Pria bernama Kadir atau sering juga dipanggil Pak Fahmi itu ibarat "pemborong", warga Dusun Karang Dalam, Desa Kembang Kerang Daye, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. itu adalah penjual makanan gula-gula yang disebut gule gending. namun, dia pun sekaligus dikenal sebagai pembuat dan tukang servis alat musik gule gending.
KADIR
Usia : 50 tahun
Anak : 3 putra dan 4 putri
Istri : Siti Aminah (45)
Pendidikan : Sekolah Dasar sampai kelas II
OLEH KHAERUL ANWAR
Gule gending adalah alat musik masyarakat Lombok Timur. Alat yang dikenal sekitar 75 tahun silam ini adalah alat tabuh yang terbuat dari seng lembaran dan kaleng bekas wadah minyak goreng. Bentuknya pun sederhana, yaitu setengah lingkaran, berongga, dan bagian depannya dilengkapi enam kotak sebagai tangga nada. Instrumen musik ini digunakan sebagai tangkak atau wadah (rombong) menyimpan gula kapas tadi.
Enam kotak itu sebagai sumber nada dan dirancang agar mudah dimainkan. Artinya, nada do,re,mi tidak berurutan. Bisa saja nada do di urutan kedua atau nada mi di urutan kelima. Permukaan tangkak berfungsi sebagai bas.
Untuk memainkan alat musik khas itu, pemusik menggendong "perkusi" tradisi ini sambil memukul kotak-kotak tadi dengan jemari tangan kiri dan kanan.
Agaknya karena teknik pukulan dan barang yang dijual, maka instrumen itu disebut gule gending (gule=gula, gending=menabuh). Layaknya pengamen jalanan, penjual permen ini berkeliling kampung sambil menabuh (begending) memburu calon pembeli, khususnya anak-anak.
Promosi wisata
Wilayah pemasaran Kadir adalah di Kota Mataram. Untuk itu, ia tinggal menumpang di rumah keluarganya di Lingkungan Sindu, Kecamatan Cakranegara. Selama tiga minggu dalam sebulan tinggal di kota, seminggu sisanya Kadir mudik alias pulang kampung membawa hasil dagang buat anak dan istrinya.
Di Mataram, Kadir bekerja sendirian membuat gula -gula berbahan baku gula pasir dan terigu. gula pasir itu direbus sampai mencapai titik didih tertentu, lalu dicampur tepung terigu yang sudah digoreng dengan wajan. Campuran gula dan terigu menjadi agak mengeras, lalu lewat proses demikian rupa berbentuk gula kapas. Sedikitnya 35 pedagang gule gending bermarkas di Lingkungan Sindu.
Dengan jam kerja pukul 08.00-13.00, Kadir mendapat keuntungan Rp.24.000 sehari dari total penghasilan Rp.100.000,- dengan modal kerja Rp.76.000,- utuk membeli bahan baku 2 kilogram gula pasir (sekitar Rp.14.000 per kg), dan 0,5 kg minyak goreng (Rp.5.000 per kg).
Aktivitas Kadir tidak luput dari pantauan pelaku pariwisata sehingga dia bersama dua-tiga rekannya acapkali diundang para biro perjalanan wisata pada acara promosi pariwisata di Lombok.
Mereka bukan menjual gula-gula, melainkan selaku penyambut maupun menghibur para tamu undangan, diantaranya wisatawan asing. Tahun ini, dua kali kapal pesiar mengangkut masing-masing 2.000 lebih wisatawan asing melancong ke Lombok.
Jika menghadiri acara seperti itu, Kadir dan kawan-kawan mesti libur mengamen karena pengundang mengharuskannya stand by sejak pagi hingga siang hari. Atas jasanya, Kadir mendapat kompensasi, seperti makan-minum dari pengundang dan upah Rp.500.000,- yang dibagi dengan rekannya.
Perajin gending
Agaknya lelaki buta aksara ini belum puas kalau sebatas menjual gula-gula. tahun 1985 dia mengembangkan keterampilannya, seperti menjadi tukang servis alat musik itu. Niat itu muncul lantaran dia harus merogoh kocek buat biaya perbaikan alat musik khas miliknya yang fals nadanya maupun maupun keropos sengnya kepada tukang servis.
"Sayang keluar uang terus, makanya saya perbaiki sendiri saja," Belakangan para pedagang gule gending justru memanfaatkan jasa Kadir menambal rombong yang termakan usia atau menyetem nada-nada gule gending yang fals.
Bulan Puasa dan Maulid merupakan hari sibuk baginya. Selain pedagang lokal yang memperbaiki rombong. Ia juga pedagang gule gending yang pulang kampung ke Lombok dari rantauannya di Pulau Sumbawa, Flores, kalimantan, dan Sulawesi.
Perkembangan ini dianggap Kadir peluang untuk membikin alat musik itu. Apalagi jumlah pembuat instrumen itu di desanya tidak habis dihitung sebelah jari tangan.
Kalangan muda di desanya kini enggan menekuni tradisi membuat membuat rombong gule gending. Beberapa pemuda desa yang sempat diajarnya tidak bertahan lama di bengkel kerja Kadir yang dilengkapi sejumlah alat kerja, seperti kompor, palu, dan potongan seng.
"Yang paling susah adalah nyetem sumber nada,"ujar Kadir. Mungkin hal tersebut menjadi alasan para pemuda surut niatnya untuk menekuni tradisi membuat gule gending. Rasa musikal dan jam terbang adalah syarat utama membuat alat musik ini.
Kendati ada lima perajin rombong gule di desanya, Kadir di antaranya paling banyak mendapat "pasien". Karena itu, Kadir selalu menyediakan dua hingga tiga unit stok rombong baru bagi pelanggan yang terkadang ingin membeli atau sekedar tukar tambah rombong.
Awal tahun 2010, putra kedua dari tiga bersaudara pasangan Jamirah-Siti ini ketiban rezeki, menyusul pesanan 50 unit rombong dari sejumlah sekolah di Mataram.
Dia menjualnya Rp.500.000,- per rombong. Jika membeli lebih tinggi dari satu rombong baru, pesanan perorangan seharga Rp.350.000 - Rp.400.000. Kadir bisa menyelesaikan 10 rombong sebulan. Untuk jasa servis ringan, tarifnya hanya Rp.10.000 - Rp.15.000. Sementara jika rombong dirombak sengnya, ongkosnya mencapai Rp.150.000.
Nilai uang itu penting bagi Kadir sekeluarga. Namun, hal terpenting baginya adalah dia mengajarkan sebuah proses, semangat, dan kreativitas untuk mencapai cita-cita. Mungkin tanpa sadar, dalam kegiatan mengamennya Kadir berperan selaku "penyuluh".
Dikutip oleh KOMPAS, RABU, 6 OKTOBER 2010
KADIR
Usia : 50 tahun
Anak : 3 putra dan 4 putri
Istri : Siti Aminah (45)
Pendidikan : Sekolah Dasar sampai kelas II
OLEH KHAERUL ANWAR
Gule gending adalah alat musik masyarakat Lombok Timur. Alat yang dikenal sekitar 75 tahun silam ini adalah alat tabuh yang terbuat dari seng lembaran dan kaleng bekas wadah minyak goreng. Bentuknya pun sederhana, yaitu setengah lingkaran, berongga, dan bagian depannya dilengkapi enam kotak sebagai tangga nada. Instrumen musik ini digunakan sebagai tangkak atau wadah (rombong) menyimpan gula kapas tadi.
Enam kotak itu sebagai sumber nada dan dirancang agar mudah dimainkan. Artinya, nada do,re,mi tidak berurutan. Bisa saja nada do di urutan kedua atau nada mi di urutan kelima. Permukaan tangkak berfungsi sebagai bas.
Untuk memainkan alat musik khas itu, pemusik menggendong "perkusi" tradisi ini sambil memukul kotak-kotak tadi dengan jemari tangan kiri dan kanan.
Agaknya karena teknik pukulan dan barang yang dijual, maka instrumen itu disebut gule gending (gule=gula, gending=menabuh). Layaknya pengamen jalanan, penjual permen ini berkeliling kampung sambil menabuh (begending) memburu calon pembeli, khususnya anak-anak.
Promosi wisata
Wilayah pemasaran Kadir adalah di Kota Mataram. Untuk itu, ia tinggal menumpang di rumah keluarganya di Lingkungan Sindu, Kecamatan Cakranegara. Selama tiga minggu dalam sebulan tinggal di kota, seminggu sisanya Kadir mudik alias pulang kampung membawa hasil dagang buat anak dan istrinya.
Di Mataram, Kadir bekerja sendirian membuat gula -gula berbahan baku gula pasir dan terigu. gula pasir itu direbus sampai mencapai titik didih tertentu, lalu dicampur tepung terigu yang sudah digoreng dengan wajan. Campuran gula dan terigu menjadi agak mengeras, lalu lewat proses demikian rupa berbentuk gula kapas. Sedikitnya 35 pedagang gule gending bermarkas di Lingkungan Sindu.
Dengan jam kerja pukul 08.00-13.00, Kadir mendapat keuntungan Rp.24.000 sehari dari total penghasilan Rp.100.000,- dengan modal kerja Rp.76.000,- utuk membeli bahan baku 2 kilogram gula pasir (sekitar Rp.14.000 per kg), dan 0,5 kg minyak goreng (Rp.5.000 per kg).
Aktivitas Kadir tidak luput dari pantauan pelaku pariwisata sehingga dia bersama dua-tiga rekannya acapkali diundang para biro perjalanan wisata pada acara promosi pariwisata di Lombok.
Mereka bukan menjual gula-gula, melainkan selaku penyambut maupun menghibur para tamu undangan, diantaranya wisatawan asing. Tahun ini, dua kali kapal pesiar mengangkut masing-masing 2.000 lebih wisatawan asing melancong ke Lombok.
Jika menghadiri acara seperti itu, Kadir dan kawan-kawan mesti libur mengamen karena pengundang mengharuskannya stand by sejak pagi hingga siang hari. Atas jasanya, Kadir mendapat kompensasi, seperti makan-minum dari pengundang dan upah Rp.500.000,- yang dibagi dengan rekannya.
Perajin gending
Agaknya lelaki buta aksara ini belum puas kalau sebatas menjual gula-gula. tahun 1985 dia mengembangkan keterampilannya, seperti menjadi tukang servis alat musik itu. Niat itu muncul lantaran dia harus merogoh kocek buat biaya perbaikan alat musik khas miliknya yang fals nadanya maupun maupun keropos sengnya kepada tukang servis.
"Sayang keluar uang terus, makanya saya perbaiki sendiri saja," Belakangan para pedagang gule gending justru memanfaatkan jasa Kadir menambal rombong yang termakan usia atau menyetem nada-nada gule gending yang fals.
Bulan Puasa dan Maulid merupakan hari sibuk baginya. Selain pedagang lokal yang memperbaiki rombong. Ia juga pedagang gule gending yang pulang kampung ke Lombok dari rantauannya di Pulau Sumbawa, Flores, kalimantan, dan Sulawesi.
Perkembangan ini dianggap Kadir peluang untuk membikin alat musik itu. Apalagi jumlah pembuat instrumen itu di desanya tidak habis dihitung sebelah jari tangan.
Kalangan muda di desanya kini enggan menekuni tradisi membuat membuat rombong gule gending. Beberapa pemuda desa yang sempat diajarnya tidak bertahan lama di bengkel kerja Kadir yang dilengkapi sejumlah alat kerja, seperti kompor, palu, dan potongan seng.
"Yang paling susah adalah nyetem sumber nada,"ujar Kadir. Mungkin hal tersebut menjadi alasan para pemuda surut niatnya untuk menekuni tradisi membuat gule gending. Rasa musikal dan jam terbang adalah syarat utama membuat alat musik ini.
Kendati ada lima perajin rombong gule di desanya, Kadir di antaranya paling banyak mendapat "pasien". Karena itu, Kadir selalu menyediakan dua hingga tiga unit stok rombong baru bagi pelanggan yang terkadang ingin membeli atau sekedar tukar tambah rombong.
Awal tahun 2010, putra kedua dari tiga bersaudara pasangan Jamirah-Siti ini ketiban rezeki, menyusul pesanan 50 unit rombong dari sejumlah sekolah di Mataram.
Dia menjualnya Rp.500.000,- per rombong. Jika membeli lebih tinggi dari satu rombong baru, pesanan perorangan seharga Rp.350.000 - Rp.400.000. Kadir bisa menyelesaikan 10 rombong sebulan. Untuk jasa servis ringan, tarifnya hanya Rp.10.000 - Rp.15.000. Sementara jika rombong dirombak sengnya, ongkosnya mencapai Rp.150.000.
Nilai uang itu penting bagi Kadir sekeluarga. Namun, hal terpenting baginya adalah dia mengajarkan sebuah proses, semangat, dan kreativitas untuk mencapai cita-cita. Mungkin tanpa sadar, dalam kegiatan mengamennya Kadir berperan selaku "penyuluh".
Dikutip oleh KOMPAS, RABU, 6 OKTOBER 2010
selamat sore.. Minta info alamat lengkap atau nomer tlp pengerajinnya.. sy lahir di lombok ingin membeli dan melestarikan alat perkusi asli lombok ini.. terima kasih.
BalasHapus