Kamis, 26 September 2013

Sunarni: Rumah Sampah tapi Indah

SUNARNI
Lahir: 5 jUNI 1978
Pendidikan: D-3 Pariwisata
Suami: Misno
Anak:
- Naufal Falah (12,5)
- Surya Fadhil Abdilah (6,5)
Kegiatan:
- Pelatih kerajinan daur ulang
- Guru tidak tetap di SLB Muara Sejahtera-Pondok Cabe

Sebuah tulisan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" di atas pintu sebuah rumah di Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, merupakan sambutan khas dari tiga bersudara Sunarti, Sunarni, dan Nining. Ketiganya penggerak industri rumahan berbahan sampah plastik yang semua pekerjanya tunarungu.

OLEH NELI TRIANA/PINGKAN ELITA DUNDU

"Mau lihat hasil karya teman-teman saya? Yuk, masuk ke sini," ajak Sunarni (35) yang langsung menuju kamar di bagian depan rumah.
   Lemari etalase berdesakan memenuhi kamar berisi aneka kerajinan mulai dari tempat pensil sampai aneka wadah serta tas kerja dan tas wanita. Semuanya  dibuat dari sampah plastik, seperti bungkus sabun cuci dan kopi serta spanduk. Sebagian barang lain, seperti boneka dan kuda-kudaan, dibuat dari kain perca.
   Tak terasa, menginjak tahun 2013, usaha keluarga ini berusia 18 tahun. Bukan mas apendek untuk sebuah usaha yang sedari awal tidak diniatkan semata demi kepentingan bisnis.
   Almarhum Kasmi dan suaminya, Sarmin (60), orangtua dari Sunarti, Sunarni, dan Nining, selama berpuluh tahun silam hidup sederhana.  Bersepeda memboncengkan ketiga putrinya Kasmi berkeliling jualan gorengan.
   Selain itu, Kasmi nyambi jadi pembantu di rumah orang asing di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Beruntung mendapatkan majikan yang amat baik, Kasmi diberi kesempatan mengambil kursus jahit, rias pengantin, dan membuat boneka.
   "Umur manusia tidak bisa ditebak. Yang jadi pikiran ibu, bagaimana kalau ia meninggal dunia lebih dulu. Bagaimana nasib anak-anaknya, terutama Nining yang memiliki kekurangan?" kata Sunarni.
   Kasmi pun bersikeras menularkan ilmu hasil kursus kepada ketiga putrinya. Meski terkendala masalah komunikasi, karena Nining tunarungu, keluarga ini terus melatih si bungsu agar menguasai keterampilan.
   Mereka kemudian membuat kerajinan pertamanya berupa  boneka dari kain perca. Majikan Kasmi lagi-lagi mengulurkan tangannya untuk memasarkan boneka kain perca ke teman-temannya sesama ekspatriat.
   Pada 1995, usaha ini mulai digarap serius. Para pekerja yang direkrut semuanya adalah penyandang tunarungu. Saat ini ada tujuh pekerja tetap dan jika pesanan sedang tinggi, akan ada pekerja tambahan yang juga tunarungu. Dalam sepekan, sekitar 200 barang berbagai model dihasilkan dan siap dipasarkan.
   Salah satu masukan dari para ekspatriat pelanggan mereka adalah harus konsisten memakai limbah plastik dan membuat barang yang bisa dipakai sehari-hari. Upaya ini guna memberikan nilai ekonomi pada limbah plastik dan pasti mengurangi sampah yang meracuni lingkungan.
   Di sisi lain, mereka disarankan berkreasi unik yang menghasilkan barang berkesan mewah. Hasilnya, selain tas-tas belanja, ada pula tas jinjing untuk wanita berwarna perak. Tas ini hasil rajutan bagian dalam bungkus pasta gigi. Nilai jualnya, minimal Rp 400.000 per buah.

Teruskan usaha

   Dua tahun lalu, Kasmi meninggal dunia. Ia berpesan, jika menjadi pengusaha dan mendarmakan pekerjaan untuk kebaikan, pekerjaan itu pasti bisa langgeng diteruskan hingga ke anak cucu.
   Mengikuti saran ibunya, Sunarni yang lulusan D-3 Pariwisata memilih keluar dari pekerjaannya di sebuah instansi pemerintah.
   Jika kakak dan adiknya memilih fokus menjalankan usaha kerajinan daur ulang sampah, Sunarni getol memasarkan hasil industri rumah tangga tersebut. Dia juga berupaya membagi ilmunya kepada penyandang cacat, juga masyarakat umum di seluruh pelosok Nusantara.
   Dalam sepekan, Sunarni sibuk memenuhi panggilan menjadi pelatih membuat kerajinan daur ulang di banyak acara. Terkadang, ketika tempatnya jauh, seperti di Papua, Sunarni harus meninggalkan dua anaknya sampai berhari-hari.
   Setiap Sabtu, Sunarni menjadi tenaga pengajar sukarela bagi siswa-siswa sekolah luar biasa di kawasan Pondok Cabe, Ciputat. Selama dua bulan berturut-turut setiap tahun, giliran siswa SLB tersebut yang menjalani pelatihan untuk berkreasi di rumah keluarga Sunarni.
   "Tidak ada pungutan biaya apapun bagi siswa SLB ini. Terkadang ongkos pulang pun kami beri. Kalau mau makan apa adanya, kami siapkan makanan di sini," kata Sunarni.
   Berdasarkan pengalamannya, menurut Sunarni, mengikuti pelatihan dan mampu menguasai keterampilan tertentu merupakan terapi paling baik bagi para penyandang cacat.
   Orang yang memiliki ketidaksempurnaan fisik, tetapi memiliki otak normal amat mudah menguasai keterampilan dan mampu hidup mandiri. Dengan kemandiriannya, mereka menjadi percaya diri hidup di tengah masyarakat.
   Namun, dibutuhkan usaha ekstrakeras untuk melatih penyandang cacat yang juga mengalami gangguan pada otak. Yang pasti, asal telaten, sabar, dan ikhlas, hasil terbaik bisa dicapai.

Rezeki selalu ada

   Sunarni tak menampik bahwa barang kerajinan yang dihasilkannya memiliki nilai jual tinggi, tetapi memang sampai saat ini pasarnya hanya terbatas, yaitu konsumen asing. Masyarakat Indonesia, menurut dia, belum menghargai karya berbahan daur ulang.
   Kondisi ini memang bisa jadi kendala dalam pengembangan usahanya.
Apalagi, ia mendapat saingan berat dengan banyaknya usaha serupa yang kini bermunculan.
   "Rata-rata barang di sini dijual Rp 10.000-Rp 400.000. Namun, alhamdulillah, selalu saja ada pesanan dan kalau pas di pameran juga laku keras," katanya.
   Perwakilan dari sebuah perusahaan consumer goods ternama pada awal tahun 2000 pernah berguru kepada keluarga Sunarni. Perusahaan tersebut sempat menjalin kerja sama selama beberapa saat dengan Kasmi.
   "Tak lama kemudian, kami dengar perusahaan tersebut aktif memberikan pelatihan kepada kelompok-kelompok masyarakat asuhannya untuk mendaur ulang sampah plastik seperti halnya yang kami lakukan. Sungguh kami bersyukur, kreasi kami berguna dan justru kami dibantu untuk menularkan ilmu. Sama sekali tidak merasa ada saingan," kata Sunarni.
   Selama ini, Sunarni menjual bahrang-barang kerajinan di hotel-hotel berbintang, supermarket yang menyasar warga negara asing, dan pesanan dari orang-orang tertentu khusus untuk dipasarkan di luar negeri, seperti Dubai.
   Beberapa hotel berbintang lima, perusahaan minuman, dan departemen pemerintah bekerja sama dengan Sunarni, yaitu dengan memasok limbah plastik, spanduk, kain perca, dan lainnya. Setelah dibersihkan dan diolah, barang kerajinan kembali kepada rekan kerja itu untuk dipasarkan.
   Walaupun usaha keluarga itu sempat diterpa krisis pada 2005, mereka berhasil bangkit. Sampai saat ini, usaha daur ulang tersebut tidak pernah terbelit utang. Kehidupan "Di Rumah Sampah Tapi Indah" terus bergulir menawarkan semangat bekerja keras dan kekeluargaan.

Dikutip, KOMPAS, KAMIS, 26 SEPTEMBER 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar