Selasa, 26 November 2013

Ida Widyastuti: "Ratu" Keripik Pisang Petani dan UKM

IDA WIDYASTUTI
Lahir: Demak, Jawa Tengah, 30 Oktober 1974
Suami: M Haris Setiawan
Anak:
- Nabil Hilmi Daffa
- Keiko Hana Sheika
Pendidikan: D-1 Perhotelan Aryanti, Bandung, 1998-1999
Penghargaan, antara lain:
- Prabaswara Award Kementerian UKM dan Koperasi, 2013
- Juara I Pangan Nusa Award Kementerian Perdagangan, 2012
- Winner ofWinning Women 2012 Ernts & Young
- 100 Perempuan Pengusaha Majalah Swa, 2012
- Juara I wirausaha Mandiri Majalah Femina, 2012

Di mana ada kemauan, pasti ada jalan, Terdengar klise, tetapi semangat itu benar-benar mengubah perjalanan hidup Ida Widyastuti (38). Dari pekerja pabrik elektronik di Batam, Ida kini menjadi ratu pisang dengan omzet usaha miliaran rupiah per bulan.

OLEH NINUK M PAMBUDY & AGNES SWETTA PANDIA

Julukan "ratu pisang"-lebih tepatnya ratu keripik pisang- diberikan 300-an petani pisang tanduk di Trenggalek dan Tulungagung, Jawa Timur, sebagai wujud penghargaan bagi dia.
  Kerja sama dengan petani di Trenggalek berawal tahun 2004. Saat itu Ida baru merintis usaha camilan tradisional, selain mendistribusikan makanan kecil produksi pengusaha mikro.
   Saat mencari bahan baku pisang, di Trenggalek dia melihat petani membuang pisang tanduk seusai Lebaran karena tidak laku. Ida menangkap peluang tersebut. Perlu empat bulan masa mencoba-coba sebelum dia menemukan resep yang pas.
   "Ini termasuk rugi juga," tutur ibu dua putri itu.
   Ada 10 kelompok tani dengan luas 200 hektar bergabung bersama Kelompok Usaha Bersama Mekarsari yang dikembangkan Ida. selain menjamin pembelian pisang, ia juga mengembangkan bibit pisang melalui seleksi dan ikut menanam pisang supaya tahu persoalan produksi pada bagian hulu.
      Sekarang, produksi keripik pisang Ida mencapai 50-75 ton per bulan, bergantung pada musim dan permintaan. Sebagian besar keripik pisang itu dipasarkan ke luar Pulau Jawa. Semua di bawah bendera Roemah Snack Mekarsari yang dia kelola bersama suaminya, M Haris Setiawan.

Ingin kaya

   Hidup adalah perjuangan, benar-benar dilakoni Ida. Ibunya meninggal saat melahirkan Ida dan membuat dia menjadi anak tunggal. Kakek dan neneknya lalu membesarkan dia di desa secara sederhana.
   Ida mengenang, ketika masih duduk di kelas IV SD, dia biasa ikut orang bekerja di ladang karena ingin mandiri secara ekonomi. "Orang dewasa mendapat upah Rp 800 dan saya dapat Rp 300," tutur Ida dalam pertemuan di Jakarta.
   Keadaan ekonomi tidak memungkinkan Ida melanjutkan pendidikan. Perempuan kelahiran Demak, Jawa Tengah, itu lalu bekerja di pabrik peralatan elektronik di Batam pada 1993.
   Warga Sidoarjo, Jawa Timur, tersebut kemudian membuat target. Ia bekerja sebagai buruh hanya lima tahun. Setelah itu dia harus bisa mandiri dengan berwirausaha.
   "Saya membulatkan tekad, harus keluar dari kemiskinan karena orang miskin tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingin menjadi orang kaya," tutur Ida.
   Meski terbiasa hidup sederhana, Ida merasa kehidupan sebagai buruh tetap berat. Untuk makan sehari-hari, misalnya, dia biasa mengonsumsi lauk telur dicampur tepung supaya bisa dibagi dengan teman satu kontrakan.
   Untuk ke tempat kerja, dia mengayuh sepeda butut. Untuk menyambung hidup dari gajinya sebesar Rp 150.000 per bulan, Ida menyambi berjualan pakaian, mukena, dan seprai.
   Ida mengaku, ketika itu dia sering mengeluh, jenuh, bahkan nyaris putus asa. Mengapa kehidupannya miskin terus? Hal itu membuat dia tidak percaya diri dan tertutup.
   Perubahan besar terjadi pada 1997. Suatu tengah malam dia berjalan ke lapangan di dekat tempat indekosnya, lalu marah kepada Tuhan karena merasa tidak adil. Ketika esoknya terbangun oleh azan Subuh, dia hanya pasrah. "Ingat semalam marah kepada Tuhan," kata Ida serius.
   Seminggu kemudian, dia mendengar suara anak-anak menangis dari dalam hutan. Ternyata suara itu berasal dari gubuk reyot yang dihuni seorang ibu dengan empat anaknya. Anak-anak itu menangis karena lapar.
  "Sejak saat itu saya bertekad tidak akan mengeluh lagi. Setiap bangun pagi saya mengatakan kepada diri sendiri betapa beruntungnya saya," cerita Ida.

Dukungan keluarga

   Selepas lima tahun bekerja di Batam, Ida ingin bekerja di kapal pesiar. Dia pergi ke Bandung, belajar pada sebuah akademi pariwisata dan menyelesaikan program diploma I.
   Alih-alih bekerja di kapal pesiar, Ida bertemu teman semasa SMA, Haris, saat mengikuti reuni SMA di Jombang, Jawa Timur. Keduanya lalu menikah pada 1999.
   Menjadi ibu rumahtangga tidak memadamkan niat Ida mandiri secara ekonomi meski posisi Haris sebagai manajer di perusahaan otomotif memberikan kecukupan materi berupa rumah tinggal dan mobil.
   Ketika suaminya dipindahkan ke Sidoarjo, Ida merasa tidak sanggup jika nantinya terus berpindah-pindah kota mengikuti penugasan sang suami. Dia menghidupkan cita-cita lama memiliki usaha sendiri. Modal awal Rp 600.000 dimanfaatkan Ida untuk memasarkan emping milik kerabat dari Yogyakarta. Itu menjadi awal Ida memasuki dunia distribusi.
   Namun, cita-citanya menjadi distributor produk merek-merek terkenal kandas. "Mereka menolak karena punya jaringan distribusi sendiri," kata Ida mengenang.
   Pantang putus asa, Ida melihat peluang lain, yakni camilan tradisional produksi usaha mikro. Dia mengajari mereka kebersihan, pilihan rasa dan kemasan, membantu permodalan, serta mendistribusikan produk tersebut.
   Tentang tantangan terbesarnya, menurut Ida adalah mengubah pandangan sebagian orang bahwa emansipasi itu ada batasnya. "Selama ini pada sebagian anak perempuan selalu ditanamkan emansipasi itu ada batasnya. Menurut saya, emansipasi tidak ada batasnya. Perempuan bisa berbuat banyak hal, tetapi dukungan keluarga sangat penting," kata Ida.
   Haris mendukung usaha istrinya. "Suami seharusnya bersyukur jika istri ingin berkarier. Orang yang ingin punya usaha sendiri harus siap dan istri saya sudah siap tidak mendapat fasilitas rumah dan mobil dari kantor," kata Haris.
   Dia lalu memenuhi permintaan Ida untuk ikut sepenuhnya terjun ke dunia usaha dan mendirikan usaha jasa logistik guna mendukung bisnis istrinya.
   Suami-istri ini kompak, selalu berdua mengunjungi 50 mitra UKM yang tersebar di belasan kota di Jawa. Mereka tetap mengawasi sendiri kualitas produk mitra-mitra mereka dengan berkunjung tanpa pemberitahuan lebih dulu.
   Menurut Ida, kelebihan sebagai perempuan adalah ketajaman intuisi, keinginan bekerja bersama, saling dukung dan berbagi, serta maju bersama. Dia telah bermetamorfosis menjadi sosok terbuka dan mampu memitovasi orang lain untuk maju bersama.
   Ida telah meretas jalan mewujudkan cita-cita mandiri secara ekonomi tanpa melupakan prinsip saling dukung dengan keluarga, para mitra, dan pelanggan.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 29 OKTOBER 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar