Minggu, 10 Oktober 2010

HADIAH NOBEL PERDAMAIAN 2010, Kemenangan Perjuangan Nurani

"Aku tidak punya musuh atau rasa benci. Semua polisi yang pernah mengawasi, menahan, dan menginterogasiku; para jaksa yang menuntutku; dan para hakim yang menghukumku, semua bukan musuhku."

LIU XIAOBO

Lahir : Changchun, Propinsi Jilin,China, 28 Desember 1955
Istri : Liu Xia
PUBLIKASI
- 1987 Criticism of The Choice : Dialogues With Li Zehou
- 1990 Mysteries of Though and Dreams of Mankind (2 volume, diterbitkan di Taiwan)
- 2000 A Nation That Lies to Consciense (Taiwan)
- 2008 Charter 08 (manifesto politik)
PENGALAMAN
- 2000 Mendirikan Independent Chinese PEN Center (ICPC)
- 2003 terpilih sebagai presiden dan anggota dewan pengarah ICPC
PENGHARGAAN
- 1990,1996 Human Right Watch-Hammett Grant
- 2003 Democrazy Education Fund (AS), Prize for Outsatnding Democrazy Activists
- 2004,2005,2006 Hong Kong's Annual Human Right Press Awards
- 2007 Asia-Pasific Human Rights Foundation (Australia) Courage of Conscience Award
- 2009 Independent Federation of Chinese Students and Scholars (AS) Free Spirit Award

OLEH DAHONO FITRIANTO

Kutipan diambil dari catatan berjudul "Aku Tidak Punya Musuh: Pernyataan Terakhirku" yang ditulis Liu Xiaobo (54), peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2010. Tulisan itu dibuat pada 23 Desember 2009 di dalam tahanan, dua hari sebelum Liu divonis 11 tahun penjara atas tuduhan subversi.
Sepanjang perjuangannya, Liu menghindari kekerasan dan kebencian,"Namun, dia akan mengatakan apa pun yang ada dalam pikirannya," kenang Pu Zhiqiang, seorang pengacara HAM dan teman dekat Liu.
"Hal yang aku tuntut adalah hiduplah dengan jujur, bertanggug jawab," kata Liu yang juga peraih Foundation de France Prize sebagai pejuang kebebasan pers dari Reporters Without Borders, 2004, ini.
Liu lahir dari keluarga intelektual di kota Changchun, Provinsi Jilin, China timur laut, 28 Desember 1955. Setelah lulus SMA, Liu meneruskan kuliah di Departemen Sastra China, Universitas Jilin. Dia adalah angkatan mahasiswa pertama setelah Revolusi Kebudayaan 1977.
Perjalanan hidup Liu sempat mulus. Setelh meraih sarjana pada 1982, dia menjadi mahasiswa riset di Departemen Sastra China, Universitas Normal Beijing, dan meraih gelar Master of Arts (MA) pada 1986 dan doktor dalam bidang Sastra China setahun kemudian, ia mengabdikan diri sebagai pengajar dan akademisi di kampus itu.
Tahun 1987, ia menerbitkan buku pertama, Criticism of the Choice: Dialogues with Li Zehou yang menghebohkan karena berani mengkritik tradisi Konfusianisme dan menantang pendapat Profesor Li Zehou, tokoh intelektual dan ideolog besar di China waktu itu.
Buku keduanya, hasil disertasi doktoralnya, adalah Aesthetic and Human Freedom. Dua buku itu memasuki ranah perdebatan filsafat dan estetika secara komprehensif. Nama Liu pun mengorbit. Dia beberapa kali diundang sebagai dosen tamu di sejumlah universitas kondang, seperti Universitas Oslo di Norwegia; University of Hawaii, AS; dan di Columbia University di New York, AS.
Liu ada di New York saat demontrasi mahasiswa pecah di Lapangan Tiananmen, April 1989. Dia pulang untuk ikut aksi itu. Saat militer akan membubarkan demonstran, Liu dan tiga temannya melakukan mogok makan sejak 2 Juni 1989. Dia berseru, kepada pemerintah ataupun gerakan mahasiswa, untuk meninggalkan ideologi perjuangan kelas dan mengadopsi budaya politik baru yang terbuka bagi dialog dan kompromi.
Liu sempat bernegosiasi dengan pimpinan militer dan pimpinan gerakan mahasiswa untuk mengakhiri aksi demonstrasi secara damai. namun, pembantaian para demonstran tetap terjadi sejak 3 Juni malam, walau Liu dan teman-temannya berhasil mencegah pertumpahan darah lebih besar lagi dengan egosiasi, yang membuat para demonstran membubarkan diri pada 4 Juni 1989.
Liu mengenang keterlibatan di Tiananmen sebagai titik balik terbesar dalam hidupnya. Dua hari setelah aksi itu berakhir, aparat keamanan menjebloskan Liu ke penjara dengan dengan tuduhan melakukan propaganda kontra revolusi dan menghasut orang, tiga bulan kemudian ia dipecat dari Universitas Normal Beijing dan dilarang menerbitkan tulisan atau berbicara di depan umum. Sejak itu dia menyebut dirinya "ditarik menuju jalan pembangkangan".

Pujian kepada istri

Namun, Liu terus menulis dan menyuarakan kritik, terutama terhadap penerapan sistem satu partai dan pemberangusan kebebasan berbicara dan kebebasan pers. Tulisan-tulisannya lebih banyak diterbitkan di luar China. Akibatnya, Liu berada dibawah pengawasan ketat polisi. Dia dijatuhi tahanan rumah periode 1995-1996, kemudian dimasukkan ke kamp kerja paksa selama 1996-1999 karena mendesak pembebasan aktivis Tiananmen.
Diantara dua hukuman itu, Liu menikahi Liu Xia, seorang pelukis, penyair, dan fotografer, yang sudah dikenalnya sejak 1980-an. Liu menyebut istrinya sebagai keberuntungan terbesar. Liu sempat merasa berssalah telah menempatkan istrinya pada posisi tak enak akibat perjuangannya. Naumn, Liu Xiaobo bersumpah, cintanya kepada Liu Xia tak akan berubah. "Walaupun aku diremukkan sampai jadi debu, aku akan memelukmu dengan abuku," demikian janji Liu kepada Liu Xia.
Hukuman penjara yang saat ini masih dia jalani itu didapatkan setelah menggagas Charter 08, sebuah manifesto politik, mengadaptasi Charter 77 dari gerakan prodemokrasi Cekoslowakia-kini pecah menjadi dua negara, pimpinan Vaclav Havel.
"Kita harus menjadikan kebebasan berbicara sebagai penjamin hak warga untuk mendapatkan informasi dan pengawasan politik. Kita harus mengakhiri pemikiran bahwa kata-kata adalah kejahatan," demikian bunyi sebagian dokumen Charter 08.
"Kebebasan berekspresi adalah landasan hak asasi manusia, mata air kemanusiaan, dan ibu kebenaran."
Perjuangannya selalu terbentur berbalik menindasnya. Namun, Liu tak pernah menyimpan dendam. Dalam catatan terkhir sebelum dipenjarakan, Liu memaparkan panjang lebar bagaimana aparat pemerintah telah memperbaiki berbagai fasilitas di penjara serta teknik pengawasan dan interogasi yang lebih manusiawi dibandingkan 10 tahun sebelumnya.
Ia juga memuji kemajuan China di berbagai bidang, mulai dari bidang ekonomi, kebhinekaan kultural, hingga perubahan bertahap pada aturan hukum. Semua itu, menurut Liu, merupakan hikmah dari mulai mencairnya mentalitas permusuhan dan psikologi kebencian dari para pemimpin.
"Bahkan di bidang politik, yang kemajuannya paling lambat, mencairnya mentalitas permusuhan talah membuat kekuatan politik lebih toleran terhadap keberagaman. Intensitas penangkapan orang-orang yang dianggap pembangkan menurun secara substansial," tulis Liu.
Komite Nobel Norwegia memilih Liu sebagai pemenang atas "perjuangan panjang tanpa kekerasan untuk penegakan hak dasar manusia di China".

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 11 OKTOBER 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar