci. Semua polisi yang pernah mengawasi, menahan, dan menginterogasiku; para jaksa yang menuntutku; dan para hakim yang menghukumku, semua bukan musuhku."

LIU XIAOBO

Lahir : Changchun, Propinsi Jilin,China, 28 Desember 1955
Istri : Liu Xia
PUBLIKASI
- 1987 Criticism of The Choice : Dialogues With Li Zehou
- 1990 Mysteries of Though and Dreams of Mankind (2 volume, diterbitkan di Taiwan)
- 2000 A Nation That Lies to Consciense (Taiwan)
- 2008 Charter 08 (manifesto politik)
PENGALAMAN
- 2000 Mendirikan Independent Chinese PEN Center (ICPC)
- 2003 terpilih sebagai presiden dan anggota dewan pengarah ICPC
PENGHARGAAN
- 1990,1996 Human Right Watch-Hammett Grant
- 2003 Democrazy Education Fund (AS), Prize for Outsatnding Democrazy Activists
- 2004,2005,2006 Hong Kong's Annual Human Right Press Awards
- 2007 Asia-Pasific Human Rights Foundation (Australia) Courage of Conscience Award
- 2009 Independent Federation of Chinese Students and Scholars (AS) Free Spirit Award

OLEH DAHONO FITRIANTO

Kutipan diambil dari catatan berjudul "Aku Tidak Punya Musuh: Pernyataan Terakhirku" yang ditulis Liu Xiaobo (54), peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2010. Tulisan itu dibuat pada 23 Desember 2009 di dalam tahanan, dua hari sebelum Liu divonis 11 tahun penjara atas tuduhan subversi.
Sepanjang perjuangannya, Liu menghindari kekerasan dan kebencian,"Namun, dia akan mengatakan apa pun yang ada dalam pikirannya," kenang Pu Zhiqiang, seorang pengacara HAM dan teman dekat Liu.
"Hal yang aku tuntut adalah hiduplah dengan jujur, bertanggug jawab," kata Liu yang juga peraih Foundation de France Prize sebagai pejuang kebebasan pers dari Reporters Without Borders, 2004, ini.
Liu lahir dari keluarga intelektual di kota Changchun, Provinsi Jilin, China timur laut, 28 Desember 1955. Setelah lulus SMA, Liu meneruskan kuliah di Departemen Sastra China, Universitas Jilin. Dia adalah angkatan mahasiswa pertama setelah Revolusi Kebudayaan 1977.
Perjalanan hidup Liu sempat mulus. Setelh meraih sarjana pada 1982, dia menjadi mahasiswa riset di Departemen Sastra China, Universitas Normal Beijing, dan meraih gelar Master of Arts (MA) pada 1986 dan doktor dalam bidang Sastra China setahun kemudian, ia mengabdikan diri sebagai pengajar dan akademisi di kampus itu.
Tahun 1987, ia menerbitkan buku pertama, Criticism of the Choice: Dialogues with Li Zehou yang menghebohkan karena berani mengkritik tradisi Konfusianisme dan menantang pendapat Profesor Li Zehou, tokoh intelektual dan ideolog besar di China waktu itu.
Buku keduanya, hasil disertasi doktoralnya, adalah Aesthetic and Human Freedom. Dua buku itu memasuki ranah perdebatan filsafat dan estetika secara komprehensif. Nama Liu pun mengorbit. Dia beberapa kali diundang sebagai dosen tamu di sejumlah universitas kondang, seperti Universitas Oslo di Norwegia; University of Hawaii, AS; dan di Columbia University di New York, AS.
Liu ada di New York saat demontrasi mahasiswa pecah di Lapangan Tiananmen, April 1989. Dia pulang untuk ikut aksi itu. Saat militer akan membubarkan demonstran, Liu dan tiga temannya melakukan mogok makan sejak 2 Juni 1989. Dia berseru, kepada pemerintah ataupun gerakan mahasiswa, untuk meninggalkan ideologi perjuangan kelas dan mengadopsi budaya politik baru yang terbuka bagi dialog dan kompromi.
Liu sempat bernegosiasi dengan pimpinan militer dan pimpinan gerakan mahasiswa untuk mengakhiri aksi demonstrasi secara damai. namun, pembantaian para demonstran tetap terjadi sejak 3 Juni malam, walau Liu dan teman-temannya berhasil mencegah pertumpahan darah lebih besar lagi dengan egosiasi, yang membuat para demonstran membubarkan diri pada 4 Juni 1989.
Liu mengenang keterlibatan di Tiananmen sebagai titik balik terbesar dalam hidupnya. Dua hari setelah aksi itu berakhir, aparat keamanan menjebloskan Liu ke penjara dengan dengan tuduhan melakukan propaganda kontra revolusi dan menghasut orang, tiga bulan kemudian ia dipecat dari Universitas Normal Beijing dan dilarang menerbitkan tulisan atau berbicara di depan umum. Sejak itu dia menyebut dirinya "ditarik menuju jalan pembangkangan".

Pujian kepada istri

Namun, Liu terus menulis dan menyuarakan kritik, terutama terhadap penerapan sistem satu partai dan pemberangusan kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Tulisan-tulisannya lebih banyak diterbitkan di luar China. Akibatnya, Liu berada dibawah pengawasan ketat polisi. Dia dijatuhi tahanan rumah periode 1995-1996, kemudian dimasukkan ke kamp kerja paksa selama 1996-1999 karena mendesak pembebasan aktivis Tiananmen.
Diantara dua hukuman itu, Liu menikahi Liu Xia, seorang pelukis, penyair, dan fotografer, yang sudah dikenalnya sejak 1980-an. Liu menyebut istrinya sebagai keberuntungan terbesar. Liu sempat merasa berssalah telah menempatkan istrinya pada posisi tak enak akibat perjuangannya. Naumn, Liu Xiaobo bersumpah, cintanya kepada Liu Xia tak akan berubah. "Walaupun aku diremukkan sampai jadi debu, aku akan memelukmu dengan abuku," demikian janji Liu kepada Liu Xia.
Hukuman penjara yang saat ini masih dia jalani itu didapatkan setelah menggagas Charter 08, sebuah manifesto politik, mengadaptasi Charter 77 dari gerakan prodemokrasi Cekoslowakia-kini pecah menjadi dua negara, pimpinan Vaclav Havel.
"Kita harus menjadikan kebebasan berbicara sebagai penjamin hak warga untuk mendapatkan informasi dan pengawasan politik. Kita harus mengakhiri pemikiran bahwa kata-kata adalah kejahatan," demikian bunyi sebagian dokumen Charter 08.
"Kebebasan berekspresi adalah landasan hak asasi manusia, mata air kemanusiaan, dan ibu kebenaran."
Perjuangannya selalu terbentur berbalik menindasnya. Namun, Liu tak pernah menyimpan dendam. Dalam catatan terkhir sebelum dipenjarakan, Liu memaparkan panjang lebar bagaimana aparat pemerintah telah memperbaiki berbagai fasilitas di penjara serta teknik pengawasan dan interogasi yang lebih manusiawi dibandingkan 10 tahun sebelumnya.
Ia juga memuji kemajuan China di berbagai bidang, mulai dari bidang ekonomi, kebhinekaan kultural, hingga perubahan bertahap pada aturan hukum. Semua itu, menurut Liu, merupakan hikmah dari mulai mencairnya mentalitas permusuhan dan psikologi kebencian dari para pemimpin.
"Bahkan di bidang politik, yang kemajuannya paling lambat, mencairnya mentalitas permusuhan talah membuat kekuatan politik lebih toleran terhadap keberagaman. Intensitas penangkapan orang-orang yang dianggap pembangkan menurun secara substansial," tulis Liu.
Komite Nobel Norwegia memilih Liu sebagai pemenang atas "perjuangan panjang tanpa kekerasan untuk penegakan hak dasar manusia di China".

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 11 OKTOBER 2010

Rabu, 06 Oktober 2010

Sunta Atmaja, Nilai Lokal yang Terlupakan

Saat mengajar Bahasa Sunda, Sunta Atmaja merasa miris ketika seorang murid kesulitan menjawab saat diminta mencari persamaan kalimat "sampah ditimbun dalam tanah" dalam bahasa Sunda. Siswa itu menjawab "runtah diurugan di jero taneuh" atau "runtah diurugan taneuh".

SUNTA ATMAJA

Lahir : Karawang, 13 November 1965
Istri : Maryati (42)
Anak : Mamay Wijaya Atmaja, Fitri Novianita Atmaja, Danny Wijaya Atmaja.
Pendidikan :
- D3 Bahasa Inggris
Penerjemah UPBJJ-UT Bandung, tak tamat
- S1 Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar UPBJJ-UT Bandung, belum selesai
Pekerjaan :
- Guru SDN Mulyasari I UPTD TK, SD Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, 1986-kini
- Guru tak tetap SMPN 1 Ciampel, Karawang, 1992-2004
- Wartawan Koran Sunda, "Giwangkara", Bandung, 1998-kini
- Redaksi majalah pendidikan "Gapura Winaya", Karawang, 1998-2008
- Redaksi majalah "Singaperbangsa", Karawang, 2006-2007
- Redaksimajalah "Gema Pendidikan", Karawang, 2010
Penghargaan : Guru Terbaik Kategori Sekolah Dasar Hadiah Hardjapamekas, 2009

OLEH CORNELIUS HELMY

Bagi warga setempat yang berbahasa Sunda dialek Karawang, jawaban itu tak salah. Namun, pengertiannya berbeda dengan bahasa Sunda umumnya. Berdasarkan Kamus Basa Sunda karya RA Danadibrata, diurugan itu salah, sebab dalam bahasa Sunda kegiatan menimbun sampah biasa disebut disaeur.
Masih banyak contoh yang lain. "Disatu sisi, saya senang masih ada anak Karawang yang mengenal bahasa Sunda dialek Karawang. Namun, saya juga prihatin dan khawatir apabila nanti jawabannya itu dianggap keliru," kata Sunta yang pernah menerjemahkan The Adventure of Huckleberry Finn karya Mark Twain ke dalam bahasa Sunda sebagai cerita bersambung di koran berbahasa Sunda.
Sunta menekuni perbedaan arti antara bahasa Sunda dialek Karawang dan bahasa Sunda pada umumnya. Faktanya, sampai saat ini ia menemukan sekitar 1.000 kata berbeda. Ia berpikir, apabila tidak ada panduan mengenai hal ini, kekeliruan itu akan terjadi berkepanjangan.
"Masih banyak terjadi interaksi pendidikan bahasa daerah tidak berjalan dengan baik karena guru bahasa Bahasa Sunda minim pengetahuan dan anak didik enggan bertanya karena kebingungan," katanya.
Keprihatinan itu mendorong Sunta berbuat sesuatu. Ia ingin agar Bahasa Sunda dialek Karawang tetap ada tanpa harus berbenturan dengan bahasa Sunda pada umumnya yang diajarkan di sekolah. Setelah berpikir tentang alternatif metode pelajaran yang tepat, ia menyusun kamus khusus bahasa Sunda, yaitu Kamus Basa Sunda Wewengkon Karawang.
Kritik dan pesimisme teman-temannya menjadi pemicu Sunta untuk terus maju. Dia ingin memberikan kemudahan saat mengajar muridnya. Belum terpikir kamus itu akan dibukukan. Lagi pula, ia mengaku tidak memiliki uang untuk membiayai penerbitan sebuah buku.

Memancing minat

Sejak 1998, ia pun mulai rajin mencari referensi kata-kata yang berbeda dalam bahasa Sunda umunya dengan bahasa Sunda dialek Karawang. Masa kanak-kanak di tempat kelahirannya di Desa pacing, Kecamatan Jatisari, yang ketika itu berbatasan dengan Kecamatan Cilamaya yang penduduknya berbahasa "Jawa" (bahasa Cirebon dialek Karawang) merupakan referensi bahasa Sunda dialek Karawang yang kental. banyak kata dan frase bahasa setempat yang berbeda dengan bahasa Sunda umumnya.
Untuk dokumentasi awal ddan memancing minat masyarakat, ia rajin menuliskan kata yang ditemukan di rubrik "Basa Wewengkon Karawang" di koran berbahasa Sunda, Giwangkara. Biasanya minimal 10 kata ia tuliskan lengkap dengan arti kata dalam bahasa Sunda umumnya dengan contoh kalimat. Ternyata pembaca sangat antusias dengan ide ini.
"Kebetulan saya juga wartawan ddan pengasuh rubrik di Giwangkara," katanya.
Akhirnya, pada 2009 ia berhasil menyelesaikan Kamus Basa Sunda Wewengkon Karawang.
Di dalamnya terdapat seskitar 1.000 kata dengan contoh kalimat. Secara tak terduga, ada salah satu penerbit lokal yang tertarik menerbitkannya. Berkahnya berlipat ganda setelah penerbit itu juga memperbanyak kamus yang ia buat sebelumnya, yaitu Kamus Sunda-Indonesia.
Keberhasilannya itu mendorong dia semakin getol membuat kamus lain. Salah satunya adalah Kamus 4 Bahasa : Jawa Karawang-Sunda-Indonesia-Inggris.
Di dalamnya terdapat bahasa "Jawa" (bahasa Cirebon dialek Karawang) dengan padanan bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris. Sunta yang pernah menempuh program pendidikan diploma tiga Bahasa Inggris Penerjemahan di Universitas Terbuka Bandung, ini benar-benar menggunakan keahliannya berbahasa Inggris.
Yang paling mutakhir adalah buku Idiomatika Basa Sunda. Buku referensi ini, menurut Sunta, memerlukan waktu paling lama. Alasannya, ia mengumpulkan data mengenai idiomatika dalam bahasa Sunda sejak 12 tahun lalu. Salah satu kesulitannya adalah karena idiomatika sebetulnya tidak akrab digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari, baik bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia.
Buku Idiomatika Basa Sunda yang tebalnya lebih dari 500 halaman dan rencananya terbit bulan depan ini dilengkapi foto dan gambar. "Semacam buku pintar yang sederhana," ujarnya.
Kerja kerasnya berbuah manis. Disamping bukunya diterbitkan untuk umum, murid di sekolahnya juga telah pandai menempatkan penggunaan bahasa Sunda.

Guru terbaik
Pengakuan terhadap Sunta juga muncul dari berbagai kalangan. Salah satunya ketika dia dinobatkan sebagai Guru Terbaik Kategori Sekolah Dasar Hadiah Hardjapamekas pada 2009 yang baru diserahkan akhir September 2010 di Bandung.
Sunta menyatakan, ia ingin membantu pengembangan bahasa ibu di daerah lain utara Karawang dan sekitarnya, seperti bahasa Melayu Betawi dialek Karawang dan bahasa "Jawa" (bahasa Cirebon dialek Karawang-Subang). "banyak sekali ragam bahasa yang digunakan penduduknya karena wilayah itu kerap dijadikan transit para pendatang dengan banyak mata pencarian, seperti nelayan dan petani," ujarnya.
Banyaknya penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari sedikit banyak juga membuat siswa kebingungan. Ia yakin, hanya sedikit anak muda yang paham bahasa "Jawa Loran", yaitu bahasa dialek yang dipakai penutur bahasa di pantai utara Pulau Jawa antara Karawang , Subang, Indramayu, dan Cirebon.
"Banyak sekali jenis bahasa yang digunakan masyarakat. Namun, karena tidak adanya referensi yang jelas, dikhawatirkan bahasa ibu-bahasa ibu itu akan hilang. Padahal, menurut hak asasi bahasa dunia, bahasa ibu yang setiap tahun diperingati sebagai International Mother Language Day itu berhak untuk hidup," ujarnya.
Dia berharap, pemerintah juga terus menggalakkan pemahaman tentang bahasa ibu di tiap daerah. Tujuannya bukan menciptakan rasa fanatik pada suatu bahasa, melainkan berdasarkan penelitian, bahasa ibu bisa memperkuat jati diri dan tingkat kecerdasan seseorang.

Dikutip dari KOMPAS, KAMIS, 7 OKTOBER 2010.

Selasa, 05 Oktober 2010

Kadir, Penyuluh Musik "Gule Gending" Lombok

Pria bernama Kadir atau sering juga dipanggil Pak Fahmi itu ibarat "pemborong", warga Dusun Karang Dalam, Desa Kembang Kerang Daye, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. itu adalah penjual makanan gula-gula yang disebut gule gending. namun, dia pun sekaligus dikenal sebagai pembuat dan tukang servis alat musik gule gending.

KADIR

Usia : 50 tahun
Anak : 3 putra dan 4 putri
Istri : Siti Aminah (45)
Pendidikan : Sekolah Dasar sampai kelas II

OLEH KHAERUL ANWAR

Gule gending adalah alat musik masyarakat Lombok Timur. Alat yang dikenal sekitar 75 tahun silam ini adalah alat tabuh yang terbuat dari seng lembaran dan kaleng bekas wadah minyak goreng. Bentuknya pun sederhana, yaitu setengah lingkaran, berongga, dan bagian depannya dilengkapi enam kotak sebagai tangga nada. Instrumen musik ini digunakan sebagai tangkak atau wadah (rombong) menyimpan gula kapas tadi.
Enam kotak itu sebagai sumber nada dan dirancang agar mudah dimainkan. Artinya, nada do,re,mi tidak berurutan. Bisa saja nada do di urutan kedua atau nada mi di urutan kelima. Permukaan tangkak berfungsi sebagai bas.
Untuk memainkan alat musik khas itu, pemusik menggendong "perkusi" tradisi ini sambil memukul kotak-kotak tadi dengan jemari tangan kiri dan kanan.
Agaknya karena teknik pukulan dan barang yang dijual, maka instrumen itu disebut gule gending (gule=gula, gending=menabuh). Layaknya pengamen jalanan, penjual permen ini berkeliling kampung sambil menabuh (begending) memburu calon pembeli, khususnya anak-anak.

Promosi wisata

Wilayah pemasaran Kadir adalah di Kota Mataram. Untuk itu, ia tinggal menumpang di rumah keluarganya di Lingkungan Sindu, Kecamatan Cakranegara. Selama tiga minggu dalam sebulan tinggal di kota, seminggu sisanya Kadir mudik alias pulang kampung membawa hasil dagang buat anak dan istrinya.
Di Mataram, Kadir bekerja sendirian membuat gula -gula berbahan baku gula pasir dan terigu. gula pasir itu direbus sampai mencapai titik didih tertentu, lalu dicampur tepung terigu yang sudah digoreng dengan wajan. Campuran gula dan terigu menjadi agak mengeras, lalu lewat proses demikian rupa berbentuk gula kapas. Sedikitnya 35 pedagang gule gending bermarkas di Lingkungan Sindu.
Dengan jam kerja pukul 08.00-13.00, Kadir mendapat keuntungan Rp.24.000 sehari dari total penghasilan Rp.100.000,- dengan modal kerja Rp.76.000,- utuk membeli bahan baku 2 kilogram gula pasir (sekitar Rp.14.000 per kg), dan 0,5 kg minyak goreng (Rp.5.000 per kg).
Aktivitas Kadir tidak luput dari pantauan pelaku pariwisata sehingga dia bersama dua-tiga rekannya acapkali diundang para biro perjalanan wisata pada acara promosi pariwisata di Lombok.
Mereka bukan menjual gula-gula, melainkan selaku penyambut maupun menghibur para tamu undangan, diantaranya wisatawan asing. Tahun ini, dua kali kapal pesiar mengangkut masing-masing 2.000 lebih wisatawan asing melancong ke Lombok.
Jika menghadiri acara seperti itu, Kadir dan kawan-kawan mesti libur mengamen karena pengundang mengharuskannya stand by sejak pagi hingga siang hari. Atas jasanya, Kadir mendapat kompensasi, seperti makan-minum dari pengundang dan upah Rp.500.000,- yang dibagi dengan rekannya.

Perajin gending
Agaknya lelaki buta aksara ini belum puas kalau sebatas menjual gula-gula. tahun 1985 dia mengembangkan keterampilannya, seperti menjadi tukang servis alat musik itu. Niat itu muncul lantaran dia harus merogoh kocek buat biaya perbaikan alat musik khas miliknya yang fals nadanya maupun maupun keropos sengnya kepada tukang servis.
"Sayang keluar uang terus, makanya saya perbaiki sendiri saja," Belakangan para pedagang gule gending justru memanfaatkan jasa Kadir menambal rombong yang termakan usia atau menyetem nada-nada gule gending yang fals.
Bulan Puasa dan Maulid merupakan hari sibuk baginya. Selain pedagang lokal yang memperbaiki rombong. Ia juga pedagang gule gending yang pulang kampung ke Lombok dari rantauannya di Pulau Sumbawa, Flores, kalimantan, dan Sulawesi.
Perkembangan ini dianggap Kadir peluang untuk membikin alat musik itu. Apalagi jumlah pembuat instrumen itu di desanya tidak habis dihitung sebelah jari tangan.
Kalangan muda di desanya kini enggan menekuni tradisi membuat membuat rombong gule gending. Beberapa pemuda desa yang sempat diajarnya tidak bertahan lama di bengkel kerja Kadir yang dilengkapi sejumlah alat kerja, seperti kompor, palu, dan potongan seng.
"Yang paling susah adalah nyetem sumber nada,"ujar Kadir. Mungkin hal tersebut menjadi alasan para pemuda surut niatnya untuk menekuni tradisi membuat gule gending. Rasa musikal dan jam terbang adalah syarat utama membuat alat musik ini.
Kendati ada lima perajin rombong gule di desanya, Kadir di antaranya paling banyak mendapat "pasien". Karena itu, Kadir selalu menyediakan dua hingga tiga unit stok rombong baru bagi pelanggan yang terkadang ingin membeli atau sekedar tukar tambah rombong.
Awal tahun 2010, putra kedua dari tiga bersaudara pasangan Jamirah-Siti ini ketiban rezeki, menyusul pesanan 50 unit rombong dari sejumlah sekolah di Mataram.
Dia menjualnya Rp.500.000,- per rombong. Jika membeli lebih tinggi dari satu rombong baru, pesanan perorangan seharga Rp.350.000 - Rp.400.000. Kadir bisa menyelesaikan 10 rombong sebulan. Untuk jasa servis ringan, tarifnya hanya Rp.10.000 - Rp.15.000. Sementara jika rombong dirombak sengnya, ongkosnya mencapai Rp.150.000.
Nilai uang itu penting bagi Kadir sekeluarga. Namun, hal terpenting baginya adalah dia mengajarkan sebuah proses, semangat, dan kreativitas untuk mencapai cita-cita. Mungkin tanpa sadar, dalam kegiatan mengamennya Kadir berperan selaku "penyuluh".

Dikutip oleh KOMPAS, RABU, 6 OKTOBER 2010

Minggu, 03 Oktober 2010

Rizal Tandiawan, Dari Donor Darah sampai Penghijauan

Kesibukan mengelola berbagai perusahaan dengan karyawan lebih dari 1.000 orang tak menghalangi Rizal Tandiawan beraktivitas sosial. Dia tetap punya waktu untuk menggalakkan donor darah, menghijaukan lingkungan, dan mencegah banjir.

RIZAL TANDIAWAN

Lahir : Makassar, 7 Juli 1963
Istri : Liliana Margo (46)
Anak :
- Felix Tandiawan (22)
- Febby Tandiawan (21)
- Femy tandiawan (18)
Pendidikan :
- SD St Yoseph Makassar, 1971-1977
- SMP St Yoseph Makassar, 1977-1980
- SMA Katholik Cendrawasih Makassar, 1980-1983
Pekerjaan :
- Presiden Komisaris PT Sinar Galesong Grup, sejak 1991
- Ketua Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Kota Makassar, 2008-kini
Penghargaan :
- Penghargaan dari Menteri Sosial atas jasa dan partisipasi dalam membantu kesejahteraan
sosial, 2004

OLEH ASWIN RIZAL HARAHAP

KepedulianRizal, Presiden Komisaris PT Sinar Galesong Pratama, terhadap sesama dan lingkungan hidup berawal dari hal sederhana. Dia terilhami kerapnya terjadi bencana alam, yang sulit diatasi jika berharap pada peran pemerintah semata.
Sebagai donor darah aktif sejak tahun 2001, ia kaget saat Kota Makassar, Sulawesi Selatan, kesulitan mendapatkan darah. Kala itu, tahun 2004, Departemen Kesehatan menetapkan Sulsel sebagai salah satu dari 12 provinsi yang mengalami kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah.
Ia berinisiatif mengadakan kegiatan donor darah massal yang diikuti sekitar 3.000 mahasiswa dari 10 perguruan tinggi di Makassar. Dari kegiatan ini, ia berharap bisa memperkaya basis data donor di Palang Merah Indonesia (PMI), demi menjamin ketersediaan darah.
"Kegiatan itu saja belum cukup. Jadi saya juga membentuk tim fogging (pengasapan)," tuturnya.
Rizal lantas merekrut dan membina 12 siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk mengoperasikan empat mobil boks dengan peralatan pengasapan. Bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Sulsel, tim itu aktif melaksanakan pengasapan gratis di kawasan rawan demam berdarah.
Pengasapan juga mencakup daerah lain. Setidaknya sekali dalam dua minggu, tim ini memenuhi permintaan pengasapan, seperti di Palu (Sulawesi Tengah) dan Kendari (Sulawesi Tenggara).
Tiga tahun kemudian kegiatan donor darah dan tim pengasapan relatif telah berjalan lancar. Namun, masalah lain muncul. kali ini Rizal "terusik" dengan isu pemanasan global. Padahal, salah satu usaha yang dikelolanya adalah bisnis otomotif.

Pembatas jalan

Untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan itu, dia memulainya dari diri sendiri. Di halaman rumahnya di kawasan Panakukang, Makassar, ditanminya berbagai pohon buah-buahan seperti nangka, mangga, dan durian. Rizal mendapatkan bantuan bibit gratis dari Oni Gappa, penggiat penghijauan.
Jadilah tak hanya pohon buah-buahan, tetapi disejumlah lahan miliknya pun ditanami sekitar 30.000 bibit pohon trembesi dan mahoni di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulsel.
Ia menyisihkan sekitar 5.000 meter persegi tanah miliknya khusus untuk pembibitan. Maka, jumlah bibit yang bisa ditanamnya pun bertambah hingga sekitar 10.000.
Ia memilih pohon trembesi dan mahoni antara lain karena pertumbuhan kedua jenis pohon itu relatif cepat. Dalam waktu enam bulan, tinggi pohon trembesi mencapai 1,5 meter-2 meter dan siap ditanam. Untuk pohon mahoni dengan tinggi yang sama, dibutuhkan waktu tiga bulan lebih lama.
"Dalam waktu tidak terlalu lama, semakin banyak pohon yang bisa segera ditanam untuk penghijauan," ujar Rizal yang memilih sendiri bibit pohon yang siap ditanam sekaligus menentukaan lokasi penanamannya.
Sekitar pertengahan 2007 Rizal mulai menanam ratusan pohon di tanah pembatas jalan protokol di Makassar, seperti Jalan AP Pettarani, Jalan Urip Sumoharjo, hingga Jalan Perintis Kemerdekaan. Setelah Makassar "menghijau" dia kemudian menawarkan dan menyumbangkan pohon kepada siapa pun yang membutuhkan. Untuk memudahkan penyaluran, ia bekerja sama dengan sejumlah instansi pemerintah di seluruh provinsi di Pulau Sulawesi.
"Siapa saja yang butuh (pohon) tinggal telpon, pohon akan kami antar tanpa pungutan. Kalau adaa yang mau mengambil sendiri ke tempat penyemaian pun, silahkan." tutur Rizal yang tahun 2004 mendapat penghargaan dari Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah atas jasa dan partisipasi dalam membantu upaya meningkatkan kesejahteraan sosial.
Bukan hanya jalan protokol, melainkan lahan di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) pun sejak 2008 mendapat bibit pohon darinya. "Kami telah menanam sekitar 2.000 pohon di halaman kampus Unhas. Dengan pohon gratis dari Pak Rizal, program ini akan terus kami lakukan," ujar Halim, staf Biro Umum Unhas.

Resapan air

Belakangan ini tidak hanya pohon gratis yang diberikan Rizal untuk "menghijaukan" Makassar. Dia juga berusaha membuat sendiri alat pengebor tanah untuk pembuatan lubang resapan biopori.
Biopori merupakan upaya memperluas lahan resapan air, guna mengurangi banjir dan penyediaan air bawah tanah. "Tahun lalu kami bisa menyumbangkan 1.000 alat (pembuat biopori) kepada camat dan lurah di Sulsel," ujarnya.
Berbagai bentuk kepedulian lingkungan itu bisa dilakukan Rizal karena ia merasa mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah ataupun tempat kerjanya, terutama para karyawan. "Saya bersyukur karena dikelilingi orang-orang yang juga mencintai lingkungan," katanya menunjuk para karyawan di kantornya, di jalan AP Pettarani, Makassar.
Rizal berharap pemerintah tidak berhenti untuk terus menyosialisasikan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
"Apa yang kami lakukan ini tak ada artinya tanpa bantuan pemerintah dan komitmen semua anggota masyarakat untuk memelihara lingkungan," lanjutnya.
Konsistensi dalam menjalankan suatu pekerjaan meski itu kegiatan sosial sekalipun, tak lepas dari masa mudanya. Kendati berasal dari keluarga berada, Rizal tak terbiasa mengandalkan kekayaan orang tuanya yang memiliki usaha tepung terigu.
"Anak pertama saya sampai harus tinggal beberapa hari di rumah sakit karena saya tak mampu membayar biaya persalinan," ceritanya tentang Felix yang lahir tahun 1988.
Sejumlah perusahaan miliknya kini, seperti usaha otomotif, properti, perhotelan, restoran, dan batu pualam, dia bangun dari "nol". Ketekunan berusaha itu membuat dia terbiasa mengerjakan tugas apa pun sebaik mungkin, termasuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan.
Untuk itu, salah satu obsesi Rizal adalah menjadikan Pulau Cangke di Kabupaten Pangkep, Sulsel, sebagai daerah konservasi penyu. Dia berharap pemerintah setempat pun mendukung keinginannya itu.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 4 OKTOBER 2010.